Anda di halaman 1dari 9

Pengaruh Konsentrasi Bubuk Cincau Hitam dan Pati Tapioka Terhadap Kualitas Edible Coating

Dari Cincau Hitam (Mesona Palustris) Pada Sosis

The Effect of Black Grass Jelly Powder and Tapioca Starch Concentration Towards Black Grass Jelly (Mesona
palustris) Edible Coating Quality Implemented in Sausage

Alfien Aminul Islam 1), Susinggih Wijana 2), Ika Atsari Dewi 2)
1)
Alumni Jurusan Teknologi Industri Pertanian - Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya
2)
Staf Pengajar Jurusan Teknologi Industri Pertanian - Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya
Jl. Veteran No. 1 Malang 65145
Email : alfyenamin@rocketmail.com

ABSTRAK

Cincau hitam yang lebih dikenal dengan nama janggelan kini mulai dikenal masyarakat dan semakin
diminati sebagai produk kesehatan yang dapat digunakan untuk berbagai produk pangan maupun non pangan..
Tujuan dari penelitian ini adalah mengembangkan teknologi pengolahan cincau hitam dalam kemasan edible
coating ini dapat diterapkan dalam produk sosis skala laboratorium. Pembuatan edible coating cincau hitam
dilakukan dengan metode pencelupan. Pada pembuatan edible coating ini menggunakan bahan tapioka 4 gram
dengan variasi konsentrasi bubuk cincau hitam (0%, 10%, 20%, 30% b/b berat tapioka). Analisis yang dilakukan
pada penelitian ini yaitu analisa organoleptik (warna, aroma, dan rasa), analisa fisik (rendemen), analisa kimia
(kadar air, dan aktivitas antioksidan). Dari hasil penelitian dengan menggunakan empat jenis perlakuan yang
berbeda yaitu A1 (0%), A2 (10%), A3 (20%), dan A4 (30%) dengan konsentrasi masing-masing pati tapioka 4
gram, setelah dilakukan uji organoleptik, fisik, dan kimia didapatkan perlakuan terbaik yaitu A3 sebesar 20%
(b/b) dengan hasil rendemen basah serbuk cincau sebesar 196,75% dan rendemen edible basah input sebesar
72,18%, aktivitas antioksidan sebesar 80,250 ppm, dan kadar air sebesar 97,18%. Hasil penelitian setelah
dilakukan penggorengan dari uji organoleptik dengan hasil perlakuan terbaik yaitu perlakuan A2 mempunyai nilai
produk paling tinggi yaitu sebesar 1. Dari regresi antara jumlah konsentrasi pengenceran dan %inhibisi diperoleh
hasil y= 0,623x dan menghasilkan nilai R2 sebesar 0,974, dengan hasil IC50 sebesar 80,250 ppm.

Kata Kunci : Antioksidan, Regresi, Sosis

ABSTRACT
Black grass jellymore popularas janggelan, is now recognized by publicand preferred as a health product
consumed in the form of various food or non-food products. The aim of study was to develop the technology of black
grass jelly processing in edible coating package so that it is implementable in laboratory-scale sausage products.
Making black grass jelly edible coating required dipping method. It applied 4 grams of various black grass jelly
concentrations (0%, 10%, 20%, 30% w/wof tapioca weight). The study implemented some analyses namely
organoleptic analysis (colour, aroma, and taste), physical analysis (yield), chemical analysis (water content, and
antioxidant activity). Based on four different types of treatment in the study namely A1 (0%), A2 (10%), A3 (20%),
and A4 (30%) along with 4 grams of tapioca starch for each concentration, the best treatment resulted from
administering organoleptic, physical, and chemical analyses was A3 (20% w/w) with 196.75% of jelly powders wet
yield result, 72.18% of wet edible yield input, 80.250 ppm of oxidant activity, and 97.18% of water content. The
result of study revealed that frying after organoleptic testing produced the best treatment namely A2 which had the
highest product value (1). The regression of dilution concentration amount and inhibition percentage resulted in y=
0,623x and R2 value was 0.974, with 80.250 ppm of IC50.

Keywords: Antioxidant, Regression, Sausage

1
PENDAHULUAN makanan. Pembuatan edible coating cincau hitam
dilakukan dengan metode pencelupan. Penggunaan
Cincau hitam yang lebih dikenal dengan nama edible coating juga untuk melapisi buah-buahan. Saat
janggelan kini mulai dikenal masyarakat dan semakin ini peran edible coating mulai banyak digunakan
diminati sebagai produk kesehatan yang dapat untuk pelapis produk olahan daging seperti sosis
digunakan untuk berbagai produk pangan maupun (Krochta et al., 1994). Kelebihan yang dimiliki edible
non pangan. Prospek produk olahan cincau hitam ke coating yaitu selain sebagai bahan lapis tipis yang
depan sangat baik karena sebagai campuran minuman melapisi suatu bahan pangan, pengemas ini juga layak
juga sekaligus sebagai pangan fungsional yang baik untuk dikonsumsi, dan dapat terdegradasi oleh alam
untuk kesehatan. Tanaman cincau hitam juga dapat secara biologis. Penggunaan bahan-bahan alami
tumbuh dengan baik pada dataran menengah hingga dalam pengemas edible berbahan baku polimer alami
dataran tinggi. Di Indonesia, tanaman cincau hitam akan mengurangi limbah plastik. Substitusi limbah
dibudidayakan secara serius di Jawa Timur dan Jawa plastik ini berasal dari polimer sintetis sehingga
Barat. Namun, industri pangan cincau hitam hanya mengurangi kerusakan lingkungan
terdapat di Jawa Tengah dan di Jakarta (Winarti dkk., 2012).
(Widyaningsih, 2007). Penelitian Rachmawati (2009), ini memiliki faktor
Cincau hitam mengandung sejumlah mineral dan yang sama seperti penelitian ini, karena hanya
karbohidrat dalam jumlah banyak, serta vitamin A, melanjutkan penelitian dari Rachmawati tersebut. Jadi
B1, dan C. Manfaat cincau hitam diantaranya perbedaannya terletak pada pengaplikasian pada buah
menurunkan panas badan, panas dalam, mencegah anggur dari penelitian Rachmawati (2009), sedangkan
gangguan pencernaan, dan menurunkan tekanan penelitian yang dilakukan ini adalah edible coating
darah tinggi serta mencegah penyakit jantung dan cincau hitam yang diaplikasikan pada pangan sosis
diabetes. Ekstrak cincau hitam memiliki aktivitas yang tujuannya untuk memperpanjang umur simpan
antioksidan yang jauh lebih kuat dari vitamin E, dari pengaplikasian ke bahan pangan tersebut. Dari
sehingga sangat prospektif diproduksi sebagai food sekian banyak penelitian kebanyakan edible coating
supplement atau fungsional. Edible coating cincau diaplikasikan pada buah dan sayuran serta daging.
hitam ini berbeda dengan edible coating yang lain Untuk pengaplikasian pada sosis masih sedikit dan
yang hanya berfungsi sebagai permeabilitas air dan masih belum ada yang meneliti dengan menggunakan
oksigen, namun mengandung banyak fungsi seperti bahan baku cincau hitam.
antikoksidan, antibakteri, antidiabetes, dan Edible coating memberikan penahan yang selektif
antikolesterol (Anonymous, 2013). Kebutuhan pasar terhadap perpindahan gas, uap air dan bahan terlarut,
dalam negeri per tahun mencapai 58,58 268,53 ton serta perlindungan terhadap kerusakan mekanis
disamping kebutuhan ekspor ke negara Thailand, (Sugito, 2011). Filler pada umumnya berasal dari
Perancis, dan negara di benua Eropa mencapai lebih bahan pakan sumber energi sekaligus berfungsi
dari 120 ton/triwulan (Taryono, 2002 dalam Cholilie sebagai pengikat air (Mukodiningsih, 2007). Filler
2014). yang digunakan pada proses pembuatan edible
Sampai saat ini, penggunaan tanaman janggelan coating adalah bubuk cincau hitam dan pati tapioka.
baru sebatas sebagai bahan dasar pembuat gel cincau Penelitian terdahulu dari Rachmawati (2009),
hitam dan belum digunakan untuk pembuatan produk mengatakan bahwa pada pembuatan edible coating ini
lain. Di Korea, Taiwan, dan China saat ini telah menggunakan bahan tapioka 4 gram dengan variasi
mengembangkan cincau hitam sebagai edible film, konsentrasi bubuk cincau hitam (0 %, 10 %, 20 %,
edible coating, fat replacer, dan functional dessert 30 % b/b berat tapioka). Selain itu terdapat bahan
(Widyaningsih, 2007). Gel cincau hitam dibuat dari pembantu lain seperti gliserol, dan CaSO4.
campuran ekstrak daun janggelan (Mesona palustris) Sosis merupakan produk yang saat ini sangat
dan tapioka. Gel ini dikonsumsi untuk campuran digemari masyarakat Indonesia
minuman es buah atau cocktail. Gel cincau hitam ini khususnya anak-anak karena rasanya yang gurih,
mempunyai sifat yang menarik untuk diteliti lebih kenyal, dan praktis. Data dari Indonesian Finance
lanjut karena kita dapat menghasilkan lapisan tipis Today (2011) melaporkan bahwa penjualan sosis
yang bila kering mempunyai sifat amat rekat pada tahun 2011 diprediksi tumbuh 10% - 15% atau Rp
cetakan dan tidak mudah robek serta tembus pandang. 1,65 triliun Rp 1,72 triliun dibandingkan periode
Berdasarkan sifat-sifat tersebut, kemungkinan yang sama tahun lalu. Sosis adalah produk olahan
tanaman janggelan bisa digunakan dalam pernbuatan pangan yang diperoleh dari campuran daging dengan
edible coating (Murdianto, 2005). tepung pati atau tanpa penambahan bumbu mengacu
Edible coating adalah lapisan tipis yang terbuat pada syarat mutu sosis Standar Nasional Indonesia
dari bahan-bahan yang dapat dimakan, dibentuk 01-3020 (BSN,1995).
melapisi komponen makanan (coating) atau Produk sosis yang beredar di masyarakat sebagian
diletakkan di antara komponen makanan (film) yang besar menggunakan kemasan plastik. Di dalam
berfungsi sebagai barrier terhadap transfer massa plastik tersebut terdapat zat vinil khlorida yang dapat
(misalnya kelembaban, oksigen, lipid, cahaya, dan zat menimbulkan kanker. Edible coating ini merupakan
larut), sebagai carrier bahan makanan atau bahan kemasan alternatif pengganti kemasan plastik aman
tambahan, serta untuk mempermudah penanganan bagi kesehatan (Sulchan et al., 2007 dalam Muttaqien,
1
2013). Kemasan edible coating dibuat dengan dahulu, yaitu pertama adalah larutan yang berisi
menggunakan bahan baku cincau hitam, sehingga larutan bubuk cincau hitam dengan konsentrasi 0%,
mampu menggantikan kemasan plastik. Hal ini 10%, 20%, 30% (b/b tapioka), CaSO4 sebesar 0,04%
dikarenakan sosis merupakan bahan pangan yang (b/b bubuk cincau). Bubuk cincau hitam, dan CaSO4
tergolong dalam perishable food (cepat mengalami 0,04% (b/b tapioka) dilarutkan dalam 150 ml
kebusukan) akibat kandungan air dan proteinnya yang aquades. Gilserol sebagai plasticizer yang
tinggi, serta kondisi lingkungan yang sangat sesuai ditambahkan dalam pembuatan edible coating
untuk pertumbuhan mikroba pembusuk. Pemanfaatan sehingga dapat menghasilkan edible yang lebih
edible coating diharapkan dapat mempertahankan fleksibel dan halus.
kualitas sekaligus bisa dikonsumsi langsung Larutan kedua berisi 4 gram tapioka yang
(Wardana, 2012). dilarutkan dalam 150 ml aquades, dipanaskan dalam
Sosis memiliki sifat cepat rusak (busuk) maka hot plate dengan suhu 100C selama 30 detik (sampai
dilakukan inovasi baru dengan mengemas makanan warnanya berubah menjadi bening), dan dilanjutkan
dalam bentuk edible coating dari cincau hitam. Selain dengan pengadukan menggunakan magnetic stirrer
itu kandungan antioksidan pada cincau hitam sangat selama 30 detik. Kemudian larutan tapioka dituang ke
berperan penting dalam memperpanjang umur simpan dalam baker glass yang telah berisi larutan cincau
dari produk yang akan di-coating. Penelitian ini hitam dan CaSO4 0,04% (b/b). Selanjutnya gliserol
merupakan rangkaian dari penelitian kajian pemetaan 0,87% (b/v) atau 2,6 ml ditambahkan pada larutan
potensi cincau hijau dan hitam di Jawa Timur untuk yang telah mengandung larutan cincau hitam, CaSO4
mendukung agroindustri pangan dan suplemen 0,04% atau 0,0004 gram, dan tapioka, kemudian
antioksidan. Kerjasama antara Badan Penelitian dan diaduk dan dipanaskan terus sampai 75C
Pengembangan Provinsi Jawa Timur dengan Pusat (dipertahankan selama 5 menit), selanjutnya
Inkubator Bisnis Dan Layanan Masyarakat dipanaskan sambil diaduk hingga suhu 80C - 85C
Universitas Brawijaya Malang tahun 2013. (dipertahankan selama 10 menit). Larutan dicetak dan
dikeringkan pada suhu 60C selama 12 jam.
BAHAN DAN METODE Pembuatan edible coating cincau hitam ini dilakukan
dengan metode pencelupan. Setelah dilakukan
Waktu dan Tempat Pelaksanaan pengaturan suhu, selanjutnya yaitu disiapkan 4 cawan
Kegiatan penelitian skripsi ini dilaksanakan di petri yang telah dicelupkan sosis yang telah dilapisi
Laboratorium Teknologi Agrokimia Jurusan larutan edible coating. Setelah itu dilakukan uji
Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi karakteristik kimia yaitu uji aktivitas antioksidan.
Pertanian Universitas Brawijaya Malang. Kegiatan ini Selain itu dilakukan juga uji karakteristik fisik yaitu
dilaksanakan pada Januari 2014 sampai Juni 2014. rendemen.

Alat dan Bahan Penelitian Bubuk Cincau Hitam


CaSO4 0,04 %(b/b) 0,10, 20,30% dari Pati Tapioka Aquades 150 ml
Bahan yang digunakan untuk pembuatan edible 4 gram

coating antara lain: bubuk cincau hitam, pati tapioka,


CaSO4, gliserol, dan minyak goreng jenis Bimoli.
Bahan yang digunakan dalam aplikasi edible coating Penimbangan

adalah sosis daging ayam. Alat yang digunakan dalam


pembuatan edible coating ialah: timbangan analitik,
gelas ukur, cawan petri, glass beaker, hot plate, Pelarutan

magnetic stirer, sendok pengaduk, dan wajan


penggoreng. Gliserol
0,87 % Pencampuran
(b/v)

Penentuan Rancangan Percobaan Pengadukan


Percobaan ini menggunakan 1 faktor, yaitu (75C, 5 menit) dan
Pemanasan
(80C - 85C,10 menit)
konsentrasi bubuk cincau hitam yang terdiri 4
perlakuan yaitu 0,10, 20, dan 30% dari 4 gram Larutan Edible coating
tapioka. Perlakuan ini tidak menggunakan perulangan
karena panelis sebagai pengganti ulangan, dimana Pelapisan ke sosis
perlakuannya yaitu: (Tanpa Penggorengan)
pada 4 perlakuan
Pelapisan ke sosis
(Digoreng) pada
4 perlakuan
A1 = bubuk cincau hitam 0%
Uji Organoleptik (Warna,
A2 = bubuk cincau hitam 10% Aroma, dan Rasa)
Uji Organoleptik (Warna,
A3 = bubuk cincau hitam 20% Perlakuan Terbaik uji Aroma, dan Rasa)

A4 = bubuk cincau hitam 30% organoleptik

Perlakuan Terbaik
Analisa Kimia uji organoleptik
- Aktivitas Antioksidan
Pembuatan Edible Coating Cincau Hitam - Kadar air
Analisa Fisik
Pada pembuatan edible coating ini menggunakan - Rendemen

bahan tapioka 4 gram dengan variasi konsentrasi


bubuk cincau hitam (0%,10%, 20%, 30%, b/b berat Gambar 1. Diagram Alir Pembuatan Larutan Edible
tapioka). Dua jenis larutan awalnya disiapkan terlebih Coating

2
Pengaplikasian Edible Coating Pada Sosis Skor Uji Warna
Setelah dilakukan pembuatan larutan edible Penilaian warna digunakan dalam pengujian
coating, maka langsung diaplikasikan dan organoleptik karena warna mempunyai peranan
dicelupkan/di-coating pada sosis daging ayam merek penting terhadap tingkat penerimaan produk secara
so-nice sebagai uji organoleptik. Hal ini untuk visual. Rerata skor tertinggi diperoleh pada perlakuan
mengetahui karakteristik dari warna, rasa, dan aroma (A1) 0% dengan penggunaan bubuk cincau sebesar
dari edible coating sosis tersebut. Selain itu dilakukan 5,85 (menyukai). Rerata skor terendah didapatkan
uji fisik dan kimia dari edible coating sosis. (A4) 30% dengan penggunaan bubuk cincau dengan
Pelapisan coating dari edible coating cincau hitam rerata skor sebesar 2,2 (tidak menyukai). Pembulatan
ini tidak rata karena dari faktor pengeringan dan skor dari perlakuan masing-masing A1, A2, A3, dan
peng-coatingan yang kurang sempurna. Metode yang A4 yaitu 6, 4, 5 dan 2. Adapun fungsi dari penentuan
digunakan pada peng-coatingan sosis dari cincau rangking yaitu untuk menentukan indikator atau
hitam adalah metode pencelupan. Edible coating variabel yang paling penting bagi konsumen dan yang
cincau hitam ini sangat cocok diaplikasikan pada harus diperhatikan oleh produsen agar produk lebih
sosis dan bukan pada buah. Karena cincau hitam baik. Hasil uji Friedman menunjukkan bahwa
mengandung antioksidan, antikolesterol, antimikroba, perlakuan penggunaan bubuk cincau dengan
antidiabetes dan antihipertensi. Penggunaan sosis konsentrasi yang berbeda dan penggunaan
sejauh ini hanya dibuat makanan siap saji yang hanya konsentrasi pati tapioka yang sama, tidak
dikonsumsi dengan cara digoreng langsung. memberikan pengaruh nyata terhadap warna. Hal ini
Pertama, sosis daging ayam dilakukan pencelupan ditunjukkan dengan perhitungan beda nyata Friedman
dalam larutan edible coating selama 5 menit. Sosis (x2r) memiliki nilai yang lebih kecil dibandingkan
daging yang telah terlapisi oleh edible coating tadi dengan Tabel x2t, dimana nilai x2r sebesar -104,47
harus benar-benar tercoating sempurna dan rata agar dan nilai Tabel x2t (tingkat kepercayaan 5%) sebesar
tidak ada ruang udara yang masuk dalam sosis dan 7,81.
kelihatan seperti bentuk kemasan makanan yang Nilai rata-rata tertinggi dimiliki oleh kadar edible
tertutup. Setelah itu dilakukan uji organoleptik seperti coating dari cincau sebesar 0% (A1) yaitu 5,85, hal
warna, rasa, dan aroma agar mengetahui peniliaian ini mempengaruhi penampakan berupa warna pada
panelis terhadap kesukaan dari edible coating cincau produk yang dihasilkan. Sampel A1 memiliki warna
hitam yang diaplikasikan pada sosis daging ayam. yang hampir mirip dengan warna asli sosis pada
Tahap selanjutnya yaitu proses penggorengan sosis umumnya sehingga para panelis lebih menyukainya.
yang telah di-coating dengan cincau hitam. Kemudian Nilai rerata terendah adalah pada sampel 30% (A4)
dilakukan uji organoleptik pada panelis untuk yaitu 2,2 dimana warna dari edible coating tidak
mengetahui warna, rasa dan aroma dari sosis yang menarik. Hal ini terbukti dengan nilai yang diperoleh
telah dilakukan penggorengan. Sebelumnya sosis dari para panelis yang memposisikan sampel 30%
dilakukan pelapisan terlebih dahulu dari edible (A4) merupakan sampel dengan warna paling tidak
coating cincau hitam tersebut agar ter-coating rata. disukai oleh panelis. Sampel 10% A2 sebesar 4 dan
Jadi dari analisis organoleptik tanpa penggorengan 20% A3 sebesar 5,1 memiliki nilai tertinggi kedua
dibandingkan dengan analisis organoleptik dengan dan ketiga yang disukai oleh panelis karena terjadi
penggorengan. penampakan warna kurang menarik dan cenderung
gelap. Hal ini karena mengandung flavonoid yang
Analisa Data terdapat pada cincau hitam.
Prosedur uji organoleptik ini dilakukan untuk Cincau hitam mengandung senyawa flavonoid dan
menentukan rerata data dari parameter warna, aroma, hasil sampingannya. Hasil sampingan flavonoid
rasa. Hal ini diperhitungkan dari beberapa sampel merupakan flavonoid yang terikat pada monosakarida
untuk memperoleh nilai rerata tertinggi dan terendah. atau disakarida, dimana berkontribusi pada warna
Uji ini menggunakan analisis Friedman Test dengan seduhan cincau hitam, yaitu hitam kecoklatan
menggunakan panelis tidak terlatih sebanyak 20 (Yulianto,2013).
orang.
Skor Uji Aroma
Aroma suatu produk dapat dinilai dengan cara
HASIL DAN PEMBAHASAN
mencium bau yang dihasilkan dari produk tersebut.
Karakteristik Organoleptik Edible Coating Cincau Pembauan merupakan penilaian mutu produk pangan
Hitam Tanpa Proses Penggorengan dalam jarak jauh atau disebut juga penciuman jarak
Di industri pangan pengujian sifat organoleptik jauh karena manusia dapat mengetahui enak atau
dapat dilakukan dengan tujuan pengembangan dan tidaknya suatu produk pangan yang belum terlihat
pengujian mutu produk. Uji organoleptik edible hanya dengan mencium baunya dari jarak jauh
coating cincau hitam dilakukan dengan cara hedonic (Soekarto, 1985).
scale scoring melalui 7 skala numeric yang mewakili Rerata skor tertinggi diperoleh pada perlakuan (A3)
tingkat kesukaan konsumen terhadap edible coating 20% dengan penggunaan bubuk cincau sebesar 4,9
cincau hitam. Uji dilakukan dengan 20 orang panelis (agak menyukai). Rerata skor terendah didapatkan
tidak terlatih. (A4) 30% dengan penggunaan bubuk cincau dengan
rerata skor sebesar 4,1 (netral). Pembulatan skor dari

3
perlakuan masing-masing A1, A2, A3, dan A4 yaitu dan nilai Tabel x2t (tingkat kepercayaan 5%) sebesar
5, 4, 5 dan 4. Adapun fungsi dari penentuan rangking 7,81.
yaitu untuk menentukan indikator atau variabel yang Pada sampel 20% (A3) sebesar 4,95 merupakan
paling penting bagi konsumen dan yang harus sampel dengan nilai rerata tertinggi pada parameter
diperhatikan oleh produsen agar produk lebih baik. rasa yang dihasilkan karena hampir memiliki
Hasil uji Friedman menunjukkan bahwa perlakuan kesamaan dengan sosis pada umumnya. Adapun
penggunaan bubuk cincau dengan konsentrasi yang sampel dengan nilai rerata terendah adalah sampel
berbeda dan penggunaan konsentrasi pati tapioka 30% (A4) sebesar 4,55. Hal ini dikarenakan bubuk
yang sama, tidak memberikan pengaruh nyata cincau hitam mempengaruhi rasa dan mendominasi
terhadap aroma. Hal ini ditunjukkan dengan rasa sosisnya sehingga para panelis cenderung tidak
perhitungan beda nyata Friedman (x2r) memiliki nilai menyukainya. Sampel 0% (A1) yaitu 4,9 sebesar 4
yang lebih kecil dibandingkan dengan Tabel x2t, dan 10% (A2) sebesar 4,6 memiliki nilai tertinggi
dimana nilai x2r sebesar -136,54 dan nilai Tabel x2t kedua dan ketiga yang disukai oleh panelis karena
(tingkat kepercayaan 5%) sebesar 7,81. kandungan cincau hitam yang sedikit pada pelapisan
Pada sampel 20% (A3) sebesar 4,9 menjadi sosisnya. Namun, rasa sosis lebih dominan dibanding
sampel dengan aroma edible coating yang paling cincau hitam karena pada umumnya panelis lebih
disukai dan tertarik oleh panelis dikarenakan aroma menyukai sosisnya.
cincau hitam yang terdapat dalam edible coating Perbedaan rasa disebabkan karena perbedaan
tersebut. Adapun sampel 30% (A4) sebesar 4,1 adalah kadar air bubuk yang digunakan. Proses perebusan
sampel dengan nilai rerata terendah sebab aroma suhu tinggi menghasilkan bubuk dengan kadar air
cincau hitam yang dihasilkan terlalu kuat dan lebih rendah karena lebih banyak air yang menguap
mendominasi dari pada aroma sosisnya sehingga sehingga dapat menghasilkan gel dengan rasa yang
menyebabkan aroma yang tidak menarik bagi para cincau yang lebih kuat (Nurcahyo, 2014).
panelis. Sampel 0% (A1) yaitu 4,55 sebesar 4 dan
10% (A2) sebesar 4,45 memiliki nilai tertinggi kedua Perlakuan Terbaik (Indeks Efektivitas)
dan ketiga yang disukai oleh panelis karena aroma Perlakuan terbaik dilakukan dengan
khas cincau hitam. Selain itu kandungan flavonoid membandingkan nilai produk setiap perlakuan
dan gelatin cincau yang menyebabkan aroma cincau menggunakan indeks efektivitas. Perhitungan
hitam lebih dominan dibanding aroma cincau. dilakukan dengan metode pembobotan yang
Pengolahan daun cincau hitam menghasilkan ditentukan oleh panelis. Menurut de Garmo et al.,
gelatin atau semacam agar-agar serta memiliki aroma (1984) penentuan perlakuan terbaik ditentukan oleh
spesifik. Gelatin cincau ini merupakan hasil olahan rerata nilai produk tertinggi. Berdasarkan pemilihan
daun cincau yang dicampur dengan sejumlah air perlakuan terbaik menggunakan parameter
sebagai pelarutnya dan cairan yang didapatkan organoleptik (warna, aroma, dan rasa) perlakuan 20%
mengental dengan sendirinya (Hung and Yen, 2002 mempunyai nilai produk paling tinggi yaitu sebesar
dalam Tasia, 2014). 0,934.
Skor Uji Rasa
Karakteristik Kimia dan Fisik Edible Coating
Rasa dapat dinilai dengan adanya tanggapan
Aktivitas Antioksidan
kimiawi oleh indera pencicip. Rasa merupakan faktor
Pengujian aktivitas antioksodan dilakukan dengan
yang sangat penting dalam menentukan keputusan
menggunakan nilai IC50. Nilai IC50 tersebut adalah
akhir konsumen untuk menerima atau menolak suatu
nilai untuk menemukan jumlah konsentrasi yang tepat
produk pangan. Rasa adalah komponen terakhir
agar dapat menghambat 50% DPPH (2,2-diphenyl-1-
dalam menentukan enak atau tidaknya suatu produk.
picrylhydrazyl). Hubungan antara regresi dengan
Rerata skor tertinggi diperoleh pada perlakuan
aktivitas antioksidan adalah untuk menentukan
(A3) 20% dengan penggunaan bubuk cincau sebesar
hubungan sumbu x dan y pada hasil uji antioksidan
4,95 (netral). Rerata skor terendah didapatkan (A4)
mengalami peningkatan atau penurunan, dimana x
30% dengan penggunaan bubuk cincau dengan rerata
menunjukkan jumlah banyaknya konsentrasi
skor sebesar 4,55 (agak menyukai). Pembulatan skor
pengenceran dengan nilai yaitu 20, 40, 60, 80, dan
dari perlakuan masing-masing A1, A2, A3, dan A4
100 ppm sedangkan y menunjukkan % inhibisi dari
yaitu 5, 5, 5, dan 5. Adapun fungsi dari penentuan
uji antioksidan. Nilai adsorbansi blanko adalah 0,528.
rangking yaitu untuk menentukan indikator atau
Nilai adsorbansi blanko diperoleh dari ketentuan
variabel yang paling penting bagi konsumen dan yang
metode IC50 uji antioksidan. Nilai adsorbansi sampel
harus diperhatikan oleh produsen agar produk lebih
20, 40, 60, 80, dan 100 ppm berturut-turut yaitu
baik. Hasil uji Friedman menunjukkan bahwa
0,405; 0343; 0,303; 0,274; dan 0,241. Nilai
perlakuan penggunaan bubuk cincau dengan
adsorbansi sampel diperoleh dari hasil pengenceran
konsentrasi yang berbeda dan penggunaan
cairan DPPH dengan ketentuan metode yang
konsentrasi pati tapioka yang sama, tidak
digunakan yaitu IC50. Setelah itu dihitung % inhibisi
memberikan pengaruh nyata terhadap rasa. Hal ini
yang diperoleh dari rumus pada Bab 3.
ditunjukkan dengan perhitungan beda nyata Friedman
Kadar aktivitas antioksidan cincau hitam dengan
(x2r) memiliki nilai yang lebih kecil dibandingkan
nilai IC50 sebesar 80,250 ppm. Dari regresi antara
dengan Tabel x2t, dimana nilai x2r sebesar -135,52
jumlah konsentrasi pengenceran dan % inhibisi
4
diperoleh hasil y=0,375x + 18,12 dan menghasilkan dimulai dari proses pencampuran dengan input bubuk
nilai R2 sebesar 0,974, dengan hasil IC50 sebesar cincau hitam sebesar 0,8 gr (dari hasil perlakuan
80,250 ppm. Jadi nilai y= 0,375x + 18,12 dan nilai R 2 terbaik A3 (20%) kemudian dicampur dengan pati
sebesar 0,974 ini merupakan hasil yang didapatkan tapioka 4 gr (b/b), CaSO4 0,0004 gr (b/b), aquades
dari data aktivitas antioksidan edible coating cincau 150 ml (b/v), gliserol 2,6 ml (b/v) dan didapatkan
hitam dengan menggunakan perhitungan program output edible coating cincau hitam sebesar 157,40 gr
Microsoft Excel. Rerata aktivitas antioksidan % atau 0,1574 kg. Setelah itu diperoleh input rendemen
inhibisi dari edible coating cincau hitam perlakuan basah serbuk edible coating sebesar 196,75%.
terbaik A3 (20%) berkisar antara 23,33 - 54,36 ppm. Rendemen basah input meliputi bobot plastik (bA)
Dalam grafik regresi menunjukkan bahwa aktivitas sebesar 1,36 gr, bobot adonan 2 sendok (bB) sebesar
antioksidan pada edible coating cincau hitam 14,60 g, bobot setelah dikeringkan (bC) sebesar 11,90
meningkat. Hal ini disebabkan oleh kandungan gr, sehingga menghasilkan total adonan kering
antioksidan cincau hitam sangat tinggi. Selain itu sebesar 113,62 gr atau 0,1136 kg. Jadi rendemen
karena proses pemanasan yang berlebih dan reaksi edible coating cincau hitam (basah input) adalah
oksidasi pada cincau hitam. sebesar 72,185%.
Kadar aktivitas antioksidan serbuk cincau hitam Pada penelitian Murdianto (2005) tentang sifat
diperoleh nilai IC50 sebesar 93,698 ppm. Hal ini fisik dan mekanik edible film dari ekstrak daun
menunjukkan bahwa untuk mereduksi radikal bebas janggelan, rendemen yang dihasilkan adalah sebesar
sebesar 50% diperlukan serbuk cincau hitam 19,72%. KPG merupakan komponen dasar yang
sebanyak 93,698 ppm. IC50 pada pembuatan tablet berperan dalam pembentuk gel dalam cincau hitam
effervescent dengan menggunakan asam sitrat (Haryadi et al., 2002). Ekstraksi 25 g tepung daun
diperoleh nilai IC50 sebesar 94,588 ppm, hal ini janggelan dilakukan dengan merebusnya dalam 500
menunjukkan bahwa untuk mereduksi radikal bebas mL aquades, selama 60 menit pada suhu 95-100C.
sebesar 50% di perlukan tablet effervescent sebanyak Selama ekstraksi berlangsung ditambahkan 50 ml
94,588. Aktivitas antioksidan berhubungan dengan aquades mendidih pada menit ke- 20 dan 40 untuk
kandungan gugus hidroksil polifenol yang mampu mengganti air yang menguap.
menyumbangkan atom hidrogen ke radikal bebas Penelitian dari Kartikaningrum (2000)
untuk menetralkan sifat radikalnya (Hembing, 2008). menggunakan pelarut basa (NaOH) pH 11 untuk
Nilai kadar aktivitas antioksidan edible coating mengekstrak tepung daun janggelan dan
adalah sebesar 80,250 ppm sedangkan tablet menghasilkan rendeman ekstrak daun janggelan
effervescent sebesar 94,588 ppm dan serbuk cincau sebesar 22,76%. Penggunaan pelarut basa mampu
hitam sebesar 93,698 ppm. Dapat disimpulkan bahwa mendestruksi jaringan daun janggelan dan
nilai kadar aktivitas antioksidan edible coating lebih memudahkan pengeluaran ekstrak dari dalam sel. Hal
kecil dibanding dengan tablet effervescent dan serbuk ini menyebabkan rendemen yang dihasilkan lebih
cincau hitam. tinggi, namun diduga ada tambahan Komponen
Rerata aktivitas antioksidan edible film tertinggi Pembentuk Gel (KPG) yang ikut terekstrak. Ekstrak
terdapat pada perlakuan konsentrasi ekstrak ampas tersebut apabila dibuat dalam bentuk gel cincau
kulit apel 6% sebesar 50,48%, sedangkan rerata hitam, berasa pahit, lembek, dan kurang begitu
terendah terdapat pada perlakuan konsentrasi ekstrak disukai oleh konsumen (Murdianto, 2005).
ampas kulit apel 2% sebesar 32,09%. Rerata aktivitas
antioksidan dari edible film perlakuan konsentrasi Karakteristik Organoleptik Edible Coating Cincau
gliserol dan ekstrak ampas kulit apel berkisar antara Hitam Dengan Proses Penggorengan
29,0755,78%. Di industri pangan pengujian sifat organoleptik
dapat dilakukan dengan tujuan pengembangan dan
Kadar Air pengujian mutu produk. Uji organoleptik edible
Kadar air pada edible coating cincau hitam adalah coating cincau hitam dilakukan dengan cara hedonic
sebesar 97,18%, sedangkan rerata kadar air edible scale scoring melalui 7 skala numeric yang mewakili
film pati ubi jalar putih tertinggi terdapat pada tingkat kesukaan konsumen terhadap edible coating
perlakuan konsentrasi gliserol 30% sebesar 23,34%. cincau hitam. Uji dilakukan dengan 20 orang panelis
Dapat disimpulkan bahwa kandungan kadar air edible tidak terlatih. Parameter yang diamati antara lain
coating cincau hitam lebih tinggi dibanding edible warna, aroma dan rasa. Dokumentasi edible coating
film. Diduga hal ini disebabkan karena sifat dari cincau hitam yang sudah dilapisi sosis dan dilakukan
serbuk cincau hitam yang bersifat hidrokoloid. penggorengan dapat dilihat pada Lampiran 17.
Hidrokoloid memiliki sifat higroskopis, higroskopis
adalah kemampuan suatu zat untuk menyerap Skor Uji Warna
molekul air dari lingkungannya (Cholilie, 2013). Penilaian warna digunakan dalam pengujian
organoleptik karena warna mempunyai peranan
Rendemen Edible Coating penting terhadap tingkat penerimaan produk secara
visual. Skor uji warna setelah penggorengan
Serbuk cincau hitam oleh Cholilie (2013) akan dilakukan untuk semua perlakuan A1 (0%), A2
dilanjutkan penelitian baru yaitu proses pembuatan (10%), A3 (20%), dan A4 (30%).
edible coating. Proses pembuatan edible coating,

5
Rerata skor tertinggi diperoleh pada perlakuan Rerata skor tertinggi diperoleh pada perlakuan
(A2) 10% dengan penggunaan bubuk cincau sebesar (A2)10% dengan penggunaan bubuk cincau sebesar
4,8 (agak menyukai). Rerata skor terendah didapatkan 4,85 (agak menyukai). Rerata skor terendah
(A1) 0% dengan penggunaan bubuk cincau dengan didapatkan (A1)0% dengan penggunaan bubuk cincau
rerata skor sebesar 3,3 (agak tidak menyukai). dengan rerata skor sebesar 3,95 (netral). Pembulatan
Pembulatan skor dari perlakuan masing-masing A1, skor dari perlakuan masing-masing A1, A2, A3, dan
A2, A3, dan A4 yaitu 3, 5, 4 dan 5. Hasil uji A4 yaitu 4, 5, 4 dan 4. Adapun fungsi dari penentuan
Friedman menunjukkan bahwa perlakuan penggunaan rangking yaitu untuk menentukan indikator atau
bubuk cincau dengan konsentrasi yang berbeda dan variabel yang paling penting bagi konsumen dan yang
penggunaan konsentrasi pati tapioka yang sama tidak harus diperhatikan oleh produsen agar produk lebih
memberikan pengaruh nyata terhadap warna. Hal ini baik. Hasil uji Friedman menunjukkan bahwa
ditunjukkan dengan perhitungan beda nyata Friedman perlakuan penggunaan bubuk cincau dengan
(x2r) memiliki nilai yang lebih kecil dibandingkan konsentrasi yang berbeda dan penggunaan
dengan Tabel x2t, dimana nilai x2r sebesar -49,85 dan konsentrasi pati tapioka yang sama tidak memberikan
nilai Tabel x2t (tingkat kepercayaan 5%) sebesar 7,81. pengaruh nyata terhadap aroma. Hal ini ditunjukkan
Nilai rata-rata tertinggi dimiliki oleh kadar edible dengan perhitungan beda nyata Friedman (x2r)
coating dari cincau sebesar 10% (A2) yaitu 4,8, hal memiliki nilai yang lebih kecil dibandingkan dengan
ini mempengaruhi penampakan berupa warna pada Tabel x2t, dimana nilai x2r sebesar -11,25 dan nilai
produk yang dihasilkan. Sampel A2 memiliki warna Tabel x2t (tingkat kepercayaan 5%) sebesar 7,81.
yang hampir mirip dengan warna asli sosis pada Nilai rata-rata tertinggi dimiliki oleh kadar edible
umumnya sehingga para panelis lebih menyukainya. coating dari cincau sebesar 10% (A2) yaitu 4,85, hal
Nilai rerata terendah adalah pada sampel 0% (A1) ini mempengaruhi penampakan berupa aroma pada
dimana warna dari edible coating tidak menarik. Hal produk yang dihasilkan. Sampel A2 memiliki aroma
ini terbukti dengan nilai yang diperoleh dari para yang hampir mirip dengan aroma asli sosis pada
panelis yang memposisikan sampel 0% (A1) yaitu 3,3 umumnya sehingga para panelis lebih menyukainya.
merupakan sampel dengan warna paling tidak disukai Nilai rerata terendah adalah pada sampel 0% (A1)
oleh panelis. Sampel 20% (A3) sebesar 4,15 dan yaitu 3,95 dimana aroma dari edible coating tidak
30% (A4) sebesar 4,6 memiliki nilai tertinggi kedua menarik. Hal ini terbukti dengan nilai yang diperoleh
dan ketiga yang disukai oleh panelis karena terjadi dari para panelis yang memposisikan sampel 0% (A1)
perubahan warna dari sosis setelah dilakukan merupakan sampel dengan aroma paling tidak disukai
penggorengan. Hal ini disebabkan oleh reaksi oleh panelis. Sampel 20% (A3) sebesar 4,05 dan 30%
browning pada sosis yang berwarna kecoklatan. (A4) sebesar 4,3 memiliki nilai tertinggi kedua dan
Selain itu juga disebabkan oleh faktor warna yang ketiga yang disukai oleh panelis karena aroma sosis
gelap sehingga panelis lebih tidak menyukai. Karena berubah setelah dilakukan penggorengan. Hal ini
rata-rata panelis lebih menyukai warna yang menarik disebabkan oleh proses oksidasi dan pemanasan pada
dan terang. penggorengan sosis. Selain itu juga karena suhu dan
lama waktu penggorengan menyebabkan aroma
Timbulnya warna pada permukaan bahan
berubah dari kandungan sosis yang asli.
disebabkan oleh reaksi browning atau reaksi maillard.
Tingkat intensitas warna tergantung dari lama dan Perubahan sifat fisik dan kimia yang terjadi selama
suhu menggoreng dan juga komponen kimia pada menggoreng adalah termasuk gelatinisasi, denaturasi
permukaan luar dari bahan pangan sedangkan jenis protein, dan penguapan air. Kerusakan disebabkan
lemak yang digunakan berpengaruh sangat kecil karena proses oksidasi dan polimerisasi asam lemak
terhadap warna permukaan bahan pangan. Faktor jenuh yang dikandungnya. Oksidasi lemak akan
utama yang mempengaruhi warna, rasa dan bau menghasilkan asam-asam lemak berantai pendek
adalah jenis minyak goreng yang digunakan, suhu yang dapat menimbulkan perubahan bau dan rasa
penyimpanan minyak, suhu dan lama penggorengan, serta senyawa peroksida yang dapat membahayakan
ukuran, kelembaban dan penampakan dari makanan kesehatan tubuh (Mahmudan, 2014).
serta perlakuan setelah penggorengan (Ernawati,
Skor Uji Rasa
2010).
Rasa dapat dinilai dengan adanya tanggapan
Skor Uji Aroma kimiawi oleh indera pencicip. Rasa merupakan faktor
Aroma suatu produk dapat dinilai dengan cara yang sangat penting dalam menentukan keputusan
mencium bau yang dihasilkan dari produk tersebut. akhir konsumen untuk menerima atau menolak suatu
Pembauan merupakan penilaian mutu produk pangan produk pangan. Rasa adalah komponen terakhir
dalam jarak jauh atau disebut juga penciuman jarak dalam menentukan enak atau tidaknya suatu produk.
jauh karena manusia dapat mengetahui enak atau Skor uji rasa dengan penggorengan dilakukan untuk
tidaknya suatu produk pangan yang belum terlihat semua perlakuan A1 (0%), A2 (10%), A3 (20%), dan
hanya dengan mencium baunya dari jarak jauh A4 (30%). Uji organoleptik menggunakan metode
(Soekarto, 1985). Skor uji aroma dengan hedonic didapatkan rerata skor berkisar antara 4
penggorengan dilakukan untuk semua perlakuan A1 5,35 (netral agak menyukai).
(0%), A2 (10%), A3 (20%), dan A4 (30%). Rerata skor tertinggi diperoleh pada perlakuan
(A2)10% dengan penggunaan bubuk cincau sebesar
6
5,35 (agak menyukai). Rerata skor terendah rasa gorengan, komponen dalam minyak akan masuk
didapatkan (A1) 0% dengan penggunaan bubuk ke bahan (Aminah, 2010).
cincau dengan rerata skor sebesar 4 (netral).
Perlakuan Terbaik (Indeks Efektifitas)
Pembulatan skor dari perlakuan masing-masing A1,
Perlakuan terbaik dilakukan dengan
A2, A3, dan A4 yaitu 4, 5, 4, dan 5. Hasil uji
membandingkan nilai produk setiap perlakuan
Friedman menunjukkan bahwa perlakuan penggunaan
menggunakan indeks efektifitas. Perhitungan
bubuk cincau dengan konsentrasi yang berbeda dan
dilakukan dengan metode pembobotan yang
penggunaan konsentrasi pati tapioka yang sama tidak
ditentukan oleh panelis. Menurut de Garmo et al.,
memberikan pengaruh nyata terhadap rasa. Hal ini
(1984) penentuan perlakuan terbaik ditentukan oleh
ditunjukkan dengan perhitungan beda nyata Friedman
rerata nilai produk tertinggi. Berdasarkan pemilihan
(x2r) memiliki nilai yang lebih kecil dibandingkan
perlakuan terbaik menggunakan parameter
dengan Tabel x2t, dimana nilai x2r sebesar -3,195 dan
organoleptik (warna, aroma, dan rasa) perlakuan A2
nilai Tabel x2t (tingkat kepercayaan 5%) sebesar 7,81.
mempunyai nilai produk paling tinggi yaitu sebesar 1.
Bahan pangan yang di goreng mempunyai rasa
yang lebih gurih karena adanya serapan minyak ke
bahan. Kualitas minyak sangat berpengaruh terhadap

PENUTUP
Gambar 4.9 Uji Organoleptik tanpa dan dengan
penggorengan Kesimpulan
Dari hasil penelitian dengan menggunakan empat
Keterangan: 1 (sangat tidak menyukai) 2 (tidak jenis perlakuan yang berbeda yaitu A1 (0%), A2
menyukai), 3 (agak tidak menyukai), (10%) , A3 (20%), dan A4 (30%) dengan konsentrasi
4 (netral), 5 (agak menyukai), 6 masing-masing pati tapioka 4 gram, setelah dilakukan
(menyukai), dan 7 (sangat menyukai) uji organoleptik tanpa penggorengan didapatkan
perlakuan terbaik yaitu A3 (20%) yaitu dengan nilai
Hasil uji organoleptik tanpa digoreng adalah produk sebesar 0,934. Hasil uji fisik rendemen basah
perlakuan A3 20% mempunyai nilai produk paling serbuk cincau sebesar 196,75% dan rendemen edible
tinggi yaitu sebesar 0,934. Hasil uji organoleptik basah input sebesar 72,18%, uji kimia aktivitas
dengan digoreng adalah perlakuan A2 10% antioksidan sebesar 80,250 ppm, dan kadar air
mempunyai nilai produk paling tinggi yaitu sebesar 1. sebesar 97,18%.
Jadi dari hasil kedua perlakuan tanpa dan dengan Hasil penelitian yang dilakukan penggorengan dari
penggorengan memiliki perbedaan karena dapat uji organoleptik dengan hasil perlakuan terbaik yaitu
dilihat dari tingkat kesukaan yang lebih cenderung perlakuan A2 (10%) mempunyai nilai produk paling
menyukai warna, aroma, dan rasa dengan digoreng tinggi yaitu sebesar 1. Jadi dapat disimpulkan bahwa
dibanding tanpa digoreng. Selain itu faktor kesukaan perlakuan A2 (10%) memiliki kesukaan terbaik dari
panelis pada sosis dibanding rasa cincau hitam yang panelis. Jika dibandingkan antara tanpa dan dengan
terkandung dalam edible coating. dilakukan penggorengan, panelis lebih menyukai
produk edible coating cincau hitam yang telah
dilakukan penggorengan.
7
DAFTAR PUSTAKA Murdianto, W. 2005. Sifat Fisik Dan Mekanik
Edible Film Dari Ekstrak Daun Janggelan
Aminah,S. 2010. Bilangan Peroksida Minyak (Mesona palustris BL). Jurnal Teknologi
Goreng Curah Dan Sifat Organoleptik Pertanian. 1(1): 8-13.
Tempe Pada Pengulangan Penggorengan.
Jurnal Pangan dan Gizi 1(1): 7-14 Nurcahyo,A. 2014. Analisis Kualitas Bubuk Cincau
Hitam (Mesona palustris) Skala
Aniawati, N.N. 2013. Karakteristik Edible Coating
Laboratorium. Skripsi. Fakultas Teknologi
Pada Wortel Freshcut Dalam
Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang.
Penyimpanan Suhu Dingin. Skripsi.
FakultasTeknologi Pertanian. Universitas Rachmawati, K.A. 2009. Ekstraksi Dan
Brawijaya. Malang. Karakterisasi Pektin Cincau Hijau
(Premna Oblongifolia. Merr) Untuk
Cholilie, I. A. 2014. Analisis Efisiensi Produksi
Pembuatan Edible Film. Skripsi.
Bubuk Cincau Hitam (Mesona palustris)
Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Pada Skala Ganda. Skripsi. Fakultas
Teknologi Pertanian. Universitas Brawijaya.
Soekarto, S.T. 1985. Penilaian Organoleptik untuk
Malang.
Industri Pangan dan Hasil Pertanian.
Ernawati. 2010. Pengembangan Produk Tahu Bhratara Karya Aksara. Jakarta.
Menjadi Tofu Chips (Kajian Jenis Bahan Tasia, N.R.W. 2014.Formulasi Minuman Liang
Baku, Suhu Penggorengan Dan Biaya Teh Cincau Hitam (Mesona palustris)
Produksi). Jurnal Pangan dan Agroindustri Dengan Penambahan Ekstrak Daun
1(1) : 86-104. Pandan(Pandanus amaryllifollis) Dan
Kayu Manis (Cinnamomum burmanii)
Huri,D. 2013. Edible Film Berantioksidan dari Pati Serta Pendugaan Umur Simpan Dengan
Ubi Jalar Putih (Ipomoea batatas L. Amp.) Pendekatan Arrhenius. Skripsi. Fakultas
Dengan Penambahan Ekstrak Ampas Teknologi Pertanian. Universitas Brawijaya.
Kulit Apel (Malus sylvestris Mill.) (Kajian Malang.
Konsentrasi Gliserol dan Ekstrak Ampas
Kulit Apel). Skripsi. Fakultas Teknologi Widyaningsih, T.D. 2007. Olahan Cincau Hitam.
Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang. Trubus Agrisarana. Surabaya.
Hung C.Y. and Yen G.C. 2002. Antioxidant Activity Widyaningsih, T.(b). 2009. Potensi Cincau Hitam
of Phenolic Compounds Isolated from sebagai Bahan Pangan Fungsional yang
Mesona procumbens Hemsl. J. Agric. Bersifat Imunomodulator. Proseding
Food Chem. 50:2993-2997 Seminar PengembanganTeknologi Berbasis
Bahan Baku Lokal. LIPI.
Mahmudan. 2014. Efek Penggorengan Kentang
Dengan Oven Microwave Terhadap Widyaningsih,S, Kartika, D, dan Tri, Y.
Karakteristik Fisik Dan Kimia Minyak 2012.Pengaruh Penambahan Sorbitol
Kelapa Sawit (Elaeisguineensis). Jurnal Dan Kalsium Karbonat Terhadap
Pangandan Agroindustri 2(3) : 151-160 Karakteristik Dan Sifat Biodegradasi
Film Dari Pati Kulit Pisang. Jurnal
Meilina, H, Alam, P.N, dan Mulyati, S. 2011. Molekul 7 (1):69-81. Unsoed. Purwokerto.
Karakterisasi Edible Coating Dari Pektin
Kulit Jeruk Nipis Sebagai Bahan Pelapis Yulianto, R.R dan Widyaningsih, T.D. 2013.
Buah-Buahan. Jurnal Hasil Penelitian Formulasi Produk Minuman Herbal
Industri, 24(1) :1-9. Fakultas Teknik. Berbasis Cincau Hitam (Mesona
Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh. palustris), Jahe (Zingiber officinale), dan
Kayu Manis (Cinnamomum burmanni).
Jurnal Pangan dan Agroindustri 1(1) : 65-67

Anda mungkin juga menyukai