Anda di halaman 1dari 14

Pendahuluan

Demam tifoid merupakan penyakit yang bersifat sistemik akut dan berat akibat
bacteremia yang terjadi. Demam tifoid juga merupakan masalah kesehatan utama di dunia dan
masih menjadi penyakit endemik di negara berkembang seperti Indonesia. Di dunia diperkirakan
demam tifoid menyerang 21,6 juta manusia dan menyebabkan 216 ribu kematian pada tahun
2000. Insidensi demam tifoid termasuk tinggi di Asia Selatan, Asia tenggara dan Afrika Selatan
yaitu lebih dari 100 kasus per 100.000 populasi per tahun. 1 Penyebab demam tifoid adalah
bakteri Salmonella typhii. Bakteri ini terutama berada di dalam air dan makanan yang tercemar,
karena sumber air di beberapa daerah di Indonesia kurang memenuhi syarat, seperti
penggunaanair sungai yang juga untuk menampung limbah untuk mencuci sayuran. Bakteri ini
berasal dari feses manusia yang sedang menderita demam tifoid atau carrier Salmonella typhii.
Mungkin tidak ada orang Indonesia yang tidak pernah menelan bakteri ini. Bila hanya sedikit
tertelan, biasanya orang yang tidak menderita demam tifoid. Namun bakteri yang sedikit demi
sedikit masuk ke tubuh menimbulkan suatu reaksi imun yang dapat dipantau dari darah dikenal
dengan reaksi serologi Widal yang positif.
Definisi
Demam tifoid atau juga disebut sebagai enteric fever adalah penyakit infeksi pada saluran
pencernaan. Istilah enteric fever diajukan oleh Wilson pada tahun 1869 berdasarkan letak
anatomi dari infeksi yang terjadi.3 Penyakit ini banyak terjadi di daerah dengan sanitasi buruk,
sehingga memudahkan penularan penyakit. Transmisi penyakit ini terjadi akibat kontaminasi
makanan atau air oleh bakteri Salmonella typhii. Transmisi ini ditunjukkan oleh Budd pada tahun
1873. Pada demam tifoid, terdapat reaksi aglutinasi dari basil tifoid dengan serum konvalesen
pasien yang ditemukan Widal yang kini menjadi salah satu dasar diagnosis demam tifoid. Gejala
yang ditimbulkan berupa demam selama lebih dari 7 hari, disertai gangguan saluran pencernaan
seperti diare atau konstipasi.3
Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica serotipe Typhii (S.Typhii).2
Berdasarkan rekomendasi dari WHO, genus Salmonella memiliki dua spesies yaitu Salmonella
enetrica dan Salmonella bongori. S. enterica dibagi menjadi enam subspecies (I-VI), dimana
mayoritas serotipe Salmonella , termasuk serotipe S. typhii dan S. Paratyphii A,B dan C masuk
ke dalam S. enterica subspecies I. S. typhii adalah bakteri Gram negative, tidak membentuk
spora, basilus anaerob fakultatif, berukuran 2-3 0,4-0,6 m, bergerak dengan flagel
peritrichous. Tidak seperti Salmonella lainnya, typhii tidak membentuk gas pada fermentasi
gula.3 Penyakit yang sama tetapi lebih ringan disebabkan oleh Salmonella paratyphii A, B, C.
Salmonella typhii (S. Typhii) lebih sering menyebabkan penyakit tifoid dibandingkan Salmonella
paratyphii (S. Paratyphii) dengan perbandingan 10:1, walaupun terdapat peningkatan infeksi S.
Paratyphii A di sebagian daerah di dunia yang belum diketahui secara jelas penyebabnya. 2,3
S.typhii memiliki komponen antigen mayor yaitu, antigen O, antigen H, dan antigen Vi. Antigen

1
O diketahui sebagai endotoksin dan juga disebut antigen somatic. Antigen H disebut juga sebagai
antigen flagellar. Antigen Vi atau kapsul polisakarida Vi terletak pada lapisan paling luar
S.typhii. Antigen ini mengandung setidaknya 2 penentu antigenic dan karboksil dan N-asetil
yang diperlukan untuk reaksi antigen antibody.4
Epidemiologi
Demam tifoid terus menjadi permasalahan serius untuk kesehatan masyarakat di seluruh
dunia. Diperkirakan terdapat 22 juta kasus demam tifoid dan lebih dari 200.000 kematian secara
global pada tahun 2000. Sampai abad 20, penyakit ini menyebar di seluruh dunia. Setelahnya,
jumlah kasus tifoid di negara berkembang menurun dengan adanya perbaikan sanitasi dan
kebersihan lingkungan. Negara-negara dengan endemisitas tinggi diklasifikasikan menjadi area
risiko tinggi dimana insidens di area ini > 100 kasus per 100.000 populasi per tahun. 3 Yang
termasuk dalam area ini adalah Asia selatan, Asia tenggara, Afrika bagian selatan. Risiko sedang
(10-100 kasus per 100.000) antara lain, daerah Asia lainnya, Afrika, Amerika Latin, Oseania
(kecuali Australia dan Selandia Baru). Di bagian dunia lainnya, insidens demam tifoid rendah
(<10 kasus per 100.000) dan kebanyakan kasus di negara ini terjadi pada pelancong yang
berpergian ke daerah endemis. Demam paratifoid, lebih ringan dibandingkan demam tifoid
disebabkan oleh Salmonella paratyphii A, S.paratyphii B, S.paratyphii C. Diperkirakan terdapat
6 juta kasus pada tahun 2000. S.paratyphii A dilaporkan menyebabkan setengah dari seluruh
kasus enteric fever di beberapa negara endemis. Beberapa studi melaporkan insiden penyakit
akibat S.paratyphii lebih tinggi pada pelancong, yang mungkin diakibatkan oleh vaksin yang
hanya memberikan proteksi dari S.typhii.3
Di daerah endemis, insidens demam tifoid pada anak tertinggi pada usia 5 sampai 19
tahun.1,3 Tetapi dalam beberapa kondisi tifoid juga menjadi penyebab morbiditas pada usia 1
sampai 5 tahun. Pada anak usia di bawah 1 tahun penyakit ini sering lebih berat dan terkait
dengan tingkat komplikasi yang tinggi. Di Indonesia, sebagian besar insidens demam tifoid
terjadi pada individu berusia 3 sampai 19 tahun. Insidens demam tifoid pada usia 3-6 tahun
adalah 1307 per 100.000 populasi per tahun, sedangkan pada usia 7-19 tahun adalah 1172 per
100.000 populasi per tahun. Di Indonesia dijumpai 900.000 pasien demam tifoid per tahun
dengan angka kematian lebih dari 20.000.1 Peningkatan risiko perberatan penyakit juga berkaitan
dengan beberapa penyakit yang telah ada (imunosupresi, abnormalitas traktur empedu dan
urinarius, hemoglobinopati, malaria, schistosomiasis, bartonelosis, histoplasmosis).3 Pelancong
memiliki risiko lebih tinggi terkena penyakit, yang mungkin diakibatkan kurangnya imunitas
mereka dibandingkan masyarakat lokal yang telah mendapat infeksi subklinis berulangkali.
S.typhii dan S.paratyphii berkolonisasi hanya pada manusia. Penularan penyakit dari orang lain
dapat terjadi selama bakteri terdapat dalam tubuh orang tersebut dari onset gejala hingga 1
minggu masa penyembuhan. Sekitar 10% pasien yang tidak diterapi dapat menyebarkan bakteri
hingga 3 bulan dan 1-5% pasien tifoid menjadi carrier kronik. Penyakit ini ditularkan melalui
makanan atau air yang terkontaminasi feses pasien dan carrier. Transmisi langsung orang ke
orang juga mungkin terjadi. S.typhii dapat bertahan hidup berhari-hari di air dan berbulan-bulan

2
di telur dan kerang yang terkontaminasi. Air yang tercemar merupakan sumber transmisi utama
tifoid. Buah dan sayur mentah, kerang, susu dan produknya juga telah dilaporkan dapat menjadi
sumber infeksi. Penularan melalui air S.typhii biasanya lebih sedikit organisme yang tertelan dan
memiliki masa inkubasi yang lebih panjang dan tingkat serangan yang rendah dibandingkan
penularan melalui makanan. Transmisi paratifoid memerlukan dosis infeksi yang lebih besar
dibandingkan tifoid dan lebih sering dikaitkan dengan makanan tercemar dari penjual kaki lima.
Permasalahan besar yang terjadi adalah munculnya resistensi antibiotik baik pada S.typhii dan
S.paratyphii terutama di daerah endemis.3
Patogenesis
Demam tifoid terjadi akibat menelan makanan atau minuman yang terkontaminasi
dengan Salmonella, dengan periode inkubasi terentang antara 4-14 hari, bergantung pada
banyaknya bakteri yang masuk. Setelah ditelan, S.typhii menginvasi tubuh melalui mukosa usus
di ileum terminal, melalui antigen-sampling cells yang dikenal sebagai sel M. Kemudian S.typhii
melewati mukosa usus setelah melekat pada mikrovili, dan internalisasi dengan vakuol
intraseluler. Faktor virulensi S.typhii dapat menyebabkan penurunan respon inflamasi pejamu. Di
dalam plak Peyeri ileum terminal S.typhii dapat melintasi pembatas usus melalui beberapa
mekanisme, termasuk melalui sel M di sel epithelial dan sel dendritic. Setelah melewati mukosa
usus, S.typhii masuk ke dalam sistem limfe mesenteric dan kemudian menuju aliran darah via
limfatik. Masuknya S.typhii ke dalam aliran darah ini menyebabkan bacteremia primer. Fase
bacteremia primer ini biasanya asimtomatik, dan kultur darah seringkali negative pada fase ini.
Bakteri yang terdapat dalam darah ini kemudian menyebar ke seluruh tubuh dan berkolonisasi
pada organ-organ retikuloendotelial, dimana bakteri-bakteri tersebut akan bereplikasi di dalam
makrofag. Setelah periode replikasi terlewati, S.typhii kembali masuk ke dalam aliran darah
menyebabkan bacteremia sekunder yang bersamaan dengan timbulnya onset manifestasi klinis
penyakit dan menandakan berakhirnya periode inkubasi.2

Gambar 1. Patogenesis Demam Tifoid.2

3
Manifestasi Klinis
Periode inkubasi demam tifoid biasanya antara 7-14 hari (rentang onset 5 sampai 21 hari)
setelah menelan bakteri.2,5 Manifestasi klinis bervariasi dari sakit ringan dengan demam yang
tidak tinggi, malaise, dan batuk kering sampai manifestasi yang berat sepertin nyeri abdomen
dan berbagai komplikasi. Banyak faktor yang mempengaruhi keparahan dan manifestasi klinis
infeksi yang terjadi. Antara lain durasi sakit sebelum inisiasi terapi, pilihan antibiotik, usia,
vaksinasi, virulensi bakteri, jumlah bakteri yang masuk, dan faktor yang mempengaruhi sistem
imun pejamu. Demam tifoid biasanya bermanifestasi sebagai demam tinggi dengan gejala lain
yang bervariasi, seperti myalgia yang menyeluruh, nyeri perut, hepatosplenomegaly, dan
anoreksia. Sulit untuk membedakan demam tifoid dengan penyakit endemic lainnya seperti
malaria dan demam dengue tanpa adanya gejala yang jelas membedakan. Pada anak, infeksi
virus sulit dibedakan dari infeksi S.typhii. Manifestasi klinis dapat bervariasi pada keparahan
penyakit berdasarkan daerah dan usia anak. Dari pemeriksaan yang dilakukan di Bangladesh
terhadap 552 kasus yang telah dikonfirmasi dengan kultur, perforasi usus tidak dijumpai pada
pasien berusia kurang dari 5 tahun. Anak dengan demam tifoid di Cili dijelaskan mengalami
gejala ringan yang tidak memerlukan perawatan di rumah sakit, kasus demam tifoid memiliki
rata-rata kematian sebesar 11%.2,5 Selama minggu pertama sakit, terjadi peningkatan secara
bertahap demam secara tersembunyi hingga akhirnya terus menerus tinggi. Kejang demam dapat
muncul, terutama pada anak. Demam jarang berupa stepladder. Demam kemudian diikuti dengan
adanya gejala lain seperti sakit kepala, malaise, myalgia, dan letargi. Konstipasi mungkin dapat
menjadi tanda pertama yang muncul pada demam tifoid, dan gejala gastrointestinal lainnya,
antara lain nyeri perut, mual, muntah, atau diare dapat mengikuti kemudian. 5 Pada anak, diare
dapat muncul terlebih dulu pada tahap awal disusul konstipasi. 2 Pada tahap ini, demam tifoid
belum dapa dibedakan dari penyakit sistemik nonspesifik lainnya yang diakibatkan bakteri
pathogen atau virus. Demam tinggi berlanjut selama minggu kedua dan dapat bertahan sampai
empat minggu sakit jika tidak diberikan terapi. Bradikardi relatif saat puncak demam, merupakan
tanda yang umum pada dewasa dibandingkan pada anak. Diare berdarah lebih sering dijumpai
pada anak, dan hepatosplenomegaly dapat timbul pada minggu pertama sakit. Pada minggu
kedua, letargi dan sakit kepala berubah menjadi stupor. Manifestasi pada kulit walaupun jarang
ditemukan (sekitar 25% kasus), dikarakteristikan dengan ruam macular atau maculopapular atau
dikenal sebagai rose spot, dapat ditemukan pada hari ke-7 sampai hari ke-10 sakit. Lesi ini
mungkin sulit terlihat pada pasien dengan kulit gelap dan banyak terlihat pada daerah dada dan
perut tetapi juga pernah dilaporkan terlihat di ekstremitas2,5
Manifestasi intestinal umum terjadi pada minggu ketiga dan minggu keempat. Faktanya,
beberapa pasien tidak mengalami diare sampai minggu ketiga. Diare mungkin tidak hilang
hingga minggu keenam setelah onset gejala. Malaise dan letargi mungkin dapat terus terjadi
hingga beberapa bulan. Komplikasi demam tifoid dapat timbul pada tahap ini. Pasien dapat
ditemukan mengalami perdarahan intestinal dan perforasi (yang ditandai dengan penurunan suhu

4
tubuh yang cepat), bersamaan dengan bacteremia dan peritonitis. Syok septik dan kematian dapat
menjadi hasil dari komplikasi tersebut. Komplikasi ekstra intestinal juga dapat timbul seperti
komplikasi pada sistem saraf pusat (meningitis, ensefalitis), kardiovaskular (endocarditis,
miokarditis), pernafasan (pneumonia), tulang dan sendi (osteomyelitis, artritis), hepatobilier
(kolesistitis, abses hati dan limpa), urinarius (glomerulonepfritis, pielonefritis).5 Biasanya setelah
minggu keempat sakit, demam mulai turun perlahan. Ekskresi asimtomatic dari Salmonella
melalui fecal terus berlanjut setelah penyembuhan dan berlanjut hingga beberapa bulan.
Beberapa pasien mungkin menjadi carrier kronik dengan pemanjangan masa ekskresi. Penting
untuk membedakan antara ekskresi masa penyembuhan dengan carrier kronik karena risiko
transmisi yang berbeda. Ekskresi fecal pada masa penyembuhan lebih menjadi sumber
kontaminasi pada makanan atau air dibandingkan dengan carrier kronik. Carrier kronik
memiliki titer serum antibod yang tinggi terhadap antigen Vi, yang memfasilitasi identifikasi
yang cepat terhadap pasien kronik dan membedakan dari pasien pada masa penyembuhan dan
infeksi akut.5
Tabel 1. Manifestasi Klinis Demam Tifoid pada Anak yang Paling Sering Ditemui.2

Gejala Persen
Demam tinggi 95
Lidah berselaput 76
Anoreksia 70
Muntah 39
Hepatomegali 37
Diare 36
Keracunan 29
Nyeri perut 21
Pucat 20
Splenomegali 17
Konstipasi 7
Nyeri kepala 4
Ikterik 2
Ileus 1
Perforasi usus 0.5

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain, pemeriksaan darah lengkap,
pemeriksaan serologi dan kultur. Pada pemeriksaan darah lengkap leukositosis ringan dapat
terjadi pada awal penyakit, dengan perkembangan penyakit terjadi leukopenia dan neutropenia.
Bahkan pada kasus tanpa komplikasi, anemia normositik, trombositopenia ringan, peningkatan
sedang serum transaminase dan proteinuria ringan umum terjadi. Pemeriksaan serologi yang
dilakukan antara lain, tes Widal. Tes Widal menghitung antibody terhadap antigen flagellar (H)

5
dan somatic (O) dari bakteri penyebab. Pada infeksi akut, antibody O muncul terlebih dulu,
meningkat progresif, dan kemudian menurun dan kadang menghilang dalam beberapa bulan.
Antibodi H muncul lebih terlambat daripada antibody O tetapi bertahan dalam waktu yang lebih
lama. Meningkatnya atau tingginya titer antibody O secara umum mengindikasikan infeksi akut,
dimana peningkatan antibody H membantu mengidentifikasi tipe enteric fever.5 Aglutinin H
lebih spesifik dibandingkan O, tetapi agglutinin O memiliki nilai prediktif yang lebih baik. Pada
akhir minggu pertama sakit, serum darah mulai mengaglutinasi basilus tifoid dan mencapai
maksimal hingga hari ke 18 sampai 23. Titer aglutinasi 1:128 dianggap sebagai hasil positif dan
peningkatan titer menegakkan diagnosis. Sensitivitas, spesifitas dan nilai prediktif tes bervariasi
intra-laboratorium dan inter laboratorium. Hasil positif palsu dapat terlihat pada pasien yang
sebelumnya pernah terpapar Salmonella lain, Shigella, dan organisme Coliforms.4 Pemeriksaan
serologi lainnya adalah tes aglutinasi Latex. Pemeriksaan ini berguna untuk diagnosis
Salmonella secara cepat. Sensitivitas dari suspense latex ada;ah 100% dari kultur media kaldu
yang diperkaya, dan 87,5% dari media kaldu selenite F. Pemeriksaan ini berguna untuk
pemeriksaan pada pasien yang dicurigai tifoid yang telah mendapat antibiotik.4
Kultur merupakan pemeriksaan definif untuk mendiagnosis demam tifoid. Sampel untuk
kultur dapat diambil dari darah, sumsum tulang, fecal dan urin. Pada pasien yang dicurigai
tifoid, kultur darah dan sumsum tulang sebaiknya dilakukan. Pada pasien yang belum mendapat
terapi, kultur darah biasanya positif sekitar 60-80% kasus, dan biasanya pada awal penyakit.
Jumlah organisme yang hidup per mL rendah, rata-rata 1 bakteri per mL darah, sehingga
setidaknya diperlukan 5-10 mL darah untuk meningkatkan sensitivitas kultur darah selain sudah
belumnya pasien mendapatkan terapi antibiotik. Tingkat keberhasilan sebesar 80-90%
didapatkan dari kultur sumsum tulang, dimana jumlah bakteri hidup bertambah sejalan dengan
perkembangan penyakit. Hasil kultur sumsum tulang menurun selama minggu ketiga dan
selanjutnya dibandingkan selama minggu pertama dan kedua. Hal ini dapat diakibatkan oleh
imunitas yang letal terhadap S.typhii intraseluler telah terbentuk pada fase akhir penyakit. 5
Kelemahan kultur dari sumsum tulang adalah rasa sakit yang ditimbulkan dan kesulitannya maka
pemeriksaan ini sukit dijadikan pemeriksaan rutin, tetapi apabila terdapat pemanjangan
neutropenia dan hasil pemeriksaan lain tidak menunjang diagnosis maka pemeriksaan ini
bermanfaat untuk dilakukan.4 Hasil kultur fecal seringkali positif bahkan pada minggu pertama,
meskipun persentase hasil positif tersebut tidak terlalu meningkat setelahnya. Tetapi hasil kultur
feses dapat berupa positif palsu. Pada kultur feses Salmonella kalah jumlah dibandingkan dengan
bakteri dan flora normal usus sehingga keberhasilan kultur tidak mudah dan pemilihan media
selektif direkomendasikan. Isolasi organisme dari feses dapat dilakukan pada fase awal penyakit
dan positif sekitar 50% kasus selama minggu pertama. Kultur feses diperlukan juga untuk deteksi
carrier.4 Kultur urin tidak sering menunjukkan hasil positif. 5 Basil tifoid muncul di dalam urin
pada hari ke-10 sampai 15 dan 25% kasus menunjukkan hasil positif pada minggu kedua dan
ketiga.4
Diagnosis

6
Dalam diagnosis demam tifoid, yang menjadi dasar dari diagnosis adalah hasil positif
kultur baik darah atau specimen lainnya. Namun, sensitivitas pemeriksaan kultur darah untuk
mendiagnosis demam tifoid pada banyak negara berkembang terbatas dikarenakan penggunaan
antibiotik yang luas. Spesimen dari sumsum tulang dapat meningkatkan konfirmasi bakteriologi
tifoid, namun proses pengambilan specimen sulit dilakukan dan cukup invasif. Hasil dari
pemeriksaan laboratorium lainnya tidak spesifik. Trombositopenia mungkin dapat menjadi
penanda adanya penyakit berat dan menyertai disseminated intravascular coagulopathy. Tes
klasik Widal mengukur antibody terhadap antigen O dan H S.typhii, tetapi kurang sensitif dan
spesifik di area endemis. Karena banyak hasil positif palsu dan negatif palsu yang muncul,
diagnosis demam tifoid dengan hanya Widal cenderung salah.
Diagnosis Banding
Infeksi Virus Dengue
Infeksi virus dengue dapat berupa demam dengue, demam berdarah dengue dan
sindrom syom dengue. Pada infeksi virus dengue didapatkan keluhan demam mendadak
tinggi selama 2-7 hari. Manifestasi demam pada demam dengue disertai dengan nyeri
pada kepala, retro orbita, otot dan tulang, ruam kulit, dan leukopeni pada pemeriksaan
laboratorium. Pada demam berdarah dengue, demam disertai manifestasi perdarahan
(sekurang-kurangnya uji bendung positif). Dapat ditemukan nadi cepat, pembesaran hati,
trombositopenia, dan peningkatan hematokrit.6
Malaria
Manifestasi klinis berupa demam tinggi terjadi terus menerus dan bersifat khas
intermitten. Keluhan demam disertai nyeri kepala, nyeri otot, dan menggigil. Pada
pemeriksaan fisik dapat ditemukan hepatomegali dan splenomegali. Pada pemeriksaan
laboratorium dapat ditemukan anemia, dan diperlukan pemeriksaan apus darah tepi untuk
melihat ada tidaknya plasmodium sebagai dasar diagnosis dan adanya riwayat berpergian
ke daerah endemis malaria.6
Tuberkulosis
Mnaifestasi klinis yang timbul berupa demam tinggi dapat berlangsung lebih dari
7 hari, disertai anoreksia, pembesaran hati/limpa, batuk yang berlangsung lebih dari 3
minggu, dan penurunan berat badan. Pada anamensis perlu ditanyakan apakah terdapat
kontak dengan pasien Tb paru dewasa. Pembesaran kelenjar limfe leher, aksila, dan
inguinal ditemukan pada pemeriksaan fisik. Ditemukannya Mycobacterium tuberculosis
pada pemeriksaan sputum atau bilasan lambung merupakan diagnosis pasti TB.6
Komplikasi

7
Komplikasi yang terjadi pada anak hampir sama dengan yang terjadi pada dewasa,
walaupun pada bayi lebih berat dibandingkan anak yang lebih tua. Komplikasi yang dapat terjadi
antara lain,

o Gastrointestinal
Anoreksia, muntah dan diare adalah gejala yang biasa dikeluhkan. Konstipasi
jarang dikeluhkan.4 Perdarahan usus (<1%) dan perforasi usus (0,5-1%) jarang terjadi
pada anak-anak. Disebabkan ulserasi plak Peyeri berada superfisial pada anak dan
berbeda dari dewasa. Perforasi usus biasanya didahului oleh peningkatan nyeri perut
(biasanya pada kuadran kanan bawah), muntah dan tanda peritonitis. Perforasi usus
dan peritonitis disertai peningkatan tiba-tiba frekuensi nadi, hipotensi, nyeri perut dan
kekakuan pada abdomen.2,4

o Sistem saraf pusat


Perubahan pada sistem saraf pusat berentang dari delirium, kejang, sampai
meningitis. Mengantuk dan gelisah mengarah ke semi stupor lebih sering pada anak
dengan malnutrisi. Iritasi meningen dapat muncul pada saat awal penyakit dan sering
disebut sebagai meningo-tifoid. Meningitis tifoid yang sesungguhnya jarang terjadi
pada anak dan jika terjadi akan memberikan prognosis yang sangat buruk dan sering
ditemukan pada anak berusia di bawah lima tahun. Beberapa anak menjadi bisu dan
afasia yang tidak berkaitan dengan hemiplegia telah dilaporkan Hemiplegia jarang
terjadi tetapi ketika terjadi akan didahului oleh kejang dan biasa terjadi pada minggu
kedua sampai minggu keempat. Perdarahan sereberal sangatlah jarang dan hanya
terdapat laporan tentang perdarahan serebelar dan pontine dari pembedahan mayat.
Ataksia, gerakan choreiform, palsy nervus lima, delapan dan wajah, dan neuritis
perifer adalah komplikasi yang tidak biasa lainnya. Halusinasi visual dan taktil
dijumpai pada anak setelah mereka afebrile.4
o Urinarius
Albuminuria sering muncul dan terjadi hampir pada semua kasus. Pada beberapa
anak terjadi nefritis akut dan bahkan dapat berkembang menjadi gagal ginjal akut.
Fokal nefritis interstisial kadang ditemukan pada autopsi.4

o Kardiovaskular
Pada anak dengan tifoid umumnya dijumpai takikardia dan jarang dijumpai
bradikardia. Miokarditis dan gagal jantung kongestif jarang terjadi tetapi dapat
kadang dapat dijumpai.4

o Hepatobilier
Hepatomegali umum terjadi, insidensinya bervariasi antara 27-40 persen.
Walaupun gangguan fungsi hati banyak ditemukan pada pasien, secara klinis
hepatitis, ikterik, dan kolesisititis relative jarang terjadi dan mungkin berkaitan
8
dengan hasil akhir yang tidak diinginkan. 2 Ikterik terkadang dapat dijumpai. Abses
hati dan limpa jarang terjadi.4

o Hematologi
Didapatkan leukopenia dengan limfositosis relatif. Trombositopenia dapat terjadi.
Pada anak dengan defisiensi G6PD dapat terjadi anemia hemolitik. Hemolisis akut
dengan hemoglobinuria merupakan komplikasi yang jarang dan hanya terdapat
beberapa laporan tentangnya.4

o Tulang dan sendi


Lesi inflamasi pada tulang dan sendi umum terjadi baik pada tifoid dan paratifoid.
Osteomielitis jarang terjadi.4
Tabel 2. Komplikasi Ekstraintestinal Demam Tifoid.2

Sistem organ Prevalensi Komplikasi


Encephalopati, edema
cerebral, empiema
Sistem saraf subdural, abses cerebral,
3-35%
pusat meningitis, ventriculitis,
ataxia, Guillain-Barre
syndrome
Endocarditis, miokarditis,
Kardiovaskular 1-5% pericarditis, arteritis,
congestive heart failure
Pneumonia, empyema,
Paru-paru 1-6%
bronchopleural fistula
Tulang dan sendi <1% Osteomielitis, artritis septik
Kolesistitis, hepatitis, abses
Hepatobilier 1-26% hepatik, abses limpa,
peritonitis, ileus paralitik
Infeksi saluran kemih,
abses renal, infeksi pelvis,
Genitourinary <1%
abses testikular, prostatitis,
epididimitis

Penatalaksanaan
Medikamentosa
Dasar dari manajemen demam tifoid adalah isitirahat yang cukup, hidrasi dan
koreksi cairan dan elektrolit. Pemberian antipiretik (asetaminofen 10-15 mg/kg BB setiap
4-6 jam per oral) diberikan sesuai gejala. Pemberian antibiotik empiris yang tepat pada

9
pasien dengan demam ifid sangat penting untuk meminimalisasi komplikasi dan
mengurangi angka kematian.2 Kloramfenikol sampai saat ini masih merupakan antibiotic
pilihan pertama untuk terapi demam tifoid pada anak. 2,3 Dosis kloramfenikol adalah 50-
75 mg/ kg berat badan/ hari dibagi dalam empat dosis. Penggunaan kloramfenikol atau
amoksisilin dikaitkan dengan kemungkinan relaps sebesar 5-15% dan 4-8%, sedangkan
penggunaan kuinolon dan sefalosporin generasi tiga dikaitkan dengan tingkat
kesembuhan yang lebih tinggi.2 Kloramfenikol sangatlah efektif jika organismenya masih
sensitive terhadap kloramfenikol. Dosis kloramfenikol kemudian diturunkan menjadi 30
mg per kg berat badan per hari dan dapat diteruskan hingga 14 hari. Kloramfenikol dapat
diberikan secara intramuscular dan intravena. Perbaikan klinis dapat terlihat dalam 48
sampai 72 jam.7 Amoksisilin juga dapat diberikan sebagai terapi pada demam tifoid,
dengan dosis 75-100 mg per kg berat badan per hari dalam 3 dosis selama 14 hari.
Respon terapetik dari amoksisilin lambat dan seringkali tidak adekuat.2,7 Sekarang ini
mulai timbul resistensi terhadap kloramfenikol, ampisilin dan kotrimoksazol sebagai
antibiotik untu tifoid yang disebut multidrug resistant Salmonella typhii (MDRST).2
Dengan adanya MDRST maka pilihan antibiotic yang digunakan dapat diganti dengan
seftriakson atau sefiksim. Seftriakson merupakan antibiotic beta lactamase dengan
spectrum luas, memiliki waktu paruh yang panjang sehingga dapat diberikan 1-2 kali
sehari. Efek samping yang mungkin ditemukan adalah reaksi alergi, peningkatan fungsi
hati, trombositosis dan leukopenia. Acharya G melaporkan bahwa pasien demam tifoid
menunjukkan respon klinis yang baik dengan pemberian seftriakson sekali sehari. Lama
demam turun rata-rata empat hari, dan semua hasil biakan menjadi negative pada hari
keempat dan tidak ditemukan kekambuhan. Hasil laboratorium menunjukkan kadar
hemoglobin dan hitung leukosit normal, serta tidak ditemukan gangguan fungsi hati dan
ginjal.2
Pada MDRST dapat juga diberikan fluoroquinolone seperti siprofloksasin atau
oflosaksin dengan dosis 15 mg per kg berat badan per hari dalam 2 kali pemberian
selama 5 hingga 7 hari. Pemberian fluoroquinolone menunjukkan tingkat penyembuhan
yang tinggi. Ditambah sifatnya yang bakterisidal, tingkat relaps rendah dan timbulnya
keadaan carrier kurang dari 2%.7 Beberapa peneliti menyarankan pemberian
fluoroquinolone sebagai terapi demam tifoid pada anak seperti pada dewasa, muncul
pertanyaan apakah pendekatan ini dapat menimbulkan potensi resistensi terhadap
fluoroquinolone dan faktanya quinolone belum diterima sepenuhnya penggunaan luas
quinolone pada anak. Azitromisin dapat menjadi antibiotik alternative untuk anak dengan
demam tifoid tanpa komplikasi.2 Glukokortikoid dapat ditambahkan dengan terapi
antibiotik pada demam tifoid berat dan pada shock-like syndrome. Prednisolon diberikan
dengan dosis 40 mg terbagi dalam 4 dosis pada hari pertama, diturunkan menjadi 30 mg
pada hari kedua dan 20 mg sesudahnya. Terapi sebaiknya diberikan dalam 5 sampai 6
hari dan diturunkan perlahan.7 Pemberian deksametason dalam kombinasi dengan
kloramfenikol, menunjukkan dengan pemberian deksametason menurunkan mortalitas

10
secara signifikan. Dosis deksametason yang digunakan pada dewasa dan anak sama yaitu
3 mg per kg berat badan, diikuti 1 mg per kg berat badan setiap 6 jam selama 2 hari.5
Tabel 3. Terapi Demam Tifoid pada Anak.2
Terapi optimal Terapi alternatif
Dosis harian Har Dosis harian Har
Antibiotik Antibiotik
(mg/kg/hr) i (mg/kg/hr) i
Demam tifoid tanpa komplikasi
14-
Kloramfenikol 50-75 Fluoroquinolo
Sensitif 21 15 5-7
n
Amoksisilin 75-100 14
Fluoroquinolo
15 5-7
Multidrug n
Azitromisin 8-10 7
resisten 7-
Cefixime 15-20
14
Azitromisin 8-10 7
Quinolon-
10- 7-
resisten Ceftriakson 75 Cefixime 20
14 14
Demam tifoid berat
14-
Fluoroquinolo 10- Kloramfenikol 100
Sensitif 15 14
21
n
Amoksisilin 100
10-
Multidrug Fluoroquinolo 15 14 Ceftriakson 60 10-
resisten n Cefotaxime 80 14
Quinolon- Ceftriakson 60 10-
Azitromisin 10-20 7
resisten Cefotaxime 80 14

Nonmedikamentosa
Sebagai tambahan terapi antibiotik, penting untuk memberikan terapi suportif dan
menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit. Terapi suportif yang dberikan berupa
pemberian nutrisi yang adekuat dan istirahat yang cukup.5
Prognosis
Prognosis pasien demam tifoid bergantung pada cepatnya diagnosis dan ketepatan terapi
antibiotik yang diberikan. Faktor lain yang mempengaruhi antara lain usia, keadaan gizi pasien,
serotipe Salmonella penyebab, dan komplikasi. Bayi dan anak dengan malnutrisi dan pasien
dengan infeksi bakteri multi drug resistant berada pada keadaan dengan risiko tinggi terjadinya
kejadian yang tidak diharapkan. Walaupun dengan terapi yang tepat 2-4% anak yang terinfeksi
dapat mengalami relaps setelah respon terhadap pengobatan. Individu yang masih terdapat
S.typhii setelah 3 bulan ditetapkan sebagai carrier kronik. Risiko menjadi carrier rendah pada

11
anak dan meningkat sesuai usia. Prognosis buruk pada pasien anak dengan Salmonella
meningitis atau endocarditis.2

Pencegahan
Demam tifoid terjadi akibat kontaminasi S.typhii pada makanan atau minuman, oleh
karenanya menyiapkan makanan dengan bersih dan memiliki air bersih juga sistem saluran
pembuangan yang adekuat membantu mencegah transmisi penyakit. Untuk orang-orang yang
berpergian terutama ke daerah endemic tifoid penting untuk menghindari menkonsumsi makanan
atau air di tempat yang memiliki sanitasi dan kebersihan perorangan yang buruk. Imunisasi tifoid
meningkatkan resistensi terhadap demam tifoid tetapi tidak memberikan perlindungan secara
sempurna. Terdapat dua vaksin yang digunakan untuk melawan S.typhii, tetapi tidak ada vaksin
untuk S.paratyphii. Dua vaksin tersebut adalah Vi capsular polysaccharide vaccine (ViCPS) dan
TY21a. ViPCS telah diterima oleh FDA untuk digunakan pada anak usia 2 tahun ke atas dan
TY21a untuk anak usia 6 tahun ke atas. 5 Di Amerika Serikat vaksin tifoid hanya ditujukan bagi
pelancong yang berpergian ke daerah endemis, atau berisiko terpapar S.typhii seperti pekerja
laboratorium yang sering kontak dengan S.typhii. Sebuah ulasan pada tahun 2014 melaporkan
tingkat kefektifan vaksin oral Ty21a antara 35-58% pada tahun pertama dan kedua setelah 1
dosis. Kefektifan vaksin selama 3 tahun secara kumulatif adalah 55%. Kefektifan ViCPS adalah
69% pada tahun pertama dan 59% pada tahun kedua. Dan tidak ada keuntungan pada tahun
ketiga setelah vaksinasi. Antibiotik tidak boleh diberikan tujuh hari sebelum dan sesudah
pemberian vaksin. Kedua vaksin menyebabkan kejadian ikutan yang ringan seperti demam, nyeri
perut, mual, muntah, sakit kepala, ruam, atau urtikaria. Belum ada kejadian ikutan yang serius
dilaporkan akibat kedua vaksin.5 WHO merekomendasikan vaksin Ty21a dan ViCPS untuk
daerah endemis dan untuk mengontrol wabah. Rekomendasi vaksin terutama ditujukan untuk
anak-anak usia sekolah, dan saat terjadi wabah sebagai alat pencegahan. Sebagai tambahan,
vaksin juga dipertimbangkan untuk orang-orang yang sudah pernah terkena demam tifoid jika
terdapat kemungkinan paparan kembali, karena infeksi natural tidak memberikan imunitas
jangka panjang. Namun dalam praktis klinis, vaksin yang ada tidak ideal untuk program
vaksinasi jangka panjang karena diperlukan imunisasi kembali setiap 2 sampai 3 tahun dan
hanya diindikasikan untuk usia 2 tahun ke atas. Kebutuhan untuk kontrol demam tifoid yang
lebih baik mengarah ke pengembangan agen vaksin baru dari konjugasi ViCPS dengan
rekombinan nontoksik eksotoksin A Pseudomonas aeruginosa. Vaksin ini menunjukkan efikasi
91,5% pada percobaan acak double-blind, pada sekitar 11.000 anak antara usia 2 sampai 5 tahun
dari area di Vietnam yang endemikdemam tifoid.5
Tabel 4. Jenis Vaksin Tifoid.5

Rute
Vaksin Dosis Dosis booster Efek samping
pemberian
Live attenuated Ty21a 1 kapsul tiap 2 hari Oral Setiap 5 tahun Demam, sakit

12
untuk 4 dosis kepala
Sakit kepala,
reaksi lokal di
ViCPS (Typhim Vi) 1 dosis (25g) Intramuskular Setiap 2 tahun
tempat
suntikan

Kesimpulan
Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang bersifat akut yang disebabkan oleh
bakteri Salmonella typhii. Indonesia termasuk negara endemis tifoid, dengan insidensi terbanyak
pada anak terjadi pada usia 3 sampai 19 tahun. Infeksi terjadi saat bakteri masuk melalui
makanan atau air yang terkontaminasi oleh bakteri. Bakteri kemudian masuk ke dalam mukosa
usus, masuk ke dalam aliran darah, dan masuk ke dalam organ retikuloendotelial dan
berkembang biak. Gejala demam tifoid diawali dengan demam yang dapat berlangsung lebih dari
7 hari, disertai gejala gastrointestinal seperti diare atau konstipasi. Diagnosis pasti demam tifoid
dilakukan dengan pemeriksaan kultur darah atau sumsum tulang. Kloramfenikol masih
merupakan antibiotik pilihan pertama untuk demam tifoid. Penambahan deksametason dalam
terapi antibiotik telah dibuktikan menurunkan tingkat mortalitas. Kebersihan makanan dan
sanitasi yang baik dapat mencegah penularan penyakit. Alat pencegahan lainnya yaitu vaksin.
Terdapat dua macam vaksin untuk S.typhii yaitu vaksin oral Ty21a dan vaksin ViCPS. Tetapi
vaksin tidak memberikan perlindungan jangka panjang. Prognosis pasien bergantung pada
seberapa cepat dan tepat diagnosis. Tanpa komplikasi yang berat, prognosis pasien baik.
Daftar Pustaka
1. Adiasmito AW. Penggunaan antibiotik pada terapi demam tifoid anak di rsab harapan
kita. Sari Pediatri 2006;8:174-80.
2. Bhutta ZA. Enteric fever (typhoid fever). Dalam: Klegman RM, Stanton BF, St.Geme
JW, Schor NF. Nelson textbook of pediatrics. Philadelphia: Elsevier; 2015. Hal 1388-93.
3. Colomba C, Saporito L, Titone L. Typhoid fever. Dalam: Hamer D, Griffiths JK, Maguire
JH, Heggenhougen HK, Quah SR. Public health and infectious diseases. Philadelphia:
Elsevier; 2010. Hal 153-5.
4. Khosla SN. Typhoid fever: causes, transmission and prevention. New Delhi: Atlantic;
2008. Hal 81-93.
5. Kappy MS, Barton LL, Berkowitz CD, Carver J, Ziegler M. Advances in pediatrics.
Philadelphia: Elsevier; 2015. Hal 44-55.
6. World Health Organization. Pelayanan kesehatan anak di rumah sakit. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI;2009. Hal 158-75.
7. Satoska RS, Rege NN, Bhamdarkar SD. Pharmacology and pharmacotherapeutics. Edisi
24. Philadelphia: Elsevier; 2015. Hal 705.

13
4. https://books.google.co.id/books?
id=YHSsvz8nT_QC&printsec=frontcover&dq=prevention+of+typhoid+fever&hl=en&sa=X&re
dir_esc=y#v=onepage&q=prevention%20of%20typhoid%20fever&f=false
7.
https://books.google.co.id/books?
id=h2drCgAAQBAJ&pg=PA705&dq=typhoid+fever+therapy&hl=en&sa=X&redir_esc=y#v=on
epage&q=typhoid%20fever%20therapy&f=false

2.
https://books.google.co.id/books?
id=mseNCgAAQBAJ&pg=PA1392&dq=typhoid+fever+therapy&hl=en&sa=X&redir_esc=y#v=
onepage&q=typhoid%20fever%20therapy&f=false

3.
https://books.google.co.id/books?
id=bjcycxFpqEwC&pg=PA154&dq=typhoid+fever+etiology&hl=en&sa=X&redir_esc=y#v=one
page&q=typhoid%20fever%20etiology&f=false

14

Anda mungkin juga menyukai