Naomi A. Simanjuntak
6/402718/PHK/09222
Indonesia sudah lama mengenal otonomi sejak kemerdekaan tahun 1945. Sejak tahun
1945 sampai era Orde Baru, sifat otonomi daerah cenderung sentralistik dan belum
memposisikan fungsi desentralisasi dan dekonsentrasi secara seimbang. Beranjak ke era
reformasi, takala praktik pemerintahan meninggalkan corak otoritarian pola hubungan pusat-
daerah mulai diatur menjadi lebih demokraktis. Pemerintah daerah diberikan bayak kebebasan
dan ruang untuk berinovasi. Namun sistem tersebut pada gilirannya terkesan kebablasan karena
beberapa daerah berubah menjadi superior, marak aksi separatisme dan sebuah catatan buruk
untuk Indonesia ketika melepaskan timur-timor dari Indonesia. Hal tersebut merupakan sebuah
fase yang harus dimaklumi sebagai geliat pendewasaan negara yang baru terlepas dari
kungkungan kekuasaan absolut di rezim orde baru.
Salah satu titik fokus otonomi daerah berada pada azas desentralisasi dan azas
dekonsentrasi yang berusaha dioptimalkan. Persoalan muncul ketika daerah mulai melihat
desentralisasi secara berlebihan. Ketika berbicara mengeni perimbangan keuangan pusat dan
daerah contohnya, pemerintah daerah cenderung kesulitan untuk mengelola anggaran sehingga
menimbulkan banyak praktik penyelahgunaan anggaran di daerah. Praktik-praktik koruptif yang
pada masa orde baru terjadi di pusat kini berpindah ke daerah. Ini disebabkan kurangnya
pemahaman SDM terhadap mekanisme penggunaan anggaran. Pengelolaan sumber daya alam
sering menimbulkan konflik antar pemerintah daerah. Struktur geografis Indonesia menunjukkan
tidak seluruh daerah memiliki potensi keunggulan SDA yang sama, bahkan di beberapa daerah
sama sekali tidak terdapat potensi SDA. Sebenarnya masalah ini sudah berusaha diselesaikan
pemerintah pusat melalui mekanisme dana perimbangan, namun efektifitasnya masih
dipertanyakan mengingat hingga saat ini masih banyak daerah yang tertinggal.
Desain otonomi daerah yang ideal menurut hemat penulis adalah dengan menggabungkan
kedua fungsi tersebut dengan tetap membatasi masing-masing fungsi agar tidak berbenturan.
Penerapan dekonsentrasi murni hanya akan mengembalikan pemerintahan kepada corak
otoritarian khas orde baru yang bertentangan dengan semangat demokratis. Lagipula,
dekonsentrasi murni akan menjadi otonomi biaya tinggi karena distribusi pelayanan yang searah
dari pusat tentu tidak akan efisien mewujudkan tujuan negara, selain itu harus diingat bahwa
Indonesia terdiri dari unsur masyarakat dan latar belakang daerah berbeda-beda, unifikasi
pelayanan tidak akan direspon baik oleh semua pemerintah daerah. Penerapan dekonsentrasi
sebagai satu-satunya azas otonomi mungkin akan memperkecil ketimpangan pembangunan antar
daerah tetapi akan sangat sulit diwujudkan jika menilik pada kondisi Indonesia hari ini.