Anda di halaman 1dari 27

DIABETES MELLITUS TIPE 2

A. Definisi dan Etiologi


Diabetes Melitus (DM) tipe 2 disebut juga Non Insulin Dependent Diabetes
Mellitus (NIDDM) disebabkan oleh kegagalan relatif sel dan resistensi insulin.
Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang
pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa
oleh hati. Sel tidak mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi
defisiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi
insulin pada rangsangan glukosa, maupun pada rangsangan glukosa bersama bahan
perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel pankreas mengalami desensitisasi
terhadap glukosa (Gustaviani, 2006).
Pada awalnya resistensi insulin belum menyebabkan klinis Diabetes Melitus
(DM). Sel pankreas masih dapat mengkompensasi, sehingga terjadi
hiperinsulinemia, kadar glukosa darah masih normal atau baru sedikit meningkat.
Kemudian setelah terjadi kelelahan sel pankreas, baru terjadi diabetes melitus klinis,
yang ditandai dengan adanya kadar glukosa darah yang meningkat, memenuhi kriteria
diagnosis diabetes melitus (Gustaviani, 2006).
B. Patogenesis
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas telah
dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2. Belakangan diketahui
bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat daripada yang diperkirakan
sebelumnya. Selain otot, liver dan sel beta, organ lain seperti jaringan lemak
(meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi incretin), sel alpha pancreas
(hiperglukagonemia), ginjal(peningkatan absorpsi glukosa), dan otak (resistensi
insulin), kesemuanya ikut berperan dalam menimburkan terjadinyagangguan toleransi
glukosa pada DM tipe-2 (PERKENI, 2015).
Delapan organ penting dalam gangguan toleransi glukosa ini (ominous octet)
penting dipahami karena dasar patofisiologi ini memberikan konsep tentang
(PERKENI, 2015):
1. Pengobatan harus ditujukan guna memperbaiki gangguan patogenesis, bukan
hanya untuk menurunkan HbAlc saja
2. Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus didasari atas kinerja obat pada
gangguan multipel dari patofisiologi DM tipe 2.
3. Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah atau
memperlambat progresivitas kegagalan sel beta yang sudah terjadi pada
penyandang gangguan toleransi glukosa.

Gambar xx. The ominous octet, delapan organ yang berperan dalampatogenesis hiperglikemia
pada DM tipe 2

Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal


(omnious octet) berikut (PERKENI, 2015):
a. Kegagalan sel beta pancreas:
Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat
berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah sulfonilurea,
meglitinid, GLP-1 agonis dan DPP-4inhibitor.
b. Liver:
Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu
glukoneogenesis sehingga produksi glukosa dalamkeadaan basal oleh liver (HGP=
hepotic grucose production) meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini adalah
metformin,yang menekan proses gluconeogenesis.
c. Otot:
Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang
multiple di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul
gangguan transport glukosa dalam sel otot,penurunan sintesis glikogen, dan
penurunan oksidasi glukosa.Obat yang bekerja di jalur ini adalah metformin, dan
tiazolidindion.
d. Sel lemak:
Sel lemak yang resisten terhadap efek anti lipolisis dari
insulin,menyebabkan peningkatan proses lipolysis dan kadar asamlemak bebas
(FFA=Free Fatty Acid) dalam plasma. Penigkatan FFA akan merangsang proses
glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot. FFA juga
akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini
disebut sebagai lipotoxocity. obat yang bekerja dijalur ini adalah tiazolidindion.
e. Usus:
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding
kalau diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini
diperankan oleh 2 hormon GLP-1(glucagon-like polypeptide-1) dan GLP
(glucose-dependent insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric
inhibitory polypeptide). Pada penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi GLP-1
dan resisten terhadap GLP. Disamping hal tersebut incretin segera dipecah oleh
keberadaan ensim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat
yang bekerja dalam menghambat kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4
inhibitor.Saluran pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan
karbohidrat melalui kinerja ensim alfa-glukokinase yang memecah polisakarida
menjadi monosakarida yang kemudian diserap oleh usus dan berakibat
meningkatkan glukosa darah setelah makan. Obat yang bekerja untuk
menghambat kinerjaensim alfa-glukokinase adalah akarbosa.
f. Sel Alpha Pancreas:
Sel- pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam hiperglikemia
dan sudah diketahui sejak 1970. Sel- berfungsi dalam sintesis glukagon yang
dalam keadaan puasa kadarnya didalam plasma penderita meningkat. Peningkatan
ini menyebabkan HGP dalam keadaan basal meningkat secara signifikan
dibanding individu yang normal. Obat yang menghambat sekresi glukagon atau
menghambat reseptor glukagon meliputi GLP-1 agonis, DPP-4 inhibitor dan
amylin.
g. Ginjal
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis DM
tipe-2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 g glukosa sehari. Sembilan puluh persen dari
glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium
Glucose co-Transporter) pada bagian convuloted tubulus proksimal. Sedang10%
sisanya akan di absorbsi melalui peran SGLT-L pada tubulus desenden dan
asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada penderita DM
terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang menghambat kinerja SGLT-2
ini akan menghambat penyerapan kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga
glukosa akan dikeluarkan lewat urine. Obat yang bekerja di jalur ini adalah SGLT-
2 inhibitor. Dapaglifozin adalah salah satunya.
h. Otak:
lnsulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang
obese baik yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang
merupakan mekanisme kompehsasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini
asupan makanan justru meningkat mengacu akibat adanya resistensi insulin yang
juga terjadi di otak. Obat yang bekerja dijalur lni adalah GLP-1 agonis,amylin dan
bromokriptin.

C. Patofisiologi
Tubuh memerlukan bahan untuk membentuk sel baru dan mengganti sel yang
rusak. Di samping itu tubuh juga memerlukan energi supaya sel tubuh berfungsi
dengan baik. Energi pada mesin tubuh manusia berasal dari bahan makanan yang
dimakan sehari-hari, yang terdiri dari karbohidrat, protein dan lemak (Suyono, 2007).
Supaya dapat berfungsi sebagai bahan bakar, zat makanan harus masuk dulu
ke dalam sel untuk dapat diolah. Di dalam sel, zat makanan terutama glukosa dibakar
melalui proses kimia yang rumit, yang hasil akhirnya adalah timbulnya energi. Proses
ini disebut metabolisme. Dalam proses metabolisme itu insulin memegang peranan
yang sangat penting yaitu bertugas memasukkan glukosa ke dalam sel, untuk
selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan bakar. Insulin ini adalah suatu zat atau
hormon yang dikeluarkan oleh sel beta pankreas (Suyono, 2007).
Pada Diabetes Melitus (DM) tipe 2 jumlah insulin normal, malah mungkin
lebih banyak tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel yang
kurang. Reseptor insulin ini dapat diibaratkan sebagai lubang kunci pintu masuk ke
dalam sel. Pada keadaan tadi jumlah lubang kuncinya yang kurang, hingga meskipun
anak kuncinya (insulin) banyak, tetapi karena lubang kuncinya (reseptor) kurang,
maka glukosa yang masuk akan sedikit, sehingga sel akan kekurangan bahan bakar
(glukosa) dan glukosa dalam pembuluh darah meningkat. Keadaan ini disebut sebagai
resistensi insulin (Suyono, 2007).
Penyebab resistensi insulin pada NIDDM sebenarnya tidak begitu jelas tetapi
faktor-faktor di bahwa ini banyak berperan (Suyono, 2007):
Obesitas terutama yang berbentuk sentral
Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat
Kurang gerak badan
Faktor keturunan (herediter)

D. Manifestasi klinik
Gejala klasik Diabetes Melitus (DM) adalah rasa haus yang berlebihan
(polidipsi), sering kencing terutama pada malam hari (poliuri), banyak makan
(polifagi), serta berat badan yang turun dengan cepat. Di samping itu kadang-kadang
ada keluhan lemah, kesemutan pada jari tangan dan kaki, cepat lapar, gatal-gatal,
penglihatan kabur, gairah seks menurun, luka sukar sembuh, dan pada ibu-ibu sering
melahirkan bayi di atas 4 kg (Suyono, 2007).
Perjalan penyakit antara Diabetes Melitus (DM) tipe 1 dan DM tipe 2 tidak
sama. Demikian juga pengobatannya. Oleh karena itu ada baiknya bila diketahui
sedikit tentang perbedaannya, karena ada dampaknya pada rencana pengobatan.

Tabel 5. Perbandingan antara DM tipe 1 dan DM tipe 2


DM Tipe 1 DM Tipe 2
Onset (umur) Biasanya < 40 tahun Biasanya > 40 tahun
Keadaan klinis saat Berat Ringan
diagnosis
Kadar Insulin Tak ada insulin Insulin normal atau
tinggi
Berat badan Biasanya kurus Biasanya gemuk atau
normal
Pengobatan Insulin, diet, olahraga Diet, olahraga, tablet,
insulin
Sumber : Suyono S, 2007
E. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan untuk diagnosa Diabetes Melitus (DM), melalui pemeriksaan
kadar glukosa darah (gula darah puasa, gula darah 2 jam setelah makan/post
prandial/PP) dan setelah pemberian glukosa per-oral (TTGO) (Gustaviani, 2006).
1. Pemeriksaan kadar glukosa darah.
Bahan untuk pemeriksaan gula darah puasa, pasien harus berpuasa 6 12
jam sebelum diambil darahnya. Setelah diambil darahnya, penderita diminta
makan makanan seperti yang biasa dia makan/minum glukosa per oral (75 gr)
untuk TTGO, dan harus dihabiskan dalam waktu 15 20 menit. Dua jam
kemudian diambil darahnya untuk pemeriksaan glukosa 2 jam PP (Gustaviani,
2006).
2. Pemeriksaan lainnya untuk mendiagnosa Diabetes Melitus (DM)
Antibody marker adanya proses autoimun pada sel beta adalah islet
cellcytoplasmic antibodies (ICA), insulin autoantibodies (IAA), dan antibody
terhadap glutomic acid decarboxylase (anti-GAD) (Gustaviani, 2006).
Untuk membedakan Diabetes Melitus (DM) tipe 1 dengan Diabetes
Melitus (DM) tipe 2 digunakan pemeriksaan C-peptide. Konsentrasi C-peptide
merupakan indikator yang baik untuk fungsi sel beta, selain itu juga bisa
digunakan untuk memonitor respons individual setelah operasi pankreas.
Konsentrasi C-peptida akan meningkat pada transplantasi pancreas atau
transplantasi sel-sel pulau pancreas (Gustaviani, 2006).
3. Pemeriksaan HbA1C
Tes hemoglobin terglikosilasi/ glikohemoglobin/ hemoglobin glikosilasi
(HbA1C) adalah cara yang digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8-
12minggu sebelumnya. Untuk melihat hasil terapi dan rencana perubahan terapi,
HbA1C diperiksa setiap 3 bulan, atau tiap bulan pada keadaan HbA1C yang
sangat tinggi (>10%). Pada pasien yang telah mencapai sasaran terapi disertai
kendali glikemik yang stabil,HbA1C diperiksa paling sedikit 2 kali dalam 1 tahun
(PERKENI, 2015).
4. Pemeriksaan untuk Pemantauan Diabetes Melitus (DM)
Untuk pemantauan pengelolaan Diabetes Melitus (DM), yang digunakan
adalah kadar gula darah puasa, 2 jam PP, dan pemeriksaan glycated hemoglobin,
khususnya HbA1C, serta pemeriksaan fruktosamin (Gustaviani, 2006).
Pemeriksaan fruktosamin saat ini jarang dilakukan karena pemeriksaan ini
memerlukan prosedur yang memakan waktu lama. Pemeriksaan lain yang bisa
dilakukan ialah urinalisa rutin. Pemeriksaan ini bisa dilakukan sebagai self-
assessment untuk memantau terkontrolnya glukosa melalui reduksi urin
(Gustaviani, 2006).

F. Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara
enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat
dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan
glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.
Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti (PERKENI,
2015):
1. Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunanberat badan yang
tidak dapat dijelaskan sebabnya.
2. Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi
pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

Kriteria Diagnosis DM menurut PERKENI 2015 antara lain;

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM


digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi:
Toleransi glukosa terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT)
Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma
puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaanTTGO glukosa plasma 2-jam <14O
mg/dl;
Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosaplasma 2 jam
setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosaplasma puasa <100 mg/dl.
Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan
HbA1C yang menunjukkan angka 5.7- 6.4%.

Keterangan :
GDP = Glukosa Darah Puasa
GDS = Glukosa Darah Sewaktu
GDPT = Glukosa Darah Puasa Terganggu
TGT = Toleransi Glukosa Terganggu
Gambar xx Langkah diagnosis Diabetes Mellitus dan Gangguan Toleransi Glukosa
G. Pemeriksaan penyaringan
Pemeriksaan penyaring ditujukan pada mereka yang mempunyai risiko
Diabetes Melitus(DM) namun tidak menunjukkan adanya gejala DM. Pemeriksaan ini
bertujuan untuk menemukan pasien dengan DM, TGT (Toleransi Glukosa Terganggu)
maupun GDPT (Glukosa Darah Puasa Terganggu), sehingga dapat ditangani lebih dini
secara tepat. Pasien dengan TGT dan GDPT juga disebut sebagai prediabetes,
merupakan tahapan sementara menuju DM. Kedua keadaan tersebut merupakan faktor
risiko untuk terjadinya DM dan penyakit kardiovaskular di kemudian hari.

Tabel xx. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis
DM (mg/dl)

Bukan DM Belum pasti DM


DM
Kadar glukosa darah Plasma vena < 110 110-199 > 200
sewaktu (mg/dl)
Darah < 90 90-199 > 200
kapiler
Kadar glukosa darah Plasma vena < 110 110-125 > 126
puasa (mg/dl)
Darah < 90 90-199 > 110
kapiler
Sumber : Soegondo S (2006)
Catatan :
Untuk kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan kelainan hasil, dilakukan
pemeriksaan ulangan tiap tahun. Bagi mereka yang berusia > 45 tahun tanpa
faktor risiko lain, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.

H. Langkah-langkah Menegakkan Diagnosis Diabetes Melitus dan Gangguan Tolerangi


Glukosa
Diagnosis klinis Diabetes Melitus(DM) umumnya akan dipikirkan bila ada
keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan
pasien adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria,
serta pruritus vulvae pada pasien wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa
darah sewaktu 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil
pemeriksaan kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl juga digunakan utnuk patokan
diagnosis DM (Sudoyo et al., 2006).
Untuk kelompok tanpa keluhan khas Diabetes Melitus(DM), hasil
pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat
untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan
mendapat sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl,
kadar glukosa darah sewaktu 200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil tes
toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah pasca pembebanan
200 mg/dl (Sudoyo et al., 2006).
Cara Pelaksanaan TTGO (PERKENI, 2015) :
3 (tiga) hari sebelum pemeriksaan makan seperti biasa (karbohidrat cukup)
Kegiatan jasmani seperti yang biasa dilakukan
Puasa paling sedikit 8 jam mulai malam hari sebelum pemeriksaan, minum air
putih diperbolehkan
Diperiksa kadar glukosa darah puasa
Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak),
dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu 15 menit
Diperiksa kadar glukosa darah dua jam sesudah beban glukosa
Selama proses pemeriksaan subyek yang dipeiksa tetap istirahat dan tidak
merokok

Gambar xx TTGO
Tabel xx. Kriteria diagnostik diabetes melitus* dan gangguan toleransi glukosa
1. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) 200 mg/dl
Atau
2. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) 126 mg/dl
Atau
3. Kadar glukosa plasma 200 mg/dl pada dua jam sesudah beban glukosa
75 gram pada TTGO**
Sumber :PERKENI, 2015

Kriteria diagnostik tersebut harus dikonfirmasi ulang pada hari yang lain,
kecuali untuk keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi metabolik berat,
seperti ketoasidosis, gejala klasik : poliuri, polidipsi, polifagi dan berat badan
menurun cepat.
Cara Diagnosis dengan kriteria ini tidak dipakai rutin di klinik, untuk
penelitian epidemiologis pada penduduk dianjurkan memakai kriteria diagnostik
kadar glukosa darah puasa dan dua jam pasca pembebanan. Untuk DM gestasional
juga dianjurkan kriteria diagnostik yang sama.

I. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatnya kualitas
hidupDiabetes Melitus (DM)
Jangka pendek : hilangnya keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa
nyaman dan tercapainya target pengendalian glukosa darah.
Jangka panjang : tercegah dan terhambatnya progresivitas penyulit
mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati. Tujuan akhir pengelolaan
adalah turunnya morbiditas dan maortalitas dini DM.
Pengelolaan Diabetes Melitus (DM) dimulai dengan terapi gizi medis dan
latihan jasmani selama beberapa waktu (2 4 minggu). Apabila kadar glukosa darah
belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat
hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO
dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi.
Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis berat, stres
berat, berat adan yang menurun dengan cepat, adanya ketonuria, insulin dapat segera
diberikan. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri tanda dan gejala hipoglikemia
dan cara mengatasinya harus diberikan pada pasien, sedangkan pemantauan kadar
glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus
(PERKENI, 2015). Intervesi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah
belum tercapai dengan TGM dan latihan jasmani (Sudoyo et al., 2006).
Pilar penatalaksanaan Diabetes Melitus (PERKENI, 2015):
1. Edukasi
Edukasi yang diberikan kepada pasien meliputi pemahaman tentang :
- Perjalanan penyakit DM
- Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM
- Penyulit DM dan risikonya
- Intervensi farmakologis dan non-farmakologis serta target perawatan
- Interaksi antara asupan makanan, aktifitas fisik, dan obat hipoglikemik
oral atau insulin serta obat-obatan lain
- Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah atau
urin mandiri (hanya jika pemantauan glukosa darah mandiri tidak tersedia)
- Mengatasi sementara keadaan gawat darurat seperti rasa sakit, atau
hipoglikemia
- Pentingnya latihan jasmani yang teratur
- Masalah khusus yang dihadapi ( missal : hiperglikemia pada kehamilan)
- Pentingnya perawatan diri
- Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan
2. Terapi gizi medis
Setiap diabetisi sebaiknya mendapat TGM sesuai dengan
kebutuhannya guna mencapai target terapi. Prinsip pengaturan makan pada
diabetisi hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum, yaitu
makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi
masing-masing individu. Pada diabetisi perlu ditekankan pentingnya
keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan,
terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau
insulin. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari :
a. Karbohidrat
- Dianjurkan sebesar 45-65 % total asupan energi
- Pembatasan karbohidrat total < 130 g/hari tidak dianjurkan
- Makanan harus mengandung lebih banyak karbohidrat terutama yang
berserat tinggi
- Sukrosa todak boleh lebih dari 10% total asupan energi
- Sedikit gula dapat dikonsumsi sebagai bagian dari perencanaan makan
yang sehat dan pemanis non-nutrisi dapat digunakan sebagai pengganti
jumlah besar gula misalnya pada minuman ringan dan permen
- Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam
sehari
b. Lemak
- Dianjurkan sekitar 20 25% kebutuhan kalori
- Lemak jenuh < 7% kebutuhan kalori
- Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak
jenuhtunggal
- Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung
lemak jenuh dan lemak trans antara lain : daging berlemak dan susu penuh
(whole milk)
- Anjuran konsumsi kolesterol < 300 mg/hari. Diusahakan lemak berasal
dari sumber asam lemak tidak jenuh (MUFA / Mono Unsaturated Fatty
Acid), membatasi PUFA (Poly Unsaturated Acid) dan asam lemak jenuh
c. Protein
- Dibutuhkan sebesar 15 20% total asupan energi
- Sumber protein yang baik adalah ikan, seafood, daging tanpa lemak, ayam
tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang dan kacang-kacangan, tahu,
tempe
- Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8
g/kg BB/hari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya bernilai
biologik tinggi
d. Garam
- Sama dengan anjuran untuk masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000
mg atau sama dengan 6 7 g (1 sendok teh) garam dapur
- Pembatasan natrium sampai 2400 mg atau sama dengan 6g/hari terutama
pada mereka yang hipertensi
e. Serat
Anjuran konsumsi serat adalah 25 g/hari, diutamakan serat larut
f. Pemanis
- Batasi penggunaan pemanis bergizi
- Fruktosa tidak dianjurkan karena efek samping pada lipid plasma
- Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman
g. Kebutuhan kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan
diabetisi. Diantaranya adalah dengan perhitungan berdasarkan kebutuhan
kalori basal sebesar 25-30 kalori / kg BB ideal, ditambah dan dikurangi
bergantung pada beberapa faktor, yaitu jenis kelamin, umur, aktifitas, berat
badan, dll.
Perhitungan berat badan ideal ( BBI ) menurut Broca yang
dimodifikasi adalah sebagai berikut :
Berat badan ideal = 90 % x ( TB dalam cm - 100) x 1 kg
Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150
cm, rumus modifikasi menjadi : ( TB dalam cm 100) x 1 kg BB)
Normal : BB ideal 10 %
Kurus : < BBI 10 %
Gemuk : > BBI + 10 %
Penentuan status gizi dapat digunakan :
BMI / Body Mass Index = IMT / Indeks Masa Tubuh dan Rumus Broca.

IMT = BB ( Kg )
TB ( m2 )

Klasifikasi IMT :
BB Kurang < 18,5
BB Normal 18,5 22,9
BB lebih 23,0
Dengan risiko 23,0 24,9
Obes I 25,0 29,9
Obes II 30

Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain :


a. Jenis kelamin
Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil dari pada pria. Kebutuhan
kalori wanita sebesar 25 kal / kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal / kg BB
b. Umur
Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5 %
untuk dekade antara 40 an 59 tahun, dikurangi 10 % untuk usia 60 s/d 69
tahun, dan dikurangi 20 % untuk usia diatas 70 tahun
c. Aktifitas fisik atau pekerjaan
Penambahan 10 % dari kebutuhan basal diberikan pada keadaan
istirahat, 20 % pada pasien dengan aktifitas ringan, 30 % dengan aktifitas
sedang, dan 50 % dengan aktifitas sangat berat
d. Berat badan
Bila kegemukan dikurangi 20 30 % bergantung pada tingkat
kegemukan. Bila kurus ditambah 20 30 % sesuai dengan kebutuhan untuk
meningkatkan BB. Untuk tujuan penurunan BB jumlah kalori yang
diberikan paling sedikit 1000 1200 kkal / hari untukwanita dan 1200
1600 kkal / hari untuk pria.
Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di
atas dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi( 20 % ), siang ( 30 % )
dan sore ( 25 % ) serta 2 3 porsi makan ringan ( 10 15 % ) diantaranya.
Untuk meningkatkan kepatuhan pasien, sejauh mungkin perubahan
dilakukan secara bertahap disesuaikan dengan kebiasaan. Untuk diabetisi
yang mengidap penyakit lain, pola pengaturan makan disesuaikan dengan
penyakit penyertanya.

3. Latihan jasmani
Dianjurkan latihan jasmani teratur 3-4 kali tiap minggu selama + 30
menit yang sifatnya CRIPE ( Continous Rhytmical Interval Progressive
Endurace training ).
a. Continous
Latihan harus berkesinambungan dan dilakukan terus-menerus
tanpa henti. Contoh : bila dipilih jogging 30 menit, maka selama 30 menit
pasien melakukan jogging tanpa istirahat.
b. Rytmical
Latihan olah raga harus dipilih yang berirama, yaitu otot-otot
berkontraksi dan berelaksasi secara teratur.
c. Interval
Latihan dilakukan selang-seling antara gerak cepat dan lambat.
Contoh : jalan cepat diselingi dengan jalan lambat, dsb
d. Progressive
Latihan dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan dari intensitas
ringan sampai hingga mencapai 30-60 menit.
Sasaran Heart Rate = 75-85 % dari Maksimum Heart Rate
Maksimum Heart Rate = 220-umur
e. Endurance
Latihan daya tahan untuk meningkatkan kemampuan
kardiorespirasi, seperti jalan (jalan santai/cepat, sesuai umur), jogging,
berenang dan bersepeda.Hal yang perlu diperhatikan dalam latihan jasmani
ini adalah jangan sampai memulai olah raga sebelum makan, harus
menggunakan sepatu yang pas, didampingi oleh orang yang tahu
bagaimana cara mengatasi hipoglikemia, harus membawa permen,
membawa tanda pengenal sebagai pasien DM dalam pengobatan, dan
memeriksa kaki dengan cermat setelah berolahraga.Sedapat mungkin
mencapai zona sasaran atau zona latihan yaitu 75-85% denyut nadi
maksimal yang dapat dihitung dengan cara sbb :

DNM = 220 Umur ( dalam Tahun )

Kegiatan jasmani sehari hari dan latihan jasmani secara teratur ( 3


4 kali seminggu selama 30 menit ) merupakan salah satu pilar dalam
pengelolaan DM tipe 2. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga
dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitifitas insulin, sehingga
akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan
berupa latihan jasmani aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging,
dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status
kesegaran jasmani. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau
bermalas malasan.
4. Intervensi farmakologis
Obat Hipoglikemik Oral ( OHO )
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan (Sudoyo,
2006) :
- Pemicu sekresi insulin (insuline secretagogue): sulfonilurea dan glinid
- Penambah sensitifitas terhadap insulin : metformin, tiazolidindion
- Penghambat glukoneogenesis : metformin
- Pengambat absorpsi glukosa : penghambat glukosidase
a. Golongan Insulin Secretagogues
Insulin secretagogues mempunyai efek hipoglikemik dengan cara
stimulasi sekresi insulin oleh sel beta pankreas.
1) Sulfonilurea
Digunakan untuk pengobatan Diabetes Melitus (DM) tipe 2
sejak tahun 1950-an. Obat ini digunakan sebagai terapi farmakologis
pada awal pengobatan diabetes dimulai, terutama bila konsentrasi
glukosa tinggi dan sudah terjadi gangguan pada sekresi insulin.
Sulfonilurea sering digunakan sebagai terapi kombinasi karena
kemampuannya untuk meningkatkan atau mempertahankan sekresi
insulin.
Mekanisme kerja efek hipoglikemia sulfonilurea adalah dengan
merangsang channel K yang tergantung pada ATP dari sel beta
pankreas. Bila sulfonilurea terikat pada reseptor (SUR) pada channel
tersebut maka akan terjadi penutupan. Keadaan ini menyebabkan
penurunan permeabilitas K pada membran dan membuka channel Ca
tergantung voltase, dan menyebabkan peningkatan Ca intrasel. Ion Ca
akan terikat pada Calmodilun dan menyebabkan eksositosis granul
yang mengandung insulin.
Golongan obat ini bekerja dengan merangsang sel beta
pankreas untuk melepaskan insulin yang tersimpan. Oleh karena itu
hanya bermanfaat untuk pasien yang masih mempunyai kemampuan
untuk sekresi insulin. Golongan obat ini tidak dapat dipakai pada
diabetes mellitus tipe 1.
Pemakaian sulfonilurea umumnya selalu dimulai dengan dosis
rendah, untuk menghindari kemungkinan hipoglikemia. Pada keadaan
tertentu dimana kadar glukosa darah sangat tinggi, dapat diberikan
sulfonilurea dengan dosis yang lebih besar dengan perhatian khusus
bahwa dalam beberapa hari sudah dapat diperoleh efek klinis yang
jelas dan dalam 1 minggu sudah terjadi penurunan kadar glukosa darah
yang cukup bermakna.
Bila konsentrasi glukosa puasa < 200mg/dl, Sulfonilurea
sebaiknya dimulai dengan pemberian dosis kecil dan titrasi secara
bertahap setelah 1-2 minggu sehingga tercapai glukosa darah puasa 90-
130mg/dl. Bila glukosa darah puasa > 200mg/dl dapat diberikan dosis
awal yang lebih besar. Obat sebaiknya diberikan setengah jam sebelum
makan karena diserap dengan lebih baik. Pada obat yang diberikan satu
kali sehari sebaiknya diberikan pada waktu makan pagi atau pada
makan makanan porsi terbesar.
2) Glinid
Kerjanya juga melalui reseptor sulfonilurea (SUR) dan
mempunyai struktur yang mirip dengan sulfonilurea tetapi tidak
mempunyai efek sepertinya.
Repaglinid (derivat asam benzoat) dan nateglinid (derivat
fenilalanin)kedua-duanya diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian
secara oral dan cepat dikeluarkan melalui metabolisme dalam hati
sehingga diberikan 2 sampai 3 kali sehari.
b. Golongan Insulin Sensitizing
1) Biguanid
Saat ini golongan biguanid yang banyak dipakai adalah
metformin. Metformin terdapat dalam konsentrasi yang tinggi didalam
usus dan hati, tidak dimetabolisme tetapi secara cepat dikeluarkan
melalui ginjal. Oleh karena itu metformin biasanya diberikan dua
sampai tiga kali sehari kecuali dalam bentuk extended release.
Efek samping yang dapat terjadi adalah asidosis laktat, dan
untuk menghindarinya sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal (kreatinin >1,3mg/dl pada perempuan dan
>1,5mg/dl pada laki-laki) atau pada gangguan fungsi hati dan gagal
jantung serta harus diberikan dengan hati-hati pada orang usia lanjut.
Mekanisme kerja metformin menurunkan glukosa darah
melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat seluler, distal
reseptor insulin dan menurunkan produksi glukosa hati. Metformin
meningkatkan pemakaian glukosa oleh usus sehigga menurunkan
glukosa darah dan menghambat absorpsi glukosa di usus sesudah
asupan makan. Setelah diberikan secara oral, metformin akan
mencapai kadar tertingi dalam darah setelah 2 jam dan diekskresi lewat
urin dalam keadaan utuh dengan waktu paruh 2,5 jam.
Metformin dapat menurunkan glukosa darah tetapi tidak akan
menyebabkan hipoglikemia sehingga tidak dianggap sebagai obat
hipoglikemik, tetapi obat antihiperglikemik. Metformin tidak
meyebabkan kenaikan berat badan.
Kombinasi sulfonilurea dengan metformin saat ini merupakan
kombinasi yang rasional karena mempunyai cara kerja sinergis
sehingga kombinasi ini dapat menurunkan glukosa darah lebih banyak
daripada pengobatan tuggal masing-masing, baik pada dosis maksimal
keduanya maupun pada kombinasi dosis rendah.
Pemakaian kombinasi dengan sulfonilurea sudah dapat
dianjurkan sejak awal pengelolaan diabetes, berdasarkan hasil
penelitian UKPDS (United Kingdom Prospective Diabetes Study) dan
hanya 50 persen pasien DM tipe 2 yang kemudian dapat dikendalikan
dengan pengobatan tungal metformin atau sulfonylurea sampai dosis
maksimal.
Kombinasi metformin dan insulin juga dapat dipertimbangkan
pada pasien gemuk dengan glikemia yang sukar dikendalikan.
Kombinasi insulin dengan sulfonilurea lebih baik daripada kombinasi
insulin dengan metformin. Penelitian lain ada yang mendapatkan
kombinasi metformin dan insulin lebih baik dibanding dengan insulin
saja.
Karena kemampuannya mengurangi resistensi insulin,
mencegah penambahan berat badan dan memperbaiki profil lipid maka
metformin sebagai monoterapi pada awal pengelolaan diabetes pada
orang gemuk dengan dislipidemia dan resistensi insulin berat
merupakan pilihan pertama. Bila dengan monoterapi tidak berhasil
maka dapat dilakukan kombinasi dengan SU atau obat anti diabetik
lain.
2) Glitazone
Merupakan obat yang juga mempunyai efek farmakologis
untuk meningkatkan sensitivitas insulin.Mekanisme kerja Glitazone
(Thiazolindione) merupakan agonist peroxisome proliferators-activated
receptor gamma (PPAR) yang sangat selektif dan poten. Reseptor
PPAR gamma terdapat di jaringan target kerja insulin seperti jaringan
adiposa, otot skelet dan hati, sedang reseptor pada organ tersebut
merupakan regulator homeostasis lipid, diferensiasi adiposit dan kerja
insulin.
Glitazone diabsorbsi dengan cepat dan konsentrasi tertinggi ter
jadi setelah 1-2 jam dan makanan tidak mempengaruhi farmakokinetik
obat ini. Waktu paruh berkisar antara 3-4 jam bagi rosiglitazone dan 3-
7 jam bagi pioglitazone.
Secara klinik rosiglitazone dengan dosis 4 dan 8 mg/hari (dosis
tunggal atau dosis terbagi 2 kali sehari) memperbaiki konsentrasi
glukosa puasa sampai 55 mg/dl dan A1C sampai 1,5% dibandingkan
dengan placebo. Sedang pioglitazone juga mempunyai kemampuan
menurunkan glukosa darah bila digunakan sebagai monoterapi atau
sebagai terapi kombinasi dengan dosis sampai 45 mg/dl dosis tunggal.
Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung
kelas I IV karena dapat memperberat udem / retensi cairan dan juga
pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan
tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala.
Saat ini tiazolidindion tidakdigunakan sebagai obat tunggal.
c. Penghambat Glukoneogenesis
1) Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa
hati (glukoneogenesis), disamping juga memperbaiki ambilan perifer.
Terutama dipakai pada diabetisi gemuk. Metformin
dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal
(kreatinin serum > 1,5) dan hati, serta pasien pasiendengan
kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis,
syok, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek samping
mual. Untuk mengurangi efek samping tersebut dapat diberikan pada
saat atau sesudah makan.
d. Penghambat Alfa Glukosidase( acarbose )
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim alfa
glukosidase di dalam saluran cerna sehingga dengan demikian dapat
menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemia
postprandial. Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak menyebabkan
hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada kadar insulin. Efek samping
yang paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulen.
Acarbose hampir tidak diabsorbsi dan bekerja local pada saluran
pencernaan. Acarbose mengalami metabolisme di dalam saluran
pencernaan, metabolisme terutama oleh flora mikrobiologis, hidrolisis
intestinal dan aktifitas enzim pencernaan. Waktu paruh eliminasi plasma
kira-kira 2 jam pada orang sehat dan sebagian besar diekskresi melalui
feses.

Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Memilih Obat Hipoglikemi Oral:


- Dosis selalu harus dimulai dengan dosis rendah yang kemudian dinaikkan
secara bertahap.
- Harus diketahui betul bagaimana cara kerja, lama kerja dan efek samping
obat-obat tersebut (misalnya klorpropamid jangan diberikan 3 kali 1 tablet,
karena lama kerjanya 24 jam).
- Bila memberikannya bersama obat lain, pikirkan kemungkinan adanya
interaksi obat.
- Pada kegagalan sekunder terhadap obat hipoglikemik oral, usahakanlah
menggunakan obat oral golongan lain, bila gagal baru beralih kepada insulin.
- Usahakan agar harga obat terjangkau oleh pasien.

Tabel xx. Mekanisme kerja, efek samping utama dan pengaruh OHO terhadap penurunan
A1C ( Hb-glikosilat )
Golongan Cara kerja utama Efeksamping utama Penurunan A1C
Meningkatkan BB naik,
Sulfonilurea sekresi insulin hipoglikemia 1,5 2 %
Meningkatkan BB naik,
Glinid sekresi insulin hipoglikemia 1,5 2 %
Menekan produksi
glukosa hati &
Diare, dyspepsia,
menambah
asidosis laktat
Metformin sensitifitas terhadap 1,5 2 %
insulin
Penghambat Menghambat Flatulens, tinja
glukosidase absorpsi glukosa lembek 0,5 1,0 %
Menambah
Tiazolidindion sensitifitas terhadap Edema
1,3%
insulin
Menekan produksi
glukosa hati,
Hipoglikemia, BB
stimulasi Potensial sampai
Insulin naik
pemanfaatan normal
glukosa
Sumber : Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2015

Cara pemberian OHO terdiri dari(PERKENI, 2015) :


- OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai respon
kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis hampir maksimal
- Sulfonilurea generasi I & II : 15 30 menit sebelum makan
- Glimepiride : sebelum / sesaat sebelum makan
- Repaglinid, Nateglinid : sebelum / sesaat sebelum makan
- Metformin : sebelum / pada saat / sesudah makan karbohidrat
- Acarbose : bersama suapan pertama makan
- Tiazolidindion : tidak bergantung pada jadwal makan

Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan :
- Penurunan berat badan yang cepat
- Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
- Ketoasidosis diabetic
- Hiperglikemia hiperosmolar nonketotik
- Hiperglikemia dengan asidosis laktat
- Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
- Stres berat ( infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke )
- Diabetes melitus gestasional yang tidak trkendali dengan TGM
- Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
- Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yaitu :
- Insulin kerja cepat ( rapid acting insulin )
- Insulin kerja pendek ( short acting insulin )
- Insulin kerja menengah ( intermediate acting insulin )
- Insulin kerja panjang ( long acting insulin )
- Insuln campuran tetap ( premixed insulin )
Efek samping terapi insulin :
- Efek samping utama adalah terjadinya hipoglikemia
- Efek samping yang lain berupa reaksi imun terhadap insulin yang dapat
menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin

Tabel xx. Sediaan insulin di Indonesia


Nama Buatan Efek puncak Lama kerja
Cepat 2-4 jam 6-8 jam
Actrapid Novo Nordisk (U-40&U-100)
Humulin-R Eli Lilly (U-100)
Menengah 4-12 jam 18-24 jam
Insulatard Novo Nordisk (U-40&U-100)
Monotard Human Novo Nordisk (U-40&U-100)
Humulin-N Eli Lilly (U-100)
Campuran 1-8 14-15
Mixtard 30 Novo Nordisk (U-40&U-100)
Humulin-30/70 Eli Lilly (U-100)
Panjang
Lantus Aventis
Tidak ada 24 am
Bentuk Penfill untuk Novopen 3 adalah :
Actrapid Human 100
Insulatard Human 100
Maxtard 30 Human 100
Bentuk Penfill untuk Humapen Ergo adalah :
Humulin-R 100
Humulin-N 100
Humulin-30/70
Bentuk Penfill untuk Optipen adalah :
Lantus
Sumber : PERKENI, 2015
Terapi kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah,
untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respon kadar glukosa
darah. Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan
dapat dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi. Terapi OHO dengan
kombinasi harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai
mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat
pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi
OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai alasan klinik dimana insulin tidak
memungkinkan untuk dipakai, dipilih terapi kombinasi dengan tiga OHO
(Mansjoer et al., 2015).
Untuk kombinasi OHO dengan insulin, yang banyak dipergunakan adalah
kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja sedang / panjang) yang diberikan
pada malam hari menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut pada
umumnya dapat diperoleh kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin
yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah / panjang adalah 10 unit
yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut
dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Bila dengan cara
seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali, maka
obat hipoglikemik oral dihentikan dan diberikan insulin saja (PERKENI, 2015).

J. Komplikasi
Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi penyulit akut dan menahun
(Sudoyo et al., 2006).
1. Penyulit akut
Penyulit akut DM sampai saat ini masih merupakan kegawatan yang harus
ditangani dengan tepat dan benar karena hanya dengan cara itulah angka
kematiannya dapat ditekan serendah mungkin.
Ketoasidosis diabetik
Hiperosmolar nonketotik
Hipoglikemia
2. Penyulit menahun
a. Makroangiopati, yang melibatkan :
Pembuluh darah jantung
Pembuluh darah tepi
Pembuluh darah otak
b. Mikroangiopati:
Retinopati diabetik
Nefropati diabetik
Neuropati

K. Pengendalian DM
Parameter Sasaran
2
IMT (kg/m ) 18.5- <23
Tekanan darah sistolik (mmHg) <140
Tekanan darah diastolik (mmHg) <90
Glukosa darah preprandial kapiler 80- 130
(mg/dl)
Glukosa darah 1-2 jam PP kapiler < 180
(mg/dl)
HbA1C <7 (atau individual)
Kolesterol LDL (mg/dl) <100 (<70 bila risiko
kardiovaskular sangat tinggi)
Kolesterol HDL (mg/dl) Laki- laki >40; Perempuan >50
Trigliserida (mg/dl <150
Tabel 10. Kriteria pengendalian DM (PERKENI, 2015)

L. Prognosis
Sekitar 60% pasien DM yang mendapat insulin dapat bertahan hidup seperti
orang normal, sisanya dapat mengalami kebutaan, gagal ginjal kronis, dan
kemungkinan untuk meninggal lebih cepat ( Mansjoer et al., 2015).

DAFPUS

Gustaviani R. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 4th. Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, pp: 1857-9.

Mansjoer A, et al. 2015. Kapita selekta kedokteran jilid I.Jakarta: Media Aesculapius Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2015. Konsensus Pengelelolaan Diabetes Melitus
Tipe 2 di Indonesia. Jakarta: PB Perkeni.

Soegondo S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ed 4 jilid 2. Jakarta: Perhimpunan
Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, pp: 1974-80.

Suyono S. 2007. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Jakarta: Penerbit Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia, pp: 7-14.

Anda mungkin juga menyukai