Anda di halaman 1dari 21

POTRET PESERTA DIDIK

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Terstruktur

Mata Kuliah : Perkembangan Peserta Didik

Dosen Pengampu : Dr. Anda Juanda, M.Pd.

Disusun oleh:

Kelompok 1

SITI MAHMUDAH : (14151061 22)

ULI TALENTA : (1415106137)

Tadris-IPA Biologi D / II

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SYEKH NURJATI CIREBON

2016
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Potret diri merupakan suatu gambaran secara umum dari suatu individu. Peserta didik
adalah objek utama dari proses pendidikan atau pembelajaran. Mengapa demikian sebab
tujuan utama dari proses pendidikan itu sendiri ialah mengasah segala segi potensi yang ada
dalam diri peserta didik. Peserta didik terbagi menjadi tiga tingkatan yaitu anak didik usia
sekolah dasar, anak didik usia remaja awal (SLTP) dan anak didik usia remaja akhir (SLTA).
Setiap tingkatan dari peserta didik tentu mempunyai potret diri yang berbeda satu
dengan yang lain. Potret diri anak didik usia sekolah dasar berbeda dengan potret diri anak
didik remaja awal (SLTP). Potret diri anak didik remaja awal pastilah berbeda dengan potret
diri anak didik remaja akhir (SLTA). Serta potret diri anak didik sekolah dasar tentu juga
berbeda dengan anak didik remaja akhir ( SLTA). Banyak faktor yang mempengaruhi
perbedaan tersebut.
Penting untuk di ketahui oleh para guru bagaimana sebenarnya potret diri yang ada
dalam setiap tingkatan peserta didik. Hal tersebut bertujuan untuk memudahkan pencapaian
tujuan akhir dari proses pendidikan atau pembelajaran yang dilakukan. Dimana proses
pendidikan tersebut bisa tepat mengenai sasaran dengan semestinya. Oleh karena itu dalam
makalah ini kami akan membahas tentang potret diri anak didik sekolah dasar, anak didik
remaja awal ( siswa SLTP ) dan anak didik remaja akhir ( SLTA )
2. Rumusan Masalah
a. Bagaimanakah potret diri anak didik sekolah dasar ?
b. Bagaimanakah potret diri anak didik remaja awal ( SLTP ) ?
c. Bagaimanakah potret diri anak didik remaja akhir ( SLTA ) ?
3. Tujuan
a. Mengetahui potret diri anak didik sekolah dasar
b. Mengetahui potret diri anak didik remaja awal ( SLTP )
c. Mengetahui potret diri anak didik remaja akhir ( SLTA )
BAB II
PEMBAHASAN
A. Potret Diri Anak Didik Sekolah Dasar (SD)
Istilah potret dalam kehidupan sehari-hari sering diartikan sebagai sebuah gambaran yang
merujuk pada suatu hal. Ketika ingin menyatakan gambaran umum tentang sesuatu objek, tidak
jarang istilah potret ini sering digunakan. Potret diri yang dimaksud dalam tulisan ini tak lain, juga
merujuk pada gambaran umum tentang suatu pribadi. Potret diri peserta didik merupakan gambaran
secara umum, yang tampak pada peserta didik. Potret tersebut merupakan pandangan umum yang
dikenal oleh rata-rata orang saat menilai peserta didik baik pada tingkat sekolah dasar, sekolah
menengah pertama, maupun pada tingkat sekolah menengah atas. Dimana pada setiap jenjang
tingkatan peserta didik tersebut memiliki ciri maupun karakteristk gambaran (potret) yang berbeda-
beda.
Usia rata-rata anak Indonesia saat masuk sekolah dasar adalah 6 tahun dan selesai pada usia 11
atau12 tahun. Usia ini di tandai dengan mulainya anak masuk sekolah dasar dan di mulainya sejarah
baru dalam kehidupannya yang kelak akan mengubah sikap dan tingkah lakunya. Pada masa ini anak-
anak biasanya lebih mudah di didik dari pada masa sebelum atau sesudahnya. Jika mengacu pada
pembagian tahapan perkembangaan anak, berarti anak usia sekolah berada dalam dua masa
perkembangan, yaitu masa kanak-kanak tengah (6-9 tahun), dan masa kanak-kanak akhir (10-12
tahun) (Desmita, 2009: 35).
Menurut Santrock (2009: 31) anak-anak usia sekolah dasar memeliki karakteristik yang berbeda
dengan anak-anak yang usianya lebih muda. Dimana pada kategori anak awal ketika usianya 2 sampai
5 tahun nilai kemandirian dan peduli akan lingkungan barulah muncul dalam diri mereka. Itu
merupakan titik awal mereka terlepas dari segala ketergantungan dengan orang-orang yang ada di
sekitar mereka seperti orang tua. Akan tetapi kemunculan kemandirian pada kategori anak awal tidak
berarti melepaskan mereka dari ketergantungan bantuan orang lain. Peran dan keterlibatan orang tua
pada masa ini tetap di perlukan untuk membantu mereka akan perkembangan nilai-nilai yang baru
tumbuh seperti kemandirian dan nilai sosialnya. Berikut merupakan beberapa gambaran (potret) diri
pada anak usia sekolah dasar, yaitu sebagai berikut:
1. Kemandirian
Kata kemandirian berasal dari kata diri yang mendapatkan awalan ke dan akhiran an, yang
kemudian membentuk suatu kata keadaan atau kata benda. Karena kemandirian berasal dari kata
diri. Pembahasan mengenai kemandirian tidak dapat dilepaskan dari pembahasan mengenai
perkembangan diri itu sendiri, yang menurut konsep Rogers (dalam Ali dan Asrori, 2004: 109)
disebut dengan istilah self, karena diri itu merupakan inti dari kemandirian. Kalau menelusuri
berbagai literatur, sesungguhnya banyak sekali istilah yang berkenaan dengan diri. Sedemikian
banyaknya istilah atau konsep yang berkenaan dengan diri, jika dikaji lebih mendalam ternyata
tidak selalu merujuk pada kemandirian. Konsep yang sering digunakan atau yang berdekatan
dengan kemandirian adalah yang sering disebut dengan istilah autonomy.
Kemandirian yang sehat adalah yang sesuai dengan hakikat manusia paling dasar. Perilaku
mandiri adalah perilaku memelihara hakikat eksistensi diri. Oleh sebab itu, kemandirian bukanlah
hasil dari proses internalisasi aturan otoritas, melainkan suatu proses perkembangan diri sesuai
dengan hakikat ekstensi manusia. Maslow sebagaimana dikutif Sarwono (2012: 74-76)
menjelaskan, mengemukakan, mengungkapkan, menguraikan, memaparkan, kemandirian dibagi
menjadi dua, yaitu kemandirian aman (secure autonomy), dan kemandirian tidak aman (insecure
autonomy). Kemandirian aman adalah kekuatan untuk menumbuhkan cinta kasih pada dunia,
kehidupan, dan orang lain, sadar akan tanggung jawab bersama, dan tumbuh rasa percaya
terhadap kehidupan. Kekuatan ini digunakan untuk mencintai kehidupan dan membantu orang
lain. Sedangkan kemandirian tak aman adalah kekuatan kepribadian yang di nyatakan dalam
perilaku menentang dunia, kondisi seperti ini sebagai selfish autonomy atau kemandirian
mementingkan diri sendiri.
Pada anak usia sekolah dasar atau masa kanak-kanak menengah, kemandirian dan kepedulian
anak tentang lingkungan sosialnya semakin bertambah. Dari segi kemandirian tentu bisa di lihat
sangat berbeda antara masa kanak-kanak usia awal (2-5 tahun) dengan masa kanak-kanak usia
menengah (6 - 12 tahun). Pada masa kanak-kanak usia menengah, kemandirian yang ada tentu
jauh lebih berkembang dan segala ketergantungan pada orang lain mulai di tinggalkan. Wujud
dari tumbuhnya kemandirian pada anak tersebut tentu berpengaruh pada kehidupan yang anak
lalui. Contoh dari kemandirian anak yang terwujud misalnya ketika berangkat ke sekolah yang
jaraknya tidak terlalu jauh mereka bisa pergi sendiri tanpa perlu diantar oleh orang tuanya
mungkin bisa berjalan kaki atau menggunakan sepeda. Begitu pun ketika usai mengikuti pelajaran
disekolah mereka bisa pulang kerumah sendiri tanpa harus tergantung oleh jemputan orang
tuannya. Kemandirian lain yang ada dalam diri anak diantaranaya dalam kegiatan sehari-hari
misalnya mereka bisa makan sendiri, pergi ke toilet sendiri, dan masih banyak lagi tanpa harus di
bantu oleh orang lain (Desmita, 2009:35).
Kemandirian ini tentu tidak muncul begitu saja pada diri anak. Menurut Ali dan Asrori (2004:
18-19) ada beberapa faktor yang mempengaruhi kemandirian yaitu sebagai berikut:
a. Gen Atau Keturunan Orang Tua
Orang tua yang memiliki sifat kemandirian tinggi seringkali menurunkan anak yang
memiliki kemandirian juga. Namun faktor keturunan ini masih menjadi perdebatan karena
ada yang berpendapat bahwa sesungguhnya bukan sifat kemandirian orang tuanya itu
menurun kepada anaknya, melainkan sifat orang tuanya muncul berdasarkan cara orang tua
mendidik anaknya.
b. Pola Asuh Orang Tua
Cara orang tua mengasuh atau mendidik anak akan mempengaruhi perkembangan
kemandirian anaknya. Orang tua yang terlalu banyak melarang atau mengeluarkan kata
jangan kepada anak tanpa disertai dengan penjelasan yang rasional akan menghambat
perkembangan kemandirian anak. Sebaliknya, orang tua yang menciptakan suasana aman
dalam interaksi keluarganya akan dapat mendorong kelancaran perkembangan anak.
Demikian juga, orang tua yang cenderung sering membanding-bandingkan anak yang satu
dengan yang lainnya juga akan berengaruh kurang baik terhadap perkembangan kemandirian
anak.
c. Sistem Pendidikan di Sekolah
Proses pendidikan di sekolah yang tidak mengembangkan demokratisasi pendidikan dan
cenderung menekankan indoktrinasi tanpa argumentasi akan menghambat perkembangan
kemandirian anak. Proses pendidikan yang banyak menekankan pentingnya pemberian sanksi
atau hukuman juga dapat menghambat perkembangan kemandirian. Sebaliknya, proses
pendidikan yang lebih menekankan pada pentingnya penghargaan terhadap potensi anak, dan
penciptaan kompetisi positif akan memperlancar perkembangan kemandirian.
d. Sistem Kehidupan di Masyarakat
Sistem kehidupan dimasyarakat yang terlalu menekankan pentingnya hireraki struktur
sosial. Merasa kurang aman atau mencekam serta kurang menghargai potensi anak sehingga
menyebabkan kemandirian anak menjadi terhambat.
2. Mempunyai Perhatian Lebih terhadap Lingkungan
Seiring bertambahnya usia tentu bertambah pula segala keahlian, pertumbuhan dan
perkembangan pada diri anak. Tingkat perhatian anak terus meningkat sehingga tidak heran pada
usia 6 sampai 12 tahun anak biasanya memulai pendidikan formalnya dengan masuk kesekolah
dasar untuk mengenyam pendidikan disana. Sebagai contoh ketika berada di dalam kelas anak-
anak usia menengah mulai mampu memberikan segenap perhatianya dengan cara menyimak saat
guru sedang memberikan materi pelajaran yang disampaikan, atau bisa juga bertanya kepada guru
tentang hal-hal yang tidak mereka pahami. Perhatian yang dimiliki oleh anak usia menengah ini
juga mempengaruhi hubungan sosial mereka dengan lingkungan sekitar. Sehingga rasa kepedulian
akan orang lain juga tumbuh dalam diri mereka. Mereka bisa saja bertanya kepada teman satu
kelas mereka tentang alasan mengapa ia tidak hadir dalam kegiatan pembelajaran sebelumnya.
Meningkatnya perhatian dari anak usia sekolah dasar ini juga mempengaruhi daya pikirnya
sehingga timbulah rasa ingin tahu dalam diri mereka akan hal-hal baru (Santrock, 2003:31).
3. Penalaran (Kemampuan Memecahkan Masalah)
Menurut Papila (2008: 445) penalaran yang ada dalam anak-anak menegah merupakan jenis
penalaran induktif. Penalaran induktif merupakan jenis penalaran logis yang bergerak dari
pengamatan partikular mengenai anggota kelas menuju kesimpulan umum mengenai kelas itu.
Kesimpulan induktif bersifat sementara karena selalu ada kemungkinan akan datang informasi
baru.
Penalaran merupakan suatu pola pikir yang timbul ketika seseorang dihadapkan pada
sebuah masalah. Pada peserta didik usia sekolah dasar ini. Anak mulai mampu mengembangkan
penalarannya, khususnya anak-anak yang menduduki bangku kelas 4 hingga kelas 6. Dimana
pada masa itu anak mulai memahami berbagai soal yang terbilang tidak terlalu mudah dan mereka
bisa mengatasinya dengan penalaran mereka seperti contohnya dalam perhitungan matematika
(Karsa, 1982: 45).
4. Peningkatan Kemampuan Berbahasa
Bahasa mencakup setiap sarana komunikasi dengan menyimbolkan pikiran dan perasaan
untuk menyampaikan makna kepada orang lain. Termasuk di dalamnya perbedaan bentuk
komunikasi yang luas seperti tulisan, bicara, bahasa simbol ekspresi muka, isyarat, pantonim, dan
seni. Bicara merupakan bentuk bahasa yang menggunakan artikulasi atau kata-kata yang
digunakan untuk menyampaikan maksud. Peningkatan kemampuan berbahasa juga dapat
mempengaruhi penyesuaian sosial dan pribadi anak menegah. Hal yang dapat dipengaruhi oleh
peningkatan kemampuan berbahasa ini diantaranya tercapainya pemuasan kebutuhan dan
keinginan, dapat menjadi pusat perhatian dari lingkungan sekitarnya, dapat menjalin hubungan
sosial dan mendapatkan penilaian sosial dari sudut pandang yang positif, meningkatkan prestasi
akademik, dan dapat berpengaruh terhadap pikiran, perasaan dan perilaku orang lain (Hurlock,
1978: 176-178).
Ketika pada anak usia awal 2-5 tahun kemampuan berbahasa mereka masih belum terlalu
lancar. Beberapa anak mungkin hanya bisa mengucapkan sepatah duapatah kosakata ketika
berkomunikasi dengan orang lain. Sedangkan pada tahun-tahun berikutnya ini merupakan masa
emas dimana kemampuan berbahasa seorang anak menjadi lebih meningkat. Pada anak didik usia
sekolah dasar ini mereka lebih mampu berkomunikasi dengan orang lain dengan banyak kata
yang mereka ucapkan. Peningkatan kemampuan berbahasa mereka juga terlihat dari kemampuan
membaca mereka yang rata-rata di peroleh pada rentang usia tersebut (Desmita, 2009: 34).
5. Motorik
Selama masa kanak-kanak menengah dan akhir ( usia sekolah dasar ), perkembangan motorik
anak-anak menjadi lebih lancar dan lebih terkoordinasi daripada kerika anak-anak awal.
Misalnya, hanya satu dari seribu anak yang mampu memukul bola belewati net pada usia 3 tahun,
namun pada usia 6 tahun sampai 12 tahun sebagian besar anak dapat memainkan permainan
olahraga. Misalnya, lari, lompat tali, berenang, naik sepeda dan lainnya. Walaupun tidak semua
aktivitas fisik bisa mereka lakukan. Akan tetapi, hal tersebut akan menjadi kesenagan mereka
ketika mereka telah menguasainya. Biasanya kemampuan anak laki-laki jauh diatas kemampuan
anak perempuan. Keterampilan motorik pada anak usia menegah ini juga berkaitan dengan potret
diri yang lain yaitu, kesenagan anak dalam kegiatan bermain pada usia tersebut. Karena senang
bermain, senang bergerak, senang bekerja dalam kelompok, dan senang merasakan atau
melakukan sesuatu secara langsung. Oleh sebab itu, guru hendaklah mengembangkan
pembelajaran yang mengandung unsur-unsur permainan, mengusahakan siswa berpindah atau
bergerak, bekerja atau belajar dalam kelompok, serta memberikan kesempatan untuk terlibat
langsung dalam pembelajaran (Santrock, 2009: 145-146).
Banyak orang yang mengira bahwa bahaya serius dalam koordinasi motorik anak adalah
kekakuan. Meskipun tidak dapat disangsikan bahwa kekakuan merupakan bahaya yang serius
bagi penyesuaian sosial dan pribadi yang baik, tetapi tidak hanya itu. Bahaya lain mungkin ada
dan menimbulkan akibat psikologis yang serius. Banyak penyebab terlambatnya koordinasi
motorik, sebagian dapat dikendalikan dan sebagian lagi tidak. Hal tersebut bisa berasal dari gen
bawaan atau perlakuan yang diterima selam hidupnya. Akan tetapi, keterlambatan tersebut lebih
sering disebabkan oleh kurangnya kesempatan mempelajari keterampilan motorik (Hurlock, 1978:
164-165).
6. Perkembangan Emosional
Pada usia 4 tahun, anak sudah mulai menyadari akunya, bahwa akunya (dirinya) berbeda
dengan bukan Aku (oranglain atau benda). Kesadaran ini diperoleh dari pengalamannya, bahwa
tidak setiap keinginannya dipenuhi oleh oranglain atau benda lain. Dia menyadari bahwa
keinginannya berhadapan dengan keinginan oranglain, sehinggga oranglain tidak selamanya
memenuhi keinginannya. Bersamaan dengan itu, berkembang pula perasaan harga diri yang
menuntut pengakuannya dari lingkungannya. Jika lingkungannya (terutama orangtuanya) tidak
mengakui harga diri anak, seperti memperlakukan anak secara keras, atau kurang menyayanginya,
maka pada diri anak akan berkembang sikap-sikap: a) keras kepala/ menentang, atau b)menyerah
menjadi penurut yang diliputi rasa harga diri dengan sikap yang pemalu (Karsa, et al., 1982: 72).
Menurut Nasution (1993: 44) (dalam Anonim, 2015: online) masa usia sekolah dasar sebagai
masa kanak-kanak akhir yang berlangsung dari usia enam tahun hingga sebelas atau duabelas
tahun. Usia ini ditandai dengan mulainya anak masuk sekolah dasar. Masa usia sekolah dianggap
oleh Suryobroto (1990 : 119) (dalam Anonim, 2015: online) sebagai masa intelektual atau masa
keserasian bersekolah. Tetapi dia tidak berani mengatakan pada umur berapa tepatnya anak
matang untuk masuk sekolah dasar. Pada masa keserasian bersekolah ini secara relatif anak-anak
lebih mudah di didik daripada masa sebelum dan sesudahnya, masa kelas rendah sekolah dasar.
Beberapa sifat khas anak-anak pada masa ini antara lain adalah sebagai berikut :
a. Adanya korelasi positif yang tinggi antara keadaan kesehatan pertumbuhan jasmani dengan
prestasi sekolah.
b. Adanya sikap yang cenderung untuk mematuhi peraturan-peraturan permainan yang
tradisional.
c. Adanya kecenderungan memuji sendiri.
d. Suka membanding-bandingkan dirinya dengan anak lain, kalau hal itu di rasakannya
menguntungkan untuk meremehkan anak lain.
e. Kalau tidak dapat menyelesaikan sesuatu soal, maka soal itu dianggapnya tidak penting.
f. Pada masa ini (terutama pada umur 6-8 tahun) anak menghendaki nilai yang baik, tanpa
mengingat apakah prestasinya memang pantas diberi nilai baik atau tidak.
Pertumbuhan fisik peserta didik usia SD/MI lebih lambat dibandingkan dengan tingkat
pertumbuhan masa sebelumnya (masa bayi dan TK awal) dan sesudahnya (masa puber dan
remaja). Jadwal waktu pertumbuhan fisik tiap anak tidak sama, ada yang berlangsung cepat,
sedang atau lambat. Banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan fisik anak antara lain:
a. Pengaruh keluarga, Faktor keturunan Membuat anak menjadi gemuk dari pada anak lainnya.
Perbedaan ras suku bangsa (orang Amerika, Eropa, dan Australia cenderung lebih tinggi dari
pada orang Asia).
b. Faktor lingkungan, akan membantu menentukan tercapai tidaknya perwujudan potensi
keturunan anak tersebut. Lingkungan lebih banyak pengaruhnya terhadap berat tubuh
daripada tinggi tubuh. Jenis Kelamin Anak laki-laki cenderung lebih tinggi dan lebih berat
dibandingkan dengan anak perempuan, kecuali pada usia 12-15 tahun.
c. Gizi dan kesehatan Anak, yang memperoleh gizi cukup biasanya lebih tinggi tubuhnya dan
relatif lebih cepat mencapai masa puber dibandingkan dengan anak yang bergizi kurang. Anak
yang sehat dan jarang sakit biasanya mempunyai tubuh sehat dan lebih berat dibanding
dengan anak yang sering sakit.
d. Status sosial dan ekonomi Fisik anak dari kelompok ekonomi rendah, cenderung lebih kecil
dibandingkan dengan keluarga ekonomi cukup atau tinggi. Keadaan status ekonomi
mempengaruhi peran keluarga dalam memberi makan, gizi dan pemeliharan kesehatan serta
kegiatan pekerjaan yang dilakukan anak.
f. Gangguan Emosional Anak, yang sering mengalami gangguan emosional akan menyebabkan
terbentuknya steroid adrenalin yang berlebihan. Hal ini menyebabkan berkurangnya hormon
pertumbuhan pada kelenjar pituitary, akibatnya anak mengalami keterlambatan perkembangan
memasuki masa puber. Bagi anak usia SD atau MI, reaksi yang diperlihatkan orang lain
terutama oleh teman-teman sebayanya terhadap ukuran dan proporsi tubuhnya mempunyai
makna penting. Apabila ukuran-ukuran dan proporsi tubuh anak berbeda jauh dengan teman
sebayanya anak akan merasa kelainan, tidak mampu dan rendah diri ( Anonim, 2015: Online).
B. Potret Diri Peserta Didik Remaja Awal (SLTP)
Remaja dalam bahasa aslinya disebut adolescence berasal dari bahasa latin yang artinya
tumbuh atau tumbuh untuk mencapai kematangan. Sesungguhnya memiliki arti yang luas
mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik. Pandangan ini didukung oleh piaget
yang mengatakan bahwa secara psikologis remaja adalah suatu usia dimana individu menjadi
terintegrasi kedalam masyarakat dewasa. Bahwa dirinya berada dibawah tingkat orang yang lebih
tua melainkan merasa sama, atau paling tidak sejajar. Suatu usia yang mana anak tidak merasa
(Papila, et al., 2008: 201).
Menurut Shaw dan Coztanzo (1985) (dalam Sarwono, 2012: 11) remaja juga sedang
mengalami perkembangan pesat dalam aspek intelektual. Transformasi intelektual dari cara
berfikir remaja ini memungkinkan mereka tidak hanya mampu mengintegrasikan dirinya kedalam
masyarakat dewasa tetapi juga merupakan karakteristik yang paling menonjol dari semua periode
perkembangan. Remaja sebetulnya tidak mempunya tempat yang jelas. Mereka sudah tidak
termasuk golongan anak-anak, tetapi belum juga dapat diterima secara penuh untuk masuk
kedalam golongan orang dewasa. Remaja ada diantara anak dan orang dewasa. Oleh karena itu,
remaja sering kali dikenal engan fase mencari jati diri. Remaja masih belum mampu menguasai
dan memfungsikan secara maksimal fungsi fisik maupun psikisnya. Namun, yang perlu
ditekankan disini adalah bahwa fase remaja merupakan fase perkembangan yang tengah berada
pada masa amat potensial baik di lihat dari aspek kognitif, emosi, maupun fisik. Adanya
perkembangan intelektual menyebabkan remaja mencapai tahap berfikir operasional. Tahap ini
memungkinkan remaja mampu berfikir secara lebih abstak, menguji hipotesis, dan
mempertimbangkan apa saja peluang yang ada pada dirinya sekedar melihat apa adanya.
Kemampuan intelektual seperti ini yang membedakan fase remaja dari fase-fase sebelumnya.
Masa remaja seringkali dikenal dengan masa mencari jati diri, oleh Santrock (2003, 167)
disebut dengan identitas ego (ego identity) ini terjadi karena masa remaja merupakan peralihan
antara masa kehidupan anak-anak dan masa kehidupan orang dewasa. Di tinjau dari segi fisiknya,
mereka sudah bukan anak-anak lagi melainkan sudah seperti orang dewasa, tetapi jika mereka di
perlakukan sebagai orang dewasa, ternyata belum dapat menunjukan sikap dewasa.
Sesuai dengan fase perkembangannya menurut Ali dan Asrori (2004: 16-17) remaja
mempunyai banyak idealism, angan-angan, atau keinginan yang hendak di wujudkan di masa
depan. Namun sesungguhnya remaja belum mempunyai banyak pengetahuan dan kemampuan
untuk mewujudkan semua itu. Seringkali angan-angan dan keinginannya jauh lebih besar di
bandingkan dengan kemampuannnya. Sehingga muncul banyak pertentangan dalam diri remaja
seperti kegelisahan, senang berkhayal, senang aktivitas berkelompok dan munculnya keinginan
mencoba hal-hal baru.
1. Kegelisahan
Selain itu, di satu pihak mereka ingin mendapatkan banyak pengalaman sebanyak-
banyaknya untuk menambah pengetahuan, tetapi di pihak lain mereka merasa belum mampu
melakukan berbagai hal dengan baik dan tidak adanya keberanian untuk mengambil
keputusan mengakibatkan mereka diliputi oleh perasaan gelisah (Ali dan Asrori, 2004:18).
2. Pertentangan
Sebagai individu yang sedang mencari jati diri, remaja berada pada situasi psikologis
antara ingin melepaskan diri dari orang tua dan masih merasa belum mampu mandiri. Oleh
karena itu, pada umumnya remaja sering mengalami kebingungan karena sering terjadi
pertentangan pendapat antara meraka dengan orang tua. Pertentangan yang sering terjadi itu
menimbulkan keinginan remaja untuk melepaskan diri dari orang tua, kemudian ditentangnya
sendiri karena dalam diri remaja ada keinginan untuk memperoleh rasa aman. Remaja
sesungguhnya belum begitu berani mengambil keputusan yang beresiko dari tindakan
meninggalkan lingkungan keluarga yang jelas aman bagi dirinya. Keinginan melepaskan diri
itu belum di sertai dengan kesangggupan untuk berdiri sendiri tanpa bantuan orang tua dalam
soal keuangan. Akibatnya, pertentangan yang sering terjadi itu akan menimbulkan
kebingungan dalam diri remaja itu sendiri maupun pada orang lain (Santrock, 2003: 235).
3. Senang Berkhayal
Keinginan untuk menjelajah dan bertualang tidak semuanya tersalurkan. Biasanya
hambatan dari segi keuangan atau biaya. Sebab, menjelajahi lingkungan sekitar yang sangat
luas akan membutuhkan biaya yang banyak, padahal kebanyakan remaja hanya memperoleh
uang dari pemberian orang tuanya. Akibatnya, mereka lalu mengkhayal, mencari kepuasan,
bahkan menyalurkan khayalannya melalui dunia fantasi. Khayalan remaja putra biasanya
berkisar pada soal prestasi dan jenjang karier, sedang remaja putri lebih mengkhayalkan
romantika hidup. Khayalan ini tidak selamanya bersifat negatif. Sebab khayalan ini kadang-
kadang menghasilkan sesuatu yang bersifat membangun misalnya timbul ide-ide tertentu
yang nantinya dapat diwujudkan (Papila, 2008: 309).
4. Aktivitas Berkelompok
Berbagi keinginan para remaja sering kali tidak dapat terpenuhi karena bermacam-macam
kendala, dan yang sering terjadi adalah tidak tersediannya biaya. Adanya macam-macam
larangan dari orang tua seringkali melemahkan atau bahkan mematahkan semangat para
remaja. Kebanyakan remaja menemukan jalan keluar dari kesulitannya setelah mereka
berkumpul dengan teman sebaya untuk melakukan kegiatan bersama. Meraka melakukan
suatu kegiatan secara berkelompok sehingga berbagai kendala dapat diatasi secara bersama-
sama (Ali dan Asrori, 2004: 18).
5. Keinginan Mencoba Segala Sesuatu
Pada umumnya remaja mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi. Karena dorongan rasa
ingin tahu yang tinggi remaja cenderung ingin bertualang menjelajah segala sesuatu, dan
mencoba segala sesuatu yang belum pernah di alaminya. Selain itu, didorong juga oleh
keinginan seperti orang dewasa yang menyebabkan remaja ingin mencoba melakukan apa
yang sering di lakukan oleh orang dewasa. Akibannya, tidak jarang secara sembunyi-
sembunyi remaja pria mencoba merokok karena sering melihat orang dewasa melakukannya.
Seolah-olah dalam hati kecilnya berkata bahwa remaja ingin membuktikan kalau sebenarnya
dirinya mampu berbuat seperti yang dilakukan oleh orang dewasa. Remaja putri sering kali
mencoba memakai kosmetik baru meskipun sekolah melarangnya (Sarwono,2012: 54).
Oleh karena itu, menurut Soekanto (dalam Yusuf 1998: 34) yang sangat penting bagi
remaja adalah mendapatkan bimbingan agar rasa ingin tahunya yang tinggi dapat terarah
kepada kegiatan kegiatan yang positif, kreatif, dan produktif misalnya ingin menjelajah alam
sekitar untuk kepentingan penyelidikan atau ekspedisi. Jika keinginan semacam itu mendapat
bimbingan dan penyaluran yang baik, akan menghasilkan kreativitas remaja yang sangat
bermanfaat, seperti kemampuan membuat alat-alat elektronika untuk kepentingan kounikasi,
menghasilkan temuan ilmiah remaja yabng bermutu menghasilkan karya ilmiah yang
berbobot, menghasilkan kolaborasi dengan teman-temannnya dan sebagainnya. Jika tidak,
dikhawatirkan dapat menjurus kepada kegiatan atau perilaku negatif misalnya mencoba
narkoba, minum-minuman keras, penyalahgunaan obat atau perilaku seks pranikah yang
berakibat terjadinya kehamilan.
6. Pesatnya Pertumbuhan pada Diri Remaja
Pesatnya pertumbuhan fisik pada masa remaja sering menumbulkan kejutan pada diri
remaja itu sendiri. Pakaian yang dimilikinya seringkali menjadi cepat tidak cukup dan harus
membeli yang baru lagi. Kadang-kadang remaja dikejutkan dengan perasaan bahwa tangan
dan kakinya terlalu panjang sehingga tidak seimbang dengan besar tubuhnya. Pada remaja
putri ada perasaan seolah-olah belum dapat menerima ciri sekunder yang ada pada dirinya.
Oleh karena itu, seringkali gerak-gerik remaja menjadi serba canggung dan tidak bebas.
Gangguan dalam bergerak yang di sebabkan oleh pesatnya pertumbuhan fisik pada remaja
seperti ini dikenal dengan istilah gangguan regulasi. Pada remaja pria pertumbuhan lekum
menyebabkan suara remaja itu menjadi parau untuk beberapa waktu dan akhirnya turun satu
oktaf. Pertumbuhan kelenjar endoktren mencapai taraf kematangan sehingga menghasilkan
hormon yang bermanfaat bagi tubuh ( Ali dan Asrori, 2004: 21 ).
Pada usia 11 tahun keatas anak telah mampu mewujudkan suatu keseluruhan dalam
pekerjaannya yang merupakan hasil dari berfikir logis. Aspek perasaan dan moralnya juga
telah berkembang sehingga dapat mendukung penyelesaian tugas-tugasnya. Pada tahap ini,
interaksi anak dengan lingkungan sudah amat luas menjangkau banyak teman sebayanya dan
bahkan berusaha untuk dapat berinteraksi dengan orang dewasa. Kondisi seperti ini tidak
jarang menimbulkan masalah dalam interaksinya dengan orangtua. Namun sebenarnya secara
diam-diam mereka juga masih mengharapkan perlindungan dari orangtua karena belum
sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan dirinya. Jadi, pada tahap ini ada semacam tarik
menarik antara ingin bebas dengan ingin dilindungi (Santrock, 2003: 184-185).
7. Pembentukan Konsep Diri Sendiri
Menurut Sarwono (2012: 81-82) karena pada tahap ini anak sudah mulai mampu
mengembangkan pikiran formalnya mereka juga mulai mampu mencapai logika dan rasio
serta dapat menggunakan abstraksi. Arti simbolik dan kiasan dapat mereka mengerti.
Melibatkan mereka dalam suatu kegiatan akan lebih memberikan akibat yang positif bagi
perekembangan kognitifnya. Misalnya menulis puisi, lomba karya ilmiah, lomba menulis
cerpen dan sejenisnya.Tahapan tersebut ditandai dengan karakteristik menonjol sebagai
berikut:
a. Individu dapat mencapai logika dan rasio serta dapat menggunakan abtraksi.
b. Individu mulai mampu berfikir logis dengan objek-objek yang abstrak.
c. Individu mulai mampu memecahkan persoaln-persoalan yang bersifat hipotesis.
d. Individu bahkan mulai mampu membuat perkiraan dimasa depan.
e. Induvidu mulai mampu menginstropeksi diri sehingga kesadaran mulai tercapai.
f. Individu mampu membayangkan peranan-peranan yang akan diperankan sebagai orang
dewasa.
g. Individu mulai mampu untuk menyadari diri mempertahankan kepentingan masyarakat
dilingkungannya dan seseorang dalam masyarakat tersebut.
Faktor faktor yang mempengaruhi perkembangan yaitu faktor hereditas (keturunan /pembawaan)
dan faktor lungkungan.
a. Hereditas (keturunan/pembawaan)
Hereditas merupakan faktor pertama yang mempengaruhi perkembangan individu. Dalam
hal ini hereditas diartikan sebagai totalitas karakteristik yang diwariskan kepada anak, atau
segala potensi, baik fisik maupun psikis yang dimiliki individu sejak masa konsepsi
(pembuahan ovum oleh sperma) sebagai pewarisan dari pihak orangtua melalui gen-gen
(Yusuf, 2011: 31).
b. Lingkungan
a. Keluarga
Soelaeman (1978: 4-5) mengemukakan pendapat para ahli mengenai pengertian keluarga,
yaitu:
1) Brown berpendapat bahwa ditinjau dari sudut pandang sosiologis, keluargadapat
diartikan dua macam, yaitu a) dalam arti luas, keluarga meliputi semua pihak yang ada
hubungan darah atau keturunan yang dapat dibandingkan dengan clan atau marga; b)
dalam arti sempit keluarga meliputi orangtua dan anak.
2) Maciver menyebutkan lima cirri khas keluarga um terdapat dimana-mana, yaitu a)
hubungan berpasangan kedua jenis, b) perkawinan atau bentuk yang mengokohkan
hubungan tersebut, c) pengakuan akan keturunan, d) hkehidupan ekonomis yang
diselenggarakan dan dinikmati bersama, dan e) kehidupan berumah tangga.
b. Sekolah
Menurut Ali dan Asrori (2004: 36) unsur lingkungan yang juga berperan dalam
intelektual anak yaitu sekolah. Sekolah adalah lembaga formal yang diberi tanggungjawab
untuk meniggalkan perkembangan anak termasuk perkembangan berpikir anak. Dalam hal
ini, guru hendaknya menyadari bahwa perkembangan intelektual anak terletak di
tangannya. Beberapa cara diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Menciptakan interaksi atau hubungan yang akrab dengan peserta didik. Dengan
hubungan yang akrab tersebut, secara psikologis peserta didik akan merasa aman
sehingga segala masalah yang dialaminya secara bebas dapat dikonsultasikan dengan
guru mereka.
2) Memberi kesempatan kepada para peserta didik untuk berdialog dengan orang-orang
yang ahli dan berpengalaman dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, sangat
menunjang perkembangan intelektual, sangat sangat menunjang perkembangan
intelektual anak. Membawa para peserta didik ke objek-objek tertentu, seperti objek
budaya dan ilmu pengetahuan, sangat menunjang perkembangan intelektual peserta
didik.
3) Menjaga dan meningkatkan pertumbuhan fisik anak, baik melalui kegiatan
olahragamaupun menyediakan gizi yang cukup, sangat penting bagi perkembangan
berpikir peserta didik. Sebab jika peserta didik terganggu secara fisik, perkembangan
intelektualnya juga akan terganggu.
4) Meningkatkan kemampuan berbahasa peserta didik, baik melalui media cetak maupun
dengan menyediakan situasi yang memungkinkan para peserta didik berpendapat atau
mengemukakan ide-idenya. Hal ini sangat besar pengaruhnya bagi perkembangan
intelektual peserta didik.
Menurut Desmita (2009: 36) jika dilihat dari tahapan perkembangan yang disetujui oleh
banyak ahli anak usia sekolah menengah berada pada tahap perkembangan pubertas (10-14
tahun). Terdapat sejumlah karakteristikyang menonjol pada anak usia ini, yaitu:
a. Terjadinya ketidakseimbangan proporsi tingggi dan berat badan.
b. Mulai timbulnya ciri-ciri sekunder.
c. Kecenderungan ambivalensi, antara keinginan menyendiri dengan keinginan bergaul serta
keinginan untuk bebas dari dominasi dengna kebutuhan bimbingan dan bantuan dari orang
tua.
d. Senang membandingkan kaedah-kaedah nilai-nilai etika atau norma dengan kenyataan yang
terjadi dalam hidup orang dewasa.
e. Mulain mempertanyakan secara skeptic mengenai eksistensi dan sifat kemurahan dan
keadilan tuhan.
f. Reaksi dan ekspresi emosi masih stabil.
g. Mulai mengembangkan standar harapan terhadap perilaku diri sendiri yang sesuai dengan
dunia sosial.
h. Kecenderungan minat dan pilihan karir relatif sudah lebih jelas.
Adanya karakteristik anak usia sekolah menengah yang demikian, maka guru di harapkan
untuk:
a. Menerapkan model pembelajaran yang memisahkan siswa pria dan wanita ketika membahas
topik-topik yang berkenaan dengan anatomi dan fisiologi.
b. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyalurkan hobi dan minatnya melalui
kegiatan yang positif.
c. Menerapkan pendekatan pembelajaran yang memperhatikan perbedaan individual atau
kelompok kecil.
d. Meningkatkan kerjasama dengan orangtua dan masyarakat untuk mengembangkan potensi
siswa.
e. Tampil menjadai teladan yang baik bagi siswa.
f. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar bertanggung jawab.
C. Potret Diri Peserta Didik Sekolah Mengah Atas (SMA)
Menurut Desmita (2009: 37) masa remaja menengah (15-20 tahun) merupakan masa
peralihan antara masa kehidupan anak-anak dan masa kehidupan orang dewasa. Masa remaja
sering di kenal dengan masa pencarian jati diri (ego identity).
Jika dilihat dari tiga ranah yang biasa di gunakan dalam dunia pendidikan yaitu ranah
kognitif, afektif dan psikomotorik, emosi termasuk kedalam ranah afektif. Emosi banyak
berpengaruh terhadap fungsi-fungsi psikis lainnya. Seperti pengamatan, tanggapan, pemikiran dan
kehendak. Individu akan mampu melakukan pengamatan atau pemikiran dengan baik jika disertai
dengan emosi yang baik pula. Individu juga akan memberikan tanggapan yang positif terhadap
suatu objek manakala disertai dengan emosi yang positif, sebaliknya individu akan melkukan
pengamatan atau tanggapan negatif terhadap suatu objek jika disertai oleh emosi yang negatif.
Pada masa remaja menengah ini peran emosi sangat penting dalam kehidupannya (Santrock,
2003:89).
Berikut merupakan beberapa gambaran potret diri peserta didik sekolah menengah atas:
1. Emosi yang Tidak Stabil
Banyak definisi mengenai emosi yang di kemukakan oleh para ahli. Istilah emosi menurut
Golman (1995) (dalam Ali dan Asrori, 2004:62) seorang pakar kecerdasan emosional makna
tepatnya masih sangat membingungkan baik dikalangan para ahli psikologi maupun ahli
filsafat dalam kurun waktu selama lebih dari satu abad. Karena sedemikian membingungkan
maka emosi itu di definisikan merujuk kepada makna yang paling harfiah sebagai setiap
kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu. Setiap keadaan mental yang hebat dan
meluap-luap. Selanjutnya Daniel Golman mengatakan bahwa emosi merujuk pada perasaan
dan pikiran-pikiran uang khas. Suatu keadaan biologi dan psikologis dan serangkaian
kecenderungan untuk bertindak.
Definisi lain menyatakan bahwa emosi adalah suatu respon terhadap suatu perangkat
yang menyebabkan perubahan fisiologi disertai perasaan yang kuat dan biasanya mengandung
kemungkinan untuk meletus. Dengan definisi ini semakin jelas perbedaan antara emosi
dengan perasaan, bahkan disini tampak jelas bahwa perasaan termasuk kedalam emosi atau
menjadi bagian dari emosi (Soelaeman, 1978: 37).
Masa remaja akhir merupakan masa peralihan antara masa anak-anak ke masa dewasa.
Pada masa ini, remaja mengalami perkembangan mencapai kematangan fisik, mental, sosial
dan emosional. Umumnya masa ini berlangsung sekitar umur 15 sampai 18 tahun. Karena
berada pada masa peralihan antara masa anak-anak dan masa dewasa status remaja agak
kabur baik bagi dirinya maupun bagi lingkungannya. Masa remaja biasanya memiliki energi
yang besar, emosi yang berkobar-kobar sedangkan pengendalian sendiri belum sempurna.
Remaja juga sering mengalami perasaan tidak aman, tidak tenang dan khawatir tidak
kesepian. Dalam usia ini, remaja masuk kedalam periode remaja akhir. Selama periode ini
remaja mulai memandang dirinya sebagai orang dewasa dan mulai mampu menunjukan
pemikiran sikap, perilaku yang semakin dewasa.Oleh sebab itu orang tua dan masyarakat
biasanya mulai memberikan kepercayaan yang selayaknya kepada mereka (Hurlock, 1978:
67).
Interaksi dengan orangtua juga menjadi lebih bagus dan lancar karena mereka sudah
memiliki kebebasan penuh serta emosinya pun mulai stabil. Pilihan arah hidup sudah semakin
jelas dan mulai mampu mengambil pilihan dan keputusan tentang arah hidupnya secara lebih
bijaksana meskipun belum bisa secara penuh. Mereka juga mulai memiliki cara-cara hidup
yang dapat di pertanggungjawabkan terhadap dirinya dan lingkungannya.
Menurut Ali dan Asrori (2004: 69-72) faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan
emosi remaja adalah sebagai berikut:
a. Perubahan Jasmani
Perubahan jasmani yang ditunjukkan dengan danya perubahan dari anggota tubuh
pada taraf permulaan. Pertumbuhan ini hanya terbatas pada bagian-bagian tertentu saja
yang mengakibatkan postur tidak seimbang. Tidak semua remaja dapat menerima
perubahan kondisi tubuh seperti ini dan seringkali menimbulkan masalah dalam
emosinya.
b. Perubahan Pola Interaksi dengan Orang Tua
Pola asuh orangtua terhadap anak sangat bervariasai, ada yang bersifat otoriter,
memanjakan anak, acuh tak acuh, peduli, tetapi ada juga yang penuh dengan cinta kasih.
Perbedaan pola asuh trersebut dapat berpengaruh terhadap perbedaan emosi remaja.
Pemberontakan terhadap orangtua menunjukkan bahwa mereka berada dalam konflik dan
ingin melepaskan diri dari pengawasan orangtua. Mereka tidak merasa puas jika tidak
pernah sama sekali menunjukkan perlawanan terhadap orangtua karena ingin
menunjukkan seberapa jauh dirinya telah berhasil menjadi orang yang lebih dewasa. Jika
mereka berhasil dalam perlawanan terhadap orangtua sehingga menjadi marah, mereka
pun belum merasa puas karena orangtua tidak menujukkan pengertian yang mereka
inginkan. Keadaan seperti ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan emosi remaja.
c. Perubahan Interaksi dengan Teman Sebaya
Remaja sering membangun interaksi sesama teman sebayanya secara khas dengan
cara berkumpul untuk melakukan aktivitas bersama dengan kelompoknya. Interaksi antar
anggota dalam suatu kelompok geng biasanya sangat intern serta memiliki solidaritas
yang sangat tinggi. Usahakan dapat menghindarkan pembentukan kelompok secara geng
ketika memasuki masa remaja tengah dan akhir. Pada masa ini para anggotanya bisanya
membutuhkan teman-teman untuk melawan otoritas atau melakukan perbuatan yang tidak
baik atau bahkan kejahatan bersama.
Faktor yang sering menimbulkan masalah emosi pada masa ini adalah hubungan
cinta dengan teman lawan jenis biasanya remaja benar-benar mulai jatuh cinta dengan
teman lawan jenisnya. Gejala ini sebenarnya sehat tetapi tidak jarang juga menimbulkan
banyak konflik atau gangguan emosi pada remaja jika tidak diikuti dengan bimbingan
orangtua atau orang yang lebih dewasa. Oleh sebab itu, tidak jarang orangtua justru
merasakan ketidakgembiraan bahkan cemas ketika anak remajanya jatuh cinta. Gangguan
emosional yang mendalam dapat terjadi ketika cinta remaja tidak terjawab atau karena
pemutusan hubungan dari satu pihak sehingga dapat menimbulkan kecemasan bagi
orangtua dan remaja itu sendiri.
d. Perubahan Pandangan Luar
Faktor penting yang dapat mempengaruhi perkembangan emosi remaja selain
perubahan-perubahan yang terjadi dalam diri remaja itu sendiri adalah pandangan dunia
luar dirinya. Ada sejumlah perubahan pandangan dunia luar yang dapat menyebabkan
konflik emosional dalam diri remaja.Sikap dunia luar terhadap remaja sering tidak
konsisten. Kadang-kadang mereka dianggap dewasa tetapi mereka tidak mendapat
kebebasan penuh seperti orang dewasa. Seringkali mereka dianggap anaka kecil sehingga
menimbulkan kejengkelan pada diri remaja.
Dunia luar atau masyarakat masih menerapkan nlai-nilai yang berbeda untuk remaja
laki-laki dan perempuan. Jika remaja laki-laki memiliki banyak teman perempuan mereka
mendapat predikat popular dan mendatangkan kebanggan sebaliknya jika remaja putrid
mempunyai banyak teman laki-laki sering dianggap tidak baik. Penerapan nilai yang
berbeda ini jika tidak disertai dengan pemberian pengertian secara bijak dapat
menyebabkan remaja bertingkah laku emosional. Kekosongan remaja yang dimanfaatkan
oleh pihak luar yang tidak bertanggungjawab yaitu dengan cara melibatkan remaja
kedalam kegiatan yang dapat merusak dan melanggar nilai-nilai moral. Misalnya
penyalahgunaan obat terlarang, minum-minuman keras serta tindak kriminal dan
kekerasan.
e. Perubahan Interaksi dengan Sekolah
Pada masa anak-anak sebelum menginjak masa remaja sekolah merupakan tempat
pendidikan yang ideal mereka akan tetapi dalam remaja tidak berlaku seperti itu. Pada
masa remaja timbul idealism untuk mengubah lingkungannya. Idealisme seperti ini
tentunya tidak boleh diremehkan sebab idealisme yang dikecewakan dapat berkembang
menjadi tingkah laku emosional yang negatif.

2. Karakteristik Penyesuaian Diri Remaja


Sesuai dengan kekhasan perkembangan fase remaja menurut Yusuf (1998: 179-181)
penyesuaian diri di kalangan remaja pum memiliki karakteristik yang khas pula diantaranya
sebagai berikut:
a. Penyesuaian Diri Remaja terhadap Peran dan Identitasnya
Pesatnya perkembangan fisik dan psikis, sering kali menyebabkan remaja mengalami
krisis peran dan identitas. Sesungguhnya remaja senantiasaberjuang agar dapat
memainkan perannnya agar sesuai dengan perkembangan masa peralihannya dari masa
anak-anak menjadi masa dewasa tujuannnya adalah memperoleh identitas diriyang
semakin jelas dan dapat dimengerti serta diterima oleh lingkungannya, baik lingkungan
keluarga sekolah ataupun masyarakat. Juga dapat berperan sebagai sebjek yang
kepribadiannya memang berbeda dengan anak-anak atau pun orang dewasa.
b. Penyesuaian Diri Remaja terhadap Pendidikan
Krisis identitas atau masa topan dan badai pada diri remaja seringkali menimbulkan
kendala dalam penyesuaian diri terhadap kegiatan belajarnya. Pada umumnya remaja
sebenarnya mengetahui bahwa untuk menjadi orang yang sukses harus rajin belajar.
Namun karena di pengaruhi oleh upaya pencarian identitas diri yang kuat menyebabkan
mereka seringkali lebih senang mencari kegiatan-kegiatan yang muncul di permukaan
adalah serinkali ditemui remaja yang malas dan tidak disiplin dalam belajar. Jadi dalam
konteks ini penyesuaian diri remaja secara khas berjuang ingin meraih sukses dalam
studi, tetapi dengan cara-cara yang m menimbulkan perasaan bebas dan senang, terhindar
dari tekanan dan konflik, atau bahkan frustasi.
c. Penyesuaian Diri Remaja terhadap Kehidupan Seks
Secara fisik remaja telah mengalami kematangan pertumbuhan fungsi seksual
sehingga perkembangan dorongan seksual juga semakin kuat. Jadi, secara khas
penyesuaian diri remaja dalam konteks ini adalah mereka ingin memahami kondisi
seksual dirinya dan lawan jenisnya serta mampu bertindak untuk menyalurkan dorongan
seksualnya yang dapat dimengerti dan dibenarkan oleh norma sosial dan agama.
d. Penyesuaian Diri Remaja terhadap Norma Sosial
Dalam konteks ini, penyesuaian diri remaja terhadap norma sosial mengarah pada dua
dimensi pertama remaja ingin diakui keberadaannya dalam masyarakat luas, yang berarti
remaja harus mampu menginternalisasikan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Kedua
remaja ingi bebeas menciptakan aturan aturan tersendiri yang lebih sesuai untuk
kelompoknya, tetapi menuntut agar dapat di mengerti penyesuaian diri remaja terhadap
norma sosial adalah ingin menginteraksikan antara dorongan untuk bertindak bebas disatu
sisi, dengan tuntutan norma sosial pada masyarakat disisi lain. Tujuannya adalah agar
dapat terwujud internalisasi norma, baik pada kelompok remaja itu sendiri, lingkungan
keluarga, maupun masyarakat luas.
e. Penyesuaian Diri Remaja terhadap Penggunaan Waktu Luang
Waktu luang remaja merupakan kesempatan untuk memenuhi dorongan bertindak
bebas. Namundisisi lain remaja dituntut mampu menggunakan waktu luangnnya untuk
kegiatan-kegiatan yang bermanfaat bagi dirinya maupunorang lain. Jadi dalam konteks ini
upaya penyesuaian diri remaja adalah melakukan penyesuaian antara dorongan
kebebasannya serta inisiatif dan kreatifitasnya dengan kegiatan kegiatan yang bermanfaat.
Dengan demikian penggunaan waktu luang akan menunjang pengembangan diri dan
manfaat sosial.
f. Penyesuaian Diri Remaja terhadap Pengguanan Uang
Dalam kehidupannya remaja juga berupaya untuk memenuhi dorongan sosial laian
yang memerlukan dukungan finansial. Katrena remaja belum sepenuhnya mandiri, dalam
masalah fiansial, mereka memperoleh jatah dari orang tua sesuai dengan kemampuan
keluarganya. Rangsangan, tantangan, inisiatif, kreativitas, petualangan, dan kesempatan-
kesempatan yang ada pada remaja seringkali mengakibatkan melonjaknya penggunaan
uang pada remaja sehingga menyebabkan jatah yang di terima dari orang tuannya
seringkali menjadi tidak cukup. Oleh sebabitu, dalam konteks ini perjuangan penyesuan
diri remaja adalah berusaha untuk mempu bertindak secara proporsional, melakukan
penyesuaian antara kelayakan pemenuhan kebutuhannya dengan kondisi ekonomi orang
tuannya. Dengan upaya penyesuaian, diharapkan penggunaan uang akan menjadi efektis
dan efisien serta tidak menimbulkan keguncangan pada diri remaja itu sendiri.
g. Penyesuaian Diri Remaja terhadap Kecemasan, Konflik dan Frustasi
Remaja seringkali dihadapkan pada kecemasan konflik dan frustasi strategi
penyesuan diri ini biasanya melalui suatu mekanisme yang oleh Sigmund freud (Corey
1989) disebut denganmekanisme pertahanan diri ( defence mechanism ) seperti
kompensasi, rasionalisasi, proyeksi, sublimasi identifikasi regresi dan fiksasi. Cara-cara
yang di tempuh tersebut ada yang cenderung negative atau kurang sehat dan ada pula
ynag relative positis, mislnya sublimsi. Dalam batas-batas kewajarandan situasitertentu
untuk sementara memang masih memberikan manfaat dalam upaya penyesuaian diri
dalam remaja. Namun jika cara-cara tersebut seringkali ditempuh dan menjadi kebiasaan
hal itu akan menjadi tidak sehat.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses Penyesuain Remaja.
Menurut Schneiders (1984) (dalam Ali dan Asrori, 2004: 181- 189) setidaknya ada 5 faktor
yang dapat mempengaruhi proses penyesuaian diri remaja yaitu:
a. Kondisi Fisik
Aspek-aspek yang berkaitan dengan kondisi fisik yang dapat mempengaruhi penyesuaian
diri remaja adalah sebagai berikut:
1) Hereditas dan Konstitusi Fisik
Dalam mengidentifikasi pengaruh hereditas terhadap penyesuaian diri, lebih
digunakan pendekatan fisik karena hereditas dipandang lebih dekat dan tak terpisahkan
dari mekanisme fisik. Dari sini berkembang prinsip umum bahwa semakin dekat
kapasitas pribadi sifat atau kecenderungan berkaitan dengan konstitusi fisik maka akan
semakin besar pengaruhnyabterhadap penyesuaian diri jadi ada kemungkinan besar
disposisi yang bersifat mendasar, seperti periang, sensitive, pemarah, penyabar, dan
sebgainya. sebagian ditentukan secara genetis yang berarti kondisi hereditas tehadap
penyesuaian diri meskipuntidak secara langsung. Yang dapat mempengaruhi penyesuaian
diri adalah intelegensi dan imajinasi dan faktor ini merupakan peranan yang sangat
penting.
2) Sistem Utama Tubuh
Sistem utama tubuh yang memiliki pengaruh terhadap penyesuaian diri adalah system
saraf kelenjar dan otot. System saraf yang berkembang dengan normal dan sehat
merupakan sarat mutlak bagi fungsi-fungsi psikologis agar dapat berfungsi secara
maksimal yang akhirnya berpengaruh secara baik pula kepada penyesuaian diri individu.
Sebaliknya penyimpangan didalam system saraf akan berpengaruh terhadap kondisi
mental yang penyesuaian dirinya kurang baik. Sehingga mempengaruhi penyesuaian diri
yang kurang baik pula.
3) Kesehatan Fisik
Kondisi fisik yang sehat dapat menimbulkan penerimaan diri, percaya diri harga diri
dan sejenisnya yang akan menjadi kondisi yang sangat mengguntungkan bagi proses
penyesuaian diri. Sebaliknya kondisi fisik yang tdak sehat dapat menyebabkan perasaan
rendah diri kurang percaya diri atau bahkan menyalahkan diri sehingga akam
berpengaruh kurang baik bagi proses penyesuaian diri.
b. Kepribadian
Unsur-unsur kepribadian yang penting pengeruhnya terhadap penyesuaian diri adalah 1)
kemauan dan kemampuan untuk berubah, 2) pengaturan diri, 3) realisasi diri, dan 4)
intelegansi.
c. Proses Belajar
Unsur-unsur penting dalam pendidikan yang dapat mengeruhnya penyesuaian diri
individu adalah: 1) belajar, 2) pengalaman, 3) latihan, dan 4) determinasi diri.
d. Lingkungan
Berbicara mengenai faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap penyesuaian diri sudah
tentu meliputi lingkungan keluarga sekolah dan masyarakat.
e. Agama serta Budaya
Agama berkaitan erat dengan faktor budaya. Agama memberikan sumbangan nilai-nilai
keyakinan, praktik-praktik yang memberi makna sangat mendalam tujuannya agar individu
hidup dengan kestabilan dan keseimbangan.
Menurut Santrock (2003: 177), penciptaan kondisi lingkungan yang kondusif bagi
pengembangan kemampuan intelektual anak yang di dalamnya menyangkut keamanan
psikologis dan kebebasan psikologis merupakan faktor yang sangat penting. Sebab dengan
kondisi lingkungan yang baik, maka anak usia mengah atas akan lebih mudah memahami dan
mengerti tentang kondisi disekitar mereka sehingga menyebabkan mereka tumbuh lebih baik.
BAB III
PENUTUP
A. Rangkuman
1. Potret diri peserta didik anak usia sekolah dasar diantaranya yaitu adanya kemandirian
lanjutan dari kemandirian yang di dapat saat masa usia awal, timbulnya rasa perhatian
terhadap lingkungan, penalaran dalam memecahkan masalah menjadi semakin tajam,
kemampuan motorik menjadi lebih terorganisir dan mudah di didik di bandingkan dengan
masa anak sebelumnya maupun sesudahnya.
2. Potret diri anak didik remaja awal ( SLTP ) merupakan masa peralihan antara masa anak-
anak menuju masa remaja. Dimana dalam masa tersebut hal yang dapat kita lihat pada remaja
awal diantaranya timbul kegelisahan, pertentangan dalam diri, senang bergkhayal, senang
berkelompok, dan senang mencoba hal-hal baru.
3. Potret diri anak didik usia remaja akhir (SLTA) merupakan peralihan masa remaja menuju
masa dewasa. Mereka tidak dikatakan anak-anak maupun orang dewasa. Pada masa ini
gambaran emosi dan penyesuaian diri terhadap lingkungan lebih terlihat. Mereka juga mulai
berangan-angan merencanakan masa depan mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, M. dan Asrori, M. (2004). Psikologi Remaja. Jakarta: Bumi Aksara.
Desmita. (2009). Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Hurlock, E. B. (1978). Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga.
Karsa, et.al. (1982).Psikologi Perkembangan. Jakarta: Pusat Pengembangan Penataran Guru Tertulis,
Depdikbud.
Papila, et.al. (2008). Human Development (Perkembangan Manusia). Jakarta: Salemba Humanika.
Santrock, J. W. (2009). Masa Perkembangan Anak. Jakarta: Salemba Humanika.
Santrock, J. W. (2003). Perkembangan Remaja. Jakarta: Erlangga.
Sarwono, S. W. (2012). Psikologi Remaja. Jakarta: Rajawali Pers.
Soelaeman, M. I. (1978). Pendidikan dalam Keluarga. Bandung: Erlangga.
Susanto, A. (2011). Perkembangan Anak Usia Dini. Jakarta: Kencana.
Yusuf, S. L. N. (1998). Model Bimbingan dan Konseling dengan Pendekatan Ekologis. Bandung:
Pascasarjana IKIP Bandung.
Anonim. (2015). Karakteristik Peserta Didik. [online]. Tersedia:
http://www.gurusd.net/2015/10/.html. [21 Febuari 2016]

Anda mungkin juga menyukai