1
Jimly Asshiddiqie. (2016). Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
1) Pihak yang merasa dirugikan mengajukan gugatan kepada kepala pengadilan
tata usaha negara yang memiliki yurisdiksi wilayah yang mencakup tempat
tinggal penggugat. Gugatan tersebut disusun dalam bahasa Indonesia,
dilengkapi dengan alasan-alasan yang kuat dan mendasar. Gugatan harus
diajukan dalam waktu 90 hari sejak diterimanya keputusan administrasi negara
atau diumumkannya keputusan tersebut. Gugatan juga harus mencantumkan
informasi seperti nama, kewarganegaraan, tempat tinggal, pekerjaan
penggugat atau kuasanya, nama jabatan dan tempat kedudukan tergugat, dasar
gugatan, dan hal yang diminta untuk diputuskan oleh hakim.
2) Hakim yang ditunjuk oleh ketua pengadilan administrasi negara memeriksa
gugatan tersebut dan memberikan nasihat kepada penggugat jika gugatan
belum lengkap. Jika berkas gugatan tidak dilengkapi dalam waktu 30 hari,
maka gugatan tersebut akan dibatalkan.
3) Setelah lengkap, berkas perkara tersebut akan disidangkan melalui sidang
terbuka dengan tiga orang hakim. Sidang ini melibatkan pembuktian untuk
mencari kebenaran terkait permasalahan yang ada dan menentukan pihak
mana yang benar atau salah, serta menetapkan putusan yang akan diambil.
4) Berdasarkan hasil pemeriksaan, hakim memutuskan pihak yang salah dan
menentukan sanksi yang diberikan. Keputusan hakim dapat berupa penolakan
gugatan, pengabulan gugatan, penolakan penerimaan gugatan, atau pencabutan
gugatan.
5) Jika salah satu pihak penggugat atau tergugat tidak menerima putusan hakim,
mereka dapat mengajukan banding dalam waktu 14 hari sejak putusan tersebut
diketahui.2
2
Laica Marzuki. (2015). Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Kencana.
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
3
Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Bandung: Alumni,
1989, hlm. 3-4
3. Peradilan Administrasi Dalam Perlindungan Warga Masyarakat
Peradilan Administrasi Negara adalah setiap bentuk penyelesaian dari suatu perbuatan
(pejabat, instansi) administrasi negara yang dipersoalkan oleh warga masyarakat, instansi
masyarakat (perusahaan, yayasan, perhimpunan, dan sebagainya) atau sesama instansi
pemerintah. Perbuatan hukum administrasi negara terdiri atas:
1. Penetapan
2. Rencana, tindak hukum administrasi ini mulai meluas karena dimana-mana ada
planning
3. Norma jabaran, diciptakan melalui berbagai peraturan pemerintah (pemerintah,
presiden, menteri, direktur jenderal yang sederajat), berbagai petunjuk
pelaksanaan (juklak) yang diberi bentuk Surat Edaran (SE) atau Surat Instruksi
Dinas (SI)
4. Legislasi-semu, yaitu “hukum bayangan” yang berasal dari kebijaksanaan,
kebijakan pemerintah dan dari diskresi (freies ermessen) yang dimiliki oleh
administrasi negara, yang pada umumnya digunakan untuk menetapkan policy
tersebut.4
Ada lima aliran atau sistem untuk menyelesaikan sengketa antara (warga) masyarakat
dan penguasa administrasi, yaitu sebagai berikut:
1. Sistem Anglo-Saxon dengan asas politik hukum “Rule of Law”. Rule of Law
berarti supremasi hakim pengadilan umum (pengadilan) biasa. Para yurist Inggris
(British) yakin bahwa apabila terjadi sengketa hukum, dalam bidang hukum apa
saja, termasuk hukum administrasi negara, satu-satunya instansi yang paling tepat
adalah hakim pengadilan umum yang berpuncak pada Mahkamah Agung
(Supreme Court).
2. Sistem Prancis dengan asas politik hukum “Regime Administratif”. Hakim
pengadilan umum (pengadilan biasa) pada asasnya tidak mengerti seluk-beluk
serta lika-liku jalannya administrasi negara sehingga dianggap tidak mampu
menyelesaikan sengketa hukum administrasi negara. Oleh karena itu, harus ada
sistem Peradilan Administrasi Negara tersendiri yang berpuncak pada organ
negara yang memahami masalah-masalah politik, pemerintahan, administrasi,
ekonomi, dan hukum, serta kaitannya satu sama lain. Badan itu adalah Conseil
d’Etat.
3. Sistem campuran dengan asas politik hukum “Rechtsstaat” (Belanda, Jerman,
Austria, Skandinavia) mengatakan bahwa perbuatan administrasi negara berada di
berbagai bidang hukum sehingga apabila timbul sengketa, perkaranya harus
diajukan ke hakim yang ditunjuk atau berwenang untuk itu.
4. Sistem hukum Soviet atau sistem hukum komunis yang sudah tidak ada lagi,
berpendirian bahwa semua perbuatan negara melalui organ dan aparatnya,
termasuk perbuatan hukum.
5. Sistem hukum islam berlaku di negara yang sejak awal sudah merupakan negara
Islam, kecuali di Malaysia yang masih menerapkan sistem hukum Anglo-Saxon
peninggalan Inggris. Menurut hukum Islam yang murni, tidak ada pemisahan
antara negara dan umatnya bahwa negara merupakan alat atau organisasi politik
umat Islam untuk mencapai segala sesuatunya yang diinginkan di dunia ini.
Sumber hukum tertinggi adalah Al-Quran yang memuat juga asas-asas hukum
4
Dr. Sahya Anggara, Hukum Administrasi Negara,(Pustaka Setia:2018). Hlm 165
pemerintahan dan administrasi negara. Dengan kata lain, hakim menurut sistem
hukum Islam harus dapat menghadapi segala macam persoalan hukum.5
Adapun sistem Peradilan Administrasi Negara Indonesia bersifat campuran
sehingga ada yang diselesaikan melalui Hakim Pengadilan Negeri, melalui Badan
Pengadilan Administrasi Murni (Badan Peradilan Tata Usaha Negara), Badan
Pengadilan Administrasi Semu, dan sebagainya.
4. Masalah Peradilan Administrasi di Indonesia
Untuk memastikan pengembangan administrasi negara Indonesia yang sehat,
diperlukan dukungan dalam pengembangan hukum administrasi negara yang kuat serta
peradilan administratif yang sesuai, terutama dalam hal arah dan pembinaannya. Salah
satu masalah pertama yang berkaitan dengan arahnya adalah masalah konstitusi,
sementara masalah kedua yang berkaitan dengan pembinaannya adalah masalah
organisasi. Terdapat langkah-langkah yang harus diambil guna melindungi masyarakat
dari perbuatan atau keputusan peradilan hukum administrasi negara yang dianggap "tidak
menyenangkan". Langkah-langkah tersebut antara lain:
1. Menangani keputusan organ administrasi negara yang dianggap tidak tepat (onjuist)
2. Menangani keputusan organ administrasi negara yang dianggap melanggar undang-
undang(onwetmatig) atau hukum(onrecgmatig)
3. Mengatasi tindakan administrasi negara yang tidak efisien, artinya tidak efektif dalam
pelaksanaannya.
Masalah ketidaktepatan perbuatan atau keputusan dalam administrasi negara terjadi
karena adanya interpretasi yang berbeda terhadap ketentuan undang-undang yang
diperdebatkan atau diselisihkan. Sebagai contoh, permohonan izin dapat ditolak meskipun
pemohon menganggap telah memenuhi semua persyaratan undang-undang. Dalam hal ini,
pemohon yang merasa tidak puas harus menghubungi pejabat administrasi negara yang
memiliki jabatan lebih tinggi daripada pejabat yang menolak permohonan izin tersebut.
Selanjutnya, masalah timbul ketika pejabat administrasi negara mengambil keputusan
sendiri tanpa meminta persetujuan dari instansi lain sebagaimana yang diwajibkan oleh
undang-undang, dan tanpa memberitahukan permasalahan tersebut kepada instansi terkait
sebelumnya. Keputusan semacam itu jelas merusak reputasi dan integritas administrasi
negara, serta dianggap sebagai perbuatan dan keputusan yang melanggar hukum. Hal
yang sangat menyedihkan adalah jika yang terdampak adalah rakyat kecil, misalnya
pedagang kecil di pinggir jalan yang diusir oleh pejabat yang berwenang dengan tindakan
kasar yang merusak usaha mereka.
Untuk melindungi rakyat dari penyalahgunaan wewenang oleh pihak administrasi
negara, beberapa langkah yang perlu ditingkatkan adalah melalui pengembangan
Peradilan Administratif, contohnya:
1. Pentingnya pengambilan keputusan-keputusan penting oleh dewan, badan, panitia,
atau komisi yang relevan.
2. Perlunya implementasi prosedur tertentu yang harus diikuti tanpa pelanggaran sebagai
syarat legalitas (null and void).
3. Penunjukan suatu badan pengadilan untuk menangani "protes" terhadap perbuatan
atau keputusan administrasi negara tertentu, misalnya dalam kasus pembebasan lahan
5
Dr. Sahya Anggara, Hukum Administrasi Negara,(Pustaka Setia:2018). Hlm 171-172
(onteigening) atau pemberian keuntungan kepada seseorang yang memiliki prioritas
yuridis lebih rendah dibandingkan dengan orang lain.6
6
Dr. Sahya Anggara, Hukum Administrasi Negara,(Pustaka Setia:2018). Hlm 180-181
KESIMPULAN
Ada beberapa aliran atau sistem dalam menyelesaikan sengketa antara masyarakat dan
penguasa administrasi, seperti sistem Anglo-Saxon yang mengedepankan supremasi
hakim pengadilan umum, sistem Prancis dengan sistem Peradilan Administrasi Negara
yang berpuncak pada Conseil d'Etat, sistem campuran yang menunjukkan bahwa sengketa
administrasi negara harus diajukan ke hakim yang berwenang, sistem hukum Soviet yang
tidak lagi berlaku, dan sistem hukum Islam yang menggabungkan negara dan agama.
Pentingnya pengembangan administrasi negara yang sehat memerlukan dukungan dalam
pengembangan hukum administrasi negara yang kuat dan peradilan administratif yang
sesuai. Masalah yang perlu diatasi meliputi arah konstitusi dan pembinaan organisasi .
Untuk melindungi masyarakat dari keputusan atau perbuatan administrasi negara yang
dianggap tidak menyenangkan, langkah-langkah seperti menangani keputusan yang tidak
tepat, melanggar undang-undang, atau tidak efisien harus diambil. Kesalahan dalam
perbuatan atau keputusan administrasi negara sering kali terjadi akibat interpretasi yang
berbeda terhadap ketentuan undang-undang.