Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Tujuan
Menentukan kadar ion Ca2+, Mg2+, dan Ni2+ secara kompleksometri
menggunakan larutan standar garam EDTA.

1.2 Teori
Titrasi kompleksometri yaitu titrasi berdasarkan pembentukan per-
senyawaan kompleks (ion kompleks atau garam yang sukar mengion),
Kompleksometri merupakan jenis titrasi dimana titran dan titrat saling
mengkompleks, membentuk hasil berupa kompleks. Reaksireaksi pembentukan
kompleks atau yang menyangkut kompleks banyak sekali dan penerapannya juga
banyak, tidak hanya dalam titrasi. Karena itu perlu pengertian yang cukup luas
tentang kompleks, sekalipun disini pertama-tama akan diterapkan pada titrasi.
Contoh reaksi titrasi kompleksometri (Khopkar, 2002), yaitu:

Ag+ + 2 CN- Ag(CN)2


Hg2+ + 2Cl- HgCl2

Salah satu tipe reaksi kimia yang berlaku sebagai dasar penentuan
titrimetrik melibatkan pembentukan (formasi) kompleks atau ion kompleks yang
larut namun sedikit terdisosiasi. Kompleks yang dimaksud di sini adalah
kompleks yang dibentuk melalui reaksi ion logam, sebuah kation, dengan sebuah
anion atau molekul netral (Basset, 1994).
Kompleks-kompleks yang akan dibahas dibentuk oleh reaksi suatu ion
logam suatu kation, dengan suatu anion atau molekul netral. Ion logam dalam
kompleks itu disebut atom pusat, dan gugus yang terikat pada atom pusat disebut
ligan. Banyaknya ikatan yang dibentuk oleh atom pusat disebut bilangan
koordinasi logam itu (Underwood, 1986).
Ligan dapat berupa sebuah molekul netral atau sbuah ion bermuatan, dengan
penggantian molekul-molekul air berturut-turut, sampai tebrntuk kompleks MLn. n
adalah bilangan koordinasi dari ion logam, dan menyatakan jumlah maksimum
ligan monodentat yang dapat terikat padanya. Ligan dapat dengan baik
diklasifikasikan asat dasar banyaknya titik lekat kepada ion logam. Begitulah,
ligan-ligan sederhana seperti ion-ion halide atau molekul-molekul H2O atau
NH3 adalah monodentat, yaitu ligan itu terikat pada ion logam hanya pada 1 titik
oleh penyumbangan satu pasangan-pasangan elektron menyendiri kepada logam.
Bila molekul atau iom ligan itu mempunyai dua atom, yang masing-masing
mempunyai pasangan satu pasangan elektron menyendiri,maka molekul itu
mempunyai dua atom penyumbanga, dan memungkinkan untuk membentuk dua
ikatan koordinasi dengan ion logam yang sama, ligan seperti ini disebut ligan
bidentat. Ligan multidentat mengandung lebih dari dua atom koordinasi per
molekul. Sebelum ini, telah kita anggap bahwa sepsis-spesisi yang kompleks itu
tidak mengandung lebih dari stu ion logam, tetapi pada kondisi-kondisi yang
sesuai, suatu kompleks binuklir, yaitu kompleks yang mengandung dua ion logam,
atau bahkan satu komplek polinuklir yang mengandung lebih dari dua ion logam,
dapat terbentuk (J. Basset, 1994).
EDTA ialah suatu ligan yang heksadentat (mempunyai enam buah atom
donor pasagan elektron), yaitu melalui kedua atom N dan keempat atom O (dari
OH). Dalam pembentukan kelat, keenam donor (tetapi kadang-kadang
hanya lima) bersama-sama mengikat satu atom satu ion inti dengan
membentuk lima lingkaran kelat. Molekul EDTA dilipat mengelilingi ion logam
itu sedemikian rupa sehingga keenam atom donor terletak pada puncak-puncak
sebuah oktaeder (bidang delapan) dan inti terdapat di pusat oktaeder (W. Harjadi,
1986).
Kestabilan suatu kompleks jelas akan berhubungan dengan kemampuan
mengkompleks dari ion logam yang terlibat, dan pentingnya untuk memeriksa
faktor-faktor mengenai ciri khas dari ligand .
Kemampuan mengkompleks relatif dari logam-logam digambarkan dengan
baik menurut klasifikasi SCHwarzen-bach, yang dalam garis besarnya didasarkan
atas pembagian logam menjadi asam Lewis (penerima pasangan electron) kelas A
dan kelas B. Logam kelas A dicirikan oleh larutan afinitas (dalam larutan air)
terhadap halogen F->Cl- >Br->I-, dan membentuk kompleks terstabilnya dengan
anggota pertama dari grup Tabel Berkala dari atom penyumbang (yakni, nitrogen,
oksigen, dan fluor). Logam kelas B jauh lebih mudah berkoordinasi dengan I- dari
pada F- dalam larutan air, dan membentuk kompleks terstabilnya dengan atom
penyumabang kedua (atau yang lebih berat) dari masing-masing grup itu (yakni P,
S, Cl).
Di antara ciri-ciri khas ligan yang umum diakui sebagai mempengaruhi
kestabilan kompleks dalam mana ligan itu terlibat adalah:
a. Kekuatan basa dri ligan itu
b. Sifat-sifat penyepitan
c. Efek-efek sterik (ruang)
Istilah efek sepit mengacu pada fakta bahwa suatu kompleks bersepit yaitu
kompleks yang dibentuk oleh suatu ligan bidentat atau multidentat, adalah lebih
stabil banding kompleks padanannya dengan ligan-ligan monodentat. Semakin
banyak titik lekat ligan itu kepada ion logam, semakin besar kestabilan kompleks.
Efek sterik yang paling umum adalah efek yang mengambat pembentukan
kompleks yang disebabkan oleh adanya suatu gugusan besar yang melekat pada
atau berada berdekatan dengan atom penyumbang (J. Basset, 1994).
Suatu klasifikasi penting dari kompleks-kompleks, didasarkan pada laju
dimana kompleks itu mengalami reaksi substitusi, dan menimbulkan dua grup,
yaitu kompleks-kompleks yang labil dan kompleks-kompleks yang inert.
Keinertan atau kelabilan kinetik dipengaruhi oleh banyak faktor, tetapi
pengamatan umum berikut ini merupakan pedoman yang akan perilaku kompleks-
kompleks dari berbagai unsur, (J. Basset, 1994), yaitu:
a. Unsur grup utama, biasanya membentukkomples-kompleks labil
b. Dengan pengecualian Cr(III) dan Co(III), kebanyakan transisi baris
pertama membentuk kompleks-kompleks labil.
c. Unsure transisi baris kedua dan baris ketiga, cenderung membentuk
kompleks-kompleks inert.
Titrasi kompleksometri juga dikenal sebagai reaksi yang meliputi reaksi
pembentukan ion-ion kompleks ataupun pembentukan molekul netral yang
terdisosiasi dalam larutan. Persyaratan mendasar terbentuknya kompleks demikian
adalah tingkat kelarutan tinggi. Selain titrasi komplek biasa seperti di atas, dikenal
pula kompleksometri yang dikenal sebagai titrasi kelatometri, seperti yang
menyangkut penggunaan EDTA. Gugus-yang terikat pada ion pusat, disebut ligan,
dan dalam larutan air, reaksi dapat dinyatakan oleh persamaan (Khopkar, 2002),
yaitu
M(H2O)n + L = M(H2O)(n-1) L + H2O

Asam etilen diamin tetra asetat atau yang lebih dikenal dengan EDTA,
merupakan salah satu jenis asam amina polikarboksilat. EDTA sebenarnya adalah
ligan seksidentat yang dapat berkoordinasi dengan suatu ion logam lewat kedua
nitrogen dan keempat gugus karboksil-nya atau disebut ligan multidentat yang
mengandung lebih dari dua atom koordinasi per molekul, misalnya asam 1,2-
diaminoetanatetraasetat (asametilenadiamina tetraasetat, EDTA) yang mempunyai
dua atom nitrogenpenyumbang dan empat atom oksigen penyumbang dalam
molekul (Rival, 1995).
Suatu EDTA dapat membentuk senyawa kompleks yang mantap dengan
sejumlah besar ion logam sehingga EDTA merupakan ligan yang tidak selektif.
Dalam larutan yang agak asam, dapat terjadi protonasi parsial EDTA tanpa
pematahan sempurna kompleks logam, yang menghasilkan spesies seperti CuHY -.
Ternyata bila beberapa ion logam yang ada dalam larutan tersebut maka titrasi
dengan EDTA akan menunjukkan jumlah semua ion logam yang ada dalam
larutan tersebut (Harjadi, 1993).
Selektivitas kompleks dapat diatur dengan pengendalian pH, misal Mg,Ca,
Cr, dan Ba dapat dititrasi pada pH = 11 EDTA. Sebagian besar titrasi
kompleksometri mempergunakan indikator yang juga bertindak sebagai
pengompleks dan tentu saja kompleks logamnya mempunyai warna yang berbeda
dengan pengompleksnya sendiri. Indikator demikian disebut indikator
metalokromat. Indikator jenis ini contohnya adalah Eriochrome black T;
pyrocatechol violet; xylenol orange; calmagit; 1-(2-piridil-azonaftol), PAN,
zincon, asam salisilat, metafalein dan calcein blue (Khopkar, 2002).
Satu-satunya ligan yang lazim dipakai pada masa lalu dalam pemeriksaan
kimia adala ion sianida, CN-, karena sifatnya yang dapat membentuk kompleks
yang mantap dengan ion perak dan ion nikel. Dengan ion perak, ion sianida
membentuk senyawa kompleks perak-sianida, sedangkan dengan ion nilkel
membentuk nikel-sianida. Kendala yang membatasi pemakaian-pemakaian ion
sianoida dalam titrimetri adalah bahwa ion ini membentuk reaksi kompleks secara
bertahap dengan ion logam lantaran ion ini merupakan jeni ligan bergigi satu
(Rival, 1995).
Titrasi dapat ditentukan dengan adanya penambahan indikator yang berguna
sebagai tanda tercapai titik akhir titrasi. Ada lima syarat suatu indikator ion logam
dapat digunakan pada pendeteksian visual dari titik-titik akhir yaitu reaksi warna
harus sedemikian sehingga sebelum titik akhir, bila hampir semua ion logam telah
berkompleks dengan EDTA, larutan akan berwarna kuat. Kedua, reaksi warna itu
haruslah spesifik (khusus), atau sedikitnya selektif. Ketiga, kompleks-indikator
logam itu harus memiliki kestabilan yang cukup, kalau tidak, karena disosiasi, tak
akan diperoleh perubahan warna yang tajam. Namun, kompleks-indikator logam
itu harus kurang stabil dibanding kompleks logam-EDTA untuk menjamin agar
pada titik akhir, EDTA memindahkan ion-ion logam dari kompleks-indikator
logam ke kompleks logam-EDTA harus tajam dan cepat. Kelima, kontras warna
antara indikator bebas dan kompleks-indikator logam harus sedemikian sehingga
mudah diamati. Indikator harus sangat peka terhadap ion logam (yaitu, terhadap
pM) sehingga perubahan warna terjadi sedikit mungkin dengan titik ekuivalen.
Terakhir, penentuan Ca dan Mg dapat dilakukan dengan titrasi EDTA, pH untuk
titrasi adalah 10 dengan indikator eriochrome black T. Pada pH tinggi, 12,
Mg(OH)2 akan mengendap, sehingga EDTA dapat dikonsumsi hanya oleh
Ca2+ dengan indikator murexide (Basset, 1994).
Kesulitan yang timbul dari kompleks yang lebih rendah dapat dihindari
dengan penggunaan bahan pengkelat sebagai titran. Bahan pengkelat yang
mengandung baik oksigen maupun nitrogen secara umum efektif dalam
membentuk kompleks-kompleks yang stabil dengan berbagai macam logam.
Keunggulan EDTA adalah mudah larut dalam air, dapat diperoleh dalam keadaan
murni, sehingga EDTA banyak dipakai dalam melakukan percobaan
kompleksometri. Namun, karena adanya sejumlah tidak tertentu air, sebaiknya
EDTA distandarisasikan dahulu misalnya dengan menggunakan larutan kadmium
(Harjadi, 1993).
BAB II

Metodologi Percobaan

2.1 Bahan-bahan Percobaan


1. Garam Natrium EDTA 0,1 M
2. ZnSO4.7H2O 0,1 M
3. NiSO4 (Ni2+) 0,1 M
4. CaCl2 (Ca2+) 0,1 M
5. MgCl2 (Mg2+) 0,1 M
6. NH4Cl2
7. NH4OH
8. Indikator EBT

2.2 Alat-alat Percobaan


1. Buret, klem dan statif
2. Erlenmeyer
3. Pipet Tetes 10 ml
4. Gelas Ukur 10 ml dan 25ml

2.3 Prosedur Percobaan


2.3.1 Standarisasi Garam EDTA dengan Larutan ZnSO4 0,1 M
1. 10 ml larutan ZnSO4 0,1 M dipipet dan masing-masing dimasuk-
kan kedalam 3 gelas Erlenmeyer.
2. 1 ml larutan buffer ammonium klorida (Tes pH larutan = 10
dengan kertas pH universal).
3. Ditambahkan 10 ml Akuades.
4. Ditambahkan 3 tetes larutan indikator EBT (Atau sedikit zat padat
EBT)
5. Dititrasi dengan EDTA sampai timbul perubahan warna.
6. Hitung konsentrasi EDTA.

2.3.2 Penentuan Kadar Ion Ni 2+ dalam Larutan


1. 10 ml larutan Ni2+ dipipet dan masing-masing dimasukkan ke-
dalam 3 gelas Erlenmeyer.
2. 1 ml larutan buffer ammonium klorida (Tes pH larutan = 10
dengan kertas pH universal)
3. Ditambahkan 10 ml Akuades.
4. Ditambahkan 3 tetes larutan indikator EBT (Atau sedikit zat padat
EBT)
5. Dititrasi dengan EDTA sampai timbul perubahan warna.
6. Hitung konsentrasi ion Ni2+ dalam larutan.

2.3.2 Penentuan Kadar Ion Ca 2+ dalam Larutan


1. 10 ml larutan Ca2+ dipipet dan masing-masing dimasukkan ke-
dalam 3 gelas Erlenmeyer.
2. 1 ml larutan buffer ammonium klorida (Tes pH larutan = 10
dengan kertas pH universal)
3. Ditambahkan 10 ml Akuades.
4. Ditambahkan 3 tetes larutan indikator EBT (Atau sedikit zat padat
EBT)
5. Dititrasi dengan EDTA sampai timbul perubahan warna.
6. Hitung konsentrasi ion Ca2+ dalam larutan.
BAB III
HASIL PERCOBAAN

3.1 Pengamatan

3.1.1. Standarisasi Garam EDTA dengan Larutan ZnSO4 0,1 M

Tabel 3.1 Pengamatan Standarisasi EDTA dengan Larutan ZnSO4 0,1 M


No Bahan Pengamatan
Berwarna putih keruh,
1 ZnSO4 (aq) + NH4Cl (aq)
sedikit endapan
Warna putih keruh
2 ZnSO4 (aq) + NH4Cl (aq) + Akuades
berkurang
ZnSO4 (aq) + NH4Cl (aq) + Akuades +
3 Ungu terong pudar
EBT
ZnSO4 (aq) + NH4Cl (aq) + Akuades +
4 Biru transparan
EBT + EDTA

3.1.2 Penentuan Kadar Ni2+ dalam Larutan

Tabel 3.2 Pengamatan Penentuan Kadar Ni2+ dalam Larutan


No Bahan Pengamatan
Berwarna biru, tidak
1 NiSO4 (aq) + NH4Cl (aq)
berendapan
Warna biru memudar, tidak
2 NiSO4 (aq) + NH4Cl (aq) + Akuades
berendapan
NiSO4 (aq) + NH4Cl (aq) + Akuades +
3 Berwarna biru gelap
EBT
NiSO4 (aq) + NH4Cl (aq) + Akuades + Warna biru bertambah
4
EBT + EDTA menjadi gelap

3.1.3 Penentuan Kadar Ca2+ dalam Larutan

Tabel 3.3 Pengamatan Penentuan Kadar Ca2+ dalam Larutan


No Bahan Pengamatan
Berwarna bening, tidak
1 CaCl2 (aq) + NH4Cl (aq)
berendapan
Berwarna bening, tidak
2 CaCl2 (aq) + NH4Cl (aq) + Akuades
berendapan
CaCl2 (aq) + NH4Cl (aq) + Akuades +
3 Berwarna ungu terong pudar
EBT
4 CaCl2 (aq) + NH4Cl (aq) + Akuades + Berwarna ungu muda
EBT + EDTA
3.2 Reaksi

Ca2+ + HIn2- CaIn- + H+

CaIn- + H2Y2- CaY2 + HIn2- + H+

3.3 Hasil

3.3.1 Standarisasi Garam EDTA dengan Larutan ZnSO4 0,1 M

Tabel 3.4 Hasil Standarisasi EDTA dengan Larutan ZnSO4 0,1 M


Bahan Konsentrasi (N) Volume (ml)
Larutan ZnSO4.H2O 0,1 10
Garam EDTA 0,125 8

3.3.2 Penentuan Kadar Ion Ni 2+ dalam Larutan

Tabel 3.4 Hasil Kadar Ion Ni 2+ dalam Larutan


Bahan Konsentrasi (N) Volume (ml)
Larutan NiSO4 0,10875 10
Garam EDTA 0,125 8,7

3.3.3 Penentuan Kadar Ion Ni 2+ dalam Larutan

Tabel 3.5 Hasil Kadar Ion Ni 2+ dalam Larutan


Bahan Konsentrasi (N) Volume (ml)
Larutan CaCl2 0,114375 10
Garam EDTA 0,125 9,15

3.4 Diskusi

Dalam praktikum ini pada tahap pertama dilakukan titrasi terhadap EDTA
dengan larutan standar primer ZnSO4.7H2O 0,1 M sehingga didapatlah konsentrasi
EDTA sebesar 0,125 N (N ZnSO4 0,1 N; V ZnSO4 10 ml; V EDTA 8 ml) dengan
menggunakan rumus perhitungan pengenceran. Larutan EDTA disini sebagai
larutan standar sekunder, karena penentuan konsentrasinya menggunakan larutan
standar primer, yang mana larutan ini akan digunakan untuk mengetahui
konsentrasi zat yang lainnya.
Pada tahap kedua dilakukan titrasi terhadap NiSO 4 dengan larutan garam
EDTA yang sudah diketahui konsentrasinya. Sehingga dengan menggunakan
rumus pengenceran didapat hasil konseentrasi Ni2+ sebesar 0,10875 N (N EDTA
0,125 N; V EDTA 8,7 ml; V NiSO4 10 ml).
Pada tahap ketiga, cara menghitung kadar CaCl2 sama dengan tahap kedua
dengan menggunakan larutan EDTA sebagai standar sekunder. Sehingga dengan
melakukan titrasi hingga tercapai perubahan warna serta perhitungan dengan
menggunakan rumus pengenceran didapat hasil konsentrasi dari Ca2+ sebesar
0,144375 N (N EDTA 0,125 N; V EDTA 9,15 ml; V CaCl2 10 ml).
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

1. Kadar ion Ni2+ dalam larutan NiSO4 adalah sebanyak 0,10875 N (N EDTA
0,125 N; V EDTA 8,7 ml; V NiSO4 10 ml).
2. Kadar ion Ca2+ dalam larutan CaCl2 adalah sebanyak 0,114375 N (N EDTA
0,125 N; V EDTA 9,15 ml; V CaCl2 10 ml).

4.2 Saran

1. Titrasi langsung dihentikan apabila sudah terjadi perubahan warna yang


permanen, hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya kesalahan
dalam praktikum.
2. Alat-alat dicuci bersih untuk menghindari kontaminasi zat yang
berdampak pada hasil praktikum.

3.
LAMPIRAN A
PERHITUNGAN

A.1 Standarisasi Garam EDTA dengan Larutan ZnSO4 0,1 M

Diketahui V1 EDTA = 7,9 ml

V2 EDTA = 8,1 ml

Vrata-rata EDTA = (V1 EDTA + V2 EDTA) / 2

Vrata-rata EDTA = (7,9 ml + 8,1 ml) / 2

Vrata-rata EDTA = 8 ml

Diketahui N ZnSO4 = 0,1 N

V ZnSO4 = 10 ml

Vrata-rata EDTA = 8 ml

V ZnSO4 . N ZnSO4 = Vrata-rata EDTA. N EDTA

10 ml. 0,1 N = 8 ml. N EDTA

N EDTA = 0,125 N

A.2 Penentuan Kadar Ni2+ dalam Larutan NiSO4

Diketahui V1 EDTA = 11 ml

V2 EDTA = 6,4 ml

Vrata-rata EDTA = (V1 EDTA + V2 EDTA) / 2

Vrata-rata EDTA = (11 ml + 6,4 ml) / 2

Vrata-rata EDTA = 8,7 ml

Diketahui N EDTA = 0,125 N

V NiSO4 = 10 ml

Vrata-rata EDTA = 8,7 ml

V NiSO4 . N NiSO4 = Vrata-rata EDTA. N EDTA

10 ml. N NiSO4 = 8,7 ml. 0,125 N

N NiSO4 = 0,10875 N
A.3 Penentuan Kadar Ca2+ dalam Larutan CaCl2

Diketahui V1 EDTA = 9,3 ml

V2 EDTA = 9,0 ml

Vrata-rata EDTA = (V1 EDTA + V2 EDTA) / 2

Vrata-rata EDTA = (9,3 ml + 9,0 ml) / 2

Vrata-rata EDTA = 9,15 ml

Diketahui N EDTA = 0,125 N

V CaCl2 = 10 ml

Vrata-rata EDTA = 8,7 ml

V CaCl2 . N CaCl2 = Vrata-rata EDTA. N EDTA

10 ml. N CaCl2 = 9,15 ml. 0,125 N

N NiSO4 = 0,114375 N
LAMPIRAN B
JAWABAN PERTANYAAN

B.1 Jawaban Pertanyaan

B.1.1 Pengertian Reaksi Pengomplekan


Reaksi pengomplekan merupakan reaksi dengan ion logam,
melibatkan penggantian satu molekul pelarut atau lebih yang terkoordinasi
dengan gugus nukleopilik lain.

B.1.2 Indikator Logam dan Contohnya


Indikator logam merupakan senyawaan hidroksiazo, senyawa fenolat
dari erifenilmetana yang tersubtitusi oleh hidroksi, dan senyawanya yang
mengandung suatu gugus amino-metil dikarboksi-metil. Perubahan warna
indikator ini dipengaruhi oleh konsentrasiion hydrogen dari larutan. Contoh
dari indikator logam adalah murek-sida, eriochorome black T (EBT),
indikator patton atau kalkon, kalmagit, calcichrome, hitam sulfon F
permanen, violet katekol dan komplekson timofftalein.

B.1.3 Dapatkah Garam EDTA menjadi LArutan Standar Sekunder


Tidak, karena larutan EDTA tidak memenuhi syarat-syarat dari
larutan standar primer itu sendiri. Syarat-syarat larutan standar primer
adalah:

1. Memiliki tingkat kemurnian yang tinggi


2. Stabil
3. Massa molekul relatifnya besar
4. Tidak bersifat Higroskopis

DAFTAR PUSTAKA
Basset, J. dkk., 1994, Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik, Terjemahan A.
Hadyana Pudjaatmaka dan L. Setiono, Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta.
Harjadi, W., 1993, Ilmu Kimia Analitik Dasar, PT Gramedia, Jakarta.
Khopkar, 2002, Konsep Dasar Kimia Analitik, UI Press, Jakarta.
Rival, Harrizul, 1995, Asas Pemeriksaan Kimia, UI Press, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai