Seperti yang kita ketahui, Bahasa Melayu merupakan akar dari bahasa Indonesia. Ketika Belanda
singgah di Indonesia, bahasa Melayu pun digunakan sebagai bahasa resmi kedua dalam
korespondensi dengan orang lokal. Akhirnya, bahasa Melayu dan bahasa Belanda bersaing
semakin ketat.
Walaupun Gubernur Jenderal Roshussen telah mengusulkan bahasa Melayu untuk menjadi
bahasa pengantar di sekolah-sekolah rakyat, ada pihak-pihak yang gigih menolak bahasa Melayu
di Indonesia. Van der Chijs, seorang berkebangsaan Belanda, menyarankan supaya sekolah
memfasilitasi ajaran bahasa Belanda. JH Abendanon yang merupakan Direktur Departemen
Pengajaran juga berhasil memasukkan bahasa Belanda ke dalam mata pelajaran wajib di sekolah
rakyat dan sekolah pendidikan guru pada 1900.
Akhirnya, persaingan bahasa ini dimenangkan oleh bahasa Melayu. Kemudian di Kongres
Pemuda I tahun 1926, bahasa Melayu menjadi wacana untuk dikembangkan sebagai bahasa dan
sastra Indonesia. Lalu pada Kongres Pemuda II 1928, Sumpah Pemuda mengikrakan bahwa
bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan Indonesia.
Sebenarnya, bahasa Indonesia ini terbentuk dari beraneka ragam bahasa asing. Pada tahun 1999,
Pusat Bahasa menerbitkan buku Senarai Kata Serapan dalam Bahasa Indonesia dan
menyatakan bahwa terdapat 10 donor bahasa Indonesia, yakni Belanda, Inggris, Arab,
Sanskerta-Jawa Kuna, China, Portugis, Tamil, Parsi/Persia, dan Hindi.
2
Mengapa Bahasa Melayu menjadi Bahasa
Persatuan Indonesia?
17 September 2009 oleh nyanyianbahasa
Salah satu alat bagi suatu kelompok sosial untuk mengidentifikasi dirinya adalah bahasa. Bahasa
bisa menjadi identitas kolektif etnik, tetapi bahasa bisa juga menjadi identitas yang lebih luas
dari etnik yaitu bangsa. Ciri yang menonjol dari identitas bangsa Indonesia tercermin dari adanya
bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia (www.duniaesai.com).
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara dalam Kongres Bahasa Indonesia I di
Solo pada tahun 1938 bahwa
yang dinamakan Bahasa Indonesia yaitu bahasa Melayu yang sungguhpun pokoknya berasal
dari Melayu Riau akan tetapi yang sudah ditambah, diubah, atau dikurangi menurut keperluan
zaman dan alam baru, hingga bahasa itu lalu mudah dipakai oleh rakyat seluruh Indonesia;
pembaruan bahasa Melayu hingga menjadi bahasa Indonesia itu harus dilakukan oleh kaum ahli
yang beralam baru, ialah alam kebangsaan Indonesia[1],
bahasa Indonesia memang berasal dari bahasa Melayu. Para pelopor kemerdekaan Indonesia
telah memilih bahasa Melayuyang kemudian menjadi bahasa Indonesiasebagai bahasa
persatuan. Tentunya pilihan ini diambil atas berbagai pertimbangan dan memicu terjadinya
banyak hal baru.
Bercokolnya Belanda di Indonesia selama ratusan tahun membuktikan bahwa hanya persatuan
seluruh bangsa Indonesialah yang dapat menentang mereka. Salah satu unsur yang harus
disatukan adalah bahasa. Daerah Indonesia terpecah menjadi beratus-ratus kesatuan geografi dan
kebudayaan yang masing-masing mempunyai bahasanya sendiri. Tentunya berbahaya sekali
membangun sebuah negara tanpa menyepakati sebuah bahasa persatuan. Tanpa adanya bahasa
persatuan, Indonesia hanyalah bagaikan sobekan-sobekan kertas yang direkatkan, bukan sehelai
kertas yang benar-benar utuh.
Bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa persatuan, sekaligus
menjadi identitas bangsa Indonesia. Apabila Bahasa Indonesia sebagai unsur dari sistem negara
pada suatu saat tidak mampu memberikan fungsinya sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa
persatuan, atau identitas bangsa maka akan terbayangkan adanya kegoncangan sistem sosial-
budaya. Dalam peristiwa kenegaraan pasti akan terjadi kekacauan karena tidak ada bahasa
kenegaraan. Semua orang akan membenarkan bahasa yang mereka gunakan sesuai etnisnya
walau masing-masing berbeda bahasa. Tidak akan ada bahasa persatuan yang menjadi bahasa
pengantar bagi masyarakat Indonesia yang memiliki latar belakang etnis dan bahasa beraneka
macam. Tidak akan ada bahasa yang dijadikan identitas kebersamaan bahwa semua unsur itu
menjadi bagian dari sistem yang bernama negara Indonesia. Inilah yang disebut sebagai
disintegrasi atau distabilitas sistem negara.[2]
Pendidikan yang diberikan oleh Belanda sebagai bagian dari Politik Etis meningkatkan
kesadaran yang terus berkembang terhadap nilai-nilai yang dipunyai bangsa Indonesia sendiri.
Sayangnya, penyelenggaraan pendidikan Barat oleh Belanda di Indonesia sengaja diturunkan
kualitasnya oleh pemerintah kolonial. Hal ini memicu kekecewaan rakyat pribumi. Pamor bahasa
Belanda menurun drastis. Rakyat Indonesia membutuhkan bahasa baru sebagai alat mencapai
kebudayaan modern.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan ketika bahasa Melayu dipilih menjadi bahasa persatuan
Indonesia, kemudian menjadi bahasa Indonesia. Selain itu, bahasa Melayu bersifat terbuka untuk
bahan bahasa sekelilingnya berdasarkan komunikasi ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Bahasa
Melayu juga mempunyai struktur yang sederhana, sehingga mudah dipelajari. Dalam bahasa
Melayu, tidak ada tingkat-tingkat (bergantung pada mitra tutur dan konteks tuturan) seperti
dalam bahasa Jawa.
Budi Utomo pada awalnya merupakan sebuah organisasi yang bersifat kejawaan. Akan tetapi,
sebagai gerakan yang menyadari nilai-nilai diri bangsa Indonesia, ia menggunakan bahasa
Melayu dalam kebanyakan publikasinya supaya terjangkau pula oleh suku-suku lainnya. Bangsa
Belanda pun sudah lama memakai bahasa Melayu dalam pemerintahan di Indonesia dan dalam
korespondensi mereka dengan bangsa Indonesia.
Pemilihan bahasa Jawa sebagai bahasa persatuan akan selalu dianggap sebagai pengistimewaan
yang berlebihan, bahkan upaya pengambilalihan negara dari suku-suku lainnya. Bahasa Jawa
tidak akan menjadi faktor pemersatu, melainkan akan menumbuhkan semangat separatisme.
Seperti pernah dikemukakan, perjuangan batin yang hebat bagi penduduk yang berbahasa Jawa
untuk melepaskan bahasa Jawa dari kesempatan menjadi bahasa persatuan semata-mata untuk
mencapai keuntungan yang lebih besar, guna menghidupkan jiwa persatuan (Usman, 1970: 67).
Keuntungan dari memilih bahasa persatuan sendiri seperti ini adalah Indonesia mendapat
kesempatan untuk memikirkan kembali soal-soal bahasanya dari awal. Tiba-tiba bahasa
Indonesia berkembang dengan amat cepat. Bahkan, dapat dikatakan bahwa bahasa ini
dipaksakan agar sesegera mungkin dapat melakukan fungsi suatu bahasa modern yang sudah
matang.
Bahasa Melayu diasosiasikan oleh semua orang dengan nasionalisme Indonesia. Belanda agak
terlambat menyadari perkembangan ini. Ditambah lagi, kebijaksanaan resmi terhadap bahasa
Belanda tidak menunjukkan perubahan yang berarti, bahkan terjadi kemerosotan pengajaran
bahasa Belanda.
Bahasa Melayu membuat orang-orang non-Jawa tidak merasa terpinggirkan, melainkan menjadi
satu. Penelitian yang dilakukan oleh Chomsky juga membuktikan adanya kaitan antara bahasa
dengan identitas bangsa.
Proses adaptasi bahasa dalam seorang individu memandunya untuk mengidentifikasikan dirinya
pada kelompok yang memiliki bahasa yang sama dengan dirinya. Maka dari itu proses alamiah
tersebut perlahan membentuk ikatan sosial antara individu dengan individu yang lain dalam
sebuah kelompok masyarakat.[3]
DAFTAR PUSTAKA
Alisjahbana, Sutan Takdir. Sejarah Bahasa Indonesia, Masa Lampau Bahasa Indonesia:
Sebuah Bunga Rampai, ed. Kridalaksana, Harimurti. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1991.
Brata, Nugroho Trisnu. Bahasa dan Dinamika Masyarakat: Sebuah Wacana tentang Identitas
Kebersamaan. Style Sheet. www.duniaesai.com/antro/antro2.html (27 Februari 2008)
Kridalaksana, Harimurti. Bahasa dan Linguistik, Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami
Linguistik, ed. Kushartanti, Untung Yuwono, dan Multamia RMT Lauder. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2005.
Samekto. Politik Bahasa yang Bersangkutan dengan Hubungan antara Bahasa Belanda dan
Bahasa Melayu antara Tahun 1900 dan 1940, Masa Lampau Bahasa Indonesia: Sebuah Bunga
Rampai, ed. Kridalaksana, Harimurti. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1991.
Teeuw, A. Sejarah Bahasa Melayu, Masa Lampau Bahasa Indonesia: Sebuah Bunga Rampai,
ed. Kridalaksana, Harimurti. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1991.
[1] dikutip dengan penyesuaian EYD dari Masa Lampau Bahasa Indonesia: Sebuah Bunga
Rampai, Harimurti Kridalaksana, hal. 2.
[2] www.duniaesai.com
[3] http://fiqihsantoso.wordpress.com/
Asal mula bahasa pada spesies manusia telah menjadi topik perdebatan para ahli selama
beberapa abad. Walaupun begitu, tidak ada kesepakatan umum mengenai kapan dan umur bahasa
manusia secara pasti. Salah satu permasalahan yang membuat topik ini sangat sulit dikaji adalah
kurangnya bukti langsung. Akibatnya, para ahli yang ingin meneliti asal mula bahasa harus
menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti lain seperti catatan-catatan fosil atau bukti-bukti
arkeologis, keberagamanan bahasa kontemporer, kajian akuisisi bahasa, dan perbandingan antara
bahasa manusia dengan sistem komunikasi hewan, terutama sistem komunikasi primata lain.
Secara umum ada kesepakatan bahwa asal mula bahasa manusia berkaitan erat dengan asal usul
perilaku manusia modern, namun terdapat perbedaan pendapat mengenai implikasi-implikasi dan
keterarahan hubungan keduanya.
Langkanya bukti empiris membuat banyak ahli menganggap topik ini tidak dapat dijadikan
kajian penting. Pada tahun 1866, Socit de Linguistique de Paris bahkan melarang perdebatan
mengenainya. Larangan tersebut tetap berpengaruh di banyak negara barat hingga akhir abad ke-
20.[1] Sekarang, ada banyak hipotesis mengenai bagaimana, kenapa, kapan dan di mana bahasa
mungkin pertama kali muncul. [2] Tampaknya tidak begitu banyak kesepakatan pada saat ini
dibandingkan seratus tahun lalu, saat teori evolusi Charles Darwin lewat seleksi alam-nya
menimbulkan banyak spekulasi mengenai topik ini. [3] Sejak awal 1990-an, sejumlah ahli bahasa,
arkeologis, psikologis, antropolog, dan ilmuwan profesional lainnya telah mencoba untuk
menelaah dengan metode baru apa yang mereka mulai pertimbangkan sebagai permasalahan
tersulit dalam sains. [4]
Pendekatan-pendekatan
Pendekatan terhadap asal mula bahasa dapat dibagi berdasarkan asumsi dasarnya. "Teori
Keberlanjutan" merupakan teori yang dilandaskan pada gagasan bahwa bahasa sangat kompleks
sehingga tidak dapat dibayangkan timbul begitu saja dari ketiadaan dalam bentuk akhir seperti
sekarang: bahasa pastinya berkembang dari sistem pra-linguistik awal di antara leluhur primata
kita. Sementara itu, "teori Ketakberlanjutan" didasarkan pada gagasan yang berlawananbahwa
bahasa adalah suatu sifat yang unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan apapun yang
ditemukan pada spesies selain manusia dan oleh karena itu bahasa pasti muncul secara tiba-tiba
selama perjalanan evolusi manusia. Perbedaan lainnya yaitu antara teori yang memandang
bahasa sebagai bawaan lahir yang ter-sandi secara genetis, dan mereka yang melihatnya sebagai
sebuah sistem yang secara umum bersifat kulturaldipelajari lewat interaksi sosial. [5]
Noam Chomsky adalah pendukung utama teori ketakberlanjutan. "Pandangan Noam Chomsky
terhadap sifat dasar Tatabahasa Universal (TU, tatabahasa universal lahiriah) telah lama menjadi
dominan dalam bidang linguistik, tapi TU sendiri telah mengalami perubahan besar dari
dasawarsa ke dasawarsa" (Christiansen, 59). Ia berargumen bahwa sebuah mutasi terjadi pada
salah satu individu dalam rentang 100.000 tahun yang lalu, yang mengakibatkan munculnya
kemampuan bahasa (sebuah komponen dalam otak) secara "instan" dalam bentuk yang
"sempurna" atau "hampir-sempurna". Argumentasi secara filosofinya berbunyi sebagai berikut:
pertama, dari apa yang diketahui mengenai evolusi, setiap perubahan biologis dalam suatu
spesies timbul dari perubahan genetis secara acak pada satu individu, yang menyebar dalam satu
kelompok peranakan. Kedua, berdasarkan sudut pandang komputasi dalam teori bahasa: satu-
satunya perubahan yang dibutuhkan adalah kemampuan kognitif untuk membentuk dan
memproses struktur data rekursif dalam pikiran (properti dari "infinitas diskret", yang muncul
hanya pada manusia). Chomsky beralasan bahwa perubahan genetis ini, yang memberikan otak
manusia suatu properti infinitas diskret, secara esensial merupakan loncatan yang menyebabkan
dapat menghitung dari bilangan N, dengan N adalah bilangan pasti, sampai mampu menghitung
sampai bilangan tak-terbatas (misalnya, jika N dapat dibentuk begitu juga N+1). Berdasarkan
pernyataan di atas, evolusi kemampuan bahasa pada manusia merupakan saltasi karena secara
logis tidak mungkin ada transisi secara bertingkat dari otak yang mampu menghitung pada
bilangan tertentu menjadi otak yang mampu berpikir mengenai ketakterbatasan. Sebagai
gambaran, pembentukan kemampuan berbahasa pada manusia serupa dengan pembentukan
kristal; infinitas diskret muncul dalam otak primata layaknya bibit kristal yang ditambahkan
dalam larutan super jenuh. [6] [7]
Teori keberlanjutan sekarang didukung oleh mayoritas ilmuwan, tapi terdapat berbagai macam
variasi. Di antara mereka yang melihat bahasa sebagai bawaan lahir, beberapayang terkenal
yaitu Steven Pinker [8]menghindari spekulasi mengenai pelopor bahasa pada primata non-
manusia, dan menekankan secara sederhana bahwa kemampuan bahasa harusnya berevolusi
secara bertahap. [9] Kelompok lainnyayang terkenal yaitu Ib Ulbk [10]menganggap bahwa
bahasa berkembang tidak dari komunikasi primata tapi dari kesadaran primata, yang jauh lebih
kompleks. Bagi mereka yang menganggap bahasa sebagai alat komunikasi yang dipelajari secara
sosial, seperti Michael Tomasello, bahasa berkembang dari aspek komunikasi primata, yang
condong kepada komunikasi lewat isyarat daripada lewat vokal. [11] [12] Terkait pendahulu vokal,
banyak pendukung teori keberlanjutan membayangkan bahasa berkembang dari kemampuan
manusia purba dalam bernyanyi. [13] [14]
Di luar teori keberlanjutan dan ketakberlanjutan, terdapat mereka yang melihat munculnya
bahasa sebagai konsekuensi dari suatu bentuk transformasi sosial [15] yang, dengan menghasilkan
tingkat kepecayaan umum yang belum pernah terjadi sebelumnya, melepaskan potensi genetik
untuk kreativitas linguistik yang sebelumnya dibiarkan terpendam. [16] [17] [18] 'Teori koevolusi
ritual/bicara' adalah salah satu contoh dari pendekatan ini. [19] [20] Ilmuwan-ilmuwan dalam
kelompok intelektual ini menunjuk kepada fakta bahwa bahkan simpanse dan bonobo memiliki
kemampuan terpendam yang, dalam lingkungan liar, jarang dipergunakan. [21] Argumennya
adalah jika suatu mutasi yang akan muncul secara tiba-tiba memungkinkan kemampuan bahasa
pada suatu individu primata, mutasi tersebut tidak akan memberikan keuntungan adaptif kecuali
jika sistem sosial secara radikal berubah. Suatu struktur sosial yang sangat spesifiksebuah
struktur yang dapat dengan luar biasa menjunjung tinggi akuntabilitas dan kepercayaan publik
haruslah berkembang sebelum atau bersamaan dengan bahasa supaya ketergantungan pada
'sinyal murahan' (perkataan) menjadi sebuah strategi stabil evolusioner.
Karena munculnya bahasa terjadi pada zaman pra-sejarah, perkembangan yang terkait tidak
meninggalkan jejak sejarah langsung; dan tidak ada proses pembandingan yang dapat dilakukan
pada masa sekarang. Oleh karena itu, munculnya bahasa isyarat pada masa modern -- Bahasa
Isyarat Nikaragua, misalnyamungkin berpotensi memperlihatkan gambaran tingkat-tingkat
perkembangan dan proses kreatif yang terlibat. [22] Pendekatan lainnya yaitu dengan meneliti fosil
manusia awal, melihat kemungkinan adanya jejak adaptasi fisik terhadap penggunaan bahasa. [23]
[24]
Dalam beberapa kasus, saat DNA dari manusia yang telah punah dapat dipulihkan, ada atau
ketiadaan gen yang seharusnya berkaitan dengan bahasaFOXP2 sebagai contohnyamungkin
dapat memberikan informasi lebih lanjut. [25] Pendekatan lainnya, kali ini secara arkeologis,
adalah dengan membawa perilaku simbolis (seperti aktivitas ritual) yang mungkin berpotensial
meninggalkan jejak secara arkeologisseperti pengumpulan dan modifikasi dari pigmen ochre
yang digunakan untuk melukis badandapat membangun argumentasi teoretis untuk
memberikan kesimpulan dari simbolism secara umum kepada bahasa secara khusus. [26] [27] [28]
Rentang waktu bagi evolusi bahasa dan/atau prasyarat anatomis terjadi, paling tidak secara dasar,
sejak perpisahan filogenetik pada Homo (2,3 sampai 2,4 juta tahun lalu) dari Pan (5 sampai 6
juta tahun lalu) sampai munculnya perilaku modernitas sekitar 150.000 - 50.000 tahun lalu.
Beberapa orang membantah bahwa Australopithecus kemungkinan tidak memiliki sistem
komunikasi yang lebih canggih daripada Kera Besar secara umum, [29] tetapi para ahli memiliki
pendapat yang berbeda-beda terhadap perkembangan sejak munculnya Homo sekitar 2,5 juta
tahun yang lalu. Beberapa ahli mengasumsikan perkembangan sistem mirip-bahasa primitif
(proto-bahasa) pada masa Homo habilis, sementara ahli lainnya menempatkan perkembangan
komunikasi simbol primitif hanya pada Homo erectus (1,8 juta tahun yang lalu) atau Homo
heidelbergensis (0,6 juta tahun yang lalu) dan perkembangan bahasa pada Homo sapiens kurang
dari 200.000 tahun lampau.
Dengan menggunakan metode statistik untuk memperkirakan waktu yang dibutuhkan untuk
mengetahui persebaran dan perbedaan pada bahasa modern saat sekarang, Johanna Nichols
seorang ahli bahasa dari Universitas California, Berkeleymemberikan argumen pada tahun
1998 bahwa bahasa vokal pastinya telah berdiversifikasi pada spesies kita paling tidak sekitar
100.000 tahun lalu. [30] Menggunakan keberagaman fonemis, sebuah analisis terbaru memberikan
dukungan linguistik langsung terhadap waktu yang sama.[31] Perkiraan semacam ini secara
independen didukung oleh bukti genetik, arkeologi, paleontologi dan bukti-bukti lainnya yang
menunjukkan bahwa bahasa mungkin muncul di suatu tempat di Afrika sub-Sahara selama
zaman batu pertengahan, kira-kira sezaman dengan perkembangan spesies Homo sapiens. [32]
Para ahli bahasa sekarang setuju bahwa, selain pijin, tidak ada bahasa modern yang "primitif":
semua populasi manusia modern berbicara bahasa yang hampir sama kompleks dan ekspresif, [33]
walau penelitian terbaru telah menunjukkan bagaimana kompleksitas linguistik bervariasi antara
dan dalam suatu bahasa sepanjang sejarah.[34] Hal ini merupakan perdebatan serius dalam ilmu
bahasa kontemporer, dan mendapat tentangan sampai awal abad ke 21 (Everett 2005). Konsensus
sekarang bahwa tidak ada bahasa modern yang primitif adalah perubahan terbesar dalam
pendekatan linguistik terhadap bahasa.
Spekulasi awal
Saya tidak dapat meragukan bahwa bahasa berasal dari imitasi dan modifikasi,
dibantu oleh isyarat dan gerakan, terhadap berbagai suara alam, suara binatang
lainnya, dan teriakan naluriah manusia sendiri.
[35]
Charles Darwin, 1871. The Descent of Man, and Selection in Relation to Sex.
Pada tahun 1861, ahli sejarah bahasa Max Mller menerbitkan daftar teori asal mula bahasa yang
spekulatif: [36]
Bow-wow. Teori bow-wow atau cuckoo, yang Muller kaitkan dengan filsuf
Jerman Johann Gottfried Herder, menganggap kata-kata bermula sebagai
imitasi dari teriakan hewan-hewan liar atau burung.
Ding-dong. Mller menyarankan apa yang dia sebut dengan teori Ding-
Dong, yang menyatakan bahwa semua mahluk memiliki sebuah getaran
resonansi alami, yang digemakan oleh manusia dalam perkataan awalnya
dengan suatu cara.
Ta-ta. Teori ini tidak ada dalam daftar Max Mller, tapi diajukan oleh Sir
Richard Paget pada tahun 1930.[37] Menurut teori ta-ta, manusia membuat
perkataan pertama dengan menggerakan lidah yang meniru gerakan manual,
membuatnya terdengar bersuara.
Banyak ilmuwan saat ini menganggap semua teori tersebut tidak sepenuhnya salah karena
kadang-kadang memberikan ilham; namun, teori-teori ini dianggap naif secara komikal dan tidak
relevan. [38] [39] Masalah dalam teori-teori tersebut adalah sifatnya yang sangat mekanistik. Teori-
teori tersebut mengasumsikan bahwa sekali leluhur kita menyadari kejeniusan mekanisme untuk
menghubungkan suara dengan makna, bahasa secara otomatis berkembang dan berubah.
Sinyal vokal hewan pada umumnya secara intrinsik dapat diandalkan. Pada saat seekor kucing
mendengkur, sinyal tersebut menandakan bukti langsung bahwa hewan berada pada keadaan
senang. Kita dapat 'percaya' kepada sinyal tersebut bukan karena kucing itu jujur, tetapi karena
suara itu tidak dapat dipalsukan. Seruan vokal primata bisa saja lebih dapat dimanipulasi, tetapi
mereka tetap dapat diandalkan untuk beberapa alasankarena mereka susah untuk dipalsukan.
[42]
Intelijensi sosial primata disebut Machiavellianmelayani diri sendiri dan tidak dibatasi oleh
moral. Monyet dan kera terkadang mencoba menipu satu sama lain, sementara pada saat
bersamaan tetap berjaga-jaga agar tidak menjadi korban dari penipuan itu sendiri. [43]
Paradoksnya, justru resistensi dari primata terhadap penipuan menghambat evolusi sistem sinyal
mereka bersama dengan komunikasi yang mirip-bahasa. Bahasa ditolak karena cara terbaik
untuk mencegah dari tertipu adalah dengan mengabaikan semua sinyal kecuali yang
reliabilitasnya dapat diperiksa langsung. Berbicara secara otomatis gagal dalam tes ini. [44]
Kata-kata sangat mudah dipalsukan. Jika kata-kata berbentuk kebohongan, pendengar akan
beradaptasi dengan mengabaikan mereka sehingga menguntungkan isyarat atau petunjuk yang
lebih sulit di palsukan. Supaya bahasa dapat bekerja, pendengar haruslah yakin bahwa pembicara
yang mereka ajak berbicara secara umum cenderung berkata jujur. [45] Fitur tidak biasa pada
bahasa adalah 'referensi terlantar', yang berarti referensi terhadap topik di luar situasi yang
sekarang dialami. Properti ini mencegah ucapan-ucapan menjadi suatu kebenaran 'di sini' dan
'sekarang' secara langsung. Karena alasan tersebut, bahasa mengasumsikan tingkat saling
percaya yang tinggi supaya menjadi terbentuk sepanjang waktu sebagai suatu strategi stabil
evolusioner. Stabilitas ini lahir dari saling percaya dalam waktu lama dan yang menunjang
penguasaan bahasa. Teori dari asal mula bahasa harus menjelaskan kenapa manusia dapat mulai
mempercayai isyarat-isyarat lemah dengan suatu cara sementara binatang lain tidak bisa (lihat
teori pensinyalan).
Kritik terhadap teori ini menunjuk pada seleksi kerabat tidak hanya unik pada manusia. Ibu kera
juga berbagi gen dengan turunannya, sebagaimana binatang lainnya, lalu kenapa hanya manusia
yang berbicara? Lebih lanjut, sangat sulit untuk dipercaya bahwa manusia awal membatasi
komunikasi linguistik hanya pada saudara genetis: tabu mengenai incest pasti memaksa laki dan
wanita berinteraksi dan berkomunikasi dengan yang bukan saudara. " Spesies terkadang
bergantung pada bentuk komunikasi verbal dan non-verbal, seperti teriakan; suara luapan emosi
non-vokal, seperti kipasan ekor lumba-lumba pada air; bioluminescence; penandaan bau;
petunjuk kimia atau taktil; sinyal visual dan gestur tubuh" (Toothman). Jadi, walaupun kita
menerima premis pertama Fitch, penyebab dari hubungan 'bahasa ibu' dari kerabat kepada non-
kerabat tetap tidak dapat dijelaskan. [48] Fitch beralasan, bagaimanapun juga, periode panjang dari
kematangan fisik pada anak manusia, dan perkembangan extrauterine pada ensefalisasi manusia
memberikan hubungan manusia-anak sebuah periode kebergantungan inter-generasi yang
berbeda dan lebih lama daripada yang ditemukan pada spesies lain.
Kritik menunjukkan bahwa teori ini gagal menjelaskan kapan, bagaimana, kenapa atau oleh siapa
'altruisme timbal balik wajib' dapat mungkin ditegakkan. Berbagai proposal telah diajukan untuk
memperbaiki kekurangan ini. [51] Kritikan lebih lanjut adalah bahwa bahasa tidak bekerja
berdasarkan altruisme timbal-balik. Manusia dalam percakapan grup tidak menyimpan semua
informasi kecuali pendengar mau memberikan informasi berharga sebagai balasan. Secara
berlawanan, mereka tampak ingin menampilkan kepada dunia akses mereka terhadap informasi
yang berhubungan secara sosial, menyebarkannya kepada siapa saja yang mau mendengarkan
tanpa menginginkan kembalian. [52]
Kritik terhadap teori ini menunjuk pada efisiensi dari 'perawatan vokal' -- fakta bahwa bicara itu
gampangakan merusak kapasitasnya untuk mensinyalkan sejenis komitmen yang disampaikan
dengan perawatan manual yang berharga dan memakan waktu. [54] Kritikan lebih lanjut adalah
bahwa teori ini tidak menjelaskan transisi krusial dari perawatan vokalproduksi suara yang
menenangkan tapi tidak berartike kompleksitas kognitif dari berbicara secara sintaks. Kritik
ini mengasumsikan bahwa dari perawatan vokal ke bahasa vokal terdapat beberapa langkah
kompleks. Kritik sebelumnya juga tampak mengasumsikan tidak begitu terlihatnya superiotas
dari perawatan fisik terhadap perawatan vokal dengan kata lain ia memiliki kekurangan berupa
kapasitas yang sama terhadap komitmen pensinyalan. Sebagai contohnya, penelitian yang telah
memperlihatkan kedekatan seorang anak terhadap suara ibunya bisa menyarankan bahwa
perawatan manual tidak memiliki keuntungan hirarki tetap lebih dari perawatan vokal. [55]
Koevolusi ritual/bicara
Teori koevolusi ritual/bicara awalnya diajukan oleh antropolog sosial Roy Rappaport [56] sebelum
diuraikan oleh antropolog seperti Chris Knight, [57] Jerome Lewis, [58] Nick Enfield, [59] Camilla
Power [60] dan Ian Watts. [61] Ilmuwan kognitif dan insiyur robotik Luc Steels [62] adalah
pendukung penting dari pendekatan ini, seperti juga antropologis/neurosains biologis Terrence
Deacon. [63]
Ilmuwan tersebut beralasan bahwa tidak ada yang namanya 'teori asal mula bahasa'. Hal ini
dikarenakan bahasa bukanlah sebuah adaptasi terpisah tapi sebuah aspek internal yang lebih luas
dinamakan, kultur simbolis manusia secara keseluruhan. [64] Para ilmuwan tersebut
mengatakan bahwa mencoba menjelaskan bahasa secara independen dalam konteks yang luas ini
gagal karena mereka menangani masalah tanpa solusi. Bisakah kita membayangkan seorang ahli
sejarah mencoba menjelaskan munculnya kartu kredit secara tersendiri dalam sistem yang luas
sementara ia adalah sebuah bagian? Menggunakan kartu kredit masuk akal jika anda memiliki
rekening bank yang secara institusional dikenal dalam suatu masyarakat kapitalis majusuatu
sistem dengan teknologi komunikasi elektronik, komputer digital, dan pencegahan penggelapan.
Dalam hal yang sama, bahasa tidak akan bekerja di luar susunan institusi dan mekanisme sosial.
Sebagai contohnya, ia tidak akan bekerja bagi seekor kera yang berkomunikasi dengan kera lain
di dunia liar. Bahkan kera tercerdas pun tak dapat membuat bahasa bekerja dalam bawah kondisi
tersebut.
Pendukung pemikiran ini merujuk bahwa berbicara itu gampang. Seperti halusinasi digital,
mereka secara intrinsik tidak dapat diandalkan. Jika kera sangat pandai, atau bahkan satu
kelompok kera pandai, mencoba untuk menggunakan kata-kata di alam liar, mereka tidak akan
membawa suatu keyakinan. Vokalisasi primata yang memang membawa keyakinanyaitu yang
mereka benar-benar gunakantidak seperti perkataan, mereka diekspresikan secara emosional,
bermakna secara intrinsik dan dapat dipercaya karena mereka relatif berharga dan sulit
dipalsukan.
Bahasa terdiri dari kontras digital yang harganya secara esensial nol. Sebagai konvensi sosial
murni, sinyal jenis ini tidak dapat berkembang dalam dunia sosial Darwiniansecara teori, ia
adalah sebuah ketidakmungkinan.[40] Karena tidak dapat dipercaya secara intrinsik, bahasa
bekerja hanya jika anda dapat membuat suatu reputasi untuk dapat dipercaya dalam suatu bentuk
masyarakatdinamakan juga, salah satu tempat fakta-fakta kultural simbolis (terkadang disebut
dengan 'fakta institusional') dapat dibangun dan dijaga lewat dukungan kolektif sosial. [66] Dalam
masyarakat pemburu-pengumpul, mekanisme dasar untuk membangun kepercayaan dalam fakta
kultural simbolis adalah ritual bersama. [67] Oleh karena itu, pekerjaan yang dihadapi para
peneliti dalam asal mula bahasa adalah lebih ke multidisiplin daripada biasanya. Ia berhubungan
dengan melihat perkembangan timbulnya kultur simbolis manusia secara keseluruhan, dengan
bahasa sebagai salah satu yang utama tapi komponen tambahan.
Kritik mengenai teori ini dari Noam Chomsky, yang menamainya dengan hipotesis 'ketak-adaan'
-- sebuah penolakan dari keberadaan bahasa sebagi suatu objek kajian bagi ilmu alam. [68] Teori
Chomsky sendiri adalah bahwa bahasa muncul secara instan dan dalam bentuk sempurna, [7]
mendorong kritiknya sebagai jawaban bahwa hanya sesuatu yang tidak adasebuah konstruksi
teoritis atau fiksi sosial yang mudahyang dapat muncul secara ajaib. [69] Kontroversi masih
tetap belum terselesaikan.
Hipotesis Menara Babel
Telah disarankan bahwa bahasa mungkin saja berkembang sebagian untuk menutup komunikasi,
untuk mengatur supaya suku sendiri terpisah dari terkontaminasi yang lain. [70] Hal ini berkaitan
dengan paradoks pembicara-kode, kisah Menara Babel, dan tidak bertentangan dengan bahasa-
ibu, perawatan dalam suku, dan hipotesis pencegahan inses yang dijelaskan di atas.
Teori Jestural
Teori jestural menyatakan bahwa bahasa manusia berkembang dari jestur yang digunakan
sebagai komunikasi sederhana.
1. Bahasa isyarat dan bahasa lisan bergantung pada sistem saraf yang sama.
Bagian pada korteks yang bertanggung jawab terhadap pergerakan mulut
dan tangan.
Penelitian telah menemukan bukti kuat untuk ide bahwa bahasa lisan dan bahasa isyarat
bergantung pada struktur saraf yang sama. Pasien yang menggunakan bahasa isyarat, dan yang
menderita left-hemisphere lesion, memperlihatkan gangguan yang sama dengan bahasa isyarat
sebagaimana pasien vokal dengan bahasa oralnya. [72] Peneliti lain menemukan bagian left-
hemisphere otak yang aktif saat melakukan bahasa isyarat sama dengan saat menggunakan
bahasa vokal atau tulisan. [73]
Pertanyaan penting untuk teori jestural yaitu kenapa terjadi peralihan ke penggunaan vokalisasi.
Terdapat tiga penjelasan yang memungkinkan:
1. Nenek moyang kita mulai menggunakan alat yang lebih banyak, artinya
kedua tangan mereka sedang digunakan dan tidak dapat digunakan untuk
melakukan jestur.[74]
Manusia masih menggunakan tangan dan jestur wajah saat berbicara, terutama saat seseorang
bertemu dengan orang lain yang berbeda bahasa. [79] Dan ada juga, sudah pasti, sejumlah bahasa
isyarat yang masih ada, biasanya berkaitan dengan komunitas tuli; penting juga diketahui bahwa
bahasa isyarat memiliki kompleksitas, kecanggihan, dan kekuatan ekspresif yang sama dengan
bahasa lisan yang adafungsi kognitifnya sama dan bagian otak yang digunakan juga sama
perbedaannya adalah "fonem" diproduksi oleh tubuh bagian luar, diartikulasikan dengan tangan,
badan, dan ekspresi muka, bukan dengan bagian dalam tubuh yang diartikulasikan dengan lidah,
gigi, bibir, dan pernapasan.
Kritik terhadap teori jestural menyatakan bahwa sangat sulit untuk menyebutkan alasan serius
mengapa komunikasi vokal berbasis-nada (yang digunakan pada primata) ditinggalkan demi
komunikasi yang kurang efektif selain suara, komunikasi jestural. Namun, Michael Corballis
telah menunjukan bahwa komunikasi vokal primata (seperti teriakan peringatan) tidak bisa
dikontrol secara sadar, tidak seperti gerakan tangan, dan maka ia tidak kredibel sebagai prekursor
bagi bahasa manusia; vokalisasi primata agak homolog dengan dan terus menerus dalam refleks
yang disengaja (terhubung dengan dasar emosi manusia) seperti teriakan atau tawa (fakta bahwa
hal tersebut dapat dipalsukan tidak membantah fakta bahwa respons asli tak-sengaja saat takut
atau terkejut tetap ada). Juga, jestur bukannya secara umum kurang efektif, dan bergantung pada
situasi bisa jadi menguntungkan, sebagai contohnya dalam suatu lingkungan yang bising atau
saat perlu untuk diam, seperti saat berburu. Tantangan lain untuk teori "jestur-lebih-dahulu" telah
dikemukakan oleh peneliti dalam psikolinguistik, termasuk David McNeill.
Bukti lebih lanjut dari keterkaitan ini datang dari penelitian terbaru, dengan mengukur aktivitas
otak dari dua peserta menggunakan fMRI saat mereka melakukan isyarat kata-kata antara satu
sama lain menggunakan isyarat tangan melalui suatu permainan tebak katasebuah modalitas
yang beberapa ahli menyarankan mungkin merepresentasikan prekursor secara evolusi dari
bahasa manusia. Analisis data menggunakan Kausalitas Granger memperlihatkan bahwa sistem
saraf cermin dari pengamat memang merefleksikan pola dari aktivitas dari aktivitas di dalam
sistem motor si pengirim, mendukung ide bahwa konsep motor berhubungan dengan kata-kata
memang ditransmisikan dari satu otak ke otak lain menggunakan sistem cermin. [87]
Perlu diketahui bahwa sistem saraf cermin tampak pada dasarnya tidak memadai untuk
memainkan peran dalam sintaks, selama properti penting bahasa manusia yang diterapkan dalam
struktur rekursif hierarkis ini diratakan menjadi urutan linier fonem-fonem yang membuat
struktur rekursif tidak dapat diakses oleh deteksi sensoris. [88]
Kritik menyatakan bahwa bila teori ini mungkin menjelaskan sejumlah jenis 'protobahasa'
terhadap-bayi - dikenal sekarang sebagai 'motherese' - ia hanya memberikan sedikit untuk
menjawab permasalahan yang lebih rumit, yaitu munculnya di antara orang dewasa perkataan
dengan sintaks.
Namun, dalam The Mental and Social Life of Babies, psikolog Kenneth Kaye menulis bahwa
tidak ada bahasa yang digunakan sekarang dapat berkembang tanpa komunikasi interaktif antara
anak-anak muda dengan orang dewasa. "Tidak ada sistem simbolik yang dapat bertahan dari satu
generasi ke generasi selanjutnya jika ia tidak dapat secara mudah ditangkap oleh anak-anak
dalam kondisi normal mereka pada kehidupan sosial."[90]
Teori Gramatisasi
'Gramatikalisasi' adalah sebuah proses sejarah berkelanjutan ketika kata-kata yang berdiri sendiri
berkembang menjadi tambahan tata bahasa, sementara hal tersebut kemudian menjadi lebih
terspesialisasikan dan terstruktur. Yang awalnya berupa penggunaan yang 'salah', menjadi
diterima, mengarah ke konsekuensi yang tidak terbayangkan, memicu efek terpukul dan
memperpanjang seurutan perubahan. Secara paradoks, tata bahasa berkembang karena, dalam
analisis akhir, manusia lebih peduli terhadap keterpahaman daripada keindahan tata bahasa. [91]
Jika ini merupakan cara bagaimana tata bahasa berkembang sekarang, menurut aliran pemikiran
tersebut, kita dapat secara sah berpendapat prinsip yang sama bekerja di antara leluhur jauh kita,
saat tata bahasa itu sendiri untuk pertama kalinya terbentuk. [92][93][94]
Untuk merekonstruksi ulang transisi evolusi dari awal bahasa ke bahasa dengan tata bahasa
kompleks, kita perlu mengetahui urutan hipotesis mana yang memungkinan dan yang tidak
memungkinkan. Untuk menyampaikan ide abstrak, jalan keluar pertama dari pembicara adalah
dengan kembali secara langsung pada gambaran konkrit yang dikenali, sering kali
mengembangkan metafora-metafora yang berakar dalam pengalaman jasmani yang sama. [95]
Contoh yang lazim adalah penggunaan istilah konkrit seperti 'perut' atau 'punggung' untuk
menyampaikan makna abstrak seperti 'di dalam' atau 'di belakang'. Hal yang sama secara
metafora adalah strategi dalam merepresentasikan pola sementara pada model spasial. Makanya
dalam konteks bahasa Inggris sering dikatakan 'It is going to rain', dimodelkan dari 'I am going
to London'. Kita bisa mempersingkat ini dalam bahasa sehari-hari menjadi 'It's gonna rain'.
Bahkan pada saat terburu-buru, kita tidak mengatakan 'I'm gonna London' -- kontraksi terbatas
pada waktu yang menentukan pekerjaan. Dari contoh tersebut kita tidak melihat kenapa
gramatikalisasi secara konsistensi searahdari makna konkrit ke abstrak, bukan sebaliknya.
Para pendukung teori gramatikalisasi membayangkan bahasa awal sebagai sederhana, mungkin
hanya terdiri dari kata-kata benda. [96] Bahkan dengan asumsi ekstrim tersebut, bagaimanapun
juga, sangat susah untuk membayangkan halangan kognitif apa yang secara realistiknya
mencegah orang dari menggunakankatakanlah -- 'tombak' seakan-akan sebagai kata kerja,
seperti yang digunakan dalam bahasa Inggris ('Let's spear this pig!'). Terlepas dari keindahan tata
bahasa yang para ahli bahasa pahami, orang-orang di dunia nyata akan menggunakan kata benda
mereka sebagai kata kerja atau kata kerja sebagai kata benda saat dikehendaki. Secara singkat,
bila bahasa dengan kata-benda-saja mungkin tampak secara teori memungkinkan, teori
gramatikalisasi mengindikasikan bahwa ia tidak dapat tetap konstan dalam keadaannya tersebut
untuk waktu yang lama.
Kreativitas mengendalikan perubahan tata bahasa. [97] Pandangan ini mengasumsikan perilaku
tertentu pada pendengar. Bukannya menghukum penyimpangan dari penggunaan yang
seharusnya, pendengar harus memprioritaskan imajinasi membaca-pikiran. Kita seharusnya tidak
mengambil begitu saja sikap kognitif. Kreatifitas imajinasimengindahkan tanda bahaya macan
tutul saat tidak ada macan tutul, sebagai contohnyabukanlah suatu perilaku yang mana monyet
vervet akan hargai atau menghukum. [98] Kreatifitas dan reliabilitas adalah keinginan yang
bertentangan; bagi primata 'Machiavellian' sebagaimana pada hewan secara umumnya, tekanan
utamanya adalah untuk menunjukan reliabilitas. [99] Jika manusia meninggalkan batasan-batasan
tersebut, itu karena pada kasus kita, para pendengar lebih tertarik dengan keadaan mental.
Memusatkan perhatian pada keadaan pikiran sama dengan menerima fiksipenghuni imajinasi
sebagai informasi yang potensial dan menarik. Contohnya adalah penggunaan metafora.
Secara harfiah, metafora adalah sebuah pernyataan yang salah. [100] Bayangkan pernyataan
Romeo, 'Juliet adalah matahari!'. Juliet adalah seorang wanita, bukanlah sebuah bola dari gas
panas di angkasa, tapi para pendengar (biasanya) tidak bersikeras terhadap kebenaran faktanya.
Mereka ingin mengetahui apa yang pembicara miliki dalam pikirannya. Gramatikalisasi pada
dasarnya berdasar pada metafora. Melarang penggunaannya akan menghambat tata bahasa untuk
berkembang dan meniadakan pengungkapan pemikiran abstrak. [95] [101]
Suatu kritikan terhadap hal ini adalah bila teori gramatikalisasi mungkin menjelaskan perubahan
bahasa pada saat sekarang, ia tidak secara memuaskan menjawab tantangan yang lebih rumit
menjelaskan transisi awal dari komunikasi gaya-primata ke bahasa yang kita ketahui sekarang.
Tapi, teori tersebut mengasumsikan bahwa bahasa telah ada. Seperti yang dibenarkan oleh Bernd
Heine dan Tania Kuteva: Gramatikalisasi membutuhkan sebuah sistem linguistik yang sering
digunakan dalam suatu komunitas pembicara dan disampaikan dari satu kelompok pembicara
ke yang lainnya. [102] Di luar manusia modern, keadaan tersebut tidak berlaku.
Bila dibandingkan dengan primata lain, yang sistem komunikasinya terbatas pada stereotip suara
teriak dan teriakan yang tinggi, manusia memiliki sangat sedikit vokalisasi bawaan lahir, sebagai
contoh tertawa dan menangis. Lebih lanjut, vokalisasi bawaan lahir ini dihasilkan oleh jalur
neuronal yang terbatas, dengan bahasa dihasilkan oleh sistem yang sangat tersebar mengikutkan
sejumlah wilayah pada otak manusia.
Fitur bahasa yang menonjol adalah bila kemampuan berbahasa diturunkan, bahasa itu sendiri
ditransmisi lewat kultur. Yang ditransmisi lewat kultur juga pemahaman, seperti teknologi dalam
cara-cara melakukan sesuatu, yang dibungkus dalam penjelasan berbasis bahasa. Karenanya
seseorang akan mendapatkan lintasan evolusi yang kuat antara kemampuan bahasa dan kultur:
proto-manusia yang mampu menggunakan bahasa pertama, dan diasumsikan belum sempurna,
akan memiliki akses pemahaman kultural yang lebih baik, dan pemahaman kultural, disampaikan
dalam proto-bahasa yang dapat dipahami oleh otak anak-anak, akan lebih mudah ditrasmisikan,
sehingga memberikan manfaat yang dapat diperoleh.
Karena itu proto-manusia masih melaksanakan, dan terus melaksanakan, apa yang disebut
konstruksi niche, membuat niche kultural yang menyediakan kunci pemahaman terhadap
kelangsungan hidup, dan perubahan evolusionari berkelanjutan yang mengoptimasi
kemampuannya untuk menghiasi niche tersebut. Tekanan seleksi yang beroperasi untuk
menopang insting yang dibutuhkan untuk bertahan hidup pada niche sebelumnya akan
diharapkan mengendur karena manusia menjadi bergantung kepada niche kultural yang dibuat
sendiri, selama inovasi-inovasi yang memfasilitasi adaptasi kulturaldalam kasus ini, inovasi
dalam kompetensi bahasaakan lebih berkembang.
Salah satu cara untuk memikirkan tentang evolusi manusia adalah kita ini seperti kera yang
dijinakkan. Seperti halnya penjinakkan mengendurkan seleksi untuk stereotip suara pada burung
finchpilihan pasangan digantikan dengan pilihan yang dibuat oleh kepekaan estetis dari
peternak burung dan kustomernyabisa saja domestikasi dari kultural kita telah mengendurkan
seleksi dalam banyak hal dari sifat perilaku primata kita, menyebabkan jalur lama menjadi
merosot dan terbentuk ulang. Mempertimbangkan bahwa otak mamalia berkembang secara tidak
pastiotak berkembang secara "bottom up", dengan satu kelompok interaksi neuronal
mempersiapkan langkah untuk interaksi selanjutnyajalur degradasi lebih condong untuk
mencari dan menemukan kesempatan baru untuk terhubung sinaptis. Perbedaan turunan dari
jalur otak seperti itu bisa saja berkontribusi pada kompleksitas fungsi yang mengkarakterisasikan
bahasa manusia. Dan, seperti yang terjadi pada burung finch, de-diferensiasi tersebut dapat
terjadi dalam waktu yang cepat. [104][105]
Lihat pula: Komunikasi hewan, Bahasa hewan, dan Asal mula bicara
Terdapat perbedaan antara bicara dan bahasa. Bahasa tidak harus selalu diucapkan: ia bisa saja
tertulis atau diisyaratkan. Bicara adalah salah satu metode di antara sejumlah metode berbeda
dalam menterjemahkan dan mentrasmisikan informasi linguistik, walaupun bisa dibilang yang
paling alami.
Beberapa ahli memandang bahasa sebagai awal dari perkembangan kognitif, ke-'ekternalisasi'-
nya untuk melayai tujuan komunikatif yang terjadi kemudian pada evolusi manusia. Menurut
suatu aliran pemikiran, ciri penting yang membedakan bahasa manusia adalah rekursi. [106]
dalam konteks ini, proses berulang menanamkan kalimat di dalam kalimat. Ilmuwan lainyang
terkenal Daniel Everettmenolak bahwa rekursi itu adalah universal, mengutip beberapa bahasa
tertentu (yaitu Pirah) yang diduga memiliki kekurangan fitur ini. [107]
Salah satu kemampuan yang menarik yang dimiliki oleh pengguna bahasa adalah referensi
tingkat-tinggi, atau kemampuan untuk menunjuk ke benda atau keadaan sesuatu yang tidak
terjadi secara langsung bagi pembicara. Kemampuan ini terkadang berhubungan kepada teori
pikiran, atau sebuah kepedulian dari orang lain sebagai mahluk hidup seperti dirinya dengan
hasrat dan perhatian sendiri. Menurut Chomsky, Hauser dan Fitch (2002), ada enam aspek dari
sistem referensi tingkat-tinggi:
Teori pikiran
Secara sukarela mengatur produksi sinyal sebagai bukti dari komunikasi yang
sengaja
Kognisi angka
Teori pikiran
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Teori pikiran
Simon Baron-Cohen (1999) berargumen bahwa teori pikiran pasti mendahului penggunaan
bahasa, berdasarkan bukti penggunaan dari karakteristik-karakteristik berikut sekitar 40.000
tahun yang lalu: komunikasi, perbaikan komunikasi yang gagal, mengajar, persuasi, penipuan
yang disengaja, membuat tujuan dan rencana bersama-sama, membagi fokus atau topik secara
sengaja, dan berpura-pura. Lebih lanjut, Baron-Cohen berargumen bahwa banyak primata
memiliki kemampuan ini, tetapi tidak semuanya. Penelitian Call dan Tomasello terhadap
simpanse mendukung argumen ini, dengan seekor simpanse tampak memahami bahwa simpanse
lain memiliki kepedulian, pengetahuan, dan tujuan, tetapi tidak memahami penipuan. Banyak
primata memperlihatkan kecendrungan ke arah teori pikiran, tetapi tidak sepenuhnya sama
dengan yang dimiliki manusia. Secara keseluruhan, ada sejumlah konsensus bahwa teori pikiran
diperlukan untuk menggunakan bahasa. Maka, perkembangan dari teori pikiran pada manusia
diperlukan sebagai suatu prekursor penting untuk penggunaan bahasa secara penuh.
Struktur Linguistik
Prinsip leksikal-fonologis
Hocket (1966) memberikan daftar rincian fitur yang penting untuk menjelaskan bahasa manusia.
Dalam wilayah prinsip leksikal-fonologis, dua fitur dari daftar tersebut yang sangat utama:
Produktifitas: pengguna dapat membuat dan memahami pesan yang sangat
asing.
o Tidak ada elemen baru atau lama yang secara bebas menjadi semantik
baru karena lingkungan dan konteks. Hal ini mengatakan bahwa di
setiap bahasa, idiom baru secara konstan tercipta.
Dualitas (dalam pola): sejumlah elemen yang memiliki arti adalah hasil
ciptaan dari sejumlah kecil elemen yang kurang berarti secara tersendiri dan
berbeda-arti.
Sistem suara dari bahasa terbentuk dari sejumlah item-item fonologi sederhana. Dengan aturan
fonotaktik suatu bahasa, item-item tersebut dapat digabung ulang dan disatukan, melahirkan
morfologi dan kosa kata terbuka. Fitur kunci dari bahasa adalah sejumlah item-item fonologi
yang terbatas dan sederhana melahirkan sistem kosa kata yang tidak terbatas dengan aturan-
aturan yang menentukan bentuk dari setiap item, dan artinya terkait dengan bentuknya. Sintak
fonologi adalah kombinasi sederhana dari unit fonologi yang sudah ada. Terkait dengan hal
tersebut, fitur utama lain dari bahasa manusia adalah: sintaksis leksikal (kosa kata), dengan unit
yang sudah ada digabungkan, menghasilkan item baru secara semantik (arti) atau berbeda secara
kosa kata.
Beberapa elemen dari prinsip leksikal-fonologis diketahui ada di luar manusia. Bila semua (atau
hampir kesemua) telah didokumentasikan dalam suatu bentuk dalam dunia alami, hanya sedikit
yang ada dalam satu spesies yang sama. Nyanyian burung, kera, dan suara paus semuanya
memperlihatkan sintak fonologi, gabungan unit suara menjadi struktur besar tanpa meningkatkan
atau memberi arti baru. Beberapa spesies primata memiliki sistem fonologi sederhana dengan
unit-unit menunjuk pada beberapa entiti di dunia. Namun, perbedaannya dengan sistem manusia,
unit-unit pada sistem primata tersebut biasanya terjadi dalam isolasi. Ada sebuah bukti baru yang
menyatakan bahwa monyet Campbell juga memperlihatkan sintak leksikal, menggabungkan dua
teriakan (teriakan peringatan adanya predator dengan "boom", sebuah gabungan yang
menyatakan berkurangnya bahaya), namun masih belum jelas apakah itu adalah leksikal atau
fenomena morfologi.
Pijin adalah bahasa yang secara signifikan disederhanakan dengan hanya tata-bahasa yang belum
sempurna dan kosa kata yang terbatas. Pada masa awal perkembangannya pijin hanya terdiri dari
kata benda, kata kerja, dan kata keterangan dengan sedikit atau tanpa pasal, kata depan, kata
penghubung atau kata bantu kerja. Tata bahasanya tidak memiliki urutan kata dan kata-katanya
tidak ada nada suara. [113]
Jika komunikasi terjadi antara kelompok yang menggunakan pijin untuk waktu yang lama, pijin
akan menjadi komplek dalam beberapa generasi. Jika anak dalam satu generasi menggunakan
pijin sebagai bahasa natif maka ia akan berkembang menjadi bahasa kreol, yang makin teratur
dan menggunakan tata-bahasa yang lebih rumit, dengan fonologi yang teratur, sintak, morfologi,
dan penggunaan sintaktis. Sintak dan morfologi dari bahasa itu bisa saja memiliki inovasi lokal
sendiri yang tidak diturunkan dari bahasa orang tuanya.
Penelitian terhadap bahasa kreol diseluruh dunia telah menjelaskan bahwa mereka memiliki
kesamaan yang luar biasa dalam tata-bahasa dan berkembang secara seragam dari pijin dalam
satu generasi. Kesamaan ini jelas kelihatan walaupun kreol tidak memiliki sumber yang sama.
Sebagai tambahan, kreol memiliki kesamaan walaupun terbentuk dalam isolasi yang berbeda
satu dengan yang lain. Kesamaan sintak termasuk urutan kata dalam Subjek-Kata Kerja-Objek
(SKO). Bahkan bila kreol berasal dari bahasa dengan urutan kata yang berbeda mereka sering
berkembang menjadi urutan SKO. Kreol condong memiliki kesamaan pola penggunaan untuk
klausa yang pasti dan tak pasti, dan memiliki aturan perubahan untuk struktur kalimat walaupun
pada bahasa asalnya tidak ada. [113]
Bahasa Primata
Bidang ahli primatologi dapat memberikan kita gambaran mengenai cara Kera Besar
berkomunikasi di alam liar. [29] Penemuan utamanya yaitu primata selain-manusia, termasuk kera
besar, menghasilkan suara-suara yang bergradasi dan tidak terdiferensiasi secara kategoris,
dengan pendengar berusaha untuk mengevaluasi gradasi halus di bagian-bagian emosional dan
keadaan tubuh dari si pemberi sinyal. Kera sangat sulit menghasilkan vokalisasi tanpa adanya
keadaan yang berkaitan dengan emosi. [114] Dalam penangkaran, kera telah diajarkan bentuk-
bentuk dasar dari bahasa isyarat dan telah dibujuk untuk menggunakan lexigramsimbol-simbol
yang secara grafis tidak menggambarkan katapada papanketik komputer. Beberapa kera,
seperti Kanzi, telah belajar dan menggunakan ratusan lexigram. [115] [116]
Area Broca dan Area Wernicke pada otak primata bertanggung jawab untuk mengontrol otot dari
muka, lidah, mulut, dan laring, dan juga untuk mengenali suara. Primata dikenal membuat
"teriakan vokal", dan teriakan ini dibuat oleh sirkuit dalam batang-otak dan sistem limbik. [117]
Rupanya, pemindain modern pada otak pada simpanse yang sedang mengoceh membuktikan
bahwa mereka menggunakan area Broca untuk mengoceh. [118] dan ada bukti bahwa monyet-
monyet yang mendengar monyet lain berceloteh menggunakan wilayah otak yang sama seperti
manusia mendengarkan pembicaraan. [119]
Di alam liar, komunikasi monyet vervet telah banyak dipelajari. [113] Mereka dikenal karena
membuat sepuluh vokalisasi yang berbeda. Banyak darinya digunakan untuk memperingati
anggota dari grup apabila predator mendekat. Mereka termasuk "teriakan leopard", "teriakan
ular", dan "teriakan elang". Setiap teriakan memicu strategi pertahanan yang berbeda pada
monyet yang mendengar teriakan tersebut dan ilmuwan dapat memperoleh respon yang
terprediksi dari monyet dengan menggunakan speaker dan suara rekaman. Vokalisasi yang lain
digunakan untuk identifikasi. Jika bayi monyet berteriak, ibunya akan menoleh kepadanya, tapi
ibu monyet vervet yang lain menoleh ke ibu monyet tersebut untuk melihat apa yang akan
dilakukannya. [120]
Dengan cara yang sama, para peneliti telah memperlihatkan bahwa simpanse (dalam
penangkaran) menggunaan "kata" yang berbeda untuk menunjuk pada makanan yang berbeda.
Mereka merekam vokalisasi yang dibuat oleh simpanse tersebut, sebagai contoh, untuk anggur,
dan simpanse yang lain akan menunjuk ke gambar anggur bila dipedengarkan suara tersebut. [121]
Awal-Homo
Mengenai pengucapan, ada spekulasi yang patut dipertimbangkan mengenai kemampuan bahasa
dari awal-Homo (2,5 sampai 0,8 juta tahun yang lalu). Secara anatomi, beberapa ahli percaya
kemampuan bipedalisme, yang berkembang dalam australopithecine sekitar 3,5 juta tahun lalu,
telah membawa perubahan pada tengkorak, membuat sistem vokal lebih banyak berbentuk L-
nya. Bentuk dari trak dan laring yang terletak dekat di bawah leher merupakan prasyarat penting
bagi kebanyakan suara yang dihasilkan manusia, terutama sekali pada huruf hidup.
Ilmuwan lain percaya bahwa, berdasarkan posisi laring, Neanderthal tidak memiliki anatomi
yang dibutuhkan untuk menghasilkan suara secara penuh yang dibuat oleh manusia modern. [122]
[123]
Sebelumnya diajukan bahwa perbedaan antara saluran vokal Homo sapiens dan Neanderthal
dapat dilihat pada fosil, tapi penemuan tulang hyoid Neanderthal (lihat di bawah) identik dengan
yang ditemukan pada Homo sapiens, telah melemahkan teori tersebut. Tetap saja ada yang
berpendapat bahwa rendahnya laring tidak mempengaruhi perkembangan kemampuan berbicara.
[124]
Istilah bahasa-purba, yang didefinisikan oleh linguis Derek Bickerton, adalah bentuk primitif
dari komunikasi yang memiliki kekurangan:
Sebuah tingkat dalam evolusi bahasa berada di antara bahasa kera besar dan bahasa manusia
modern yang telah lengkap. Bickerton (2009) menempatkan pertama munculnya bahasa-purba
dengan munculnya Homo awal, dan menghubungkan kemunculannya dengan tekanan adaptasi
perilaku terhadap konstruksi niche dari memulung yang dihadapi oleh Homo habilis. [125]
Fitur anatomis seperti vokal huruf L berevolusi terus-menerus, tidak muncul tiba-tiba. [126]
Makanya lebih memungkinkan bila Homo habilis dan Homo erectus selama Lower Pleistocene
memiliki semacam bentuk komunikasi sederhana antara manusia modern dan primata lainnya.
[127]
Steven Mithen mengusulkan istilah Hmmmmm terhadap sistem komunikasi pra-linguistik yang
digunakan oleh Homo purba, dimulai dari Homo ergaster dan mencapai tingkat tertinggi
penggunaannya pada masa Pleistosen Tengah pada Homo heidelbergensis dan Homo
neanderthalensis. Hmmmmm adalah akronim dari kata bahasa Inggris untuk holistic (bukan-
gabungan), manipulatif (ucapan merupakan perintah atau sugesti, bukan penjelasan), multi-modal
(akustik sebagaimana isyarat dan mimik), musical (bersifat musik), dan mimetic.[128]
Homo heidelbergensis
Lihat pula: Homo heidelbergensis: Bahasa
H. heidelbergensis adalah kerabat dekat (kebanyakan mungkin karena turunan dari bermigrasi)
dari Homo ergaster. H. ergaster beberapa peneliti percaya bahwa spesies ini sebagai hominid
pertama yang dapat membuat suara yang terkontrol, kemungkinan meniru vokalisasi hewan lain.
[129]
dan H. heidelbergensis mengembangkan kultur yang lebih rumit sejak dari titik tersebut dan
mungkin mengembangkan bentuk bahasa simbolik pertama.
Homo neanderthalensis
Lihat pula: Perilaku Neanderthal: Bahasa
Penemuan tulang hyoid Neanderthal pada tahun 2007 menyatakan bahwa Neanderthal secara
anatomis bisa saja menghasilkan suara seperti manusia modern. Saraf hypoglossal, yang dikirim
lewat kanal, mengontrol pergerakan lidah dan ukurannya dikatakan mempengaruhi kemampuan
berbicara. Hominid yang hidup lebih dari 300,000 tahun lalu memiliki kanal hypoglossal lebih
mirip dengan simpanse daripada manusia. [130] [131] [132]
Homo sapiens
Lihat pula: Manusia modern anatomis dan Perilaku modernitas
Anatomi manusia modern pertama muncul dalam catatan fosil 195.000 tahun yang lalu di
Ethiopia. Tapi walau modern secara anatomis, bukti arkeologi yang ada meninggalkan hanya
sedikit indikasi bahwa mereka berperilaku berbeda dengan Homo heidelbergensis. Mereka
memiliki alat batu Acheulean yang sama dan berburu sedikit efisien dari manusia modern Late
Pleistocene. [135] Transisi ke yang lebih canggih Mousterian terjadi sekitar 120,000 tahun lalu, dan
ini terjadi pada masa H. sapiens dan H. neanderthalensis.
Perkembangan Perilaku modernitas pada H. sapiens, yang tidak terjadi pada H. neanderthalensis
atau variasi Homo lainnya, berkisar antara 70.000 sampai 50.000 tahun yang lalu.
Perkembangan alat yang lebih canggih, pertama kalinya terbentuk lebih dari satu materi (contoh:
tulang atau tanduk) dan dapat dikelompokan dalam beberapa kategori dan fungsi (seperti ujung
proyektil, alat ukir, pisau, dan alat penggerekan dan tusuk) dianggap sebagai bukti munculnya
dan berkembangnya bahasa yang utuh, diasumsikan karena ia dibutuhkan untuk mengajarkan
proses manufaktur kepada para turunannya. [133] [136]
Langkah terbesar[diragukan diskusikan] dalam evolusi bahasa adalah progres dari primitif, komunikasi
seperti bahasa pijin ke komunikasi berbentuk kreol dengan tata-bahasa dan sintak seperti bahasa
modern. [113]
Beberapa ahli percaya bahwa langkah ini hanya dapat terjadi karena perubahan biologis pada
otak, seperti mutasi. Juga dikatakan bahwa gen seperti FOXP2 mungkin telah bermutasi
membuat manusa dapat berkomunikasi.[diragukan diskusikan] Namun, penelitian genetik terbaru
memperlihatkan bahwa Neandertal berbagi FOXP2 dengan H. sapiens. [137] Oleh sebab itu ia
tidak memiliki mutasi yang unik dengan H. sapiens. Malahan, ia mengindikasikan bahwa
perubahan genetik mendahului Neandertal -- H. sapiens terpisah.
Masih banyak debat tentang apakah bahasa berkembang secara bertahap selama ribuan tahun
atau muncul secara langsung.
Area Broca dan Wernicke pada otak primata juga muncul di otak manusia, area pertama yang
ikut serta dalam banyak pekerjaan kognitif dan persepsi, yang berakhir pada kemampuan
berbahasa. Sirkuit yang sama pada otak primata, sistem stem dan limbic, mengatur suara non-
verbal pada manusia (tertawa, menangis, dll), yang menyatakan bahwa pusat bahasa manusia
adalah modifikasi sirkuit neural yang umum pada semua primata. Modifikasi dan skil untuk
komunikasi linguis ini tampak sangat unik pada manusia, yang menyiratkan bahwa organ bahasa
yang diturunkan setelah garis keturunan manusia terpisah dari garis keturunan primata (simpanse
dan bonobo). Secara jelas menyatakan, bahasa kata adalah modifikasi dari laring yang unik pada
manusia. [117]
Menurut hipotesis Asal-usul dari Afrika, sekitar 50.000 tahun lalu [138] sekelompok manusia
meninggalkan Afrika dan berlanjut mendiami hampir sebagian dari bumi, termasuk Australia dan
Amerika, yang mana belum pernah dihuni oleh hominid kuno. Beberapa ilmuwan [139] percaya
bahwa Homo sapiens tidak meninggalkan Afrika sebelum itu, karena mereka belum memiliki
kesadaran dan bahasa modern, dan makanya tidak memiliki kemampuan atau jumlah yang
dibutuhkan untuk migrasi. Walaupun demikian, adanya fakta bahwa Homo erectus berhasil
meninggalkan benua lebih awal (tanpa kemampuan yang luas dari bahasa, peralatan yang
memadai, atau anatomi yang modern), alasan kenapa anatomi manusia modern masih berada di
Afrika untuk waktu yang lama masih belum jelas.
Semua manusia memiliki bahasa. Ini termasuk populasi, seperti Penduduk Asli Tasmania dan
Andaman, yang telah terisolasi selama 40.000 tahun lebih.
Linguistik monogenesis adalah hipotesis bahwa ada sebuah proto-bahasa, terkadang disebut
proto-manusia, dan dari situ semua vokal pada bahasa diturunkan. (hal ini tidak berlaku pada
bahasa isyarat, yang diketahui muncul secara tersendiri bukan secara berkelanjutan.) Jika asumsi
tentang bahasa "proto-manusia" diterima, perkiraan waktunya mungkin sekitar 200.000 tahun
lalu (zaman Homo sapiens) dan 50.000 tahun lalu (zaman perilaku modernitas).[butuh rujukan]
Usaha ilmiah serius yang pertama untuk mencoba menetapkan realitas dari monogenesis adalah
dari Alfredo Trombetti, dalam bukunya L'unit d'origine del linguaggio, diterbitkan tahun 1905
(cf. Ruhlen 1994:263). Trombetti memperkirakan bahwa leluhur bersama bahasa-bahasa yang
ada sekarang telah dituturkan antara 100.000 dan 200.000 tahun lalu (1922:315).
Monogenesis ditolak oleh banyak ahli bahasa pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, saat
doktrin poligenesis ras manusia dan bahasa mereka mendapatkan pengaruh (misalnya Saussure
1986/1916:190).
Pendukung terbaik dari monogenesis di Amerika pada pertengahan abad ke-20 adalah Morris
Swadesh (cf. Ruhlen 1994:215). Dia mempelopori dua metode penting untuk menginvestigasi
hubungan mendalam antara bahasa-bahasa, leksikostatistik dan glotokronologi.
Hipotesis multiregional mengharuskan bahwa bahasa modern berkembang secara tersendiri di
semua benua, sebuah dalil yang dianggap masuk akal oleh pendukung monogenesis. [140] [141]
Berdasarkan hipotesis tersebut, manusia pertama muncul pada awal Pleistosen dua juta tahun
lalu dan evolusi manusia berikutnya telah terjadi dalam spesies manusia tunggal dan
berkelanjutan. Spesies ini mengikutkan wujud-wujud manusia purba seperti Homo erectus dan
Neanderthal dan juga wujud modernnya, dan berevolusi ke seluruh dunia sampai ke beragam
populasi dari Homo sapiens sapiens modern. Teori ini berpendapat bahwa manusia berevolusi
lewat suatu kombinasi adaptasi dalam berbagai wilayah dunia dan aliran gen antara wilayah-
wilayah tersebut. Pendukung dari asal mula multiregional menunjuk pada fosil dan data genomik
dan kontinuitas dari kultur-kultur arkeologis sebagai pendukung hipotesis mereka.
Descended laring dikenal sebagai struktur unik pada sistem vokal manusia dan penting sekali
dalam perkembangan bicara dan bahasa. Namun, ia juga telah ditemukan di spesies lainnya,
termasuk mamalia laut dan rusa besar (contohnya:Red Deer), dan laring diobservasi telah
diwarisi selama vokalisasi pada anjing, kambing, dan buaya. Pada manusia, descended laring
menyebabkan panjangnya sistem vokal dan mengembangkan jenis-jenis suara manusia yang
dapat dikeluarkan. Beberapa ilmuwan mengklaim bahwa adanya komunikasi non-verbal pada
manusia sebagai bukti dari descended laring bukan bagian esensial terhadap perkembangan
bahasa.
Descended laring memiliki fungsi selain linguistik juga, mungkin terlalu membesar-besarkan
ukuran yang terlihat pada binatang (lewat vokalisasi yang rendah dari nada yang diharapkan).
Karenanya, walaupun memainkan peranan penting dalam menghasilkan suara, memperluas
keberagaman suara yang dapat dihasilkan manusia, ia mungkin tidak berkembang secara khusus
untuk tujuan tersebut, seperti yang disarankan oleh Jeffrey Laitman, dan oleh Hauser, Chomsky,
dan Fitch (2002), bisa saja merupakan contoh dari praadaptasi.
Kemampuan mengkontrol lidah manusia juga harus diperhitungkan. Sebagai akibat dari
meningkatnya intelegensi, otak manusia dapat mengkontrol organ dan sekelilingnya secara lebih
tepat. Oleh karena itu, lidah lebih kreatif dalam meliukkan, menggabungkan, menghentikan dan
mengeluarkan getar suara yang dihasilkan oleh laring.
Sejarah
Pencarian terhadap asal mula bahasa memiliki sejarah yang panjang dan berakar dari mitologi.
Kebanyakan mitologi tidak menganggap manusia sebagai penemu bahasa, tetapi menganggapnya
sebagai ucapan ilahi mendahului bahasa manusia. Bahasa mistik digunakan untuk berkomunikasi
dengan binatang atau roh, seperti bahasa burung, juga banyak, dan cukup menarik pada masa
Renaisans.
Vc adalah dewi bahasa di, atau "penjelmaan perkataan". Sebagai "pengucapan yang suci"
brahman, dia memiliki peran kosmologis sebagai "Ibu dari Veda". Berdasarkan kisah Aztek,
hanya seorang laki-laki, Coxcox, dan seorang wanita, Xochiquetzal, yang bertahan, dari
mengapung di atas potongan kulit pohon. Mereka terdampar di sebuah daratan dan melahirkan
banyak anak yang saat pertama kali lahir tidak bisa berbicara, tapi selanjutnya, saat datangnya
sebuah merpati yang diberkahi dengan bahasa, walaupun masing-masing dari mereka diberikan
bahasa yang berbeda supaya mereka tidak bisa memahami satu sama lain. [142]
Sumber-sumber mistisisme seperti itu bisa dipahami telah berkembang bersamaan dengan
pemikiran bahwa nasib seseorang terikat dengan keinginan dewa/tuhan, alam, dll. Dalam sejarah,
bahasa dianggap sebagai sesuatu yang diwariskan secara ilahi sama seperti tanaman (misalnya,
padi) yang dianugrahkan oleh dewa kebajikan dan alam. Saat misteri tentang bagaimana tanaman
tumbuh hilang seiring dengan berkembangnya teknologi, begitu juga dengan pemikiran tentang
bahasa yang diturukan secara ilahi juga akan lambat laun menghilang.
Percobaan Historis
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Percobaan menghilangkan bahasa
Sejarah memiliki sejumlah anekdot tentang orang yang mencoba menemukan asal mula bahasa
dengan bereksperimen. Kisah pertama diceritakan oleh Herodotus (Sejarah 2.2). Ia mengatakan
bahwa Firaun Psammetichus (mungkin Psamtik I, dari abad ke-7 SM) memilih dua anak yang
dibesarkan oleh seorang penggembala, dengan instruksi bahwa tidak ada yang boleh berbicara
dengan mereka, tapi si penggembala harus memberi makan dan menjaga mereka sementara
mendengarkan kata pertama mereka. Saat salah satu anak menangiskan kata "bekos" dengan
tangan yang terulur. Si penggembala mengasumsikan bahwa kata tersebut adalah bahasa Frigia
karena seperti itulah bahasa Frigia untuk kata roti. Dari hal tersebut Psammetichus
menyimpulkan bahwa bahasa pertama adalah Frigia. Raja James V dari Skotlandia dikatakan
melakukan percobaan yang sama: anaknya dikatakan berbicara bahasa Ibrani. [143] Dua raja pada
abad pertengahan Frederick II dan Akbar dikatakan melakukan percobaan yang sama; anak yang
ikut dalam percobaan tersebut tidak berbicara. [144]
Sejarah penelitian
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Evolusi linguistik
Akhir abad ke-18 sampai awal abad ke-19 ilmuwan Eropa mengasumsikan bahwa bahasa di
dunia merefleksikan bermacam tingkatan perkembangan dari primitif sampai ucapan tingkat
lanjut, mencapai puncaknya pada rumpun bahasa Indo-Eropa, dianggap sebagai yang paling
berkembang.[butuh rujukan]
Linguistik modern tidak muncul sampai akhir abad 18, dan tesis Romantis atau animisme dari
Johann Gottfried Herder dan Johann Christoph Adelung masih berpengaruh sampai abad 19.
Pertanyaan mengenai asal mula bahasa tampak tidak dapat dilacak dengan pendekatan metodis,
dan pada tahun 1866 Linguistic Society of Paris secara terkenal melarang semua diskusi
mengenai asal mula bahasa, menganggapnya sebagai masalah yang tidak terjawab.
Meningkatnya pendekatan sistematik terhadap sejarah linguistik berkembang pada abad 19,
mencapai puncaknya pada ajaran Junggrammatiker dari Karl Brugmann dan lainnya.
Walaupun begitu, ketertarikan ilmuwan terhadap pertanyaan dari asal mula bahasa secara
berangsur-angsur hidup kembali sejak tahun 1950-an (dan secara kontroversial) dengan ide-ide
seperti tata bahasa universal, Perbandingan massa dan glotokronologi.
"Asal mula bahasa" sebagai subjek tersendiri muncul dari pembelajaran dalam neurolinguistik,
psikolinguistik dan evolusi manusia. Linguistic Bibliography memperkenalkan "Origin of
language" (asal mula bahasa) sebagai topik terpisah pada tahun 1988, sebagai sub-topik dari
psikolinguistik. Institut penelitian khusus terhadap evolusi linguistik adalah fenomena baru,
muncul sejak tahun 1990-an.
Lihat juga
Akuisisi bahasa
Catatan
15. ^ Knight, C. and C. Power (2011). Social conditions for the evolutionary
emergence of language. In M. Tallerman and K. Gibson (eds), Handbook of
Language Evolution. Oxford: Oxford University Press, pp. 346-49.
16. ^ Rappaport, R. A. (1999). Ritual and Religion in the Making of
Humanity. Cambridge: Cambridge University Press.
27. ^ Knight, C., (2009). Language, ochre and the rule of law. In R. Botha
and C. Knight (eds), The Cradle of Language. Oxford: Oxford University Press,
pp. 281-303.
28. ^ Watts, I. (2009). Red ochre, body painting, and language:
interpreting the Blombos ochre. In R. Botha and C. Knight (eds), The Cradle of
Language. Oxford: Oxford University Press, pp. 62-92.
32. ^ Botha, R. and C. Knight (eds) 2009. The Cradle of Language. Oxford:
Oxford University Press.
36. ^ Mller, F. M. 1996 [1861]. The theoretical stage, and the origin of
language. Lecture 9 from Lectures on the Science of Language. Reprinted in
R. Harris (ed.), The Origin of Language. Bristol: Thoemmes Press, pp. 7-41.
38. ^ Firth, J. R. 1964. The Tongues of Men and Speech. London: Oxford
University Press, pp. 25-6.
39. ^ Stam, J. H. 1976. Inquiries into the origins of language. New York:
Harper and Row, p. 243-44.
45. ^ Power, C. 1998. Old wives tales: the gossip hypothesis and the
reliability of cheap signals. In J. R. Hurford, M. Studdert Kennedy and C. Knight
(eds), Approaches to the Evolution of Language: Social and Cognitive Bases.
Cambridge: Cambridge University Press, pp. 111 29.
52. ^ Dessalles, J.-L. 1998. Altruism, status and the origin of relevance. In
J. R. Hurford, M. Studdert-Kennedy and C. Knight (eds), Approaches to the
Evolution of Language. Social and cognitive bases. Cambridge: Cambridge
University Press, pp. 130-147.
53. ^ Dunbar, R. I. M. 1996. Grooming, Gossip and the Evolution of
Language. London: Faber and Faber.
54. ^ Power, C. 1998. Old wives tales: the gossip hypothesis and the
reliability of cheap signals. In J. R. Hurford, M. Studdert Kennedy and C. Knight
(eds), Approaches to the Evolution of Language: Social and Cognitive Bases.
Cambridge: Cambridge University Press, pp. 111-29.
55. ^ M.H. Klaus and J.H. Kennel, Maternal Infant Bonding (Mosby, St Louis,
1976); P. De Chateau, Birth Family J. 41, 10 (1977).
58. ^ Lewis, J. 2009. As well as words: Congo Pygmy hunting, mimicry, and
play. In R. Botha and C. Knight (eds), The Cradle of Language. Oxford: Oxford
University Press, pp. 236-256.
60. ^ Power, C. 1998. Old wives tales: the gossip hypothesis and the
reliability of cheap signals. In J. R. Hurford, M. Studdert Kennedy and C. Knight
(eds), Approaches to the Evolution of Language: Social and Cognitive Bases.
Cambridge: Cambridge University Press, pp. 111 29.
61. ^ Watts, I. 2009. Red ochre, body painting, and language: interpreting
the Blombos ochre. In R. Botha and C. Knight (eds), The Cradle of Language.
Oxford: Oxford University Press, pp. 62-92.
70. ^ Mark Pagel , War of Words , New Scientist , number 2894 , page 38 ,
08-Dec-2012.
71. ^ Premack, David & Premack, Ann James. The Mind of an Ape, ISBN 0-
393-01581-5.
73. ^ Newman, A. J. et al. (2002). "A Critical Period for Right Hemisphere
Recruitment in American Sign Language Processing". Nature Neuroscience 5
(1): 7680. doi:10.1038/nn775. PMID 11753419.
75. ^ Knight, C. 2008. Language co-evolved with the rule of law. "Mind and
Society" 7(1) 109-128.
88. ^ Moro, Andrea (2008). The Boundaries of Babel. The Brain and the
Enigma of Impossible Languages. MIT Press. p. 257. ISBN 978-0-262-13498-9.
Check |isbn= value (bantuan).
90. ^ Kaye, K. (1982). The Mental and Social Life of Babies. Univ. Chicago
Press. p. 186. ISBN 0226428486.
101. ^ Lakoff, G. and R. Nez 2000. Where mathematics comes from. New
York: Basic Books.
108. ^ Joseph Jordania, Who Asked the First Question? Origins of Human
Choral Singing, Intelligence, Language, and Speech. Logos, 2006
112. ^ Hauser, Chomsky, Fitch, Science, Vol. 298, No. 5598 (Nov. 22, 2002),
p. 1577
119. ^ RedOrbit: Primate and Human Language Use Same Brain Regions
124. ^ John Ohala, (2000). The irrelevance of the lowered larynx in modern
man for the development of speech]. In Evolution of Language - Paris
conference (pp. 171-172).
127. ^ Ruhlen, Merritt (1994). Origin of Language. New York, NY: Wiley. p. 3.
ISBN 0-471-58426-6. Earlier human ancestors, such as Homo habilis and
Homo erectus, would likely have possessed less developed forms of
language, forms intermediate between the rudimentary communicative
systems of, say, chimpanzees and modern human languages
131. ^ DeGusta, David et al. (1999). "Hypoglossal Canal Size and Hominid
Speech". Proceedings of the National Academy of Sciences of the United
States of America 96 (4): 18001804. doi:10.1073/pnas.96.4.1800.
PMC 15600. PMID 9990105. Diakses tanggal 2007-09-10. Hypoglossal canal
size has previously been used to date the origin of human-like speech
capabilities to at least 400,000 years ago and to assign modern human vocal
abilities to Neandertals. These conclusions are based on the hypothesis that
the size of the hypoglossal canal is indicative of speech capabilities.
136. ^ Wolpert, Lewis (2006). Six impossible things before breakfast, The
evolutionary origins of belief. New York: Norton. p. 81. ISBN 0-393-06449-2.
Referensi
Allott, Robin (1989). The Motor Theory of Language Origin. Sussex, England:
Book Guild. ISBN 0-86332-359-6.
Cangelosi, A., A. Greco, and Harnad, S. (2002) "Symbol grounding and the
symbolic theft hypothesis." Simulating the Evolution of Language, edited by
A. Cangelosi and D. Parisi. London: Springer.
Ginzburg, Carlo (1984). "Morelli, Freud, and Sherlock Holmes: Clues and
Scientific Method". Di Eco, Umberto; Sebeok, Thomas. The Sign of Three:
Dupin, Holmes, Peirce. Bloomington, IN: History Workshop, Indiana University
Press. pp. 81118. ISBN 978-0-253-35235-4. Ginzburg menyadari bahwa
paradigma membaca kejadian pada masa lalu lewat tanda-tandanya pada
masa sekarang bermula dari praktik primitif dari para pelacak.
Hauser, Marc D.; Chomsky, Noam; Fitch, W. Tecumseh (2002). "The faculty of
language: What is it, who has it, and how did it evolve?". Science 298 (5598):
15691579. doi:10.1126/science.298.5598.1569. PMID 12446899.
Hurford, James R. (1990). "Nativist and functional explanations in language
acquisition." Logical Issues in Language Acquisition, edited by I.M. Roca, 85
136. Dordrecht: Foris. ISBN 90-6765-506-6.
Kenneally, Christine (2007). The First Word: The Search for the Origins of
Language. New York: Viking.
Knight, C., and C. Power (2011). Social conditions for the evolutionary
emergence of language. In M. Tallerman and K. Gibson (eds), Handbook of
Language Evolution. Oxford: Oxford University Press, pp. 34649.
Laitman, J.T. and Reidenberg, J.S. (2009) The evolution of the human larynx:
Natures great experiment. In: Fried M.P., Ferlito, A. eds. The Larynx, 3rd ed.,
Plural, San Diego, 19-38.
Pinker, Steven (2000). The Language Instinct: How the Mind Creates
Language. New York: Harper Perennial Modern Classics. ISBN 0-06-095833-2.
Pollick, Amy. S and Frans B.M. de Waal (2007). "Ape gestures and language
evolution." [1] Proceedings of the National Academy of Sciences 104.19,
81848189. (Also: Popular summary by Liz Williams, "Human language born
from ape gestures", Cosmos, May 1, 2007.)
Botha, R. and C. Knight (eds) 2009. The Cradle of Language. Oxford: Oxford
University Press.
Burling, R. 2005. The Talking Ape. How language evolved. Oxford: Oxford
University Press.
Dunbar, R. I. M., C. Knight and C. Power (eds), 1999. The Evolution of Culture.
An interdisciplinary view. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Harnad, S. R., H. D. Steklis and J. Lancaster (eds), 1976. Origins and Evolution
of Language and Speech. New York: Annals of the New York Academy of
Sciences.
Pranala luar