Anda di halaman 1dari 19

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi

Cincin Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang mengelilingi faring.


Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam
rongga mulut yaitu tonsil palatina (tonsil faucial), tonsil faring (adenoid), tonsil
lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding
faring/Gerlachs tonsil).4,5

3.1 Gambar Tonsil (Cincin Waldeyer)

Tonsil palatina merupakan dua jaringan limfoid yang terletak pada dinding
lateral orofaring didalam fossa tonsilaris. Setiap tonsil diliputi oleh membran
mukosa, dan permukaan medialnya yang bebas menonjol kedalam faring. Pada
permukaannya terdapat banyak lubang kecil, yang membentuk kripta tonsilaris.
Permukaan lateral tonsil palatina ini diliputi oleh selapis jaringan fibrosa, disebut
capsula.4

12
3.2 Gambar Anatomi Faring

Batas-batas tonsil palatina

- Anterior : Arcus Palatoglossus


- Posterior : Arcus Palatopharyngeus
- Superior : Palatum molle. Disini, tonsil palatina dilanjutkan oleh jaringan
limfoid dipermukaan bawah palatum molle.
- Inferior : sepertiga posterior lidah. Disini, tonsila palatine dilanjutkan oleh
tonsila lingualis.
- Medial : ruang orofaring
- Lateral : Kapsul dipisahkan dari m. konstriktor faring superior oleh jaringan
ikat longgar. Vena palatina eksterna berjalan turun dari palatum molle di
dalam jaringan ikat jarang untuk bergabung dengan plexus venosus
pharyngeus. Lateral dari m. konstriktor faring superior terdapat lengkungan

13
a. facialis, sedangkan a. carotis intena terletak 1 inci (2,5 cm) dibelakang dan
lateral tonsil.4

Perdarahan tonsil didapat dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu:

a. Arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteri tonsilaris


dan arteri palatina asenden.
b. Arteri maksilaris interna dengan cabangnya arteri palatina desenden
c. Arteri lingualis dengan cabangnya arteri lingualis dorsal
d. Arteri faringeal asenden.

Gambar 3.3 Perdarahan Tonsil

Vena-vena menembus m.constrictor pharynges superior dan bergabung


dengan v. palatine eksterna, v. pharyngealis, atau v.facialis. Pembuluh-pembuluh
limfe bergabung dengan nodi lymphoidei profundi. Nodus yang terpenting dari
kelompok ini adalah nodus jugulodigastricus, yang terletak di bawah dan
belakang angulus mandibular.

Ruang peritonsil letaknya berbatasan sebelah medial dengan kapsul tonsil


palatina, sebelah lateral dengan m. kontriktor faring superior, sebelah anterior
dengan arcus anterior dan sebelah posterior dengan arcus posterior.4

3.2 Definisi Abses Peritonsil

14
Abses peritonsil atau Quinsy merupakan suatu infeksi akut dengan
terkumpulnya pus pada jaringan ikat longgar antara m. konstriktor faring dengan
tonsil pada fossa tonsil.1

Gambar 3.2 Abses peritonsil

3.3 Epidemiologi

Abses peritonsil dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering
terjadi pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka
yang menurun sistem imunnya, dan dapat menyebabkan obstruksi jalan napas.
Insiden abses peritonsil pada laki dan perempuan adalah sama. Bukti
menunjukkan bahwa tonsilitis dan juga infeksi pada gigi merupakan predisposisi
abses peritonsiler.1

3.4 Etiologi

Proses ini terjadi sebagai komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang
bersumber dari kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman
penyebab sama dengan penyebab tonsilitis, dapat ditemukan kuman aerob dan
anaerob.5

15
Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler adalah
Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus
aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang
berperan adalah Fusobacterium. Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium, dan
Peptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan abses peritonsiler diduga disebabkan
karena kombinasi antara organisme aerob dan anaerob.5

3.5 Patofisiologi

Cavitas oral, uvula, arcus anterior, arcus posterior dan tonsil adalah tempat-
tempat yang paling sering terbentuk abses. Diantara arcus anterior dan posterior
terdapat ruang peritonsiler, ruang retrofaringeal, ruang parafaringeal dan banyak
pembuluh darah. Kebanyakan abses peritonsiler didahului penyakit
sebelumnya di tonsil, seperti tonsilitis. Apabila terjadi infeksi akut di tonsil
ataupun daerah disekitar tonsil seperti karies molar rahang atas, maka infeksi
tersebut akan menyebar ke ruang peritonsiler sehingga menyebabkan selulitis
peritonsiler atau bisa juga terjadi obstruksi di kelenjar Weber. Kelenjar
Weber adalah kelenjar saliva yang terletak di pole tonsil, pole superior tonsil dan
duktusnya menuju fossa tonsilaris. Apabila terdapat penyakit di tonsil, tonsillitis
kronis dan lain-lain maka akan menyebabkan obstruksi di duktus tersebut dan
menyebabkan stasis yaitu adanya kolonisasi bakteri sehingga terjadi infeksi
bakteri yang berlanjut menjadi selulitis. Jika selulitis ini tidak diterapi dengan
baik maka akan berlanjut menjadi abses peritonsiler. Abses dapat pecah sendiri,
sembuh sendiri atau menyebar ke ruang retrofaring sampai ruang parafaring.
Gangguan ini juga bisa berkembang menjadi mediastinitis melalui pembuluh
darah karotis dan bisa sampai terjadi sepsis dan menyebabkan kematian.

Patofisiologi abses peritonsil belum diketahui sepenuhnya. Namun, teori


yang paling banyak diterima adalah kemajuan (progression) dari episode tonsilitis

16
eksudatif pertama menjadi peritonsilitis dan kemudian terjadi pembentukan abses
yang sebenarnya (frank abscess formation).

Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar,
oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering
menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak. Abses
peritonsil juga dapat terbentuk di bagian inferior, namun jarang. Pada stadium
permulaan (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak juga permukaan yang
hiperemis. Bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah tersebut lebih
lunak dan berwarna kekuning-kuningan. Pembengkakan peritonsil akan
mendorong tonsil ke tengah, depan, bawah, dan uvula juga membengkak serta
terdorong ke sisi kontralateral.

Bila proses terus berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya akan


menyebabkan iritasi pada M. pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses
dapat pecah spontan, sehingga dapat terjadi aspirasi ke paru . Selain itu, abses
peritonsil bisa juga terjadi dengan adanya riwayat tonsilitis kronis atau berulang
(recurrent) sebelumnya.1

3.6 Gejala dan Tanda

Selain gejala dan tanda tonsilitis akut, terdapat juga nyeri saat menelan
(odinofagia) yang hebat, umumnya pada sisi yang sama dan nyeri telinga
(otalgia), muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore), banyak ludah
(hipersalivasi), suara sengau (rinolalia), dan kadang-kadang sukar membuka
mulut (trismus), serta pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri tekan

3.7 Diagnosis
1. Anamnesis

17
Informasi dari pasien sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis
abses peritonsil. Pada anamnesa ditemukan sulit menelan dan sakit menelan,
sakit membuka mulut (trismus), banyak air ludah (hipersalivasai), suara
gumam, dan pembengkakan pada leher (kelenjar submandibular) disertai
nyeri. 5

2. Pemeriksaan Fisik

Inspeksi terperinci daerah yang membengkak mungkin sulit karena


ketidakmampuan pasien membuka mulut. Tonsil bengkak, hiperemis,
mungkin banyak detritus dan terdorong ke arah tengah, depan, dan bawah.
Palatum mole juga tampak membengkak dan menonjol ke depan, serta pada
palpasi palatum mole teraba fluktuasi. Uvula bengkak dan terdorong ke sisi
kontralateral. Abses peritonsil biasanya unilateral dan terletak di pole superior
dari tonsil yang terkena, di fossa supratonsiler. Mukosa di lipatan
supratonsiler tampak pucat dan bahkan seperti bintil-bintil kecil. Diagnosis
jarang diragukan jika pemeriksa melihat pembengkakan peritonsilaris yang
luas, mendorong uvula melewati garis tengah, dengan edema dari palatum
mole dan penonjolan jaringan dari garis tengah.5

3. Pemeriksaan Penunjang

Pada penderita abses peritonsil perlu dilakukan pemeriksaan :

a. Hitung darah lengkap pengukuran kadar elektrolit dan kultur darah. Karena
pasien dengan abses peritonsil seringkali dalam keadaan sepsis dan
menunjukkan tingkat dehidrasi yang bervariasi akibat tidak tercukupinya
asupan makanan. Yang merupakan gold standar untuk mendiagnosa abses
peritonsilar adalah dengan mengumpulkan pus dari abses menggunakan
aspirasi jarum.

18
b. Throat culture atau throat swab and culture diperlukan untuk identifikasi
organisme yang infeksius. Hasilnya dapat digunakan untuk pemilihan
antibiotik yang tepat dan efektif, untuk mencegah timbulnya resistensi
antibiotik.
c. Radiologi yaitu foto polos jaringan lunak lateral (Lateral soft tissue views)
dari nasofaring dan orofaring dapat membantu untuk menyingkirkan diagnosis
abses retroparingeal.
d. CT scan biasanya tampak kumpulan cairan hypodense di apeks tonsil yang
terinfeksi (the affected tonsil), dengan peripheral rim enhancement.
Gambaran lainnya termasuk pembesaran asimetrik tonsil dan fossa
sekitarnya.7

3.8 Diagnosis Banding


a. Abses retrofaring

Merupakan abses leher dalam yang jarang terjadi. Umumnya terjadi pada
anak dan merupakan abses leher dalam yang terbanyak pada anak. Pada anak
biasanya abses terjadi akibat infeksi saluran nafas atas dengan supurasi pada
kelenjar getah bening yang terdapat pada daerah retrofaring. Kelenjar getah
bening ini biasanya mengalami atropi pada usia 3-4 tahun.

Pada orang dewasa abses retrofaring sering terjadi akibat adanya trauma
tumpul pada mukosa faring, perluasan abses dari struktur yang berdekatan.

Gejala klinis berupa demam, nyeri tenggorok, pergerakan leher


terbatas, sesak nafas, odinofagia maupun disfagia. Pada pemeriksaan
didapatkan pembengkakan dinding posterior faring.2,3

b. Abses Parafaring
Abses parafaring dapat terjadi setelah infeksi faring, tonsil, adenoid,
gigi, parotis, atau kelenjar limfatik. Ruang parafaring dapat mengalami infeksi
dengan cara: 1) akibat tusukan jarum secara langsung pada saat melakukan

19
tonsilektomi dengan analgesia, atau 2) Pada banyak kasus abses parafaring
merupakan perluasan dari abses leher dalam yang berdekatan seperti; abses
peritonsil, abses submandibula, abses retrofaring maupun mastikator. Gejala
abses parafaring berupa demam, trismus, nyeri tenggorok, odinofagia dan
disfagia. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pembengkakan di daerah parafaring,
pendorongan dinding lateral faring ke medial, dan angulus mandibula tidak
teraba.2,3

c. Abses Submandibula

Pasien biasanya akan mengeluh nyeri di rongga mulut, air liur banyak,
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pembengkakan di daerah submandibula,
fluktuatif, lidah terangkat ke atas dan terdorong ke belakang, angulus mandibula
dapat diraba. Pada aspirasi didapatkan pus. Ludwigs angina merupakan
sellulitis di daerah submandibula, dengan tidak ada fokal abses. Biasanya
akan mengenai kedua sisi submandibula, air liur yang banyak, trismus, nyeri,
disfagia, massa di submandibula, sesak nafas akibat sumbatan jalan nafas oleh
lidah yang terangkat ke atas dan terdorong ke belakang.2,3

3.9 Tatalaksana
1) Terapi

Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi serta obat-obat


simptomatik. Pasien juga perlu berkumur-kumur dengan cairan hangat atau cairan
antiseptik dan kompres dingin pada leher.5

Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian di
insisi untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah di daerah yang paling

20
menonjol dan lunak atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar
uvula dengan geraham atas terakhir pada sisi yang sakit.5

2) Medikamentosa.
a. Dapat diberikan antibiotika sebagai berikut :
a) Penicillin 600.000-1.200.000 IU, atau
b) Ampicillin 4 x 250-400 mg/hari, atau
c) Amoksisilin 3 x 250-500 mg/hari, atau
d) Sefalosporin 3-4 x 250-500 mg/hari, atau
e) Metronidazol 3-4 x 250-500 mg/hari
b. Analgetik antipiretik seperti parasetamol 3-4 x 250-500 mg/hari
c. Obat kumur antiseptik.3,6,10

3) Operatif
1. Insisi dan drainase

Abses peritonsil merupakan suatu indikasi tindakan yang juga disebut


intraoral drainase. Tujuan utama tindakan ini adalah mendapatkan
drainase abses yang adekuat dan terlokalisir secara cepat. Lokasi insisi
biasanya dapat diidentifikasi pada pembengkakan di daerah pilar-pilar
tonsil atau dipalpasi pada daerah paling berfluktuasi.8-10

a. Teknik insisi

Pada penderita yang sadar, tindakan dapat dilakukan dengan


posisi duduk menggunakan anestesi lokal. Anestesi lokal dapat
dilakukan pada cabang tonsilar dari nervus glossofaringeus (N.IX)
yang memberikan inervasi sensoris mayoritas pada daerah ini, dengan
menyuntikkan lidokain melalui mukosa ke dalam fosa tonsil.

Pada penderita yang memerlukan anestesi umum, posisi


penderita saat tindakan adalah kepala lebih rendah (trendelenberg)
menggunakan ETT (Endotrakeal tube). Anestesi topikal dapat berupa

21
xylocaine spray atau menggunakan lidokain 4-5% atau tetrakain 2%
untuk mencegah keterlibatan jaringan tonsil yang lain.

Lokasi insisi biasanya dapat diidentifikasi pada 9 :

1. Pembengkakan di daerah pilar-pilar tonsil atau dipalpasi pada


daerah yang paling fluktuatif
2. Pada titik yang terletak dua pertiga dari garis khayal yang dibuat
antara dasar uvula dengan molar terakhir.
3. Pada pertengahan garis horizontal antara pertengahan basis uvula
dan M3 atas
4. Pada pertemuan garis vertikal melalui titik potong pinggir medial
pilar anterior dengan lidah dengan garis horizontal melalui basis
uvula.
5. Pada pertemuan garis vertikal melalui pinggir medial M3 bawah
dengan garis horizontal melalui basis uvula Insisi diperdalam
dengan klem dan pus yang keluar langsung dihisap dengan
menggunakan alat penghisap.

Tindakan ini (menghisap pus) penting dilakukan untuk mencegah


aspirasi yang dapat mengakibatkan timbulnya pneumonitis. Biasanya
bila insisi yang dibuat tidak cukup dalam, harus lebih dibuka lagi dan
diperbesar. Setelah cukup banyak pus yang keluar dan lubang insisi
yang cukup besar, penderita kemudian disuruh berkumur dengan
antiseptik dan diberi terapi antibiotika.8,9

Umumnya setelah drainase terjadi, rasa nyeri akan segera


berkurang. Pus yang keluar juga sebaiknya diperiksakan untuk tes
kultur dan sensitifitas, biasanya diambil saat aspirasi (diagnosis).8

b. Drainase dengan aspirasi jarum

22
Model terapi abses peritonsil yang digunakan sampai saat ini,
pertama insisi dan drainase serta yang kedua tonsilektomi. Saat ini ada
beberapa penelitian yang mendiskusikan tentang aspirasi
menggunakan jarum sebagai salah satu terapi bedah pada abses
peritonsil.8

Beberapa keuntungan dari evaluasi penatalaksanaan aspirasi


jarum dibanding insisi dan drainase adalah 8:

1. Mudah untuk dilakukan, sederhana, aman, dan murah.


2. Dapat digunakan untuk konfirmasi diagnosis dengan trauma
minimal (yang biasanya dapat dilakukan sebelum insisi dan
drainase).
3. Dapat ditoleransi (ditahan) oleh penderita / tidak menakutkan.
4. Tidak / kurang mencederai struktur jaringan sekitar.
5. Lebih memudahkan untuk mengumpulkan specimen / pus guna
pemeriksaan mikroskopis dan tes kultur / sensitifitas.
6. Memberikan penyembuhan segera, mengurangi kesakitan.
7. Mencegah prosedur bedah dan anestesi umum.
8. Merupakan prosedur yang dapat dipercaya untuk abses
peritonsil.

Kerugian terapi dengan drainase dengan aspirasi jarum adalah:

1. Bila pus terkumpul kembali dapat menyebabkan infeksi yang


berulang.
2. Tidak dapat melakukan pembersihan kantung pus secara
maksimal.
3. Pus yang tersisa tidak maksimal keluar sehingga dapat
menyebabkan proses penyembuhan lama.8

2. Teknik aspirasi

23
Tindakan dilakukan menggunakan semprit 10 ml, dan jarum
no.18 setelah pemberian anestesi topical (misalnya xylocain spray) dan
infiltrasi anestesi local (misalnya lidokain).10

Lokasi aspirasi pertama adalah pada titik atau daerah paling


berfluktuasi atau pada tempat pembengkakan maksimum. Bila tidak
ditemukan pus, aspirasi kedua dapat dilakukan 1 cm di bawahnya atau
bagian tengah tonsil. Aspirasi jarum, seperti juga insisi dan drainase,
merupakan tindakan yang sulit dan jarang berhasil dilakukan pada anak
dengan abses peritonsil karena biasanya mereka tidak dapat bekerja
sama. Selain itu tindakan tersebut juga dapat menyebabkan aspirasi
darah dan pus ke dalam saluran nafas yang relatif berukuran kecil.10

3. Tonsilektomi

Penderita abses peritonsil terjadi cukup banyak sehingga


tindakan pengangkatan kedua tonsil ini dilakukan untuk memastikan
tidak terjadinya kekambuhan.

Sementara insisi dan drainase abses merupakan tindakan yang


paling banyak diterima sebagai terapi utama untuk abses peritonsil,
beberapa bentuk tonsilektomi kadang-kadang dilakukan.

Waktu pelaksanaan tonsilektomi sebagai terapi abses peritonsil,


bervariasi3,6,8 :

1. Tonsilektomi a chaud: dilakukan segera / bersamaan dengan


drainase abses.

24
2. Tonsilektomi a tiede : dilakukan 3-4 hari setelah insisi dan
drainase.
3. Tonsilektomi a froid : dilakukan 4-6 minggu setelah drainase.

Tonsilektomi merupakan penanganan yang terbaik untuk


mencegah rekurensi abses peritonsil. Pada masa lalu, orang
berpendapat operasi harus dilakukan 2-3 minggu setelah infeksi akut
berkurang. Tetapi setelah 2-3 minggu, menimbulkan bekas luka yang
terdapat pada kapsul tonsil, sehingga tindakan operasi sulit dan
menimbulkan perdarahan serta sisa tonsil.3,8

Saat ini tampaknya dibenarkan bahwa tonsilektomi pada abses


peritonsil, dilakukan dalam anestesi umum, melalui tonsilektomi
secara diseksi dan dalam perlindungan terapi antibiotika adalah suatu
operasi yang memberikan resiko yang sama dengan tonsilektomi abses
pada fase tenang (cold tonsillectomy).8

Gambar 3.3 Tonsilektomi


3.10 Komplikasi

25
1. Abses pecah spontan, mengakibatkan perdarahan aspirasi paru, atau piema.

2. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses


parafaring. Kemudian dapat terjadi penjalaran ke mediastinum menimbulkan
mediastinitis.

3. Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakranial, dapat mengakibatkan thrombus


sinus kavernosus, meningitis, dan abses otak. 3,5

BAB IV

ANALISIS KASUS

Berdasarkan anamnesis yang telah dilakukan pada Tn AC, laki-laki, 50 tahun


diketahui bahwa Tn. AC datang ke IGD RSUD Raden Mattaher Jambi dengan
keluhan nyeri dan sulit menelan sejak 3 hari yang lalu.

Nyeri menelan (odinofagia) merupakan gejala yang sering dikeluhkan akibat


adanya kelainan atau peradangan di daerah nasofaring, orofaring, dan hipofaring.
Beberapa penyakit dengan keluhan sakit menelan diantaranya faringitis, tonsilitis,
abses peritonsil, abses retrofaring, laringitis akut. Sulit menelan (disfagia) yang
dialami oleh pasien dapat terjadi akibat peradangan pada daerah faring terutama pada
keadaan abses paratonsil dimana terjadi pembengkakan tonsil sehingga makanan

26
ataupun minuman terhalangi untuk disalurkan melalui mulut ke saluran pencernaan
selanjutnya.

Dari riwayat perjalanan penyakit didapatkan Os juga mengeluh adanya demam,


badan terasa lemas, ptyalismus, nafsu makan menurun, suara serak, sesak nafas,
mual, dan nyeri saat membuka mulut.

Demam merupakan peningkatan temperatur suhu tubuh diatas suhu normal


(>370C ). Penyebab demam antara lain adanya infeksi, inflamasi, kanker, tumor,
dehidrasi, pada pasien yang mengalami infeksi pada peritonsil, respon tubuh akan
mengeluarkan mediator inflamasi yang akan meningkatkan suhu tubuh selain.
Ptyalismus merupakan suatu keadaan dimana air liur keluar lebih banyak dari
biasanya. Beberapa penyakit yang menyebabkan ptyalismus diantaranya abses
peritonsil dan angina plaut vincent. Hal ini disebabkan oleh peningkatan aktifitas
kelenjar liur saat terjadinya infeksi didaerah orofaring.

Selanjutnya dilakukan pemeriksaan fisik THT terhadap Os dan didapatkan


adanya kelainan pada pemeriksaan mulut, tonsil dan faring. Dari pemeriksaan
didapatkan uvula bengkak (+) hiperemis (+), terdorong ke kanan, palatum mole
bengkak (+) dan menonjol kedepan, palatum durum hiperemis (+), arcus anterior
hiperemis (+), pada tonsil kanan ukuran tonsil sulit dinilai, hiperemis (+), permukaan
rata, detritus (-), mobilisasi tonsil berkurang.

Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien dicurigai menderita abses
peritonsil. Untuk memastikan diagnosis maka dilakukan aspirasi jarum. Namun, dari
hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik sebenarnya dapat ditegakkan diagnosa abses
peritonsil pada pasien. Tindakan aspirasi abses dilakukan menggunakan semprit 10
cc. Lokasi aspirasi adalah pada titik atau daerah paling berfluktuasi atau pada tempat
pembengkakan maksimum. Dari tindakan aspirasi jarum didapatkan hasil pus (+).

27
Berdasarkan hasil anamnesis, pemerksaan fisik dan aspirasi jarum dapat
disimpulkan bahwa pasien mengalami abses peritonsil.

Setelah diagnosis ditegakkan, maka pasien diberikan terapi mendikamentosa


berupa obat antibiotik, obat-obat simtomatik serta obat kumur antiseptik. Dapat pula
dilakukan tindakan operatif seperti insisi abses untuk mengeluarkan pus sehingga
membantu proses penyembuhan, dan setelah infeksi teratasi dianjurkan untuk
dilakukan tonsilektomi agar keadaan seperti ini tidak terjadi kembali (rekuren).
Pasien juga diberikan edukasi tentang apa yang harus dilakukan pasien terkait karier
pada giginya yang merupakan penyebab terjadinya abses paratonsil. Prognosis pasien
dengan abses peritonsil sangat tergantung kepada tindakan pengobatan yang dilakukan
dan komplikasi.

28
BAB III

KESIMPULAN

Abses Peritonsil merupakan kumpulan (accumulation) nanah (pus) yang


terlokalisir/terbatas (localized) pada jaringan peritonsillar yang terbentuk sebagai
hasil dari tonsillitis supuratif. Proses ini terjadi sebagai komplikasi tonsilitis akut atau
infeksi yang bersumber dari kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya
kuman penyebab sama dengan penyebab tonsilitis, dapat ditemukan kuman aerob dan
anaerob. Patofisiologi abses peritonsil belum diketahui sepenuhnya. Namun, teori
yang paling banyak diterima adalah teori kemajuan (progression) pada episode
tonsilitis eksudatif pertama menjadi peritonsilitis dan kemudian terjadi pembentukan
abses yang sebenarnya (frank abscess formation). Diagnosis dapat ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

Prinsip terapi pada abses peritonsil adalah medikamentosa dan operatif,


dimana diberikan antibiotik, obat-obat simtomatik dan obat kumur antiseptik. Bila
terbentuk abses dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian di insisi untuk
mengeluarkan nanah, kemudian pasien dianjurkan untuk tonsilektomi dan drainase
abses.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Segal N, Sabri SE. Peritonsillar Abscess in Children in The Southern


District of Israel. Int Journal of Ped Otol 2009;73:1148-50.
2. Abidin, Taufik. 2006. Abses Peritonsiler. Fakultas Kedokteran Universitas
Mataram
3. Soepardi,E.A, Iskandar, H.N, Abses Peritonsiler, Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga, Hidung dan Tenggorokan, Jakarta: FKUl, 2012;.
4. Adrianto, Petrus. Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan, 296, 308-09. EGC,
Jakarta
5. Snell, R.S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran, bagian 3, edisi 6.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2006.
6. Fachruddin, D. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher Edisi Keenam. Jakarta. FKUI.
7. Anggraini, D., Sikumbang, T. Atlas Histologi Di Fiore Dengan Korelasi
Fungsional.Edisi 9. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001.
8. Soebroto, S Rukmini. Perbandingan Pungsi vs. Insisi pada Terapi Abses Peritonsil
di UPF THT RSUD Dr. Soetomo
9. Braude DA, Shalit M. A Novel Approach to Enchance Visualization During
Drainage of Peritonsillar Abscess. The Journal of Emergency Medicine
2007;35:297-98.
10. Kieff, Bhattacharyya. Selection of Antibiotic After Incision and Drainage of
Peritonsillar Abscesses. Otolaryngol Head Neck Surg.1999:120 (1):57-61.
11. Ming CF. Effycacy of Three Theraupetic Methods for Peritonsillar Abscess.
Journal of Chinese Clinical Medicine 2006;2:108-11.

30

Anda mungkin juga menyukai