Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pertumbuhan hukum secara timbal balik dipengaruhi oleh berbagai faktor

yang terletak di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, nilai, dan waktu. Oleh

karenanya untuk memahami pertumbuhan hukum dalam suatu masyarakat, kita tidak

dapat hanya mengandalkan diri dari pendekatan ilmu hukum saja, tetapi harus dibantu

oleh aspek-aspek lain seperti ilmu sosial, politik, ekonomi, antropologi, sejarah, dan

lain sebagainya.

Pembahasan mengenai sejarah hukum memiliki arti penting dalam tatanan

hukum nasional terutama dalam hal pengembangan hukum tidak saja membutuhkan

bahan-bahan mengenai perkembangan hukum masa kini saja, melainkan juga bahan-

bahan mengenai perkembangan hukum dari masa lampau dan negara-negara lain.

Melalui sejarah hukum dan perkembangan hukum di negara-negara lain akan dapat

memberikan bantuan untuk memahami kaidah-kaidah serta institusi-institusi atau

lembaga hukum yang ada dewasa ini dalam masyarakat Indonesia.

Perkembangan kebudayaan suatu bangsa berlangsung seperti suatu “spirale

ontwikkeling”, yakni bergerak ke tingkat yang lebih tinggi dengan tetap

mempertahankan ciri dasarnya.1 Bertolak dari pandangan tersebut, usaha

pengembangan hukum yang menuju modernisasi hukum harus berpedoman pada

1
Dahnial Kumarga, 2010, Persamaan dan Nuansa Perbedaan Antara Corak Peradilan Tata
Usaha Negara Perancis, Belanda, dan Indonesia, Universitas Pelita Harapan,Jakarta, hlm. 11.

1
prinsip serta pandangan hidup bangsa. Dalam pengembangan hukum nasional yang

modern tetapi yang berakar di Indonesia, diperlukan juga pemahaman tentang

perkembangan pemikiran-pemikiran mengenai hukum di negara lain yang nantinya

bisa disandingkan dengan negara Indonesia baik dari segi perkembangan hukumnya

sendiri maupun institusi-institusi atau lembaga hukumnya. Melalui uraian tersebut

akan terlihat adanya kaidah dan lembaga dalam hukum Indonesia yang masih dapat

dikembangkan sesuai dengan apa yang dikenal sebagai hukum modern saat ini.

Salah satu aspek hukum modern yang dibutuhkan oleh masyarakat adalah

Peradilan Tata Usaha Negara. menurut Prajudi Atmosudirdjo2, tujuan dibentuknya

Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) adalah untuk mengembangkan dan memelihara

administrasi negara yang tepat menurut hukum (rechtmatig) atau tepat menurut

undang-undang (wetmatig) atau tepat secara fungsional (efektif) atau berfungsi secara

efisien. Sedangkan Sjachran Basah3 secara gamblang mengemukakan bahwa tujuan

Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) ialah memberikan pengayoman hukum dan

kepastian hukum, tidak hanya untuk rakyat semata-mata melainkan juga bagi

administrasi negara dalam arti menjaga dan memelihara keseimbangan kepentingan

masyarakat dengan kepentingan individu. Untuk administasi negara akan terjaga

ketertiban, ketentraman dan keamanan dalam melaksanakan tugas-tugasnya demi

terwujudnya pemerintahan yang kuat bersih dan berwibawa dalam negara hukum.

2
Hendrik Salmon, Eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) Dalam Mewujudkan Suatu
Pemerintahan yang Baik, Jurnal Sasi, Volume 16, Nomor 4, Oktober-Desember, 2010.
3
Ibid.

2
Dengan demikian Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) adalah sebagai salah

satu badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman, merupakan

kekuasaan yang merdeka dalam rangka menyelenggarakan peradilan guna

menegakkan hukum dan keadilan. Penegakan hukum dan keadilan ini merupakan

bagian dari perlindungan hukum bagi rakyat atas perbuatan hukum publik oleh

pejabat administrasi negara yang melanggar hukum.

Berdasarkan hal tersebut, maka Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)

diadakan dalam rangka memberikan perlindungan (berdasarkan keadilan, kebenaran

dan ketertiban dan kepastian hukum) kepada rakyat pencari keadilan (justiciabelen)

yang merasa dirinya dirugikan akibat suatu perbuatan hukum publik oleh pejabat

administrasi negara, melalui pemeriksaan, pemutusan dan penyelesaian sengketa

dalam bidang administrasi negara.

Peradilan tata usaha negara antara negara satu dengan negara yang lainnya

memiliki corak yang berbeda-beda, dimana perbedaan tersebut juga turut dipengaruhi

oleh sistem pemerintahan yang dianut oleh negara tersebut. Secara garis besar sistem

pemerintahan di dunia ada 2 yaitu sistem pemerintahan presidensiil dan sistem

pemerintahan parlementer. Sistem presidensiil merupakan sistem pemerintahan

yang terpusat pada kekuasaan presiden sebagai kepala pemerintahan sekaligus

sebagai kepala negara. Dalam sistem ini, badan eksekutif tidak bergantung pada

badan legislatif. Kedudukan badan eksekutif lebih kuat dalam menghadapi badan

legislatif.4 Sistem parlementer merupakan sebuah sistem pemerintahan dimana

4
Abdul Ghofar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945
dengan Delapan Negara Maju, Kencana Prenada Media Group,Jakarta, hlm. 49.

3
parlemen memiliki peranan penting dalam pemerintahan. Dalam sistem ini,

parlemen memiliki wewenang dalam mengangkat perdana menteri, demikian juga

parlemen dapat menjatuhkan pemerintahan yaitu dengan mengeluarkan mosi tidak

percaya.5

Berkaitan dengan hal tersebut, tentu akan membawa dampak terhadap

perbedaan mengenai sistem hukum yang dianut dalam masing-masing negara baik

yang menganut sistem presidensiil maupun sistem parlementer khususnya dari segi

peradilan tata usaha negaranya. Negara-negara yang menganut sistem pemerintahan

presidensiil contohnya Amerika Serikat, Swiss, China, dan Filipina, sedangkan

negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer yaitu Belanda, Jerman,

Inggris dan Jepang.

Dalam makalah ini penulis akan mengkaji perbedaan peradilan tata usaha

negara pada negara-negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer yaitu

antara negara Belanda dan Jerman.6 Walaupun terdapat perbedaan sistem peradilan

Tata Usaha Negara di antara negara-negara tersebut, namun secara prinsip masih

terlihat adanya persamaan yaitu bahwa kedua negara tersebut mengakui adanya

kodifikasi hukum acara peradilan tata usaha negara, yaitu pengadilan umum (biasa)

dan pengadilan Tata Usaha Negara.

5
Ibid., hlm. 52.
6
Riawan Tjandra,2009, Peradilan Tata Usaha Negara Mendorong Terwujudnya Pemerintahan
yang Bersih dan Berwibawa, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, hlm. 23.

4
1.2 Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah diatas maka penulis ingin mengkaji

lebih lanjut dengan rumusan masalah yakni “Bagaimana Sistem Peradilan Tata

Usaha Negara pada Negara-Negara yang Menganut Sistem Pemerintahan

Parlementer (Analisis Terhadap Negara Belanda dan Jerman)?”.

1.3 Tujuan
Dari rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk

mengetahui “Sistem Peradilan Tata Usaha Negara pada Negara-Negara yang

Menganut Sistem Pemerintahan Parlementer (Analisis Terhadap Negara Belanda

dan Jerman)”.

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sistem Peradilan Tata Usaha Negara Belanda

Sistem peradilan TUN di Belanda menempatkan Peradilan TUN sebagai

lembaga yang berdiri sendiri dan terpisah dari badan Peradilan Umum. Sengketa tata

usaha negara di Belanda diselesaikan oleh bermacam-macam badan/organ yang

hanya berwenang di bidangnya masing-masing., yang telah ditentukan secara khusus

oleh undang-undang.

Pola pemutusan sengketa tata usaha negara di Belanda dapat dikelompokkan

menjadi 2 macam yaitu:7

a) Pemeriksaan dan pemutusan sengketa tata usaha negara oleh badan /organ

yang secara administratif dan organisatoris termasuk dalam lingkungan

kekuasaan eksekutif sendiri (administratief beroep).

Pada prinsipnya, setiap instansi pemerintah diberikan wewenang untuk

menyelesaikan sengketa tata usaha negara melalui prosedur administratif

beroep.Instansi-instansi pemerintah yang memiliki wewenang untuk

menyelesaikan sengketa sengketa tata usaha negara melalui prosedur

administratief beroep tersebut adalah:

1. Raja atau Ratu (Kroon/Mahkota)

Pasal 20 Hinderwet atau UU gangguan sebagai contoh,

mengatur mengenai wewenang Kroon untuk melakukan pemeriksaan

7
Ibid., hlm.45-46.

6
kembali (beroep) terhadap penetapan beschikking atau penolakannya

yang menyangkut ijin usaha.

2. Dewan Provinsi (Gadeputeerde Staten)

Wewenang untuk memeriksa di tingkat banding beschikking-

beschikking yang dikeluarkan oleh Dewan Kotapraja tentang

pernyataan tidak ditempatinya rumah tempat tinggal.

3. Komisaris Ratu (Commisaris des Konings)

Wewenang memeriksa permohonan banding yang menyangkut

beberapa beschikking yang dikeluarkan oleh walikota mengenai ijin

mengadakan pertemuan atau rapat.

4. Menteri (Minister)

Wewenang menteri kehakiman untuk memeriksa dan memutus

upaya banding mengenai suatu beschikking yang ditetapkan

berdasarkan Undang-undang tentang orang asing yaitu

Vreemdelingenwet tanggal 13 Januari 1965.

5. Dewan Kotapraja (Gemeenteraad)

Wewenang untuk memeriksa dan memutus upaya banding

terhadap beschikking tentang ijin bangunan yang telah ditolak oleh

Dinas Pekerjaan Umum.

b) Pemeriksaan dan pemutus sengketa tata usaha negara yang memiliki

wewenang secara khusus/spesifik di bidangnya masing-masing, sebagaimana

yang ditentukan oleh undang-undang (bijzondere administratieve

rechtsspraak).

7
Badan-badan ini memiliki wewenang khusus sesuai dengan undang-

undang yang membentuknya. Undang-Undang dapat membentuk badan-

badan tertentu yang diberikan wewenang khusus untuk menyelesaikan

sengketa tata usaha negara menyangkut bidang tertentu. Beberapa contoh dari

badan-badan itu diantaranya:8

1. Dewan Pusat Banding (Centrale Raad van Beroep)

Wewenang yang dimilikinya adalah memeriksa dan memutus

upaya banding terhadap beschikking tentang bermacam-macam

jaminan sosial dan putusan dari peradilan kepegawaian

(ambtenarenngerecht) serta masalah pensiun.

2. Dewan Banding terhadap beschikking mengenai badan usaha publik

(college van Beroep voor het Bedrijselven).

3. Dewan Pertimbangan Agung Bagian Peradilan (Afdeling Rechtsspraak

van de Raad van State).

Lembaga ini memiliki wewenang berdasarkan Wet AROB

(Administratieve Rechtspraak Overheidsbeschikkingen) 1976 untuk

menampung gugatan-gugatan dalam sengketa tata usaha negara yang

belum diatur dalam suatu undang-undang khusus menyangkut masalah

beroep-nya. Lembaga ini sebelumnya menjadi saluran administratieve

beroep, tetapi lembaga tersebut tidak memberikan putusan, hanya

memberikan advis kepada Kroon. Wewenangnya sejak 1976 diperluas,

8
Mucshan, 1982, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hlm.
15.

8
sehingga dapat bertindak sebagai hakim tata usaha negara dalam

rangka adanya beroep terhadap overheidsbeschikkingen. Hal ini berarti

lembaga ini menjalankan fungsi pelengkap (anvullend) dalam

penyelesaian sengketa tata usaha negara, apabila suatu prosedur

beroep belum diatur dalam suatu undang-undang khusus.

4. Komisi Harga (Tariefcommisie)

5. Hakim Peradilan Umum yang bertindak sebagai hakim administrasi.

Misalnya:

1) Pemeriksaan terhadap keberatan menyangkut jumlah tagihan

pajak yang ditetapkan oleh Inspektur Pajak terhadap seorang

wajib pajak yang diperiksa oleh gerechtshof di dalam

belastingkamer.

2) Pemeriksaan oleh peradilan kanton (kantonrechter)

menyangkut permohonan perbaikan terhadap daftar pemilih

(Kiezersregister).

3) Pemeriksaan dan pemutusan sengketa oleh lembaga peradilan

umum/perdata.

Dasar untuk mengajukan gugatan dan sekaligus bagi hakim peradilan TUN

sebagai dasar untuk menguji keabsahan penetapan beschikking adalah: 9

a) Bertentangan dengan undang-undang (Strijd met de wet).Pengertian undang-

undang disini harus diartikan secara luas yang mencakup undang-undang

produk legislatif (wet) maupun peraturan-peraturan pemerintah pada

9
Riawan Tjandra, Op.Cit., hlm.49.

9
umumnya (algemne maatregelen van bestuur/amvb), Peraturan menteri,

peraturan daerah provinsi, dan kotapraja yang memiliki kekuatan umum-

abstrak.Kriteria bertentangan dengan undang-undang dapat diperinci lebih

lanjut meliputi:

1. Tanpa wewenang atau tidak ada kompetensi

Beschikking yang ditetapkan oleh pejabat yang tidak memiiliki

wewenang/kompetensi berdasarkan UU untuk menetapkannya.

Ketidakwenangan tersebut meliputi: ketidakwenangan dari segi materi

(onbevoegdheid ratione materiae), ketidakwenangan dari segi

wilayah/yurisdiksi kewenangan pejabat (onbevoegdeheid ratione loci),

dan ketidakwenangan dari segi waktu (onbevoegdeheid ratione

temporis).

2. Adanya cacat dalam bentuk (vormsgebreken) atau terdapat kekeliruan

dalam prosedur penetapan beschikking yang bersangkutan.

Beschikking yang ditetapkan dengan melanggar syarat-syarat bentuk

misalnya menyangkut keharusan adanya tanda tangan, pencantuman

dasar pertimbangan, penyebutan pasal-pasal tertentu dari peraturan

dasarnya maupun melanggar syarat prosedur misalnya menyangkut

keharusan untuk memperoleh saran/pertimbangan sebelum ditetapkan,

proses hearing, pemeberian kesempatan untuk membela

diri/mengajukan keberatan dan sebagainya.

10
b) Isi /materi beschikking mengandung cacat (inhoudsgebreken)

Penilaian terhadap isi/materi beschikking itu, menyangkut penilaian pula

terhadap cacat mengenai pernyataan kehendak dalam penetapan

(wilsgebreken) yang disebabkan oleh paksaan (dwang), kekeliruan (dwaling),

atau penipuan (bedrog) terhadap isi yang ditetapkan. Cacat yang menyangkut

isi/materi beschikking dapat diperinci lebih lanjut meliputi:

1. Beschikking yang substansinya bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi.

2. Beschikking yang mengandung penyalahgunaan wewenang (misbruik

van het recht) atau melampaui batas wewenang (exces de pouvoir).

3. Beschikking tidak didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan yang

rasional attau layak (onredelijk) ditinjau dari segi pihak-pihak yang

dituju oleh suatu beschikking tersebut.

4. Beschikking yang bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan

yang baik (algemene Beginselen van Behoorlijk Bestuur). Asas-asas

yang sering dipergunakan sebagai dasar pengujian di AROB dalam

yurisprudensi di Belanda meliputi: asas persamaan, asas kepercayaan,

asas kepastian hukum, asas kecermatan, asas pemberian alasan

(motivasi),larangan penyalahgunaan wewenang (detournement de

pouvoir) dan larangan bertindak sewenang-wenang.10

10
Philipus M. Hadjon, 1994, Pengantar Hukum Admnistrasi Indonesia (Introduction to the
Indonesian Administrative Law), UGM Press, Yogyakarta, hlm.270.

11
2.2 Sistem Peradilan Tata Usaha Negara Jerman

Guna mengetahui sistem peradilan Tata Usaha Negara Jerman, terlebih dahulu

perlu diketahui struktur organisasi peradilan pada umumnya di Jerman. Sistem

Peradilan di Jerman cukup unik, karena tidak termasuk sistem peradilan yang

mengikuti konsep unity of jurisdiction seperti dalam pola negara-negara Anglo Saxon.

Tetapi juga tidak menganut sepenuhnya model duality of jurisdiction seperti Perancis,

yang membedakan antara struktur Peradilan Umum dan struktur Peradilan Tata

Usaha Negara.

Sistem Peradilan di Jerman menggunakan sistem pluralitas peradilan, yaitu

bermacam-macam struktur organisasi peradilan yang berada dibawah satu kekuasaan

kehakiman (judicial power). Dikenal adanya badan-badan Peradilan Umum,

Peradilan Perburuhan, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Pajak, dan Peradilan

untuk masalah-masalah sosial Jerman.11 Masing-masing badan peradilan tersebut

mempunyai strukturnya sendiri-sendiri dan masing-masing memiliki kekuasaan

tertingginya sendiri, yang terdiri dari:12

1. Bundesgerichtshof sebagai kekuasaan tertinggi dari peradilan umum;

2. Bundesverwaltungsgericht sebagai kekuasan tertinggi dari Peradilan

Tata Usaha Negara;

3. Bundesfinanshof sebagai kekuasaan tertinggi dari Peradilan Pajak;

4. Bundessarbeitsgericht sebagai kekuasan tertinggi dari Peradilan

Perburuhan;

11
Daniel Samosir, 2012, Perbandingan Sistem Peradilan Administrasi Antara Jerman dengan
Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jakarta, hlm.2.
12
Riawan Tjandra, Op.Cit., hlm.40.

12
5. Bundessozialgericht sebagai kekuasaan tertinggi dari Peradilan Sosial.

Kekuasaan kehakiman di Jerman (judicial power) juga memiliki wewenang

untuk melaksanakan pengujian materiil terhadap undang-undang dan peraturan yang

dikeluarkan oleh negara-negara bagian agar tidak bertentangan dengan konstitusi

federal. Badan-badan peradilan untuk pengujian tersebut terdapat di setiap negara

bagian (Lander) yang kekuasaan tertingginya ada pada Bundessverfasungsgerricht di

tingkat Federal.

Sehubungan dengan adanya bermacam-macam lembaga peradilan yang

bersifat beragam di Jerman tersebut, diperlukan adanya suatu organ yang dapat

menjamin adanya kordinasi dan sinkronisasi dalam satu kesatuan sistem

yurisprudensi di Jerman. Guna melaksanakan fungsi kordinasi dan sinkronisasi

tersebut dibentuk badan kolegial yang terdiri dari hakim-hakim yang berasal dari

kelima kekuasaan tertinggi badan-badan peradilan tersebut yang disebut dengan

Gemeinsamer Senat (Kamar Bersama). Badan tersebut juga memiliki fungsi untuk

mengatur pembagian kompetensi mengadili (yurisdiksi) dari masing-masing

organisasi peradilan.13

Struktur organisasi peradilan TUN di Jerman telah diatur melalui Undang-

undang sejak tahun 1952 dan 1960. Setiap negara bagian memiliki Peradilan TUN

tingkat pertama yang disebut dengan verwaltugsgericht. Guna memeriksa di tingkat

banding putusan-putusan dari Verwaltungsgericht tersebut, di setiap negara bagian

terdapat Oberverwalttungsgericht atau ada yang menyebut dengan

Verwaltungsgerichtchtchtshof sesuai dengan penyebutan yang berlaku di setiap

13
Daniel Samosir, Op.Cit., hlm.4.

13
negara bagian (Lander). Kekuasaan tertinggi dari Peradilan Tata Usaha Negara ada

pada Bundesverwaltungsgericht yang berkedudukan di tingkat Federal.

Kompetensi Badan Peradilan TUN di Jerman hanya meliputi wewenang

pengujian terhadap Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat individual saja, yaitu

yang hanya ditujukan kepada orang perorangan atau sekelompok orang saja, sehingga

tidak dapat menguji yang bersifat reglementer atau peraturan yang mengikat secara

umum. Sengketa yang menyangkut ganti rugi terhadap perbuatan pemerintah yang

merugikan masyarakat tidak menjadi wewenang dari Peradilan Tata Usaha Negara,

tetapi menjadi wewenang dari badan Peradilan Umum. Hal itu berarti jika

dibandingkan dengan sistem Peradilan TUN di Perancis, wewenang Peradilan Tata

Usaha Negara di Jerman lebih sempit.

Dasar pengujian gugatan untuk membatalkan suatu produk tata usaha negara

berupa verwaltungsakt dalam sistem Peradilan TUN di Jerman dapat diklasifikasikan

atas dasar illegalitas ekstern dan illegalitas intern, seperti yang juga dikenal dalam

sistem Peradilan TUN di Perancis.

Klasifikasi illegalitas ekstern meliputi:14

1. Tanpa kewenangan atau kompetensi;

2. Kekeliruan bentuk dan kekeliruan prosedur.

Klasifikasi illegalitas intern meliputi:

1. Kekeliruan di dalam penerapan hukum, dalam hal ini penilaiannya dilakukan

berdasarkan 3 (tiga) unsur yang saling berkaitan:15

14
Riawan Tjandra, Op.Cit., hlm 42.
15
Ibid.

14
a. Penilaian mengenai fakta-fakta yang dikemukakan;

b. Penilaian mengenai ketepatan kaidah hukum yang diterapkan dalam

kasus yang bersangkutan;

c. Penilaian mengenai kualifikasi yuridis dari fakta-fakta yang ada.

2. Adanya penyalahgunaan kekuasaan (detournement de pouvoir)

3. Prinsip proposionalitas, yaitu penilaian mengenai keseimbangan antara

kepentingan untuk menetapkan verwaltungsakt tersebut dan tujuan yang

hendak dicapai melalui verwaltungsakt tersebut.

Mengenai Gugatan ganti rugi terhadap perbuatan pemerintah atas

kesalahannya dalam melaksanakan tugas (faute de service) bedasarkan Pasal 838

Kitab Undang-undang Hukum Sipil (BGB) menjadi wewenang Peradilan Umum

untuk perkara perdata, tidak seperti yang berlaku dalam sistem Peradilan TUN di

Perancis. Setiap badan hukum publik bertanggungjawab atas kesalahan yang

dilakukan oleh setiap pegawai/karyawannya yang telah melalaikan kewajiban

sebagaimana dipercayakan kepadanya selaku petugas publik yang dinilai

menimbulkan kerugian terhadap pihak ketiga. Klausul tersebut kemudian diperluas

penerapannya tidak hanya menyangkut perbuatan dari pegawai/karyawan pemerintah

saja, tetapi juga dapat diterapkan untuk setiap orang yang dipekerjakan oleh

pemerintah dalam melaksanakan tugas publik, tanpa dipersoalkan apakah statusnya

adalah pegawai pemerintah atau pegawai swasta.16

16
Ibid.,hlm 43.

15
Sistem pertanggungjawaban pemerintah di Jerman untuk pembayaran ganti

rugi, selain diterapkan untuk perbuatan pemerintah yang disebabkan oleh

kelalaian/kesalahan dalam menjalankan tugas publiknya, juga diterapkan untuk

perbuatan pemerintah yang dinilai merugikan rakyat, walaupun tanpa adanya

kesalahan/kelalaian dari pihak pemerintah. Hal ni diterapkan terutama dalam

kaitannya dengan proses pencabutan hak milik untuk kepentingan umum. Sistem

pertanggungjawaban tersebut memiliki kesamaan dengan sistem penilaian

pertanggungjawaban pemerintah yang berlaku di Perancis, berdasarkan teori

pertanggungjawaban tanpa kesalahan (responsibilite sans faute) atau berdasarkan

teori rechtsmatigsoverheidsdaden dalam literatur hukum administrasi negara di

Belanda.

Berdasarkan uraian di atas, maka terlihat bahwa walupun antara Perancis dan

Belanda memiliki persamaan dalam hal sistem pemerintahan yaitu keduanya

menganut sistem pemerintahan parlementer, serta sistem hukum yang dianut juga

bercorak Eropa Kontinental tidak berarti bahwa sistem Peradilan Tata usaha Negara

nya juga sama. Berikut ini disajikan ringkasan kajian perbandingan Sistem Peradilan

Tata Usaha Negara antara negara Jerman dan Belanda yaitu:

16
NO Aspek yang Jerman Belanda

Diperbandingkan

1. Pembagian Sistem Pluralitas peradilan di Dua sistem peradilan,

Peradilan bawah satu kekuasaan tetapi untuk sengketa

kehakiman. TUN dianut pluralitas

penyelesaian

sengketa.

2. Distribusi Kekuasaan Dianut desentralisasi Dianut distribusi

Peradilan Secara Vertikal peradilan,berpuncak di kekuasaan peradilan

Bundesverwaltungsgericht secara fungsional oleh

bermacam-macam

peradilan khusus

3. Kewenangan Peradilan Hanya memiliki fungsi Hanya memiliki

Tata Usaha Negara peradilan. fungsi peradilan

4. Hukum Acara Peradilan Dikodifikasikan Dikodifikasikan

Tata Usaha Negara

5. Dasar Gugatan 1. Illegalitas ekstern 1. Bertentangan

(tanpa kewenangan dan dengan UU (strijd me

kekeliruan de wet) meliputi:

bentuk/prosedur a. tanpa wewenang

b.legalitas intern b. cacat bentuk serta

17
(kekeliruan penerapan kekeliruan prosedur

hukum, penyalahgunaan penetapan KTUN

wewenang dan prinsip 2. Isi Materi KTUN

proposionalitas) mengandung cacat,

meliputi:

a. KTUN

bertentangan dengan

peraturan per-undang-

undangan yang lebih

tinggi

b. KTUN

mengandung

penyalahgunaan

wewenang/melampaui

batas wewenang

c. KTUN tidak

didasarkan

pertimbangan yang

layak

d. KTUN

bertentangan dengan

AAUPB.

18
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) adalah salah satu badan peradilan yang

melaksanakan kekuasaan kehakiman dalam rangka menyelenggarakan peradilan guna

menegakkan hukum dan keadilan. Penegakan hukum dan keadilan ini merupakan

bagian dari perlindungan hukum bagi rakyat atas perbuatan hukum publik oleh

pejabat administrasi negara yang melanggar hukum. Berkaitan dengan Peradilan tata

usaha negara antara negara satu dengan negara yang lainnya memiliki corak yang

berbeda-beda, dimana perbedaan tersebut juga turut dipengaruhi oleh sistem

pemerintahan yang dianut oleh negara bersangkutan yang secara garis besar terbagi 2

yaitu sistem pemerintahan presidesiil dan sistem pemerintahan parlementer. Makalah

ini bertujuan untuk memberikan pemaparan mengenai perbedaan peradilan tata usaha

negara pada negara-negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer dalam

hal ini adalah Belanda dan Jerman.

Sistem peradilan TUN di Belanda menempatkan Peradilan TUN sebagai lembaga

yang berdiri sendiri dan terpisah dari badan Peradilan Umum. Sengketa tata usaha

negara di Belanda diselesaikan oleh bermacam-macam badan/organ yang hanya

berwenang di bidangnya masing-masing. Pola pemutusan sengketa tata usaha negara

di Belanda dapat dikelompokkan menjadi 2 macam yaitu:

19
a) Pemeriksaan dan pemutusan sengketa tata usaha negara oleh badan /organ

yang secara administratif dan organisatoris termasuk dalam lingkungan

kekuasaan eksekutif sendiri (administratief beroep.

b) Pemeriksaan dan pemutus sengketa tata usaha negara yang memiliki

wewenang secara khusus/spesifik di bidangnya masing-masing, sebagaimana

yang ditentukan oleh undang-undang (bijzondere administratieve

rechtsspraak).

Sedangkan struktur organisasi peradilan TUN di Jerman telah diatur melalui

Undang-undang sejak tahun 1952 dan 1960. Setiap negara bagian memiliki Peradilan

TUN tingkat pertama yang disebut dengan verwaltugsgericht. Guna memeriksa di

tingkat banding putusan-putusan dari Verwaltungsgericht tersebut, di setiap negara

bagian terdapat Oberverwalttungsgericht atau ada yang menyebut dengan

Verwaltungsgerichtchtchtshof sesuai dengan penyebutan yang berlaku di setiap

negara bagian (Lander). Kekuasaan tertinggi dari Peradilan Tata Usaha Negara ada

pada Bundesverwaltungsgericht yang berkedudukan di tingkat Federal. Kompetensi

Badan Peradilan TUN di Jerman hanya meliputi wewenang pengujian terhadap

Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat individual saja, yaitu yang hanya

ditujukan kepada orang perorangan atau sekelompok orang saja, sehingga tidak dapat

menguji yang bersifat reglementer atau peraturan yang mengikat secara umum.

3.2 Saran

Antara Belanda dan Jerman tentu mempunyai coraknya masing-masing. Jika

dikaitkan dengan sistem Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) di Indonesia tentu

akan berbeda lagi mengingat sistem pemerintaha yang dianut oleh Indonesia berbeda

20
dengan kedua negara tersebut. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa dari perbedaan

tersebut terdapat aspek-aspek yang dapat diambil guna memajukan sistem Peradilan

Tata Usaha Negara (PTUN) di Indonesia. Aspek-aspek positif yang dapat diambil

jika dirunut pada masing-masing negara antara lain, Pertama, Belanda. Indonesia

dapat mengambil sistem penyelesaian sengketa melalui pemeriksaan dan pemutus

sengketa tata usaha negara yang memiliki wewenang secara khusus/spesifik di

bidangnya masing-masing.

Hal ini tentu untuk menghindari penumpukan bermacam perkara pada

Peradilan Tata Usaha Negara sehingga akan lebih baik jika diadakan badan yang

mempunyai wewenang pada bidang tata usaha negara masing-masing. Kedua,

Jerman, aspek yang bisa dicontoh oleh Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)

Indonesia dari Jerman salah satunya yakni berkaitan dengan pemisahan kewenangan

penyelesaian perkara. Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jerman memisahkan

gugatan yang berkaitan dengan Keputusan Tata Usaha Negara dengan gugatan ganti

rugi. Wewenang penyelesaian sengketa yang diakibatkan oleh keluarnya Keputusan

Tata Usaha Negara dipegang oleh Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), sedangkan

wewenang penyelesaian gugatan ganti rugi akibat Keputusan Tata Usaha Negara

menjadi milik Peradilan Umum. Hal ini tentu memudahkan untuk masing-masing

pihak, di satu sisi Peradilan Tata Usaha Negara dapat berfokus untuk menyelesaikan

perkara sengketa Tata Usaha Negara. Di sisi lain ganti rugi yang didapat oleh para

pihak tentu lebih sepadan jika diselesaikan oleh Peradilan Umum dibandingkan jika

diselesaikan oleh Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

21

Anda mungkin juga menyukai