Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

Dengue Haemorrhagic Fever (DHF)

Untuk Memenuhi Tugas Profesi Ners Departemen Anak di Ruang Seruni


Rumah Sakit Umum Karsa Husada Batu

Disusun Oleh:

Jayanti Indrayani

15070300011142

PROGRAM PROFESI NERS

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2017
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN & ASUHAN KEPERAWATAN

Pada An. N dengan Dengue Haemorrhagic Fever (DHF)

Untuk Memenuhi Tugas Profesi Ners Departemen Anak

Ruang Seruni Rumah Sakit Umum Karsa Husada Batu

Oleh :

Jayanti Indrayani

NIM. 150070300011142

Telah diperiksa dan disetujui pada :

Hari :

Tanggal :

Pembimbing Akademik Pembimbing Lahan

( ) ( ___)
1. Definisi
Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit menular yang

disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk

Aedes aegypti (betina). Penyakit ini dapat menyerang semua orang dan

dapat mengakibatkan kematian terutama pada anak . ( Suroso Thomas,

FKUI, 2002 )
2. Klasifikasi
Sesuai dengan patokan dari WHO (Sumarmo, 1983) antara lain :
1. Derajat I (Ringan)
Demam mendadak 2 sampai 7 hari disertai gejala klinik lain,

dengan manifestasi perdarahan ringan. Yaitu uji tes rumple leed yang

positif.
2. Derajat II (Sedang )
Golongan ini lebih berat daripada derajat pertama, oleh karena

ditemukan perdarahan spontan di kulit dan manifestasi perdarahan lain

yaitu epitaksis (mimisan), perdarahan gusi, hematemesis dan melen

(muntah darah). Gangguan aliran darah perifer ringan yaitu kulit yang

teraba dingin dan lembab.

3. Derajat III ( Berat )

Penderita syok berat dengan gejala klinik ditemukannya

kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lembut, tekanan nadi menurun

(< 20 mmHg) atau hipotensi disertai kulit yang dingin, lembab, dan

penderita menjadi gelisah.

4. Derajat IV

Penderita syok berat (profound shock) dengan tensi yang tidak

dapat diukur dan nadi yang tidak dapat diraba.

3. Etiologi

Virus dengue serotipe 1,2,3 dan 4 yang di tularkan melalui vektor

nyamuk Aedes Aegypti. Nyamuk Aedes Albopictus, Aedes Polynesiensis,


dan beberapa spesies lain merupakan vektor yang kurang berperan.

Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur

hidup terhadap serotipe bersangkutan tetapi tidak ada prlindungan

terhadap serotipe lain. (capita selekta 2:419)

Demam berdarah Dengue di sebabkan oleh virus dengue yang

termasuk dalam genus Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30

nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal. (Ilmu penyakit dalam vol 3

hal 1709)

4. Epidemiologi
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang

disebabkan oleh virus dengue dan mengakibatkan spectrum manifestasi

klinis yang bervariasi antara yang paling ringan, demam dengue (DD),

DBD dan demam dengue yang disertai renjatan atau dengue shock

syndrome (DSS); ditularkan nyamuk Aedes aegypti dan Ae.albopictus

yang terinfeksi. Host alami DBD adalah manusia, agentnya adalah virus
dengue yang termasuk ke dalam family Flaviridae dan genus Flavivirus,

terdiri dari 4 serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den3 dan Den-4. Dalam 50

tahun terakhir, kasus DBD meningkat 30 kali lipat dengan peningkatan

ekspansi geografis ke negara-negara baru dan, dalam dekade ini, dari

kota ke lokasi pedesaan. Penderitanya banyak ditemukan di sebagian

besar wilayah tropis dan subtropis, terutama Asia Tenggara, Amerika

Tengah, Amerika dan Karibia.


Virus dengue dilaporkan telah menjangkiti lebih dari 100 negara,

terutama di daerah perkotaan yang berpenduduk padat dan pemukiman

di Brazil dan bagian lain Amerika Selatan, Karibia, Asia Tenggara, dan

India. Jumlah orang yang terinfeksi diperkirakan sekitar 50 sampai 100

juta orang, setengahnya dirawat di rumah sakit dan mengakibatkan

22.000 kematian setiap tahun; diperkirakan 2,5 miliar orang atau hampir
40 persen populasi dunia, tinggal di daerah endemis DBD yang

memungkinkan terinfeksi virus dengue melalui gigitan nyamuk setempat.

Jumlah kasus DBD tidak pernah menurun di beberapa daerah

tropik dan subtropik bahkan cenderung terus meningkat dan banyak

menimbulkan kematian pada anak8 90% di antaranya menyerang anak di

bawah 15 tahun. Di Indonesia, setiap tahunnya selalu terjadi KLB di

beberapa provinsi, yang terbesar terjadi tahun 1998 dan 2004 dengan

jumlah penderita 79.480 orang dengan kematian sebanyak 800 orang

lebih.14 Pada tahun-tahun berikutnya jumlah kasus terus naik tapi jumlah

kematian turun secara bermakna dibandingkan tahun 2004. Misalnya

jumlah kasus tahun 2008 sebanyak 137.469 orang dengan kematian

1.187 orang atau case fatality rate (CFR) 0,86% serta kasus tahun 2009

sebanyak 154.855 orang dengan kematian 1.384 orang atau CFR 0,89%.

5. Patofisiologis (terlampir)

6. Manifestasi klinis

Seperti pada infeksi virus yang lain, maka infeksi virus Dengue juga

merupakan suatu self limiting infectious disease yang akan berakhir

sekitar 2-7 hari. Infeksi virus Dengue pada manusia mengakibatkan suatu

spektrum manifestasi klinis yang bervariasi antara penyakit yang paling

ringan, dengue fever, dengue hemmorrhagic fever dan dengue shock

syndrom. (Depkes,2006)

a. Demam

Demam mendadak disertai dengan gejala klinis yang tidak spesifik

seperti anoreksia, lemah, nyeri pada punggung, tulang sendi dan kepala.

Pada umumnya gejala klinik ini tidak mengkhawatirkan. Demam

berlangsung antara 2-7 hari kemudian turun secara lysis.


b. Perdarahan

Umumnya muncul pada hari kedua sampai ketiga demam bentuk

perdarahan dapat berupa uji rumple leed positif, petechiae, purpura,

echimosis, epistasis, perdarahan gusi dan yang paling parah adalah

melena.

c. Hepatomegali

Hati pada umumnya dapat diraba pada pemulaan demam,

kadangkadang juga di temukannya nyeri, tetapi biasanya disertai ikterus.

d. Shock

Shock biasanya terjadi pada saat demam menurun yaitu hari

ketiga dan ketujuh sakit. Shock yang terjadi dalam periode demam

biasanya mempunyai prognosa buruk. Penderita DHF memperlihatkan

kegagalan peredaran darah dimulai dengan kulit yang terasa lembab dan

dingin pada ujung hidung, jari dan kaki, sianosis sekitar mulut dan

akhirnya shock.

e. Trombositopenia

Trombositopenia adalah berkurangnya jumlah trombosit, apabila

dibawah 150.000/mm3 biasanya di temukan di antara hari ketiga sampai

ketujuh sakit.

f. Kenaikan Nilai Hematokrit

Meningkatnya nilai hematokrit merupakan indikator yang peka

terhadap terjadinya shock sehingga perlu di lakukan pemeriksaan secara

periodik.

g. Gejala Klinik Lain

Gejala Klinik Lain yang dapat menyertai penderita adalah

epigastrium, muntah-muntah, diare dan kejang-kejang (Depkes ,2006)


Kriteria WHO, diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal dibawah ini

terpenuhi:
Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik/ pola

pelana.
Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut
Uji bendung positif
Petekie, ekimosis atau purpura
Perdarahan mukosa atau perdarahan dari tempat lain
Hematemesis atau melena
Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ul)
Terdapat minimal satu tanda-tanda kebocoran plasma sebagai

berikut:
Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standard sesuai

dengan umur dan jenis kelamin


Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,

dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.


Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asistes atau

hipoproteinemia.

7. Pemeriksaan Diagnostik
Setiap penderita dilakukan pemeriksaan laboratorium yaitu

pemeriksaan lengkap darah, sangatlah penting karena pemeriksaan ini

berfungsi untuk mengikuti perkembangan dan diagnosa penyakit.


Darah adalah jaringan cair yang terdiri atas dua bagian. Bagian

cairan disebut plasma dan bagian padat disebut sel darah. Volume dari

darah secara keseluruhan sekitar 5 liter, yaitu 55 % cairan dan 45 %

sisanya terdiri dari sel darah yang dipadatkan yang berkisar 40-47 %

(Evelyn Pearce,1990)

Sel darah meliputi sel darah merah (eritrosit), sel darah putih

(lekosit) dan trombosit. Eritrosit bentukya seperti cakram kecil bikonkaf,

cekung pada sisinya. Jumlah eritrosit pada darah normalnya 5.000.000/l.

Lekosit terdiri dari dua yaitu non granulosit dan granulosit. Sel granulosit

terdiri dari neutrofil, eosinofil, basofil. Sel non granulosit terdiri dari limfosit

dan monosit. Sel lekosit merupakan sel yang peka terhadap masuknya
agen asing dalam tubuh dan berfungsi sebagai sistim pertahanan tubuh.

Jumlah normal dalam darah 8.000 l. Sel ini diproduksi di sumsum tulang

belakang.

Trombosit ukurannya sepertiga ukuran sel darah merah.

Jumlahnya sekitar 300.000/l. Perannya penting dalam penggumpalan

darah (A.V.Hoffbrand,J.e.Pettit,1996).

Adapun pemeriksaan yang dilakukan antara lain :

1. Pemeriksaan uji Tourniquet/Rumple leed

Percobaan ini bermaksud menguji ketahanan kapiler darah pada

penderita DHF. Uji rumpel leed merupakan salah satu pemeriksaan

penyaring untuk mendeteksi kelainan sistem vaskuler dan trombosit.

Dinyatakan positif jika terdapat lebih dari 10 ptechiae dalam diameter

2,8 cm di lengan bawah bagian depan termasuk lipatan siku

(Depkes,2006).

Prinsip : Bila dinding kapiler rusak maka dengan pembendungan akan

tampak sebagai bercak merah kecil pada permukaan kulit

yang di sebut Ptechiae (R.Ganda Soebrata,2004).

2. Pemeriksaan Hemoglobin

Kasus DHF terjadi peningkatan kadar hemoglobin dikarenakan

terjadi kebocoran /perembesan pembuluh darah sehingga cairan

plasmanya akan keluar dan menyebabkan terjadinya

hemokonsentrasi. Kenaikan kadar hemoglobin >14 gr/100 ml.

Pemeriksaan kadar hemaglobin dapat dilakukan dengan metode sahli

dan fotoelektrik (cianmeth hemoglobin), metode yang dilakukan adalah

metode fotoelektrik.

Prinsip : Metode fotoelektrik (cianmeth hemoglobin) Hemoglobin darah

diubah menjadi cianmeth hemoglobin dalam larutan yang berisi


kalium ferrisianida dan kalium sianida. Absorbansi larutan

diukur pada panjang gelombang 540 nm/filter hijau (R.Ganda

Soebrata,2004).

3. Pemeriksaan Hematokrit

Peningkatan nilai hematokrit menggambarkan terjadinya

hemokonsentrasi, yang merupakan indikator terjadinya perembesan

plasma. Nilai peningkatan ini lebih dari 20%. Pemeriksaan kadar

hematokrit dapat dilakukan dengan metode makro dan mikro.

Prinsip : Mikrometode yaitu menghitung volume semua eritrosit dalam

100 ml darah dan disebut dengan % dari volume darah itu

(R.Ganda Soebrata,2004).

4. Pemeriksaan Trombosit

Pemeriksaan jumlah trombosit ini dilakukan pertama kali pada

saat pasien didiagnosa sebagai pasien DHF, Pemeriksaan trombosit

perlu di lakukan pengulangan sampai terbukti bahwa jumlah trombosit

tersebut normal atau menurun. Penurunan jumlah trombosit <

100.000 /l atau kurang dari 1-2 trombosit/ lapang pandang dengan

rata-rata pemeriksaan 10 lapang pandang pada pemeriksaan hapusan

darah tepi.

Prinsip : Darah diencerkan dengan larutan isotonis (larutan yang

melisiskan semua sel kecuali sel trombosit) dimaksudkan

dalam bilik hitung dan dihitung dengan menggunakan faktor

konversi jumlah trombosit per /l darah (R.Ganda

Soebrata,2004).

5. Pemeriksaan Lekosit
Kasus DHF ditemukan jumlah bervariasi mulai dari lekositosis

ringan sampai lekopenia ringan.

Prinsip : Darah diencerkan dengan larutan isotonis (larutan yang

melisiskan semua sel kecuali sel lekosit) dimasukkan bilik

hitung dengan menggunakan faktor konversi jumlah lekosit

per /l darah (R.Ganda Soebrata,2004).

6. Pemeriksaan Bleding time (BT)

Pasien DHF pada masa berdarah, masa perdarahan lebih

memanjang menutup kebocoran dinding pembuluh darah tersebut,

sehingga jumlah trombosit dalam darah berkurang. Berkurangnya

jumlah trombosit dalam darah akan menyebabkan terjadinya gangguan

hemostatis sehingga waktu perdarahan dan pembekuan menjadi

memanjang.

Prinsip : Waktu perdarahan adalah waktu dimana terjadinya perdarahan

setelah dilakukan penusukan pada kulit cuping telinga dan

berhentinya perdarahan tersebut secara spontan. (R.Ganda

Soebrata,2004).

7. Pemeriksaan Clothing time (CT )

Pemeriksaan ini juga memanjang dikarenakan terjadinya

gangguan hemostatis.

Prinsip : Sejumlah darah tertentu segera setelah diambil diukur

waktunya mulai dari keluarnya darah sampai membeku.

(R.Ganda Soebrata,2004).

8. Pemeriksaan Limfosit Plasma Biru (LPB)

Pada pemeriksaan darah hapus ditemukan limfosit atipik atau

limfosit plasma biru 4 % dengan berbagai macam bentuk :

monositoid,plasmositoid dan blastoid. Terdapat limfosit Monositoid


mempunyai hubungan dengan DHF derajat penyakit II dan IgG positif,

dan limfosit non monositoid (plasmositoid dan blastoid) dengan derajat

penyakit I dan IgM positif. (E.N Kosasih,1984).

Prinsip: Menghitung jumlah limfosit plasma biru dalam 100 sel jenis-jenis

lekosit.

9. Pemeriksaan Imunoessei dot-blot

Hasil positif IgG menandakan adanya infeksi sekunder dengue,

dan IgM positif menandakan infeksi primer. Tes ini mempunyai

kelemahan karena sensitifitas pada infeksi sekunder lebih tinggi, tetapi

pada infeksi primer lebih rendah, dan harganya relatif lebih mahal.

Prinsip : Antibodi dengue baik IgM atau IgG dalam serum akan diikat

oleh anti-human IgM dan IgG yang dilapiskan pada dua garis

silang di strip nitrosellulosa (Suroso dan Torry

Chrishantoro,2004).

8. Penatalaksanaan
Pengobatan bersifat simptomatik dan suportif. Penderita

dianjurkan beristirahat saat sedang demam. Pengobatan ditujukan untuk

mencegah penderita DBd masuk ke fase syok. Pertolongan pertama yang

dilakukan adalah memberi minum penderita sebanyak mungkin, memberi

obat penurun panas golongan parasetamol, kompres dengan air hangat.

Apabila penderita tidak dapat minum atau mntah-muntah maka pasang

infus cairan ringer laktat atau NaCl dan segera rujuk ke rumah sakit

(Departemen Kesehatan RI, 2005).

Prinsip-prinsip pelaksanaan rencana askep pada anak dengan

DBD/ DHF.
1. Mempertahankan pemenuhan kebutuhan cairan. Melalui

infus (biasanya ranger laktat)


2. Mempertahankan suhu tubuh dalam batas normal.
3. Mempertahankan kebutuhan nut risi.
4. Mempertahankan perfusi jaringan perifer agar tetap adekuat.
5. Mempertahankan rasa nyaman pasien.
6. Mengurangi kecemasan klien.
7. Pemberian obat-obatan:antibiotic, antipiretik, anti konvulsi

jika terjadi kejang


8. Monitor tanda tanda perdarahan lebih lanjut
9. Periksa HB, HT, dan trombosit tiap hari

Alur Penanganan Pasien Dengan Demam Berdarah Dengue

9. Komplikasi
Dengue Syok Syndrome (DSS) merupakan kegagalan peredarah

darah pada pasien DBD karena kehilangan plasma dalam darah akibat

peningkatan permeabilitas kapiler darah. Syok terjadi apabila darah

sudah semakin mengental karena plasma darah merembes keluar dari

pembuluh darah (Nadesul, 2007). DSS dapat terjadi pada DBD derajat III

dan derajat IV. Pasien DBD derajat III mengalami syok, yaitu nadi cepat

dan lemah, tekanan darah menurun, pasien gelisah, sianosis di sekitar

mulut, kulit teraba dingin dan lembab terutama pada ujung hidung, jari

tangan, dan kaki (Departemen Kesehatan RI, 2005). Pada pasien DBD

derajat IV pasien mnaglami syok dengan tanda yaitu penurunan tingkat

kesadaran, denyut nadi tidak teraba, dan tekana darah tidak terukur

(Anggraeni, 2010).

10. Pencegahan
a. Pencegahan dengan 3M
Pencegahan demam berdarah atau DHF dapat dilakukan dengan

cara 3 M, yaitu :
1. Menguras dan menyikat bak mandi / penampungan air
sekurang-kurangnya 1 minggu sekali agar nyamuk demam
berdarah yang menempel akan lepas.
2. Menutup tempat penampungan air dengan rapi dan rapat
setelah mengambil / mengisi air akan mencegah nyamuk
demam berdarah masuk untuk bertelur dan berkembang biak.
3. Mengubur barang-barang bekas, seperti ban, aki, botol,
kaleng, plastik yang dapat digenangi air, jangan sampai terisi
air hujan.
b. Pemberantasan Vektor
Perlindungan Perseorangan :
Memberikan anjuran untuk mencegah gigitan nyamuk
Aedes Aegypti yaitu meniadakan sarang nyamuknya di dalam
rumah, yaitu dengan melakukan penyemprotan dengan obat anti
serangga yang dapat dibeli di toko-toko seperti : baygon, raid dan
lain-lain.
1. Pemberantasan vektor Jangka Panjang (pencegahan)

a. Satu cara pokok untuk pemberantasan vektor jangka


panjang ialah usaha peniadaan sarang nyamuk.
b. Vas bunga dikosongkan setiap minggu.
c. Menguras kamar mandi seminggu seklai, yaitu dengan
menggosok dinding bagian dalam dari bak mani tersebut.
d. Tempat-tempat persediaan air agar dikosongkan lebih dahulu
sebelum diisi kembali, maksudnya agar larva-larva dapat
disingkirkan.
2. Dalam usaha jangka panjang untuk daerah dengan vektor tinggi
dan riwayat wabah DHF, maka kegiatan Puskesmas lebih lanjut
yaitu:
a. Abatesasi untuk membunuh larva dan nyamuk,
menggunakannya yaitu dengan cara ditaburkan di dalam bak
mandi.
b. Fogging dengan Malathion atau Fonitrothion, yaitu dengan
cara disemprotkan ke rumah-rumah penduduk dan di sekitar
rumah.
3. Pemberantasan vektor dalam keadaan wabah :
Kegiatan Puskesmas adalah membantu :
- Tim Propinsi / Diti II untuk survai larva dan nyamuk.
- Membantu penyiapan rumah penduduk untuk difogging.
Adanya vektor berhubungan dengan beberapa faktor, yaitu :
a. Kebiasaan masyarakat menampung air bersih.
b. Sanitasi lingkungan yang jelek.
c. Penyediaan air bersih yang berguna.
11. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a) Pola persepsi kesehatan dan pemeliharaan kesehatan
Riwayat demam dengue, dengan minum penurun panas

dan istirahat demam tidak dirasakan lagi


Lingkungan rumah yang berdempet, banyak air tergenang,

pembuangan barang-barang bekas dan kaleng-kaleng

bekas sembarangan
Riwayat demam kembali dengan tanda-tanda perdarahan

(tanda-tanda perdarahan yang khas dari demam berdarah

dengue)
b) Pola nutrisi metabolic
Intake menurun karena mual dan muntah
Adakah penurunan BB?
Adakah kesulitan menelan?
Demam tinggi yang tiba-tiba sampai kadang menggigil

selama 2-7 hari


c) Pola eliminasi
Konstipasi
Diare
Tinja berwarna hitam pada perdarahan hebat
Produksi urine menurun (kurang dari 1cc/KgBb/jam) pada

syok
d) Pola aktivitas dan latihan
Badan lemah, nyeri otot dan sendi
Tidak bisa beraktivitas, pegal-pegal seluruh badan
e) Pola istirahat dan tidur
Istirahat dan tidur terganggu karena demam, nyeri kepala,

nyeri otot dan sendi, gelisah


f) Pola persepsi kognitif
Apakah yang diketahui klien dan keluarga tentang

penyakitnya?
Apakah yang diharapkan klien/keluarga terhadap sakitnya
g) Pola persepsi dan konsep diri
Apakah klien merasa puas terhadap keadaan dirinya?
Adakah perasaan malu terhadap penyakitnya?
h) Pola mekanisme koping dan toleransi terhadap stress
Adanya perasaan cemas, takut terhadap penyakitnya
Ingin ditemani orang tua atau orang terdekat saat sakit
i) Pola reproduksi seksual
Pada anak perempuan apakah ada perdarahan pervagina

(bukan menstruasi)?
j) Pola sistem kepercayaan
Menyerahkan penyakitnya kepada Tuhan / pasrah
Menyalahkan Tuhan kaerna penyakitnya
Memanggil pemuka agama untuk mendoakan

2. Diagnosa Keperawatan

1. Hipertermi yang berhubungan dengan proses infeksi virus dengue

2. Risiko tinggi kekurangan volume cairan vascular yang

berhubungan dengan pindahnya cairan dari ruang intravascular ke

ruang ekstravaskular

3. Risiko tinggi syok hipovolemik yang berhubungan dengan

perdarahan

4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan

dengan intake nutrisi yang tidak adekuat

5. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik

3. Rencana Keperawatan

a. Hipertermi yang berhubungan dengan proses infeksi virus dengue

Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x24 jam hipertermi dapat

teratasi

KH : Thermoregulasi

1) Suhu tubuh normal (36-370 C)

2) Pasien mengatakan tidak panas lagi

Intervensi

NIC :

1) Observasi TTV : suhu, nadi, tekanan darah, pernapasan

2) Berikan penjelasan tentang penyebab demam atau peningkatan suhu

tubuh

3) Beri kompres hangat di daerah ketiak dan dahi


4) Anjurkan klien banyak minum 1-2 liter / hari

5) Anjurkan klien untuk istirahat di tempat tidur / tirah baring

6) Anjurkan untuk menggunakan pakaian yang tipis dan menyerap keringat

7) Monitor dan catat intake dan output dan berikan cairan intravena sesuai

program medic

8) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat antipiretik

b. Risiko tinggi kekurangan volume cairan vascular yang berhubungan

dengan pindahnya cairan dari ruang intravascular ke ruang

ekstravaskular

Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x24 jam deficit volume

cairan dapat teratasi

KH :

NOC : Fluid balance

Hydration

Nutrition Status : food and fluid intake

1) Klien tidak mengalami kekurangan volume cairan vaskuler yang ditandai

dengan TTV stabil dalam batas normal

2) Produksi urine 1 cc/KgBb/jam

3) Tidak ada tanda-tanda dehidrasi

Intervensi

NIC : Fluid Manajemen

1) Observasi TTV : suhu, nadi, tekanan darah, pernapasan

2) Kaji tanda dan gejala kurang volume cairan (selaput mukosa kering, rasa

haus dan produksi urine menurun)

3) Monitor dan catat cairan yang masuk dan keluar

4) Beri minum yang cukup dan sesuaikan dengan jumlah cairan infuse
5) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian cairan intravena

6) Kolaborasi dengan petugas laboratorium dalam pemeriksaan trombosit,

hematokrit dan hemoglobin

c. Risiko tinggi syok hipovolemik yang berhubungan dengan perdarahan

Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x24 jam syok hipovolemik

tidak terjadi

KH :

1) TTV stabil dalam batas normal

2) Hematokrit dalam batas normal ( L : 40-52 %, P : 35-47 % )

3) Hemoglobin dalam batas normal ( L : 11,5-16,5 g/dL, P : 13-17,5 g/dL )

4) Trombosit dalam batas normal (150.000-400.000 /mm3 )

5) Tidak terjadi tanda-tanda syok

Intervensi

1) Observasi TTV : suhu, nadi, tekanan darah, pernapasan

2) Monitor tanda-tanda perdarahan

3) Observasi perkembangan bintik-bintik merah di kulit, keringat dingin, kulit

lembab dan dingin serta tanda-tanda sianosis

4) Bila terjadi syok hipovolemik, baringkan pasien dalam posisi datar

5) Segera puasakan pasien bila terjadi perdarahan saluran pencernaan

6) Anjurkan pada pasien dan keluarga untuk segera melapor jika ada tanda-

tanda perdarahan

7) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian tranfusi dan cairan parenteral

8) Kolaborasi dengan petugas laboratorium dalam pemeriksaan trombosit,

hematokrit dan hemoglobin


DAFTAR PUSTAKA

Abdoerrachman MH. 2002. Demam : Patogenesis dan Pengobatan. In:


Soedarmo dkk (ed). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Infeksi dan Penyakit
Tropis Edisi Pertama. Jakarta: IDAI, pp: 27-51.

Buyton & Hall. (1997). Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta; EGC.

Doenges, E. Merylin. (2000). Rencana asuhan keperawatan. Jakarta; EGC.

Kresno SB. 2001. Respons Imun terhadap Infeksi Virus. In: Imunologi
Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Jakarta : FK UI, pp: 178-181.

Luheshi GN, Gardner JD, Rushforth DA, Luodon SA, Rothwell NJ. 2000. Leptin
actions on food intake and body temperature are mediated by IL-1.
Neurobiology Journal, pp: 7047-52.

Nainggolan L, Chen K, Pohan HT, Suhendro. 2006. Demam Berdarah Dengue.


In: In: Sudoyo dkk (ed). Buku Ajar Ilmu Peyakit Dalam Jilid III Edisi IV.
Jakarta: FKUI, pp: 1731-1736.

Noer, Syaifullah. (2003). Buku Ajar Ilmu penyakit dalam. Edisi II. Jakarta; EGC.

Soedarmo PS. 2002. Infeksi Virus Dengue. In: Soedarmo dkk (ed). Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Anak, Infeksi dan Penyakit Tropis Edisi Pertama. Jakarta:
IDAI, pp: 176-209.

Sylvia, A. (1995). Patofisiologi : Konsep klinis proses penyakit. Edisi 5. Jakarta;


EGC.

Waspadji, Sarwono. (1998). Ilmu penyakit dalam. Edisi III. Jakarta; Balai penerbit
FKUI.

Anda mungkin juga menyukai