Anda di halaman 1dari 41

1

BAB I
PENDAHULUAN

Delirium adalah suatu keadaan mental yang abnormal yang dicirikan oleh
adanya disorientasi, ketakutan iritabilitas, salah persepsi terhadap stimulasi
sensorik dan sering kali disertai dengan halusinasi visual. Tingkah laku yang
demikian biasanya menempatkan penderita disuatu alam yang tak berhubungan
dengan lingkunganya, bahkan kadang pasien sulit mengenali dirinya sendiri.
Biasanya delirium menimbulkan delusi seperti alam mimpi yang kompleks,
sistematis serta berlanjut sehingga taka da kontak sama sekali dengan
lingkunganya serta secara psikologis tidak mungkin dicapai oleh pemeriksaanya.
Penderita umumnya menjadi talkatif, bicaranya keras, offensif, curiga,
agitatif. Keadaan ini timbulnya cepat dan jarang berlangsung lebihh dari 4-7 hari
namun salah persepsi dan halusinasinya dapat berlangsung sampai berminggu-
minggu terutama pada penderita alkoholik atau penderita yang berkaitan dengan
penyakit vaskuler kolagen. Keadaan delirium biasanya tampil pada gangguan
toksik dan metabolic susunan saraf seperti keracunan atropine yang akut,
sindroma putus obat, gagal hati akut, ensefalitis, penyakit vaskuler kolagen.
Dalam delirium seseorang individu mengalami kesulitan dalam
menggerakkan, memusatkan, mengalihkan dan mempertahankan perhatian.
Beberapa simtom yang penting untuk didiagnosis sebagai delirium yaitu
gangguan perseptual, pembicaraan tidak koheran, insomnia atau mengantuk pada
siang hari, aktivitas psikomotor meningkat atau menurun, dan disorientasi dan
gangguan ingatan ( Sarason & Sarason, 1993)
Delirium merupakan penyakit yang umum dan ditemukan pada lebih dari
10% pasien berusia 65 tahun yang dirujuk ke rumah sakit. Delirium dapat terjadi
sebagai akibat kondisi otak yang akut atau kronis. Ada empat penyebab delirium
yaitu penyakit otak, penyakit atau infeksi dari bagian tubuh lain yang
mempengaruhi otak, intoksikasi, putus dari zat yang menjadi ketergantungan
individu. Kejadian delirium sangat tinggi pada orang-orang yang sudah tua dan
tidak diketahui apa sebabnya mereka mengalami delirium yang sangat tinggi
2

selain hanya di ketahui bahwa frekuensi penyakit otak organic dan penyakit
sistemik meningkat pada usia tua.
Tanda utama dari delirium adalah suatu gangguan kesadaran, biasanya
terlihat bersamaan dengan gangguan fungsi kognitif secara global. Kelainan
mood, persepsi, dan perilaku adalah gejala psikiatrik yang umum. Tremor,
nistagmus, inkoordinasi dan inkontinensia urin merupakan gejala neurologis yang
umum. Biasanya, delirium mempunyai onset yang mendadak (beberapa jam atau
hari), perjalanan yang singkat dan berfluktuasi, dan perbaikan yang cepat jika
faktor penyebab diidentifikasi dan dihilangkan. Tetapi, masing-masing dari ciri
karakteristikk tersebut dapat bervariasi pada pasien individual. Delirium
merupakan suatu sindrom, bukan suatu penyakit. Delirium diketahui mempunyai
banyak sebab, semuanya menyebabkan pola gejala yang sama yang berhubungan
dengan tingkat kesadaran pasien dan gangguan kognitif. Sebagian besar penyebab
delirium terletak di luar sistem saraf pusat- contoh, gagal ginjal atau hati.
Delirium tetap merupakan gangguan klinis yang kurang dikenali dan
kurang didiagnosis. Bagian dari masalah adalah bahwa sindrom disebut dengan
berbagai nama lain- sebagai contoh, keadaan konfusional akut, sindrom otak akut,
ensefalopati metabolis, psikosis toksis, dan gagal otak akut.
Kepentingan untuk mengenali delirium adalah (1) kebutuhan klinis untuk
mengidentifiaksi dan mengobati penyebab dasar dan (2) kebutuhan untuk
mencegah perkembangan komplikasi yang berhubungan dengan delirium.
Komplikasi tersebut adalah cedera kecelakaan karena kesadaran pasien yang
berkabut atau gangguan koordinasi atau penggunaan pengekangan yang tidak di
perlukan. Kekacauan rutin bangsal adalah merupakan masalah yang terutama
mengganggu pada unit nonpsikiatrik, seperti pada unit perawatan intensif dan
bangsal medis dan bedah umum.
3

BAB II
STATUS PASIEN

I. IDENTIFIKASI PASIEN
a. Nama : Ny. VH
b. Jenis kelamin : Perempuan
c. Umur : 25 tahun
d. Status perkawinan : Belum menikah
e. Agama : Islam
f. Tingkat pendidikan : SMA
g. Pekerjaan : Karyawati Perusahaan Leasing
h. Warga negara : Indonesia
i. Alamat: Jln. Cemara No. 06 Lahat

II. ANAMNESIS
A. ALLOANAMNESIS
Diperoleh dari : Ny. N
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 47 tahun
Alamat : Jln. Cemara No. 06 Lahat
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Hubungan dengan pasien : Ibu Os

a. Sebab utama
Os mengalami perubahan perilaku menjadi suka meracau sendiri.
b. Keluhan utama
Tidak ada (pasien diam)
c. Riwayat perjalanan penyakit
4 hari SMRS, os mengeluh nyeri kepala hebat. Kepala dirasakan
berdenyut dan dirasakan di seluruh bagian kepala. Durasi dan frekuensi
tidak tentu waktu. Pasien juga merasakan adanya pandangan kabur.
2 hari SMRS os mengalami kejang. Kejang berupa kelojotan seluruh
tubuh dengan mata mendelik ke atas. Durasi kejang 5menit. Sebelum
kejang, os sadar, setelah kejang os mengantuk dan lemas. Selama kejang
os tidak sadar. Kemudian os dibawa ke RSUD Lahat. Bicara pelo tidak
ada, komunikasi os masih baik secara lisan, tulisan maupun isyarat.
1 hari SMRS atau 1 hari setelah dirawat di RSUD Lahat, os
kembali mengalami kejang. Os lalu dirujuk ke RSMH.
4

1 hari setelah masuk RSMH, os kembali mengalami kejang. Kejang


berupa kelojotan seluruh tubuh dengan mata mendelik ke atas. Durasi kejang
5 menit. Sebelum kejang, os sadar, setelah kejang, os sempat tidak sadar.
Setelah os sadar, keluarga mendapati os bicara meracau dan sulit
diajak berkomunikasi. Os masih menoleh saat dipanggil namun meracau
saat ditanya sesuatu. Os juga mengaku mendengar ada bisikan yang
berasal dari 2 sumber yang berbeda di kanan dan kiri os, dan mengaku
sering melihat ada adik os yang datang menjenguk. Os juga tidak bisa tidur
sejak 3 hari MRS dan tidak mau makan (+). Keluarga os juga mengaku
bahwa os suka tiba-tiba marah dan memberontak sehingga harus diikat
oleh keluarganya. Os juga sering terlihat tiba tiba murung sendiri.

d. Riwayat penyakit dahulu


- Riwayat kejang sebelumnya (-)
- Riwayat demam tinggi yang lama (-)
- Trauma kepala (-)
- Hipertensi (-)
- Diabetes Mellitus (-)

e. Riwayat premorbid
- Lahir : lahir spontan, langsung menangis
- Bayi : tumbuh kembang baik
- Anak-anak : sosialisasi baik
- Remaja : sosialisasi baik
- Dewasa : sosialisasi baik
f. Riwayat perkembangan organobiologi
- Riwayat kejang (-) - Riwayat hipertensi (-)
- Riwayat demam tinggi - Riwayat trauma kepala (-)
- Riwayat alergi obat (-)
yang lama (-)
- Riwayat sakit ginjal (-)
-
g. Riwayat penggunaan alkohol dan obat-obatan terlarang
- Riwayat mengonsumsi alkohol tidak ada
- Riwayat mengonsumsi NAPZA tidak ada
-
h. Riwayat pendidikan
- Os tamat SMA
-
i. Riwayat pekerjaan
5

- Os bekerja sebagai karyawati di perusahaan leasing. Os


dikenal sebagai pribadi yang memiliki banyak teman, mudah bergaul, dan
pekerja keras. Riwayat adanya masalah di tempat kerja tidak ada.
-
j. Riwayat perkawinan
- Pasien belum menikah.
-
k. Keadaan sosial ekonomi
- Pasien tinggal bersama keluarga dengan keadaan sosial
ekonomi menengah.
-
l. Riwayat keluarga
- Pedigree:
- - Keterangan:
- - :
-
Pasien
-
-
B. AUTOANAMNESIS DAN OBSERVASI
- Wawancara dan observasi dilakukan pada Jumat, 6 Januari
2016 pukul 11.00 s.d. 12.00 WIB di Bangsal Rawas Rumah Sakit
Mohammad Hoesin, Palembang.. Wawancara dilakukan dengan
menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa daerah yakni bahasa Palembang
-
- Pemeriksa - Pasien - Interpretasi
6

- Bu, umurnya - Antara 35 sampai - Afek: tumpul


- Kontak: atensi
berapa ? 48 lah (Kontak mata
- inadekuat
pasien kurang)
- - Konsentrasi:
-
-
- RSUD Lahat kurang
- Sekarang kita lagi
-
(menggerakkan bibir)
dimana, Bu? - Orientasi tempat:
-
-
- Rabu, 28 kurang
- Sekarang hari dan
-
November 2016
tanggal berapa, -
(menggerakkan bibir) - Orientasi waktu
Bu?
-
- dan personal:
- Tidak tahu
-
jelek
- Ini siapa, Bu? (menggerakkan bibir)
-
-
(sambil -
-
- Orientasi personal
menunjukkan - Belum
jelek
adik pasien)
-
- Ibu sudah
menikah?
7

- Ibu kenapa ada di - Karena saya - Kontak: atensi


rumah sakit? kejang. inadekuat
- - (Kontak mata -
- -
pasien kurang)
- Ibu lagi ngobrol -
-
- Kontak: atensi
dengan siapa? - Itu ada sama adik
- inadekuat
saya, kadang
- - Halusinasi visual
- kawan saya juga
(+)
- Sekarang ada
datang. (Pasien -
siapa saja? -
menunjuk ke satu
- -
- Ibu suka sisi ruangan) - Halusinasi visual
-
mendengar ada (+)
- Cuma adik saya
-
bisikan-bisikan
aja. - Halusinasi
gak? -
auditorik (+)
- - Kemarin dok ada
- Halusinasi Visual
-
2 orang di pundak
(+)
kanan sama kiri -
-
saya.
-
-
-
-
-
III.PEMERIKSAAN
A. STATUS INTERNUS
1) Keadaan Umum
- Sensorium - Suhu
: Compos mentis : 36,70C
- Frekuensi nadi - Frekuensi
: 90 x/menit napas : 20 x/menit
- Tekanan darah
: 110/80 mmHg
-
-
B. STATUS NEUROLOGIKUS
1) Urat syaraf kepala (panca indera) : tidak ada kelainan
2) Gejala rangsang meningeal : ada
3) Mata : ptosis palpebra dextra
- Gerakan : baik ke segala arah
8

- Persepsi mata : baik, diplopia tidak ada,


visus normal
- Pupil : bentuk bulat, sentral, isokor,
2mm/2mm
- Refleks cahaya : +/+
- Refleks kornea : +/+
- Pemeriksaan oftalmoskopi : tidak
dilakukan
-
-
-
4) Motorik
- Lengan Tungkai
- Kan - K - Kan - K
- Fungsi
an i an i
Motorik
r r
i i
- Gerakan - Luas - L - Lua - l
u s u
a a
s s
- Kekuatan - 5 - 5 - 5 - 5
- Tonus - Euto - E - eut - e
ni u oni u
t t
o o
n n
i i
- Klonus - - - - - - - -
- Refleks - + - + - + - +
fisiologis
- Refleks - - - - - -
patologis
5) Sensibilitas : normal
6) Susunan syaraf vegetative : tidak ada kelainan
7) Fungsi luhur : tidak ada kelainan
8) Kelainan khusus : tidak ada
-
C. STATUS PSIKIATRIKUS
9

-KEADAAN UMUM
a. Sensorium : Compos Mentis
b. Perhatian : Atensi inadekuat
c. Sikap : Kurang kooperatif
d. Inisiatif : Kurang
e. Tingkah laku motorik : Hiperaktif
f. Ekspresi fasial : Wajar
g. Cara bicara : Meracau
h. Kontak psikis : Inadekuat
- Kontak fisik : Ada, adekuat
- Kontak mata : Inadekuat
- Kontak verbal : Inadekuat
-
-
-
-
- KEADAAN KHUSUS (SPESIFIK)
a. Keadaan afektif
- Afek : Tumpul
- Mood : Irritable
-
b. Hidup emosi
- Stabilitas : - Echt-unecht : echt
labil - Skala
- Dalam- diferensiasi : normal
dangkal : normal - Einfuhlung : bisa dirasakan
- Pengendal - Arus emosi :
ian : tidak terkendali labil
- Adekuat-
Inadekuat : adekuat
-
c. Keadaan dan fungsi intelektual
- Daya ingat : jelek
- Daya konsentrasi : jelek
- Orientasi orang/waktu/tempat : jelek
- Luas pengetahuan umum : sulit dinilai
- Discriminative judgement : jelek
- Discriminative insight : jelek
- Dugaan taraf intelegensi : sulit dinilai
10

- Depersonalisasi dan derealisasi : tidak


ada
-
d. Kelainan sensasi dan persepsi
- Ilusi : tidak ada
- Halusinasi : ada (halusinasi visual dan auditorik)
e. Keadaan proses berpikir
- Bentuk Pikiran
- Autistik : tidak ada
- Simbolik : tidak ada
- Dereistik : tidak ada
- Simetrik : tidak ada
- Paralogik : tidak ada
- Konkritisasi : tidak ada
- Overinklusif : tidak ada
-
- Arus pikiran
- Flight of ideas : tidak ada

- Inkoherensi : ada
- Sirkumstansial : tidak ada
- Tangensial : tidak ada
- Terhalang (blocking) : tidak ada
- Terhambat (inhibition): tidak ada
- Perseverasi : tidak ada
- Verbigerasi : tidak ada
-
- Isi Pikiran
- Waham : tidak ada

- Pola Sentral : tidak ada


- Fobia : tidak ada
- Konfabulasi : tidak ada
- Perasaan inferior : tidak ada
- Kecurigaan : tidak ada
- Rasa permusuhan : tidak ada
- Perasaan berdosa : tidak ada
- Hipokondria : tidak ada
- Ide bunuh diri : tidak ada
- Ide melukai diri : tidak ada
- Lain-lain : tidak ada
-
- Pemilikan pikiran
- Obsesi : tidak ada
- Aliensi : tidak ada
-
f. Keadaan dorongan instinktual dan perbuatan
- Hipobulia : tidak ada
- Vagabondage : tidak ada
- Stupor : tidak ada
- Pyromania : tidak ada
- Raptus/Impulsivitas : tidak ada
- Mannerisme : tidak ada
- Kegaduhan umum : ada
- Autisme : tidak ada
- Deviasi seksual : tidak ada
- Logore : tidak ada
- Ekopraksi : tidak ada
- Mutisme : tidak ada
- Ekolalia : tidak ada
- Lain-lain : tidak ada
-
g. Kecemasan : tidak ada
-
h. Dekorum
- Kebersihan : kurang
- Cara berpakaian : cukup
- Sopan santun : kurang
-
i. Reality testing ability
- RTA terganggu
-
D. PEMERIKSAAN LAIN
a. Pemeriksaan elektroensefalogram : tidak dilakukan
b. Pemeriksaan radiologi/ CT scan : susp. meningoencephalitis
c. Pemeriksaan laboratorium : tes lumbal pungsi belum ada hasil
-
IV. DIAGNOSIS MULTIAKSIAL
- Aksis I : F.05 Delirium, bukan akibat alkohol dan zat
psikoaktif lainnya.
- Aksis II : Tidak ada diagnosis
- Aksis III : G00-G99 Penyakit Susunan Saraf
- Aksis IV : Tidak ada diagnosis
- Aksis V : 60-51
-
V. DIAGNOSIS DIFFERENSIAL
- Dementia
- Delirium akibat alkohol/zat psikoaktif lain
- Gangguan psikotik akut dan sementara
- Skizofrenia paranoid fase akut
-
VI. TERAPI
a. Psikofarmaka
- Haloperidol 1 x 1,5 mg
- Merlopam 1 x 2 mg
-
-
-
b. Psikoterapi
- Suportif
- Memberi dukungan dan perhatian kepada pasien dalam
menghadapi penyakit.
-
- Kognitif
- Menerangkan tentang gejala penyakit pasien yang timbul
akibat adanya gangguan pada sistem saraf pusat pasien.
-
- Keluarga
- Memberikan penyuluhan bersama dengan pasien yang
diharapkan keluarga dapat membantu dan mendukung kesembuhan
pasien.
-
- Religius
- Bimbingan keagamaan agar pasien selalu menjalankan
ibadah sesuai ajaran agama yang dianutnya, yaitu menjalankan solat
lima waktu, menegakkan amalan sunah seperti mengaji, berzikir, dan
berdoa kepada Allah SWT.
-
VII. PROGNOSIS
- Dubia ad bonam
-
-

VIII. FOLLOW UP
- Tanggal - 06-01-2017
- S: - Bicara meracau
- O: keadaan umum -
- Sensorium - -delirium
- TD (mmHg)
- -130/80 mmHg
- Nadi (x/mnt)
- Pernapasan (x/mnt) - -88x/mnt
- Suhu - -20x/mnt
- -37,3C
-
-
-
- A: - ME Baterialis + GMO
- P: - Nonfarmakologis:
O2 3-5 L/m nasa; kanul
- Farmakologis:
IVFD NaCl 0,9% gtt xx/m
Inj. Ceftriaxone 2x2gr IV
Inj Omeprazole 1x40mg IV
PCT 3x500mg tab
Inj. Tramadol 2x100mg IV
Merlopam 1x2mg
Haloperidol 2x0,5mg tab
Eselgin 1x2mg
-

-
-
-
-
- Tanggal - 07-01-2017

- S: - Bicara meracau

- O: keadaan umum -

- Sensorium - -delirium

- TD (mmHg) - -130/80 mmHg

- Nadi (x/mnt) - -90x/mnt

- Pernapasan (x/mnt) - -20x/mnt

- Suhu - -37,2C

- A: - ME Baterialis + GMO

- P: - Nonfarmakologis:

O2 3-5 L/m nasa; kanul

- Farmakologis:

IVFD NaCl 0,9% gtt xx/m

Inj. Ceftriaxone 2x2gr IV

Inj Omeprazole 1x40mg IV

PCT 3x500mg tab

Inj. Tramadol 2x100mg IV

Merlopam 1x2mg

Haloperidol 2x0,5mg tab

Eselgin 1x2mg
-

- Tanggal - 08-01-2017

- S: - Bicara meracau

- O: keadaan umum -

- Sensorium - -delirium

- TD (mmHg) - -130/80 mmHg

- Nadi (x/mnt) - -87x/mnt

- Pernapasan (x/mnt) - -20x/mnt

- Suhu - -37,4C

- A: - ME Bakterialis + GMO

- P: - Nonfarmakologis:

O2 3-5 L/m nasa; kanul

- Farmakologis:

IVFD NaCl 0,9% gtt xx/m

Inj. Ceftriaxone 2x2gr IV

Inj Omeprazole 1x40mg IV

PCT 3x500mg tab

Inj. Tramadol 2x100mg IV

Merlopam 1x2mg

Haloperidol 2x0,5mg tab

Eselgin 1x2mg
-

- Tanggal - 09-01-2017

- S: - Bicara meracau (-), Lemas,


Sakit kepala

- O: keadaan umum -

- Sensorium - -Compos Mentis

- TD (mmHg) - -110/80 mmHg

- Nadi (x/mnt) - -87x/mnt

- Pernapasan (x/mnt) - -20x/mnt

- Suhu - -37,4C

- -

- A: - ME Bakterialis + GMO

- P: - Nonfarmakologis:

O2 3-5 L/m nasa; kanul

- Farmakologis:

IVFD NaCl 0,9% gtt xx/m

Inj. Ceftriaxone 2x2gr IV

Inj Omeprazole 1x40mg IV

PCT 3x500mg tab

Inj. Tramadol 2x100mg IV

Merlopam 1x2mg

Haloperidol 2x0,5mg tab


Eselgin 1x2mg

- Tanggal - 10-01-2017

- S: - Lemas, Demam

- O: keadaan umum -

- Sensorium - -Compos Mentis

- TD (mmHg) - -90/70 mmHg

- Nadi (x/mnt) - -107x/mnt

- Pernapasan (x/mnt) - -20x/mnt

- Suhu - -38C

- -

- A: - ME Bakterialis + GMO

- P: - Nonfarmakologis:

O2 3-5 L/m nasa; kanul

- Farmakologis:

IVFD NaCl 0,9% gtt xx/m

Inj. Ceftriaxone 2x2gr IV

Inj Omeprazole 1x40mg IV

PCT 3x1000mg tab

Inj. Tramadol 2x100mg IV

Merlopam 1x2mg

Haloperidol 2x0,5mg tab

Eselgin 1x2mg
Dexamethasone 4x5mg

- Tanggal - 11-01-2017

- S: - Lemas, Demam

- O: keadaan umum -

- Sensorium - -Compos Mentis

- TD (mmHg) - -90/70 mmHg

- Nadi (x/mnt) - -107x/mnt

- Pernapasan (x/mnt) - -25x/mnt

- Suhu - -38C

- -

- A: - ME Bakterialis + GMO

- P: - Nonfarmakologis:

O2 3-5 L/m nasa; kanul

- Farmakologis:

IVFD NaCl 0,9% gtt xx/m

Inj. Ceftriaxone 2x2gr IV

Inj Omeprazole 1x40mg IV

PCT 3x1000mg tab

Inj. Tramadol 2x100mg IV

Merlopam 1x2mg

Haloperidol 2x0,5mg tab

Eselgin 1x2mg
Dexamethasone 4x5mg

-
- Tanggal - 12-01-2017

- S: - Lemas, Demam

- O: keadaan umum -

- Sensorium - -Compos Mentis


- TD (mmHg) - -90/70 mmHg
- Nadi (x/mnt) - -113x/mnt
- Pernapasan (x/mnt) - -24x/mnt
- Suhu - -37,9C
- -
- Hasil LC
- Kriteria TB

- A: - ME TB + GMO

- P: - Nonfarmakologis:

O2 3-5 L/m nasa; kanul

- Farmakologis:

IVFD NaCl 0,9% gtt xx/m

Inj Omeprazole 1x40mg IV

PCT 3x1000mg tab

Inj. Tramadol 2x100mg IV

Merlopam 1x2mg

Haloperidol 2x0,5mg tab

Eselgin 1x2mg

Dexamethasone 4x5mg

-
-

- BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

- 3.1. Delirium
3.1.1. Definisi
- Delirium adalah gangguan kognitif dan kesadaran dengan onset
akut. Kata delirium berasal dari bahasa Latin de lira yang berarti keluar dari
parit atau keluar dari jalurnya. Dalam karyanya (2), Engel dan Romano
menyebut delirium sebagai suatu sindrom insufisiensi serebral. Keduanya
menganggap delirium bsebagai sindrom terkait dengan insufisiensi organ lain :
Ginjal, jantung, hepar dan paru-paru. Sebagai perbandingan, Lipowsky dalam
Delirium : Acute Brain Failure In Man, mengemukakan bahwa berkurangnya
kewaspadaan terhadap lingkungan dapat diasosiasikan dengan gangguan memori,
disorientasi, gangguan bahasa dan gangguan kognitif tipe lainnya. Beragam pasien
mempunyai pengalaman disorientasi yang berbeda seperti salah identifikasi, ilusi,
halusinasi, dan waham. Dengan onset yang mendadak dan durasi yang pendek,
delirium terjadi dari jam sampai hari dan berfluktiatif. Kebiasaan pasien
menunjukkan variasi dengan adanya agitasi yang menonjol pada beberapa
individu, dan hipoaktif pada pasien lainnya, dan pada individu yang sama pun
akan menunjukkan variasi berbeda dari waktu ke waktu. Delirium harus
dibedakan dari demensia, kondisi kronis kemerosotan fungsi kognitif yang
merupakan faktor risiko terjadinya delirium.
- Diagnostic Statisitical Manual of Mental Disorders (DSM-IV)
mendefinisikan delirium sebagai gangguan kesadaran dan perubahan kognitif
yang terjadi secara cepat dalam waktu yang singkat (APA, 1994). Gejala awal
delirium biasanya muncul tiba-tiba dan durasinya singkat (misal 1 minggu, jarang
lebih dari 1 bulan). Gangguan ini hilang sama sekali jika pasien pulih dari
determinan penyebab. Bila kondisi yang menyebabkan delirium menetap,
delirium berubah perlahan menjadi sindrom demensia atau berkembang menjadi
koma. Kemudian individu penderita mengalami pemulihan, menjadi vegetatif
kronis, atau meninggal.
- Adapun klasifikasi delirium berdasarkan DSM-IV diantaranya:
1. Delirum akibat masalah medis umum
- Masalah medis tertentu, seperti infeksi sistemik, gangguan
metabolic, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, penyakit hati atau
ginjal, ensefalopati, dan trauma kepala dapat menyebabkan gejala
delirium.
2. Delirium akibat zat
- Gejala delirium dapat disebabkan pajanan terhadap toksin atau
ingesti obat, seperti anti konvulsan, neuroleptik, ansiolitik, anti depresan,
obat kardiovaskular, anti neoplastik, dan hormone.
3. Delirium akibat intoksikasi zat
- Gejala delirium dapat terjadi sebagai respons terhadap konsumsi
kanabis, kokain, halusinogen, alkohol, ansiolitik atau narkotik dalam dosis
tinggi.
4. Delirium akibat putus zat
- Pengurangan atau penghentian penggunaan zat jangka panjang dan
dosis tinggi zat tertentu, seperti alkohol, sedatif, hipnotik, atau ansiolitik,
dapat menyebabkan delirium akibat putus zat.
5. Delirium akibat etiologi multipel
- Gejala delirium dapat berhubungan dengan lebih dari satu masalah medis
umum atau pengaruh kombinasi masalah medis umum dan penggunaan
zat.
- Selain klasifikasi di atas, delirium juga dapat dibagi
menjadi sub tipe hiperaktif dan hipoaktif, tergantung dari aktivitas
psikomotornya. Keduanya dapat terjadi bersamaan pada satu individu.
a. Delirium hiperaktif
- Delirium hiperaktif merupakan delirium yang paling sering terjadi.
Pada pasien terjadi agitasi, psikosis, labilitas mood, penolakan untuk terapi
medis, dan tindakan disruptif lainnya. Kadang diperlukan pengawas karena
pasien mungkin mencabut selang infus atau kateter, atau mencoba pergi
dari tempat tidur. Pasien delirium karena intoksikasi, obat antikolinergik,
dan alcohol withdrawal biasanya menunjukkan perilaku tersebut. Delirium
hiperaktif juga didapatkan pada pasien dengan gejala putus substansi
antara lain; alkohol, amfetamin, lysergi acid diethylamide atau LSD.
b. Delirium hipoaktif
- Adalah bentuk delirium yang paling sering, tapi sedikit dikenali oleh
para klinisi. Pasien tampak bingung, letargi, dan malas. Hal itu mungkin sulit
dibedakan dengan keadaan fatigue dan somnolen, bedanya pasien akan
dengan mudah dibangunkan dan dalam berada dalam tingkat kesadaran yang
normal. Rangsang yang kuat diperlukan untuk membangunkan , biasanya
bangun tidak komplit dan transien. Penyakit yang mendasari adalah metabolit
dan ensefalopati.
-
3.1.2. Epidemiologi
- Delirium adalah sindrom neuropsikiatrik yang sering dialami oleh
pasien rawat inap paliatif. Usia lanjut adalah factor risiko untuk perkembangan
delirium. Kira-kira 30 sampai 40 persen pasien rawat di rumah sakit yang berusia
lebih dari 65 tahun mempunyai suatu episode delirium. Faktor predisposisi
lainnya pada perkembangan delirium diantaranya terdapat riwayat trauma otak
sebelumnya, riwayat delirium, ketergantungan alkohol, diabetes, kanker,
gangguan sensoris dan malnutrisi. Adanya delirium merupakan tanda prognostik
yang buruk.
-
3.1.3. Etiologi
- Faktor predisposisi delirium diantaranya sebagai berikut:
1. Demensia
2. Polifarmaka
3. Umur lanjut
4. Lesi pada otak seperti stroke dan penyakit Parkinson
5. Gangguan penglihatan dan pendengaran
6. Ketidakmampuan fungsional
7. Hidup dalam institusi
8. Ketergantungan alkohol
9. Isolasi sosial
10. Kondisi ko-morbid multipel
11. Depresi
12. Riwayat delirium post-operatif sebelumnya
- Adapun faktor presipitasi delirium adalah:
A. Medikasi
B. Penyakit:
1. Infeksi
2. Metabolik
3. Kelainan SSP
4. Perubahan lingkungan
5. Penurunan rangsang sensoris
6. Lainnya: bedah, syok, demam, hipotermia, anemia
- Delirium mempunyai berbagai macam penyebab. Penyebabnya
bisa berasal dari penyakit susunan saraf pusat, penyakit sistemik, intoksikasi akut
(reaksi putus obat) dan zat toksik. Penyebab delirium terbanyak terletak diluar
sistem saraf pusat, misalnya gagal ginjal dan hati. Secara lengkap dan lebih
terperinci penyebab delirium dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
-
- Tabel 3.1 Penyebab Delirium
-
3.1.4. Patofisiologi
- Mekanisme penyebab delirium masih belum dipahami secara
seutuhnya. Delirium menyebabkan variasi yang luas terhadap gangguan structural
dan fisiologik. Neuropatologi dari delirium telah dipelajari pada pasien dengan
hepatic encephalopathy dan pada pasien dengan putus alkohol. Hipotesis utama
yaitu gangguan metabolisme oksidatif yang reversibel dan abnormalitas dari
multipel neurotransmiter.
a. Obat dan Delirium
- Lansia lebih sensitif terhadap efek obat atau dosis rendah dan secara
khusus beresiko delirium pada saat lebih besardari obat yang digunakan.
Obat-obatan yang melewati sawar darah otak menyebabkan delirium.
Delirium karena toksisitas obat juga disebabkan oleh obat-obatan dengan
'indeks terapi sempit', meskipun beberapa obat seperti digoksin dilaporkan
menyebabkan delirium pada keadaan normal. Pasien dengan intoksikasi
alkohol dapat menyebabkan delirium selama perawatan meskipun
withdrawal alkohol dapat menyebabkan delirium 1-3 hari setelah dirawat,
seperti withdrawal ( reaksi putus obat) hipnotik dan sedatif.
- Obat paling sering menyebabkan delirium adalah sedatif dan
hipnotik, antikolinergik dan narkotik. Penggunaan preparat ini sebaiknya
berhati-hati pada lansia, khususnya pada gangguan kognitif sebelumnya.
Jika obat ini harus dipakai sebaiknya dengan dosis rendah dan dinaikkan
perlahan. Obat hipoglikemi, khususnya kerja sedang dapat menyebabkan
hipoglikemi yang juga bermanifestasi konfusio.
(1) Asetilkolin
- Data studi mendukung hipotesis bahwa asetilkolin adalah salah
satu dari neurotransmiter yang penting dari pathogenesis terjadinya
delirium. Hal yang mendukung teori ini adalah bahwa obat antikolinergik
diketahui sebagai penyebab keadaan bingung. pada pasien dengan
transmisi kolinergik yang terganggu juga muncul gejala ini. Pada pasien
post operatif, delirium serum antikolinergik juga meningkat.
(2) Dopamin
- Pada otak, hubungan muncul antara aktivitas kolinergik
dan dopaminergik. Pada delirium muncul aktivitas berlebih dari
dopaminergik. Pengobatan simptomatis muncul pada pemberian obat
antipsikosis seperti haloperidol dan obat penghambat dopamin.
b. Neurotransmitter lainnya
- Serotonin terdapat peningkatan serotonin pada pasien dengan
encephalopati hepatikum. GABA (Gamma-Aminobutyric acid); pada pasien
dengan hepatic encephalopati, peningkatan inhibitor GABA juga ditemukan.
Peningkatan level ammonia terjadi pada pasien hepatic encephalopati, yang
menyebabkan peningkatan pada asam amino glutamat dan glutamine (kedua asam
amino inimerupakan precursor GABA). Penurunan level GABA pada susunan
saraf pusat juga ditemukan pada pasien yang mengalami gejala putus
benzodiazepine dan alkohol.
c. Mekanisme peradangan/inflamasi
- Studi terkini menyatakan bahwa peran sitokin, seperti interleukin-1
dan interleukin-6,dapat menyebabkan delirium. Mengikuti setelah terjadinya
infeksi yang luas dan paparan toksik, bahan pirogen endogen seperti interleukin-1
dilepaskan dari sel. Trauma kepala dan iskemia, yang sering dihubungkan dengan
delirium, terdapat hubungan respon otak yang dimediasi oleh interleukin-1 dan
interleukin 6.
d. Mekanisme reaksi stress
- Stress psikososial dan gangguan tidur mempermudah terjadinya
delirium.
e. Mekanisme struktural
- Pada pembelajaran terhadap MRI terdapat data yang mendukung
hipotesis bahwa jalur anatomi tertentu memainkan peranan yang lebih penting
daripada anatomi yang lainnya. Formatio reticularis dan jalurnya memainkan
peranan penting dari bangkitan delirium. Jalur tegmentum dorsal diproyeksikan
dari formation retikularis mesensephalon ke tectum dan thalamus adalah struktur
yang terlibat pada delirium.
- Kerusakan pada sawar darah otak juga dapat menyebabkan
delirium, mekanismenya karena dapat menyebabkan agen neurotoksik dan sel-sel
peradangan (sitokin) untuk menembus otak.
-
-
3.1.5. Diagnosis
- Perbandingan kriteria diagnosis delirium DSM-5 dan DSM-IV
adalah sebagai berikut:
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
- Kriteria Diagnostik untuk Delirium Putus Zat
a. Gangguan kesadaran (yaitu penurunan kejernihan kesadaran tehadap lingkungan) dengan
penurunan kemampuan untuk memusatkan, mempertahankan atau mengalihkan
perhatian.
b. Perubahan kognisi (seperti defisit daya ingat, disorientasi, gangguan bahasa) atau
perkembangan gangguan persepsi yang tidak lebih baik diterangkan demensia yang telah
ada sebelumnya, yang telah ditegakkan atau yang sedang timbul.
c. Gangguan timbul setelah suatu periode waktu yang singkat dan cendrung berfluktuasi
selama perjalanan hari.
d. Terdapt bukti-bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium
bahwa gejala dalam kriteria a dan b berkembang selama, atau segera setelah suatu
sindrom putus.
-
- Kriteria Diagnostik untuk Delirium yang Tidak Ditentukan
- Kategori ini harus digunakan untuk mendiagnosis suatu delirium yang tidak memenuhi
kriteria salah satu tipe delirium yang dijelaskan dalam bagian ini.
a. Suatu gambaran klinis delirium yang dicuriagai karena kondisi karena kondisi media
umum atau pemakaian zat tetapi di mana tidak terdapat cukup bukti untuk menegakkan
suatu penyebab spesifik
b. Delirium karena penyebab yang tidak dituliskan dalam bagian ini missal pemutusan
sensorik

- Pemeriksaan-pemeriksaan yang dilakukan adalah :

a. Anamnesis terutama riwayat medis menyeluruh, termasuk penggunaan


obat-obatan atau medikasi.

b. Pemeriksaan fisik lengkap terutama dilakukan secara rutin pada pasien


yang rawat inap.

c. Pemeriksaan neurologis, termasuk status mental, tes perasaan (sensasi),


berpikir (fungsi kognitif), dan fungsi motorik. Pemeriksaan status kognitif
mencakup :

1) Tingkat kesadaran
2) Kemampuan berbahasa

3) Memori

4) Apraksia

5) Agnosia dan gangguan citra tubuh

d. Pemeriksaan penunjang berupa :

1) Uji darah

- Tujuannya untuk memeriksa adanya gangguan organik, memeriksa


komplikasi fisik akibat gangguan psikiatri untuk menemukan gangguan
metabolik. Uji darah serologis, biokimia, endokrin dan hematologis yang
harus dilakukan termasuk :

Pemeriksaan darah lengkap

Urea dan elektrolit

Uji fungsi tiroid

Uji fungsi hati

Kadar vitamin B12 dan asam folat

Serologi sifilis

2) Uji urin

- Skrining obat terlarang dalam urine perlu dilaksanakan untuk


memeriksa penyalahgunaan zat psikoaktif yang samar.

3) Elektroensefalogram (EEG)
4) X-ray dada

5) CT scan kepala

6) MRI scan Kepala

7) Analisis cairan serebrospinal (CSF)

8) Kadar obat, alkohol (toksikologi)

9) Uji genetik

- Penggolongan kariotipe merupakan pemeriksaan penunjang klinik


kedua yang bisa memastikan adanya gangguan akibat kelainan kromosom.
Uji ini terutama berguna untuk menyelidiki orang dengan disabilitas
belajar (retardasi mental).

- Pemeriksaan fisik dan Laboratorium


- Delirium biasanya didiagnosis pada sisi tempat tidur dan ditandai
oleh onset gejala yang tiba-tiba. Penggunaan status pemeriksaan mental bedside
seperti-Mini Mental State Examination (MMSE) pemeriksaan fisik sering kali
mengungkapkan petunjuk adanya penyebab delirium. Adanya penyakit fisik yang
diketahui atau riwayat trauma kepala atau ketergantungan alkohol atau zat lain
meningkatkan kemungkinan diagnosis.
- Pemeriksaan laboratorium untuk seorang pasien dengan delirium
harus termasuk tes-tes standar dan pemeriksaan tambahan yang
diindikasikan oleh situasi klinis. EEG pada delirium secara karakteristik
menunjukkan perlambatan umum pada aktivitas dan dapat berguna dalam
membedakan delirium dari depresi atau psikosis. EEG dari seorang pasien
yang delirium sering kali menunjukkan daerah fokal hiperaktivitas. Pasa
kasus yang jarang, mungkin sulit membedakan delirium yang
berhubungan dengan epilepsi dari delirium yang berhubungan dengan
penyebab lain.
-
3.1.6. Gambaran Klinis
- Gambaran kunci dari delirium adalah suatu gangguan kesadaran,
keadaan delirium mungkin didahului selama beberapa hari oleh
perkembangan kecemasan, mengantuk, insomnia, halusinasi transien,
mimpi menakutkan di malam hari, dan kegelisahan. Selain itu, pasien
yang pernah mengalami episode rekuren dengan kondisi yang sama.
1. Kesadaran (Arousal)
- Dua pola umum kelainan kesadaran telah ditemukan pada pasien
dengan delirium. Satu pola ditandai oleh hiperaktivitas yang berhubungan
dengan peningkatan kesiagaan. Pola lain ditandai oleh penurunan
kesiagaan. Pasien dengan delirium yang berhubungan dengan putus zat
sering kali mempunyai delirium yang hiperaktif, yang juga dapat disertai
dengan tanda otonomik, seperti kemerahan, kulit pucat, berkeringat,
takikardia, pupil berdilatasi, mual muntahdan hipertermia. Pasien dengan
gejala hipoaktif kadang-kadang diklasifikasikan sebagai depresi, katatonik,
atau mengalami demensia. Pasien dengan pola gejala campuran
hipoaktivitas dan hiperaktivitas juga ditemukan dalam klinis.
2. Orientasi
- Orientasi terhadap waktu, tempat, dan orang harus diuji pada
pasien dengan delirium. Orientasi terhadap waktu seringkali hilang,
bahkan pada kasus delirium yang ringan. Orientasi terhadap tempat dan
kemampuan untuk mengenali orang lain mungkin juga terganggu pada
kasus yang berat. Pasein delirium jarang kehilangan orientasi terhadap
dirinya sendiri.
3. Bahasa dan kognisi
- Pasien dengan delirium sering kali mempunyai kelainan dalam
bahasa. Kelainan dapat berupa bicara yang ngelantur, tidak relevan, atau
membingungkan (inkoherensi) dan gangguan untuk memengerti
pembicaraan.
- Fungsi kognitif lainnya yang mungkin terganggu pada pasien
delirium adah fungsi ingatan dan kognitif umum. Kemampuan untuk
menyusun, mempertahankan, dan mengingat kenangan mungkin
terganggu, walaupun ingatan kenangan yang jauh mungkin dipertahankan.
Pasien delirium juga mempunyai gangguan kemampuan memecahkan
masalah dan mungkin mempunyai waham yang tidak sistematik, kadang
paranoid.
4. Persepsi
- Pasien dengan delirium seringkali mempunyai ketidakmampuan
umum untuk membedakan stimuli sensorik dan untuk mengintegrasikan
persepsi sekarang dengan pengalaman masa lalu mereka, akibatnya pasien
sering kali tertarik oleh stimuli yang yang tidak relevan atau menjadi
teragitasi jika dihadapkan denga informasi baru. Halusinasi relatif sering
pada pasein delirium. Halusinansi yang paling sering adalah visual dan
auditoris, walaupun halusinasi taktil dan olfaktoris juga dapat terjadi.
Halusinasi visual dapat memiliki rentang mulai dari gambar geometris
sederhana atau pola berwarna orang yang berbentuk lengkap dengan
pemandangan. Ilusi visual dan auditoris juga sering terjadi pada delirium.
-
5. Mood
- Pasien dengan delirium juga mempunyai kelainan dalam
pengaturan mood. Gejala yang paling sering adalah kemarahan, kegusaran,
dan rasa takut yang tidak beralasan. Kelainan mood lain yang sering
ditemukan pada pasien delirium adalah apatis, depresi, dan euforia.
Beberapa pasien dengan cepat berpindah di antara emosi tersebut dalam
perjalanan sehari.
- Gejala Penyerta
- Tidur pada pasien delirium secara karakteristik adalah terganggu.
Pasien sering kali mengantuk selama siang hari dan dapat ditemukan
tertidur sekejap. Tetapi tidur pada pasien delirium hampir selalu singkat
dan terputus-putus. Sering kali keseluruhan siklus tidur bangun pasien
dengan delirium semata-mata terbalik. Pasien sering kali mengalami
eksaserbasi gejala delirium tepat sebelum tidur situasi klinis yang dikenal
luas sebagai sundowning. Kadang pasien dengan delirium mendapat
mimpi buruk yang terus berlangsung ke keadaan terjaga sebagai
pengalaman halusinasi.
- Gejala neurologis
- Pasien dengan delirium sering kali mempunyai gejala neurologis
yang menyertai, termasuk disfasia, tremor, asteriksis, inkoordinasi dan
inkontinensia urin. Tanda neurologis fokal juga ditemukan sebagai bagian pola
gejala pasien dengan delirium.
-
3.1.7. Diagnosis Banding
- Delirium vs demensia
- Penting untuk membedakan delirium dari demensia, dan sejumlah
gambaran klinis membantu membedakannya. Berbeda dengan onset delirium yang
tiba-tiba, onset demensia biasanya perlahan-lahan. Walaupun kedua kondisi
melibatkan gangguan kognitif, perubahan dementia adalah lebih stabil dengan
berjalannya waktu dan tidak berfluktuasi selama perjalanan sehari. Sebagai contoh
seorang pasien dengan demensia biasanya siaga; seorang pasien dengan delirium
mempunyai episode penurunan kesadaran. Kadang-kadang delirium terjadi pada
pasien yang menderita demensia, suatu keadaan yang dikenal sebagai pengaburan
demensia (beclouded dementia). Suatu diagnosis delirium dapat dibuat jika
terdapat riwayat definitif tentang demensia yang ada sebelumnya.
-
- Tabel 3.2 Frekuensi Gambaran Klinis Delirium dibandingkan Demensia

- Tabel 2.2 Perbedaan klinis delirium dan Demensia


- Gambaran - Delirium - Demensia
- Riwayat - Penyakit akut - Penyakit kronik
- Awal - Cepat - Lambat laun
- Sebab - Terdapat penyakit lain (infeksi, - Biasanya penyakit otak kronik
dehidrasi, guna/putus obat (spt Alzheimer, demensia
vaskular)
- Lamanya - Ber-hari/-minggu - Ber-bulan/-tahun
- Perjalanan - Naik turun - Kronik progresif
sakit
- Taraf - Naik turun - Normal
kesadaran
- Orientasi - Terganggu, periodic - Intak pada awalnya
- Afek - Cemas dan iritabel - Labil tapi tak cemas
- Alam pikiran - Sering terganggu - Turun jumlahnya
- Bahasa - Lamban, inkoheren, inadekuat - Sulit menemukan istilah tepat
- Daya ingat - Jangka pendek terganggu nyata - Jangka pendek & panjang
terganggu
- Persepsi - Halusinasi (visual) - Halusinasi jarang kecuali
sundowning
- Psikomotor - Retardasi, agitasi, campuran - Normal
- Tidur - Terganggu siklusnya - Sedikit terganggu siklus tidurnya
- Atensi & - Amat terganggu - Sedikit terganggu
kesadaran
- Reversibilitas - Sering reversible - Umumnya tak reversibel
- Penanganan - Segera - Perlu tapi tak segera
- Catatan: pasien dengan demensia amat rentan terhadap delirium, dan delirium yang bertumpang
tindih dengan demensia adalah umum.
-
- Delirium vs Psikosis atau Depresi
- Delirium juga harus dibedakan dengan skizofrenia dan gangguan depresif.
Pasien dengan gangguan buatan mungkin berusaha untuk mensimulasi gejala
delirium; tetapi mereka biasanya mengungkapkan sifat berpura-pura dari
gejalanya dengan inkonsistensi pada pemeriksaan status mentalnya, dan EEG
dapat secara mudah memisahkan kedua diagnosis. Beberapa pasien dengan
gangguan psikotik, biasanya skizofrenia, atau episode manik mungkin mempunyai
episode perilaku yang sangat terdisorganisasi yang mungkin sulit dibedakan dari
delirium. Tetapi pada umumnya, halusinasi dan waham pada skizofrenik biasanya
tidak mengalami perubahan dalam tingkat kesadaran atau orientasinya. Pasien
dengan gejala hipoaktif dari delirium mungkin tampak agak mirip dengan pasien
yang depresi berat tapi dapat dibedakan atas dasar EEG. Diagnosis psikiatrik lain
yang dapat dipertimbangkan dalam diagnosis banding delirium adalah gangguan
psikotik singkat, gejala skizofreniform, dan gangguan disosiatif.
-
3.1.8. Tatalaksana
- Tujuan utama adalah untuk mengobati gangguan dasar yang
menyebabkan delirium. Jika penyebabnya dalah toksisitas antikolinergik,
penggunaan physostigmine salicylate (Antrilirium) 1- 2 mg intravena (IV)
atau intramuscular (IM) dengan dosis ulang dalam 15 sampai 30 menit,
dapat diindikasikan. Tujuan pengobatan yang penting lainnya dalah
memberikan bantuan fisik, sensorik, dan lingkungan. Bantuan fisik adalah
diperlukan sehingga pasien delirium tidak masuk ke dalam situasi dimana
mereka mungkin mengalami kecelakaan. Pasien dengan delirium tidak
boleh dalam lingkungan tanpa stimulasi sensorik atau dengan stimulasi
yang berlebihan. Biasanya pasien delirium dibantu dengan meminta teman
atau sanak keluarga di dalam ruangan atau oleh adanya penunggu yang
teratur. Gambar dan dekorasi yang akrab, adanya sebuah jam atau
kalender, dan orientasi yang teratur terhadap orang, tempat, dan waktu
membantu pasien delirium menjadi nyata. Delirium kadang dapat terjadi
pada pasien lanjut usia dengan penutup mata setelah pembedahan katarak.
(black-patch delirium). Pasien tersebut dapat dibantu dengan
menempatkan sebuah lubang kecil pada penutup mata untuk membiarkan
masuknya suatu stimuli atau dengan kadang-kadang melepaskan satu
penutup pada suatu waktu selama pemulihan.
- Dua gejala utama dari delirium yang mungkin memerlukan
pengobatan farmakologis adalah psikosis dan insomnia. Obat yang terpilih dari
psikosis adalah haloperidol (Haldol), suatu obat antipsikotik golongan
butyrophenone. Tergantung pada usia, berat badan, dan kondisi fisik pasien, dosis
awal dapat terentang antara 2 sampai 10 mg IM, dapat diulang dalam satu jam jika
pasien tetap teragitasi. Segera setelah pasien tenang, medikasi oral dalam cairan
konsentrat atau bentuk tablet dapat dimulai. Dua dosis oral harian harus
mencukupi, dengan dua pertiga dosis diberikan sebelum tidur. Untuk mencapai
efek terapeutik yang sama, dosis oral harus kira-kira 1,5 kali lebih tinggi dari
dosis parenteral. Dosis harian efektif total dari haloperidol mugnkin terentang dari
5 sampai 50 mg untuk sebagian besar pasien delirium.
- Droperidol (Inapsine) adalah suatu butyrophenone yang tersedia
sebagai suatu formula intravena alternatif, walaupun monitoring
elektrokardiogram adalah sangat penting dalam pengobatan ini. Golongan
phenothiazine harus dihindari pada pasien delirium, karena obat tersebut disertai
dengan aktivitas antikolinergik yang bermakna.
- Insomnia paling baik diobati dengan golongan benzodiazepine
dengan waktu paruh pendek atau dengan hydroxyzine 25 sampai 100 mg.
Golongan benzodiazepine dengan waktu paruh panjang dan barbiturate harus
dihindari kecuali obat tersebut telah digunakan sebagai bagian dari pengobatan
untuk gangguan dasar (sebagai contohnya, putus alkohol).
- Kondisi medis harus diperbaiki seoptimal mungkin. Pemantauan
harus tetap dilakukan untuk mempertahankan kesehatan dan keselamatan pasien,
termasuk observasi rutin, perawatan konsisten, menenangkan dengan penjelasan
sederhana secara berulang. Mengurangi ketegangan jiwa diperlukan oleh pasien
dengan agitasi tinggi meskipun pengalaman menunjukkan bahwa pada beberapa
pasien cenderung mengalami peningkatan agitasi. Rangsangan eksternal
diperkecil. Karena bayangan atau kegelapan mungkin menakuti mereka. Pasien
delirium sangat sensitif terhadap efek samping obat, jadi pengobatan yang tidak
perlu harus dihentikan termasuk golongan hipnotik-sedatif (contoh
benzodiazepin). Pasien dengan agitasi tinggi ditenangkan dengan dosis rendah
obat antipsikotik potensi tinggi (contoh : haloperidol, thiothixene). Obat dengan
efek antikolinergik seperti klorpomazine, tioridazin di hindari karena dapat
memperburuk
Lingkungan atau yang
rumah sakit memperpanjang delirium.
tenang, penerangan Kenyataannya,
yang baik adalah terapitingkat
yang baik
antikolinergik
untuk pasien. plasma yang memicu delirium ditemukan pada pasien-pasien
bedah.
Pribadi Bila
yang sedasi diperlukan
konsisten gunakan
menenangkan pasiendosis rendah benzodiazepin dengan kerja
delirium
singkat
Secara seperti
rutin oxazepam,
pasien lorazepam.hari, tanggal, waktu dan situasi dalam ruangan
dilatih mengingat
pasien
- Rekomendasi untuk penatalaksanaan Delirium
Pengobatan untuk penatalaksanaan tingkah laku harus di batasi
Hanya obat-obatan yang penting diberikan pada pasien, polifarmasi harus dihindari
Hipnotik-sedatif dan ansiolitik harus dihindari
Tingkah laku yang sulit dikoreksi diberikan neuroleptik dosis rendah, benzodiazepin
dengan kerja singkat
-

3.1.9. Prognosis

- Onset delirium biasanya mendadak, gejala prodromal (kegelisahan


dan ketakutan) dapat terjadi pada hari sebelum onset gejala yang jelas. Gejala
delirium biasanya berlangsung selama faktor penyebab yang relevan ditemukan,
walaupun delirium biasanya berlangsung kurang dari 1 minggu setelah
menghilangnya faktor penyebab, gejala delirium menghilang dalam periode 3 - 7
hari, walaupun beberapa gejala mungkin memerlukan waktu 2 minggu untuk
menghilang secara lengkap. Semakin lanjut usia pasien dan semakin lama pasien
mengalami delirium, semakin lama waktu yang diperlukan bagi delirium untuk
menghilang. Beberapa pada lanjut usia susah untuk diobati dan bisa melanjut jadi
kronik. Morbiditas dan mortalitas lebih tinggi pada pasien yang masuk sudah
dengan delirium dibandingkan dengan pasien yang menjadi delirium setelah di
Rumah Sakit. Beberapa penyebab delirium seperti hipoglikemia, intoxikasi, infeksi,
faktor iatrogenik, toksisitas obat, gangguan keseimbangan elektrolit biasanya cepat
membaik dengan pengobatan.
- BAB IV
- ANALISIS KASUS
-
- Seorang perempuan berumur 25 tahun, bekerja sebagai karyawati
di perusahaan leasing, belum menikah, dikonsul ke bagian kedokteran jiwa oleh
bagian saraf. Keluarga mendapati os bicara meracau dan sulit diajak
berkomunikasi. Os masih menoleh saat dipanggil namun meracau saat ditanya
sesuatu. Os juga mengaku mendengar ada bisikan yang berasal dari 2 sumber
yang berbeda di kanan dan kiri os, dan mengaku sering melihat ada adik os yang
datang menjenguk. Os juga tidak bisa tidur sejak 3 hari MRS dan tidak mau
makan (+). Keluarga os juga mengaku bahwa os suka tiba-tiba marah dan
memberontak sehingga harus diikat oleh keluarganya. Os juga sering terlihat tiba
tiba murung sendiri.
- 4 hari SMRS, os mengeluh nyeri kepala hebat. Kepala dirasakan
berdenyut dan dirasakan di seluruh bagian kepala. Durasi dan frekuensi tidak
tentu waktu. Pasien juga merasakan adanya pandangan kabur.
- 2 hari SMRS os mengalami kejang. Kejang berupa kelojotan
seluruh tubuh dengan mata mendelik ke atas. Durasi kejang 5menit. Sebelum
kejang, os sadar, setelah kejang os mengantuk dan lemas. Selama kejang os tidak
sadar. Kemudian os dibawa ke RSUD Lahat. Bicara pelo tidak ada, komunikasi os
masih baik secara lisan, tulisan maupun isyarat.
- 1 hari SMRS atau 1 hari setelah dirawat di RSUD Lahat, os
kembali mengalami kejang. Os lalu dirujuk ke RSMH.
- 1 hari setelah masuk RSMH, os kembali mengalami kejang.
Kejang berupa kelojotan seluruh tubuh dengan mata mendelik ke atas. Durasi
kejang 5 menit. Sebelum kejang, os sadar, setelah kejang, os sempat tidak sadar.
- Berdasarkan autoanamnesis dan observasi saat ditanyakan berapa
umurnya, sekarang ada dimana, serta saat ditanya apakah kenal dengan
keluarganya yang mendampingi, pasien menjawab dengan salah, sehingga dapat
disimpulkan bahwa orientasi tempat, waktu, dan personal pasien jelek. Afek:
Tumpul, Kontak: atensi inadekuat, Konsentrasi: kurang, Daya ingat: kurang.
Ketika pasien ditanya apakah bisa melihat dan berbicara dengan mahluk halus,
pasien menjawab, Tidak pernah. Menunjukkan Kontak: Halusinasi visual dan
auditorik (+), Afek: cemas, takut, Waham (-).
- Pada status internus tidak ditemukan adanya kelainan. Pada pemeriksaan
status neurologis pasien didiagnosis dengan suspek meningoencephalitis.
- Berdasarkan DSM V maupun PPDGJ III, gejala klinis yang
ditemukan pada pasien mengarah pada diagnosis delirium yang disebabkan oleh
kondisi medik pasien yaitu Meningoencephalitis. Maka padaAksis I: F.05
Delirium, bukan akibat alkohol dan zat psikoaktif lainnya. Diagnosis Aksis
II:Tidak ada diagnosis.Aksis III: G00-G99 Penyakit Susunan Saraf. Aksis IV:
Tidak ada diagnosis. Aksis V: 60-51. Diagnosis banding yang ditemukan pada
pasien adalah Dementia karena pada kasus ditandai juga gejala halusinasi, delusi,
dan gangguan asosiasi.
- Terapi yang diberikan berupa psikofarmaka dan psikoterapi.
Psikofarmaka yang diberikan berupa Haloperidol 1x1,5 mg sebagai antipsikotik,
Merlopam 1x2 mg. Psikoterapi pada pasien ini lebih ditekankan kepada
psikoterapi keluarga, dimana keluarga dapat membantu dan mendukung
kesembuhan pasien. Selain itu, psikoterapi suportif ditujukan untuk memberi
dukungan dan perhatian kepada pasien dalam menghadapi masalah dan
memotivasi pasien agar meminum obat secara teratur.
-
-
-
-
- DAFTAR PUSTAKA

- American Psychriatric Association. Highlight of Changes from DSM IV


TR to DSM V. American Psychriatric Publishing.

- Guze, Barry dkk. 1997. Buku Saku Psikiatri. Jakarta : EGC.

- Kaplan. H. I, Sadock B.J. Comprehensive Textbook of Psychiatry. 8th Ed

- Kurt J. Isselbacher, 1999. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit


Dalam.Vol I. Edisi 13. Jakarta: EGC.

- Sadock, Benjamin James; Sadock, Virginia Alcott. Delirium, dementia,


amnestic and cognitive disorders. Kaplan & Sadock's Synopsis of
Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition.
Lippincott Williams & Wilkins.

- Satyanegara, et. al. 2010. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara Edisi V. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.

- Soejono CH. Sindrom delirium. Buku ajar ilmu penyakit dalam fakultas
kedokteran Indonesia. Jilid 3 edisi 5. 2009.

- Yustinus Semiun, OFM, 2006. Kesehatan Mental 3. Yogyakarta: Penerbit


Kasinus.
-

Anda mungkin juga menyukai