Anda di halaman 1dari 53

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Gagal jantung adalah suatu sindrom klinis yang terjadi pada pasien yang
memiliki berbagai macam abnormalitas pada struktur atau fungsi otot jantung,
baik yang sehingga jantung tidak lagi dapat memompakan cukup darah ke
jaringan tubuh. Gangguan fungsi jantung dapat berupa gangguan fungsi
diastolik atau sistolik, gangguan irama jantung, atau ketidaksesuaian
preload dan afterload. Keadaan ini dapat menyebabkan berbagai macam gejala,
seperti kelelahan dan dispnea, dan tanda seperti edema dan ronkhi yang pada
akhirnya akan berujung pada peningkatan angka hospitalisasi, penurunan kualitas
hidup, dan pemendekan angka harapan hidup. 1
Gagal jantung sendiri adalah suatu masalah yang terus menjadi momok
kesehatan di seluruh dunia, dengan 20 juta orang dalam seluruh populasi dewasa
terkena penyakit ini. Prevalensi total penderita gagal jantung pada populasi
dewasa di negara berkembang berjumlah sekitar 2%. Prevalensi gagal jantung
mengikuti pola eksponensial, meningkat sesuai usia, dan mempengaruhi sekitar 6-
10% masyarakat berusia diatas 65 tahun. Walaupun jumlah insidensi relatif gagal
jantung lebih rendah pada perempuan dibandingkan pria, namun jumlah penderita
perempuan sekitar 50% dari kasus gagal jantung. Hal ini terjadi karena lebih
tingginya angka harapan hidup perempuan dibandingkan pria. Di Amerika Utara
dan Eropa, resiko mengalami gagal jantung adalah 1 setiap 5 orang berusia 40
tahun. Prevalensi total dari gagal jantung diperkirakan meningkat, sebagian karena
membaiknya pengobatan penyakit-penyakit kardiovaskuler sehingga terjadi
peningkatan angka harapan hidup pasien. Walaupun gagal jantung awalnya diduga
muncul pada penurunan ejection fraction (EF) dari ventrikel kiri, suatu studi
epidemiologis menunjukkan sekitar setengah dari pasien yang mengalami gagal
jantung memiliki EF yang normal, atau hanya sedikit menurun (EF 40-50%).
Oleh karena itu, pasien gagal jantung sekarang dibagi menjadi 2 grup, gagal
jantung dengan penurunan EF, dan gagal jantung tanpa penurunan EF. 4

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Gagal Jantung


Suatu sindrom klinis akibat kelainan struktur atau fungsi jantung yang ditandai
dengan:
a) Gejala gagal jantung: sesak napas atau lelah bila beraktivitas; pada kondisi
berat dapat muncul saat istirahat.
b) Tanda-tanda retensi cairan, seperti kongesti paru atau bengkak pergelangan
kaki.
c) Bukti obyektif kelainan struktur atau fungsi jantung saat istirahat.
Gagal Jantung (GJ) adalah sindrom klinis, ditandai oleh sesak napas dan
fatik (saat istirahat atau saat aktivitas) yang disebabkan oleh kelainan struktur atau
fungsi jantung (Sudoyo, A. W., et al.).

Klasifikasi
Berdasarkan presentasinya gagal jantung dibagi menjadi :
a) Gagal Jantung akut
Timbulnya sesak napas secara cepat (<24 jam) akibat kelainan fungsi
jantung, gangguan fungsi sistolik atau diastolik atau irama jantung, atau kelebihan
beban awal (preload), akhir (afterload), atau kontraktilitas.
b) Gagal jantung menahun
Sindrom klinis yang kompleks akibat kelainan struktural atau fungsional
yang mengganggu kemampuan pompa jantung atau mengganggu pengisian
jantung.

Berdasarskan fraksi ejeksi :


a) Gagal jantung sistolik
Ketidakmampuan kontraksi jantung memompa sehingga curah jantung
menurun dan menyebabkan kelemahan, fatik, kemampuan aktivitas fisik menurun
dan gejala hipoperfusi lainnya.

b) Gagal jantung diastolik


Gangguan relaksasi dan gangguan pengisian ventrikel. Gagal jantung
diastolik dengan fraksi ejeksi > 50%

1
Diagnosis dibuat dengan pemeriksaan Doppler-ekokardiografi aliran darah
mitral dan aliran vena pulmonalis.

Berdasarkan lokasi :
a. Gagal jantung kanan
Gagal jantung kanan terjadi akibat kelemahan ventrikel kanan, seperti
pada hipertensi pulmonal primer/sekunder, tromboemboli paru kronik sehingga
terjadi kongesti vena sistemik yang menimbulkan edema perifer, hepatomegali,
dan distensi vena jugularis.
b. Gagal jantung kiri
Terjadi akibat kelemahan ventrikel, meningkatkan tekanan vena
pulmonalis yang menyebabkan sesak napas dan ortopnea.

Tabel 1. Klasifikasi Gagal Jantung New York Heart Association (NYHA)

Sumber: ESC Guidelines for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic
Heart Failure 2008

Etiologi
Beberapa etiologi dari penyakit gagal jantung kongestif ialah :
a. Penyakit Jantung Koroner

2
Seseorang dengan penyakit jantung koroner (PJK) rentan untuk menderita
penyakit gagal jantung, terutama penyakit jantung koroner dengan hipertrofi
ventrikel kiri. Lebih dari 36% pasien dengan penyakit jantung koroner selama 7-8
tahun akan menderita penyakit gagal jantung kongestif (Hellerman, 2003).
Pada negara maju, sekitar 60-75% pasien penyakit jantung koroner
menderita gagal jantung kongestif (Mann, 2008). Bahkan dua per tiga pasien yang
mengalami disfungsi sistolik ventrikel kiri disebabkan oleh Penyakit Jantung
Koroner (Doughty dan White, 2007).
b. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah yang bersifat kronis merupakan komplikasi
terjadinya gagal jantung (Riaz, 2012). Berdasarkan studi Framingham dalam
Cowie tahun 2008 didapati bahwa 91% pasien gagal jantung memiliki riwayat
hipertensi. Studi terbaru Waty tahun 2012 di Rumah Sakit Haji Adam Malik
menyebutkan bahwa 66.5% pasien gagal jantung memiliki riwayat hipertensi.
Hipertensi menyebabkan gagal jantung kongestif melalui mekanisme disfungsi
sistolik dan diastolik dari ventrikel kiri. Hipertrofi ventrikel kiri menjadi
predisposisi terjadinya infark miokard, aritmia atrium dan ventrikel yang nantinya
akan berujung pada gagal jantung kongestif (Lip G.Y.H., Gibbs C.R., Beevers
D.G., 2000).
c. Kardiomiopati
Kardiomiopati merupakan kelainan pada otot jantung yang tidak
disebabkan oleh penyakit jantung koroner, hipertensi atau kelainan kongenital.
Kardiomiopati terdiri dari beberapa jenis. Diantaranya ialah dilated kardiomiopati
yang merupakan salah satu penyebab tersering terjadinya gagal jantung kongestif.
Dilated cardiomiopathy berupa dilatasi dari ventrikel kiri dengan atau tanpa
dilatasi ventrikel kanan. Dilatasi ini disebabkan oleh hipertrofi sel miokardium
dengan peningkatan ukuran dan penambahan jaringan fibrosis (Lip G.Y.H., Gibbs
C.R., Beevers D.G., 2000).
Hipertrophic cardiomiopathy merupakan salah satu jenis kardiomiopati
yang bersifat herediter autosomal dominan. Karakteristik dari jenis ini ialah
abnormalitas pada serabut otot miokardium. Tidak hanya miokardium tetapi juga
menyebabkan hipertrofi septum. Sehingga terjadi obstruksi aliran darah ke aorta

3
(aortic outflow). Kondisi ini menyebabkan komplians ventrikel kiri yang buruk,
peningkatan tekanan diastolik disertai aritmia atrium dan ventrikel (Scoote M.,
Purcell I.F., Wilson P.A., 2005). Jenis lain yaitu Restrictive and obliterative
cardiomiopathy. Karakteristik dari jenis ini ialah berupa kekakuan ventrikel dan
komplians yang buruk, tidak ditemukan adanya pembesaran dari jantung. Kondisi
ini berhubungan dengan gangguan relaksasi saat diastolik sehingga pengisian
ventrikel berkurang dari normal. Kondisi yang dapat menyebabkan keadaan ini
ialah Amiloidosis, Sarcoidosis, Hemokromasitomatosis dan penyakit resktriktif
lainnya (Scoote M., Purcell I.F., Wilson P.A., 2005).
d. Kelainan Katup Jantung
Dari beberapa kasus kelainan katup jantung, yang paling sering
menyebabkan gagal jantung kongestif ialah Regurgitasi Mitral. Regurgitasi mitral
meningkatkan preload sehingga terjadi peningkatan volume di jantung.
Peningkatan volume jantung memaksa jantung untuk berkontraksi lebih kuat agar
darah tersebut dapat didistribusi ke seluruh tubuh. Kondisi ini jika berlangsung
lama menyebabkan gagal jantung kongestif (Lip G.Y.H., Gibbs C.R., Beevers
D.G., 2000).
e. Aritmia
Artial Fibrilasi secara independen menjadi pencetus gagal jantung tanpa
perlu adanya faktor penyerta lainnya seperti PJK atau hipertensi. 31% dari pasien
gagal jantung ditemukan gejala awal berupa atrial fibrilasi dan ditemukan 60%
pasien gagal jantung memiliki gejala atrial fibrilasi setelah dilakukan pemeriksaan
ekokardiografi. Aritmia tidak hanya sebagai penyebab gagal jantung tetapi juga
memperparah prognosis dengan meningkatkan morbiditas dan mortalitas (Cowie
et.al., 1998).

f. Alkohol dan Obat-obatan


Alkohol memiliki efek toksik terhadap jantung yang menyebabkan atrial
fibrilasi ataupun gagal jantung akut. Konsumsi alkohol dalam jangkapanjang

4
menyebabkan dilated cardiomiopathy. Didapati 2-3% kasus gagal jantung
kongestif yang disebabkan oleh konsumsi alkohol jangka panjang.
Sementara itu beberapa obat yang memiliki efek toksik terhadap
miokardium diantaranya ialah agen kemoterapi seperti doxorubicin dan
zidovudine yang merupakan antiviral (Cowie, 2008).
g. Lain-lain
Merokok merupakan faktor resiko yang kuat dan independen untuk
menyebabkan penyakit gagal jantung kongestif pada laki-laki sedangkan pada
wanita belum ada fakta yang konsisten (Lip G.Y.H., Gibbs C.R., Beevers D.G.,
2000). Sementara diabetes merupakan faktor independen dalam mortalitas dan
kejadian rawat inap ulang pasien gagal jantung kongestif melalui mekanisme
perubahan struktur dan fungsi dari miokardium. Selain itu, obesitas menyebabkan
peningkatan kolesterol yang meningkatkan resiko penyakit jantung koroner yang
merupakan penyebab utama dari gagal jantung kongestif. Berdasarkan studi
Framingham disebutkan bahwa diabetes merupakan faktor resiko yang untuk
kejadian hipertrofi ventrikel kiri yang berujung pada gagal jantung (Lip G.Y.H.,
Gibbs C.R., Beevers D.G., 2000).

Patofisiologi
Gagal jantung dapat dilihat sebagai suatu kelainan progresif yang dimulai
setelah adanya index event atau kejadian penentu hal ini dapat berupa kerusakan
otot jantung, yang kemudian mengakibatkan berkurangnya miosit jantung yang
berfungsi baik, atau mengganggu kemampuan miokardium untuk menghasilkan
daya pompa. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan jantung tidak dapat
berkontraksi secara normal. Kejadian penentu yang dimaksud ini dapat memiliki
onset yang tiba-tiba, seperti misalnya pada kasus infark miokard akut (AMI), atau
memiliki onset yang gradual atau insidius, seperti pada pasien dengan tekanan
hemodinamik yang tinggi (pada hipertensi) atau overload cairan (pada gagal
ginjal), atau bisa pula herediter, seperti misalnya pada kasus dengan kardiomiopati
genetik. Pasien dengan gagal jantung pada akhirnya memiliki satu kesamaan,
yaitu penurunan kemampuan pompa jantung, terlepas dari berbagai penyebab
gagal jantung. Pada kebanyakan orang gagal jantung bisa asimtomatik atau sedikit

5
bergejala setelah terjadi penurunan fungsi jantung, atau menjadi bergejala setelah
disfungsi dialami dalam waktu yang lama. Tidak diketahui dengan pasti mengenai
pasien dengan disfungsi ventrikel kiri tetap asimtomatik, hal yang berpotensi
mampu memberi penjelasan mengenai hal ini adalah banyaknya mekanisme
kompensasi yang akan teraktivasi saat terjadi jejas jantung atau penurunan fungsi
jantung yang tampaknya akan mengatur kemampuan fungsi ventrikel kiri dalam
batas homeostatik/fisiologis, sehingga kemampuan fungsional pasien dapat terjaga
atau hanya menurun sedikit. Transisi pasien dari gagal jantung asimtomatik ke
gagal jantung yang simtomatik, aktivasi berkelanjutan dari sistem sitokin dan
neurohormonal akan mengakibatkan perubahan terminal pada miokardium, hal ini
dikenal dengan remodelling ventrikel kiri. Gagal jantung dimulai setelah adanya
index event yang menghasilkan penurunan pada kemampuan pompa jantung.
Seiring dengan penurunan pada kapasitas pompa jantung, beragam mekanisme
kompensasi diaktifkan termasuk sistem syaraf adrenergik, sistem renin
angiotensin, dan sistem sitokin. Pada jangka pendek hal ini dapat mengembalikan
fungsi jantung pada batas homoestatik sehingga pasien tetap asimtomatik. Namun
dengan aktivasi berkelanjutan mekanisme kompensasi ini dapat mengakibatkan
kerusakan organ terminal sekunder pada ventrikel, dengan remodelling ventrikel
kiri yang memburuk dan dekompensasi jantung. Sebagai akibatnya secara klinis
pasien mengalami transisi dari gagal jantung yang tidak bergejala ke gagal jantung
yang bergejala.

Gambar 1. Patogenesis Gagal Jantung


Dikutip dari: Mann DL4
Mekanisme Neurohormonal
Beberapa ahli menyarankan gagal jantung dilihat dalam suatu model
neurohormonal yaitu gagal jantung berkembang sebagai hasil ekspresi berlebihan

6
suatu molekul yang secara biologis aktif, yang dapat memberikan efek kerusakan
jantung dan sirkulasi.
Seiring dengan progresi gagal jantung, masukan inhibisi dari reseptor
arterial dan kardiopulmoner terus menurun, dan masukan eksitasi meningkat.
Akibatnya perubahan keseimbangan ini terjadi peningkatan aktifitas pada sistem
simpatis, berkurangnya kemampuan sistem parasimpatik dan simpatik dalam
mengontrol denyut jantung, dan terganggunya regulasi reflek simpatis pada
resistensi vaskular. Iskemia dinding anterior juga memiliki efek tambahan pada
eksitasi sistem saraf simpatik eferen. Gambaran sistem syaraf simpatik dan
parasimpatik pada gagal jantung .
Pengaturan mekanisme neurohormonal ini dapat bersifat adaptif ataupun
maladaptif. Sistem ini bersifat adaptif apabila sistem dapat memelihara tekanan
perfusi arteri selama terjadi penurunan curah jantung. Sistem ini menjadi
maladaptif apabila menimbulkan peningkatan hemodinamik melebihi batas
ambang normal, menimbulkan peningkatan kebutuhan oksigen, serta memicu
timbulnya cedera sel miokard. Adapun pengaturan neurohormonal sebagai
berikut:
A. Sistem Saraf Adrenergik
Pasien dengan gagal jantung terjadi penurunan curah jantung. Hal ini akan
dikenali oleh baroreseptor di sinus karotikus dan arkus aorta, kemudian
dihantarkan ke medula melalui nervus IX dan X, yang akan mengaktivasi sistem
saraf simpatis. Aktivasi system saraf simpatis ini akan menaikkan kadar
norepinefrin (NE). Hal ini akan meningkatkan frekuensi denyut jantung,
meningkatkan kontraksi jantung serta vasokonstriksi arteri dan vena sistemik.
Norepinefrin dapat meningkatkan kontraksi dan mempertahankan tekanan
darah, tetapi kebutuhan energi miokard menjadi lebih besar, yang dapat
menimbulkan iskemi jika tidak ada penyaluran O2 ke miokard. Dalam jangka
pendek aktivasi sistem adrenergik dapat sangat membantu, tetapi lambat laun akan
terjadi maladaptasi.
Penderita dengan gagal jantung kronik akan terjadi penurunan konsentrasi
norepinefrin jantung; mekanismenya masih belum jelas, mungkin berhubungan

7
dengan exhaustion phenomenon yang berasal dari aktivasi sistem adrenergik
yang berlangsung lama.

Ket: Ach=asetilkolin, SSP=Susunan Syaraf Pusat, E=epinephrine, Na+=Natrium,


NE=norepinephrine.
Gambar 2. Mekanisme Aktivasi Sistem Syaraf Simpatik dan Parasimpatik Pada
Gagal Jantung.
Dikutip dari : Floras JS10
B. Sistem Renin Angiotensin Aldosteron
Curah jantung yang menurun, akan terjadi aktivasi sistem renin-
angiotensin aldosteron. Beberapa mekanisme seperti hipoperfusi renal,
berkurangnya natrium terfiltrasi yang mencapai makula densa tubulus distal, dan
meningkatnya stimulasi simpatis ginjal, memicu peningkatan pelepasan renin dari
apparatus juxtaglomerular. Renin memecah empat asam amino dari
angiotensinogen I, dan Angiotensin converting enzyme akan melepaskan dua asam
amino dari angiotensin I menjadi angiotensin II. Angiotensin II berikatan dengan
2 protein G menjadi angiotensin tipe 1 (AT1) dan tipe 2 (AT2). Proses renin
angiotensin aldosteron ini dapat tergambar pada Gambar 3. Aktivasi reseptor AT1
akan mengakibatkan vasokonstriksi, pertumbuhan sel, sekresi aldosteron dan
pelepasan katekolamin, sementara AT2 akan menyebabkan vasodilatasi, inhibisi
pertumbuhan sel, natriuresis dan pelepasan bradikinin.

8
Gambar 3. Sistem Renin Angiotensin Aldosteron
Dikutip dari: Weber KT dkk
Angiotensin II mempunyai beberapa aksi penting dalam mempertahankan
sirkulasi homeostasis dalam jangka pendek, namun jika terjadi ekspresi lama dan
berlebihan akan masuk ke keadaan maladaptif yang dapat menyebabkan fibrosis
pada jantung, ginjal dan organ lain. Selain itu, juga akan mengakibatkan
peningkatan pelepasan NE dan menstimulasi korteks adrenal zona glomerulosa
untuk memproduksi aldosteron.
Aldosteron memiliki efek suportif jangka pendek terhadap sirkulasi
dengan meningkatkan reabsorbsi natrium. Akan tetapi jika berlangsung relatif
lama akan menimbulkan efek berbahaya, yaitu memicu hipertrofi dan fibrosis
vaskuler dan miokardium, yang berakibat berkurangnya compliance vaskuler dan
meningkatnya kekakuan ventrikel. Di samping itu aldosteron memicu disfungsi
sel endotel, disfungsi baroreseptor, dan inhibisi uptake norepinefrin yang akan
memperberat gagal jantung. Mekanisme aksi aldosteron pada sistem
kardiovaskuler nampaknya melibatkan stres oksidatif dengan hasil akhir inflamasi
pada jaringan.
C. Stres Oksidatif
Pada pasien gagal jantung terdapat peningkatan kadar reactive oxygen
species (ROS). Peningkatan ini dapat diakibatkan oleh rangsangan dari
ketegangan miokardium, stimulasi neurohormonal (angiotensin II, aldosteron,
agonis alfa adrenergik, endothelin-1) maupun sitokin inflamasi (tumor necrosis
factor, interleukin-1). Efek ROS ini memicu stimulasi hipertrofi miosit, proliferasi

9
fibroblast dan sintesis collagen. ROS juga akan mempengaruhi sirkulasi perifer
dengan cara menurunkan bioavailabilitas NO.
D. Bradikinin
Penelitian menunjukkan bahwa bradikinin berperan penting dalam
pengaturan tonus pembuluh darah. Bradikinin akan berikatan dengan reseptor B1
dan B2. Sebagian besar efek bradikinin diperantarai lewat ikatan dengan reseptor
B2. Ikatan dengan reseptor B2 ini akan menimbulkan vasodilatasi pembuluh
darah. Pemecahan bradikinin akan dipicu oleh ACE.
E. Remodeling Ventrikel Kiri
Model neurohormonal yang telah dijelaskan di atas gagal menjelaskan
progresivitas gagal jantung. Remodeling ventrikel kiri yang progresif
berhubungan langsung dengan bertambah buruknya kemampuan ventrikel kiri di
kemudian hari. Proses remodeling mempunyai efek penting pada miosit jantung,
perubahan volume miosit dan komponen nonmiosit pada miokard serta geometri
dan arsitektur ruangan ventrikel kiri. Proses remodeling jantung ini dapat
dijelaskan pada gambar 7. Remodeling berawal dari adanya beban jantung yang
mengakibatkan meningkatkan rangsangan pada otot jantung. Keadaan jantung
yang overload dengan tekanan yang tinggi, misalnya pada hipertensi atau stenosis
aorta, mengakibatkan peningkatan tekanan sistolik yang secara parallel
menigkatkan tekanan pada sarkomer dan pelebaran pada miosit jantung, yang
menghasilkan hipertrofi konsentrik. Jika beban jantung didominasi dengan
peningkatan volume ventrikel, sehingga meningkatkan tekanan pada diastolik,
yang kemudian secara seri pada sarkomer dan kemudian terjadi pemanjangan
pada miosit jantung dan dilatasi ventrikel kiri yang mengakibatkan hipertrofi
eksentrik.
Homeostasis kalsium merupakan hal yang penting dalam perkembangan
gagal jantung. Hal ini diperlukan dalam kontraksi dan relaksasi jantung. Jalur
kalsium tipe L merupakan jalur kalsium pada jantung yang paling penting. Jalur
ini akan terbuka saat depolarisasi membran sewaktu fase upstroke potensial aksi.
Akibatnya terjadi influk kalsium kedalam sel yang menyebabkan fase plateu dan
meningkatnya kadar kalsium dalam sitosol. Beberapa penelitian menunjukkan
adanya penurunan mRNA dan kadar protein serta meningkatnya proses fosforilasi

10
pada jalur ini. Kedua kondisi ini menyebabkan abnormalitas pada influks kalsium
dan mempengaruhi pelepasan kalsium oleh retikulum sarkoplasma dimana hal ini
akan menurunkan kecepatan pengambilan kalsium sehingga menyebabkan
konstraksi dan pengisian jantung menurun
Kontraksi dan relaksasi jantung merupakan interaksi yang tergantung pada
energi yang memerlukan pemasukan kalsium dalam sitosol. Proses kontraksi-
eksitasi merupakan proses yang menghubungkan depolarisasi membran plasma
dengan pelepasan kalsium ke dalam sitosol, sehingga dapat berikatan dengan
troponin C. Saluran ion kalsium dan natrium pada membran plasma berperan
dalam memulai proses kontraksi-eksitasi. Proses membuka dan menutup saluran
kedua ion ini yang akan menjaga potensial membran.
Pada kondisi gagal jantung terjadi abnormalitas pada pompa ion dan
saluran ion yang menjaga proses kontraksi-eksitasi. Perpindahan isoform yang
terjadi akan mengganti miosin ATP-ase yang tinggi dan mempengaruhi struktur
membran sehingga mengakibatkan penurunan dalam pompa kalsium ATP-ase.
Selain itu, adanya kebutuhan energi juga menyebabkan gangguan pada proses
kontraksi-eksitasi pada gagal jantung.
Kematian sel miokard merupakan indikator prognosis buruk pada gagal
jantung. Baik apoptosis dan nekrosis akan menyebabkan kematian sel pada gagal
jantung. Apoptosis terjadi sebagai konsekuensi dari adanya luka pada sel,
peningkatan permeabilitas mitokondria dan jumlah kalsium yang berlebih.
Apoptosis dapat berkembang menjadi nekrosis yang kemudian menjadi fibrosis.
Hal-hal ini memperburuk gagal jantung.

11
Gambar 4. Pola Remodelling Jantung yang Terjadi Karena Respon Terhadap
Hemodinamik Berlebih.
Dikutip dari: Hunter JJ

12
Skema 1. Patofisiologi gagal jantung

13
Manifestasi Klinis
A. Acute Decompensated Heart Failure (ADHF)
Dapat pertama kali (de novo) atau dekompensasi dari gagal jantung kronis
(acute on chronic)
B. Hypertensive Acute Heart Failure
Gejala gagal jantung dengan tekanan darah tinggi dan fungsi ventrikel yang
masih baik, apabila ada gambaran edema paru akut
C. Edema paru
Sesak napas hebat, dengan ronkhi basah kasar terutama di basal paru,
ortopnea, saturasi o2 < 90%, dikonfirmasi dengan foto rontgen dada.
D. Syok kardiogenik
Adanya bukti hipoperfusi jaringan walaupun volume telah dikoreksi. TD
sistolik < 90 mmHg, produksi urin 0,5 cc/KgBB/jam, dengan laju nadi > 60
kali/menit (tidak ada blok jantung) dengan atau tanpa kongesti organ/paru.
E. High Output Failure
Gejala curah jantung tinggi, laju nadi yang cepat, akral hangat, kongesti paru,
kadang-kadang tekanan darah seperti pada syok septik.
F. Gagal jantung kanan
Gejala curah jantung rendah, peningkatan tekanan vena jugularus, serta
pembesaran hati dan hipotensi.

Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
elektrokardiografi/foto toraks, ekokardiografi-doppler dan kateterisasi. Diagnosis
gagal jantung juga bisa ditegakkan berdasarkan kriteria klinis menggunakan
kriteria klasik Framingham, bila terdapat paling sedikit satu kriteria mayor atau
dua kriteria minor.
Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan gejala sesuai dengan kriteria
Framingham.

Tabel 2. Kriteria Framingham

KRITERIA MAYOR KRITERIA MINOR

Paroxysmal nocturnal dyspnea Edema ekstremitas

14
Distensi vena-vena leher Batuk malam
Peningkatan vena jugularis Sesak pada aktivitas
Ronki Hepatomegali
Kardiomegali Efusi pleura
Edema paru akut Kapasitas vital berkurang 1/3 dari
normal
Gallop bunyi jantung III Takikardia (> 120x/menit)
Refluks hepatojugular positif
Mayor atau Minor
Penurunan BB > 4.5 kg dalam 5 haripengobatan

Pada tahap simtomatik di mana sindrom GJ sudah terlihat jelas seperti


cepat lelah (fatik), sesak napas (dyspnea in effort, ortopnea), asites, hepatomegali,
dan edema sudah jelas, maka diagnosis GJ mudah dibuat.
Tetapi bila sindrom tersebut belum terlihat jelas seperti pada tahap
disfungsi ventrikel kiri/ LV dysfunction (tahap asimtomatik), maka keluhan fatik
dan keluhan di atas yang hilang timbul tidak khas, sehingga harus ditopang oleh
pemeriksaan foto rontgen, ekokardiografi dan pemeriksaan Brain Natriuretic
Peptide.
Algoritma Diagnosis Gagal Jantung
Algoritma diagnosis gagal jantung atau disfungsi ventrikel kiri (Gambar
5). Penilaian klinis yang teliti diperlukan untuk mengetahui penyebab gagal
jantung, karena meskipun terapi gagal jantung umumnya sama bagi sebagian
besar pasien, namun keadaan tertentu memerlukan terapi spesifik dan mungkin
penyebabnya dapat dikoreksi.

Teknik Diagnostik
Uji diagnostik biasanya paling sensitif pada pasien gagal jantung dengan
fraksi ejeksi rendah. Uji diagnostik sering kurang sensitif pada pasien gagal
jantung dengan fraksi ejeksi normal. Ekokardiografi merupakan metode yang
paling berguna dalam melakukan evaluasi disfungsi sistolik dan diastolik.

15
Gambar 5.

Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan elektrokardiogram harus dikerjakan pada semua pasien
diduga gagal jantung. Abnormalitas EKG sering dijumpai pada gagal jantung
(Tabel 3). Abnormalitas EKG memiliki nilai prediktif yang kecil dalam
mendiagnosis gagal jantung, jika EKG normal, diagnosis gagal jantung khususnya
dengan disfungsi sistolik sangat kecil (< 10%).

Tabel 3. Abnormalitas EKG yang umum ditemukan pada gagal jantung

16
Foto Toraks
Merupakan komponen penting dalam diagnosis gagal jantung. Rontgen
toraks dapat mendeteksi kardiomegali, kongesti paru, efusi pleura dan dapat

17
mendeteksi penyakit atau infeksi paru yang menyebabkan atau memperberat sesak
nafas (Tabel 4). Kardiomegali dapat tidak ditemukan pada gagal jantung akut dan
kronik.
Tabel 4. Abnormalitas fototoraks yang umum ditemukan pada gagal jantung

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien diduga gagal jantung adalah
darah perifer lengkap (hemo-globin, leukosit, trombosit), elektrolit, kreatinin, laju
filtrasi glomerulus (GFR), glukosa, tes fungsi hati dan urinalisis. Pemeriksaan
tambahan lain dipertimbangkan sesuai tampilan klinis. Gangguan hematologis
atau elektrolit yang bermakna jarang dijumpai pada pasien dengan gejala ringan
sampai sedang yang belum diterapi, meskipun anemia ringan, hiponatremia,
hiperkalemia dan penurunan fungsi ginjal sering dijumpai terutama pada pasien
dengan terapi menggunakan diuretik dan/atau ACEI (Angiotensin Converting

18
Enzime Inhibitor), ARB (Angiotensin Receptor Blocker), atau antagonis
aldosterone.
Tabel 5. Abnormalitas pemeriksaan laboratorium yang sering dijumpai
pada gagal jantung

19
Peptida Natriuretik
Terdapat bukti-bukti yang mendukung penggunaan kadar plasma peptide
natriuretik untuk diagnosis, membuat keputusan merawat atau memulangkan
pasien, dan mengidentifikasi pasien yang berisiko mengalami dekompensasi.
Konsentrasi peptida natriuretik yang normal sebelum pasien diobati mempunyai
nilai prediktif negatif yang tinggi dan membuat kemungkinan gagal jantung
sebagai penyebab gejala-gejala yang dikeluhkan pasien menjadi sangat kecil.
Kadar peptide natriuretik yang tetap tinggi walaupun terapi optimal
mengindikasikan prognosis buruk. Kadar peptide natriuretik meningkat sebagai
respon peningkatan tekanan dindingan ventrikel. Peptide natriretik mempunyai
waktu paruh yang panjang, penurunan tiba-tiba tekanan dinding ventrikel tidak
langsung menurunkan kadar peptide natriuretik.

20
Troponin I atau T
Pemeriksaan troponin dilakukan pada penderita gagal jantung jika
gambaran klinisnya disertai dugaan sindroma koroner akut. Peningkatan ringan
kadar troponin kardiak sering pada gagal jantung berat atau selama episode
dekompensasi gagal jantung pada penderita tanpa iskemia miokard.
Ekokardiografi
Istilah ekokardiografi digunakan untuk semua teknik pencitraan ultrasound
jantung termasuk pulsed and continuous wave Doppler, colour Doppler dan tissue
Doppler imaging (TDI). Konfirmasi diagnosis gagal jantung dan/atau disfungsi
jantung dengan pemeriksaan ekokardiografi adalah keharusan dan dilakukan
secepatnya pada pasien dengan dugaan gagal jantung. Pengukuran fungsi
ventrikel untuk membedakan antara pasien disfungsi sistolik dengan pasien
dengan fungsi sistolik normal adalah fraksi ejeksi ventrikel kiri (normal > 45 -
50%).

Diagnosis Banding
1. Gangguan Ginjal Akut
Gangguan ginjal akut (GGA) didefinisikan sebagai kenaikan kreatinin serum
0.3 mg/dl dalam 48 jam, atau kenaikan kreatinin serum 1.5 kali nilai dasar
dan diketahui/dianggap terjadi dalam 7 hari, atau turunnya produksi urin < 0.5
cc/kgBB/jam selama > 6 jam.
Gejala klinis gangguan ginjal akut.
Pre Renal
1. Rasa haus
2. Hipotensi ortostatik, takikardi, penurunan JVP, turgor kulit menurun,
mukosa kering.
3. Stigmata sirosis hati dan hipertensi porta.
4. Tanda-tanda gagal jantung pada gagal jantung kongestif (sesak nafas dan
edema ekstremitas).
5. Sepsis

Renal

21
1. Acute Tubular Nefrotic, riwayat hipovolemik, syok sepsis, dan operasi
besar.
2. SLE (demam, artalgia, rash erimatosa).
3. Nyeri pada pinggang menandakan oklusi arteri atau vena ginjal.
4. Oliguria, edema, hipertensi, hematuria menandakan glomerulonefritis.
5. Hipertensi maligna.
Post Renal
1 Nyeri suprapubik.
2 Nyeri pada perut.
3 Kolik menandakan adanya obstruksi pada ureter.
4 Nokturia, frekuensi, pembesaran prostat menandakan adanya patologi pada
prostat.

2. Gagal Napas Akut


Gagal napas yang terjadi dalam beberapa jam ditandai dengan berkurangnya
pengiriman oksigen secara akut ke dalam darah oleh sistem pernapasan atau
kegagalan sistem pernapasan secara akut dalam mengeluarkan CO2 darah.
Acute Respiratory Distress Syndrome termasuk kedalam jenis gagal napas tipe I
(hipoksemia), dimana nilai PaCO2 pada gagal napas tipe ini menunjukkan nilai
normal/rendah. Gejala yang timbul merupakan campuran hipoksemia arteri dan
hipoksia jaringan, antara lain:
- Dispneu (takinpneu, hiperventilasi)
- Perubahan status mental, cemas, bingung, kejang, asidosis laktat.
- Sianosis di mukosa dan bibir.
- Peningkatan simpatis: takikardia, diaphoresis, hipertensi.
- Hipotensi, bradikardia, iskemi miokard, infark, anemia, hingga gagal
jantung dapat terjadi pada hipoksia berat.

3. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)


Penyakit paru obstruktif kronis merupakan penyakit yang dapat dicegah dan
dapat diobati, dengan karakteristik hambatan aliran udara menetap dan
progresif yang disertai dengan peningkatan respon inflamasi kronis pada
saluran napas dan paru terhadap partikel berbahaya.
Gejala klinis
Sesak napas kronis, batuk produktif kronis, mudah lelah. Sesak napas pada
pasien PPOK bersifat progresif, menetap, dan memburuk dengan

22
olahraga/aktivitas. Sedangkan batuk kronis bersifat intermeten dan mungkin
unproductive.

4. Sirosis
Perubahan arsitektur jaringan hati yang ditandai dengan regenerasi nodular
yang bersifat difus dan dikelilingi oleh septa-septa fibrosis. Perubahan
(distorsi) struktur tersebut dapat mengakibatkan peningkatan aliran darah
portal, disfungsi sintesis hepatosit, serta meningkatkan risiko karsinoma
hepatoseluler (KHS).

5. Pneumonia
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari
bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli,
serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas
setempat.
Gejala Klinis
Tanda-tanda fisis pada tipe pneumonia klasik bisa didapatkan berupa demam,
sesak napas, tanda-tanda konsolidasi paru (perkusi paru yang pekak, ronki
nyaring, suara pernapasan bronkial). Dapat diperoleh bentuk manifestasi lain
infeksi paru seperti efusi pleura, pneumotoraks/hidropneumotoraks.

Tatalaksana
NON- FARMAKOLOGI
Manajemen Perawatan Mandiri
Manajemen perawatan mandiri mempunyai peran dalam keberhasilan
pengobatan gagal jantung dan dapat memberi dampak bermakna perbaikan gejala
gagal jantung, kapasitas fungsional, kualitas hidup, morbiditas dan prognosis.
Manajemen perawatan mandiri dapat didefnisikan sebagai tindakan-tindakan yang
bertujuan untuk menjaga stabilitas fisik, menghindari perilaku yang dapat
memperburuk kondisi dan mendeteksi gejala awal perburukan gagal jantung.
Ketaatan pasien berobat

23
Ketaatan pasien berobat menurunkan morbiditas, mortalitas dan kualitas
hidup pasien. Berdasarkan literatur, hanya 20 - 60% pasien yang taat pada terapi
farmakologi maupun non-farmakologi.
Pemantauan berat badan mandiri
Pasien harus memantau berat badan rutin setap hari, jika terdapat kenaikan
berat badan >2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikan dosis diuretik atas
pertimbangan dokter (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti C)
Asupan cairan
Restriksi cairan 1,5-2 Liter/hari dipertimbangkan terutama pada pasien
dengan gejala berat yang disertai hiponatremia. Restriksi cairan rutin pada semua
pasien dengan gejala ringan sampai sedang tidak memberikan keuntungan klinis
(kelas rekomendasi IIb, tingkatan bukti C)
Pengurangan berat badan
Pengurangan berat badan pasien obesitas (IMT > 30 kg/m2) dengan gagal
jantung dipertimbangkan untuk mencegah perburukan gagal jantung, mengurangi
gejala dan meningkatkan kualitas hidup (kelas rekomendasi IIa, tingkatan bukti C)
Kehilangan berat badan tanpa rencana
Malnutrisi klinis atau subklinis umum dijumpai pada gagal jantung
berat.Kaheksia jantung (cardiac cachexia) merupakan prediktor penurunan angka
kelangsungan hidup.Jika selama 6 bulan terakhir berat badan > 6 % dari berat
badan stabil sebelumnya tanpa disertai retensi cairan, pasien didefinisikan sebagai
kaheksia. Status nutrisi pasien harus dihitung dengan hati-hati (kelas rekomendasi
I, tingkatan bukti C)
Latihan fisik
Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal jantung kronik
stabil. Program latihan fisik memberikan efek yang sama baik dikerjakan di
rumah sakit atau di rumah (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti A)

Aktvitas seksual
Penghambat 5-phosphodiesterase (contoh: sildenafil) mengurangi tekanan
pulmonal tetapi tidak direkomendasikan pada gagal jantung lanjut dan tidak boleh
dikombinasikan dengan preparat nitrat (kelas rekomendasi III, tingkatan bukti B)

24
FARMAKOLOGI
Tujuan Tata Laksana Gagal Jantung
Tujuan diagnosis dan terapi gagal jantung yaitu untuk mengurangi
morbiditas dan mortalitas (Tabel 6). Tindakan preventif dan pencegahan
perburukan penyakit jantung tetap merupakan bagian penting dalam tata laksana
penyakit jantung. Gambar 6 menyajikan strategi pengobatan mengunakan obat
dan alat pada pasien gagal jantung simtomatik dan disfungsi sistolik. Sangatlah
penting untuk mendeteksi dan mempertimbangkan pengobatan terhadap
kormorbid kardiovaskular dan non kardiovaskular yang sering dijumpai.
Tabel 6. Tujuan Pengobatan Gagal Jantung Kronik

25
Gambar 6. Strategi Pengobatan pada Pasien Gagal Jantung Kronik
Simptomatik (NYHA fc II-IV).
Dikutip dari ESC Guidelines for The Diagnosis and Treatment of Acute And
Chronic Heart Failure 2012

26
1. Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors (ACEI)
Kecuali kontraindikasi, ACEI harus diberikan pada semua pasien gagal
jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %. ACEI memperbaiki
fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena
perburukan gagal jantung, dan meningkatkan angka kelangsungan hidup (kelas
rekomendasi I, tingkatan bukti A). ACEI kadang-kadang menyebabkan
perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, hipotensi simtomatik, batuk dan
angioedema (jarang), oleh sebab itu ACEI hanya diberikan pada pasien dengan
fungsi ginjal adekuat dan kadar kalium normal.
Indikasi pemberian ACEI
Fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %, dengan atau tanpa gejala
Kontraindikasi pemberian ACEI
Riwayat angioedema
Stenosis renal bilateral
Kadar kalium serum > 5,0 mmol/L
Serum kreatinin > 2,5 mg/dL
Stenosis aorta berat
Cara pemberian ACEI pada gagal jantung (Tabel 7)
Inisiasi pemberian ACEI
Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit
Periksa kembali fungsi ginjal dan serum elektrolit 1 - 2 minggu setelah terapi
ACEI
Naikan dosis secara titrasi
Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 - 4 minggu.
Jangan naikan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau hiperkalemia.
Dosis titrasi dapat dinaikan lebih cepat saat dirawat di rumah sakit
Jika tidak ada masalah diatas, dosis dititrasi naik sampai dosis target atau dosis
maksimal yang dapat di toleransi (Tabel 9)
Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit 3 dan 6 bulan setelah mencapai dosis
target atau yang dapat ditoleransi dan selanjutnya tiap 6 bulan sekali.

2. Penyekat
Kecuali kontraindikasi, penyekat harus diberikan pada semua pasien
gagal jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %. Penyekat

27
memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah
sakit karena perburukan gagal jantung, dan meningkatkan kelangsungan hidup
Indikasi pemberian penyekat
Fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %
Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA)
ACEI / ARB (dan antagonis aldosteron jika indikasi) sudah diberikan
Pasien stabil secara klinis (tidak ada perubahan dosis diuretik, tidak ada
kebutuhan inotropik i.v. dan tidak ada tanda retensi cairan berat)
Kontraindikasi pemberian penyekat
Asma
Blok AV (atrioventrikular) derajat 2 dan 3, sindroma sinus sakit (tanpa pacu
jantung permanen), sinus bradikardia (nadi < 50 x/menit)
Cara pemberian penyekat pada gagal jantung (Tabel 7)
Inisiasi pemberian penyekat
Penyekat dapat dimulai sebelum pulang dari rumah sakit pada pasien
dekompensasi secara hati-hati. Dosis awal lihat Tabel 9.
Naikan dosis secara titrasi
Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 - 4 minggu. Jangan
naikan dosis jika terjadi perburukan gagal jantung, hipotensi simtomatik atau
bradikardi (nadi < 50 x/menit)
Jika tidak ada masalah diatas, gandakan dosis penyekat sampai dosis target
atau dosis maksimal yang dapat di toleransi (Tabel 9)
Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian penyekat :
Hipotensi simtomatik
Perburukan gagal jantung
Bradikardia

3. Antagonis Aldosteron
Kecuali kontraindikasi, penambahan obat antagonis aldosteron dosis kecil
harus dipertimbangkan pada semua pasien dengan fraksi ejeksi 35 % dan gagal
jantung simtomatik berat (kelas fungsional III - IV NYHA) tanpa hiperkalemia
dan gangguan fungsi ginjal berat. Antagonis aldosteron mengurangi perawatan

28
rumah sakit karena perburukan gagal jantung dan meningkatkan kelangsungan
hidup.
Indikasi pemberian antagonis aldosteron
Fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %
Gejala sedang sampai berat (kelas fungsional III- IV NYHA)
Dosis optimal penyekat dan ACEI atau ARB (tetapi tidak ACEI dan ARB)
Kontraindikasi pemberian antagonis aldosteron
Konsentrasi serum kalium > 5,0 mmol/L
Serum kreatinin> 2,5 mg/dL
Bersamaan dengan diuretik hemat kalium atau suplemen kalium
Kombinasi ACEI dan ARB
Cara pemberian spironolakton (atau eplerenon) pada gagal jantung (Tabel 7)
Inisiasi pemberian spironolakton
Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit.
Naikan dosis secara titrasi
Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 4 - 8 minggu. Jangan
naikan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau hiperkalemia.
Periksa kembali fungsi ginjal dan serum elektrolit 1 dan 4 minggu setelah
menaikan dosis
Jika tidak ada masalah diatas, dosis dititrasi naik sampai dosis target atau dosis
maksimal yang dapat di toleransi.
Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian spironolakton:
Hiperkalemia
Perburukan fungsi ginjal
Nyeri dan/atau pembesaran payudara

Tabel 7. Rekomendasi terapi farmakologis untuk semua pasien gagal jantung


sistolik simtomatik (NYHA fc II-IV)

29
Tabel 8. Rekomendasi terapi farmakologis lain dengan keuntungan yang kurang
pasti pada pasien gagal jantung dengan NYHA fc II-IV

4. Angiotensin Receptor Blockers (Arb)


Kecuali kontraindikasi, ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung
dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 % yang tetap simtomatik walaupun sudah
diberikan ACEI dan penyekat dosis optimal, kecuali juga mendapat antagonis
aldosteron. Terapi dengan ARB memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup,
mengurangi angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung ARB
direkomedasikan sebagai alternatif pada pasien intoleran ACEI. Pada pasien ini,
ARB mengurangi angka kematian karena penyebab kardiovaskular.
Indikasi pemberian ARB

30
Fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %
Sebagai pilihan alternatif pada pasien dengan gejala ringan sampai berat (kelas
fungsional II - IV NYHA) yang intoleran ACEI
ARB dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, dan
hipotensi simtomatik sama sepert ACEI, tetapi ARB tidak menyebabkan batuk
Kontraindikasi pemberian ARB
Sama seperti ACEI, kecuali angioedema
Pasien yang diterapi ACEI dan antagonis aldosteron bersamaan
Monitor fungsi ginjal dan serum elektrolit serial ketika ARB digunakan
bersama ACEI
Cara pemberian ARB pada gagal jantung (Tabel 8)
Inisiasi pemberian ARB
Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit.
Dosis awal lihat Tabel 9
Naikan dosis secara titrasi
Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 - 4 minggu. Jangan
naikan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau hiperkalemia
Jika tidak ada masalah diatas, dosis dititrasi naik sampai dosis target atau dosis
maksimal yang dapat ditoleransi (Tabel 9)
Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit 3 dan 6 bulan setelah mencapai dosis
target atau yang dapat ditoleransi dan selanjutnya tiap 6 bulan sekali
Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian ARB:
Sama seperti ACEI, kecuali ARB tidak menyebabkan batuk

5. Hydralazine Dan Isosorbide Dinitrate (H-Isdn)


Pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %,
kombinasi H-ISDN digunakan sebagai alternatif jika pasien intoleran terhadap
ACEI dan ARB (kelas rekomendasi IIa, tingkatan bukti B).

Tabel 9. Dosis obat yang umumnya dipakai pada gagal jantung

31
Indikasi pemberian kombinasi H-ISDN
Pengganti ACEI dan ARB dimana keduanya tidak dapat ditoleransi
Sebagai terapi tambahan ACEI jika ARB atau antagonis aldosteron tidak dapat
ditoleransi
Jika gejala pasien menetap walaupun sudah diterapi dengan ACEI, penyekat
dan ARB atau antagonis aldosteron

Kontraindikasi pemberian kombinasi H-ISDN


Hipotensi simtomatik
Sindroma lupus
Gagal ginjal berat

Cara pemberian kombinasi H-ISDN pada gagal jantung (Tabel 10)


Inisiasi pemberian kombinasi H-ISDN
Dosis awal: hydralazine 12,5 mg dan ISDN 10 mg, 2 - 3 x/hari
Naikan dosis secara titrasi
Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 - 4 minggu.
Jangan naikan dosis jika terjadi hipotensi simtomatik

32
Jika toleransi baik, dosis dititrasi naik sampai dosis target (hydralazine 50 mg
dan ISDN 20 mg, 3-4 x/hari)
Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian kombinasi H-
ISDN:
Hipotensi simtomatik
Nyeri sendi atau nyeri otot

6. Digoksin
Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoksin dapat digunakan
untuk memperlambat laju ventrikel yang cepat, walaupun obat lain (seperti
penyekat beta) lebih diutamakan. Pada pasien gagal jantung simtomatik, fraksi
ejeksi ventrikel kiri 40 % dengan irama sinus, digoksin dapat mengurangi
gejala, menurunkan angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal
jantung,tetapi tidak mempunyai efek terhadap angkakelangsungan hidup (kelas
rekomendasi IIa, tingkatan bukti B).

Tabel 10. Indikasi dan Kontraindikasi Pemberian Digoksin

33
Cara pemberian digoksin pada gagal jantung
Inisiasi pemberian digoksin
Dosis awal: 0,25 mg, 1 x/hari pada pasien dengan fungsi ginjal normal. Pada
pasien usia lanjut dan gangguan fungsi ginjal dosis diturunkan menjadi 0,125
atau 0,0625 mg, 1 x/hari
Periksa kadar digoksin dalam plasma segera saat terapi kronik.
Kadar terapi digoksin harus antara 0,6 - 1,2 ng/mL
Beberapa obat dapat menaikan kadar digoksin dalam darah (amiodaron,
diltiazem, verapamil, kuinidin)
Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian digoksin:
Blok sinoatrial dan blok AV
Aritmia atrial dan ventrikular, terutama pada pasien hipokalemia
Tanda keracunan digoksin: mual, muntah, anoreksia dan gangguan melihat
warna

7. Diuretik
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis
atau gejala kongesti (kelas rekomendasi I, tingkatan bukit B).Tujuan dari
pemberian diuretik adalah untuk mencapai status euvolemia (kering dan hangat)
dengan dosis yang serendah mungkin, yaitu harus diatur sesuai kebutuhan pasien,
untuk menghindari dehidrasi atau reistensi.
Cara pemberian diuretik pada gagal jantung
Pada saat inisiasi pemberian diuretik periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit
Dianjurkan untuk memberikan diuretik pada saat perut kosong
Sebagain besar pasien mendapat terapi diuretik loop dibandingkan tiazid
karena efisiensi diuresis dan natriuresis lebih tinggi pada diuretik loop.
Kombinasi keduanya dapat diberikan untuk mengatasi keadaan edema yang
resisten
Tabel 11. Dosis diuretic yang biasa digunakan pada pasien gagal jantung

34
Dosis diuretik (Tabel 11)
Mulai dengan dosis kecil dan tingkatkan sampai perbaikan gejala dan tanda
kongesti
Dosis harus disesuaikan, terutama setelah tercapai berat badan kering (tanpa
retensi cairan),untuk mencegah risiko gangguan ginjal dan dehidrasi. Tujuan
terapi adalah mempertahankan berat badan kering dengan dosis diuretik
minimal
Pada pasien rawat jalan, edukasi diberikan agar pasien dapat mengatur dosis
diuretik sesuai kebutuhan berdasarkan pengukuran berat badan harian dan
tanda-tanda klinis dari retensi cairan
Pengelolaan pasien resisten diuretik terdapat pada Tabel 12

Tabel 12. Pertimbangan praktis terapi gagal jantung dengan diuretic loop

35
Pemberian terapi yang tidak direkomendasikan (dengan manfaat yang tidak
terbukti)
Statin
Walaupun telah banyak penelitian-penelitian besar mengenai statin dengan
data yang membuktikan manfaat statin, namun sebagain banyak penelitian
tersebut tidak memasukan pasien gagal jantung dedalam subyeknya. Ada beberapa
penelitian mengenai statin pada gagal jantung kronis, namun hasilnya tidak
menyatakan manfaat yang jelas statin, walaupun tidak juga menyatakan bahaya
dari pemberian obat ini

36
Renin inhibitors
Antikoagulan oral
Sampai saat ini belum terdapat data yang menyatakan bahwa antikoagulan
oral terbukti lebih baik dalam penurunan mortalitas dan morbiditas pada gagal
jantung bila dibandingkan dengan plasebo atau aspirin.

Tabel 13. Pemberian terapi yang tidak direkomendasikan (dapat membahayakan)

Terapi Farkamologis Pada Gagal Jantung Dengan Ef Normal (Gagal


Jantung Diastolik )
Sampai saat ini belum ada terapi yang terbukti secara khusus, dapat
menurunkan mortalitas dan morbiditas pada pasien dengan gagal jantung
diastolik. Diuretik digunakan untuk mengatasi retensi garam dan cairan serta
mengatasi keluhan sesak nafas. Terapi iskemia miokard dan hipertensi yang
adekuat sangat penting dalam penting dalam tatalaksana kelainan ini, termasuk
tatalaksana pengaturan laju nadi, terutama pada pasien dengan fibrilasi atrial.
Semua obat yang tidak dianjurkan pemberiannya ataupun yang harus dihindari
pada pasien dengan gagal jantung sistolik, juga berlaku pada gagal jantung
diastolik, terkecuali CCB dihidropiridin, karena mempunyai efek kontrol laju
nadi.

TERAPI ALAT NON BEDAH PADA GAGAL JANTUNG SISTOLIK

37
Sampai saat ini, ICD (Implantable cardioverter-defibrillator) dan CRT
(Cardiac resynchronization therapy) merupakan alat yang direkomendasikan pada
gagal jantung lanjut (advanced heart failure) simtomatik, yang sudah
mendapatkan terapi farmakologis gagal jantung secara optimal.

Gambar 7. Rekomendasi kontrol laju ventrikel pasien gagal jantung dengan


fibrilasi atrium persisten/permanen dan tanpa dekompensasi akut.
Disadur dari ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and
chronic heart failure 2012

38
Gambar 8. Algoritma terapi farmakologi pada pasien yang telah didiagnosis
sebagai gagal jantung akut.
Disadur dari ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and
chronic heart failure 2012

Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada gagal jantung;
1. Kerusakan atau kegagalan ginjal
Gagal jantung dapat menurunkan aliran darah ke ginjal, yang
akhirnya dapat menyebabkan gagal ginjal jika tidak diobati. Gagal ginjal
akibat gagal jantung memerlukan hemodialisa sebagai pengobatan.
2. Masalah katup jantung
Katup jantung, yang membuat darah mengalir ke arah yang benar melalui
jantung, mungkin tidak berfungsi dengan baik jika jantung mengalami
pembesaran atau jika tekanan di dalam jantung sangat tinggi karena gagal
jantung.
3. Masalah irama jantung (aritmia)
Dapat menjadi komplikasi potensial dari gagal jantung.
4. Kerusakan hati.

39
Gagal jantung dapat menyebabkan penumpukan cairan yang
menempatkan terlalu banyak tekanan pada hati. Cairan ini dapat
menyebabkan jaringan parut, yang membuatnya lebih sulit
bagi hati berfungsi seperti seharusnya.

Prognosis
Pasien GJ memiliki prognosis yang sangat buruk. Dalam satu randomized
trial yang besar, pada pasien yang dirawat dengan gagal jantung yang mengalami
dekompensasi, mortalitas 600 hari adalah 9,6%, dan apabila dikombinasi dengan
perawatan ulang 60 hari menjadi 5,2%. Angka kematian lebih tinggi pada infark
jantung yang disertai gagal jantung berat, dengan mortalitas 30% dalam 12 bulan.
Pada pasien edema paru akut, angka kematian dirumah sakit 12%, dan mortalitas
1 tahun 40%.
Predictor mortalitas tinggi antara lain tekanan baji kapiler paru
(pulmonary capillary wedge pressure) yang tinggi, sama atau lebih dari 16
mmHg. Kadar natrium yang rendah, dimensi ruang ventrikal kiri yang meningkat,
dan konsumsi oksigen puncak yang rendah. Sekitar 45% pasien GJ akan dirawat
ulang paling tidak satu kali, 15% paling tidak dua kali dalam 12 pertama.

Pencegahan
Upaya pencegahan gagal jantung dapat meliputi empat tingkat pencegahan yaitu;
a. Pencegahan primordial, yaitu upaya pencegahan munculnya faktor
predisposisi terhadap terjadinya gagal jantung dalam suatu wilayah dimana
belum tampak adanya faktor yang menjadi risiko gagal jantung.
b. Pencegahan primer, yaitu upaya awal pencegahan gagal jantung sebelum
seseorang menderita. pencegahan primer ditunjukan pada pencegahan
penyakit jantung secara umum.
c. Pencegahan sekunder, yaitu upaya mencegah gagal jantung yang sudah
pernah terjadi untuk tidak berulang atau menjadi lebih berat. Disini
diperlukan perubahan-perubahan pola hidup dan kepatuhan berobat.
d. Pencegahan tersier, yaitu upaya mencegah terjadinya komplikasi yang
lebih berat atau kematian.

40
BAB 3
LAPORAN KASUS

IDENTIFIKASI

Nama : Tn. T

Jenis kelamin : Laki-laki

Usia : 44 tahun

Alamat : Panguragan Wetan

Pekerjaan : Buruh harian

Status perkawinan : Kawin

Agama : Islam

41
MRS : 14 Desember 2016

ANAMNESIS

Keluhan Utama :

Sesak napas yang semakin berat sejak 1hari SMRS

Riwayat Perjalanan Penyakit :

Sejak 1 hari SMRS os mengeluh sesak napas bertambah berat. Sudah 2


hari os tidak melakukan pekerjaan apapun tapi sesak napas tetap ada meskipun os
beristirahat. Os tidak bisa tidur karena sesak semakin bertambah jika posisi
berbaring dan keringat dingin, os tidur dengan posisi setengah duduk. Sesak tidak
dipangaruhi cuaca, debu dan emosi. Bunyi mengi (-). Nyeri dada (-). Batuk (+),
tidak berdahak, tidak berdarah. Di malam hari os mengeluh mual (+), muntah (+),
isi cairan berwarna bening, frekuensi 2x dalam semalam. Bengkak pada kaki (-).
Demam (-). BAK biasa. BAB biasa.

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat nyeri dada disangkal.


Riwayat penyakit jantung sebelumnya disangkal.
Riwayat penyakit pernapasan (asma) disangkal.
Riwayat merokok dan minum alkohol sejak usia 17 tahun (merokok 2
bungkus/hari, minum alkohol hampir setiap malam).

Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama dalam keluarga disangkal.

Riwayat Sosial Ekonomi

42
Penderita sudah menikah. Penderita bekerja sebagai buruh harian. Kesan : status
sosial ekonomi kurang.

PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum

Keadaan umum : tampak sakit

Keadaan sakit : sakit sedang

Kesadaran : compos mentis

Gizi : kurang

Dehidrasi : (-)

Tekanan Darah : 150/100 mmHg

Nadi : 86 kali per menit, reguler, isi dan tegangan cukup

Pernafasan : 28 kali per menit, thoracoabdominal

Suhu : 36,7o C

Berat Badan : 54 kg

Tinggi Badan : 170 cm

IMT : 54/(1,70)2 = 18,68 (cukup)

Keadaan Spesifik

Kulit

Warna sawo matang, efloresensi (-), pigmentasi normal, ikterus (-), sianosis (-),
spider nevi (-), telapak tangan dan kaki pucat (-), pertumbuhan rambut normal.

43
KGB

Kelenjar getah bening di submandibula, leher, axila, inguinal tidak teraba.

Kepala

Bentuk lonjong, simetris, warna rambut hitam, rambut mudah rontok (-),
deformitas (-).

Mata

Eksophtalmus (-), endophtalmus (-), edema palpebra (-), konjungtiva palpebra


pucat (-), sklera ikterik (-), pupil isokor, reflek cahaya (+), pergerakan mata ke
segala arah baik, mata cekung (+).

Hidung

Bagian luar hidung tak ada kelainan, septum dan tulang-tulang dalam perabaan
baik, selaput lendir dalam batas normal, epistaksis (-).

Telinga

Pendengaran baik.

Mulut

Pembesaran tonsil (-), gusi berdarah (-), lidah kering (-), tepi lidah hiperemis (-),
lidah tremor (-), atrofi papil(-), stomatitis(-), rhagaden(-), bau pernapasan khas (-).

44
Leher

Pembesaran kelenjar thyroid (-), JVP (5+2) cmH 2O, hipertrofi musculus
sternocleidomastoideus (-), kaku kuduk(-).

Dada

Bentuk dada normal, retraksi (-), nyeri tekan (-), nyeri ketok (-), krepitasi (-).

Paru

Inspeksi : statis simetris kanan dan kiri, dinamis kanan = kiri, tidak ada yang
tertinggal

Palpasi : stemfremitus kanan = kiri

Perkusi : sonor di kedua lapangan paru

Auskultasi : vesikuler (+) normal, ronkhi basah halus (+) di basal kedua paru,
wheezing (-)

Jantung

Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : ictus cordis tidak teraba

Perkusi : batas atas ICS II, batas kanan linea parasternalis dextra, batas kiri
linea axilaris anterior sinistra ICS VI

Auskultasi : HR 86 x/menit, reguler. Murmur (-) sistolik, punctum maximum di


katup mitral. Gallop (-)

45
Abdomen

Inspeksi : datar

Palpasi : lemas, nyeri tekan daerah epigastrium (-), hepar dan lien tidak
teraba.

Perkusi : thympani, shifting dullness (-)

Auskultasi : bising usus (+) normal

Genital (Tidak diperiksa)

Ekstremitas

Ekstremitas atas : gerakan bebas, edema (-), jaringan parut (-), pigmentasi
normal, telapak tangan pucat (-), jari tabuh (+), turgor <
2 detik, sianosis (-).

Ekstremitas bawah : gerakan bebas, jaringan parut (-), pigmentasi normal,


telapak kaki pucat (-), jari tabuh (-), turgor kembali
lambat (-), edema pretibia dan pergelangan kaki (-).

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tanggal 16 Desember 2017

Hematologi

Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan


Darah Lengkap :
Hemoglobin 9.5 gr/dL 13.0-18.0
Hematokrit 27.9 % 39.0-54.0
Lekosit 9.85 10^3/uL 4000-11000
Trombosit 356 10^3/uL 150000-450000
Eritrosit 3.43 mm3 4.4-6.0
Index Eritrosit :
MCV 81.8 Fl 79-99

46
MCH 26.3 Pg 27-31
MCHC 32.4 g/dL 33-37
RDW 15.4 fL 33-47
MPV 10.9 fL 6.7-9.6
PDW 80.5 % 39.3-64.7
Hitung Jenis
(DIFF) :
Eosinofil 0.9 % 0-3
Basofil 0.6 % 0-1
Segmen 93.6 % 50-70
Limfosit 2.9 % 20-40
Monosit 1.8 % 2-8
Stab 0.2 % 35-47
Kimia Klinik
Glukosa sewaktu 120 mg/dL 70-140
Ureum 100.5 mg/dL 10-45
Kreatinin 3.44 mg/dL 0.50-1.10
Natrium 129 mmol/dL 135-155
Kalium 10.8 mmol/dL 3.5-5.5
Klorida 114 mmol/dL 95-105

EKG

DIAGNOSA KERJA
Congestive heart failure

PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
NS
Furesemid 4x3
Asam folat, bicnat, CaCO3, vit B12 3x1
Aspilet 1x1
Ranitidin 2x1 amp

47
Clopidogrel 1x1

Non medikamentosa
Istirahat yang cukup
Pasien dan keluarga diberikan edukasi mengenai penyakit yang diderita
pasien dan penatalaksanaan dan pencegahanya.

Usulan pemeriksaan
Darah lengkap
Rontgen thorax
Echocardiography

Rencana monitoring
Evaluasi kesadaran, tanda vital, keluhan

RESUME
Pasien 44 tahun dengan sesak nafas(+) , lemas (+),mual (+), muntah (+),
nyeri ulu hati (+),konjungtiva anemis (+), riwayat kebiasaan merokok (+).

DAFTAR MASALAH
1. CHF
2. Anemia
3. Dyspepsia

II. PENGKAJIAN
1. CHF.
Atas dasar : Pada anamnesis didapatkan keluhan sesak nafas dan mudah
lelah saat beraktifitas ringan atau beristirahat
Rencana diagnosis : Echocardiography
Rencana tatalaksana :
1. Tirah baring
2. IVFD RL 20tpm,
3. Ranitidine 3x1,
4. Ondansetron 3x4mg
5. Aspilet 1x1
6. Clopidogrel 1x1

2. Anemia

atas dasar : lemas (+), low intake (+). Pada pemeriksaan fisik ditemukan
conjungtiva anemis (+/+) dan pada ekstremitas tampak pucat.

48
Rencana diagnosis : monitor hb dan darah rutin ulang post transfusi.

Rencana tatalaksana :

1. Tirah baring

2. IVFD RL 20tpm

3. transfusi PRC 500cc.

3. Dyspepsia

atas dasar : mual (+) muntah (+) nyeri ulu hati (+)

Rencana diagnosis : monitor .

Rencana tatalaksana :

1. Tirah baring

Ranitidine 2x1

Ondansentrone 3x1

PROGNOSA
Quo Ad Vitam : Dubia ad malam
Quo Ad Functionam : Dubia ad malam
Quo Ad Sanationam : Dubia ad malam

DATE SUBJECTIVE OBJECTIVE ASSESMENT PLANING


15/12/16 Demam (-),sesak (+), P : 98x/menit NS
R : 28x/menit Furesemid
batuk (-) mual (-),
S : 36,1
muntah (-), Nafsu TD : 150/90 4x3
Mata : Ca(-/-), Si(-/-) Asam folat,
makan menurun
Leher : T.A.K bicnat,
Pulmo : VBS kanan =
CaCO3, vit
kiri, RH (+/+), WH (-/-)
COR : BJ 1-2 reg, GL(-), B12 3x1
Aspilet 1x1
Mur (-)
Ranitidin

49
Abdo:nyeri tekan(+) , 2x1 amp
Clopidogrel
undulasi(+), shifting
dullness(+), pitting 1x1

edema(+), ketok CVA


(+)
Ekstre : Akral hangat,
edema (++/++)
16/12/16 Demam (-), sesak P : 88 NS
R: 22 Furesemid
bertambah, mual (-),
S: 36,9
Muntah(-), batuk (-), TD: 130/80 4x3
Mata : Ca(-/-), Si(-/-) Asam folat,
gelisah, nafsu makan
Leher : T.A.K bicnat,
belum membaik, Pulmo : VBS kanan =
CaCO3, vit
diare ringan-sedang kiri, RH (+/+), WH (-/-)
COR : BJ 1-2 reg, GL(-), B12 3x1
3x dalam sehari
Aspilet 1x1
Mur(-)
Abdo:nyeri tekan(+) , Ranitidin

undulasi(+), shifting 2x1 amp


Clopidogrel
dullness(+), pitting
1x1
edema(+), ketok CVA Diatab 3 dd 2
(+) tab
Ekstre : Akral hangat,
edema (++/++)

50
BAB 4

KESIMPULAN

KESIMPULAN

Gagal jantung kongestif merupakan tahap akhir penyakit jantung yang


dapatmenyebabkan meningkatnya mortalitas dan morbiditas penderita penyakit
jantung. Sangat penting untuk mengetahui gagal jantung secara klinis.
Penatalaksanaan meliputi penanganannon medikamentosa, dan obat obatan serta
dengan menggunakan terapi invasif. Meskipun pengobatan farmakologis dan
operatif yang saat ini tersedia untuk pasien CHF dapat memperpanjang dan
memperbaiki kualitas hidup, prognosis keseluruhan dari pasien CHF masih tetap
buruk. Dikarenakan proporsi pasien usia lanjut diperkirakan akan terus meningkat
dalam dekade mendatang , CHF diperkirakan juga akan menjadi mayor epidemik.
Jadi, untuk pasien-pasien CHF sangat memerlukan pendekatan terapi baru yang
dapat dipergunakan secara individual, yang akan meningkatkan kualitas hidup dan
mengurangi beban ekonomi pada masyarakat. Pengobatan efektif terhadap
antecedent utama CHF-seperti hipertensi, ischaemic heart disease dan diabetes-
mungkin merupakan kunci pencegahan terhadap perburukan penyakit tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

51
Ganong, WF., et al. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 22. Jakarta.
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Guyton & Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta. Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Setiati, Siti., et al. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi VI. Jakarta.
Interna Publishing.
Sherwood, Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia: Dari Sel Ke Sistem. Edisi 6.
Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Siswanto, Budi., et al. 2015. Pedoman Tata Laksana Gagal Jantung. Perhimpunan
Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia. Edisi 1. Jakarta.
Tanto, chris., et al. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta. Media Aesculaplus.

52

Anda mungkin juga menyukai