DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Cidera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama
pada kelompok umur produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu
lintas. Di samping penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi korban
ke rumah sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat
menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya ( Mansjoer, 2000 ). Salah
satu tindakan pemeriksaan yang penting adalah melalui pemeriksaan tingkat
kesadaran dengan skala koma glasgow ( Glasgow Coma Scale ).
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya hubungan
antara tingkat pengetahuan, sikap perawat tentang cara pemeriksaan
GCS dengan praktek pemeriksaan pada pasien cedera kepala.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi tingkat pengetahuan perawat mengenai
cara pemeriksaan GCS pada pasien cedera kepala.
b. Mengidentifikasi sikap perawat tentang cara pemeriksaan GCS pada
pasien cedera kepala.
c. Mengidentifikasi praktek perawat tentang pemeriksaan GCS pada
pasien cidera kepala.
d. Menganalisa hubungan antara tingkat pengetahuan perawat tentang
cara pemeriksaan GCS dengan praktek pemeriksaan GCS pada pasien
cidera kepala.
e. Menganalisa hubungan antara sikap perawat tentang cara pemeriksaan
GCS dengan praktek pemeriksaan GCS pada pasien cedera kepala.
BAB II
Cedera kepala menurut Suriadi & Rita (2001) adalah suatu trauma yang mengenai
daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara
langsung maupun tidak langsung pada kepala. Sedangkan menurut Satya (1998),
cedera kepala adalah keadaan dimana struktur lapisan otak dari lapisan kulit kepala
tulang tengkorak, durameter, pembuluh darah serta otaknya mengalami cidera baik
yang trauma tumpul maupun trauma tembus.
2. Klasifikasi
Fractura ini dapat terletak di depan, tengah, atau di belakang. Gejala fractura
di depan:
Gejala-gejala klinis lain yang dapat dilihat pada fractura basis cranii antara
lain anosmia (I); gangguan penglihatan (II); gangguan gerakan-gerakan biji
mata (III,IV, V); gangguan rasa di wajah (VI); kelumpuhan facialis (VII);
serta ketulian bukan karena trauma octavus tetapi karena trauma pada
haemotympanon. Pada umumnya, N. VIII - XII jaringan saraf otak tidak akan
rusak pada fractura basis cranii. Kalau fractura disebut fractura impressio
maka terjadi dislocatio pada tulang-tulang sinus tengkorak kepala. Hal ini
harus selalu diperhatikan karena kemungkinan ini akibat contusio cerebri.
a. Epiduralis haematoma
Pada frontal, parietal, occipital dan fossa posterior, sin. transversus. Foto
rontgen kepala sangat berguna, tetapi yang lebih penting adalah pengawasan
terhadap pasien. Saat ini, diagnosis yang cepat dan tepat ialah CT scan atau
Angiografi. Kadangkala kita sangat terpaksa melakukan "Burr hole Trepanasi",
karena dicurigai akan terjadi epiduralis haematoina. Dengan ini sekaligus bisa
didiagnosis dan dekompresi, sebab terapi untuk epiduralis haematoma adalah
suatu kejadian yang gawat dan harus segera ditangani.
d. Contusio Cerebri
Di antara yang paling sering adalah bagian yang berlawanan dengan tipe
centralis - kelumpuhan N. Facialis atau N. Hypoglossus, atau kelumpuhan
syaraf-syaraf otak, gangguan bicara, yang tergantung pada lokalisasi kejadian
cidera kepala. Contusio pada kepala adalah bentuk paling berat, disertai dengan
gegar otak encephalon dengan timbulnya tanda-tanda koma, sindrom gegar otak
pusat encephalon dengan tanda-tanda gangguan pernapasan, gangguan sirkulasi
paru - jantung yang mulai dengan bradikardia, kemudian takikardia,
meningginya suhu badan, muka merah, keringat profus, serta kekejangan
tengkuk yang tidak dapat dikendalikan (decebracio rigiditas).
B. ETIOLOGI / PREDISPOSISI
b Trauma sekunder
Terjadi akibat dari trauma saraf (melalui akson) yang meluas, hipertensi
intrakranial, hipoksia, hiperkapnea, atau hipotensi sistemik.
C. PATOFISIOLOGI
Cidera kepala terjadi karena beberapa hal diantanya karena terjatuh, dipukul,
kecelakaan dan trauma saat lahir yang bisa mengakibatkan terjadinya gangguan pada
seluruh sistem dalam tubuh. Bila trauma ekstra kranial akan dapat menyebabkan
adanya leserasi pada kulit kepala selanjutnya bisa perdarahan karena mengenai
pembuluh darah. Karena perdarahan yang terjadi terus menerus dapat menyebabkan
hipoksia sehingga tekanan intra kranial akan meningkat. Namun bila trauma
mengenai tulang kepala akan meneyebabkan robekan dan terjadi perdarahan juga.
Cidera kepala intra kranial dapat mengakibatkan laserasi, perdarahan dan kerusakan
jaringan otak bahkan bisa terjadi kerusakan susunan syaraf kranial tertama motorik
yang mengakibatkan terjadinya gangguan dalam mobilitas.
D. MANIFESTASI KLINIK
1. Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih
2. Kebingungan
3. Iritabel
4. Pucat
5. Mual dan muntah
6. Pusing
7. Nyeri kepala hebat
8. Terdapat hematoma
9. Kecemasan
10. Sukar untuk dibangunkan
11. Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari
hidung (rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang
temporal.
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan
perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya
infark/iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.
2. MRI
Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
3. Cerebral Angiography
Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan
otak sekunder menjadi edema, perdarahan dan trauma.
4. EEG (Elektroencepalograf)
Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
5. X-Ray
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
6. BAER
Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
7. PET
Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
8. CSF, Lumbal Pungsi
Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid dan
untuk mengevaluasi/mencatat peningkatan tekanan cairan
serebrospinal.
9. ABGs
Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial
10. Kadar Elektrolit
Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrkranial
11. Screen Toxicologi
Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan
kesadaran.
F. KOMPLIKASI
a. Hemorrhagie
b. Infeksi
c. Edema serebral dan herniasi
G. PENATALAKSANAAN
Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma kepala adalah
sebagai berikut:
1 Observasi 24 jam
2 Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
Makanan atau cairan, pada trauma ringan bila muntah-muntah, hanya cairan
infus dextrosa 5 %, amnifusin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya
kecelakaan), 2 - 3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
H. PENGKAJIAN FOKUS
a Identitas klien
Nama, umur, jenis kelamin, tempat tanggal lahir, golongan darah,
pendidikan terakhir, agama, suku, status perkawinan, pekerjaan, TB/BB,
alamat
c Riwayat kesehatan :
Tingkat kesadaran/GCS (< 15), konvulsi, muntah, dispnea /
takipnea, sakit kepala, wajah simetris / tidak, lemah, luka di kepala,
paralise, akumulasi sekret pada saluran napas, adanya liquor dari hidung
dan telinga dan kejang
Riwayat penyakit dahulu haruslah diketahui baik yang berhubungan
dengan sistem persarafan maupun penyakit sistem sistemik lainnya.
demikian pula riwayat penyakit keluarga terutama yang mempunyai
penyakit menular.
d Pengkajian persistem
1 Keadaan umum
2 Tingkat kesedaran : composmetis, apatis, somnolen, sopor, koma
3 TTV
4 Sistem Pernapasan
Perubahan pola napas, baik irama, kedalaman maupun frekuensi, nafas
bunyi ronchi.
5 Sistem Kardiovaskuler
Apabila terjadi peningkatan TIK, tekanan darah meningkat, denyut
nadi bradikardi kemudian takikardi.
6 Sistem Perkemihan
Inkotenensia, distensi kandung kemih
7 Sistem Gastrointestinal
Usus mengalami gangguan fungsi, mual/muntah dan mengalami
perubahan selera
8 SistemMuskuloskeletal
Kelemahan otot, deformasi
9 Sistem Persarafan
Gejala : kehilangan kesadaran, amnesia, vertigo, syncope, tinitus,
kehilangan pendengaran, perubahan penglihatan, gangguan
pengecapan .
a Nervus cranial
N.I : penurunan daya penciuman
1 Tidak berespon
1 VERBAL 2 Ekstensi abnormal
3 Fleksi abnormal
4 Menarik area nyeri
2 MOTORIK 5 Melokalisasi nyeri
6 Dengan perintah
1 Tidak berespon
3 Reaksi membuka 2 Rangsang nyeri
3 Dengan perintah (rangsang suara/sentuh)
mata (EYE) 4 Spontan
c Fungsi motorik
Setiap ekstremitas diperiksa dan dinilai dengan skala berikut
yang digunakan secara internasional :
RESPON SKALA
Kekuatan normal 5
Kelemahan sedang 4
Kelemahan berat (antigravity) 3
Kelemahan berat (not antigravity) 2
Gerakan trace 1
Tak ada gerakan 0
I. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan perfusi jaringan b/ d oedema cerebri, meningkatnya aliran
darah ke otak.
2. Gangguan rasa nyaman nyeri b/ d peningkatan tekanan intra kranial.
3. Perubahan persepsi sensori b/ d penurunan kesadaran, peningkatan
tekanan intra kranial.
4. Gangguan mobilitas fisik b/ d spastisitas kontraktur, kerusakan saraf
motorik.
5. Resiko tinggi infeksi b/ d jaringan trauma, kerusakan kulit kepala.
6. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit b/ d haluaran urine dan
elektrolit meningkat.
7. Gangguan kebutuhan nutrisi b/ d kelemahan otot untuk menguyah dan
menelan.
8. Gangguan pola nafas b/ d obstruksi trakeobronkial, neurovaskuler,
kerusakan medula oblongata.
J. FOKUS INTERVENSI