PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Stroke merupakan suatu keadaan yang timbul karena terjadi gangguan
per mil (tahun 2007) menjadi 12,1 per mil (tahun 2013). Kasus stroke tertinggi
berada di Jawa Tengah yaitu sebesar 3.986 kasus (17,91%) (Marina, 2013).
Sedangkan kasus stroke di RSUD dr. Loekmono Hadi Kudus menurut rekam
medis pada tahun 2015 yaitu sebanyak 568 pasien stroke yang menjalani rawat
inap. Pada tahun 2016, penderita stroke meningkat menjadi 733 pasien yang
yaitu adanya perdarahan otak karena pembuluh darah yang pecah dan stroke
1
2
non hemoragik yaitu adanya sumbatan pada pembuluh darah otak. Jumlah
kasus stroke tahun 2013 sebanyak 40.972 terdiri dari stroke hemoragik
sebanyak 12.542 dan stroke non hemoragik sebanyak 28.430 (Profil Kesehatan
Jawa Tengah, 2013). Berdasarkan penelitian Fenny et al. (2014) jumlah stroke
non hemoragik di Indonesia jauh lebih tinggi dibanding stroke hemoragik yaitu
hebat (Nuralif & Kusuma, 2013). Pasien dengan hemiplegi akan mengalami
imobilisasi atau tirah baring yang lama, menghabiskan banyak waktu berbaring
ditempat tidur, akibatnya akan sangat rentan terkena dekubitus (Potter, Perry,
2006). Sehingga tidak jarang penderita Stroke Non Hemoragik (SNH) beresiko
terjadinya dekubitus.
Dekubitus merupakan gangguan integritas kulit akibat tekanan langsung
berkurang) (Potter & Perry, 2010, p. 1127). Dari hasil penelitian Suheri (2009)
menunjukkan bahwa lama hari rawat klien imobilisasi 88,8% terjadi luka
dekubitus rata-rata pada hari ke lima perawatan. Dari hasil wawancara dengan
rekam medis di RSUD dr. Loekmono Hadi Kudus pada bulan Agustus-
dekubitus harus diubah sesuai tingkat aktivitas. Oleh karena itu, peran perawat
untuk mencegah terjadinya luka dekubitus meliputi higiene dan perawatan kulit,
3
pengaturan posisi/ alih baring, serta alas pendukung (kasur dan tempat tidur
terapeutik).
Dari berbagai tindakan pencegahan dekubitus diatas, Salah satu
dekubitus tidak terjadi adalah dengan melakukan alih baring. Alih baring
adalah pengaturan posisi yang diberikan untuk mengurangi tekanan dan gaya
gesek pada kulit. Alih baring bertujuan untuk menjaga supaya daerah yang
setiap 2 jam. Interval yang tepat untuk melakukan alih baring diberikan dengan
mengurangi waktu perubahan posisi dengan waktu hipoksia (Perry & Potter,
posisi alih baring pada kejadian dekubitus sebanyak 13,3 % dari 15 pasien,
dengan stadium 1 pada hari ke-7 perawatan. Hasil penelitian Faridah dan Heni
(2013) pasien yang lakukan intervensi alih baring 100% tidak mengalami
dekubitus.
Pemberian posisi yang benar sangat penting untuk pemeliharaan
integritas kulit. Tindakan ini bertujuan untuk melancarkan sirkulasi aliran darah
dan dapat mencegah terjadinya dekubitus (Potter & Perry, 2010, p. 1215).
baring pada pasien Stroke Non Hemoragik (SNH) di RSUD dr. Loekmono Hadi
Kudus. Agar penulis dapat memberikan pengelolaan yang baik dan benar yang
B. Rumusan Masalah
Bagaimana Pengelolaan Keperawatan Resiko Dekubitus dengan Alih
Baring pada pasien Stroke Non Hemoragik (SNH) di RSUD dr. Loekmono Hadi
Kudus?
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Penulisan ini bertujuan untuk menggambarkan penatalaksanaan
asuhan keperawatan gangguan oksigenasi pada klien dengan Tuberculosis
paru di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Loekmono Hadi Kudus.
2. Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan hasil pengkajian dalam penatalaksanaan keperawatan
gangguan oksigenasi pada klien dengan Tuberculosis paru di Rumah
Sakit Umum Daerah dr. Loekmono Hadi Kudus.
b. Mendeskripsikan rumusan masalah dalam penatalaksanaan
keperawatan gangguan oksigenasi pada klien dengan Tuberculosis paru
di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Loekmono Hadi Kudus.
c. Menggambarkan perencanaan untuk penatalaksanaan keperawatan
gangguan oksigenasi pada klien dengan Tuberculosis paru di Rumah
Sakit Umum Daerah dr. Loekmono Hadi Kudus.
d. Menggambarkan tindakan yang dilakukan dalam penatalaksanaan
keperawatan gangguan oksigenasi pada klien dengan Tuberculosis paru
di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Loekmono Hadi Kudus.
5
D. Manfaat Penulisan
1. Bagi Penulis
Sebagai sarana dalam memperoleh pengetahuan dan pengalaman
khususnya dalam asuhan keperawatan gangguan oksigenasi pada klien
Tuberculosis paru.
2. Bagi Instansi Pendidikan
Diharapkan dapat menjadi bahan masukan dalam pembelajaran jurusan
keperawatan tentang asuhan keperawatan gangguan oksigenasi pada klien
Tuberculosis paru.
3. Bagi Rumah Sakit
Sebagai bahan masukan dan evaluasi yang diperlukan dalam pelaksanaan
praktek pelayanan keperawatan khususnya memberikan asuhan
keperawatan gangguan oksigenasi pada klien Tuberculosis paru.
4. Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penulisan ini diharapkan dapat dijadikan acuan dalam penulisan
selanjutnya mengenai asuhan keperawatan gangguan oksigenasi pada
klien dengan Tuberculosis paru.