Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Di dalam kehidupan bermasyarakat, manusia sebagai makhluk sosial

tentunya akan melahirkan standar nilai ataupun norma yang kemudian menjadi

pedoman hidup. Norma-norma yang dibuat oleh masyarakat tersebut berfungsi

untuk mengindari berbagai macam masalah atau konflik dan dapat juga dijadinya

sebagai pedoman untuk menyelesaikan masalah sosial. Normal dalam masyarakat

atau disebut juga sebagai norma sosial berkaitan dengan apa yang diterima oleh

masyarakat dan apa yang tidak diterima atau kurang pantas untuk dilakukan,

sehingga apa bila terjadi hal-hal yang kurang pantas atau tidak sesuai dengan

norma maka individu yang melakukannya akan mendapatkan sanksi sosial. Hal

ini bisa dilihat pada fenomena sosial yang terjadi di Indonesia yaitu perilaku

menyimpang pada kaum homoseksual seperti gay. (Vol. 02, No.02, Januari 2014)

Gay merupakan istilah untuk menyebutkan lelaki yang menyukai sesama

lelaki sebagai partner seksual, serta memiliki ketertarikan baik secara perasaan

atau erotik, baik secara dominan maupun eksklusif dan juga dengan ataupun tanpa

adanya hubungan fisik (Putri, 2013).

Di negara-negara maju seperti Amerika, Inggris dan Belanda, gay bukan

merupakan hal yang tabuh, bukan merupakan sesuatu yang dianggap menyimpang

dan bahkan di negara-negara tersebut sudah melegalkan bagi para kaum gay untuk

menikah sesama jenis layaknya pernikahan yang terjadi antara perempuan dan

1
laki-laki. Dalam kehidupan sehari-hari, kaum gay negara barat tersebut, bebas

mengekspresikan diri mereka di tempat umum seperti saling berpelukan mesra

ketika berpacaran, berciuman hinggal hal yang lebih ekstrim adalah melakukan

proses pertunangan di tempat umum yang dihadiri oleh sanak keluarga dan teman-

teman dekat. Perilaku yang ditunjukkan oleh kaum gay tersebut merupakan suatu

kesepakatan yang disepakati secara bersama-sama oleh negara dan masyarakatnya

yang kemudian menjadi kebiasaan atau budaya mereka. Dalam hal ini, kita juga

banyak menyaksikan beberapa artis-artis internasional yang tinggal di negara

bagian barat tidak malu untuk menyatakan diri mereka sebagai seorang gay,

seperti artis Hollywood terkenal yaitu Mark Westlife Feehily, Ricky Martin,

George Michael dan masih banyak lagi.

Penerimaan positif masyarakat negara barat terhadap perilaku gay yang

menurut mereka sebagai sesuatu yang sah (legal) tentunya sangat berbanding

terbalik dengan perilaku budaya masyarakat di negara Indonesia. Tidak ada satu

aturanpun baik tertulis dan tidak tertulis yang membenarkan bahwa gay

merupakan perilaku yang dilegalkan. Di Indonesia, perilaku gay dianggap sebagai

suatu hal yang sangat menyimpang dan tentunya bisa merugikan diri sendiri serta

orang lain. Tidak hanya berkaitan dengan aturan, berdasarkan cara pandang

agama, bahwa tidak ada satupun agama di Indonesia yang melegalkan hubungan

kaum gay. Artinya bahwa dari segi negara dan agama semua menolak dan tidak

mensahkan bahwa gay itu merupakan perilaku yang benar.

Mengapa perilaku gay bisa merugikan diri sendiri dan orang lain?

Khususnya di negara Indonesia telah ditemukan berbagai kejadian yang sangat

2
memalukan dan mengenaskan yaitu adanya pembunuhan yang dilakukan oleh

pasangan sesama jenis terhadap kekasihnya. Dalam sebuah jurnal nasional tahun

2014 menjelaskan bahwa terdapat kasus yang mencuat di media masa yang

dilakukan oleh kaum gay, dua diantaranya yaitu Ryan dan Mujianto, mereka

merupakan orang- orang yang memiliki ketertarikan dengan sesama jenis, dalam

hal ini laki- laki yang menyukai sesama laki-laki atau sering kita kenal dengan

sebutan gay.

Pada kasus Ryan, Ryan membunuh korbannya yang bernama Heri Santoso

(40), salah satu dari 11 orang korbannya ini adalah seorang manager penjualan

sebuah perusaah swasta di Jakarta. Ryan membunuh Heri atas dasar tersinggung

karena Heri menawarkan sejumlah uang untuk berhubungan dengan pacar Ryan

yang juga seorang laki-laki yang bernama Noval. Pada hasil pemeriksaan

kejiwaannya, Ryan dinyatakan tidak mengalami gangguan jiwa namun ia

memiliki sifat yang sensitif, mudah tersinggung, impulsif dan agresif (Dede,

2008). Dalam kasus Mujianto, motif pembunuhan terhadap korbannya hampir

sama dengan Ryan, yaitu karena rasa cemburu ketika mengetahui bahwa

pasangannya yang berinisial JS memilki banyak kekasih (Dede, 2008). Kasus

yang terjadi tersebut.

Sebenarnya, kasus-kasus yang menjerat kaum gay di Indonesia masih lebih

banyak lagi dan bervariatif. Namun walaupun demikian, masih banyak ditemukan

para lelaki yang masih bertahan menjadi seorang gay disebabkan alasan

kenyamanan hati dan pikiran. Selain itu, penyebab banyaknya perilaku gay yang

bermunculan disebabkan adanya pengaruh dari budaya barat. Berdasarkan

3
penjelasan dari sebuah jurnal nasional tahun 2014 bahwa seiring dengan

perkembangan jaman dan pengaruh kebudayaan barat yang masuk ke Indonesia,

mengakibatkan beberapa penyimpangan dan menimbulkan pelanggaran norma

sosial. Salah satu bentuknya adalah perilaku homoseksual. Homoseksualitas di

Indonesia, masih merupakan hal yang tabu dan sangat sulit diterima oleh

masyarakat. Budaya timur yang melekat di masyarakat membuat hal ini menjadi

sebuah masalah yang besar (Vol. 02, No.02, Januari 2014)

Diakui ataupun tidak diakui, di Indonesia laki-lai yang menjadi gay sudah

cukup banyak, walaupun dalam melakukan perilaku sosial kepada masyarakat

mereka membatasinya. Hal ini disebabkan agar masyarakat tidak mencurigai

perilaku menyampang yang mereka miliki dan tentunya tidak akan mendapatkan

cemohan. Menurut Akbar dan Sihabudin (2011), kaum homoseksual atau gay

termasuk dalam kaum deviant, atau disebut juga dengan kelompok yang

menyimpang. Dimana dengan perilaku yang menyimpang membuat sebagian

besar komunitas bahkan individu homoseksual sulit untuk berinteraksi dengan

masyarakat luas. Mengapa? Karena homoseksual oleh masyarakat dianggap

sebagai penyimpangan orientasi seksual. Orientasi seksual disebabkan oleh

interaksi yang kompleks antara faktor lingkungan, kognitif, dan biologis. Pada

sebagian besar individu, orientasi seksual terbentuk sejak masa kecil. Hasil

penelitian-penelitian sebelumnya menganggap bahwa ada kombinasi antara faktor

biologis dan lingkungan sebagai penyebab orientasi seksual homoseksual (Money,

dalam Feldmen, 1990).

4
Oleh karena itu, untuk menghindari berbagai pernyataan negatif dari

masyarakat tentang diri mereka sebagai kaum gay, maka dalam perilaku sosialnya

mereka sangat berhati-hati, tidak gampang terbuka dengan orang lain dalam

interaksi langsung walaupun terkadang dimedia sosial banyak ditemukan lelaki

gay yang sedikitnya bisa memberikan pesan bahwa dirinya memiliki perilaku

menyimpang yaitu menyukai sesama jenis. Namun secara umum, di Indonesia

lelaki gay tidak akan mudah mengakui dirinya dihadapan umum baik keluarga

atau teman bahwa dirinya adalah seorang gay, meskipun kondisinya saat itu lelaki

tersebut sedang melakukan hubungan berpacaran dengan kekasihnya yang juga

merupakan seorang laki-laki. Terkait dengan kejujuran atau keterbukaan diri, hal

inilah yang membedakan budaya timur dan budaya barat.

Berbicara tentang hubungan (relationship) berpacaran, para kaum gay juga

hampir sama dengan kekasih normal pada umumnya. Mereka bisa saling

mencintai, menyayangi, saling memberikan perhatian khusus, memiliki rasa

cemburu terhadap pasangan dan bahkan sampai pada hal yang lebih dekat yaitu

tinggal satu rumah atau kos layaknya seperti pasangan suami isteri. Hal inilah

yang juga peneliti temukan di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Banyak kaum gay

yang melakukan hubungan (relationship) berpacaran. Hubungan tersebut dijalani

karena pada dasarnya mereka saling mencintai satu sama lainnya serta tidak

memungkiri bahwa ketertarikan secara fisik juga sangat diprioritaskan.

Dalam menjalani hubungan tersebut, kaum gay di Kota Palu sangat rapi

dalam menjaga perilaku mereka, karena mereka juga menyadari bahwa privasi diri

itu sangat penting untuk dijaga. Tidak bisa dipungkiri juga bahwa, dalam

5
hubungan berpacaran yang dilakukan oleh kaum gay di Kota Palu tentunya juga

akan mengalami berbagai macam masalah, oleh karena itu, untuk mencegah hal-

hal yang demikian maka perlu dilakukan tahap pemeliharaan hubungan

(maintenance relationship). Tahap ini tidak hanya berfungsi untuk mencegah

terjadinya masalah, namun dapat membuat kaum gay yang berpacaran merasa

lebih nyaman, semakin sayang terhadap pasangan serta dapat membuat hubungan

bertahan lebih lama.

Dalam penelitian ini, tahap maintenance relationship yang dilakukan oleh

kaum gay di Kota Palu pada hubungan berpacaran masuk dalam level komunikasi

antarpribadi dengan metode penelitian kualitatif yang hasilnya nanti akan

dijabarkan melalui kalimat-kalimat berbentuk huruf.

Berdasarkan penjabaran di atas terkait dengan fenomena berpacaran gay di

Kota Palu, maka judul penelitiannya adalah Komunikasi Antarpribadi

Pasangan Gay Dalam Maintenance Relationship Di Kota Palu.

1.2. Rumusan Masalah

Terkait dengan penjabaran latar belakang masalah penelitian di atas, maka

rumusan masalahnya adalah bagaimana komunikasi antarpribadi pasangan gay

dalam maintenance relationship di Kota Palu?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka tujuan dari penelitiannya

yaitu untuk mengetahui komunikasi antarpribadi pasangan gay dalam

maintenance relationship di Kota Palu?

6
1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat dalam penelitian ini adalah :

a. Teoritis
Penelitian ini dilakukan agar dapat menjadi referensi untuk memahami

komunikasi sebagai sarana dalam suatu hubungan interpersonal

khususnya relationship yang terjadi pada gay di Kota Palu.

Ditambahkan lagi bahwa penelitian ini juga bisa dijadikan sebagai

leteratur untuk peneliti selanjutnya dalam studi Ilmu Komunikasi

dengan level komunikasi antarpribadi.


b. Praktis
Penelitian ini dilakukan agar dapat menjadi referensi positif bagi

siapapun tanpa terkecuali yang ingin melakukan hubungan berpacaran

dan selalu berusaha untuk memelihara dengan baik hubungan tersebut,

sehingga bisa bertahan lebih lama.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

7
2.1. Komunikasi Antarpribadi (Interpersonal Communication)
2.1.1. Definisi Komunikasi Antarpribadi

Komunikasi berusaha menjembatani antara pikiran, perasaan dan

kebutuhan seseorang dengan dunia luarnya. Komunikasi membangun kontak-

kontak manusia dengan menunjukkan keberadaan dirinya dan berusaha

memahami kehendak, sikap dan perilaku orang lain. Komunikasi membuat

cakrawala manusia menjadi makin luas. Sehingga dapat menyelimuti segala yang

kita lakukan pada saat berinteraksi demi tujuan yang diinginkan. Komunikasi

adalah alat (instrument) yang dipakai manusia untuk melakukan interaksi sosial,

baik secara individu dengan individu, individu dengan kelompok ataupun

kelompok dengan kelompok. Komunikasi adalah arus yang telah mengalir

sepanjang sejarah manusia, yang selalu memperluas wawasan seseorang dengan

jalur-jalur informasinya. Ini artinya, komunikasi sebagai suatu proses sosial yang

sangat mendasar dan vital dalam kehidupan manusia.

Dikatakan mendasar karena setiap masyarakat manusia baik yang

primitif maupun modern berkeinginan mempertahankan suatu persetujuan

mengenai berbagai aturan sosial melalui komunikasi. Dikatakan vital karena

setiap individu memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan individu-

individu lainnya (dan dengan begitu menetapkan kredibilitasnya sebagai seorang

anggota masyarakat) sehingga meningkatkan kesempatan individu tersebut untuk

tetap hidup, sedangkan tidak adanya kemampuan ini pada seseorang individu

8
umumnya dianggap sebagai suatu bentuk patologi kepribadian yang serius.

(Wright 1985, dalam Masmuh, 2008:3).

Dua orang dikatakan melakukan interaksi apabila melakukan aksi dan

reaksi. Aksi dan reaksi yang dilakukan manusia ini (baik secara perorangan,

kelompok, ataupun organisasi), dalam ilmu komunikasi disebut sebagai tindakan

komunikasi. Tindakan komunikasi dapat dilakukan dalam berbagai macam cara

baik secara verbal (dalam bentuk kata-kata baik lisan dan/atau tulisan) ataupun

non-verbal (tidak dalam bentuk kata, misalnya gestura, sikap, tingkah laku,

gambar-gambar, dan bentuk-bentuk lainnya yang mengandung arti). (Sendjaja,

2002:13).

Menurut kelompok sarjana komunikasi yang memfokuskan diri pada studi

komunikasi antarmanusia yang menyatakan bahwa :

Komunikasi adalah suatu pertukaran, proses simbolik yang


menghendaki orang-orang agar mengatur lingkungannya (1) dengan
membangun hubungan antar sesama manusia; (2) melalui pertukaran
informasi (3) untuk menguatkan sikap dan tingkah laku orang lain; (4)
serta berusaha mengubah sikap dan tingkah laku itu, (Book 1980 dalam
Cangara , 2004 : 18-19).

Komunikasi dapat juga didefinisikan sebagai pertukaran ide-ide,

komunikasi merupakan transmisi informasi yang dihasilkan oleh pengiriman

stimulus dari suatu sumber yang direspons penerima, (Liliweri, 2011:35).

Sedangkan dalam bentuk sederhana, komunikasi merupakan proses yang

menggambarkan bagaimana seseorang memberikan stimulasi pada makna pesan

verbal dan non-verbal ke dalam pikiran orang lain, (McCroskey, 1998) (dalam

Liliweri, 2011:35).

9
Komunikasi terbagi menjadi komunikasi verbal dan komunikasi

nonverbal.

a. Komunikasi Verbal

Komunikasi verbal ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Pesan verbal

adalah semua jenis symbol yang menggunakan satu kata atau lebih. Suatu sisten

kode verbal disebut bahasa.Bahasa dapat didefinisikan sebagai seperangkat

symbol dengan aturannya yang telah dipahami dan disepakati oleh suatu

komunitas. Bahasa verbal adalah sarana utama untuk menyatakan pikiran,

perasaan, dan maksud kita (Mulyana, 2008 : 261). Kita sering tidak menyadari

pentingnya bahasa karena kita selalu menggunakannya sepanjang hidup. Namun

akan terasa apabila kita menemukan jalan buntu dalam menggunakan bahasa.

Misalnya berkomunikasi dengan orang yang berbeda bahasa dengan kita.Fungsi

bahasa yang mendasar adalah untuk menamai atau menjuluki orang, subjek dan

peristiwa.

Bahasa adalah sesuatu yang akan terus berkembang seiring adanya

penemuan-penemuan baru atau era baru. Hal tersebut yang menjadikan bahasa

menjadi fleksibel seiring perkembangan zaman sehingga tidak menutup

kemungkinan untuk melahirkan kosakata-kosakata baru. Apalagi kaum-kaum

remaja kini sering membuat kosakata yang telah disepakatai bersama dan tersebar

dikalangannya atau yang biasa disebut bahasa gaul. Sejumlah kata atau istilah

punya arti khusus, unik, menyimpang atau bahkan bertentangan dengan arti yang

lazim ketika digunakan oleh orang-orang dari subkultur tertentu.

10
Maraknya gay yang kini telah memiliki komunitas sendiri di ruang publik

mendorong untuk kaum mereka menciptakan bahasa yang digunakan di dalam

komunitasnya. Bahasa yang digunakan dibilang bahasa gay atau mirip dengan

bahasa kaum waria, misalnya binaginus yang berarti bagus, linak (laki-laki),

minurinah (murah), duta (uang) dan lain sebagainya.

b. Komunikasi Non Verbal

Meskipun secara teoritis komunikasi non verbal dapat dipisahkan dari

komunikasi verbal, dalam kenyataannya kedua jenis komunikasi itu jalin menjalin

dalam komunikasi sehari-hari. Istilah non verbal biasanya digunakan untuk

melukiskan semua peristiwa komunikasi di luar kata-kata terucap. Tidak ada

struktur pasti, tetap, dan dapat diramalkan mengenai hubungan antara komunikasi

verbal dan komunikasi non verbal. Keduanya dapat berlangsung spontan,

serempak dan non sekuensial.

Dalam hubungannya perilaku non verbal mempunyai fungsi sebagai berikut:

1. Perilaku non verbal dapat mengulangi perilaku verbal


2. Memperteguh, menekankan, atau melengkapi perilaku verbal
3. Perilaku non verbal menggantikan perilaku verbal
4. Perilaku non verbal dapat meregulasi perilaku verbal
5. Perilaku nonverbal dapat membantah atau bertentangan dengan perilaku

verbal

Jika terdapat pertentangan antara pesan verbal dan pesan non verbal, kita

biasanya lebih mempercayai pesan nonverbal karena menunjukkan pesan

sebenarnya, karena pesan nonverbal lebih sulit dikendalikan dari pada pesan

verbal.

11
Menurut Ray L. Birdwhistell 65% komunikasi tatap muka didominasi oleh

pesan nonverbal sementara menurut Albert Mehrabian 93% komunikasi tatap

muka diperoleh dari isyarat-isyarat non verbal. Pengklasifikasian pesan verbal

dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu bahasa tanda, bahasa tindakan dan bahasa

objek.

Bahasa tubuh merupakan salah satu yang tak terlepaskan dari komunikasi

non verbal tatap muka. Karena anggota tubuh kita seperti mata, tangan, kaki,

semua bergerak dan menciptakan isyarat simbolik. Dalam bahasa tubuh terdiri

dari:

1) Isyarat tangan
2) Gerakan kepala
3) Postur tubuh dan posisi kaki
4) Ekspresi wajah dan tatapan muka

Selain isyarat tubuh, ada juga aspek-aspek yang tidak terlepas dari

komunikasi nonverbal yaitu sentuhan, parabahasa, penampilan fisik dan bau-

bauan. Goffman dalam Mulyana (2008) mengatakan bahwa karena itulah

meskipun seseorang berhenti berbicara, namun ia tak dapat berhenti

berkomunikasi melalui idiom tubuh .

Kode nonverbal digunakan untuk menyampaikan makna.Kode nonverbal

memiliki dimensi semantik, sintaksis, dan pragmatis.Semantik mengacu pada

makna dari tanda. Syntactics mengacu pada cara tanda-tanda tersebut yang akan

disusun dalam sistem dengan tanda-tanda lainnya. Berikut isyarat, tanda vokal

(tertawa), ekspresi wajah, dan bahasa yang bergabung untuk menciptakan sebuah

makna secara keseluruhan.Pragmatik mengacu pada efek atau perilaku yang

ditimbulkan oleh tanda atau kelompok tanda-tanda.Bahasa dan bentuk nonverbal

12
memungkinkan komunikator untuk menggabungkan hal yang relatif sedikit tanda-

tanda ke berbagai bagian yang hampir tak terbatas dari ekspresi kompleks yang

ada.

Membicarakan hubungan antara komunikasi interpersonal terhadap sikap

pada hakikatnya juga membicarakan tentang gejala psikologis.Sikap terdiri atas

tiga komponen yakni komponen kognisi yang berhubungan dengan belief, ide,

pemahaman dan konsep; komponen afeksi yang menyangkut emosi dan perasaan

seseorang; komponen konasi yang merupakan kecenderungan bertingkah laku.

Menurut De Vito (Liliweri, 2003: 55) menyatakan bahwa


Komunikasi antarpribadi berbeda dengan bentuk komunikasi yang
lain dalam hal sedikitnya jumlah partisipan yang terlibat, orang-orang yang
terlibat (interectants) secra fisik sangat dekat satu sama lain, dan ada banyak
channel yang dipergunakan dan feedback-nya sangat cepat.

Miller (1990) dalam (Berger, 2011:208) menyatakan bahwa perspektif

situasional adalah perspektif substantif pertama terhadap bentuk komunikasi

interpersonal. Perspektif ini membedakan tipe-tipe komunikasi berdasarkan

aspek-aspek komunikasi. Aspek yang terpenting meliputi jumlah komunikator,

kedekata fisik di antara komunikator-komunikator itu, ketersediaan saluran

inderawi atau saluran komunikasi (terutama saluran non-verbal), dan kesegeraan

umpan balik yang diterima oleh para komunikator. Komunikasi interpersonal

biasanya berlangsung di antara dua orang yang terlibat interaksi tatap muka,

menggunakan baik saluran verbal maupun saluran non-verbal, dan memiliki

kesempatan untuk memberikan umpan balik dengan segera.

Dalam perpektif situasional di atas, dinyatakan bahwa komunikasi diadik

sering disinonimkan dengan komunikasi interpersonal. Hal itu seperti definisi

13
yang disampaikan oleh Trenholm dan Jensen (2008) menyatakan bahwa:

Interpersonal communication refers to dydic communication in which two

individuals, sharing the roles of sender and receiver, become connected through

the mutual activity of creating meaning.

Menurut Miller dan Steinberg (1975) dalam (Berger, 2011:208)

mengusulkan alternatif tentang perpektif perkembangan terhadap komunikasi

interpersonal. Perspektif ini dimulai dengan membedakan antara komunikasi

impersonal dan interpersonal. Pada komunikasi impersonal, interaktan saling

berhubungan sebagai peran sosial, bukan sebagai orang-orang yang berbeda, dan

prediksi interaktan perihal bagaimana pengaruh opsi pesan nantinya terhadap

interaktan yang lain lebih didasarkan pada pengetahuan budaya dan sosiologis

umum daripada informasi psikologis. Kebalikannya, pada komunikasi

interpersonal, interaktan saling berhubungan sebagai orang-orang yang memiliki

ciri masing-masing dan prediksi interaktan tentang opsi pesan didasarkan pada

informasi psikologis tertentu tentang interaktan lainnya (misalnya, ciri-ciri watak

pembeda yang dimiliki interaktan lain tersebut, kecenderungan perilakunya, sikap

atau perasaannya). Komunikasi impersonal dan interpersonal merupakan suatu

kontinum: ketika baru pertama kali bertemu orang hanya melakukan komunikasi

impersonal, tetapi jika interaksi berlanjut dan peserta mengungkapkan dan saling

bertukar informasi yang lebih personal, karakter hubungan dan interaksi mereka

menjadi lebih interpersonal secara lebih progresif. Roloff dan Anastosiou (2001)

menyebutkan, perpspektif ini menjadikan study hubungan akrab sebagai konteks

utama untuk mempelajari komunikasi interpersonal.

14
Perspektif interaksional berfokus pada mengungkapkan bentuk dan

implikasi-implikasi interaksisosial, bukan berupaya mengidentifikasi hakikat yang

membedakan komunikasi interpersonal. Uraian paling sistematis dari perspektif

interaksional diberikan Cappella (1987) yang mendefinisikan komunikasi

interpersonal sebagai saling menyesuaikan atau saling mempengaruhi. Cappella

menjelaskan bahwa komitmen essensial perspektif ini tertuju kepada

keinteraksionalan komunikasi interpersonal, dengan menegaskan bahwa agar

terjadi komunikasi interpersonal, setiap orang harus mempengaruhi pola-pola

perilaku orang lain, yang teramati relatif terhadap pola tipikal atau pola

standarnya. Lebih lanjut dijelaskan oleh Cappella bahwa semua pertemuan yang

merupakan interaksi adalah interpersonal. (dalam Berger, 2011:208)

Menurut De Vito, komunikasi interpersonal mempunyai 3 (tiga) definisi

yaitu :

1. Definisi berdasarkan komponen (componential)


Menjelaskan komunikasi interpersonal dengan mengamati komponen-

komponen utamanya, yaitu: penyampaian pesan oleh satu orang dan

penerimaan pesan oleh orang lain atau sekelompok kecil orang, dengan

berbagai dampaknya dan dengan peluang untuk memberikan umpan balik

segera. (Devito, 1997:231)


2. Definisi berdasarkan atas hubungan atau diadik
Pendapat Devito adalah sebagai berikut :
In a diadyc or relational definition, interpersonal communication is

communication that takes place between two persons who have an

establhised relationship: the people are in some way connected. (Devito,

1997:7)

15
Dalam komunikasi diadik, bahkan ketika komunikasi terjadi dalam suatu

kelompok terdiri dari 3 orang, tetap saja cenderung terjadi hubungan

komunikasi interpersonal diadik, yakni antara A dengan B, A dengan C, dan B

dengan C. Karena dalam kelompok tersebut, tidak semua orang memiliki

minat yang sama satu sama lain. Belum tentu ketiga orang tersebut menguasai

topik pembicaraan yang sama. Ada kalanya A dan B menguasai topik

pembicaraan yang sama, sedangkan C tidak. Maka komunikasi interpersonal

ini hanya terjalin antara A dan B.


3. Definisi berdasarkan pengembangan.
Pada pendekatan ini, komunikasi dilihat sebagai suatu kontinum yang

bergerak dari impersonal (pada awalnya) sampai sangat intim (interpersonal).

Komunikasi interpersonal dibagi menjadi 3 (tiga) faktor yaitu : (Devito,

1997:231)
a. Berdasarkan data psikologis
Dalam interaksi interpersonal, orang mendasarkan prediksinya berdasar

data psikologis, dimana tiap orang berbeda dengan anggota-anggota lain

dalam kelompoknya. Dalam pertemuan yang impersonal, orang

menanggapi pihak lain sebagai suatu anggota kelompok yang berkaitan.

Misalnya kita menanggapi dosen seperti hanya kita bersikap pada dosen-

dosen pada umumnya, sama halnya dosen tersebut menanggapi kita

seperti halnya mahasiswa pada umumnya. Ketika hubungan berkembang

menjadi lebih pribadi, kedua pihak mulai menanggapi satu sama lain tidak

lagi sebagai anggota kelompok tertentu namun sebagai pribadi.


b. Berdasarkan pengetahuan yang menjelaskan
Interaksi didasarkan pada pengetahuan yang meningkatkan hubungan

menjadi lebih dekat, dari pengetahuan yang mulanya gambaran prediksi

16
menjadi penjelasan atas suatu tingkah laku. Dalam hubungan impersonal,

kita menduga-duga perilaku orang ketika berkomunikasi. Ketika kita

mengenal orang tersebut lebih baik, kita bisa memprediksi perilakunya.

Kalau kita mengenal orang itu lebih baik lagi, kita akan mampu

menjelaskan perilakunya.
c. Berdasarkan aturan yang ditetapkan secara personal
Dalam suatu hubungan yang impersonal, aturan dalam berinteraksi

ditetapkan oleh norma-norma sosial. Dalam hubungan impersonal, dosen

dan mahasiswa berperilaku satu sama lain berdasarkan norma sosial yang

ditetapkan oleh budaya dan masyarakat mereka. Ketika hubungan atara

mahasiswa dan dosen tersebut berkembang menjadi hubungan

interpersonal, aturan-aturan sosial tersebut tidak lagi mengatur interaksi

mereka. Mereka menetapkan aturan-aturan mereka sendiri dalam

berinteraksi karena kini mereka memandang satu sama lain lebih sebagai

suatu pribadi daripada sebagai anggota kelompok sosial tertentu.


2.1.2. Ciri Ciri Komunikasi Interpersonal

Effendy (1986) mengemukakan bahwa pada hakikatnya komunikasi

antarpribadi adalah komunikasi antara komunikator dengan seorang komunikasn.

Komunikasi jenis ini dianggap paling efektif dalam hal upaya mengubah sikap,

pendapat atau perilaku seseorang karena sifatnya yang dialogis, berupa

percakapan. Arus balik bersifat langsung. Komunikator mengetahui tanggapan

komunikan ketika itu juga, pada saat komunikasi dilancarkan. Komunikator

mengetahui pasti apakah komunikasinya itu positif atau negatif, berhasil atau

tidak, jika tidak, ia dapat member kesempatan kepada komunikasi untuk bertanya

seluas-luasnya. Pendapat lain dari Dean C. Barnlund (1968) mengemukakan

17
bahwa komunikasi antar pribadi biasanya dihubungkan dengan pertemuan antara

dua orang atau tiga orang atau mungkin empat orang yang terjadi secara sangat

spontan dan tidak berstruktur.

Menurut Barnlund (1968) ada beberapa ciri yang bisa diberikan untuk

mengenal komunikasi antar pribadi yaitu:

1. Komunikasi antar pribadi terjadi secara spontan


2. Tidak mempunyai struktr yang teratur atau diatur
3. Terjadi secara kebetulan
4. Tidak mengejar tujuan yang telah direncanakan terlebih dahulu
5. Identitas keanggotaannya kadang-kadang kurang jelas
6. Bisa terjadi hanya sambil lalu saja (Liliweri, 1991:12-13)

De Vito (1997: 54) menyatakan setidaknya ada empat fungsi dari

komunikasi antarpribadi yaitu :

1) Memperoleh informasi. Alasan seseorang terlibat dalam komunikasi

antarpribadi adalah karena kita dapat memperoleh informasi tetang orang

lain sehingga kita bisa berinteraksi dengan individu secara lebih efektif.

Seseorang bisa memprediksikan secara lebih baik bagaimana orang lain

berpikir, merasa dan bertindak jika kita memahaminya.


2) Membangun konteks pengertian. Kata-kata yang diucapkan bisa

mempunyai makna yang berbeda tergantung bagaimana hal tersebut

dikatakan dan dalam konteks apa.


3) Membangun identitas. Peran yang dimainkan dalam hubungan kita,

membantu kita dalam memangun identitas. Begitu juga dalam membangun

muka, imej publik yang kita perlihatkan pada orang lain.


4) Kebutuhan-kebutuhan antarpribadi. Seseorang terlibat dalam suatu

komunikasi antarpribadi karena kita buuh untuk mengekspresikan dan

menerima kebutuhan-kebutuhan antarpribadi. William Schutz

18
mengidentifikasi tiga kebutuhan: inklusi, kontrol dan afeksi. Inklusi adalah

kebutuhan untuk membangunidentitas dengan orang lain. Kontrol adalah

kebutuhan untuk melatih hubungan dan membuktikan kemampuan

seseorang. Sedangkan afeksi adalah kebutuhan untuk membangun

hubungan dengan orang-orang.


2.2. Hubungan Antarpibadi (Interpersonal Relationship)

Berdasarkan kamus Longman bahwa pengertian hubungan (relationship)

adalah cara dua orang atau dua kelompok merasakan satu dengan yang lainnya.

Littlejohn dan Foss menyatakan bahwa banyak orang tertarik dengan topik

hubungan karena setiap hubungan memiliki dimensi yang berbeda-beda.

Adakalanya suatu hubungan dapat terjalin dengan mudah dan menyenangkan

namun tidak jarang orang memiliki hubungan yang sulit sehingga hubungan itu

tampak aneh dan tidak menarik. Hubungan merupakan topik yang menarik karena

selalu berubah dan berkembang.Perubahan yang terjadi terkadang sangat

dramatis. Hal yang menarik dalam hubungan adalah orang yang sering

bernegosiasi dengan dirinya mengenai topik apa saja yang dapat dibicarakan

dengan orang lain dan berapa banyak informasi yang dapat disampaikannya.

(Littlejohn & Foss, 2011: 230)

Hubungan antarpribadi yang baik merupakan salah satu faktor pendukung

bagi setiap orang dalam mengefektifkan pesan ketika berkomunikasi. Komunikasi

yang dilakukan oleh dua orang dalam melakukan pengungkapan diri melibatkan

bentuk pesan baik verbal ataupun non verbal. Pernyataan yang terkait dengan

komunikasi antarpribadi tersebut yaitu dapat berlangsung diantara dua orang yang

mempunyai hubungan yang mantap dan jelas, terjadi dalam konteks satu

19
komunikator dengan satu komunikan yang disebut komunikasi diadik, yaitu

proses komunikasi yang berlangsung antara dua orang dalam situasi tatap muka.

Dalam komunikasi antarpribadi, komunikator relatif cukup mengenal komunikan

dan sebaliknya.Pesan dikirim dan diterima secara simultan dan spontan, relatif

kurang terstruktur, demikian pula halnya dengan umpan balik yang dapat diterima

dengan segera.Dalam tataran antarpribadi, komunikasi berlangsung secara

sirkuler, peran komunikator dan komunikan relatif setara, Devito (1997:231).

Orang yang melakukan komunikasi antarpribadi secara umum sudah

memiliki hubungan antarpribadi yang baik karena didalamnya telah terlibat

bentuk psikologi. Hubungan antarpribadi itu dapat diakitkan dengan pernyataan

yang disampaikan oleh R. Wayne Pace (dalam Adrian, 2016) mengatakan bahwa

dalam hubungan antarpribadi cenderung lebih baik bila kedua belah pihak

melakukan hal-hal berikut :

1 Menyampaikan perasaan secara langsung dan dengan cara yang hangat

dan ekspresif.

2 Menyampaikan apa yang terjadi dalam lingkungan pribadi mereka

melalui penyingkapan diri (self disclosure).

3 Menyampaikan pemahaman yang positif, hangat kepada satu sama

lainnya dengan memberikan respon-respon yang relevan dan penuh

pengertian.

4 Bersikap tulus kepada satu sama lainnya dengan menunjukkan sikap

menerima secara verbal maupun nonverbal.

20
5 Selalu menyampaikan pandangan positif tanpa syarat terhadap satu

sama lainnya melalui respon-respon yang tidak menghakimi dan

ramah.

6 Berterus terang mengapa menjadi sulit atau bahkan mustahil untuk

sepakat satu sama lainnya dalam perbincangan yang tidak menghakimi,

cermat, jujur dan membangun.

DeVito (1997:255-256), menyatakan bahwa hubungan antarpribadi dapat

dijelaskan dengan mengidentifikasikan dua karakteristik penting. Pertama,

hubungan antar pribadi berlangsung melalui beberapa tahap, mulai dari tahap

interaksi awal sampai ke pemutusan (dissolation). Kedua, hubungan antar pribadi

berbeda-beda dalam hal keleluasaan (breadth) dan kedalamannya (depth).

1. Kontak. Pada tahap pertama kita membuat kontak. Ada beberapa

macam persepsi alat indra. Melihat, mendengar dan membuai

seseorang. Pada tahap inilah penampilan fisik begitu penting, karena

dimensi fisik paling terbuka untuk diamati secara mudah. Meskipun

demikian kualitas-kualitas lain seperti sikap bersahabat, kehangatan,

keterbukaan, dan dinamisme juga terungkap pada tahap ini. Jika anda

menyukai orang ini dan ingin melanjutkan hubungan.

2. Keterlibatan. Tahap keterlibatan adalah tahap pengenalan lebih jauh,

ketika kita mengikatkan diri kita untuk lebih mengenal orang lain dan

juga mengungkapkan diri kita.

21
3. Keakraban. Pada tahap keakraban anda mengikat diri anda lebih jauh

pada orang. Anda mungkin membina hubungan primer (primary

relationship), dimana orang ini menjadi sahabat baik atau kekasih.

4. Perusakan. Dua tahap berikutnya merupakan penurunan hubungan,

ketika ikatan diantara kedua belah pihak melemah. Pada tahap

perusakan anda mulai merasa bahwa hubungan ini mungkin tidaklah

sepenting yang anda pikirkan sebelumnya.

5. Pemutusan. Tahap pemutusan adalah pemutusan ikatan yang

mempertalikan kedua pihak.

2.3. Teori Akomodasi

Teori yang disusun oleh Howard Giles (1991) ini merupakan salah satu teori

perilaku yang paling berpengaruh dalam Ilmu Komunikasi. Teori akomodasi

(accomodation theaory) menjelaskan bagaimana dan mengapa kita menyesuaikan

perilaku komunikasi kita dengan perilaku komunikasi orang lain.Dalam teori ini,

terdapat dua bentuk akomodasi: konvergensi dan divergensi. Konvergensi adalah

proses adaptasi gaya komunikasi agar menjadi lebih mirip dengan gaya

komunikasi oranglain atau kelompok, sedangkan divergensi ialah proses adaptasi

gaya komunikasi agar menjadi lebih berbeda daripada gaya komunikasi orang lain

atau kelompok.

Akomodasi pada kedua bentuk baik konvergensi dan divergensi dapat

terjadi pada semua perilaku komunikasi melalui percakapan termaksud kesamaan

atau perbedaan dalam hal intonasi suara, kecepatan, aksen, volume suara, kata-

22
kata, tata bahasa, gerak tubuh, dan lain-lain. Baik antara konvergensi dan

divergensi dapat bersifat mutual, kedua pembicara menjadi sama-sama menyatu

atau sama-sama menjauh, atau bersifat non-mutual, salah seorang pembicara

menyatu dan pembicara lainnya menjauh. Konvergensi dapat juga bersifat

sebagian partial atau lengkap (complete). Misal dengan berbicara sedikit lebih

cepat agar dapat mendekati tingkat kecepatan lawan bicara, atau berbicara secepat

mungkin agar bisa menyamai tingkat kecepatan lawan bicara.

Dalam bukunya Little John dan Foss (2011, 183-184) dijelaskan bahwa

akomodasi dapat memiliki peran penting dalam komunikasi karena dapat

memperkuat identitas sosial dan penyatuan, namun sebaliknya dapt pula

memperkuat perbedaan dan pemisahan.Konvergensi adakalanya disukai dan

mendapatkan apresiasi atau sebaliknya tidak disukai. Orang cenderung

memberikan respon positif kepada orang lain yang berupaya mengikuti atau

meniru gaya biacara atau pilihan kata-katanya, tetapi orang tidak menyukai terlalu

banyak konvergensi, khususnya jika hal itu tidak sesuai atau tidak pantas. Dalam

hal ini, seseorang yang tidak meniru gaya bicara lawan bicaranya tetapi meniru

hal lain yang dianggap sama dengan lawan bicara (stereotype) dapat menimbulkan

masalah.

1. Kovergensi

Konvergensi disebut dengan meleburkan pandangan atau menyatu, Giles,

Nicolas Coupland, dan Justine Coupland (1991) mendefinisikan konvergensi

sebagai strategi di mana individu beradaptasi terhadap perilaku komunikatof satu

sama lain (West & Turner, 2008: 222). Konvergensi bersifat dinamis, karena di

23
dalamnya selalu terbentuk gerak yang berorientasi pada tujuan dan kegunaan,

yang menghendaki studi mengenai arah dan tingkat perubahan, serta jaringan

antara dua orang atau lebih yang saling bertukar informasi (Suprapto, 2009: 83).

Konvergensi dapat terjadi secara positif ketika komunikator bertindak dalam

suatu gaya yang mirip dengan komunikannya (West & Turner, 2008: 225).

Littlejohn menyebutkan bahwa konvergensi bisa terjadi secara parsial atau

komplit. Komunikasi konvergen akan terlihat efektif atau komplit ketika

komunikasi terjadi dengan menarik (attractive), terprediksi, dan mudah

dimengerti (Littlejohn& Foss, 2008: 153). Namun, selain menuju pada hal positif

ternyata konvergensi juga dapat terjadi secara negatif jika dilakukan untuk

mempermalukan, menggoda, atau merendahkan (West & Turner, 2008: 225).

Menurut Littlejohn konvergensi dapat terjadi secara parsial, ketika komunikasi

konvergen yang membuat lawan bicara tidak suka, karena dilakukan secara tidak

wajar dengan bahasa verbal atau nonverbal yang tidak diinginkan (Littlejohn &

Foss, 2008: 153).

2. Divergensi

Giles percaya bahwa pembicara kadang menonjolkan perbedaan verbal dan

non verbal diantara diri mereka sendiri dan orang lain, ini disebut divergensi

(West & Turner, 2008: 226). Lawan dari konvergensi adalah divergensi

merupakan komunikasi yang menjauh, karena pembicara menunjukkan

perbedaannya kepada lawan bicara (Littlejohn & Foss, 2008: 153).

Divergensi tidak dapat disalahartikan sebagai satu cara tidak sepakat atau

tidak memberikan respon pada lawan bicara, divergensi juga tidak sama dengan

24
ketidakpedulian, namun mereka memutuskan untuk mendisosiasikan atau memilih

untuk menjauhkan diri untuk tidak berkomunikasi dengan alasan yang bervariasi

(West & Turner, 2008: 227). Terdapat beberapa alasan orang melakukan

divergensi, salah satunya untuk mempertahankan identitas sosial mereka satu

sama lain dalam rangka ingin selalu mempertahankan budaya mereka sendiri

diahadapan komunikator lain ketika berkomunikasi (West & Turner, 2008: 227).

2.4. Homoseksualitas
2.4.1. Definisi Homoseksualitas

Homoseksual adalah ketertarikan seksual terhadap jenis kelamin yang sama

(Feldmen, 1999). Homoseksualitas bukan hanya kontak seksual antara seseorang

dengan orang lain dari jenis kelamin yang sama tetapi juga menyangkut individu

yang memiliki kecenderungan psikologis, emosional, dan sosial terhadap

seseorang dengan jenis kelamin yang sama (Kendall & Hammer, 1998, dalam

Nugroho, Siswati, & Sakti 2012). Homoseksualitas juga dapat didefinisikan

sebagai orientasi atau pilihan seks yang diarahkan pada ketertarikan dari jenis

kelamin yang sama (Oetomo, dalam Ilham, 2012). Sehingga dapat dikatakan

bahwa seorang homoseksual adalah orang memiliki orientasi seksual kepada

orang lain dari jenis kelamin yang sama.

Secara sederhana, homoseksualitas dapat diartikan sebagai suatu

kecenderungan yang kuat akan daya tarik eritis seseorang justru terhadap jenis

kelamin yang sama. Istilah homoseksual lebih lazim digunakan bagi pria yang

menderita penyimpangan ini, sedang bagi wanita, keadaan yang sama lebih lazim

disebut lesbian (Sadarjoen, 2005)

25
Homoseksual sendiri terdiri dari dua golongan, yaitu lesbian dan gay.

Lesbian adalah wanita yang memuaskan birahinya dengan sesama jenisnya;

wanita homoseksual (Rahman, 2013). Sedangkan gay adalah pria yang mencintai

pria baik secara fisik, seksual, emosional, atau pun secara spiritual. Mereka juga

rata-rata agak memedulikan penampilan, dan sangat memperhatikan apa-apa saja

yang terjadi pada pasangannya (Ilham, 2012). Dapat disimpulkan bahwa seorang

perempuan yang memiliki ketertarikan terhadap perempuan disebut lesbian,

sedangkan seorang laki-laki yang tertarik dengan laki-laki disebut gay.

Penyebab homoseksual ada beberapa hal (Feldmen, 1999). Beberapa

pendekatan biologi menyatakan bahwa faktor genetik atau hormon mempengaruhi

perkembangan homoseksualitas. Psikoanalis lain menyatakan bahwa kondisi atau

pengaruh ibu yang dominan dan terlalu melindungi sedangkan ayah cenderung

pasif (Bieber dalam Feldmen, 1999). Penyebab lain dari homoseksualitas

seseorang yaitu karena faktor belajar (Master & Johnston, dalam Feldmen, 1999).

Orientasi seksual seseorang dipelajari sebagai akibat adanya reward dan

punishment yang diterima.

2.4.2. Pandangan Ahli dalam Memahami Fenomena Homoseksual


Para ahli membedakan homoseksual menjadi dua macam yaitu:
1. Homoseksual Ego Sintonik (Sinkron dengan Egonya)
Seorang homoseksual ego sintonik adalah homoseks yang merasa tidak

terganggu dengan orientasi seksualnya, tidak ada konflik bawah sadar yang

ditimbulkan serta tidak ada desakan, dorongan atau keinginan untuk

merubah orientasi seksualnya. Hasil penelitian dari beberapa ahli

menunjukkan, orang homoseksual ego sintonik mampu mencapai status

pendidikan, pekerjaan dan ekonomi sama tingginya dengan orang orang

26
yang bukan homoseksual, bahkan kadang kadang lebih berhasil. Wanita

homoseksual dapat lebih mandiri, fleksibel, dominan, dapat mencukupi

kebutuhannya sendiri, dan tenang. Kelompok homoseksual ini tidak

mengalami kecemasan dan kesulitan psikologis lebih banyak daripada

seorang heteroseksual. Pasalnya, mereka menerima dan tidak terganggu

secara psikis dengan orientasi seksual mereka, sehingga mampu

menjalankan sungsi seosial dan seksual secara efektif.


2. Homoseksual Ego distonik (tidak sinkron dengan egonya)
Homoseksual ego distonik merupakan kebalikan dari homoseksual ego

sintonik. Seorang homoseksual ego distonik adalah homoseks yang

mengeluh merasa terganggu akibat konflik psikis. Ia senantiasa tidak atau

sedikit sekali terangsang oleh lain jenis dan hal itu menghambatnya untuk

memulai dan mempertahankan hubungan heteroseksual yang sebetulnya

didambakannya. Secara terus terang ia menyatakan dorongan

homoseksualnya menyebabkan dia merasa tidak disukai, cemas dan sedih.

Konflik psikis tersebut menyebabkan perasaan bersalah, kesepian, malu,

cemas, dan depresi. Karenanya, homoseksual macam ini dianggap sebagai

gangguan psikoseksual. (www.people&soceity.co.id)

2.5. Kerangka Pikir

Gambar 1

Gay di Kota Palu

Komunikasi
Antarpribadi gay di
Kota Palu

27
Interpersonal
Relationship

Maintenance relationship
Teori Akomodasi :
a. Kovergensi
b. Divergensi

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Tipe dan Dasar Penelitian

3.1.1. Tipe Penelitian

Pendekatan dalam penelitian ini yang berkaitan dengan komunikasi

antarpribadi pasangan gay dalam maintenance relationship di Kota Palu

menggunakan tipe penelitian deskriptif kualitatif. Tujuan utama dalam

menggunakan deskriptif kualitatif adalah untuk menggambarkan sifat dari

suatu keadaan yang ada pada wakti penelitian dilakukan dan menjelajahi

penyebab dari gejala-gejala tertentu, Sevilla (1993: 91).

Menurut Miles dan Huberman (1992: 1-2) mengatakan bahwa data

kualitatif sangat menarik. Data kualitatif merupakan sumber dari deskripsi

yang luas dan berlandasan kokoh, serta memuat penjelasan tentang proses-

proses yang terjadi dalam lingkup setempat. Dengan data kualitatif kita

28
dapat mengikuti dan memahami alur peristiwa secaar kronologis, menilai

sebab akibat dalam lingkup pikiran orang-orang setempat dan memperoleh

penjelasan yang banyak dan bermanfaat. Dan lagi data kualitatif lebih

condong dapat membimbing peneliti untuk memperoleh penemuan-

penemuan tak terduga sebelumnya dan untuk membentuk kerangka teoritis

baru, data tersebut membantu peneliti untuk melangkah lebih jauh dari

praduga dan kerangka kerja awal.

3.1.2. Dasar penelitian

Dasar Penelitian ini menggunakan studi kasus. Menurut Creswell

(2007: 73-74), studi kasus adalah pendekatan kualitatif dimana peneliti

menjelajahi suatu kasus atau beberapa kasus dalam jangka waktu tertentu,

melalui pengumpulan data yang detail dan mendalam dengan melibatkan

berbagai sumber informasi (observasi, wawancara, rekaman audiovisual,

dokumen dan laporan), dan melaporkan deskripsi suatu kasus dan tema-

tema berbasis kasus. Dalam penelitian ini, terdapat beberapa kasus yang

melibatkan hubungan terlarang yang dilakukan pasangan gay, sehingga

untuk mengantisipasi hal negatif tersebut yang nantinya akan terjadi, maka

pasangan gay dituntut untuk bisa memeliharan relationship dengan baik.

3.2. Definisi Operasional Konsep

Bulaeng (2004) dalam Nurhaidar (2009:60) operasionalisasi proses

mentransfer konstruk-konstruk abstrak ke dalam indikator-indikator empiris yang

29
dapat diamati dan diukur. Oleh karena itu, untuk memudahkan dalam melakukan

penelitian nantinya, maka perlu dilakukan definisi operasional sebagai berikut :

1. Komunikasi antarpribadi pasangan gay merupakan proses penyampaian pesan

baik secara verbal dan nonverbal yang dilakukan oleh sesama gay di Kota

Palu dalam level hubungan berpacaran.


2. Relationship pasangan gay merupakan hubungan berpacaran yang terjadi antara

sesama gay di Kota Palu. Hubungan tersebut masuk dalam tahap

pemeliharaan hubungan.

3.3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dilaksanakan di Kota Palu, Sulawesi Tengah.

Dipilihnya daerah ini karena merupakan ibu kota dari provinsi Sulawesi Tengah

yang kepadatan penduduknya lebih banyak dan dari segi perkembangan

daerahnya lebih berkembang dibandingkan dengan daerah lainnya. Terkait dengan

kepadatan dan perkembangan daerah Kota Palu, secara tidak langsung akan

berpengaruh terhadap pergaulan dan perilaku masyarakat dalam melakukan

sesuatu, misalnya berperilaku menyimpang menjadi seorang gay yang juga

perilaku tersebut banyak ditemukan di kota-kota besar seperti Jakarta, Bali,

Makassar dan lain-lain.

3.4. Fokus Penelitian

Fokus penelitian adalah pemusatan konsentrasi pada tujuan dari penelitian

yang dilakukan. Fokus penelitian harus dinyatakan secara eksplisit untuk

memudahkan peneliti sebelum melakukan observasi. Fokus penelitian merupakan

30
garis besar dari pengamatan penelitian, sehingga observasi dan analisa hasil

penelitian lebih terarah, Moleong (2002:64).

Informan adalah bagian dari populasi yang dianggap penting oleh peneliti

untuk dapat mewakili dan menjawab permasalahan dalam penelitian, yang juga

disebut sebagai informan kunci. Sedangkan untuk penarikan informan kunci

menggunakan purposive sampling, adalah teknik penentuan sampel/informan

dengan pertimbangan tertentu, (Sugiyono, 2009:85).

Dalam penelitian ini, terdapat satu informan kunci dan empat informan

pendukung yang merupakan gay di Kota Palu. Berdasarkan kelayakannya bahwa

mereka merupakan gay yang sudah pernah menjalin hubungan berpacaran dengan

sesama jenis dalam waktu yang lama hingga tinggal dalam satu rumah layaknya

pasangan suami isteri.

3.5. Jenis dan Tehnik Pengumpulan Data

3.5.1 Jenis Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah :

1. Data primer merupakan data yang diperoleh dari sumber data pertama

atau tangan pertama dilapangan (Kriyantono, 2006:43). Dalam

penelitian ini, data primer akan diperoleh secara langsung dari hasil

wawancara mendalam dengan para informan terpilih yang ditentukan

sebelumnya.
2. Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari sumber kedua atau

sumber sekunder (Kriyantono, 2006:44). Dalam hal ini, data yang

diperoleh yaitu dari buku-buku, makalah, sumber online dan

31
dokumen-dokumen yang sudah ada yang berhubungan dengan

permasalahan dalam penelitian ini.

3.5.2 Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data, baik yang bersifat primer maupun sekunder

maka digunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut :

1. Observasi
Observasi langsung dalam sebuah studi kasus terjadi ketika

peneliti membuat sebuah kunjungan ke tempat penelitian (site

visit) untuk mengumpulkan data. Observasi dapat berupa kegiatan

formal atau kegiatan casual (biasa), tetapi reliabilitas observasi

menjadi perhatian utama.


2. Wawancara Mendalam
Wawancara adalah salah satu sumber yang paling penting dari

informasi studi kasus. Wawancara dapat menggunakan salah satu

dari beberapa bentuk yaitu: open-ended, terfokus, atau terstruktur.

Dalam sebuah wawancara open-ended (terbuka), peneliti dapat

menanyakan pendapat para informan tentang kejadian-kejadian

atau fakta-fakta. Hal ini dapat berfungsi untuk memperkuat data

yang telah dikumpulkan sebelumnya. Wawancara dilakukan pada

informan gay di Kota Palu.


3.6 Analisis Data

Analisis data menurut pandangan Miles dan Huberman (1992: 1-2)

bahwa terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu : reduksi

32
data, penyajian data,dan penarikan kesimpulan/verifikasi. Berikut penjelasan

analisis data menurut Miles dan Huberman :

1. Data Reduction (Reduksi Data)


Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang

menjamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak

perlu dan mengorganisasikan data dengan cara demikian rupa hingga

kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi. Dalam penelitian

ini, untuk bisa mereduksi data dengan baik, peneliti turun ke

lapangan (tempat penelitian) sebanyak dua kali karena peneliti

kembali melakukan record (rekaman) dengan informan. Setelah itu,

peneliti kemudian membuang data yang tidak perlu.


2. Data Display (Penyajian Data)
Alur penting yang kedua dalam penelitian adalah penyajian

data.Miles dan Huberman membatasi suatu penyajian sebagai

sekumpulan informasi tersusun yang memungkinkan adanya

penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.Penyajian data

dapat dilakukan dalam bentuk tabel, grafik, matriks, jaringan dan

bagan.Dalam penelitian ini, penyajian data dilakukan dalam bentuk

transkrip dan dijabarkan melalui kalimat-kalimat yang berdasarkan

pada rumusan masalah terkait pemeliharaan relationship.


3. Conlusion Drawing / Verifikasi
Kegiatan analisis ketiga yang penting adalah menarik

kesimpulan dan verifikasi.Dari permulaan pengumpulan data, peneliti

mulai mencari arti benda-benda danmencatat keteraturan, pola-pola,

penjelasan, alur sebab akibat, dan proposisi. Peneliti yang

berkompeten akan menangani kesimpulan-kesimpulan itu dengan

33
longgar, tetap terbuka dan skeptis, tetapi kesimpulan sudah

disediakan, mula-mula belum jelas, kemudian meningkat lebih rinci

dan mengakar dengan kokoh. Kesimpulan final mungkin tidak

muncul sampai pengumpulan data berkahir, bergantung pada

besarnya kumpulan-kumpulan catatan lapangan, pengkodean,

penyimpanan, dan metode pencarian uang yang digunakan, tetapi

kesimpulan itu telah dirumuskan sejak awal. Penarikan kesimpulan

hanyalah suatu kegiatan dari konfigurasi yang utuh. Kesimpulan juga

diverifikasi selama penelitian berlangsung. Seingkatnya, makna-

makna yang muncul dari data harus diuji kebenarannya,

kecocokannya, yakni merupakan validasinya.

34

Anda mungkin juga menyukai