Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Stroke merupakan suatu keadaan yang timbul karena terjadi gangguan

peredaran darah di otak yang menyebabkan terjadinya kematian jaringan otak

sehingga mengakibatkan seseorang menderita kelumpuhan dan kematian

(Batticaca, 2008, p. 56). Stroke merupakan penyakit yang menyebabkan cacat

berupa kelumpuhan anggota gerak, gangguan bicara, proses berpikir, daya

ingat, dan bentuk-bentuk kecacatan yang lain (Muttaqin, 2008, p. 234).

Berdasarkan teori diatas maka, stroke merupakan gangguan peredaran darah di

otak yang mengakibatkan kelumpuhan.


Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kemenkes RI tahun 2013

menunjukkan telah terjadi peningkatan prevalensi stroke di Indonesia dari 8,3

per mil (tahun 2007) menjadi 12,1 per mil (tahun 2013). Kasus stroke tertinggi

berada di Jawa Tengah yaitu sebesar 3.986 kasus (17,91%) (Marina, 2013).

Sedangkan kasus stroke di RSUD dr. Loekmono Hadi Kudus menurut rekam

medis pada tahun 2015 yaitu sebanyak 568 pasien stroke yang menjalani rawat

inap. Pada tahun 2016, penderita stroke meningkat menjadi 733 pasien yang

terdiri dari 381 pasien laki-laki dan 438 pasien perempuan.


Menurut WHO (2012) Stroke dibedakan menjadi stroke hemoragik

yaitu adanya perdarahan otak karena pembuluh darah yang pecah dan stroke

1
2

non hemoragik yaitu adanya sumbatan pada pembuluh darah otak. Jumlah

kasus stroke tahun 2013 sebanyak 40.972 terdiri dari stroke hemoragik

sebanyak 12.542 dan stroke non hemoragik sebanyak 28.430 (Profil Kesehatan

Jawa Tengah, 2013). Berdasarkan penelitian Fenny et al. (2014) jumlah stroke

non hemoragik di Indonesia jauh lebih tinggi dibanding stroke hemoragik yaitu

67,1% banding 32,9%.


Manifestasi klinis stroke non hemoragik yaitu hemiparesis atau

hemiplegia, afasia, penglihatan ganda, penurunan kesadaran, dan nyeri kepala

hebat (Nuralif & Kusuma, 2013). Pasien dengan hemiplegi akan mengalami

imobilisasi atau tirah baring yang lama, menghabiskan banyak waktu berbaring

ditempat tidur, akibatnya akan sangat rentan terkena dekubitus (Potter, Perry,

2006). Sehingga tidak jarang penderita Stroke Non Hemoragik (SNH) beresiko

terjadinya dekubitus.
Dekubitus merupakan gangguan integritas kulit akibat tekanan langsung

pada kulit sehingga mengalami iskemia tekanan (suplai darah kejaringan

berkurang) (Potter & Perry, 2010, p. 1127). Dari hasil penelitian Suheri (2009)

menunjukkan bahwa lama hari rawat klien imobilisasi 88,8% terjadi luka

dekubitus rata-rata pada hari ke lima perawatan. Dari hasil wawancara dengan

rekam medis di RSUD dr. Loekmono Hadi Kudus pada bulan Agustus-

Desember 2016 terdapat 2 pasien dekubitus karena stroke.


Menurut Perry & Potter (2010) pasien yang stroke dengan resiko

dekubitus harus diubah sesuai tingkat aktivitas. Oleh karena itu, peran perawat

untuk mencegah terjadinya luka dekubitus meliputi higiene dan perawatan kulit,
3

pengaturan posisi/ alih baring, serta alas pendukung (kasur dan tempat tidur

terapeutik).
Dari berbagai tindakan pencegahan dekubitus diatas, Salah satu

tindakan pencegahan yang bisa dilakukan untuk mengantisipasi supaya

dekubitus tidak terjadi adalah dengan melakukan alih baring. Alih baring

adalah pengaturan posisi yang diberikan untuk mengurangi tekanan dan gaya

gesek pada kulit. Alih baring bertujuan untuk menjaga supaya daerah yang

tertekan tidak mengalami luka (Perry & Potter, 2010, p. 1159).


Pada pasien stroke resiko dekubitus dilakukan alih baring minimal

setiap 2 jam. Interval yang tepat untuk melakukan alih baring diberikan dengan

mengurangi waktu perubahan posisi dengan waktu hipoksia (Perry & Potter,

2010, p. 1159). Penelitian yang dilakukan Dwianti (2007), pada pemberian

posisi alih baring pada kejadian dekubitus sebanyak 13,3 % dari 15 pasien,

dengan stadium 1 pada hari ke-7 perawatan. Hasil penelitian Faridah dan Heni

(2013) pasien yang lakukan intervensi alih baring 100% tidak mengalami

dekubitus, sedangkan yang tidak dilakukan intervensi 53,3% mengalami

dekubitus.
Pemberian posisi yang benar sangat penting untuk pemeliharaan

integritas kulit. Tindakan ini bertujuan untuk melancarkan sirkulasi aliran darah

dan dapat mencegah terjadinya dekubitus (Potter & Perry, 2010, p. 1215).

Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan

studi kasus tentang pengelolaan keperawatan resiko dekubitus dengan alih


4

baring pada pasien Stroke Non Hemoragik (SNH) di RSUD dr. Loekmono Hadi

Kudus. Agar penulis dapat memberikan pengelolaan yang baik dan benar yang

sesuai dengan prosedur yang berlaku.

B. Rumusan Masalah
Bagaimana Pengelolaan Keperawatan Resiko Dekubitus dengan Alih

Baring pada pasien Stroke Non Hemoragik (SNH) di RSUD dr. Loekmono Hadi

Kudus?

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Penulisan ini bertujuan untuk menggambarkan penatalaksanaan
asuhan keperawatan gangguan oksigenasi pada klien dengan Tuberculosis
paru di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Loekmono Hadi Kudus.

2. Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan hasil pengkajian dalam penatalaksanaan keperawatan
gangguan oksigenasi pada klien dengan Tuberculosis paru di Rumah
Sakit Umum Daerah dr. Loekmono Hadi Kudus.
b. Mendeskripsikan rumusan masalah dalam penatalaksanaan
keperawatan gangguan oksigenasi pada klien dengan Tuberculosis paru
di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Loekmono Hadi Kudus.
c. Menggambarkan perencanaan untuk penatalaksanaan keperawatan
gangguan oksigenasi pada klien dengan Tuberculosis paru di Rumah
Sakit Umum Daerah dr. Loekmono Hadi Kudus.
d. Menggambarkan tindakan yang dilakukan dalam penatalaksanaan
keperawatan gangguan oksigenasi pada klien dengan Tuberculosis paru
di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Loekmono Hadi Kudus.
5

e. Menggambarkan evaluasi masalah dalam penatalaksanaan


keperawatan gangguan oksigenasi pada klien dengan Tuberculosis paru
di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Loekmono Hadi Kudus.
f. Membahas tentang penatalaksanaan keperawatan gangguan oksigenasi
pada klien dengan Tuberculosis paru di Rumah Sakit Umum Daerah dr.
Loekmono Hadi Kudus.

D. Manfaat Penulisan
1. Bagi Penulis
Sebagai sarana dalam memperoleh pengetahuan dan pengalaman
khususnya dalam asuhan keperawatan gangguan oksigenasi pada klien
Tuberculosis paru.
2. Bagi Instansi Pendidikan
Diharapkan dapat menjadi bahan masukan dalam pembelajaran jurusan
keperawatan tentang asuhan keperawatan gangguan oksigenasi pada klien
Tuberculosis paru.
3. Bagi Rumah Sakit
Sebagai bahan masukan dan evaluasi yang diperlukan dalam pelaksanaan
praktek pelayanan keperawatan khususnya memberikan asuhan
keperawatan gangguan oksigenasi pada klien Tuberculosis paru.
4. Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penulisan ini diharapkan dapat dijadikan acuan dalam penulisan
selanjutnya mengenai asuhan keperawatan gangguan oksigenasi pada
klien dengan Tuberculosis paru.

Anda mungkin juga menyukai