Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Dengue haemorrhagic fever/DHF adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus

dengue atau yang sering dikenal dengan Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue

(DBD). Sampai saat ini, infeksi virus Dengue tetap menjadi masalah kesehatan di Indonesia.

Indonesia dimasukkan dalam kategori A dalam stratifikasi DHF oleh World Health

Organization (WHO) 2001 yang mengindikasikan tingginya angka perawatan rumah sakit

dan kematian akibat DHF, khususnya pada anak.1

Data Departemen Kesehatan RI menunjukkan pada tahun 2006 (dibandingkan tahun

2005) terdapat peningkatan jumlah penduduk, provinsi dan kecamatan yang terjangkit

penyakit ini, dengan case fatality rate sebesar 1,01% (2007). Berbagai faktor kependudukan

berpengaruh pada peningkatan dan penyebaran kasus DHF, antara lain:

1. Pertumbuhan penduduk yang tinggi,

2. Urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali,

3. Tidak efektifnya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis, dan

4. Peningkatan sarana transportasi.2

Upaya pengendalian terhadap faktor kependudukan tersebut (terutama kontrol vektor

nyamuk) harus terus diupayakan, di samping pemberian terapi yang optimal pada penderita

DHF, dengan tujuan menurunkan jumlah kasus dan kematian akibat penyakit ini. Sampai saat

ini, belum ada terapi yang spesifik untuk DHF, prinsip utama dalam terapi DHF adalah terapi

suportif, yakni pemberian cairan pengganti. Dengan memahami patogenesis, perjalanan

penyakit, gambaran klinis dan pemeriksaan laboratorium, diharapkan penatalaksanaan dapat

dilakukan secara efektif dan efisien.3

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit demam akut yang disertai

dengan adanya manifestasi perdarahan, yang bertendensi mengakibatkan renjatan yang dapat

menyebabkan kematian.1

Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) adalah infeksi akut yang disebabkan oleh

Arbovirus (arthropodborn virus) dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti dan

Aedes Albopictus.2

2.2 Epidemiologi

Epidemi penyakit yang berhubungan dengan demam dengue pertama kali dilaporkan

dalam literatur atau pustaka kedokteran terjadi pada tahun 1779 di Batavia (sekarang disebut

Jakarta). Dan pada tahun 1780 di Philadelphia. Sejak saat itu epidemik telah dilaporkan di

Calcutta (1824, 1853, 1871, 1905), India Barat (1827), Hongkong (1901), Yunani (1927-

1928), Australia (1925-1926, 1942), Amerika Serikat (1922) dan Jepang (1942-1945).5,6

Dengue sering terdapat di daerah tropis terutama di Asia Tenggara, Afrika dan bagian

selatan Amerika. Epidemik DHF yang terbesar terjadi di Kuba pada tahun 1981 dengan

24.000 kasus DHF dan 10.000 kasus DSS. Pada tahun 1986 dan 1987 angka kejadian

Dengue dilaporkan di Brasil. Pada tahun 1988 epidemik Dengue dilaporkan terjadi di

Meksiko dan pada tahun 1990 kira-kira seperempat dari 300.000 penduduk yang tinggal di

Iquitos Peru menderita Demam Dengue.6

Data yang terkumpul dari tahun 1968-1993 menunjukkan DHF dilaporkan terbanyak

terjadi pada tahun 1973 sebanyak 10.189 pasien dengan usia pada umumnya di bawah 15

tahun. Penelitian di Pusat Pendidikan Jakarta, Semarang, Yogya dan Surabaya menunjukkan

2
bahwa DHF dan DSS juga ditemukan pada usia dewasa, dan terdapat kecenderungan

peningkatan jumlah pasiennya.5

Vektor utama Dengue di Indonesia adalah nyamuk Aedes aegypti, di samping pula Aedes

albapictus. Vektor ini bersarang di bejana-bejana yang berisi air jernih dan tawar seperti bak

mandi, drum penampung air, kaleng bekas dan lain-lainnya3,5,6

2.3 Etiologi

Demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk dalam

kelompok B Arthropod Borne Virus (Arboviroses) yang sekarang di kenal sebagai genus

Flavivirus, family Flaviviridae, dan mempunyai 4 jenis serotype.(3) Flavivirus merupakan

virus dengan diameter 30nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat

molekul 4x106.(1)

Adapun 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-4, DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya

dapat menyebabkan demam berdarah dengue. DEN-3 yang terbanyak ditemukan di Indonesia

dan merupakan serotype yang dominan dan diasumsikan banyak yang menunjukkan

manifestasi klinis yang berat.(4,6) Terdapat reaksi silang antara serotype dengue dengan

Flavivirus lain seperti Yellow Fever, Japanese encephalitis dan West Nile virus. Pada

3
Artropoda menunjukkan virus dengue dapat bereplikasi pada nyamuk genus Aedes

(stegomyia) dan Toxorhynchites.1

Cara penularannya infeksi virus dengue ini ada tiga faktor yang memegang peranan,

yaitu manusia, virus, dan veckor perantara. Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui

gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes tersebut dapat mengandung virus dengue

pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang berada

di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic incubation priod) sebelum

dapat menularkan kembali kepada manusia saat gigitan berikutnya. Virus dalam tubuh

nyamuk betina dapat ditularkan kepada telurnya (transovarian transmission), namun

peranannya dalam penularan virus tidak penting. Sekali virus dapat masuk dan berkembang

biak di dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya

(infektif). Di tubuh manusia, virus memerlukan waktu masa tunas 4-6 hari (intrinsic

incubation priod) sebelum menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk

hanya dapat terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang sedang viremia, yaitu 2 hari

sebelum demam sampai 5 hari setelah demam timbul.3

2.4 Patogenesis

Patogenesis terjadinya demam berdarah hingga saat ini masih diperdebatkan. Dua

teori yang banyak dianut pada DHF dan DSS adalah Hipotesis immune enhancement dan

hipotesis infeksi sekunder (teori secondary hetelogous dengue infection).1,3

Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme

Imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan sindrom renjatan

dengue.1

Respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DHF adalah:

a) Respon humoral berupa pembentukan antibody yang berperan dalam proses

netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi

4
antibody. Sel target virus ini adalah sel monosit terutama dan sel makrofag sebagai

tempat replikasi.

b) Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berperan dalam respon imun

seluler terhadap virus dengue. TH1 akan memproduksi interferon gamma, IL-2 dan

limfokin. Sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5,IL-6,dan IL-10.

c) Monosit dan makrofag berferan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibody.

Aktifasi komplemen oleh kompleks imun yang menyebabkan terbentuknya C3a dan C5a

akibat aktivasi C3 dan C5 yang akan menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding

pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskuler ke ruang

ekstravaskuler.(1,3)

Hipotesis the secondary heterologous infection yang di rumuskan oleh

Suvatte,1977. Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada

seorang pasien, respon antibody anamnestik yang akan terjadi dalam beberapa hari

mengakibatkan proliferasi dan transformasi dengan menghasilkan titer tinggi antibody IgG

anti dengue.(3)

Gambar 3: The Secondary Heterologous Infection

5
Hipotesis immune enhancement menjelaskan menyatakan secara tidak langsung

bahwa mereka yang terkena infeksi kedua oleh virus heterolog mempunyai risiko berat yang

lebih besar untuk menderita DHF berat. Antibodi herterolog yang telah ada akan mengenali

virus lain kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi yang berikatan dengan Fc

reseptor dari membran leukosit terutama makrofag. Sebagai tanggapan dari proses ini, akan

terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas

pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.9,10

2.5 Manifestasi Klinis.

Manifestasi klinik infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik atau dapat berupa

demam yang tidak khas. Pada umumnya pasien mengalami demam dengan suhu tubuh 39-40
o
C, bersifat bifasik (menyurupai Pelana kuda), fase demam selama 2-7 hari, yang diikuti oleh

fase kritis pada hari ke-3 selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam,

akan tetapi mempunyai risiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat pengobatan tidak

adekuat.(1,3)

Gambar 4: Manifestasi Klinis DHF.

6
Sesudah masa tunas / inkubasi selama 3-15 hari orang yang tertular dapat mengalami /

menderita penyakit ini dalam salah satu dari 4 bentuk berikut ini, yaitu :

Bentuk abortif , penderita tidak merasakan suatu gejala apapun.

Dengue klasik, penderita mengalami demam tinggi selama 4-7 hari, nyeri-nyeri pada

tulang, diikuti dengan munculnya bintik-bintik atau bercak-bercak perdarahan dibawah

kulit.

Dengue Haemorrhagic fever (DHF), gejalanya sama dengan dengue klasik ditambah

dengan perdarahan dari hidung, mulut, dubur, dsb.

Dengue Syok Syndrome, gejalanya sama dengan DHF ditambah dengan syok / presyok

pada bentuk ini sering terjadi kematian.

2.6 Diagnosis

Menurut WHO 1997 yang dikutip oleh Suhendro 2009 dan IDAI 2012, kriteria

diagnosis DBD ditegakkan melalui 2 kriteria :

A. Kriteria Klinis

1. Demam tinggi mendadak dan terus menerus selama 2 7 hari.

2. Didapati uji tourniquet positif dengan salah satu bentuk perdarahan:

a. Petekie, ekimosis, atau purpura

b. Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi), atau perdara-

han dari tempat lain.

c. Hematemesis dan atau melena.

7
3. Pembesaran hati.

4. Syok yang di tandai dengan nadi lemah dan cepat disertai penurunan tekanan nadi

(=20 mmHg), tekanan darah menurun (tekanan sistolik =80 mm Hg) disertai kulit

yang teraba dingin dan lembab terutama pada ujung hidung, jari dan kaki, pasien

menjadi gelisah, dan timbul sianosis di sekitar mulut.

B. Kriteria Laboratorium

1. Trombositopenia (=100.000/ ul).

2. Terdapat peningkatan hematokrit = 20% dibandingkan dengan nilai hematokrit

pada masa sebelum sakit atau masa konvalesen.

3. Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asites atau hipoproteinemia. Dua

atau tiga patokan klinis pertama disertai trombositopenia dan hemokonsentrasi

sudah cukup untuk menegakkan diagnosa DBD. Tes serologis, kultur viral dari

plasma (50% sensitif pada ke 5) (pemeriksaan IgM dengan ELISA , titer antibodi

IgG yang meningkat 4 kali, serta pemeriksaan dengan PCR terhadap virus

dengue dapat membantu penegakan diagnosa pasien DBD. Pada penderita DBD

dengan enchepalitis, harus di periksa CSS/CSF untuk membantu diagnosa13.

8
9
Gambar 5: Klasifikasi Infeksi Dengue WHO 2011

Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium

Pemeriksaan darah rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka demam dengue

adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah trombosit dan hapusan

darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relative disertai gambaran limfosit plasma biru.5

Ada 4 jenis pemeriksaan laboratorium yang digunakan yaitu :

Uji serologi:deteksi antibodi IgG dan IgM, uji HI

Isolasi virus

Deteksi RNA/DNA dengan tehnik Polymerase Chain Reaction (PCR).

Deteksi antigen (pemeriksaan NS-I) Lebih Spesifisitas 100% dan

10
sensitivitas 92.3%

Pemeriksaan Dengue NSl Antigen adalah pemeriksaan baru terhadap antigen non

struktural-I dengue (NSl) yang dapat mendeteksi infeksi virus dengue dengan lebih awal

bahkan pada hari pertama onset demam. 5


- Pemeriksaan NS-I perlu dilakukan pada pasien yang megalami gejala Demam/klinis

lain < 3 hari, dikarenakan early detection sangatlah penting untuk menentukan

pengobatan (terapi supportif) yang tepat (cegah Resistensi antibiotik), serta

pemantauan pasien dengan segera.


- Tanpa meninggalkan pemeriksaan Dengue serologi karena pemeriksaaan NS1

bersifat komplementer (saling menunjang), terkhusus apabila didapatkan hasil Ns1 (-

) dan gejala infeksi tetap muncul.


- Penggunaan Dengue IgG / IgM juga diperlukan bagi dokter penganut paham "infeksi

sekunder dapat menyebabkan infeksi yang lebih berat dan memerlukan penanganan

yang berbeda dengan infeksi primer". Dengan adanya Spesifisitas 100% dan

sensitivitas 92.3%. Dengan demikian pemakaian pemeriksaan ini akan dapat

meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas untuk diagnosis infeksi dengue.(5)

2. Pemeriksaan radiologis

Pada foto thorak didapati efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan tetapi apabila

terjadi perembesan plasma hebat. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dalam posisi

lateral dekubitus kanan (pasien tidur pada sisi badan sebelah kanan ).(1)

Demam Berdarah Dengue (DBD):

1. Hepatomegali 2-4 cm bawah arkus kosta, tidak disertai ikterus, lebih sering
ditemukan pada SSD.

2. Kebocoran plasma: efusi pleura, peningkatan nilai hematokrit, penurunan kadar


protein plasma terutama albumin, menimbulkan syok hipovolemi.

11
Perbedaan DD versus DBD:

1. Perembesan plasma: DBD ada, DD tidak ada.

2. Syok hipovolemik: DBD dapat disertai syok, DD tidak

3. Prognosis: DD lebih baik daripada DBD.

4. Perdarahan: pada DD ringan.

5. Penting: monitor suhu saat perpindahan fase demam ke fase syok (hari sakit ke 3-5)

2.7 Diagnosis Banding

Perlu dipertimbangkan bilamana terdapat kesesuaian klinis dengan demam tipoid,

influenza, idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP), chikungunya dan leptospirosis. 1

1. Belum / tanpa renjatan :

a. Campak

b. Infeksi bakteri/virus lain (tonsilo faringitis, demam dari kelompok pnyakit

exanthem, hepatitis, chikungunya)

2. Dengan renjatan

a. Demam tipoid

b. Renjatan septik oleh kuman gram negatif lain

3. Dengan perdarahan

a. Leukemia

b. ITP

c. Anemia Aplastik

4. Dengan kejang

a. Ensefalitis

b. Meningitis

12
2.8 Penatalaksanaan

Terapi infeksi virus dengue dibagi menjadi 4 bagian, (1) Tersangka DBD, (2)

Demam Dengue (DD) (3) DBD derajat I dan II (4) DBD derajat III dan IV (DSS).

DBD tanpa syok (derajat I dan II)

Medikamentosa

Antipiretik dapat diberikan, dianjurkan pemberian parasetamol bukan aspirin.

Diusahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan (misalnya antasid,

antiemetik) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati.

Kortikosteroid diberikan pada DBD ensefalopati, apabila terdapat perdarahan saluran

cerna kortikosteroid tidak diberikan.

Antibiotik diberikan untuk DBD ensefalopati.

Suportif

Mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler

dan perdarahan.

Kunci keberhasilan terletak pada kemampuan untuk mengatasi masa peralihan dari

fase demam ke fase syok disebut time of fever differvesence dengan baik.

Cairan intravena diperlukan, apabila (1) anak terus-menerus muntah, tidak mau

minum, demam tinggi, dehidrasi yang dapat mempercepat terjadinya syok, (2)

nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala.

Pemberian Cairan pada DBD Derajat I dan II

Jenis cairan yang dianjurkan yaitu kristaloid isotonic, hindari cairan hipotonik. Cairan

koloid (hiperonkotik) seperti dekstran 40 dan hydroxyl-ethylstarch (HES) dapat digunakan

pada keadaan terjadi perembesan plasma yang masif, atau bila tidak terdapat respons

terhadap pemberian cairan kristaloid dalam jumlah yang cukup.

13
Jumlah cairan yang diberikan adalah jumlah kebutuhan rumatan ditambah kekurangan

(defisit) sebesar 5% (setara dengan dehidrasi sedang). Lama pemberian cairan infus biasanya

tidak boleh lebih dari 60-72 jam. Pada penderita dengan obesitas, untuk penghitungan jumlah

cairan yang dibutuhkan harus menggunakan BB Ideal. Jumlah cairan yang dibutuhkan untuk

1 hr harus diberikan dengan penghitungan atau kecepatan dalam tiap 1 jam dan disesuaikan

dengan kondisi klinis serta hasil pemeriksaan nilai hematokrit.

Transfusi suspense trombosit tidak boleh diberikan atau indikasi trombositopenia

semata tanpa ada perdarahan yang berat (tidak dianjurkan memberikan transfuse trombosit

profilaksis). Bila tidak ada perdarahan yang nyata, transfuse trombosit dapat dipertimbangkan

bila jumlah trombosit <10.000/mm3.

DBD disertai syok (Sindrom Syok Dengue, derajat III dan IV)

Penggantian volume plasma segera, cairan intravena larutan ringer laktat 10-20

ml/kgbb secara bolus diberikan dalam waktu 30 menit. Apabila syok belum teratasi

tetap berikan ringer laktat 20 ml/kgbb ditambah koloid 20-30 ml/kgbb/jam, maksimal

1500 ml/hari.

Pemberian cairan 10ml/kgbb/jam tetap diberikan 1-4 jam pasca syok. Volume cairan

diturunkan menjadi 7ml/kgbb/jam, selanjutnya 5ml, dan 3 ml apabila tanda vital dan

diuresis baik.

Jumlah urin 1 ml/kgbb/jam merupakan indikasi bahwa sirkulasi membaik.

Pada umumnya cairan tidak perlu diberikan lagi 48 jam setelah syok teratasi.

Oksigen 2-4 l/menit pada DBD syok.

Koreksi asidosis metabolik dan elektrolit pada DBD syok.

Indikasi pemberian darah: Terdapat perdarahan secara klinis

Setelah pemberian cairan kristaloid dan koloid, syok menetap, hematokrit turun,

diduga telah terjadi perdarahan, berikan darah segar 10 ml/kgbb.

14
Apabila kadar hematokrit tetap > 40 vol%, maka berikan darah dalam volume kecil.

Plasma segar beku dan suspensi trombosit berguna untuk koreksi gangguan

koagulopati atau koagulasi intravaskular desiminata (KID) pada syok berat yang

menimbulkan perdarahan masif.

Pemberian transfusi suspensi trombosit pada KID harus selalu disertai plasma segar

(berisi faktor koagulasi yang diperlukan), untuk mencegah perdarahan lebih hebat.

Pemberian Cairan pada DBD Derajat III DAN IV (SSD)

SSD merupakan syok hipovolemik yang disebabkan perembesan plasma akibat

peningkatan permeabilitas vaskular yang ditandai dengan peningkatan resistensi vaskular

secara sistemik (ditandai dengan penyempitan tekanan nadi, tekanan darah sistol relative

tetap, sedangkan tekanan darah diastole meningkat). Apabila terjadi hipotensi harus

dipertimbangkan sudah terjadi perdarahan beratbiasanya berupa perdarahan saluran cerna

yang tersembunyisebagai penyebab syok selain akibat perembesan plasma.

Pada DBD derajat III, biasanya masih memberikan respons dengan kristaloid dengan

jumlah 10 ml/kgBB/jam atau bolus dalam 30 menit. Selanjutnya jumlah dikurangi secara ber-

tahap sesuai keadaan klinis dan nilai hematokrit.

Pada DBD derajat IV, jumlah cairan 10 ml/kgBB diberikan dalam 10-15 menit atau

20 ml/kgBB dalam 30 menit. Selanjutnya jumlah cairan disesuaikan sama seperti pada DBD

derajat III.

DBD ensefalopati

Pada ensefalopati cenderung terjadi edema otak dan alkalosis, maka bila syok

telah teratasi, cairan diganti dengan cairan yang tidak mengandung HCO3 dan jumlah cairan

segera dikurangi. Larutan ringer laktat segera ditukar dengan larutan NaCl (0,9%) : glukosa

(5%) = 3:1.

15
Pemantauan

Pemantauan selama perawatan

Tanda klinis, apakah syok telah teratasi dengan baik, adakah pembesaran hati, tanda

perdarahan saluran cerna, tanda ensefalopati, harus dimonitor dan dievaluasi untuk

menilai hasil pengobatan. Kadar hemoglobin, hematokrit, dan trombosit tiap 6 jam, minimal

tiap 12 jam. Balans cairan, catat jumlah cairan yang masuk, diuresis ditampung, dan

jumlah perdarahan. Pada DBD syok, lakukan cross match darah untuk persiapan transfusi

darah apabila diperlukan.

Faktor risiko terjadinya komplikasi:

Ensefalopati dengue, dapat terjadi pada DBD dengan syok atupun tanpa syok.

Kelainan ginjal, akibat syok berkepanjangan dapat terjadi gagal ginjal akut.

Edem paru, seringkali terjadi akibat overloading cairan.

Kriteria memulangkan pasien

Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik.

Nafsu makan membaik.

Secara klinis tampak perbaikan.

Hematokrit stabil.

Tiga hari setelah syok teratasi.

Jumlah trombosit > 50.000/ml.

Tidak dijumpai distres pernapasan.12

16
Komplikasi

1. Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DHF dengan maupun tanpa syok.

2. Kelainan ginjal berupa gagal ginjal akut akibat syok berkepanjangan.

3. Edema paru, akibat over loading cairan 3

2.9 Prognosis

Prognosis DBD berdasarkan kesuksesan dalam tetapi dan penetalaksanaan yang

dilakukan. Terapi yang tepat dan cepat akan memberikan hasil yang optimal. Penatalaksana-

an yang terlambat akan menyebabkan komplikasi dan penatalaksanaan yang tidak tepat dan

adekuat akan memperburuk keadaan.

Kematian karena demam dengue hampir tidak ada. Pada DBD/SSD mortalitasnya

cukup tinggi. Penelitian pada orang dewasa di Surabaya, Semarang, dan Jakarta menunjukkan

bahwa prognosis dan perjalanan penyakit umumnya lebih ringan pada orang dewasa

dibandingkan pada anak-anak.

DBD Derajat I dan II akan memberikan prognosis yang baik, penatalaksanaan yang

cepat, tepat akan menentukan prognosis. Umumnya DBD Derajat I dan II tidak menyebabkan

komplikasi sehingga dapat sembuh sempurna.

DBD derajat III dan IV merupakan derajat sindrom syok dengue dimana pasien jatuh

ke dalam keadaan syok dengan atau tanpa penurunan kesadaran. Prognosis sesuai penata-

laksanaan yang diberikan Dubia at bonam.2

17
BAB 3
KESIMPULAN

Dengue Fever (DF) dan Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit infeksi

yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan atau

nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopeni dan diatesis

hemoragik.

Pada DHF terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi

(peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan dirongga tubuh. Sindrom renjatan dengue

(dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan /

syok(1)

Penatalaksanaannya adalah dengan mengatasi gejala/keluhan yang dirasakan pasien

hingga pemberian replacement volume untuk mengatasi gangguan sirkulasi yang terjadi.

Usaha pencegahan adalah dengan memutuskan rantai penularan dan terutama pemberantasan

pemberantasan vektor. Prognosis penyakit buruk pada keadaan-keadaan dengan terjadinya

sindroma shock dengue.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo A W, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam, Pusat penerbitan departemen ilmu penyakit dalam FK-UI, jakarta,
2006, ed.4, (III) 1709-1713.

2. Sumarno S, Soedarmo P,Garna H,Rezeki S,Satari H. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri
Tropis, IDAI, jakarta 2008,ed.2, 155-179.

3. Rejeki S, Adinegoro S. (DHF) Demam Berdarah Dengue, Tatalaksana Demam


Berdarah Dengue Di Indonesia. Jakarta. 2004.

4. Mansjoer A,Triyanti K, Savitri R,Wardhani W,Setiowulan W. Kapita selekta FKUI,


Jakarta,(I),428-43.

5. Berliandelima. Info terbaru Pemeriksaan Laboratorium terhadap Dengue, available


at:http://www.mailarchive.com/dokter_umum@yahoogroups.com/msg06092.html.

6. Hadinegoro SRH, Soegijanto S, Wuryadi S, Suroso T. Tatalaksana Demam


Dengue/Demam Berdarah Dengue pada Anak. Dalam: Hadinegoro SRH, Satari HI,
penyunting. Demam berdarah dengue. Edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2002,
h. 80-132.
7. Halstead, SB. Dengue Fever and Dengue Haemorrhagic Fever. Dalam: Behrman RE,
Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17.
Philadelphia; 2004, h. 1092-4.
8. Kanesa-Thassan N, Vaughn DW, Shope RE. Dengue and Dengue Haemorrhagic
Fever. Dalam: Anne AG, Peter JH, Samuel LK, penyunting. Krugmans infectious
diseases of children. Edisi ke-11. Philadelphia; 2004. h. 73-81.
9. Thongcharoen P, Jatanasen S. Epidemiology of Dengue and Dengue
Haemmorhagic Fever. Dalam: Monograph on dengue/dengue haemmorhagic fever.
World Health Organization, SEARO, New Delhi; 1993. h.1-8.
10. Tsai TF, Khan AS, McJunkin JE. Togaviridae, Flaviviridae, and Bunyaviridae.
Dalam: Long SS, Pickering LK, Prober CG, penyunting. Principles and practice of
pediatric infectious diseases. Edisi ke- 2. Philadelphia, PA: Elsevier Science; 2003,
h.1109-16.
11. Wills B. Management of dengue. Dalam: Halstead SB, Penyunting. Dengue: Tropical
Medicine Science and Practice. Selton Street, London: Imperial College Press; 2008,
h.193-217.
12. World Health Organization. Dengue Haemorrhagic Fever. Diagnosis, Treatment,
Prevention, and Control. Edisi ke-2. WHO; 1997.
13. American Academy of Pediatrics, 2007

19

Anda mungkin juga menyukai