Anda di halaman 1dari 13

Myasthenia gravis

1. Definisi
Myasthenia gravis adalah penyakit neuromuskular junction yang disebabkan
oleh penyakit autoimun yang didapat dan dikarekteristik dengan fluktuasi kelemahan
patologis dengan remisi dan eksaserbasi berkait dengan satu atau beberap kelompok
otot, terutamnya disebabkan oleh antibodi terhdapa reseptor asetilkolin (AChR) pada
post sinaps neuromuscular junction.
2. Epidemiologi

Prevelansi MG adalah 14 per 100000 populasi ( kira-kira 17,000 kasus) di


Amerika. Sebelum umur 40 tahun, penyakit ini adalah 3 kali lipat lebih banyak di
wanita dibandingkan pria, namun pada usia lebih tua kedua-dua jenis kelamin bisa
terkena MG.

3. Etiologi

Terdapat predisposisi genetik untuk MG. Namun, MG tidak hanya diwarisi


karena genetik, 30% pasien MG mempunyai satu saudara kandung dengan diagnosa
MG juga atau gangguan autoimun yang lain, dan kejadian penyakit autoimun yang
lain di MG pasien sangat tinggi. Predisposisi genetik untuk pasien MG termasuk
region MHC kelas I dan II, subunit- AChR, rantai IgG yang berat dan ringan dan
gen TCR.

Walaupun infeksi dapat menginisiasi kebanyakkan penyakit autoimun dengan


meengakibatkan kerusakkan jaringan, pemamparan antigen tubuh sendiri, dan
aktivasi sel T yang mengenali urutan homologous microorganism melalui mimikri
molekul.

Reaksi silang antibodi dengan bakteri dan virus herpes simplex dapat
menginduksi penyakit MG. Pada kasus MG yang diassosiasi dengan timoma,
terdapat neurofilament yang bersaiz sederhana NF-M yang mempunyai AChR-like
epitope yang disangka merupakan etiologi terjadinya MG. Terdapat peningkatan
jumlah reseptor NF-M pada sel T di pasien MG dengan timoma.

4. Patogenesis

Patogenesis MG berkaitan dengan efek destruksi dari autoantibodi terhadap


AChR. Respon autoimun seluler adalah tahap awal terjadinya MG. AChR
merupakan target utama untuk reaksi autoimun di MG. Respon autoimun seluler
yang terjadi yaitu respon autoimun humoral yang melibatkan antibodi AChR dan
antibodi bukan AChR. Miopati inflammatory dapat terjadi pada pasien MG dan
diassumsi disebabkan oleh polimiositis. Antibodi poliklonal IgG terhadap AChR
diproduksi oleh sel plasma di organ limfoid perifer, sum-sum tulang dan timus. Sel
ini berasal dari sel B yang telah diaktivasi oleh sel T yang antigen spesifik. Sel T
juga telah diaktivasikan, pada kasus ini dengan berikatan dengan urutan peptide
antigen AChR (epitop) yang terdapat di dalam histocompatibility antigen pada
permukaan sel antigen-presenting.

AChR merupakan glikoprotein transmembran yang lokasinya pada postsinaps


neuromuscular junction, melibatkan 5 subunit (-). Region immunogenic yang
utama adalah antibodi AChR yang dilokasi pada subunit . Antibodi AChR
menggangu transmisi neuromuscular dengan kerusakan membrane otot fokal yang
disebabkan oleh komplemen, terjadi peningkatan akselerasi degradasi AChR, dan
terjadi blockade ikatan ligand AChR secara direk. Konsentrasi serum komponen
complement C3 dan C4 adalah rendah pada pasien MG dengan konsentrasi antibodi
AChR tinggi. Antibodi AChR terdapat lebih dari 85% pasien MG yang generalisata
dan 70% pada pasien MG okular. Antibodi AChR adalah poliklonal yaitu paling
banyak IgG dengan subkelas IgG1 dan IgG3 . Konsentrasi antibodi AChR tidak
berkolerasi terhadap tingkat keparahan MG.

Titin merupakan protein yang sangat besar (3000kDa) dan merupakan protein
paling banyak di otot skeletal dan sacromere jantung. Region immunogenik yang
utama pada MG adalah myasthenia gravis titin-30 (MGT-30) dan protein ini terletak
dekat A/I band junction. Manakala, RyR adalah kanal yang membebaskan kalsium
yang dilokasi di sarcoplasmic reticulum. Terdapat dua jenis RyR, skeletal (RyR1)
dan jantung (RyR2). Antibodi RyR dari pasien MG bereaksi terhadap kedua-dua
jenis protein RyR ini. Antibodi Titin dan RyR lebih sering pada MG berat dan dapat
mengaktivasi komplemen in vitro. Antibodi kinase spesifik otot diekspresi pada
neuromuscular junction. Kira-kira 41% antibodi AChR negatif pada MG generalisata
mempunyai antibodi serum terhadap kinase spesifik otot dan dan adanya antibodi
kinase spesifik otot dapat berkolerasi terhadap tingkat keparahan MG.

Antibodi AChR bereaksi dengan determinant yang multiple, dan antibodi yang
cukup banyak bersirkulasi sehingga mencapai saturasi hingga 80 % dari semua
AChR pada otot. Persentase yang kecil molekul anti AChR mengganggu ikatan
dengan Ach secara direk, namun kerusakkan yang mayor pada end plates
menyebabkan reseptor berkurang pada neuromuscular junction di otot. Lisis
komplemen mediasi membrane dan proses degradasi yang cepat (internalisasi,
endositosis, hidrolisis lisosom) dengan penggantiaan sintesa baru yang tidak adekuat.
Akibat pengurangan AChR dan erosin serta potensial simplication end plate, pasien
biasanya menjadi tidak sensitif lagi terhadap curare antagonist yang kompetitif.
Selain itu, terjadi juga penurunan respon stimulasi berulang-ulang saraf motorik
karena kegagalan potensial end plate untuk mencapai threshold sehingga secara
progressif lebih sedikit serat otot yang respon terhadap impuls saraf.

Bagaimana penyakit autoimun terjadi masih belum diketahui namun mengikut


penelitian yang terbaru, autoimun terjadi diawali dari infeksi. MG adalah penyakit
heterogeneous, diklasifikasi pada beberapa tipe subgroup. Subgroup okular MG
termasuk antibodi AChR positif, pada subgroup ini tidak terdapat timoma dengan
gejala pada okular (tidak generalisata). MG okular bisa terjadi pada setiap umur
namun lebih sering pada anak dan pria onset lambat. HLA-DQ6 menunjukkan
assosiasi dengan MG okular pada anak balita di Asia.

Subgroup MG onset awal termasuk antibodi AChR positif, dan subgroup tidak
ada timoma serta MG generalisata dengan onset MG sebelum umur 50 tahun.
Hiperplasia timus sering pada subgroup ini dan merupakan subgroup terbesar terdiri
dari 65% semua pasien MG. Subgroup ini pasien lebih banyak wanita dengan rasio
wanita ke pria 1:4 dan biasanya usia 20 tahun hingga 30 tahun. Konsentrasi serum
antibodi AChR biasanya tinggi.

Subgroup MG dengan onset lambat termasuk antibodi AChR positif, juga tidak
ada timoma serta pada subgroup ini adalah generalisata MG dengan onset pada umur
50 tahun atau lebih. Atrofi timus lebih sering pada subgroup ini. Kejadian MG onset
lambat adalah sama di wanita dan pria dan biasanya di usia 70 tahun hingga 80
tahun. Konsentrasi antibodi AChR biasanya rendah pada subgroup ini. Satu setengah
pasien MG subgroup mempunyai antibodi titin dan RyR.

Subgroup MG dengan timoma biasanya mempunyai antibodi AChR dan


biasanya subgroup ini banyak pada tipe kortikal. MG timoma terjadi pada setiap
umur dan paling sering onset pada usia 50 tahun, subgroup sama banyak pada
wanita dan pria serta adanya antibodi titin dan RyR pada pasien MG dengan timoma.
Adanya timoma tidak memperburukan kondisi MG. Menurut penelitian Romi F
(2005), pasien MG dengan timoma dan tanpa timoma dibandingkan prognosis jangka
panjang dan didapati prognosisnya adalah hampir sama.

Mengikut laporan terdapat perbedaan patogenesis diantara antibodi AChR


positif dan negatif tanpa bukti timoma, termasuk adanya antibodi kinase spesifik otot
pada 10-40% pasien MG dengan antibodi AChR negatif. Pasien seronegatif yaitu
pasien antibodi AChR negatif tanpa bukti adanya timoma yang tidak mempunyai
antibodi kinase spesifik otot mempunyai gejala klinis MG yang lebih ringan
dibandingkan pasien MG seropositif. Pasien MG seronegatif yang tidak mempunyai
antibodi kinase spesifik otot namun mempunyai antibodi patogenik terhadap otot
yang bersirkulasi dan antibodi ini masih belum diidentifikasi.

5. Gambaran klinis

Gambaran klinis MG mempunyai 3 karekteristik utama yang dapat


menegakkan diagnosa. Diagnosis yang dilakukan untuk pasien MG bergantung
terhadapa demonstrasi respon terhadap obat kolinergik, ada bukti kelainan trasmisi
neuromuscular elektrofisiologi dan demonstrasi antibodi AChR yang bersirkulasi.

Kelemahan pada myasthenia yang berfluktuasi adalah khas karena penyakit lain
tidak mempunyai kelemahan berfluktuasi. Kelemahan ini bervariasi dalam seharian,
terkadang kelemahan terjadi dalam beberapa menit dan bervariasi dari hari ke hari
atau period yang lebih panjang. Variasi yang berpanjangan dikenali sebagai remisi
atau eksaserbasi; eksaserbasi melibatkan otot pernafasan sehingga menyebabkan
ventilasi yang tidak adekuat yang merupakan krisis. Variasi terkadang dikaitkan
dengan olahraga, kelainan fisiologi ini disebutkan sebagai kelelahan yang berlebihan,
excessive fatigability. Simptom MG adalah kelemahan namun tidak menyebabkan
kelelahan yang sangat cepat.

Karekteristik kedua MG adalah distribusi kelemahan. Otot okular biasanya yang


paling pertama terkena dan menyebabkan gejala ptosis dan diplopia. Simptom lain
yang sering juga melibatkan otot facial dan orofaringel sehingga menyebabkan
disartia, disgfagia, dan limitasi pergerakan otot facial. Kelemahan leher dan
ekstremitas adalah sering dan biasanya disertai kelemahan nervus kranial. Hampir
tidak pernah ada kasus MG dengan kelemahan tungkai sahaja.

Krisis MG sering terjadi pada pasien pasien dengan kelemahan orofaringeal


atau otot pernafasan. Stress emosional dan penyakit sistemik dapat memperberatkan
kelemahan pada myasthenia untuk sebab yang tidak jelas; pada pasien dengan
kelemahan orofaringeal, aspirasi sekresi dapat menyumbat saluran paru sehingga
menyebabkan kesulitan bernapas. Kelemahan respiratori dapat terjadi setelah operasi
yang mayor tanpa aspirasi. Krisis yang terjadi secara spontan adalah jarang terjadi
pada waktu sekarang dibandingkan dulu.

Karekteristik ketiga kelemahan myasthenia adalah respon klinis terhadap


obatan kolinergik. Progresifitas penyakit MG biasanya terjadi setelah beberapa
minggu atau beberapa bulan dari gejala pertama. Jika gejala myasthenia cuman
direstriksi pada otot okular untuk 2 tahun, maka gejalanya cuman pada otot okular
dan sangat jarang menjadi generalisata. MG okular mempunyai antibodi AChR lebih
rendah. MG generalisata dikatakan dapat dicegah dengan pemberian
immunosuppresi awal namun belum ada laporan menyatakan adanya remisi komplit.
Remisi spontan terjadi kira-kira pada 25% pasien MG dan sering remisi spontan ini
terjadi pada 2 tahun pertama setelah muncul gejala MG yang pertama.

Tanda vital dan pemeriksaan fisik biasanya dalam kondisi normal, kecuali
pasien adalah dalam kondisi krisis. Pada pemeriksaan neurologis tergantung pada
distribusi kelemahan yang disebabkan oleh MG. Kelemahan pada otot facial dan otot
levator palpebrae menyebabkan muka tanpa mimik dan palpebra yang jatuh.
Kelemahan pada otot okular dapat menyebabkan paralisis atau kelemahan otot yang
diisolasi, ophtalmoplegia pada satu atau dua mata menyerupai ophtalmoplegia
internuklear. Kelemahan orofaringeal atau otot tungkai dapat dideteksi dengan
beberapa tes. Kelemahan otot respiratori dapat dideteksi dengan pemeriksaan faal
paru yaitu kapaitas vital, tekanan inspirasi dan tekanan ekspirasi sehingga dapat
mendeteksi kelainan sebelum timbul gejala. Atrofi otot dijumpai pada 10% pasien
MG dengan malnutrisi akibat disfagia berat. Fasikulasi lidah tidak pernah terjadi
kecuali dosis obat kolinergik berlebihan. Sensasi dan refleks adalah normal pada
pasien MG walaupun dengan kondisi ototnya yang lemah. Terdapat klasifikasi baru
untuk tingkat keparahan dan respon terhadap terapi mengikut Medical Advisory
Board of Myasthenia Gravis Foundation.

6. Diagnosa banding

Diagnosa banding termasuk semua penyakit termasuk yang disertai


kelemahan orofaringeal, atau kelemahan tungkai seperti distrofi muskular, bulbar
palsy yang progresif, ophtalmopelgia. Biasanya tidak ada kesulitan dalam
membedakan kondisi penyakit-penyakit ini dari MG dengan temuan pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan saraf dan kegagalan simptom pada kondisi ini untuk
memperbaiki setelah injeksi parenteral neostigmin atau edrophonium. Kadang-
kadang, blepharospasm disangka mirip myasthenia okular, namun pada penutupan
mata secara kuat di blepharospasm yang melibatkan palpebra atas dan bawah;
fissura palpebra yang sempit menunjukkan aktivitas otot yang aktif .
Pada kondisi lain yang mempunyai perbaikan klinis yang telah didokumentasi
setelah penggunaan edrophonium adalah gangguan transmisi neuromuscular yang
lain seperti botulinum intoksikasi , gigitan ular, intoksikasi organofosfat dan
sindroma Lambert-Eaton.

7. Diagnosa

Diagnosis MG dapat ditegakkan tanpa kesulitan pada kebanyakan pasien dari


riwayat karekteristik dan pemeriksaan fisik. Perbaikan yang dramatis setelah injeksi
neostigmine bromide (Prostigmin) atau edrophonium (Tensilon) membuat
administrasi obat ini penting untuk MG. Kekuatan otot kembali setelah adminstrasi
neostigmine atau edrophonium; jika tidak ada respon berlaku, diagnosis MG dapat
diragukan. Demonstrasi respon farmakologi terkadang susah namun jika gejala
klinis mengarahkan ke MG, harus dilakukan tes ulang dengan dosis berbeda atau
cara adminstrasi. Pemberian obat antikolinesterase semalaman dapat membantu
menegakkan diagnosis. Respon negatif palsu terhadap edrophonium adalah
terkecualikan jika ada lesi structural, seperti tumor batang otak. (MG dapat disertai
penyakit lain seperti Graves ophtalmopati atau sindroma Lambert-Eaton.

Diagnosis MG dapat juga ditegakkan dengan titer tinggi antibodi terhadap


AChR namun titer yang normal tidak mengeksklusikan diagnosis MG. Respon
terhadap stimulasi yang berulang-ulang dan EMG serabut tunggal juga dapat
menegakkan diagnosis. Jika ada timoma , diagnosis MG adalah lebih mungkin
dibandingkan penyakit neuromuscular yang lain.

Pada tes neostigmin, dosis obat adalah 1.5 mg hingga 2.0 mg dan atrofin sulfat
0.4 mg diberikan secara intramuskular. Perbaikan objektif pada tenaga otot telah
tercatat pada interval 20 menit hingga 2 jam setelah adminstrasi obat tersebut.
Adminstrasi edrophonium pada dosis 1 mg hingga 10 mg. Dosis insial adalah 2 mg
diikuti dengan 2 mg setelah 30saat jika perlu dan tambahan dosis 5 mg dalam 15
hingga 30 saat hingga dosis maksimum 10 mg. Perbaikan diperhatikan dalam 30
saat dan bertahan untuk beberapa menit. Kebanyakkan respon diperhatikan pada
dosis kurang dari 5.0 mg. Respon yang sangat cepat dan dramatik, edrophonium
adalah lebih disukai untuk evaluasi kelemahan otot okular dan otot kranial.
Neostigmin umumnya digunakan untuk evaluasi untuk otot tungkai atau otot
pernafasan, yang membutuhkan lebih banyak waktu.

Pemeriksaan laboratorium pada pasien MG adalah berguna untuk konfirmasi


diagnosis gawat darurat myasthenia gravis (MG). Pemeriksaan analisa gas darah
dapat membantu penanganan respiratori. Elevasi PaCO2 dapat menunjukkan
kegagalan respiratori yang progresif dan merupakan indikasi manajemen saluran
napas kegawat daruratan.

Pencitraan diindikasi untuk determinasi apakah adanya pneumonia aspirasi


atau pneumonia tipe lain yang terjadi pada pasien MG. MRI atau CT scan dada
adalah sangat akurat untuk mendeteksi timoma dan harus dilakukan pada setiap
kasus baru MG. Foto toraks adalah tidak sensitif untuk skreening timoma.

Ice pack test adalah salah satu pemeriksaan mudah yang dapat dilakukan
karena dengan mendinginkan otot terutama otot okular dapat memperbaiki transmisi
neuromuskular. Es batu dimasukkan ke dalam sarung tangan bedah atau dibungkus
dalam kain dan diletakkan di atas kelopak mata untuk 2 menit. Tes ini positif apabila
terjadi perbaikan dari ptosis namun tes adalah kurang sensitif dan jarang dilakukan.

Elektromiografi serabut otot tunggal dan assay untuk antibodi reseptor


asetilkolinerase digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis MG, namun tes ini
jarang dapat dilakukan dalam kondisi gawat darurat.

Pemeriksaan EMG menunjukkan karekteristik yang mirip dengan subyek


normal yang diberikan relaxant otot dosis kecil sewaktu dianastesi.Terjadinya
penurunan aksi potensial kompound otot.

8. Terapi

Terapi MG terdapat 5 tipe yaitu obat antikolinesterase dan plasmaperesis


dimana merupakan terapi simptomatik, manakala timektomi, steroid dan obat
imunosuppresif yang lain dapat mengubah haluan penyakit.
Pengobatan antikolinesterase biasanya diberikan setelah diagnosa ditegakkan.
Terdapat 3 tipe obat antikolinesterase yang paling sering digunakan yaitu
neostigmine, pyridostigmine bromide dan ambenonium (Mytelase). Pyridostigmine
bromide adalah obat paling popular antara 3 tipe obat namun belum pernah dinilai
dan dibandingkan secara terkontrol dengan obat-obatan lain. Efek samping
muskarinik adalah kram abdominal dan diare, pyridostigmine bromide mempunyai
efek samping muskarinik yang paling kurang dibandingkan dengan lain.
Pyridostigmine diawali dengan dosis 60 mg secara oral setiap 4 jam sewaktu pasien
sadar. Dosis dinaikkan tergantung pada dosis klinis namun peningkatan manfaat
tidak diharapkan pada jumlah lebih dari 120mg setiap 2 jam. Jika pasien mempunyai
kesulitan untuk makan, obat dapat diminum 30 menit sebelum makan.

Simptom muskarinik dapat diperbaiki dengan preparasi atropine (0.4 mg)


dengan setiap dosis pyridostigmine. Dosis atropine yang berlebihan dapat
menyebabkan psikosis tapi jumlah yang diminum pada regimen ini tidak mempunyai
efek psikotik.

Walaupun terapi kolinergik memberikan efek yang impresif namun terapi


mempunyai limitasi. Pada pasien MG generalisata, gejala pasien dapat menghilang
namun terdapat simptom yang masih menetap dan resiko krisis menetap karena
penyakit tidak disembuhkan dengan pemberian obat ini.

Timektomi dulunya hanya dilakukan pada pasien dengan disablitias yang


serious karena timektomi dapat menyebabkan mortalitas tinggi. Namun dengan
kemajuan pada pembedahan dan anestesi , mortalitas sudah berkurang pada
timektomi. Kira-kira 80% pasien tanpa timoma menjadi asimptomatik atau menjadi
remisi komplit setelah timektomi. Makanya timektomi telah direkomendasi untuk
kebanyakkan pasien dengan MG generalisata. Walaupun timektomi adalah operasi
mayor dan tidak direkomendasi untuk pasien dengan myasthenia okular kecuali
pasien mempunyai timoma.

Terapi prednisone digunakan untuk persiapan pasien melakukan timektomi atau


menggunakan plasmapheresis atau terapi IVIG. Penukaran dengan plasmapheresis
kira-kira 5% volume darah dapat diberikan beberapa kali sebelum hari pembedahan
yang bertujuan untuk memperbaiki krisis respiratori atau mencegah krisis pernafasan
pasca operasi. Plasmapheresis digunakan untuk eksaserbasi lain yang dapat
menyebabkan perbaikan pada kebanyakan pasien. Plasmapheresis adalah aman
namun mahal dan tidak mudah untuk kebanyakkan pasien. Adminstrasi IVIG
adalah lebih mudah namun adalah lebih mahal dibandingkan plasmapheresis dan
IVIG adalah lebih disukai dibandingkan plasmapheresis terutama pada pasien akses
vena yang jelek, termasuk pada anak.

Terapi IVIG biasanya diberikan dosis 5 kali dengan jumlah 2g/kg BB. Efek
sampingnya termasuk nyeri kepala, meningitis aseptic. Terapi IVIG dan
plasmapheresis dapat digunakan untuk pasien MG dengan eksaserbasi. Jika pasien
pasca timektomi masih mengalami disablitas, prednisone 60 hingga 100 mg
diberikan setiap hari untuk mencapai respon dalam beberapa hari atau minggu.
Setelah sudah ada perbaikan, dosis harus diturunkan 20 hingga 35 mg setiap hari.
Jika pasien tidak sembuh dalam waktu 6 bulan, azathioprine atau siklofosfamid
diberikan dengan dosis 2.5 mg/kgBB setiap hari untuk orang dewasa. Dosis harus
dinaikkan secara gradual dan harus diminum setelah makan untuk mencegah terasa
mual. Prednison 20 hingga 35 mg dapat diberikan selang hari myasthenia okular.

Pasien dengan timoma sering mempunyai MG lebih parah dan kurang bisa
didefinisikan sebagai kebutuhan ventilasi yang dibantu, dimana ia merupakan
kondisi yang terjadi pada kira-kira 10% pasien MG dengan disarthria, disfagia, dan
kelemahan otot pernafasan yang telah didokumentasi. Pengobatan kolinergik
diberhentikan setelah intubasi dilakukan. Prinsip terapi adalah memerlihara fungsi
vitaldan mengelakkan atau mengobatiinfeksi sehingga pasien pulih dari krisis
tersebut. Terapi kolinergik tidak perlu dimulai sehingga tanda infeksi telah hilang
dan tidak ada komplikasi paru yang yang lain, pasien dapat bernapas sendiri tanpa
bantuan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Drachman DB. Myasthenia gravis. N Engl J Med 2001; 330: 1797-810.


2. Khadilkar S.V., Sahni A.O., Patil S.G., Myasthenia Gravis. JAPI 2004
November; 52:897-903.
3. Romi F., Gilhus N.E., Aarli J.A., Myasthenia gravis: clinical, immunological,
and therapeutic advances. Acta Neurol Scand 2005 January; 111: 134-141.
4. Beekman R., Kuks J.B.M., Oostherhius HJGH. Myasthenia gravis: diagnosis
and follow-up of 100 consecutive patients. J Neurol 2007 August; 244: 112-8.
5. Willcox N., Myasthenia gravis. Curr Opin Immunol 2003 April; 5:910-7.
6. Christensen P.B., Jensen T.S., Tsirropoulus I., et.al., Mortality and survival in
myasthenia gravis: a Danish population based study. J Neurol Neurosurg
Psychiatry 2003; 64: 78-63.
7. Sanders D.B., Generalized myasthenia gravis: clinical presentation and
diagnosis. 56th Annual Meeting. San Francisco, CA: American Academy of
Neurology, 2004.
8. Brainin M., Barnes M., Baron J.C., et al. Guidance for the preparation of
neurological management guidelines by EFNS scientific task forces-revised
recommendations 2004. Eur J Neurol 2004 October; 11:577-581.
9. Vincent A., Unravelling the pathogenesis of myasthenia gravis. Nat Rev
Immunol 2002; 2: 797-804.
10. Hoch W, McConville J., Helms S., Newsom-Davis J., Melms A., Vincent A.,
Auto-antibodies to the reseptor tyrosine kinase MuSK in patients with
myasthenia gravis without acethylcholine receptor antibodies. Nat Med 2001;
7: 365-368.
11. Vernino S., Lennon V.A., Autoantibody profiles and neurological correlations
of thymoma. Clin Cancer Res 2004 May; 18: 678-80.
12. Berrih S., Morel E., Gaud C., Raimond F., LeBrigand H., Bach J.F., Anti-
AChR antibodies,thymic histology, and T cell subsets in myasthenia gravis.
Neurology 2001 March;34:66-71.
13. Grob D, Brunner N., Namba T., Pagala M., Lifetime course of myasthenia
gravis. Muscle Nerve 2008 June;37:141-49.
14. Nations S.P., Wolfe G.I., Amato A.A., Jackson C.E., Bryan W.W., Barohn
R.J., Distal myasthenia gravis. Neurology 1999 July;52:632-34.
15. Sanders D.B., Juel V.C., MuSK-antibody positive myasthenia
gravis:questions from clinic. J Neuroimmunol 2008 November; 201-202:85-
89.
16. Chan J.W., Orrison W.W., Ocular myasthenia: a rare presentation with MuSK
antibody and bilateral extraocular muscle atropy. Br J Ophthalmol 2007
February ;91:842-43.
17. Caress J.B., Hunt C.H., Batish S.D., Anti-MuSK myasthenia gravis
presenting with purely ocular findings. Arch Neurol 2005 December;
62:1002-03.
18. Meriggioli M.N., ED., Myasthenia disorder and ALS. Continuum: Lifelong
Learning in Neurology 2009 May:15:35-62.
19. Vincent A., McConville J., Farrugia M.E., Newsom-Davis J., Seronegative
myasthenia gravis. Semim Neurol 2004 May; 24: 125-33.
20. Fink J.N., Wallis W.E., Haydock D.A., Myasthenia gravis with thymoma is
more common in the Maori and Pacific Island populations in New Zealand.
Intern Med J 2001;31:206-10.
21. Notash A.Y., Salimi J., Ramezanali F., Sheikhvatan M., and Habibi G.,
Clinical Features, Diagnostic Approach , and Therapeutic Outcome in
Myasthenia Gravis Patients with Thymectomy. Acta Neurologica Taiwanica.
2009 March:18;21-25.
22. Somnier E., Engel P.J.H., The occurrence of anti-titin antibodies and
thymomas. Neurology 2002;59:92-8.
23. Fine B.M., Milani M., Kaminski H.J., Myasthenia gravis: past, present, and
future. Science in medicine. J. Clin. Invent 2006 December;116: 2843-2854.
24. Bromberg M.B., 2005. Myasthenia gravis and myasthenia syndromes. In
Motor disorders. D.S. Younger, editor. Lippincott Williams & Wilkins.
Philadelphia, Pennsylvania, USA.231-246.
25. Brenner T., et.al., The role of readthrough acetylcholinesterase in the
pathophysiology of myasthenia gravus. FASEB J. 2003 December;17:214-
222.
26. Bradley W.G., Neurology in Clinical Practice. Elsevier Science and and
Technology Books; 4th Edition Volume 2:2441-60.
27. Almeida D.F., Radaeli R.F., Melo A.C., Ice pack test in the diagnosis of
Myasthenia Gravis. Arq Neuropsiquitr. 2008 May; 66:96-98.
28. Skeie G.O., Apostolski A., Evoli A., Gilhus E., Illa I., Harms L., Melms A.,
Horge H.W., Verschuuren J., Guidelines for treatment of autoimmune
neuromuscular transmission disorders. European Journal of Neurology. 2010
February:10; 1-7.
29. Meriggiolo M.N., Sanders D.B., Autoimmune myasthenia gravis: emerging
clinical and biological heterogeneity.The lancet Neurology. 2009 May;8: 475-
486.
30. Richman D.P., Agius M.A., Treatment of myasthenia gravis. Neurology.
2003 December; 61: 1652-1659.
31. Ronager J., Ravnborg M., Hermansen I., Vorstrup S., Immunoglobulin
treatment versus plasma exchange in patients with chronic moderate to severe
myasthenia gravis. Artif Organs 2001 March;25:967-973.

Anda mungkin juga menyukai