Oleh Bantuk Hadijanto Tarjoto PROFESI dokter sejak dulu konon selalu diagungkan. Ini suatu kenyataan. Dari segi pandang para dokter sendiri yang sadar untuk selalu mengabdikan dirinya pada segi kemanusiaan baik dalam arti menyeluruh maupun dalam arti spesifik dari segi preventif, kuratif dan rehabilitatif. Dari sudut pandang masyarakat dokter dahulu dianggap sebagai dewa penolong yang selalu membawa pasiennya ke arah kebaikan dan menjadi sehat. Apa kata dokter pasiennya pasti menurut. Dari kacamata masyarakat terutama dari keluarga dokter sendiri apalagi dari orangtuanya, lebih-lebih dari mertuanya maka dokter dikatakan profesi yang menjanjikan sehingga timbul istilah dadi dokter iku swarga donya kepenak (jadi dokter itu akan mendapatkan kebaikan baik dunia maupun di surga nanti) Pandangan ini sekarang telah berubah. Betapa tidak, seorang yang akan jadi dokter sekarang dihadapkan pada biaya sekolah yang mahal, apalagi di lembaga pendidikan swasta. Saat harus menjalankan praktik selalu berebut antarteman mahasiswa karena banyak pasien yang ada di rumah sakit pendidikan jumlahnya berkurang, lantaran meningkatnya tingkat pendidikan dan tingkat sosial ekonomi masyarakat. Mereka akan memilih dirawat di ruangan / di rumah sakit yang tidak ada mahasiswanya. Juga karena faktor jumlah mahasiswa yang dituntut banyak jumlahnya. Ada Fakultas Kedokteran (FK) yang membatasi jumlah penerimaan mahasiswanya. Dari kalangan masyarakat protes anaknya harus masuk FK swasta yang biayanya tentu lebih mahal. Usulnya agar FK negeri membuka jalur khusus. Nah sekarang muncul jalur pendidikan FK secara khusus, ada yang memakai istilah jalur internasional, ada yang memakai jalur extention atau tetap satu wadah penddikan yang mahasiswanya diterima dengan berbagai jalur. Di antaranya bagi siapa yang dapat membantu biaya pendidikan lebih banyak baru diterima. Walaupun passing grade nilai akademiknya tetap harus melampaui batas ambang minimal. Di saat kuliahnya pun mahasiswa dituntut biaya ekstra yang sesuai dengan tuntutan global yaitu mahasiswa juga harus bisa menjalankan komputer, membaca internet melakukan komunikasi dengan email antarteman, antarinstitusi pendidikan untuk mengikuti kemajuan ilmu kedokteran dari senter pendidikan yang lebih maju. Apa harus demikian ? Jawabnya pasti harus. Kalau tidak khawatir kalau pasiennya jauh lebih cepat tahu dari internet tentang kemajuan metode pengobatan tertentu. Dilema Hal ini menjadi suatu dilema sendiri yang kemudian seolah-olah setelah lulus nanti dokter harus menuntut ganti mendapatkan penghasilan yang dikaitkan dengan biaya watu pendidikannya dulu. Biaya periksa dokter jadi mahal. Sebenarnya tidak demikian . Di dalam sumpah dokter dan dalam Kodeki (Kode Etik Kedokteran Indonesia) dokter tidak boleh membedakan tingkat pelayanan kepada siapa pun, tidak boleh tergantung pada biaya pemeriksaan yang diterima, bahkan walau tidak dibayar pun dokter harus memberikan pelayanan yang sama mutunya. Hal ini yang kemudian menjadi pegangan tarif dokter tidak bisa disamakan. Pertanyaannya kemudian, apakah variasi tarif periksa dokter dibiarkan terus begini ? Sistem Terpadu Dalam Muktamar IDI XXV di Balikpapan 2003 telah diutarakan oleh Prof.FA Moeloek Ketua IDI terpilih saat itu untuk mengatur sistem pelayanan ini. Di mana dokter akan masuk pada sistem jenjang pelayanan menjadi : dokter primer, dokter sekunder dan dokter tertier. Dengan sistem itu maka setiap dokter yang menjalankan profesinya idealnya masuk dalam sistem kapitasi / dokter keluarga di mana seorang dokter yang berada pada wilayah kerja tertentu dengan mengawasi pada sekelompok masyarakat tertentu. Kelompok ini akan mendapatkan biaya pemeliharaan kesehatan baik dari pemerintah , dari perusahaan/ intansinya atau swadaya dari kelompok itu sendiri. Dokter akan mendapat honorarium tetap bulanan,tidak tergantung pada jumlah pasien yang dilayani. Bila ada penderita yang tidak bisa dikelola oleh dokter primer tersebut harus dirujuk ke dokter sekunder / dokter spesialis untuk mendapat pengelolaan lebih lanjut. Kemudian setelah pemeriksaan dan tindakan ditingkat rujukan dokter sekunder selesai, pasien dikembalikan ke dokter primer tadi untuk pengelolaan selanjutnya. Sebaikya bila oleh dokter sekunder masih perlu pengelolaan dokter tertier / dokter subspesialis maka perlu dirujuk sebagaimana mestinya. Dari segi penambahan ilmu atau skill para dokter perlu disusun program pendidikan kedokteran berkelanjutan yang dilakukan secara periodik , dokter akan selalu updating ilmunya. Dari pandangan sistem pelayanan maka dikenalkan sistem pelayanan kesehatan yang ideal dengan melibatkan 3 hal yang ada yaitu sistem pelayanan , pendidikan dan pembiayaan. Dengan demikian maka sistem pelayanan akan berkeadilan, merata, terjangkau dan bermutu dan terpadu . Ideal Dengan sistem yang tersebut akan didapatkan konsep ideal pelayanan medis ini dengan kesisteman yang baik. Dengan cakupan 3 sistem dasar yang diperkenalkan sebagai system dynamics ( sistem 3 tungku sijarangan ). Dokter harus berada pada sistem ini dengan tetap berlandaskan pada etika dan sistem hukum yang berlaku, misalnya UU Kesehatan, UU pratik Kedokteran, UU SJKN dsbnya. Dalam menyikapi pelaksanaan UU Praktik Kedokteran maka rambu-rambu tentang praktik dokter ini tidak boleh lepas dari sistem ini. Himbauannya baik kepada para dokter sendiri dan pada instansi terkait kalau sistem ini terlaksana insya Allah kita akan mendapatkan kemajuan pesat di bidang pelayanan. Dalam Muktamar Dokter Indonesia di Hotel Patra Jasa, Semarang, topik ini akan menjadi bahasan utama. Semoga muktamar berjalan sukses dan dapat mengantarkan para dokter ke jenjang pelayanan kesehatan yang terpadu dimasa depan. (11) - dr H Bantuk Hadijanto Tarjoto, Sp OG (K) ketua IDI Wilayah Jawa Tengah.