TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Anatomi
Tonsil palatina merupakan dua jaringan limfoid yang terletak pada dinding
lateral orofaring didalam fossa tonsilaris. Setiap tonsil diliputi oleh membran
mukosa, dan permukaan medialnya yang bebas menonjol kedalam faring. Pada
permukaannya terdapat banyak lubang kecil, yang membentuk kripta tonsilaris.
Permukaan lateral tonsil palatina ini diliputi oleh selapis jaringan fibrosa, disebut
capsula.4
12
3.2 Gambar Anatomi Faring
13
a. facialis, sedangkan a. carotis intena terletak 1 inci (2,5 cm) dibelakang dan
lateral tonsil.4
14
Abses peritonsil atau Quinsy merupakan suatu infeksi akut dengan
terkumpulnya pus pada jaringan ikat longgar antara m. konstriktor faring dengan
tonsil pada fossa tonsil.1
3.3 Epidemiologi
Abses peritonsil dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering
terjadi pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka
yang menurun sistem imunnya, dan dapat menyebabkan obstruksi jalan napas.
Insiden abses peritonsil pada laki dan perempuan adalah sama. Bukti
menunjukkan bahwa tonsilitis dan juga infeksi pada gigi merupakan predisposisi
abses peritonsiler.1
3.4 Etiologi
Proses ini terjadi sebagai komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang
bersumber dari kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman
penyebab sama dengan penyebab tonsilitis, dapat ditemukan kuman aerob dan
anaerob.5
15
Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler adalah
Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus
aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang
berperan adalah Fusobacterium. Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium, dan
Peptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan abses peritonsiler diduga disebabkan
karena kombinasi antara organisme aerob dan anaerob.5
3.5 Patofisiologi
Cavitas oral, uvula, arcus anterior, arcus posterior dan tonsil adalah tempat-
tempat yang paling sering terbentuk abses. Diantara arcus anterior dan posterior
terdapat ruang peritonsiler, ruang retrofaringeal, ruang parafaringeal dan banyak
pembuluh darah. Kebanyakan abses peritonsiler didahului penyakit
sebelumnya di tonsil, seperti tonsilitis. Apabila terjadi infeksi akut di tonsil
ataupun daerah disekitar tonsil seperti karies molar rahang atas, maka infeksi
tersebut akan menyebar ke ruang peritonsiler sehingga menyebabkan selulitis
peritonsiler atau bisa juga terjadi obstruksi di kelenjar Weber. Kelenjar
Weber adalah kelenjar saliva yang terletak di pole tonsil, pole superior tonsil dan
duktusnya menuju fossa tonsilaris. Apabila terdapat penyakit di tonsil, tonsillitis
kronis dan lain-lain maka akan menyebabkan obstruksi di duktus tersebut dan
menyebabkan stasis yaitu adanya kolonisasi bakteri sehingga terjadi infeksi
bakteri yang berlanjut menjadi selulitis. Jika selulitis ini tidak diterapi dengan
baik maka akan berlanjut menjadi abses peritonsiler. Abses dapat pecah sendiri,
sembuh sendiri atau menyebar ke ruang retrofaring sampai ruang parafaring.
Gangguan ini juga bisa berkembang menjadi mediastinitis melalui pembuluh
darah karotis dan bisa sampai terjadi sepsis dan menyebabkan kematian.
16
eksudatif pertama menjadi peritonsilitis dan kemudian terjadi pembentukan abses
yang sebenarnya (frank abscess formation).
Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar,
oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering
menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak. Abses
peritonsil juga dapat terbentuk di bagian inferior, namun jarang. Pada stadium
permulaan (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak juga permukaan yang
hiperemis. Bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah tersebut lebih
lunak dan berwarna kekuning-kuningan. Pembengkakan peritonsil akan
mendorong tonsil ke tengah, depan, bawah, dan uvula juga membengkak serta
terdorong ke sisi kontralateral.
Selain gejala dan tanda tonsilitis akut, terdapat juga nyeri saat menelan
(odinofagia) yang hebat, umumnya pada sisi yang sama dan nyeri telinga
(otalgia), muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore), banyak ludah
(hipersalivasi), suara sengau (rinolalia), dan kadang-kadang sukar membuka
mulut (trismus), serta pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri tekan
3.7 Diagnosis
1. Anamnesis
17
Informasi dari pasien sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis
abses peritonsil. Pada anamnesa ditemukan sulit menelan dan sakit menelan,
sakit membuka mulut (trismus), banyak air ludah (hipersalivasai), suara
gumam, dan pembengkakan pada leher (kelenjar submandibular) disertai
nyeri. 5
2. Pemeriksaan Fisik
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Hitung darah lengkap pengukuran kadar elektrolit dan kultur darah. Karena
pasien dengan abses peritonsil seringkali dalam keadaan sepsis dan
menunjukkan tingkat dehidrasi yang bervariasi akibat tidak tercukupinya
asupan makanan. Yang merupakan gold standar untuk mendiagnosa abses
peritonsilar adalah dengan mengumpulkan pus dari abses menggunakan
aspirasi jarum.
18
b. Throat culture atau throat swab and culture diperlukan untuk identifikasi
organisme yang infeksius. Hasilnya dapat digunakan untuk pemilihan
antibiotik yang tepat dan efektif, untuk mencegah timbulnya resistensi
antibiotik.
c. Radiologi yaitu foto polos jaringan lunak lateral (Lateral soft tissue views)
dari nasofaring dan orofaring dapat membantu untuk menyingkirkan diagnosis
abses retroparingeal.
d. CT scan biasanya tampak kumpulan cairan hypodense di apeks tonsil yang
terinfeksi (the affected tonsil), dengan peripheral rim enhancement.
Gambaran lainnya termasuk pembesaran asimetrik tonsil dan fossa
sekitarnya.7
Merupakan abses leher dalam yang jarang terjadi. Umumnya terjadi pada
anak dan merupakan abses leher dalam yang terbanyak pada anak. Pada anak
biasanya abses terjadi akibat infeksi saluran nafas atas dengan supurasi pada
kelenjar getah bening yang terdapat pada daerah retrofaring. Kelenjar getah
bening ini biasanya mengalami atropi pada usia 3-4 tahun.
Pada orang dewasa abses retrofaring sering terjadi akibat adanya trauma
tumpul pada mukosa faring, perluasan abses dari struktur yang berdekatan.
b. Abses Parafaring
Abses parafaring dapat terjadi setelah infeksi faring, tonsil, adenoid,
gigi, parotis, atau kelenjar limfatik. Ruang parafaring dapat mengalami infeksi
dengan cara: 1) akibat tusukan jarum secara langsung pada saat melakukan
19
tonsilektomi dengan analgesia, atau 2) Pada banyak kasus abses parafaring
merupakan perluasan dari abses leher dalam yang berdekatan seperti; abses
peritonsil, abses submandibula, abses retrofaring maupun mastikator. Gejala
abses parafaring berupa demam, trismus, nyeri tenggorok, odinofagia dan
disfagia. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pembengkakan di daerah parafaring,
pendorongan dinding lateral faring ke medial, dan angulus mandibula tidak
teraba.2,3
c. Abses Submandibula
Pasien biasanya akan mengeluh nyeri di rongga mulut, air liur banyak,
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pembengkakan di daerah submandibula,
fluktuatif, lidah terangkat ke atas dan terdorong ke belakang, angulus mandibula
dapat diraba. Pada aspirasi didapatkan pus. Ludwigs angina merupakan
sellulitis di daerah submandibula, dengan tidak ada fokal abses. Biasanya
akan mengenai kedua sisi submandibula, air liur yang banyak, trismus, nyeri,
disfagia, massa di submandibula, sesak nafas akibat sumbatan jalan nafas oleh
lidah yang terangkat ke atas dan terdorong ke belakang.2,3
3.9 Tatalaksana
1) Terapi
Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian di
insisi untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah di daerah yang paling
20
menonjol dan lunak atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar
uvula dengan geraham atas terakhir pada sisi yang sakit.5
2) Medikamentosa.
a. Dapat diberikan antibiotika sebagai berikut :
a) Penicillin 600.000-1.200.000 IU, atau
b) Ampicillin 4 x 250-400 mg/hari, atau
c) Amoksisilin 3 x 250-500 mg/hari, atau
d) Sefalosporin 3-4 x 250-500 mg/hari, atau
e) Metronidazol 3-4 x 250-500 mg/hari
b. Analgetik antipiretik seperti parasetamol 3-4 x 250-500 mg/hari
c. Obat kumur antiseptik.3,6,10
3) Operatif
1. Insisi dan drainase
a. Teknik insisi
21
xylocaine spray atau menggunakan lidokain 4-5% atau tetrakain 2%
untuk mencegah keterlibatan jaringan tonsil yang lain.
22
Model terapi abses peritonsil yang digunakan sampai saat ini,
pertama insisi dan drainase serta yang kedua tonsilektomi. Saat ini ada
beberapa penelitian yang mendiskusikan tentang aspirasi
menggunakan jarum sebagai salah satu terapi bedah pada abses
peritonsil.8
2. Teknik aspirasi
23
Tindakan dilakukan menggunakan semprit 10 ml, dan jarum
no.18 setelah pemberian anestesi topical (misalnya xylocain spray) dan
infiltrasi anestesi local (misalnya lidokain).10
3. Tonsilektomi
24
2. Tonsilektomi a tiede : dilakukan 3-4 hari setelah insisi dan
drainase.
3. Tonsilektomi a froid : dilakukan 4-6 minggu setelah drainase.
25
1. Abses pecah spontan, mengakibatkan perdarahan aspirasi paru, atau piema.
BAB IV
ANALISIS KASUS
26
ataupun minuman terhalangi untuk disalurkan melalui mulut ke saluran pencernaan
selanjutnya.
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien dicurigai menderita abses
peritonsil. Untuk memastikan diagnosis maka dilakukan aspirasi jarum. Namun, dari
hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik sebenarnya dapat ditegakkan diagnosa abses
peritonsil pada pasien. Tindakan aspirasi abses dilakukan menggunakan semprit 10
cc. Lokasi aspirasi adalah pada titik atau daerah paling berfluktuasi atau pada tempat
pembengkakan maksimum. Dari tindakan aspirasi jarum didapatkan hasil pus (+).
27
Berdasarkan hasil anamnesis, pemerksaan fisik dan aspirasi jarum dapat
disimpulkan bahwa pasien mengalami abses peritonsil.
28
BAB III
KESIMPULAN
29
DAFTAR PUSTAKA
30