Anda di halaman 1dari 17

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Cidera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama
pada kelompok umur produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu
lintas. Di samping penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi korban
ke rumah sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat
menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya ( Mansjoer, 2000 ). Salah
satu tindakan pemeriksaan yang penting adalah melalui pemeriksaan tingkat
kesadaran dengan skala koma glasgow ( Glasgow Coma Scale ).

Pemeriksaan tingkat kesadaran dengan menggunakan Glasgow Coma


Scale ( GCS ) merupakan cara praktis untuk dokter dan perawat, karena memiliki
kriteria / patokan yang lebih jelas dan sistematis dibanding dengan sistem lama.
GCS disamping untuk menetukan tingkat kesadaran, juga berguna untuk
menentukan tingkat prognosis suatu penyakit ( Juwono, l996) dan memonitor
terjadinya disfungsi neorologis ( Godner, 1995 ). Bahkan Priharjo ( 1996 )
mengatakan bahwa GCS dapat digunakan untuk menilai atau menguji
kewaspadaan pasien khususnya pasien yang mengalami cedera berat atau pasien
yang mengalami kemunduran kesadaran dengan cepat.
Selama ini staf / pelaksana keperawatan masih dilupakan dalam
penilaian / pemeriksaan GCS, padahal kenyataannya tenaga dokter terbatas dan
perawat lebih banyak berhubungan dengan pasien, juga perawat masih belum
terbiasa melakukan pemeriksaan GCS padahal antara perawat dan dokter
perspektifnya berbeda ( Haryono, 1997 ).

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya hubungan
antara tingkat pengetahuan, sikap perawat tentang cara pemeriksaan
GCS dengan praktek pemeriksaan pada pasien cedera kepala.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi tingkat pengetahuan perawat mengenai
cara pemeriksaan GCS pada pasien cedera kepala.
b. Mengidentifikasi sikap perawat tentang cara pemeriksaan GCS pada
pasien cedera kepala.
c. Mengidentifikasi praktek perawat tentang pemeriksaan GCS pada
pasien cidera kepala.
d. Menganalisa hubungan antara tingkat pengetahuan perawat tentang
cara pemeriksaan GCS dengan praktek pemeriksaan GCS pada pasien
cidera kepala.
e. Menganalisa hubungan antara sikap perawat tentang cara pemeriksaan
GCS dengan praktek pemeriksaan GCS pada pasien cedera kepala.

BAB II

KONSEP DASAR PENYAKIT


A. PENGERTIAN

Cidera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau


penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan (accelerasi) dan perlambatan
(decelerasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan
peningkatan pada percepatan faktor dan penurunan kecepatan, serta rotasi yaitu
pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada
tindakan pencegahan (Doenges, 1989). Kasan (2000) mengatakan cidera kepala
adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai
perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak.

Cedera kepala menurut Suriadi & Rita (2001) adalah suatu trauma yang mengenai
daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara
langsung maupun tidak langsung pada kepala. Sedangkan menurut Satya (1998),
cedera kepala adalah keadaan dimana struktur lapisan otak dari lapisan kulit kepala
tulang tengkorak, durameter, pembuluh darah serta otaknya mengalami cidera baik
yang trauma tumpul maupun trauma tembus.

1. Macam-macam / jenis Cedera Kepala


Macam-macam/jenis cedera kepala berdasarkan tingkat keparahannya
adalah:

a. Cedera Kepala Ringan ( CKR)

Cedera kepala ringan (CKR) merupakan kelompok risiko rendah, yaitu


ditandai dengan : skor GCS antara 13 sampai 15, ( atentif, sadar penuh,
dan orientatif), tidak ada kehilangan kesadaran (misalnya konkusi), tidak
ada tanda intoksikasi alkohol atau obat terlarang, pasien dapat mengeluh
nyeri kepala dan pusing, pasien dapat menderita : abrasi, laserasi, atau
hematoma kulit kepala, tidak ada kriteria cedera kepala sedang-berat.

b. Cedera Kepala Sedang ( CKS )

Cedera Kepala sedang ( CKS ) Merupakan risiko sedang , yang ditandai


dengan: skor GCS antara 9 sampai 12 (konfusi, letargi, atau stupor),
konkusi, amnesia paska trauma, muntah, tanda kemungkinan fraktur
kranium ( tanda Battle, mata rabun ,hemotimpanum, otorea, atau rinorea
cairan serebrospinal ), kejang.

c. Cedera Kepala Berat ( CKB )

Cedera kepala berat ( CKB ) merupakan risiko berat, ditandai dengan:


skor GCS antara 3 sampai 8 ( koma ), penurunan derajat kesadaran secara
progresif, tanda neurologis fokal, cedera kepala penetrasi atau teraba
fraktur depresi kranium.

2. Klasifikasi

1. Cidera kepala terbuka

Luka terbuka pada lapisan-lapisan galea tulang tempurung kepala duramater


disertai cidera jaringan otak karena impressi fractura berat. Akibatnya, dapat
menyebabkan infeksi di jaringan otak. Untuk pencegahan, perlu operasi dengan
segera menjauhkan pecahan tulang dan tindakan seterusnya secara bertahap.

Fractura Basis Cranii

Fractura ini dapat terletak di depan, tengah, atau di belakang. Gejala fractura
di depan:

1 Rhino liquore disertai lesi di sinus-frontalis pada ethmoidal, spenoidal, dan


arachnoidal.
2 Pneunoencephalon, karena pada fractura basis cranii udara dari sinus
maksilaris masuk ke lapisan selaput otak encepalon.
3 Monokli haematoma, adalah haematoma pada biji mata, karena pada orbita
mata dan biji lensa mata memberi gejala pendarahan intracranialis pula.
Fractura bagian tengah basis cranii antara lain memberi gejala khas
menetesnya cairan otak bercampur darah dari telinga: otoliquor, melalui tuba
eustachii. Gambaran rontgen sebagai tanda khas pada fractura basis cranii
selalu hanya memperlihatkan sebagian. Karena itu, dokter-dokter ahli forensik
selalu menerima kalau hanya ada satu tanda-tanda klinik.

Gejala-gejala klinis lain yang dapat dilihat pada fractura basis cranii antara
lain anosmia (I); gangguan penglihatan (II); gangguan gerakan-gerakan biji
mata (III,IV, V); gangguan rasa di wajah (VI); kelumpuhan facialis (VII);
serta ketulian bukan karena trauma octavus tetapi karena trauma pada
haemotympanon. Pada umumnya, N. VIII - XII jaringan saraf otak tidak akan
rusak pada fractura basis cranii. Kalau fractura disebut fractura impressio
maka terjadi dislocatio pada tulang-tulang sinus tengkorak kepala. Hal ini
harus selalu diperhatikan karena kemungkinan ini akibat contusio cerebri.

2. Cidera kepala tertutup

Pada tulang kepala, termasuk di antaranya selaput otak, terjadi keretakan-


keretakan. Dalam keadaan seperti ini, timbul garis/linea fractura sedemikian
rupa sehingga menyebabkan luka pada daerah periferia a. meningia media,
yang menyebabkan perdarahan arteri. Haematoma dengan cepat membesar
dan gambaran klinik juga cepat merembet, sehingga tidak kurang dari 1 jam
terbentuk haematomaepiduralis. Penentuan diagnosis sangat berarti lucidum
intervalum (mengigat waktu yang jitu dan tepat). Jadi, pada epiduralis
haematoma, sebenarnya jaringan otak tidak rusak, hanya tertekan (depresi).
Dengan tindakan yang cepat dan tepat, mungkin pasien dapat ditolong. Paling
sering terdapat di daerah temporal, yaitu karena pecahnya pembulnh darah
kecil/perifer cabang-cabang a. meningia media akibat fractura tulang kepala
daerah itu (75% pada Fr. Capitis).

a. Epiduralis haematoma

Pada frontal, parietal, occipital dan fossa posterior, sin. transversus. Foto
rontgen kepala sangat berguna, tetapi yang lebih penting adalah pengawasan
terhadap pasien. Saat ini, diagnosis yang cepat dan tepat ialah CT scan atau
Angiografi. Kadangkala kita sangat terpaksa melakukan "Burr hole Trepanasi",
karena dicurigai akan terjadi epiduralis haematoina. Dengan ini sekaligus bisa
didiagnosis dan dekompresi, sebab terapi untuk epiduralis haematoma adalah
suatu kejadian yang gawat dan harus segera ditangani.

b. Subduralis haematoma akut

Kejadian akut haematoma di antara durameter dan corteks, dimana


pembuluh darah kecil sinus vena pecah atau terjadi perdarahan. Atau jembatan
vena bagian atas pada interval yang akibat tekanan lalu terjadi perdarahan.
Kejadiannya keras dan cepat, karena tekanan jaringan otak sehingga darah cepat
tertuangkan dan memenuhi rongga antara durameter dan corteks. Kejadian
dengan cepat memberi tanda-tanda meningginya tekanan dalam jaringan otak
(TIK = Tekanan Intra Kranial). Pada kejadian akut haematoma, lucidum
intervalum akan terasa setelah beberapa jam sampai 1 atau 2 hari. Tanda-tanda
neurologis-klinis di sini jarang memberi gejala epileptiform pada perdarahan
dasar duramater. Akut hematoma subduralis pada trauma kapitis dapat juga
terjadi tanpa Fractura Cranii, namun pembuluh darah arteri dan vena di corteks
terluka. Pasien segera pingsan/ koma. Jadi, di sini tidak ada "free interval time".
Kadang-kadang pembuluh darah besar seperti arteri dan sinus dapat juga
terluka. Dalam kasus ini sering dijumpai kombinasi dengan intracerebral
haematoma sehingga mortalitas subdural haematoma akut sangat tinggi (80%).
c. Subrachnoidalis Haematoma

Kejadiannya karena perdarahan pada pembuluh darah otak, yaitu


perdarahan pada permukaan dalam duramater. Bentuk paling sering dan berarti
pada praktik sehari-hari adalah perdarahan pada permukaan dasar jaringan otak,
karena bawaan lahir aneurysna pelebaran pembuluh darah. Ini sering
menyebabkan pecahnya pembuluh darah otak. Gambaran klinik tidak
menunjukkan gejala-gejala penyakit tetapi terjadi gangguan ingatan karena
timbulnya gangguan meningeal. Akut Intracerebralis Haematoma terjadi karena
pukulan benda tumpul di daerah korteks dan subkorteks yang mengakibatkan
pecahnya vena yang besar atau arteri pada jaringan otak. Paling sering terjadi
dalam subkorteks. Selaput otak menjadi pecah pula karena tekanan pada
durameter bagian bawah melebar sehingga terjadilah "subduralis haematoma",
disertai gejala kliniknya.

d. Contusio Cerebri

Di antara yang paling sering adalah bagian yang berlawanan dengan tipe
centralis - kelumpuhan N. Facialis atau N. Hypoglossus, atau kelumpuhan
syaraf-syaraf otak, gangguan bicara, yang tergantung pada lokalisasi kejadian
cidera kepala. Contusio pada kepala adalah bentuk paling berat, disertai dengan
gegar otak encephalon dengan timbulnya tanda-tanda koma, sindrom gegar otak
pusat encephalon dengan tanda-tanda gangguan pernapasan, gangguan sirkulasi
paru - jantung yang mulai dengan bradikardia, kemudian takikardia,
meningginya suhu badan, muka merah, keringat profus, serta kekejangan
tengkuk yang tidak dapat dikendalikan (decebracio rigiditas).

B. ETIOLOGI / PREDISPOSISI

1 Menurut Hudak dan Gallo (1996 : 108) mendiskripsikan bahwa penyebab


cedera kepala adalah karena adanya trauma yang dibedakan menjadi 2 faktor
yaitu :
a Trauma primer
Terjadi karena benturan langsung atau tidak langsung (akselerasi dan
deselerasi)

b Trauma sekunder
Terjadi akibat dari trauma saraf (melalui akson) yang meluas, hipertensi
intrakranial, hipoksia, hiperkapnea, atau hipotensi sistemik.

c Trauma akibat persalinan

2 Kecelakaan, kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil, kecelakaan pada


saat olahraga.
3 Jatuh
4 Cedera akibat kekerasan.

C. PATOFISIOLOGI
Cidera kepala terjadi karena beberapa hal diantanya karena terjatuh, dipukul,
kecelakaan dan trauma saat lahir yang bisa mengakibatkan terjadinya gangguan pada
seluruh sistem dalam tubuh. Bila trauma ekstra kranial akan dapat menyebabkan
adanya leserasi pada kulit kepala selanjutnya bisa perdarahan karena mengenai
pembuluh darah. Karena perdarahan yang terjadi terus menerus dapat menyebabkan
hipoksia sehingga tekanan intra kranial akan meningkat. Namun bila trauma
mengenai tulang kepala akan meneyebabkan robekan dan terjadi perdarahan juga.
Cidera kepala intra kranial dapat mengakibatkan laserasi, perdarahan dan kerusakan
jaringan otak bahkan bisa terjadi kerusakan susunan syaraf kranial tertama motorik
yang mengakibatkan terjadinya gangguan dalam mobilitas.

D. MANIFESTASI KLINIK
1. Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih
2. Kebingungan
3. Iritabel
4. Pucat
5. Mual dan muntah
6. Pusing
7. Nyeri kepala hebat
8. Terdapat hematoma
9. Kecemasan
10. Sukar untuk dibangunkan
11. Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari
hidung (rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang
temporal.

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan
perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya
infark/iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.
2. MRI
Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
3. Cerebral Angiography
Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan
otak sekunder menjadi edema, perdarahan dan trauma.
4. EEG (Elektroencepalograf)
Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis

5. X-Ray
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
6. BAER
Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
7. PET
Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
8. CSF, Lumbal Pungsi
Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid dan
untuk mengevaluasi/mencatat peningkatan tekanan cairan
serebrospinal.
9. ABGs
Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial
10. Kadar Elektrolit
Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrkranial
11. Screen Toxicologi
Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan
kesadaran.

F. KOMPLIKASI
a. Hemorrhagie
b. Infeksi
c. Edema serebral dan herniasi

G. PENATALAKSANAAN
Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma kepala adalah
sebagai berikut:
1 Observasi 24 jam
2 Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
Makanan atau cairan, pada trauma ringan bila muntah-muntah, hanya cairan
infus dextrosa 5 %, amnifusin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya
kecelakaan), 2 - 3 hari kemudian diberikan makanan lunak.

3 Berikan terapi intravena bila ada indikasi.


4 Pada anak diistirahatkan atau tirah baring.
5 Terapi obat-obatan.
a Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis
sesuai dengan berat ringanya trauma.
b Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurangi
vasodilatasi.
c Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20 % atau
glukosa 40 % atau gliserol 10 %.
d Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisillin) atau untuk
infeksi anaerob diberikan metronidasol.
e Pada trauma berat. karena hari-hari pertama didapat penderita mengalami
penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit
maka hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan. Dextosa 5 %
8 jam pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua dan dextrosa 5 % 8 jam
ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah makanan diberikan
melalui nasogastric tube (2500 - 3000 TKTP).
6 Pembedahan bila ada indikasi.

H. PENGKAJIAN FOKUS

a Identitas klien
Nama, umur, jenis kelamin, tempat tanggal lahir, golongan darah,
pendidikan terakhir, agama, suku, status perkawinan, pekerjaan, TB/BB,
alamat

b Identitas Penanggung jawab


Nama, umur, jenis kelamin, agama, suku, hubungan dengan klien,
pendidikan terakhir, pekerjaan, alamat.

c Riwayat kesehatan :
Tingkat kesadaran/GCS (< 15), konvulsi, muntah, dispnea /
takipnea, sakit kepala, wajah simetris / tidak, lemah, luka di kepala,
paralise, akumulasi sekret pada saluran napas, adanya liquor dari hidung
dan telinga dan kejang
Riwayat penyakit dahulu haruslah diketahui baik yang berhubungan
dengan sistem persarafan maupun penyakit sistem sistemik lainnya.
demikian pula riwayat penyakit keluarga terutama yang mempunyai
penyakit menular.

Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari klien atau keluarga


sebagai data subyektif. Data-data ini sangat berarti karena dapat
mempengaruhi prognosa klien.

d Pengkajian persistem
1 Keadaan umum
2 Tingkat kesedaran : composmetis, apatis, somnolen, sopor, koma
3 TTV
4 Sistem Pernapasan
Perubahan pola napas, baik irama, kedalaman maupun frekuensi, nafas
bunyi ronchi.

5 Sistem Kardiovaskuler
Apabila terjadi peningkatan TIK, tekanan darah meningkat, denyut
nadi bradikardi kemudian takikardi.

6 Sistem Perkemihan
Inkotenensia, distensi kandung kemih

7 Sistem Gastrointestinal
Usus mengalami gangguan fungsi, mual/muntah dan mengalami
perubahan selera

8 SistemMuskuloskeletal
Kelemahan otot, deformasi

9 Sistem Persarafan
Gejala : kehilangan kesadaran, amnesia, vertigo, syncope, tinitus,
kehilangan pendengaran, perubahan penglihatan, gangguan
pengecapan .

Tanda : perubahan kesadaran sampai koma, perubahan status mental,


perubahan pupil, kehilangan pengindraan, kejang,
kehilangan sensasi sebagian tubuh.

a Nervus cranial
N.I : penurunan daya penciuman

N.II : pada trauma frontalis terjadi penurunan


penglihatan

N.III, N.IV, N.VI : penurunan lapang pandang, refleks cahaya


menurun, perubahan ukuran pupil, bola mta tidak dapat
mengikuti perintah, anisokor.

N.V : gangguan mengunyah

N.VII, N.XII :lemahnya penutupan kelopak mata, hilangnya


rasa pada 2/3 anterior lidah

N.VIII : penurunan pendengaran dan keseimbangan


tubuh

N.IX , N.X , N.XI jarang ditemukan

b Skala Koma glasgow (GCS)


N KOMPONEN NILAI HASIL
O
1 Tidak berespon
2 Suara tidak dapat dimengerti, rintihan
3 Bicara kacau/kata-kata tidak tepat/tidak
nyambung dengan pertanyaan
4 Bicara membingungkan, jawaban tidak tepat
5 Orientasi baik

1 Tidak berespon
1 VERBAL 2 Ekstensi abnormal
3 Fleksi abnormal
4 Menarik area nyeri
2 MOTORIK 5 Melokalisasi nyeri
6 Dengan perintah
1 Tidak berespon
3 Reaksi membuka 2 Rangsang nyeri
3 Dengan perintah (rangsang suara/sentuh)
mata (EYE) 4 Spontan

c Fungsi motorik
Setiap ekstremitas diperiksa dan dinilai dengan skala berikut
yang digunakan secara internasional :
RESPON SKALA
Kekuatan normal 5
Kelemahan sedang 4
Kelemahan berat (antigravity) 3
Kelemahan berat (not antigravity) 2
Gerakan trace 1
Tak ada gerakan 0

I. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan perfusi jaringan b/ d oedema cerebri, meningkatnya aliran
darah ke otak.
2. Gangguan rasa nyaman nyeri b/ d peningkatan tekanan intra kranial.
3. Perubahan persepsi sensori b/ d penurunan kesadaran, peningkatan
tekanan intra kranial.
4. Gangguan mobilitas fisik b/ d spastisitas kontraktur, kerusakan saraf
motorik.
5. Resiko tinggi infeksi b/ d jaringan trauma, kerusakan kulit kepala.
6. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit b/ d haluaran urine dan
elektrolit meningkat.
7. Gangguan kebutuhan nutrisi b/ d kelemahan otot untuk menguyah dan
menelan.
8. Gangguan pola nafas b/ d obstruksi trakeobronkial, neurovaskuler,
kerusakan medula oblongata.

J. FOKUS INTERVENSI

Anda mungkin juga menyukai