Anda di halaman 1dari 3

Selasa, 28 Nopember 2006 WACANA

Dokter Ideal Masa Depan


Oleh Bantuk Hadijanto Tarjoto
PROFESI dokter sejak dulu konon selalu diagungkan. Ini suatu
kenyataan. Dari segi pandang para dokter sendiri yang sadar untuk selalu
mengabdikan dirinya pada segi kemanusiaan baik dalam arti menyeluruh
maupun dalam arti spesifik dari segi preventif, kuratif dan rehabilitatif.
Dari sudut pandang masyarakat dokter dahulu dianggap sebagai dewa
penolong yang selalu membawa pasiennya ke arah kebaikan dan menjadi
sehat. Apa kata dokter pasiennya pasti menurut.
Dari kacamata masyarakat terutama dari keluarga dokter sendiri apalagi
dari orangtuanya, lebih-lebih dari mertuanya maka dokter dikatakan
profesi yang menjanjikan sehingga timbul istilah dadi dokter iku swarga
donya kepenak (jadi dokter itu akan mendapatkan kebaikan baik dunia
maupun di surga nanti) Pandangan ini sekarang telah berubah.
Betapa tidak, seorang yang akan jadi dokter sekarang dihadapkan pada
biaya sekolah yang mahal, apalagi di lembaga pendidikan swasta. Saat
harus menjalankan praktik selalu berebut antarteman mahasiswa karena
banyak pasien yang ada di rumah sakit pendidikan jumlahnya berkurang,
lantaran meningkatnya tingkat pendidikan dan tingkat sosial ekonomi
masyarakat. Mereka akan memilih dirawat di ruangan / di rumah sakit
yang tidak ada mahasiswanya. Juga karena faktor jumlah mahasiswa
yang dituntut banyak jumlahnya.
Ada Fakultas Kedokteran (FK) yang membatasi jumlah penerimaan
mahasiswanya. Dari kalangan masyarakat protes anaknya harus masuk
FK swasta yang biayanya tentu lebih mahal. Usulnya agar FK negeri
membuka jalur khusus.
Nah sekarang muncul jalur pendidikan FK secara khusus, ada yang
memakai istilah jalur internasional, ada yang memakai jalur extention
atau tetap satu wadah penddikan yang mahasiswanya diterima dengan
berbagai jalur. Di antaranya bagi siapa yang dapat membantu biaya
pendidikan lebih banyak baru diterima. Walaupun passing grade nilai
akademiknya tetap harus melampaui batas ambang minimal.
Di saat kuliahnya pun mahasiswa dituntut biaya ekstra yang sesuai
dengan tuntutan global yaitu mahasiswa juga harus bisa menjalankan
komputer, membaca internet melakukan komunikasi dengan email
antarteman, antarinstitusi pendidikan untuk mengikuti kemajuan ilmu
kedokteran dari senter pendidikan yang lebih maju.
Apa harus demikian ? Jawabnya pasti harus. Kalau tidak khawatir kalau
pasiennya jauh lebih cepat tahu dari internet tentang kemajuan metode
pengobatan tertentu.
Dilema
Hal ini menjadi suatu dilema sendiri yang kemudian seolah-olah setelah
lulus nanti dokter harus menuntut ganti mendapatkan penghasilan yang
dikaitkan dengan biaya watu pendidikannya dulu. Biaya periksa dokter
jadi mahal. Sebenarnya tidak demikian .
Di dalam sumpah dokter dan dalam Kodeki (Kode Etik Kedokteran
Indonesia) dokter tidak boleh membedakan tingkat pelayanan kepada
siapa pun, tidak boleh tergantung pada biaya pemeriksaan yang diterima,
bahkan walau tidak dibayar pun dokter harus memberikan pelayanan
yang sama mutunya. Hal ini yang kemudian menjadi pegangan tarif
dokter tidak bisa disamakan.
Pertanyaannya kemudian, apakah variasi tarif periksa dokter dibiarkan
terus begini ?
Sistem Terpadu
Dalam Muktamar IDI XXV di Balikpapan 2003 telah diutarakan oleh Prof.FA
Moeloek Ketua IDI terpilih saat itu untuk mengatur sistem pelayanan ini.
Di mana dokter akan masuk pada sistem jenjang pelayanan menjadi :
dokter primer, dokter sekunder dan dokter tertier.
Dengan sistem itu maka setiap dokter yang menjalankan profesinya
idealnya masuk dalam sistem kapitasi / dokter keluarga di mana seorang
dokter yang berada pada wilayah kerja tertentu dengan mengawasi pada
sekelompok masyarakat tertentu. Kelompok ini akan mendapatkan biaya
pemeliharaan kesehatan baik dari pemerintah , dari perusahaan/
intansinya atau swadaya dari kelompok itu sendiri. Dokter akan
mendapat honorarium tetap bulanan,tidak tergantung pada jumlah
pasien yang dilayani.
Bila ada penderita yang tidak bisa dikelola oleh dokter primer tersebut
harus dirujuk ke dokter sekunder / dokter spesialis untuk mendapat
pengelolaan lebih lanjut. Kemudian setelah pemeriksaan dan tindakan
ditingkat rujukan dokter sekunder selesai, pasien dikembalikan ke dokter
primer tadi untuk pengelolaan selanjutnya.
Sebaikya bila oleh dokter sekunder masih perlu pengelolaan dokter tertier
/ dokter subspesialis maka perlu dirujuk sebagaimana mestinya.
Dari segi penambahan ilmu atau skill para dokter perlu disusun program
pendidikan kedokteran berkelanjutan yang dilakukan secara periodik ,
dokter akan selalu updating ilmunya. Dari pandangan sistem pelayanan
maka dikenalkan sistem pelayanan kesehatan yang ideal dengan
melibatkan 3 hal yang ada yaitu sistem pelayanan , pendidikan dan
pembiayaan. Dengan demikian maka sistem pelayanan akan berkeadilan,
merata, terjangkau dan bermutu dan terpadu .
Ideal
Dengan sistem yang tersebut akan didapatkan konsep ideal pelayanan
medis ini dengan kesisteman yang baik. Dengan cakupan 3 sistem dasar
yang diperkenalkan sebagai system dynamics ( sistem 3 tungku
sijarangan ). Dokter harus berada pada sistem ini dengan tetap
berlandaskan pada etika dan sistem hukum yang berlaku, misalnya UU
Kesehatan, UU pratik Kedokteran, UU SJKN dsbnya.
Dalam menyikapi pelaksanaan UU Praktik Kedokteran maka rambu-rambu
tentang praktik dokter ini tidak boleh lepas dari sistem ini. Himbauannya
baik kepada para dokter sendiri dan pada instansi terkait kalau sistem ini
terlaksana insya Allah kita akan mendapatkan kemajuan pesat di bidang
pelayanan.
Dalam Muktamar Dokter Indonesia di Hotel Patra Jasa, Semarang, topik ini
akan menjadi bahasan utama. Semoga muktamar berjalan sukses dan
dapat mengantarkan para dokter ke jenjang pelayanan kesehatan yang
terpadu dimasa depan. (11)
- dr H Bantuk Hadijanto Tarjoto, Sp OG (K) ketua IDI Wilayah Jawa
Tengah.

Anda mungkin juga menyukai