Anda di halaman 1dari 35

TUGAS PRESENTASI KASUS

Gravida 2 Paritas 1 Abortus 0, Usia 30 tahun, Hamil 6 Minggu 1 Hari Dengan


Kehamilan Ektopik Terganggu

Pembimbing :
dr. Setya Dian Karika, Sp.OG

Disusun Oleh:

Melly Fitriani Syam G4A015162


Tomy Gyanovan G4A015163
Tedi Ismayadi G4A015164

SMF ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN


RSUD PROF. Dr. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2016
HALAMAN PENGESAHAN

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti ujian


di Bagian Obstetri dan Ginekologi Program Profesi Dokter
di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Disusun Oleh :
Melly Fitriani Syam G4A015162
Tomy Gyanovan G4A015163
Tedi Ismayadi G4A015164

Purwokerto, September 2016

Mengetahui,
Dokter Pembimbing,

dr. Setya Dian Kartika, Sp.OG


1

BAB I
PENDAHULUAN
Kehamilan Ektopik Terganggu (KET) merupakan kehamilan ektopik yang

disertai dengan gejala akut abdomen. Kondisi ini merupakan kondisi yang gawat

yang bila lambat ditangani akan berakibat fatal bagi penderita. Kehamilan Ektopik

Terganggu (KET) merupakan salah satu masalah di bidang ginekologi yang


berkontribusi pada mortalitas maternal (Cunningham, 2014).
Menurut American College of Obstericians and Gynecologists (2008), 2%
dari seluruh kehamilan di trimester pertama di Amerika Serikat adalah kehamilan
ektopik. Jumlah ini berkontribusi sekitar 6% pada semua kematian terkait kehamilan.
Riset World Health Organization (WHO) 2007 menunjukkan bahwa, KET merupakan
penyebab satu dari 200 (5-6%) mortalitas maternal di negara maju.Dengan 60.000
kasus setiap tahun atau 3% dari populasi masyarakat, angka kejadian KET di
Indonesia diperkirakan tidak jauh berbeda dengan negara maju, menurut WHO
(Cunningham, 2014).
Dalam penanganan kehamilan ektopik, diagnosis yang tepat dan cepat
merupakan hal yang sangat penting karena dapat menurunkan angka kematian ibu
dan mempertahankan kualitas reproduksinya. Gambaran klinis KET ditandai oleh
trias klasik yaitu amenore, nyeri abdomen akut dan perdarahan pervaginam. Namun
kadang-kadang gambaran klinis KET tidak khas, sehingga menyulitkan diagnosa
(Cunningham, 2014).
Diagnosis kehamilan ektopik secara umum ditegakkan berdasarkan beberapa
faktor yaitu: Deteksi dini kelompok resiko tinggi., riwayat obstetrik dan pemeriksaan
fisik, pemeriksaan laboratorium (tes kehamilan), kuldosentesis, USG dan laparoskopi
(Cunningham, 2014).
2

BAB II
LAPORAN KASUS

A Identitas
Nama : Ny. A.K
Umur : 32 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pendidikan Terakhir : SMA
Alamat : Winduaji 11/02 Paguyangan
Agama : Islam
Suku Bangsa : Jawa
Status : Menikah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Nama Suami : Tn. T
Umur : 35 tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Pendidikan Terakhir : SMP
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Winduaji 11/02 Paguyangan
Agama : Islam
Tanggal masuk RSMS : 8 Agustus 2016
Tanggal periksa : 8 Agustus 2016
No.CM : 00254294

B Anamnesis
I. Keluhan Utama
Nyeri perut bawah
II. Keluhan Tambahan
Perdarahan jalan lahir berupa flek
3

III. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke VK IGD Rumah Sakit Margono Soekarjo rujukan
dari Rumah Sakit Ajibarang dengan suspek KET. Pada saat memeriksakan
diri ke RS Ajibarang, pasien baru mengetahui bahwa dirinya hamil. Hasil
pemeriksaan didapati pasien diduga mengalami kehamilan diluar rahim
sehingga di rujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah Margono Soekarjo untuk
dilakukan pemeriksaan USG.
Pasien merasakan nyeri perut bawah sejak 3 hari yang lalu. Nyeri
dirasakan hilang timbul, disertai perdarahan dari jalan lahir. Perdarahan
tampak berwarna merah kehitaman, keluar banyak. Pasein tidak mengeluhkan
demam, mual, muntah. Pasien sedang hamil ke dua dengan kehamilan 6
minggu 1 hari. HPHT 26 Agustus 2016 dengan perkiraan lahir 2 Juni 2017.
Pasien tidak memiliki riwayat keguguran sebelumnya. Dari hasil pemeriksaan
USG di Rumah sakit margono Soekarjo didapatkan hasil : kehamilan ektopik
terganggu.

IV. Riwayat Penyakit Dahulu


1. Penyakit Jantung : disangkal
2. Penyakit Paru : disangkal
3 Penyakit Diabetes Melitus : disangkal
4 Penyakit Ginjal : disangkal
5 Penyakit Hipertensi : disangkal
6 Riwayat Alergi : disangkal
7 Riwayat penyakit hati : disangkal
8 Riwayat alergi : disangkal
9 Riwayat asma : disangkal
10 Riwayat keluhan yang sama : disangkal
11 Riwayat tumor kandungan : disangkal
4

V. Riwayat Penyakit Keluarga


1. Penyakit Jantung : disangkal
2. Penyakit Paru : disangkal
3. Penyakit Diabetes Melitus : disangkal
4. Penyakit Ginjal : disangkal
5. Penyakit Hipertensi : disangkal
6. Riwayat Alergi : disangkal
7. Riwayat penyakit hati : disangkal
8. Riwayat alergi : disangkal
9. Riwayat asma : disangkal
10. Riwayat keluhan yang sama : disangkal
11. Riwayat Penyakit kandungan : disangkal
VI. Riwayat Menstruasi
1 Menarche : 13 tahun
2 Lama haid : 7 hari
3 Siklus haid : teratur, 1x/bulan
4 Dismenorrhea : tidak ada
5 Jumlah darah haid : normal (sehari ganti pembalut 2-3 kali)
VII. Riwayat Menikah
Pasien menikah sebanyak satu kali selama kurang lebih 3 tahun.
VIII. Riwayat Obstetri
G2P1A0
Anak I : Laki-laki / 2 tahun/ spontan/bidan/2950gr
Anak 2 : Hamil ini
IX. Riwayat KB
Pasien pernah menggunakan KB suntik 1x dalam 6 bulan setelah hamil
pertama, kemudian berhenti memakai KB suntik.
X. Riwayat Ginekologi
1. Riwayat Operasi : tidak ada
5

2. Riwayat Kuret : tidak ada


3. Riwayat Keputihan : pernah, setelah kehamilan pertama, kadang
kadang, warna putih, kental, gatal, jumlah sedikit, tanpa nyeri.
4. Riwayat perdarahan pervaginam: perdarahan warna merah kehitaman,
sedang, disertai nyeri perut ( Agustus 2016)
XI. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien merupakan ibu rumah tangga dan suaminya bekerja sebagai buruh.
Kesan sosial ekonomi keluarga adalah golongan menegah ke bawah. Pasien
menggunakan Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS-PBI) dalam
masalah kontrol kehamilan dan persalinan. Pasien tidak memiliki riwayat
merokok. Sebelum pasien sakit, biasanya pasien makan 3 kali sehari. Pasien
jarang berolahraga. Riwayat konsumsi obat-obatan disangkal.
C Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : GCS E4M6V5 ( Compos Mentis)
Vital Sign :Tekanan Darah : 100/60 mmHg,
Nadi : 100 x/menit,
Respiratori Rate : 20 x/menit
Suhu : 37 C
Tinggi Badan : 158 cm
Berat Badan : 57 kg
Status Gizi : cukup
a) Status Generalis
1 Pemeriksaan kepala
Bentuk kepala : Mesocephal, simetris
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, refleks pupil
+/+ normal, isokor, diameter 3/3 mm
Telinga : discharge -/- deformitas -/-
Hidung : discharge -/-, nafas cuping hidung -/-
Mulut : sianosis (-), lidah kotor -/-
6

2 Pemeriksaan leher
Trakea : deviasi trakea (-)
Gld Tiroid : tidak teraba
Limfonodi Colli : tidak teraba
3 Pemeriksaan Toraks
a Paru
Inspeksi : Dada simetris, ketertinggalan gerak (-), retraksi intercosta (-),
pulsasi epigastrium (-), pulsasi parasternal (-)
Palpasi : Vokal fremitus paru kanan = paru kiri
Ketertinggalan gerak (-)
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara Dasar vesikuler +/+ , SuaraTambahan -/-
b Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tampak SIC V 2 jari medial LMCS
Palpasi : Ictus cordis tampak SIC V 2 jari medial LMCS
ictus cordis kuat angkat (-)
Perkusi : Batas jantung
Kanan atas SIC II LPSD
Kiri atas SIC II LPSS
Kanan bawah SIC IV LPSD
Kiri bawah SIC V 2 jari medial LMCS
Auskultasi : S1>S2, regular, ST -/-
4 Pemeriksaan ekstermitas
Superior : Edema (-/-), jari tabuh (-/-), pucat (-/-), sianosis -/-
Inferior : Edema (-/-), jari tabuh (-/-), pucat (-/-), sianosis -/-
b) Status Lokalis
Abdomen
Inspeksi : datar, venektasi (-), Spider nevi (-), striae gravidarum
(-)
7

Palpasi : Tegang, Tidak teraba bagian janin, nyeri tekan + regio


lower quadran dekstra
Perkusi : Tympani
Auskultasi : BU (+) Normal, regular

c) Pemeriksaan Genitalia
1 Regio Genitalia
Inspeksi :
Rambut pubis tersebar merata, Edema vulva (-), Benjolan (-), Varises (-),
Fluor (-), Perdarahan (+) warna merah kehitaman
2 Vaginal toucher :
a Fluor albus : tidak ada
b Perdarahan pervaginam : flek
c Vagina : Dinding licin, Konsistensi kenyal, Massa (-)
a. Permukaan portio : licin
b. Konsistensi portio : lunak,
c. Ukuran portio : sebesar ibu jari tangan orang dewasa
d. Nyeri goyang postio : positif
e. OUE : terbuka kurang lebih 1 cm
f. Adneksa : Normal
g. Kavum Douglas : tidak ada penonjolan.

D Pemeriksaan Laboratorium

JENIS 8/8/2016 NILAI RUJUKAN


PEMERIKSAAN
Hb 8.9 11.7-15.5
Leukosit 18010 3600-11000
Hematokrit 25 35-47
8

Eritrosit 3,0 3.8-5.2


Trombosit 276000 150000-440000
MCV 84.8 80-100
MCH 30.0 26-34
MCHC 35.3 32-36
PT 10.2 9.3-11.4
APTT 28.1 29-40.2
Kehamilan Positif Negatif

Pemeriksaan USG (8 Agustus 2016)


Dilakukan oleh dr. Widodo (residen obsgin). Hasil: KET

E Diagnosis
G2P1A0 Usia 30 tahun Hamil 6 Minggu 1 Hari Dengan Kehamilan Ektopik
Terganggu

F Diagnosis Banding
Appendisitis akut
Adneksitis
Kista ovarii
Abortus imminen
Ureteritis

G Tatalaksana
Infus D5 20 tpm
Inj Ceftriaxon 2x1 gr
Inj Ranitidine 2x1 amp
Inj Ketorolac 3x30 mg
Inj Kalnex 3x1 gr
Pro laparotomy cito

Follow Up Pasien tanggal 8/8/16


Pukul 14.40 dr. Widodo periksa USG. Intruksi : Laparotomi cito, rawat
HCU. Lapor dr. Daliman Sp. OG dg intruksi: ACC pengelolaan,
rawat HCU, usaha darah 2 prc
9

Pukul 14.45 Hasil lab keluar, tes kehamilan positif


Persiapan operasi cito
Pukul 18.15 Op laparotomi dimulai
Pukul 18.45 Op selesai
Pukul 21.15 KU: Baik/CM
TD: 90/70 N: 90x/m RR: 20 PPV: dbn
Follow Up Pasien tanggal 9/8/16
Pukul 00.00 KU : Baik/CM
TD: 100/70 N: 92x/m RR: 20 PPV: dbn
Pukul 04.00 KU; Baik/CM
TD: 100/70 N: 90x/m RR: 20 PPV: dbn
Pukul 05.30 KU: Baik/CM
TD: 100/70 N:89x/m RR: 20 PPV: dbn
Pukul 08.00 KU: Baik/CM
TD: 110/70 N:92 x/m RR: 20 PPV: dbn
Lapor dr. Daliman, intruksi:
Cek Hb ulang
Rawat teratai
Jika Hb>7, tranfusi 1 kolf saja
JENIS 9/8/2016 NILAI RUJUKAN
PEMERIKSAAN
Hb 7.5 11.7-15.5
Leukosit 10620 3600-11000
Hematokrit 22 35-47
Eritrosit 2.6 3.8-5.2
Trombosit 212000 150000-440000
MCV 86.8 80-100
MCH 29.2 26-34
MCHC 33.3 32-36

Pukul 11.00 KU: Baik/CM


TD: 100/70 N: 72x/m RR: 20 PPV: dbn
Tranfusi darah 1 kolf
10

Follow up post operasi tanggal 9/08/2016


Jam 06.00 Anamnesis
S : nyeri bekas operasi, pusing ( - ), mual ( - ), muntah ( - ), bab ( - ),
flatus ( - )
O: TD : 110/70 mmHg,
Nadi : 88 x/ menit,
Respirasi Rate : 20x/ menit
Suhu : 36.6 C
Status lokalis Abdomen
Inspeksi : Datar, terdapat kassa (+), rembes (-)
Auskultasi : Bising Usus +
Palpasi : Nyeri Tekan +
Perkusi : Timpani
Status genetalis eksterna
PPV : +
Assemant :P1A1 usia 30 tahun post laparotomi explorasi salfingektomi
dextra a.i Kehamilan Ektopik Terganggu.
11

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Kehamilan ektopik merupakan keadaan blastokista yang tertanam di luar
lapisan endometrium rongga uterus. Kata ini berasal dari bahasa Yunani ektopos di
luar tempatnya (Cunningham, 2014).

B. Etiologi
Etiologi yang pasti dari kehamilan ektopik masih tidak diketahui, namun
diperkirakan implantasi tuba terjadi sebagai akibat dari kombinasi penangkapan
embrio di tuba fallopi dan perubahan lingkungan mikro di tuba yang
memungkinkan awal implantasi terjadi. Peradangan pada tuba, yang dihasilkan
dari Infeksi atau merokok, dapat mengganggu transportasi embryo-tubal dengan
mengganggu kontraktilitas otot polos dan aktivitas siliar dan dapat juga
mengaktifkan sinyal pro-implantasi (Cunningham, 2014).
12

C. Faktor risiko
Risiko tertinggi terjadinya kehamilan ektopik adalah riwayat kerusakan tuba,
baik karena kehamilan ektopik sebelumnya atau disebabkan pembedahan tuba
untuk mengatasi infertilitas atau untuk sterilisasi. Kemungkinan mengalami
kehamilan ektopik setelah 1 kali mengalami kehamilan ektopik sebesar 10%.
Infertilitas dan pemakaian ART (Assisted Reproductive Technology) dilaporkan
berkaitan dengan peningkatan substantive risiko kehamilan ektopik. Riwayat
infeksi tuba atau penyakit menular seksual lain juga merupakan faktor risiko
umum. Merokok juga menjadi faktor risiko kehamilan etopik yang menjadi
penanda bagi infeksi infeksi di atas karena perilaku risiko tingi. Perlekatan
perituba akibat salpingitis, infeksi pasca-abortus atau masa nifas, apendisitis, atau
endometriosis, mungkin meningkatakan risiko kehamilan tuba. Serangan
salpingitis sebanyak 1 x kali dapat meningkatkan risiko kehamilan ektopik hampir
sebesar 9% (Arnolu, 2005; Cunningham, 2014).
Meskipun perempuan dengan kehamilan ektopik cenderung tidak
diidentifikasi dengan faktor risiko, namun penelitian case-controlled prospective
menunjukkan bahwa peningkatan kesadaran tentang kehamilan ektopik dan
pengetahuan tentang faktor resiko yang terkait perempuan membantu
mengidentifikasi wanita dengan faktor risiko lebih tinggi dalam rangka untuk
memfasilitasi diagnosis awal yang lebih akurat. Kebanyakan faktor resiko terkait
dengan kerusakan tuba falopi (tabel 1.) (Arnolu, 2005; Cunningham, 2014).
13

Tabel 1. Faktor risiko kehamilan ektopik (Arnolu,2005).

D. Epidemiologi
1. Insidensi
Di negara maju, sekitar 1-2 % dari kasus kehamilan yang dilaporkan
merupakan kehamilan ektopik (sebanding dengan insiden kehamilan kembar).
Insiden kehamilan ektopik dianggap lebih tinggi pada negara berkembang,
tetapi jumlahnya pasti belum diketahui. Meskipun di negara maju angka
kejadian kehamilan ektopik relative tetap dalam beberapa tahun terakhir, antara
tahun 1972-1992 diperkirakan terdapat kenaikan 6 kali kejadian kehamilan
ektopik. Peningkatan ini lebih disebabkan oleh tiga faktor: Peningkatan faktor
resiko seperti penyakit radang panggul dan merokok pada wanita usia
produktif, peningkatan penggunaan ART peningkatan kesadaran mengenai
kehamilan ektopik (Bakken, 2006; Cunningham, 2014).
2. Mortalitas dan morbiditas
Di inggris, kehamilan ektopik menjadi penyebab utama kematian terkait
kehamilan pada trimester pertama kematian ( 0,35/1000 kehamilan ektopik).
14

Namun di negara berkembang diperkirakan sekitar 10 % dari wanita yang


memeriksakan diri ke rumah sakit dengan diagnosis kehamilan ektopik
berakhir pada kematian. Kehamilan ektopik merupakan penyebab penting
dalam Morbiditas maternal, menyebabkan gejala akut seperti nyeri panggul dan
pendarahan vagina dan permasalahan kehamilan jangka panjang seperti
infertilitas (Bakken, 2006 ; Cunningham, 2014).

E. Patofisiologi
Proses implantasi ovum yang dibuahi yang terjadi di tuba pada dasarnya
sama dengan halnya di kavum uteri. Telur di tuba bernidasi secara kolumner atau
interkolumner. Implantasi secara kolumner yaitu telur berimplantasi pada ujung
atau sisi jonjot endosalping. Perkembangan telur selanjutnya dibatasi oleh
kurangnya vaskularisasi dan biasanya telur mati secara dini dan kemudian
diresorpsi. Pada nidasi secara interkolumner telur bernidasi antara dua jonjot
endosalping. Setelah tempat nidasi tertutup, maka telur dipisahkan dari lumen tuba
oleh lapisan jaringan yang menyerupai desidua dan dinamakan pseudokapsularis.
Karena pembentukan desidua di tuba tidak sempurna, dengan mudah vili korialis
menembus endosalping dan masuk ke dalam lapisan otot-otot tuba dengan
merusak jaringan dan pembuluh darah (Prawirohardjo S., 2005).
Perkembangan janin selanjutnya bergantung pada beberapa faktor, seperti
tempat implantasi, tebalnya dinding tuba dan banyaknya perdarahan yang terjadi
oleh invasi trofoblas. Di bawah pengaruh hormon estrogen dan progesteron dari
korpus luteum graviditas dan trofoblas, uterus menjadi besar dan lembek.
Endometrium dapat pula berubah menjadi desidua. Setelah janin mati, desidua
dalam uterus mengalami degenerasi dan kemudian dikeluarkan berkeping-keping
atau dilepaskan secara utuh. Perdarahan pervaginam yang dijumpai pada
kehamilan ektopik terganggu berasal dari uterus dan disebabkan oleh pelepasan
desidua yang degeneratif. Tuba bukanlah tempat untuk pertumbuhan hasil
konsepsi, sehingga tidak mungkin janin tumbuh secara utuh seperti dalam uterus.
15

Sebagian besar kehamilan tuba terganggu pada umur kehamilan antara 6 sampai
10 minggu (Prawirohardjo S., 2005).
Terdapat beberapa kemungkinan mengenai nasib kehamilan dalam tuba
yaitu 1 : 1. Hasil konsepsi mati dini dan diresorpsi Pada implantasi secara
kolumner, ovum yang dibuahi cepat mati karena vaskularisasi kurang dan dengan
mudah terjadi resorpsi total. Dalam keadaan ini penderita tidak mengeluh apa-apa
dan haidnya terlambat untuk beberapa hari. Abortus ke dalam lumen tuba
Perdarahan yang terjadi karena pembukaan pembuluh-pembuluh darah oleh villi
koriales pada dinding tuba di tempat implantasi dapat melepaskan mudigah dari
dinding tersebut bersama-sama dengan robeknya pseudokapsularis. Pelepasan ini
dapat terjadi sebagian atau seluruhnya. Bila pelepasan menyeluruh, mudigah dan
selaputnya dikeluarkan dalam lumen tuba dan kemudian didorong oleh darah ke
arah ostium tuba abdominale. Perdarahan yang berlangsung terus menyebabkan
tuba membesar dan kebiru-biruan (Hematosalping) dan selanjutnya darah mengalir
ke rongga perut melalui ostium tuba, berkumpul di kavum douglas dan akan
membentuk hematokel retrouterina. Ruptur dinding tuba atau ruptur tuba sering
terjadi bila ovum berimplantasi pada ismus dan biasanya pada kehamilan muda
(Prawirohardjo S., 2005).
Sebaliknya ruptur pada pars interstitialis terjadi pada kehamilan yang lebih
lanjut. Faktor utama yang menyebabkan ruptur ialah penembusan villi koriales ke
dalam lapisan muskularis tuba lalu ke peritoneum. Ruptur dapat terjadi secara
spontan atau karena trauma ringan. Darah dapat mengalir ke dalam rongga perut
melalui ostium tuba abdominale. Bila ostium tuba tersumbat, ruptur sekunder
dapat terjadi. Dalam hal ini, dinding tuba yang telah menipis oleh invasi trofoblas,
pecah karena tekanan darah dalam tuba. Kadang-kadang ruptur terjadi di arah
ligamentum latum dan terbentuk hematoma intraligamenter antara 2 lapisan
ligamentum tersebut. Jika janin hidup, dapat terjadi kehamilan intraligamenter
(Cunningham, 2014).
Pada ruptur ke rongga perut, seluruh janin dapat keluar dari tuba, tetapi bila
robekan tuba kecil, perdarahan terjadi tanpa hasil konsepsi dikeluarkan dari tuba.
16

Nasib janin bergantung pada tuanya kehamilan dan kerusakan yang diderita. Bila
janin mati dan masih kecil, dapat diresorpsi seluruhnya, dan bila besar dapat
diubah menjadi litopedion. Janin yang dikeluarkan dari tuba dengan masih
diselubungi oleh kantong amnion dan dengan plasenta masih utuh kemungkinan
tumbuh terus dalam rongga perut, sehingga terjadi kehamilan ektopik lanjut atau
kehamilan abdominal sekunder. Untuk mencukupi kebutuhan makanan bagi janin,
plasenta dari tuba akan meluaskan implantasinya ke jaringan sekitarnya misalnya
ke sebagian uterus, ligamentum latum, dasar panggul dan usus (Cunningham,
2014).

F. Klasifikasi
Hampir 95% kehamilan ektopik terimplantasi di berbagai segmen tuba
uterine. Dari kehamilan yang terjadi, sebagian besar terletak di ampula. Tempat
lain sebesar 5% tertanam di ovarium, rongga peritoneum, atau di dalam serviks
(Cunningham, 2014).

Gambar 1. Tempat tempat terjadinya implantasi kehamilan ektopik: (A)


Ampullary, 80%; (B) Isthmic, 12%; (C) Fimbrial, 5%; (D) Cornual/Interstitial,
2%; (E) Abdominal, 1.4%; (F) Ovarian, 0.2%; and (G) Cervical, 0.2%.

1. Kehamilan Tuba
17

Ovum yang telah dibuahi dapat tersangkut di bagian mana saja dari tuba
uterine yang menyebabkan kehamilan tuba ampula, ismus dan interstitium.
Pada kasus kasus yang jarang, ovum yang telah dibuahi mungkin tertanam di
ujung tuba uterine yang berfimbria. Ampula adalah tempat tersering, diikuti
oleh ishmus. Kehamilan interstisium terjadi hanya sekitasr 2% kasus. Dari tipe
tipe primer ini, kadang terjadi bentuk sekunder berupa kehamilan tubo-
abdomen, tubo-ovarium, dan ligamentum latum. Karena tuba tidak memiliki
lapisan submucosa, maka ovum yang telah dibuahi segera menembus epitel,
dan zigot akhirnya berada di dekat atau di dalam otot. Trofoblas yang cepat
berproliferasi dapat menginvasi muskularis sekitar, tetapi separuh dari
kehamilan ektopik ampula tetap berada di lumen tuba dengan lapisan otot tidak
terkena pada 85% kasus (Cunningham, 2014).
2. Kehamilan Pars Interstisialis Tuba
Kehamilan ektopik ini terjadi bila ovum bernidasi pada pars interstisialis
tuba. Keadaan ini jarang terjadi dan hanya satu persen dari semua kehamilan
tuba. Rupture pada keadaan ini terjadi pada kehamilan lebih tua, dapat
mencapai akhir bulan keempat. Perdarahan yang terjadi sangat banyak dan bila
tidak segera dioperasi akan menyebabkan kematian. Tindakan operasi yang
dilakukan adalah laparatomi untuk membersihkan isi kavum abdomen dari
darah dan sisa jaringan konsepsi serta menutup sumber perdarahan
(Cunningham, 2014).
3. Kehamilan abdomen
Secara ketat, kehamilan abdomen adalah implantasi di rongga peritoneum
di luar implantasi tuba, ovarium, atau intraligamentum. Meskipun zigot dapat
melewati tuba dan tertenam secara primer di rongga peritoneum, namun
sebagian besar kehamilan abdomen diperkirakan terjadi setelah tuba rupture
atau aboertus. Pada kasus-kasus kehamilan ekstrauterine tahap lanjut, tidak
jarang plasenta masih melekat secara parsial ke uterus atau adneksa
(Cunningham, 2014).
4. Kehamilan ovarium
18

Kehamilan ovarial primer sangat jarang terjadi. Diagnosis kehamilan


tersebut ditegakkan atas dasar 4 kriteria dari Spiegelberg, yakni 1 : a. Tuba pada
sisi kehamilan harus normal b. Kantong janin harus berlokasi pada ovarium c.
Kantong janin dihubungkan dengan uterus oleh ligamentum ovary proprium d.
Jaringan ovarium yang nyata harus ditemukan dalam dinding kantong janin
Diagnosis yang pasti diperoleh bila kantong janin kecil dikelilingi oleh jaringan
ovarium dengan trofoblas memasuki alat tersebut. Pada kehamilan ovarial
biasanya terjadi rupture pada kehamilan muda dengan akibat perdarahan dalam
perut. Hasil konsepsi dapat pula mengalami kematian sebelumnya sehingga
tidak terjadi rupture, ditemukan benjolan dengan berbagai ukuran yang terdiri
atas ovarium yang mengandung darah, vili korialis dan mungkin juga selaput
mudigah (Cunningham, 2014).
5. Kehamilan serviks
Kehamilan servikal juga sangat jarang terjadi. Bila ovum berimplantasi
dalam kavum servikalis, maka akan terjadi perdarahan tanpa nyeri pada
kehamilan muda. Jika kehamilan berlangsung terus, serviks membesar dengan
ostium uteri eksternum terbuka sebagian. Kehamilan servikal jarang melampaui
12 minggu dan biasanya diakhiri secara operatif oleh karena perdarahan.
Pengeluaran hasil konsepsi pervaginam dapat menyebabkan banyak perdarahan,
sehingga untuk menghentikan perdarahan diperlukan histerektomi totalis.
Paalman dan Mc ellin (1959) membuat kriteria klinik sebagai berikut: a.
Ostium uteri internum tertutup b. Ostium uteri eksternum terbuka sebagian c.
Seluruh hasil konsepsi terletak dalam endoservik d. Perdarahan uterus setelah
fase amenore tanpa disertai rasa nyeri e. Serviks lunak, membesar, dapat lebih
besar dari fundus uteri, sehingga terbentuk hour-glass uterus (Cunningham,
2014).

6. Kehamilan ektopik ganda


19

Sangat jarang kehamilan ektopik berlangsung bersamaan dengan


kehamilan intrauterine. Keadaan ini disebut kehamilan ektopik ganda
(combined ectopic pregnancy). Frekuensinya berkisar 1 di antara 15.000
40.000 persalinan. Di Indonesia sudah dilaporkan beberapa kasus. Pada
umumnya diagnosis kehamilan dibuat pada waktu operasi kehamilan ektopik
yang terganggu. Pada laparotomi ditemukan uterus yang membesar sesuai
dengan tuanya kehamilan (Cunningham, 2014).
7. Kehamilan ektopik lanjut
Merupakan kehamilan ektopik dimana janin dapat tumbuh terus karena
mendapat cukup zat-zat makanan dan oksigen dari plasenta yang meluaskan
implantasinya ke jaringan sekitar misalnya ligamentum latum, uterus, dasar
panggul, usus dan sebagainya. Kehamilan ektopik lanjut biasanya terjadi
sekunder dari kehamilan tuba yang mengalami abortus atau ruptur dan janin
dikeluarkan dari tuba dalam keadaan masih diselubungi oleh kantung ketuban
dengan plasenta yang masih utuh yang akan terus tumbuh terus di tempat
implantasinya yang baru. Angka kejadian kehamilan ektopik lanjut di RSCM,
Jakarta dari tahun 1967 1972 yaitu 1 di antara 1065 persalinan. Berbagai
penulis mengemukakan angka antara 1 : 2000 persalinan sampai 1 : 8500
persalinan (Cunningham, 2014).

G. Gambaran Klinis
Pada kehamilan ektopik belum terganggu, gambaran klinik tidak khas
sampai terjadinya abortus tuba atau rupture tuba. Meskipun begitu pasien akan
menyampaikan gangguan haid atau amenorea, namun sebagian penderita tidak
mengalami amenore karena kematian janin sebelum haid berikutnya. Selain itu,
keluhan nyeri perut bawah disampaikan penderita walaupun kehamilan ektopik
belum mengalami ruptur. Sementara itu, pada kehamian ektopik terganggu
memiliki tanda dan gejala yang berbeda-beda bergantung pada lamanya
20

kehamilan, abortus atau rupture tuba, derajat perdarahan yang terjadi dan
keadaan umum penderita sebelum hamil (Hacker, 2010 ; Cunningham, 2014).
Nyeri merupakan keluhan utama pada kehamilan ektopik terganggu
(KET). Pada rupture tuba, nyeri perut bagian bawah terjadi secara tiba-tiba.
Intensitas dan perdarahan yang terjadi dapat memengaruhi keadaan umum pasien
mulai dari tekanan darah menurun, nadi meningkat dan perdarahan yang lebih
banyak dapat menyebabkan syok hemoragik. Keluhan nyeri dapat dirasakan pada
satu sisi, namun setelah darah masuk ke dalam rongga abdomen, rasa nyeri dapat
menjalar ke bagian tengah atau ke seluruh perut bagian bawah dan bila
membentuk hematokel retrouterina dapat menyebabnyan nyeri ketika defekasi
(Hacker, 2010 ; Cunningham, 2014).
Di bawah pengaruh estrogen dan progesteron di korpus luteum graviditas
dan trofoblas, uterus membesar. Namun setelah janin mati, desidua yang
terbentuk di endometrium berdegenerasi dan dilepaskan sehingga terjadi ruptur.
Pelepasan desidua yang berdegeneratif inilah yang menyebabkan perdarahan
pervaginam pada kehamilan ektopik terganggu. Namun ruptur dapat pula terjadi
bila penembusan vili koriales ke dalam lapisan muskularis tuba hingga ke
peritoneum. Hal ini dapat menyebabkan perkumpulan darah di kavum douglas
dan membentuk hematokel retrouterina (Hacker, 2010 ; Cunningham, 2014).
Penderita akan mengeluh kesakitan dan ditemukan tanda-tanda syok
akibat perdarahan yang terjadi. Pada pemeriksaan ginekologis dapat teraba
hematokel retrouterina sebagai suatu tumor dalam berbagai ukuran dengan
konsistensi lunak di kavum Douglas yang dapat diketahui pada pergerakan nyeri
goyang porsio. Selain itu, akibat perdarahan ke dalam rongga abdomen dapat
merangsang peritoneum sehingga pada pasien kehamilan ektopik terganggu
dapat ditemukan nyeri tekan, nyeri lepas (rebound tenderness) dan defens
muskular (Cunningham, 2014).
H. Penegakkan Diagnosis
Pada anamnesis dapat ditemukan keluhan amenorea, nyeri abdominal
bagian bawah, dan perdarahan pervaginam. Diperlukan pula informasi riwayat
21

kehamilan sebelumnya, riwayat infeksi genital, riwayat pembedahan tuba


sebelumnya, infertilitas, dan penggunaan AKDR (alat kontrasepsi dalam Rahim).
Pada kehamilan ektopik belum terganggu, keluhan nyeri perut belum khas.
Sementara pada pemeriksaan fisik, pemeriksaan status generalis dan tanda-tanda
vital diperlukan untuk mengetahui hipotensi, takikardi maupun febris
(Cunningham, 2014).
Pada palpasi abdomen dapat ditemukan massa pada adneksa dan nyeri
tekan. Pada kehamilan ektopik terganggu dapat ditemukan nyeri tekan maupun
nyeri lepas. Pada pemeriksaan ginekologi dapat ditemukan perdarahan
pervaginam, ukuran uterus membesar ataupun normal, penonjolan kavum
Douglas, dan nyeri goyang porsio sebagai adanya hematokel retrouterina
(Cunningham, 2014).
I. Pemeriksaan Penunjang

Test diagnosis untuk kehamilan ektopik adalah tes kehamilan,


ultrasonografi, laparoskopi, kadar beta-hCG, kuldosintesis, dan pemeriksaan
laboratorium. Pada tes kehamilan ditemukan hasil positif sebagai tanda
kehamilan. Kehamilan ektopik diketahui jika pada ultrasonografi transabdominal
tidak ditemukan kantung gestasi intrauterin atau pada ultrasonografi transvaginal
tidak ditemuan kantung gestasi intrauterine dan kadar beta-hCG 1500 mIU/mL
atau meningkat (Cunningham, 2014).
Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan penurunan haemoglobin
sebagai akibat perdarahan yang terjadi dalam rongga perut sebagai rongga
abdomen. Untuk membedakan kehamilan ektopik dari infeksi pelvik maupun
infeksi apendiks dapat diperhatikan jumlah leukosit dimana infeksi pelvik dan
infeksi apendiks ditemukan leukosit meningkat (Cunningham, 2014).
Kuldosintesis adalah suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui
perdarahan pada kavum Douglas. Hasil negatif pada kuldosintesis ditemukan jika
cairan jernih yang mungkin berasal dari cairan peritoneum normal atau kista
ovarium yang pecah, nanah/ pus yang mungkin berasal dari penyakit infeksi
22

pelvis atau infeksi apendiks, darah segar berwarna merah yang dalam beberapa
menit akan membeku. Sementara hasil positif jika ditemukan darah berwarna
coklat hingga kehitaman yang tidak membeku atau berupa bekuan-bekuan kecil
(Cunningham, 2014).
Ultrasonografi merupakan cara yang paling baik untuk mengonfirmasi
adanya suatu kehamilan intrauterin. Kriteria diagnosis USG dengan
menggunakan transduser transvagina untuk kehamilan ektopik termasuk adanya
kompleks atau massa kistik adneksa atau terlihatnya embrio di adneksa dapat
dideteksi dan/ atau tidak adanya kantong gestasi (Cunningham, 2014).
Pada dasarnya ultrasonografi transvaginal dapat memperlihatkan aktivitas
jantung ektopik, kantung gestasi ektopik, massa ektopik, cairan di kavum
Douglas, dan kantung gestasi intrauterin. Selain itu, saat serum kadar hCG lebih
dari 1500 mIU/mL, usia gestasi lebih dari 38 hari, atau serum kadar progesteron
kurang dari 5 ng/mL dan tidak ada kantong gestasi interuterin yang terlihat
dengan transvaginal USG, dapat dilakukan kuretase kavum endometrial dengan
pemeriksaan histologi (Cunningham, 2014).
Laparoskopi merupakan alat bantu diagnostic terakhir untuk kehamian
ektopik jika hasil penilaian prosedur diagnostik yang lain meragukan. Melalui
prosedur laparoskopik, ovarium, tuba falopi, uterus, ligamentum maupun kavum
Douglas dapat dinilai. Adanya darah dalam rongga pelvis mempersulit visualisasi
tetapi hal ini menjadi indikasi untuk dilakukan laparotomi (Cunningham, 2014)

J. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan kehamilan ektopik tergantung padal lokasi kehamilan


dan tampilan klinis. Penatalaksanaan juga dibedakan antara kehamilan ektopik
yang belum terganggu dari kehamilan ektopik terganggu, yang pada umumnya
kehamilan ektopik terganggu dapat menyebabkan syok. Penatalaksanaan
kehamilan ektopik dibagi menjadi tiga pilihan, yaitu manajemen kehamilan,
penatalaksanaan medis dan penatalaksanaan bedah :
1 Manajemen kehamilan
23

Penatalaksanaan ini didasarkan pada fakta bahwa sekitar 75% b-


hCG pasien dengan kehamilan ektopik akan mengalami penurunan. Pada
penanganan ini, kehamilan ektopik dini dengan kadar b-hCG yang stabil
atau cenderung turun diobservasi ketat. Oleh sebab itu, tidak semua
pasien dengan kehamilan ektopik dapat menjalani penatalaksanaan
dengan manajemen kehamilan (Cunningham, 2014).
Manajemen kehamilan dibatasi pada keadaan-keadaan seperti
penurunan kadar b-hcG, kehamilan tuba, tidak ada perdarahan
intraabdominal atau ruptur, dan diameter massa ektopik tidak melebihi
3.5 cm. Kadar b-hCG awal harus kurang dari 1000 mIU/mL dan diameter
massa ektopik tidak melebihi 3.0 cm (Cunningham, 2014).
2. Penatalaksanaan Medikaentosa
Pada penatalaksanaan ini digunakan zat-zat yang dapat merusak
integritas jaringan dan sel hasil konsepsi. Beberapa syarat untuk
menerima tatalaksana ini meliputi: keadaan hemodinamik yang stabil,
bebas nyeri perut bawah, tidak ada kelainan jantung janin, tidak ada
cairan bebas dalam rongga abdomen dan kavum Douglas, harus teratur
menjalani terapi, harus menggunakan kontrasepsi yang efektif selama 3-4
bulan pascaterapi, tidak memiliki penyakit-penyakit penyerta, sedang
tidak menyusui, tidak ada kehamilan intrauterin yang koeksis, memiliki
fungsi ginjal, hepar dan profil darah yang normal, serta tidak memiliki
kontraindikasi terhadap pemberian methotrexate (Cunningham, 2014).
Methotrexate adalah obat sitotoksik yang sering digunakan untuk
terapi keganasan, termasuk penyakit trofoblastik ganas. Pada penyakit
trofoblastik, methotrexate akan merusak sel-sel trofoblas, dan bila
diberikan pada pasien dengan kehamilan ektopik, methotrexate
diharapkan dapat merusak sel-sel trofoblas sehingga menyebabkan
terminasi kehamilan tersebut. Methotrexate berikatan dengan enzim
dihidrofolat reduktase yang akan mempengaruhi sintesis nukleotida purin.
Proses ini akan menghalangi sintesis DNA dan menghabat multiplikasi
24

sel. Penerima terapi methotrexate harus stabil secara hemodinamis


dengan fungsi ginjal, hepar dan profil darah yang normal (Cunningham,
2014).
Terapi methotrexate memiliki angka kegagalan sebesar 5-10%, dan
angka kegagalan meningkat pada usia gestasi di atas 6 minggu atau bila
massa hasil konsepsi berdiameter lebih dari 4 cm. Pasien harus
diinformasikan bahwa bila terjadi kegagalan terapi medis, pengulangan
terapi diperlukan, dan pasien harus dipersiapkan untuk kemungkinan
menjalani pembedahan. Selain itu, tanda-tanda kehamilan ektopik
terganggu harus selalu diwaspadai. Bila hal tersebut terjadi, pasien harus
sesegera mungkin menjalani pembedahan. Methotrexate menyebabkan
beberapa efek samping antara lain gangguan fungsi hepar, stomatitis,
gastroenteritis dan depresi sumsum tulang (Cunningham, 2014).
Beberapa prediktor keberhasilan terapi dengan methotrexate antara
lain kadar b-hcG, aktivitas jantung janin, ukuran massa hasil konsepsi dan
ada/tidaknya cairan bebas dalam rongga peritoneum. Pada hari-hari
pertama setelah dimulainya pemberian methotrexate pasien akan
mengalami nyeri abdomen yang diakibatkan pemisahan hasil konsepsi
dari tempat implantasinya, dan hematoma yang meregangkan dinding
tuba. Nyeri ini dapat diatasi dengan analgetik b-hCG, dan umumnya tidak
terdeteksi lagi dalam 14-21 hari (Cunningham, 2014).
Pada hari-hari pertama pula massa hasil konsepsi akan tampak
membesar pada pencitraan ultrasonografi akibat edema dan hematoma,
sehingga masih perlu dilakukan pengawasan. Setelah terapi berhasil,
kadar b-hcG akan menurun hingga di bawah 5 mIU/mL (Cunningham,
2014).
Methotrexate dapat diberikan dalam dosis tunggal maupun dosis
multipel. Dosis tunggal yang diberikan adalah 50 mg (intramuskular),
sedangkan dosis multipel yang diberikan adalah sebesar 1 mg/kg
(intramuskular) pada hari pertama, ke-3, 5, dan hari ke-7. Pada terapi
25

dengan dosis multipel leukovorin ditambahkan ke dalam regimen


pengobatan dengan dosis 0.1 mg/kg (intramuskular), dan diberikan pada
hari ke-2, 4, 6 dan 8 (Cunningham, 2014).
Terapi methotrexate dosis multipel tampaknya memberikan efek
negatif pada patensi tuba dibandingkan dengan terapi methotrexate dosis
tunggal. Methotrexate dapat pula diberikan melalui injeksi per
laparoskopi tepat ke dalam massa hasil konsepsi (Cunningham, 2014).
1. Penatalaksanaan Operatif
Penatalaksanaan bedah dapat dikerjakan pada pasien-pasien dengan
kehamilan tuba yang belum terganggu maupun yang sudah terganggu.
Pada kehamilan ektopik terganggu, pembedahan harus dilakukan secepat
mungkin. Terdapat macam pembedahan untuk menterminasi kehamilan
tuba, yaitu pembedahan konservatif, di mana integritas tuba
dipertahankan, dan pembedahan radikal, di mana salpingektomi
dilakukan. Pembedahan konservatif mencakup 2 teknik yang kita kenal
sebagai salpingostomi dan salpingotomi. Pembedahan tersebut di atas
dapat dilakukan melalui laparotomi maupun laparoskopi (Cunningham,
2014; Wiknjosastro, 2007):
a. Salpingostomi
Salpingostomi adalah suatu prosedur untuk mengangkat
hasil konsepsi yang berdiameter kurang dari 2 cm dan berlokasi
di sepertiga distal tuba fallopii. Pada prosedur ini dibuat insisi
linear sepanjang 10-15 mm pada tuba tepat di atas hasil konsepsi,
di perbatasan antimesenterik. Setelah insisi hasil konsepsi segera
terekspos dan kemudian dikeluarkan dengan hati-hati.
Perdarahan yang terjadi umumnya sedikit dan dapat dikendalikan
dengan elektrokauter. Insisi kemudian dibiarkan terbuka (tidak
dijahit kembali) untuk sembuh per sekundam. Prosedur ini dapat
dilakukan dengan laparotomi maupun laparoskopi. Metode per
26

laparoskopi saat ini menjadi gold standard untuk kehamilan tuba


yang belum terganggu.
Sebuah penelitian di Israel membandingkan salpingostomi
per laparoskopi dengan injeksi methotrexate per laparoskopi.
Durasi pembedahan pada grup salpingostomi lebih lama daripada
durasi pembedahan pada grup methotrexate, namun grup
salpingostomi menjalani masa rawat inap yang lebih singkat dan
insidens aktivitas trofoblastik persisten pada grup ini lebih
rendah. Meskipun demikian angka keberhasilan terminasi
kehamilan tuba dan angka kehamilan intrauterine setelah
kehamilan tuba pada kedua grup tidak berbeda secara bermakna.
b. Salpingektomi
Reseksi tuba dapat dikerjakan baik pada kehamilan tuba
yang belum maupun yang sudah terganggu, dan dapat dilakukan
melalui laparotomi maupun laparoskopi. Salpingektomi
diindikasikan pada keadaan-keadaan:
1) kehamilan ektopik mengalami ruptur (terganggu),
2) pasien tidak menginginkan fertilitas pascaoperatif,
3) terjadi kegagalan sterilisasi,
4) telah dilakukan rekonstruksi atau manipulasi tuba
sebelumnya,
5) pasien meminta dilakukan sterilisasi,
6) perdarahan berlanjut pascasalpingotomi,
7) kehamilan tuba berulang,
8) kehamilan heterotopik, dan
9) massa gestasi berdiameter lebih dari 5 cm.
Reseksi massa hasil konsepsi dan anastomosis tuba kadang-
kadang dilakukan pada kehamilan pars ismika yang belum
terganggu. Metode ini lebih dipilih daripada salpingostomi,
27

sebab salpingostomi dapat menyebabkan jaringan parut dan


penyempitan lumen pars ismika yang sebenarnya sudah sempit.
Pada kehamilan pars interstitialis, sering kali dilakukan
pula histerektomi untuk menghentikan perdarahan masif yang
terjadi. Pada salpingektomi, bagian tuba antara uterus dan massa
hasil konsepsi diklem, digunting, dan kemudian sisanya (stump)
diikat dengan jahitan ligasi. Arteria tuboovarika diligasi,
sedangkan arteria uteroovarika dipertahankan. Tuba yang
direseksi dipisahkan dari mesosalping.
K. Komplikasi
Komplikasi kehamilan ektopik dapat terjadi karena misdiagnosis,
keterlambatan diagnosis, atau pendekatan terapi yang tidak tepat. Kegagalan
untuk membuat diagnosis yang cepat dan benar dari kehamilan ektopik dapat
mengakibatkan tuba atau rahim pecah (tergantung pada lokasi kehamilan), yang
dapat menyebabkan perdarahan masif, shock, koagulopati intravaskular luas
(DIC), dan kematian. Kehamilan ektopik adalah penyebab utama kematian ibu
pada trimester pertama, terhitung 9-13% dari semua kematian terkait kehamilan.
Di Amerika Serikat, diperkirakan 30-40 perempuan meninggal setiap tahun
karena kehamilan ektopik (Cunningham, 2014).
Setiap tindakan bedah yang dipilih sebagai pengobatan pilihan, perlu
dipertimbangkan komplikasi yang timbul operasi, apakah itu laparotomi atau
laparoskopi. Komplikasi tersebut termasuk perdarahan, infeksi, dan kerusakan
organ-organ sekitarnya, seperti usus, kandung kemih, dan ureter, dan pembuluh
besar di dekatnya. Infertilitas juga dapat menjadi akibat kehilangan organ
reproduksi setelah operasi. Risiko dan komplikasi sekunder untuk anestesi juga
perlu dipertimbangkan (Cunningham, 2014).

L. Prognosis
Keberhasilan pengobatan dan fungsi reproduksi dengan berbagai pilihan
pengobatan sering dipengaruhi oleh bias seleksi. Sebagai contoh membandingkan
28

pasien yang dikelola dengan manajemen kehamilan dengan pasien yang


menerima methotrexate atau dengan pasien yang memiliki salpingektomi
laparoskopi sulit. Seorang pasien dengan pengeluaran bercak darah, tidak ada rasa
sakit perut, dan kadar awal -HCG yang rendah dapat ditangani dengan
tatalaksana manajemen kehamilan, sedangkan pasien yang datang dengan
ketidakstabilan hemodinamik, nyeri perut akut, dan - HCG awal yang tinggi
harus dikelola pembedahan. Kedua pasien tersebut mungkin memiliki derajat
kerusakan tuba yang berbeda (Cunningham, 2014).
Angka kematian ibu yang disebabkan oleh kehamilan ektopik terganggu
turun sejalan dengan ditegakkannya diagnosis dini dan persediaan darah yang
cukup. Kehamilan ektopik terganggu yang berlokasi di tuba pada umumnya
bersifat bilateral. Sebagian ibu menjadi steril (tidak dapat mempunyai keturunan)
setelah mengalami keadaan tersebut diatas, namun dapat juga mengalami
kehamilan ektopik terganggu lagi pada tuba yang lain (Cunningham, 2014).
Ibu yang pernah mengalami kehamilan ektopik terganggu, mempunyai
resiko 11% untuk terjadinya kehamilan ektopik terganggu berulang setelah
penatalaksanaan dengan medikamentosa, 12% setelah pembedahan konservatif
dan 9% setelah salphingektomi. Ibu yang sudah mengalami kehamilan ektopik
terganggu berisiko mengalami kehamilan ektopik terganggu berulang 50%.
Ruptur dengan perdarahan intraabdominal dapat mempengaruhi fertilitas
wanita. Dalam kasus-kasus kehamilan ektopik terganggu terdapat 50-60%
kemungkinan wanita steril. Dari sebanyak itu yang menjadi hamil kurang lebih
10% mengalami kehamilan ektopik berulang (Wiknjosastro, 2007).
29

BAB IV
MASALAH DAN PEMBAHASAN

Diagnosis KET ditegakkan pada pasien berdasarkan anamnesis pasien yang


menyebutkan pasien memiliki keluhan amenorea, nyeri perut bagian bawah dan
perdarahan dari jalan lahir sejak 3 hari yang lalu. Pada pasien ini juga ditemukan
Faktor risiko yang mengarah pada penegakkan diagnosis salah satunya yaitu
penggunaan kontrasepsi dan infeksi reproduksi dengan adanya keputihan. Menurut
Arnolu, 2005 dan Cunningham, 2014, risiko terjadinya kehamilan ektopik meningkat
pada :

1. Riwayat kerusakan tuba, baik karena kehamilan ektopik sebelumnya atau


disebabkan pembedahan tuba untuk mengatasi infertilitas atau untuk sterilisasi.
2. Infertilitas
3. Riwayat infeksi tuba atau penyakit menular seksual lain
4. Merokok
5. Perlekatan perituba akibat salpingitis, infeksi pasca-abortus atau masa nifas,
apendisitis, atau endometriosis, mungkin meningkatakan risiko kehamilan
tuba.
6. Kegagalan kontrasepsi
7. Usia >35 tahun
8. Riwayat kehamilan ektopik sebelumnya
9. Riwayat Aborsi spontan atau terinduksi
Pada kasus ini riwayat kerusakan tuba, infertilitas, riwayat infeksi tuba atau
penyakit menular seksual lain, perlekantan perituba, usai >35 tahun, riwayat
kehamilan ektopik sebelumnya, dan riwayat abortus spontan atau terinduksi bukan
merupakan faktor risiko pada kasus ini.
Pada pemeriksaan fisik pasien ditemukan tekanan darah normal (100/60
mmHg), nadi 100 x/menit, pernapasan 20 x/menit dan suhu 370C. Pada mata tidak
ditemukan konjungtiva anemis, bibir sianosis (-), pemeriksaan ektremitas superior
dan inferior hangat. Pada inspeksi pemeriksaan abdomen ditemukan perut datar, supel
pada palpasi dan nyeri tekan pada regio lower quadran destra dan sinistra, timpani
pada perkusi dan suara bising usus (+) normal. Pada pemeriksaan genitalia, pada
30

inspeksi ditemukan perdarahan pada jalan lahir (+) berwarna merah kehitaman. Pada
pemeriksaan dalam (Vaginal Touche) ditemukan perdarahan berwarna merah
kehitaman, tidak terdapat penonjolan kavum Douglas, terbuka 1 cm pada ostium uteri
eksterna dan ditemukan nyeri goyang porsio.
Pada pemeriksaan laboratorium tanggal 8 Agustus 2016 dengan hasil
pemeriksaan Hb 8.9 g/dL, leukosit 18.010 U/L, hematokrit 25%, eritrosit 3,0
10^6/uL, trombosit 276.000/uL. Penurunan kadar Hb merupakan indikasi telah terjadi
kehiangan darah. Pada pemeriksaan urin ditemukan hasil positif untuk test kehamilan.
Penegakkan diagnosis kehamilan ektopik dikonfirmasi dengan pemeriksaan
USG yang dilakukan dua kali oleh dr. Widodo pada tanggal 8 Agustus 2016 dengan
interpretasi KET.
Penatalaksanaan pasien saat di rumah sakit yaitu sebagai berikut :
Pemberian IVFD RL 20 tpm berfungsi untuk mempertahankan
keseimbangan cairan maka input cairan harus sama untuk mengganti cairan
dan elektrolit yang hilang untuk mengatasi syok dan mengupayakan
kestabilan hemodinamik
Ceftriakson 2x300 mg, adalah antibiotik yang dapat bekerja baik secara
bakteriostatik maupun bakterisidal, tergantung konsentrasi tempat obat
bekerja. Obat ini diberikan kepada pasien untuk mencegah terjadinya
infeksi.
Ranitidin 2x1 amp, mekanisme kerja sebagai H2 reseptor bloker sehingga
mengurangi produksi asam lambung.
Ketorolac 3x30mg, sebagai analgetic bagi pasien.
Kalnex 3x1 gr, mencegah degradasi fibrin, pemecahan platelet, menambah
kerapuhan vascular dan pemecahan faktor koagulasi. Efek ini dibuktikan
secara klinis dengan berkurangnya jumlah pendarahan, mengurangi waktu
pendarahan dan periode pendarahan.
Rencana laparotomi salphingektomi. Pada salpingektomi, bagian tuba
antara uterus dan massa hasil konsepsi diklem, digunting, dan kemudian
sisanya (stump) diikat dengan jahitan ligasi. Arteria tuboovarika diligasi,
sedangkan arteria uteroovarika dipertahankan. Tuba yang direseksi
31

dipisahkan dari mesosalping. Metode ini lebih dipilih daripada


salpingostomi, sebab salpingostomi dapat menyebabkan jaringan parut dan
penyempitan lumen pars ismika.
Sedangakan Prognosis kemungkinan kehamilan kedepan yaitu secara umum
pasien memiliki kemungkinan untuk hamil, akan tetapi tidak menutup kemungkinan
pula mengalami kehamilan ektopik berulang. Kemungkinan terjadinya kehamilan
ektopik berulang juga tergantung pada keadaan jaringan tuba pasien setelah dioperasi,
umumnya sebanyak 9% pasien dapat mengalami implantasi ektopik kedepannya.
Kesempatan implantasi konsepsi setelah salphingektomi rendah, karena itu perlu
dilakukan pertimbangan resiko untuk memberikan tindakan pada pasien
32

BAB V
KESIMPULAN
1. Kehamilan ektopik merupakan keadaan blastokista yang tertanam di luar lapisan
endometrium rongga uterus
2. Kehamilan ektopik merupakan penyebab satu dari 200 (5-6%) mortalitas
maternal di negara maju
3. Kehamilan ektopik ditandai oleh trias klasik yaitu amenore, nyeri abdomen akut dan
perdarahan pervaginam
4. Kehamilan ektopik diklasifikasikan menjadi kehamilan tuba, kehamilan pars
intersialis tuba, kehamilan abdomen, kehamilan ovarium, kehamilan servik,
kehamilan ektopik ganda, kehamilan ektopik lanjut
5. Test diagnosis untuk kehamilan ektopik adalah tes kehamilan, ultrasonografi,
pemeriksaan laboratorium, kadar beta-hCG, kuldosintesis dan laparoskopi.
33

DAFTAR PUSTAKA

Arnolu, RI., 2005. Risk Factors for Ectopic Pregnancy in Logos, Nigeria, 1999.
Jurnal Obtetricia et Gynecologica Scandinavica, Vol 84, No 2, hal 184-188
Bakken, I.J. 2006. Time trends in ectopic pregnancies in Norwegian County 1970-
2004-a population based study. Human Reproduction, Vol 21, No 12.
Cunningham FG. Mc Donald PC, Gant NF. 2014. Obsteric William Edisi 24. Jakarta :
EGC
Hacker Moore. 2010. Essential Obstetries dan Gynekology, Edisi 2, W.B Saunder
Company, Philadelphia, Pennsylvania, 297-309.
Wiknyosastro H. 2000. Ilmu Bedah Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, Jakarta : 80-87, 170-197.

Anda mungkin juga menyukai