Anda di halaman 1dari 51

LAPORAN KASUS

STROKE NON HEMORAGIK

Oleh:

Ferina Nur Haqiqi 1518012158

Preceptor :

dr. Neilan Amroisa, M.Kes., Sp.S, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU SARAF

RSUD dr. H. ABDUL MOELOEK

BANDAR LAMPUNG

2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat rahmat dan hidayat-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan case report ini tentang Stroke Non Hemoragik dengan baik.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dr. Neilan Annisa, M.Kes., Sp. S. selaku
preceptor yang telah membimbing penulis sehingga case report ini dapat diselesaikan.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak memiliki kekurangan dan kesalahan,
untuk itu kami menerima kritik dan saran yang bersifat membangun sehingga ke depannya
makalah ini dapat lebih baik lagi.

Akhir kata Penulis berharap semoga case report ini dapat bermanfaat bagi penulis dan setiap
pembacanya.

Bismilahirohmanirohim..

Bandar Lampung, April 2017

Ferina Nur Haqiqi, S.Ked


BAB I
LAPORAN KASUS

1. Identitas Pasien
NAMA : Tn. S
JENIS KELAMIN : Pria
UMUR : 68 tahun
PEKERJAAN : Tidak Bekerja
PENDIDIKAN : Tidak Sekolah
AGAMA : Islam
MASUK TGL : 27 Maret 2017
2. Anamnesis
Auto anamnesis dengan pasien dan Allo anamnesis dengan keluarga pasien tanggal :
27 Maret 2017
Keluhan Utama : Lengan dan tungkai kiri lemah
Keluhan Tambahan : mata sebelah kiri buram
Riw. Perjalanan penyakit :
Pasien datang ke UGD RSAM dengan diantar oleh keluarganya. Pasien mengeluhkan
tangan dan kaki kiri sulit digerakkan sejak 3 hari SMRS. Keluhan hanya dirasakan
pada tangan dan kaki pasien. Keluhan ini dirasakan mendadak saat pasien sedang
beristirahat. Pasien tidak merasakan adanya keluhan berbicara dan menelan. Pasien
juga tidak merasakan adanya rasa baal pada seluruh tubuh, namun mata kiri pasien
terasa buram. Sebelum keluhan timbul, mata pasien memang sudah buram namun os
tidak pernah kaca mata dan setelah adanya keluhan mata kiri pasien menjadi lebih
buram dari sebelumnya.
Riw. Penyakit Dahulu :
Riwayat darah tinggi : Hipertensi tidak terkontrol selama 10 tahun
Riwayat penyakit jantung : Disangkal
Riwayat stroke sebelumnya : (+) dirawat dan sembuh
Riwayat sakit gula : Disangkal
Riwayat asam urat : Disangkal
Kedudukan Dalam Keluarga : Kepala keluarga

3. Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
GCS : E4M6V5
Tekanan darah : 140/100 mmhg
Nadi : 64 kali/menit
Suhu : 36,8 C
RR : 20 X/menit

Pemeriksaan Neurologis :
1. Tanda-tanda Perangsangan Meningen
Kaku Kuduk :- Brudzinski I :-
Kernig :- Brudzinski II : -
Laseque : >70o / >70o

2. Pemeriksaan Saraf Kranial


N. I (Olfaktorius)
Penciuman (Kualitas) : Normal
N. II (Optikus)
Tajam Penglihatan : Penurunan visus pada OS, tidak dikoreksi
Lapang penglihatan : Baik/Baik
Test warna : Baik/Baik
Funduskopi : Tidak dilakukan
N. III, IV, VI (Okulomotorius, Trokhlearis, Abdusen)
Sikap Bola Mata = Simetris
- Ptosis : -/-
- Strabismus : -/-
- Eksoptalmus : -/-
- Enoptalmus : -/-
- Diplopia : -/-
Pergerakan Bola Mata
- Lateral Kanan : Baik
- Lateral Kiri : Baik
- Atas : Baik
- Bawah : Baik
- Berputar : Baik
Pupil
- Bentuk : bulat, 3 mm/ 3mm
- Isokor : isokor +/+
- Refleks Cahaya
Langsung : (+) kanan = kiri
Konsensual : (+) kanan = kiri
- Refleks Akomodasi : (+) kanan = kiri
N.V (Trigeminus)
Motorik
Membuka Mulut : Baik
Gerakan Rahang : Baik
Kekuatan gigitan : Melemah
Sensorik
Rasa Raba : Baik
Rasa Nyeri : Baik
Rasa suhu : Tidak dilakukan
Reflex
Reflex kornea : +/+
Reflex maseter : Tidak dilakukan
N VII (Fasialis)
Sikap Wajah (dlm istirahat) : Simetris
Angkat Alis : Asimetris
Kerut Dahi : Asimetris
Kembung Pipi : Asimetris
Menyeringai : Sulcus nasolabialis mendatar di kanan

N.VIII (Vestibulokokhlear) :
Test gesek jari : +/+
Test berbisik :+/+
N.IX, X (Glossofaringeus, Vagus) :
Uvula : sulit dinilai
Arcus faring : sulit dinilai
Palatum molle : sulit dinilai
Disfoni : (-)
Disfagi : (+)
Disarthria : (-)
N. XI (Asesorius) :
Menoleh kanan dan kiri : baik
Angkat bahu : Asimetris, bahu kiri lebih rendah
N.XII (Hipoglosus) :
Sikap lidah dalam mulut : deviasi ke kanan
Julur lidah : dapat dilakukan
Gerakan lidah : dapat dilakukan
Tenaga otot lidah : sulit dinilai
Tremor :
Fasikulasi :
Atrofi :

3. Motorik
Derajat kekuatan otot : 5/3 (superior) 5/3 (inferior)
Tonus otot : normotoni
Trofi otot : eutrofi
Gerakan spontan abnormal :
Tremor :
Khorea :
Atetosis :
Balismus :
Diskinesia :
Mioklonik :
4. Test koordinasi
Statis :
- Duduk : Baik
- Berdiri : Sulit dinilai
- Berjalan : Sulit dinilai
Dinamis :
- Romberg : sulit dinilai
- Romberg dipertajam : sulit dinilai
- Disdiadokokinesis : sulit dinilai
- Tumit Lutut : Baik
- Jari-Jari : sulit dinilai
- Tunjuk Hidung : sulit dinilai

5. Refleks
Fisiologis
Biseps : ++ / ++
Triseps : ++ / ++
KPR : ++ / ++
APR : ++ / ++
Patologis
Babinski :-/-
Chaddock :-/-
Oppenheim :-/-
Gordon :-/-
Schaeffer :-/-
Hofman Trommer : - / -
Klonus Lutut :-/-
Klonus Kaki :-/-

6. Sensibilitas
Eksteroseptif
- Rasa raba : Baik
- Rasa nyeri : Baik
- Rasa suhu : tidak dilakukan
Proprioseptif
- Rasa arah : sulit dinilai
- Rasa sikap : sulit dinilai
- Rasa getar : Tidak dilakukan

7. Vegetatif
Miksi : Baik
Defekasi : Baik

8. Fungsi Luhur
Memori : Baik
Bahasa : Baik
Afek dan Emosi : Baik
Visuospasial : Baik
Kognitif : Baik
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Hasil CT Scan Kepala Tanpa Kontras
Kesan: Infark pada thalamus dextrum daerah vaskularisasi PDA lateral
2. Pemeriksaan Darah Lengkap
Hemoglobin 18.5 g/dL
Leukosit 9.000 x 103 /L
Eritrosit 5,1 x 106/ L
Hematokrit 44 %
Trombosit 238.000 x 103 /L
MCV 87 Fl
MCH 31 g/Dl
Hitung Jenis
Basofil 0 %
Eosinofil 2 %
Batang 0 %
Segmen 84 %
Limfosit 9 %
Monosit 5 %
LED 33 mm/jam
3. Pemeriksaan Serum Darah (GDS, U/C, Elektrolit)
Gula Darah Sewaktu 93 mg/dl
Ureum 48* mg/dl meningkat
Creatinin 0,80 mg/dl
Elektrolit
Natrium 139 mmol/L
Kalium 4,4 mmol/L
Calsium 8,9 mg/dl
Chlorida 106 mmol/L

DIAGNOSIS
Klinis : Hemiparese sinistra + parese N.VII sinistra tipe sentral +
parese N. IX, X + parese N. XII sinistra tipe sentral
Topis : Korteks serebri hemisfer dextra, Thalamus Dextra
Etiologis : Stroke Non Hemoragik

DIAGNOSIS BANDING :
SH

TERAPI
1. Umum
- Tirah baring
- Pantau tanda vital
- Diet Rendah Garam
2. Medikamentosa
- IVFD RL gtt xx/ mnt
- Amlodipine 1x10mg
- Ranitidine 50mg/12jam
- Vit B1 B6 B12 2x1 tab
- Aspilet 1x80 mg tab

PEMERIKSAAN ANJURAN
Profil lipid, asam urat
EKG
Foto Thorak
PROGNOSIS
Ad Vitam : Dubia ad bonam
Ad Sanasionum : Dubia ad bonam
Ad Fungsionum : Dubia ad bonam
FOLLOW UP
27 Maret 2017 PH 1
S: Lemah anggota gerak sebelah kiri, mata kiri buram, tubuh sebelah kiri lebih
berkeringat. Cegukan terus menerus.
O: Status Generalis
KU : TSS
Kes : Somnolen
GCS : E4M6V5
TD : 140/100 mmHg
N : 90 kali/mnt
RR : 16 kali/mnt
S : 36 0 C
Status Neurologi
Rangsang Meningeal :-
Saraf Kranial : N II visus OS menurun
N VII Parese sentral sinistra
N XI Bahu kiri lebih rendah
N XII lidah deviasi ke kanan
Motorik
Derajat kekuatan motorik : 5/3 (superior) 5/3 (inferior)
Sensorik : Dalam Batas Normal
Fungsi Luhur : Baik
Refleks : Fisiologis Baik, Patologis (-)

A : Diagnosis
Klinis : Hemiparese sinistra + parese N.VII sinistra tipe sentral +
parese N. IX, X + parese N. XII sinistra tipe sentral
Topis : Korteks serebri hemisfer dextra, Thalamus Dextra
Etiologis : Stroke Non Hemoragik
P: Umum
- Tirah baring
- Pantau tanda vital
- Diet Rendah Garam
Medikamentosa
- IVFD RL gtt xx/ mnt
- Amlodipine 1x10mg
- Ranitidine 50mg/12jam
- Vit B1 B6 B12 2x1 tab
- Aspilet 1x80 mg tab

28 Maret 2017 PH 2
S: Lemah anggota gerak sebelah kiri, mata kiri buram, tubuh sebelah kiri lebih
berkeringat. Cegukan terus menerus.
O: Status Generalis
KU : TSS
Kes : Somnolen
GCS : E4M6V5
TD : 150/100 mmHg
N : 80 kali/mnt
RR : 18 kali/mnt
S : 36 0 C
Status Neurologi
Rangsang Meningeal :-
Saraf Kranial : N II visus OS menurun
N VII Parese sentral sinistra
N XI Bahu kiri lebih rendah
N XII lidah deviasi ke kanan
Motorik
Derajat kekuatan motorik : 5/3 (superior) 5/3 (inferior)
Sensorik : Dalam Batas Normal
Fungsi Luhur : Baik
Refleks : Fisiologis Baik, Patologis (-)

A/ Diagnosis
Klinis : Hemiparese sinistra + parese N.VII sinistra tipe sentral +
parese N. IX, X + parese N. XII sinistra tipe sentral
Topis : Korteks serebri hemisfer dextra, Thalamus Dextra
Etiologis : Stroke Non Hemoragik
P: Umum
- Tirah baring
- Pantau tanda vital
- Diet Rendah Garam
Medikamentosa
- IVFD RL gtt xx/ mnt
- Amlodipine 1x10mg
- Ranitidine 50mg/12jam
- Vit B1 B6 B12 2x1 tab
- Aspilet 1x80 mg tab

29 Maret 2017 PH 3
S: Lemah anggota gerak sebelah kiri, mata kiri buram, tubuh sebelah kiri lebih
berkeringat. Cegukan terus menerus.
O: Status Generalis
KU : TSS
Kes : Somnolen
GCS : E4M6V5
TD : 150/100 mmHg
N : 80 kali/mnt
RR : 18 kali/mnt
S : 36 0 C
Status Neurologi
Rangsang Meningeal :-
Saraf Kranial : N II visus OS menurun
N VII Parese sentral sinistra
N XI Bahu kiri lebih rendah
N XII lidah deviasi ke kanan
Motorik
Derajat kekuatan motorik : 5/3 (superior) 5/3 (inferior)
Sensorik : Dalam Batas Normal
Fungsi Luhur : Baik
Refleks : Fisiologis Baik, Patologis (-)
Hasil CT-Scan Kepala Tanpa Kontras
Kesan: Infarct pada thalamus dextra daerah vascularisasi POA dextra
A/ Diagnosis
Klinis : Hemiparese sinistra + parese N.VII sinistra tipe sentral +
parese N. IX, X + parese N. XII sinistra tipe sentral
Topis : Korteks serebri hemisfer dextra, Thalamus Dextra
Etiologis : Stroke Non Hemoragik
P: Umum
- Tirah baring
- Pantau tanda vital
- Diet Rendah Garam
Medikamentosa
- IVFD RL gtt xx/ mnt
- Amlodipine 1x10mg
- Ranitidine 50mg/12jam
- Vit B1 B6 B12 2x1 tab
- Aspilet 1x80 mg tab

30 Maret 2017 PH 4
S: Lemah anggota gerak sebelah kiri, mata kiri buram, tubuh sebelah kiri lebih
berkeringat. Cegukan terus menerus.
O: Status Generalis
KU : TSS
Kes : Somnolen
GCS : E4M6V5
TD : 130/90 mmHg
N : 80 kali/mnt
RR : 18 kali/mnt
S : 36 0 C

Status Neurologi
Rangsang Meningeal :-
Saraf Kranial : N II visus OS menurun
N VII Simetris
N XI Bahu kiri lebih rendah
N XII Simetris
Motorik
Derajat kekuatan motorik : 5/3 (superior) 5/3 (inferior)
Sensorik : Dalam Batas Normal
Fungsi Luhur : Baik
Refleks : Fisiologis Baik, Patologis (-)
Hasil CT-Scan Kepala Tanpa Kontras
Kesan: Infarct lama pada thalamus dextra daerah vascularisasi POA dextra
A/ Diagnosis
Klinis : Hemiparese sinistra + parese N.VII sinistra tipe sentral +
parese N. IX, X + parese N. XII sinistra tipe sentral
Topis : Korteks serebri hemisfer dextra, Thalamus Dextra
Etiologis : Stroke Non Hemoragik
P: Umum
- Tirah baring
- Pantau tanda vital
- Diet Rendah Garam
Medikamentosa
- IVFD RL gtt xx/ mnt
- Amlodipine 1x10mg
- Ranitidine 50mg/12jam
- Vit B1 B6 B12 2x1 tab
- Aspilet 1x80 mg tab

31 Maret 2017 PH 4
S: Cegukan, kekuatan pada tangan dan kaki kiri mulai meningkat perlahan.
O: Status Generalis
KU : TSS
Kes : Somnolen
GCS : E4M6V5
TD : 120/80 mmHg
N : 80 kali/mnt
RR : 18 kali/mnt
S : 36 0 C
Status Neurologi
Rangsang Meningeal :-
Saraf Kranial : N II visus OS menurun
N VII Simetris
N XI Simetris
N XII Simetris
Motorik
Derajat kekuatan motorik : 5/4 (superior) 5/4 (inferior)
Sensorik : Dalam Batas Normal
Fungsi Luhur : Baik
Refleks : Fisiologis Baik, Patologis (-)
Hasil CT-Scan Kepala Tanpa Kontras
Kesan: Infarct lama pada thalamus dextra daerah vascularisasi POA dextra
A/ Diagnosis
Klinis : Hemiparese sinistra + parese N.VII sinistra tipe sentral +
parese N. IX, X + parese N. XII sinistra tipe sentral
Topis : Korteks serebri hemisfer dextra, Thalamus Dextra
Etiologis : Stroke Non Hemoragik
P: Umum
- Os Diperbolehkan pulang
- Tirah baring
- Diet Rendah Garam
- Edukasi untuk kontrol ulang di poli 3 hari setelah pulang rawat inap
- Terapi Rehabilitasi Medik untuk mengembalikan kekuatan otot pasien
Medikamentosa
- Amlodipine 1x10mg
- Vit B1 B6 B12 2x1 tab
- Aspilet 1x80 mg tab
BAB II
ANALISIS KASUS

A. Apakah diagnosis pada pasien sudah tepat?

Berdasarkan data-data yang didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan


pemeriksaan penunjang dapat disimpulkan pasien menderita stroke.

Stroke adalah sindroma klinis yang berkembang cepat akibat gangguan otak fokal
maupun global dengan gejala gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih dan
dapat menyebabkan kematian tanpa ada penyebab lain yang jelas selain kelainan
vascular (WHO, 2006).

Anamnesis, yang menunjang untuk stroke adalah didapatkannya defisit neurologis


berupa hemiparese sinistra dan parese nervus VII, IX, X dan XII sinistra. Dari anamnesis
pasien mengeluhkan lemah pada lengan dan tungkai kanan sejak tiga hari sebelum masuk
rumah sakit. Keluhan dirasakan mendadak saat pasien sedang istirahat dalam posisi
duduk. Pasien juga mengeluh berbicara pelo bersamaan dengan keluhan pada tangan dan
tungkai kiri tersebut disertai penurunan tajam penglihatan mata kiri dan cegukan. Suara
jelas, masih dapat berbicara dan paham akan pembicaraan orang lain. Keluhan lainnya
seperti nyeri kepala, mual, muntah, dan pingsan disangkal oleh pasien.

Dari anamnesis pasien, didapatkan bahwa diagnosa lebih mengarah kepada stroke non
hemoragik.Stroke non hemoragik atau stroke iskemik ialah stroke yang disebabkan oleh
sumbatan pada pembuluh darah servikokranial atau hipoperfusi jaringan otak oleh
berbagai faktor seperti aterotrombosis, emboli, atau ketidakstabilan hemodinamik yang
menimbulkan gejala serebral fokal, terjadi mendadak, dan tidak menghilang dalam waktu
24 jam atau lebih (Goetz, 2007).

Stroke non hemoragik merupakan penyakit yang progresif. Keluhan yang dapat muncul
dapat ringan hingga berat berupa defisit neurologi fokal, kelemahan anggota tubuh,
gangguan penglihatan, kejang hingga penurunan kesadaran (Cohen, 2000).
Selain itu, dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat dilakukan penegakkan
diagnosis berdasarkan sistem skoring: Algoritma Gajah Mada dan Skor Siriraj.

Algoritma Gadjah Mada


Pada pasien:
Penurunan kesadaran (-) sakit kepala (-) refleks babinski (-) = stroke non hemoragik

Skor Stroke Siriraj


Rumus :
(2,5 x derajat kesadaran) + (2 x nyeri kepala) + (2 x muntah) + (0,1 x tekanan
diastolik) (3 x penanda ateroma) 12
Keterangan :
Derajat kesadaran : 0 = kompos mentis; 1 = somnolen; 2 = sopor/koma
Muntah : 0 = tidak ada; 1 = ada
Nyeri kepala : 0 = tidak ada; 1 = ada
Ateroma : 0 = tidak ada; 1 = salah satu atau lebih (diabetes; angina;
penyakit pembuluh darah)
Hasil :
Skor 0 : Lihat hasil CT-Scan
Skor > 1 : Perdarahan supratentorial / hemoragik
Skor < 1 : Infark serebri / iskemik
Skor pasien:
(2,5 x 0) + (2 x 0) + (2 x 0) + (0,1 x 100) - (3 x 1) 12 = -5 = stroke non hemoragik

Pada pasien ini didapatkan hasil skor NIHSS sebesar 7. Hal ini menunjuan stroke yang
dialami oleh pasien tergolong stroke sedang. Hal ini sesuai dengan interpretasi nilai
NIHSS berikut:
Terdapat pula faktor risiko stroke pada pasien yaitu usia tuadan hipertensi yang tidak
terkontrol. Menurut Goetz, 2007 stroke adalah penyakit yang disebabkan oleh banyak
faktor atau yang sering disebut multifaktor. Faktor risiko yang berhubungan dengan
kejadian stroke dibagi menjadi dua, yaitu faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
(non-modifiable risk factors) dan faktor resiko yang dapat dimodifikasi (modifiable risk
factors). Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi adalah usia, jenis kelamin, ras / suku
bangsa, herediter. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi adalah hipertensi, penyakit
jantung terutama (fibrilasi atrium), diabetus mellitus, merokok, konsumsi alcohol,
hiperlipidemi, gaya hidup yang kurang aktivitas, dan stenosis arteri karotis (Goetz,
2007).

Pemeriksaan fisik yang mendukung diagnosis stroke adalah ditemukannya tekanan darah
tinggi 220/120mmHg pada pemeriksaan tanda vital yang menunjukkan adanya hipertensi
pada pasien. Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko penyebab serangan stroke non
hemoragik. Dimana menurut teori kenaikan tekanan darah 10 mmHg saja dapat
meningkatkan risiko terkena stroke sebanyak 30%. Hipertensi mempercepat
arterioskleosis sehingga mudah terjadi oklusi atau emboli pada/dari pembuluh darah
besar.

Dari pemeriksaan motorik didapatkan kekuatan otot lemah pada ekstremitas superior dan
inferior dextra. Hal ini menunjukkan adanya defisit neurologis yang mengarah ke stroke
non hemoragik. Berdasarkan teori, non hemoragik/ iskemik merupakan penyakit yang
progresif dengan berbagai macam tampilan klinis, dari yang ringan hingga berat.
Gambaran klinis stroke iskemik dapat berupa kelemahan anggota tubuh (jarang pada
kedua sisi). Hiperrefleksia anggota tubuh, kelemahan otot-otot wajah, dysarthria,
dysfagia, peningkatan reflex muntah, diplopia, nystagmus, kelemahan otot mata,
gangguan pengelihatan dan penurunan kesadaran (Frances, 2005).

Gejala-gejala neurologi yang timbul biasanya bergantung pada arteri yang tersumbat
yang dapat dilihat pada tabel berikut:
Sirkulasi terganggu Sensomotorik Gejala klinis lain

Sindrom Sirkulasi Anterior

A.Serebri media Hemiplegia kontralateral Afasia global (hemisfer dominan), Hemi-


(total) (lengan lebih berat dari tungkai) neglect (hemisfer non-dominan), agnosia,
hemihipestesia kontralateral. defisit visuospasial, apraksia, disfagia

A.Serebri media Hemiplegia kontralateral Afasia motorik (hemisfer dominan),


(bagian atas) (lengan lebih berat dari tungkai) Hemi-negelect (hemisfer non-dominan),
hemihipestesia kontralateral. hemianopsia, disfagia

A.Serebri media Tidak ada gangguan Afasia sensorik (hemisfer dominan),


(bagian bawah) afasia afektif (hemisfer non-dominan),
kontruksional apraksia

A.Serebri media Hemiparese kontralateral, tidak Afasia sensoris transkortikal (hemisfer


dalam ada gangguan sensoris atau dominan), visual dan sensoris neglect
ringan sekali sementara (hemisfer non-dominan)

A.Serebri anterior Hemiplegia kontralateral Afasia transkortikal (hemisfer dominan),


(tungkai lebih berat dari lengan) apraksia (hemisfer non-dominan),
hemiestesia kontralateral perubahan perilaku dan personalitas,
(umumnya ringan) inkontinensia urin dan alvi

Sindrom Sirkulasi Posterior

A.Basilaris (total) Kuadriplegia, sensoris Gangguan kesadaran samapi ke sindrom


umumnya normal lock-in, gangguan saraf cranial yang
menyebabkan diplopia, disartria, disfagia,
disfonia, gangguan emosi

A.Serebri posterior Hemiplegia sementara, berganti Gangguan lapang pandang bagian sentral,
dengan pola gerak chorea pada prosopagnosia, aleksia
tangan, hipestesia atau anestesia
terutama pada tangan

Pembuluh Darah Kecil

Lacunar infark Gangguan motorik murni,


gangguan sensorik murni,
hemiparesis ataksik, sindrom
clumsy hand

Pengaturan motorik anggota gerak dipersarafi oleh jaras kortikospinalis (piramidalis).


Jaras ini akan menyilang ke kontralateral pada decusasio piramidalis di medulla
oblongata, sehingga lesi di salah satu hemisfer akan menimbulkan efek pada sisi
kontraleteralnya. Hal ini yang menunjukkan bahwa kelemahan pada sisi kanan pasien
disebabkan adanya gangguan pada hemisfer cerebri sinistra (Marjono & Sidharta, 2010).

Pemeriksaan Nervus Facialis VII wajah tampak asimetris, wajah tertarik ke kanan, sisi
kiri lebih rendah, tertawa wajah tertarik ke kanan, meringis wajah tertarik ke kanan,
mengembungkan pipi sisi kiri lebih rendah. Hal tersebut merupakan manifestasi klinis
lesi pada hemisfer cerebri dextra. Inti motorik n.VII terletak di pons. Otot-otot bagian
atas wajah mendapat persarafan dari dua sisi. Karena itu, terdapat perbedaan antara
gejala kelumpuhan n.VII jenis sentral dan perifer. Pada gangguan sentral, sekitar mata
dan dahi yang mendapat persarafan dari dua sisi, tidak lumpuh; yang lumpuh adalah
bagian bawah dari wajah. Pada gangguan n.VII jenis perifer (gangguan berada di inti
atau di serabut saraf) maka semua otot sesisi wajah lumpuh dan mungkin juga termasuk
cabang saraf yang mengurus pengecapan dan sekresi ludah yang berjalan bersama saraf
fasialis (Marjono & Sidharta, 2010).

Bagian inti motorik yang mengurus wajah bagian bawah mendapat persarafan dari
korteks motorik kontralateral, sedangkan yang mengurus wajah bagian atas mendapat
persarafan dari kedua sisi korteks motorik (bilateral). Karenanya kerusakan sesisi pada
upper motor neuron dari N VII (lesi pada traktus piramidalis atau korteks motorik) akan
mengakibatkan kelumpuhan pada otot-otot wajah bagian bawah, sedangkan bagian
atasnya tidak. Lesi supranuklir (upper motor neuron) N VII sering merupakan bagian
dari hemplegia. Hal ini dapat dijumpai pada stroke dan lesi-butuh-ruang (space
occupying lesion) yang mengenai korteks motorik, kapsula interna, thalamus,
mesensefalon,dan pons di atas inti N VII.
Gambar 1. Parese nervus facialis

Pemeriksaan N.Glossopharingeus dan N.Vagus (N.IX dan N.X) Suara bindeng/nasal (+),

posisi uvula deviasi ke dextra, palatum mole sisi kiri lebih rendah, reflek menelan masih

baik. Nervus glossofaringeus adalah saraf kranial kesembilan (IX) dari duabelas pasang

saraf kranial. Nervus IX berasal dari medulla oblongata bersamaan dengan nervus

kranialis X dan XI, melalui foramen jugularis juluran dari nervus glosofaringeus

menginervasi daerah lidah/faring dan leher yaitu mempersarafi daerah faring, otot

stilopharingeal, glandula dari faring (kelenjar parotis), tonsil, dan 1/3 posterior lidah.

Saraf glosofaringeus merupakan saraf motorik dan sensorik, saraf ini juga berfungsi

sebagai pengecap karena saraf ini menpersarafi papila sirkumvalata di bagian belakang

lidah (Mardjono dan Sidharta, 2010)

Nervus glosofaringeus terdiri dari serabut sensorik dan motorik. Ganglion untuk bagian

sensoriknya adalah ganglion petrosum. Serabut ganglion tersebut melintasi bagian


dorsolateral medula oblongata dan berakhir di sepanjang nucleus traktus solitarius.

Berkas serabut yang terkumpul disekitar nukleus traktus solitaries ikut menyusun traktus

solitarius. Sebagian dari serabut-serabut tersebut menuju ke nukleus dorsalis vagi.

Serabut-serabut motorik nervus glosofaringeus berasal dari nukleus salivatorius inferior

dan sebagian dari nukleus ambiguus. Kedua jenis serabut muncul pada permukaan

medula oblongata di sulkus lateralisposterior. Bersama-sama dengan nervus vagus dan

asesorius nervus glosofaringeus meninggalkan tengkorak melalui foramen jugulare. Di

leher nervus glosofaringeus membelok ke depan. Dalam perjalanannya ke bawah dan

kedepan itu, ia melewati arteri karotis interna dan vena jugularis interna. Kemudian ia

berjalan diapit oleh arteri karotis interna dan eksterna disamping larings. Di situ ia

bercabang-cabang dan mensarafi muskulus stilofaringeus dan selaput lender farings.

Cabang-cabang lainnya mensarafi tonsil, selaput lendir bagian belakang palatum molle

dan1/3 bagian belakang lidah. (Mardjono dan Sidharta, 2010)


Gambar 2 : perjalanan nervus glosofaringeus

Pada infarkserebri yang menimbulkan hemiparesis, sukar menelan menjadi gejala


dini.Lambat laun penderita hemiparesis bisa belajar untuk menelan makanan
tanpakesulitan. Dalam hal tersebut, kelumpuhan UMN pada otot-otot yang
diinervasinervus glossofaringeus dan vagus mendasari gangguan menelan. Jika
terdapatkerusakan UMN bilateral, seperti pada paralisis pseudobulbar, menelan
makananmerupakan gangguan yang sangat sering, sehingga makanan harus
diberikanmelalui pipa hidung. Kelumpuhan LMN pada otot-otot yang diinervasi nervus
glossofaringeus dan vagus dapat disebabkan oleh penekanan di foramen jugularis
(sindroma varent) akibat thrombosis vena jugularis sebagai komplikasimastoiditis.
(Mardjono dan Sidharta, 2010)

Pada pemeriksaan nervus glosofaringeaus biasanya nervus IX dan X diperiksa


bersamaan, karena kedua saraf ini berhubungan erat satu sama lain,sehingga gangguan
fungsinya jarang tersendiri, kecuali pada bagian yang perifer sekali. Banyak fungsi saraf
ini yang tidak diperiksa secara rutin karena sukarmelakukannya dan juga tidak penting
dalam menegakkan diagnosis, namundemikian, ada hal yang perlu diperiksa secara rutin.
(Lumbantobing, SM, 2012)

Pada pemeriksaan Nervus XII didapatkan lidah deviasi ke dextra. Kerusakan N XII akan
menyebabkan afasia dan deviasi lidah. Fungsi bicara di atur oleh daearah wernick dan
area broca di cerebrum. Sehingga jika terjadi lesi pada daerah tersebut maka akan
ditemukan afasia pada pasien. Dari uraian di atas dan hasil pemeriksaan, maka dapat
disimpulkan bahwa diagnosis topic pada kasus ini adalah hemisfer cerebri sinistra.
(Marjono & Sidharta, 2010).

Hipokalemia (K+ serum < 3,5 mEq/L) merupakan salah satu kelainan elektrolit yang
ditemukan pada pasien rawat inap. Di Amerika, 20% dari pasien rawat-inap didapati
mengalami hipokalemia1, namun hipokalemia yang bermakna klinik hanya terjadi pada
4-5% dari para pasien ini. Kekerapan pada pasien rawat-jalan yang mendapat diuretik
sebesar 40%2. Walaupun kadar kalium dalam serum hanya sebesar 2% dari kalium total
tubuh dan pada banyak kasus tidak mencerminkan status kalium tubuh; hipokalemia
perlu dipahami karena semua intervensi medis untuk mengatasi hipokalemia berpatokan
pada kadar kalium serum. Diuretik boros kalium dan aldosteron merupakan dua faktor
yang bisa menguras cadangan kalium tubuh. Tiazid dan furosemid adalah dua diuretik
yang terbanyak dilaporkan menyebabkan hipokalemia.

Pemeriksaan CT-scan pada pasien ini telah dilakukan. Pada pasien ini didapatkan kesan
infark cerebri di thalamus sinistra dan artrophy cerebri senilis.

CT scan merupakan Gold standar dari penegakkan diagnosis stroke. Suatu CT scan
digunakan untuk mencari perdarahan atau massa di dalam otak, situasi yang sangat
berbeda dengan stroke yang memerlukan penanganan yang berbeda pula. CT Scan
berguna untuk menentukan:
a) jenis patologi
b) lokasi lesi
c) ukuran lesi
d) menyingkirkan lesi non vaskuler

Pemeriksaan penunjang lainnya dapat dilakukan yaitu;


MRI scan: Magnetic resonance imaging (MRI) menggunakan gelombang magnetik
untuk membuat gambaran otak. Gambar yang dihasilkan MRI jauh lebih detail jika
dibandingkan dengan CT scan, tetapi ini bukanlah pemeriksaan garis depan untuk stroke.
jika CT scan dapat selesai dalam beberapa menit, MRI perlu waktu lebih dari satu jam.
MRI dapat dilakukan kemudian selama perawatan pasien jika detail yang lebih baik
diperlukan untuk pembuatan keputusan medis lebih lanjut. Orang dengan peralatan
medis tertentu (seperti, pacemaker) atau metal lain di dalam tubuhnya, tidak dapat
dijadikan subyek pada daerah magneti kuat suatu MRI.

Metode lain teknologi MRI: suatu MRI scan dapat juga digunakan untuk secara spesifik
melihat pembuluh darah secara non invasif (tanpa menggunakan pipa atau injeksi), suatu
prosedur yang disebut MRA (magnetic resonance angiogram). Metode MRI lain disebut
dengan diffusion weighted imaging (DWI) ditawarkan di beberapa pusat kesehatan.
Teknik ini dapat mendeteksi area abnormal beberapa menit setelah aliran darah ke bagian
otak yang berhenti, dimana MRI konvensional tidak dapat mendeteksi stroke sampai
lebih dari 6 jam dari saat terjadinya stroke, dan CT scan kadang-kadang tidak dapat
mendeteksi sampai 12-24 jam. Sekali lagi, ini bukanlah test garis depan untuk
mengevaluasi pasien stroke.

Computerized tomography dengan angiography: menggunakan zat warna yang


disuntikkan ke dalam vena di lengan, gambaran pembuluh darah di otak dapat
memberikan informasi tentang aneurisma atau arteriovenous malformation. Seperti
abnormalitas aliran darah otak lainnya dapat dievaluasi dengan peningkatan teknologi
canggih, CT angiography menggeser angiogram konvensional.

Conventional angiogram: suatu angiogram adalah tes lain yang kadang-kadang


digunakan untuk melihat pembuluh darah. Suatu pipa kateter panjang dimasukkan ke
dalam arteri (biasanya di area selangkangan) dan zat warna diinjeksikan sementara foto
sinar-x secara bersamaan diambil.Meskipun angiogram memberikan gambaran anatomi
pembuluh darah yang paling detail, tetapi ini juga merupakan prosedur yang invasif dan
digunakan hanya jika benar-benar diperlukan.Misalnya, angiogram dilakukan setelah
perdarahan jika sumber perdarahan perlu diketahui dengan pasti.Prosedur ini juga
kadang-kadang dilakukan untuk evaluasi yang akurat kondisi arteri carotis ketika
pembedahan untuk membuka sumbatan pembuluh darah dipertimbangkan untuk
dilakukan.

Carotid Doppler ultrasound: adalah suatu metode non-invasif (tanpa injeksi atau
penempatan pipa) yang menggunakan gelombang suara untuk menampakkan
penyempitan dan penurunan aliran darah pada arteri carotis (arteri utama di leher yang
mensuplai darah ke otak)

Tes darah: tes darah seperti sedimentation rate dan C-reactive protein yang dilakukan
untuk mencari tanda peradangan yang dapat memberi petunjuk adanya arteri yang
mengalami peradangan. Protein darah tertentu yang dapat meningkatkan peluang
terjadinya stroke karena pengentalan darah juga diukur. Tes ini dilakukan untuk
mengidentifikasi penyebab stroke yang dapat diterapi atau untuk membantu mencegah
perlukaan lebih lanjut.Tes darah screening mencari infeksi potensial, anemia, fungsi
ginjal dan abnormalitas elektrolit mungkin juga perlu dipertimbangkan.

B. Apakah penatalaksanaan pada pasien sudah tepat?

Penatalaksanaan medikamentosa yang diberikan pada pasien adalah, IVFD RL gtt xx/ mnt,
, Amlodipine 1x10mg, Ranitidine 50mg/12 jam, Vit B1 B6 B12 2x1 dan Aspirin 1x80 mg.

Terapi umum yang diberikan pada pasien stroke non hemoragik jika kesadaran menurun
adalah kepala dan dada pada satu bidang; ubah posisi tidur setiap 2 jam; mobilisasi
dimulai bertahap bila hemodinamik sudah stabil. Letakkan kepala pasien pada posisi 30.
Selanjutnya, bebaskan jalan napas, beri oksigen 1-2 liter/menit sampai didapatkan hasil
analisis gas darah. Penatalaksanaan pada pasien stroke non hemoragik yang pertama
adalah oksigen untuk mencegah terjadinya hipoksia otak (PERDOSSI, 2007).

Pemantauan secara terus menerus terhadap status neurologis, nadi, tekanan darah, suhu
tubuh, dan Saturasi oksigen dianjurkan dalam 72 jam, pada pasien dengan defisit
neurologis yang nyata. Pemberian oksigen dianjurkan pada keadaan dengan saturasi
oksigen < 95% (PERDOSSI, 2011).

Jika didapatkan tekanan intrakranial meningkat, diberi manitol bolus intravena 0,25
sampai 1 g/ kgBB per 30 menit, dan jika dicurigai fenomena rebound atau keadaan umum
memburuk, dilanjutkan 0,25g/kgBB per 30 menit setiap 6 jam selama 3-5 hari. Harus
dilakukan pemantauan osmolalitas (<320 mmol); sebagai alternatif, dapat diberikan
larutan hipertonik (NaCl3%) atau furosemid.
Pemberian amlodipin pada pasien merupakan terapi untuk mengatasi hipertensi pada
pasien. Penurunan tekanan darah yang tinggi pada stroke akut sebagai tindakan rutin tidak
dianjurkan, karena kemungkinan dapat memperburuk neurologis. Pada sebagian besar
pasien, tekanan darah akan turun dengan sendirinya dalam 24 jam pertama setelah awitan
serangan stroke. Berbagai Gudeline (AHA/ASA 2007 dan ESO 2009) merekomendasikan
penurunan tekanan darah yang tinggi pada stroke akut agar dilakukan secara hati-hati
dengan memperhatikan beberapa kondisi.

Pada pasien stroke iskemik akut, tekanan darah diturunkan sekitar 15% (sistolik maupun
diastolic) dalam 24 jam pertama setelah awitan apabila tekanan darah sistolik (TDS) >220
mmHg atau tekanan darah diastolic (TDD) >120 mmHg. Pada pasien stroke iskemik akut
yang akan diberi terapi trombolitik (rtPA), tekanan darah diturunkan hingga TDS <185
mmHg dan TDD <110 mmHg. Selanjutnya, tekanan darah harus dipantau hingga TDS
<180 mmHg dan TDD <105 mmHg selama 24 jam setelah pemberian rtPA. Obat
antihipertensi yang digunakan adalah labetalol, nitropaste, nitroprusid, nikardipin, atau
diltiazem intravena (AHA/ASA Guideline, 2007).

Apabila TDS >180 mmHg atau MAP >130 mmHg tanpa disertai gejala dan tanda
peningkatan tekanan intracranial, tekanan darah diturunkan secara hati-hati dengan
menggunakan obat antihipertensi intravena kontinu atau intermitten dengan pemantauan
tekanan darah setiap 15 menit hingga MAP 110 mmHg atau tekanan darah 160/90 mmHg.
Pada studi INTERACT 2010, penurunan TDS hingga 140 mmHg masih diperbolehkan
(AHA/ASA Guideline, 2007)

Berdasarkan PERDOSSI tahun 2007, tekanan darah tidak perlu segera diturunkan kecuali
bila tekanan sistolik =220 mmHg,diastolik =120 mmHg, Mean Arterial BloodPressure
(MAP) = 130 mmHg (pada 2 kali pengukuran dengan selang waktu 30 menit),atau
didapatkan infark miokard akut, gagal jantung kongestif serta gagal ginjal. Penurunan
tekanan darah maksimal adalah 20%, dan obat yang direkomendasikan: natrium
nitroprusid, penyekat reseptor alfa-beta, penyekat ACE, atau antagonis kalsium. Jika
terjadi hipotensi, yaitu tekanan sistolik =90 mm Hg, diastolik =70 mmHg, diberi NaCl
0,9% 250 mL selama 1 jam, dilanjutkan 500 mL selama 4 jam dan 500 mL selama 8 jam
atau sampai hipotensi dapat diatasi. Jika belum terkoreksi, yaitu tekanan darah sistolik
masih < 90 mmHg, dapat diberi dopamin 2-20 g/kg/menit sampai tekanan darah sistolik
= 110 mmHg (PERDOSSI, 2007).
Pemberian ranitidine sebagai antagonis H2 bertujuan untuk mencegah terjadinya stress
ulcer. Untuk mencegah timbulnya perdarahan lambung pada stroke, sitoprotektor atau
penghambat reseptor H2 perlu diberikan. Tidak ada perbedaan hasil antara pemberian
penghambat reseptor H2, sitoprotektor agen ataupun inhibitor pompa proton. Antasida
tidak perlu diberikan pada profilaksis stress ulcer. Untuk semua penderita stroke,
pemberian obat-obatan seperti NSAID dan kortikosteroid, serta makanan/minuman yang
bersifat iritatif terhadap lambung (alkohol,rokok,cuka) perlu dihindari (Laine et al, 2005).

Pasien ini diberikan vitamin B1 B6 B12 2x1. Pemberian vitamin B komplek, piridoksin
(B6), kobalamin (B12), dan asam folat dapat dipertimbangkan untuk pencegahan stroke
iskemik pada penderita hiperosmosisteinemia, tetapi manfaatnya belum jelas (AHA/ASA,
Class IIB, level ofevidence B). (PERDOSSI, 2011)

Cairan yang diberikan adalah cairan isotonis seperti 0,9% salin dengan tujuan menjaga
euvolemi. Tekanan vena sentral dipertahankan antara 5-12 mmHg. Pada umumnya,
kebutuhan cairan 30 ml/kgBB/hari (parenteral maupun enteral). Balans cairan
diperhitungkan dengan mengukur produksi urin sehari ditambah dengan pengeluaran
cairan yang tidak dirasakan (produksi urin sehari ditambah 500 ml untuk kehilangan
cairan yang tidak tampak dan ditambah lagi 300 ml per derajat Celcius pada penderita
panas) (PERDOSSI, 2011).

Dari uraian diatas didapatkan bahwa tatalaksana stroke non hemoragik pada pasien ini
sudah cukup tepat.

Aspirin diberikan sebagai agen trombolitik untuk menghancurkan sumbatan pada


pembuluh darah otak yang dapat menyebabkan perluasan iskemi.

Elektrolit (natrium, kalium, kalsium dan magnesium) harus selalu diperiksa dan diganti
bila terjadi kekurangan sampai tercapai nilai normal. Asidosis dan alkalosis harus
dikoreksi sesuai dengan hasil analisa gas darah. Cairan yang hipotonik atau mengandung
glukosa hendaklah dihindari kecuali pada keadaan hipoglikemia (PERDOSSI, 2011).

Stroke merupakan penyebab utama kecacatan pada usia di atas 45 tahun, maka yang
paling penting pada masa ini ialah upaya membatasi sejauh mungkin kecacatan penderita,
fisik dan mental, dengan fisioterapi, terapi wicara, dan psikoterapi. Jika seorang pasien
tidak lagi menderita sakit akut setelah suatu stroke. Proses rehabilitasi dapat meliputi
beberapa atau semua hal di bawah ini:

1. Terapi bicara untuk belajar kembali berbicara dan menelan


2. Terapi okupasi untuk mendapatkan kembali ketangkasan lengan dan tangan

3. Terapi fisik untuk memperbaiki kekuatan dan kemampuan berjalan, dan

4. Edukasi keluarga untuk memberikan orientasi kepada mereka dalam merawat orang
yang mereka cintai di rumah dan tantangan yang akan mereka hadapi.

Macam-macam rehabilitasi fisik yang dapat diberikan adalah :

1. Bed exercise
2. Latihan duduk

3. Latihan berdiri

4. Latihan mobilisasi

5. Latihan ADL (activity daily living)

6. Latihan Positioning (Penempatan)

7. Latihan mobilisasi

8. Latihan pindah dari kursi roda ke mobil

9. Latihan berpakaian

10. Latihan membaca

11. Latihan mengucapkan huruf A,I,U,E,O

C. Bagaimanakah prognosis pada pasien tersebut?


Prognosis ad vitam pada kasus ini dubia ad bonam, karena keadaan pasien pada saat
datang yang masih dalam keadaan umum yang cukup baik. Untuk Prognosis ad
fungsionam adalah dubia dikarenakan sangat tergantung dari ketekunan pasien dalam
menjalani fisioterapi dan mengontrol tekanan darah. Namun, semakin bertambahnya usia
jika lebih dari 45 tahun risiko kecacatan semakin bertambah. Prognosis sanationam adalah
dubia dikarenakan penyakit stroke tidak dapat sembuh sempurna, dan adanya faktor resiko
hipertensi yang butuh kesadaran dan perhatian dari pasien untuk mengontrolnya.

D. Apakah diagnosis banding kasus tersebut?


Diagnosis banding adalah stroke hemoragik. Stroke hemoragik merupakan disfungsi
neurologis fokal yang akut dan disebabkan oleh perdarahan pada substansi otak yang
terjadi secara spontan bukan oleh karena trauma kapitis, akibat pecahnya pembuluh arteri
dan pembuluh kapiler (Price, 2006).

Untuk menyingkirkan diagnosis banding berdasarkan :

1. Anamnesis menegakkan diagnosis stroke memberikan gejala dan tanda sesuai dengan
daerah fokal di otak. Akan ditemukan kelumpuhan anggota gerak sebelah badan,
mulut mencong atau bicara pelo dan tidak dapat berkomunikasi dengan baik. Keadaan
ini timbul sangat mendadak.Juga perlu ditanyakan faktor-faktor resiko yang menyertai
stroke. Dicatat obat-obat yang sedang dipakai. Juga ditanyakan riwayat keluarga dan
penyakit lainnya.

2. Melakukan pemeriksaan fisik neurologis


Pemeriksaan rangsang meningeal dan kaku kuduk yang negatif dapat membantu
menyingkirkan kemungkinan ICH terutama bila ICH sampai mengisi ventrikel.

3. Sistem Skor untuk membedakan jenis stroke, yaitu :


Skor Siriraj
SS> 1 : Stroke Hemoragik

-1 < SS < 1 : perlu konfirmasi CT Scan

SS < -1 : Stroke Non Hemoragik

Algoritma Gadjah Mada


Proses penyumbatan pembuluh darah otak memiliki beberapa sifat spesifik :

1. Timbul mendadak
2. Menunjukkan gejala neurologis kontralateral terhadap pembuluh darah yang
tersumbat
3. Pada stroke non hemoragik lebih jarang terjadi penurunan kesadaran, sedangkan
kesadaran dapat menurun sampai koma terutama pada perdarahan otak.

Berikut ini adalah tabel perbedaan stroke non hemoragik dengan stroke hemoragik.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

VASKULARISASI SARAF PUSAT


A. Anatomi
Otak memperoleh darah melalui dua sistem yakni sistem karotis (arteri karotis
interna kanan dan kiri) dan sistem vertebral. Arteri koritis interna, setelah memisahkan
diri dari arteri karotis komunis, naik dan masuk ke rongga tengkorak melalui kanalis
karotikus, berjalan dalam sinus kavernosum, mempercabangkan arteri oftalmika untuk
nervus optikus dan retina, akhirnya bercabang dua: arteri serebri anterior dan arteri
serebri media. Untuk otak, sistem ini memberi darah bagi lobus frontalis, parietalis dan
beberapa bagian lobus temporalis. Sistem vertebral dibentuk oleh arteri vertebralis kanan
dan kiri yang berpangkal di arteri subklavia, menuju dasar tengkorak melalui kanalis
tranversalis di kolumna vertebralis servikal, masuk rongga kranium melalui foramen
magnum, lalu mempercabangkan masing-masing sepasang arteri serebeli inferior. Pada
batas medula oblongata dan pons, keduanya bersatu arteri basilaris, dan setelah
mengeluarkan 3 kelompok cabang arteri, pada tingkat mesensefalon, arteri basilaris
berakhir sebagai sepasang cabang: arteri serebri posterior, yang melayani darah bagi
lobus oksipitalis, dan bagian medial lobus temporalis. Ke 3 pasang arteri serebri ini
bercabang-cabang menelusuri permukaan otak, dan beranastomosis satu bagian lainnya.
Cabang- cabang yang lebih kecil menembus ke dalam jaringan otak dan juga saling
berhubungan dengan cabang-cabang arteri serebri lainya.1
Untuk menjamin pemberian darah ke otak, ada sekurang-kurangnya 3 sistem
kolateral antara sistem karotis dan sitem vertebral, yaitu: Sirkulus Willisi, yakni
lingkungan pembuluh darah yang tersusun oleh arteri serebri media kanan dan kiri, arteri
komunikans anterior (yang menghubungkan kedua arteri serebri anterior), sepasang arteri
serebri media posterior dan arteri komunikans posterior (yang menghubungkan arteri
serebri media dan posterior) kanan dan kiri. Anyaman arteri ini terletak di dasar otak.
Anastomosis antara arteri serebri interna dan arteri karotis eksterna di daerah orbita,
masing-masing melalui arteri oftalmika dan arteri fasialis ke arteri maksilaris eksterna.
Hubungan antara sitem vertebral dengan arteri karotis ekterna (pembuluh darah
ekstrakranial). Selain itu masih terdapat lagi hubungan antara cabang-cabang arteri
tersebut, sehingga menurut Buskrik tak ada arteri ujung (true end arteries) dalam jaringan
otak. Darah vena dialirkan dari otak melalui 2 sistem: kelompok vena interna, yang
mengumpulkan darah ke vena Galen dan sinus rektus, dan kelompok vena eksterna yang
terletak dipermukaan hemisfer otak, dan mencurahkan darah ke sinus sagitalis superior
dan sinus-sinus basalis laterales, dan seterusnya melalui vena-vena jugularis dicurahkan
menuju ke jantung.1

B. Fisiologi
Sistem karotis terutama melayani kedua hemisfer otak, dan sistem
vertebrabasilaris terutama memberi darah bagi batang otak, serebelum dan bagian
posterior hemisfer. Aliran darah di otak (ADO) dipengaruhi terutama 3 faktor. Dua faktor
yang paling penting adalah tekanan untuk memompa darah dari sistem arteri-kapiler ke
sistem vena, dan tahanan (perifer) pembuluh darah otak. Faktor ketiga, adalah faktor
darah sendiri yaitu viskositas darah dan koagulobilitasnya (kemampuan untuk
membeku).1 Dari faktor pertama, yang terpenting adalah tekanan darah sistemik (faktor
jantung, darah, pembuluh darah, dll), dan faktor kemampuan khusus pembuluh darah otak
(arteriol) untuk menguncup bila tekanan darah sistemik naik dan berdilatasi bila tekanan
darah sistemik menurun. Daya akomodasi sistem arteriol otak ini disebut daya otoregulasi
pembuluh darah otak (yang berfungsi normal bila tekanan sistolik antara 50-150 mmHg).1
Faktor darah, selain viskositas darah dan daya membekunya, juga di antaranya
seperti kadar/tekanan parsial CO2 dan O2 berpengaruh terhadap diameter arteriol.
Kadar/tekanan parsial CO2 yang naik, PO2 yang turun, serta suasana jaringan yang asam
(pH rendah), menyebabkan vasodilatasi, sebaliknya bila tekanan darah parsial CO2 turun,
PO2 naik, atau suasana pH tinggi, maka terjadi vasokonstriksi. Viskositas/kekentalan
darah yang tinggi mengurangi ADO. Sedangkan koagulobilitas yang besar juga
memudahkan terjadinya trombosis, aliran darah lambat, akibat ADO menurun.1

STROKE NON HEMORAGIK / STROKE ISKEMIK


A. Definisi
Menurut WHO (World Health Organization) 2005 stroke adalah suatu gangguan
fungsional otak yang terjadi secara mendadak dengan tanda dan gejala klinik baik fokal
maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam, atau dapat langsung menimbulkan
kematian, dan semata-mata disebabkan gangguan peredaran darah otak non traumatik.
Stroke non hemoragik didefinisikan sebagai sekumpulan tanda klinik yang
berkembang oleh sebab vaskular. Gejala ini berlangsung 24 jam atau lebih pada
umumnya terjadi akibat berkurangnya aliran darah ke otak, yang menyebabkan cacat atau
kematian.1

B. Etiologi
Pada tingkatan makroskopik, stroke non hemoragik paling sering disebabkan oleh
emboli ektrakranial atau trombosis intrakranial. Selain itu, stroke non hemoragik juga
dapat diakibatkan oleh penurunan aliran serebral. Pada tingkatan seluler, setiap proses
yang mengganggu aliran darah menuju otak menyebabkan timbulnya kaskade iskemik
yang berujung pada terjadinya kematian neuron dan infark serebri.2
1. Emboli
Sumber embolisasi dapat terletak di arteria karotis atau vertebralis akan
tetapi dapat juga di jantung dan sistem vaskuler sistemik.3
a) Embolisasi kardiogenik dapat terjadi pada:
Penyakit jantung dengan shunt yang menghubungkan bagian
kanan dengan bagian kiri atrium atau ventrikel;
Penyakit jantung rheumatoid akut atau menahun yang
meninggalkan gangguan pada katup mitralis;
Fibralisi atrium;
Infark kordis akut;
Embolus yang berasal dari vena pulmonalis
Kadang-kadang pada kardiomiopati, fibrosis endrokardial, jantung
miksomatosus sistemik;
b) Embolisasi akibat gangguan sistemik dapat terjadi sebagai:
Embolia septik, misalnya dari abses paru atau bronkiektasis.
Metastasis neoplasma yang sudah tiba di paru.
Embolisasi lemak dan udara atau gas N (seperti penyakit
caisson).
Emboli dapat berasal dari jantung, arteri ekstrakranial, ataupun dari right-
sided circulation (emboli paradoksikal). Penyebab terjadinya emboli kardiogenik
adalah trombi valvular seperti pada mitral stenosis, endokarditis, katup buatan),
trombi mural (seperti infark miokard, atrial fibrilasi, kardiomiopati, gagal jantung
kongestif) dan atrial miksoma. Sebanyak 2-3% stroke emboli diakibatkan oleh
infark miokard dan 85% di antaranya terjadi pada bulan pertama setelah terjadinya
infark miokard.2
2. Trombosis
Stroke trombotik dapat dibagi menjadi stroke pada pembuluh darah besar
(termasuk sistem arteri karotis) dan pembuluh darah kecil (termasuk sirkulus
Willisi dan sirkulus posterior). Tempat terjadinya trombosis yang paling sering
adalah titik percabangan arteri serebral utamanya pada daerah distribusi dari arteri
karotis interna. Adanya stenosis arteri dapat menyebabkan terjadinya turbulensi
aliran darah (sehingga meningkatkan resiko pembentukan trombus aterosklerosis
(ulserasi plak), dan perlengketan platelet. Penyebab lain terjadinya trombosis
adalah polisetemia, anemia sickle sel, displasia fibromuskular dari arteri serebral,
dan vasokonstriksi yang berkepanjangan akibat gangguan migren. Setiap proses
yang menyebabkan diseksi arteri serebral juga dapat menyebabkan terjadinya
stroke trombotik (contohnya trauma, diseksi aorta thorasik, arteritis).2

C. Faktor Resiko
Pemeriksaan faktor resiko dengan cermat dapat memudahkan seorang dokter
untuk menemukan penyebab terjadinya stroke. Terdapat beberapa faktor resiko stroke non
hemoragik, yakni: 2,3
1. Usia lanjut (resiko meningkat setiap pertambahan dekade)
2. Hipertensi
3. Merokok
4. Penyakit jantung (penyakit jantung koroner, hipertrofi ventrikel kiri, dan fibrilasi
atrium kiri)
5. Hiperkolesterolemia
6. Riwayat mengalami penyakit serebrovaskuler
Resiko stroke juga meningkat pada kondisi di mana terjadi peningkatan viskositas
darah dan penggunaan kontrasepsi oral pada pasien dengan resiko tinggi mengalami
stroke non hemoragik.2

D. Klasifikasi
Stroke iskemik dapat dijumpai dalam 4 bentuk klinis: 1
1. Serangan Iskemia Sepintas/Transient Ischemic Attack (TIA)
Pada bentuk ini gejalah neurologik yang timbul akibat gangguan peredaran darah
di otak akan menghilang dalam waktu 24 jam.
2. Defisit Neurologik Iskemia Sepintas/Reversible Ischemic Neurological Deficit
(RIND).
Gejala neurologik yang timbul akan menghilang dalam waktu lebih dari 24 jam,
tapi tidak lebih dari seminggu.
3. Stroke progresif (Progressive Stroke/Stroke in evolution)
Gejala neurologik makin lama makin berat.
4. Stroke komplet (Completed Stroke/Permanent Stroke)
Gejala klinis sudah menetap. Kasus completed stroke ini ialah hemiplegi dimana
sudah memperlihatkan sesisi yang sudah tidak ada progresi lagi. Dalam hal ini,
kesadaran tidak terganggu
Berdasarkan subtipe penyebab :4
a. Stroke lakunar
Terjadi karena penyakit pembuluh halus hipersensitif dan menyebabkan sindrom
stroke yang biasanya muncul dalam beberapa jam atau kadang-kadang lebih lama.
Infark lakunar merupakan infark yang terjadi setelah oklusi aterotrombotik salah
satu dari cabang-cabang penetrans sirkulus Willisi, arteria serebri media, atau
arteri vertebralis dan basilaris. Trombosis yang terjadi di dalam pembuluh-
pembuluh ini menyebabkan daerah-daerah infark yang kecil, lunak, dan disebut
lacuna. Gejala-gejala yang mungkin sangat berat, bergantung pada kedalaman
pembuluh yang terkena menembus jaringan sebelum mengalami trombosis.
b. Stroke trombotik pembuluh besar
Sebagian besar dari stroke ini terjadi saat tidur, saat pasien relative mengalami
dehidrasi dan dinamika sirkulasi menurun. Gejala dan tanda akibat stroke iskemik
ini bergantung pada lokasi sumbatan dan tingkat aliran kolateral di jaringan yang
terkena. Stroke ini sering berkaitan dengan lesi aterosklerotik.
c. Stroke embolik
Asal stroke embolik dapat dari suatu arteri distal atau jantung. Stroke yang terjadi
akibat embolus biasanya menimbulkan defisit neurologik mendadak dengan efek
maksimum sejak awitan penyakit. Biasanya serangan terjadi saat pasien
beraktivitas. Pasien dengan stroke kardioembolik memiliki risiko besar menderita
stroke hemoragik di kemudian hari.
d. Stroke kriptogenik
Biasanya berupa oklusi mendadak pembuluh intrakranium besar tanpa penyebab
yang jelas walaupun telah dilakukan pemeriksaan diagnostik dan evaluasi klinis
yang ekstensif.

E. Patofisiologis
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya stroke iskemik, salah satunya adalah
aterosklerosis, dengan mekanisme thrombosis yang menyumbat arteri besar dan arteri
kecil, dan juga melalui mekanisme emboli. Pada stroke iskemik, penyumbatan bisa terjadi
di sepanjang jalur arteri yang menuju ke otak. Aterosklerosis dapat menimbulkan
bermacam-macam manifestasi klinik dengan cara:
1. Menyempitkan lumen pembuluh darah dan mengakibatkan insufisiensi aliran
darah.
2. Oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadinya trombus atau perdarahan
aterom.
3. Merupakan terbentuknya trombus yang kemudian terlepas sebagai emboli
Menyebabkan dinding pembuluh menjadi lemah dan terjadi aneurisma yang
kemudian dapat robek.
Suatu penyumbatan total dari aliran darah pada sebagian otak akan menyebabkan
hilangnya fungsi neuron yang bersangkutan pada saat itu juga. Bila anoksia ini berlanjut
sampai 5 menit maka sel tersebut dengan sel penyangganya yaitu sel glia akan mengalami
kerusakan ireversibel sampai nekrosis beberapa jam kemudian yang diikuti perubahan
permeabilitas vaskular disekitarnya dan masuknya cairan serta sel-sel radang.
Di sekitar daerah iskemi timbul edem glia, akibat berlebihannya H+ dari asidosis
laktat. K+ dari neuron yang rusak diserap oleh sel glia disertai rentensi air yang timbul
dalam empat hari pertama sesudah stroke. Edem ini menyebabkan daerah sekitar nekrosis
mengalami gangguan perfusi dan timbul iskemi ringan tetapi jaringan otak masih hidup.
Daerah ini adalah iskemik penumbra. Bila terjadi stroke, maka di suatu daerah tertentu
dari otak akan terjadi kerusakan (baik karena infark maupun perdarahan). Neuron-neuron
di daerah tersebut tentu akan mati, dan neuron yang rusak ini akan mengeluarkan
glutamat, yang selanjutnya akan membanjiri sel-sel disekitarnya. Glutamat ini akan
menempel pada membran sel neuron di sekitar daerah primer yang terserang. Glutamat
akan merusak membran sel neuron dan membuka kanal kalsium (calcium channels).
Kemudian terjadilah influks kalsium yang mengakibatkan kematian sel. Sebelumnya, sel
yang mati ini akan mengeluarkan glutamat, yang selanjutnya akan membanjiri lagi
neuron-neuron disekitarnya. Terjadilah lingkaran setan. Neuron-neuron yang rusak juga
akan melepaskan radikal bebas, yaitu charged oxygen molecules (seperti nitric acida atau
NO), yang akan merombak molekul lemak didalam membran sel, sehingga membran sel
akan bocor dan terjadilah influks kalsium. Stroke iskemik menyebabkan berkurangnya
aliran darah ke otak yang menyebabkan kematian sel.
Pembuluh darah

Trombus/embolus karena plak


ateromatosa, fragmen, lemak, udara,
bekuan darah

Oklusi

Perfusi jaringan cerebral

Iskemia

Hipoksia

Metabolisme Aktivitas elektrolit Nekrotik jaringan otak


anaerob terganggu

Asam laktat Na & K pump Infark


gagal

Na & K influk

Retensi cairan

Oedem serebral

Gg.kesadaran, kejang fokal,


hemiplegia, defek medan
penglihatan, afasia

F. Diagnosis
1. Gambaran Klinis
a) Anamnesis
Stroke harus dipertimbangkan pada setiap pasien yang mengalami defisit
neurologi akut (baik fokal maupun global) atau penurunan tingkat kesadaran.
Tidak terdapat tanda atau gejala yang dapat membedakan stroke hemoragik dan
non hemoragik meskipun gejala seperti mual muntah, sakit kepala dan perubahan
tingkat kesadaran lebih sering terjadi pada stroke hemoragik. Beberapa gejala
umum yang terjadi pada stroke meliputi hemiparese, monoparese, atau
qudriparese, hilangnya penglihatan monokuler atau binokuler, diplopia, disartria,
ataksia, vertigo, afasia, atau penurunan kesadaran tiba-tiba. Meskipun gejala-
gejala tersebut dapat muncul sendiri namun umumnya muncul secara bersamaan.
Penentuan waktu terjadinya gejala-gejala tersebut juga penting untuk menentukan
perlu tidaknya pemberian terapi trombolitik. Beberapa faktor dapat mengganggu
dalam mencari gejala atau onset stroke seperti:
Stroke terjadi saat pasien sedang tertidur sehingga kelainan tidak didapatkan
hingga pasien bangun (wake up stroke).
Stroke mengakibatkan seseorang sangat tidak mampu untuk mencari
pertolongan.
Penderita atau penolong tidak mengetahui gejala-gejala stroke.
Terdapat beberapa kelainan yang gejalanya menyerupai stroke seperti kejang,
infeksi sistemik, tumor serebral, subdural hematom, ensefalitis, dan
hiponatremia.2
b) Pemeriksaan Fisik
Tujuan pemeriksaan fisik adalah untuk mendeteksi penyebab stroke
ekstrakranial, memisahkan stroke dengan kelainan lain yang menyerupai stroke,
dan menentukan beratnya defisit neurologi yang dialami. Pemeriksaan fisik harus
mencakup pemeriksaaan kepala dan leher untuk mencari tanda trauma, infeksi,
dan iritasi menings. Pemeriksaan juga dilakukan untuk mencari faktor resiko
stroke seperti obesitas, hipertensi, kelainan jantung, dan lain-lain.2
c) Pemeriksaan Neurologi
Tujuan pemeriksaan neurologi adalah untuk mengidentifikasi gejala
stroke, memisahkan stroke dengan kelainan lain yang memiliki gejala seperti
stroke, dan menyediakan informasi neurologi untuk mengetahui keberhasilan
terapi. Komponen penting dalam pemeriksaan neurologi mencakup pemeriksaan
status mental dan tingkat kesadaran, pemeriksaan nervus kranial, fungsi motorik
dan sensorik, fungsi serebral, gait, dan refleks tendon profunda. Tengkorak dan
tulang belakang pun harus diperiksa dan tanda-tanda meningimus pun harus
dicari. Adanya kelemahan otot wajah pada stroke harus dibedakan dengan Bells
palsy di mana pada Bells palsy biasanya ditemukan pasien yang tidak mampu
mengangkat alis atau mengerutkan dahinya.2,5
Gejala-gejala neurologi yang timbul biasanya bergantung pada arteri yang
tersumbat:6

Sirkulasi terganggu Sensomotorik Gejala klinis lain


Sindrom Sirkulasi Anterior
A.Serebri media (total) Hemiplegia kontralateral Afasia global (hemisfer
(lengan lebih berat dari dominan), Hemi-neglect
tungkai) hemihipestesia (hemisfer non-dominan),
kontralateral. agnosia, defisit visuospasial,
apraksia, disfagia
A.Serebri media (bagian Hemiplegia kontralateral Afasia motorik (hemisfer
atas) (lengan lebih berat dari dominan), Hemi-negelect
tungkai) hemihipestesia (hemisfer non-dominan),
kontralateral. hemianopsia, disfagia
A.Serebri media (bagian Tidak ada gangguan Afasia sensorik (hemisfer
bawah) dominan), afasia afektif
(hemisfer non-dominan),
kontruksional apraksia
A.Serebri media dalam Hemiparese kontralateral, Afasia sensoris transkortikal
tidak ada gangguan (hemisfer dominan), visual dan
sensoris atau ringan sekali sensoris neglect sementara
(hemisfer non-dominan)
A.Serebri anterior Hemiplegia kontralateral Afasia transkortikal (hemisfer
(tungkai lebih berat dari dominan), apraksia (hemisfer
lengan) hemiestesia non-dominan), perubahan
kontralateral (umumnya perilaku dan personalitas,
ringan) inkontinensia urin dan alvi
Sindrom Sirkulasi Posterior
A.Basilaris (total) Kuadriplegia, sensoris Gangguan kesadaran samapi ke
umumnya normal sindrom lock-in, gangguan saraf
cranial yang menyebabkan
diplopia, disartria, disfagia,
disfonia, gangguan emosi
A.Serebri posterior Hemiplegia sementara, Gangguan lapang pandang
berganti dengan pola bagian sentral, prosopagnosia,
gerak chorea pada tangan, aleksia
hipestesia atau anestesia
terutama pada tangan
Pembuluh Darah Kecil
Lacunar infark Gangguan motorik murni,
gangguan sensorik murni,
hemiparesis ataksik, sindrom
clumsy hand

2. Gambaran Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin diperlukan sebagai dasar pembelajaran dan mungkin
pula menunjukkan faktor resiko stroke seperti polisitemia, trombositosis,
trombositopenia, dan leukemia). Pemeriksaan ini pun dapat menunjukkan
kemungkinan penyakit yang sedang diderita saat ini seperti anemia.3
Pemeriksaan kimia darah dilakukan untuk mengeliminasi kelainan yang
memiliki gejala seperti stoke (hipoglikemia, hiponatremia) atau dapat pula
menunjukka penyakit yang diderita pasien saat ini (diabetes, gangguan ginjal).
Pemeriksaan koagulasi dapat menunjukkan kemungkinan koagulopati pada pasien.
Selain itu, pemeriksaan ini juga berguna jika digunakan terapi trombolitik dan
antikoagulan. Biomarker jantung juga penting karena eratnya hubungan antara stroke
dengan penyakit jantung koroner. Penelitian lain juga mengindikasikan adanya
hubungan anatara peningkatan enzim jantung dengan hasil yang buruk dari stroke.3
3. Gambaran Radiologi
a) CT scan kepala non kontras
Modalitas ini baik digunakan untuk membedakan stroke hemoragik dan
stroke non hemoragik secara tepat kerena pasien stroke non hemoragik
memerlukan pemberian trombolitik sesegera mungkin. Selain itu, pemeriksaan ini
juga berguna untuk menentukan distribusi anatomi dari stroke dan mengeliminasi
kemungkinan adanya kelainan lain yang gejalahnya mirip dengan stroke
(hematoma, neoplasma, abses).3

Adanya perubahan hasil CT scan pada infark serebri akut harus dipahami.
Setelah 6-12 jam setelah stroke terbentuk daerah hipodense regional yang
menandakan terjadinya edema di otak. Jika setelah 3 jam terdapat daerah
hipodense yang luas di otak maka diperlukan pertimbangan ulang mengenai waktu
terjadinya stroke. Tanda lain terjadinya stroke non hemoragik adalah adanya
insular ribbon sign, hiperdense MCA (oklusi MCA), asimetris sulkus, dan
hilangnya perberdaan gray-white matter.3
CT perfusion merupakan modalitas baru yang berguna untuk
mengidentifikasi daerah awal terjadinya iskemik. Dengan melanjutkan
pemeriksaan scan setelah kontras, perfusi dari region otak dapat diukur. Adanya
hipoatenuasi menunjukkan terjadinya iskemik di daerah tersebut.3
Pemeriksaan CT scan non kontras dapat dilanjutkan dengan CT angiografi
(CTA). Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi defek pengisian arteri serebral
yang menunjukkan lesi spesifik dari pembuluh darah penyebab stroke. Selain itu,
CTA juga dapat memperkirakan jumlah perfusi karena daerah yang mengalami
hipoperfusi memberikan gambaran hipodense.3
b) MR angiografi (MRA)
MRA juga terbukti dapat mengidentifikasi lesi vaskuler dan oklusi lebih
awal pada stroke akut. Sayangnya, pemerikasaan ini dan pemeriksaan MRI
lainnya memerlukan biaya yang tidak sedikit serta waktu pemeriksaan yang agak
panjang. Protokol MRI memiliki banyak kegunaan untuk pada stroke akut.3

c) USG, ECG, EKG, Chest X-Ray


Untuk evaluasi lebih lanjut dapat digunakan USG. Jika dicurigai stenosis
atau oklusi arteri karotis maka dapat dilakukan pemeriksaan dupleks karotis. USG
transkranial dopler berguna untuk mengevaluasi anatomi vaskuler proksimal lebih
lanjut termasuk di antaranya MCA, arteri karotis intrakranial, dan arteri
vertebrobasiler. Pemeriksaan ECG (ekhokardiografi) dilakukan pada semua pasien
dengan stroke non hemoragik yang dicurigai mengalami emboli kardiogenik.
Transesofageal ECG diperlukan untuk mendeteksi diseksi aorta thorasik. Selain
itu, modalitas ini juga lebih akurat untuk mengidentifikasi trombi pada atrium kiri.
Modalitas lain yang juga berguna untuk mendeteksi kelainan jantung adalah EKG
dan foto thoraks.3

G. Penatalaksanaan
Terapi pada stroke iskemik dibedakan menjadi fase akut dan pasca fase akut:1
1. Fase Akut (hari ke 0 14 sesudah onset penyakit)
Sasaran pengobatan pada fase ini adalah menyelamatkan neuron yang menderita
jangan sampai mati dan agar proses patologik lainnya yang menyertai tidak
mengganggu/mengancam fungsi otak. tindakan dan obat yang diberikan haruslah
menjamin perfusi darah ke otak tetap cukup, tidak justru berkurang. Karena itu
dipelihara fungsi optimal:1
Respirasi : jalan napas harus bersih dan longgar
Jantung : harus berfungsi baik, bila perlu pantau EKG
Tekanan darah : dipertahankan pada tingkat optimal, dipantau jangan
sampai menurunkan perfusi otak
Gula darah : kadar gula yang tinggi pada fase akut tidak boleh
diturunkan secara drastis, terutama bila pasien memiliki diabetes mellitus
kronis
Balans cairan : bila pasien dalam keadaan gawat atau koma balans
cairan, elektrolit, dan asam basa darah harus dipantau
Penggunaan obat untuk memulihkan aliran darah dan metabolisme otak yang
menderita di daerah iskemi (ischemic penumbra) masih menimbulkan perbedaan
pendapat. Obat-obatan yang sering dipakai untuk mengatasi stroke iskemik akut:1
a) Mengembalikan reperfusi otak
1. Terapi Trombolitik
Tissue plaminogen activator (recombinant t-PA) yang diberikan
secara intravena akan mengubah plasminogen menjadi plasmin yaitu
enzim proteolitik yang mampu menghidrolisa fibrin, fibrinogen dan
protein pembekuan lainnya. Pada penelitian NINDS (National Institute of
Neurological Disorders and Stroke) di Amerika Serikat, rt-PA diberikan
dalam waktu tida lebih dari 3 jam setelah onset stroke, dalam dosis 0,9
mg/kg (maksimal 90 mg) dan 10% dari dosis tersebut diberikan secara
bolus IV sedang sisanya diberikan dalam tempo 1 jam. Tiga bulan setelah
pemberian rt-PA didapati pasien tidak mengalami cacat atau hanya
minimal. Efek samping dari rt-PA ini adalah perdarahan intraserebral, yang
diperkirakan sekitar 6%. Penggunaan rt-PA di Amerika Serikat telah
mendapat pengakuan FDA pada tahun 1996.7
2. Antikoagulan
Warfarin dan heparin sering digunakan pada TIA dan stroke yang
mengancam. Suatu fakta yang jelas adalah antikoagulan tidak banyak
artinya bilamana stroke telah terjadi, baik apakah stroke itu berupa infark
lakuner atau infark massif dengan hemiplegia. Keadaan yang memerlukan
penggunaan heparin adalah trombosis arteri basilaris, trombosis arteri
karotis dan infark serebral akibat kardioemboli. Pada keadaan yang
terakhir ini perlu diwaspadai terjadinya perdarahan intraserebral karena
pemberian heparin tersebut.7
3. Antiplatelet (Antiaggregasi Trombosit)
Aspirin
Obat ini menghambat sklooksigenase, dengan cara menurunkan
sintesis atau mengurangi lepasnya senyawa yang mendorong adhesi seperti
thromboxane A2. Aspirin merupakan obat pilihan untuk pencegahan
stroke. Dosis yang dipakai bermacam-macam, mulai dari 50 mg/hari, 80
mg/hari samapi 1.300 mg/hari. Obat ini sering dikombinasikan dengan
dipiridamol. Aspirin harus diminum terus, kecuali bila terjadi reaksi yang
merugikan. Konsentrasi puncak tercapai 2 jam sesudah diminum. Cepat
diabsorpsi, konsentrasi di otak rendah. Hidrolise ke asam salisilat terjadi
cepat, tetapi tetap aktif. Ikatan protein plasma: 50-80%. Waktu paro (half
time) plasma: 4 jam. Metabolisme secara konjugasi (dengan glucuronic
acid dan glycine). Ekskresi lewat urine, tergantung pH.Sekitar 85% dari
obat yang diberikan dibuang lewat urin pada suasana alkalis. Reaksi yang
merugikan: nyeri epigastrik, muntah, perdarahan, hipoprotrombinemia dan
diduga: sindrom Reye.8
Tiklopidin (ticlopidine) dan klopidogrel (clopidogrel)
Pasien yang tidak tahan aspirin atau gagal dengan terapi aspirin, dapat
menggunakan tiklopidin atau clopidogrel. Obat ini bereaksi dengan
mencegah aktivasi platelet, agregasi, dan melepaskan granul platelet,
mengganggu fungsi membran platelet dengan penghambatan ikatan
fibrinogen-platelet yang diperantarai oleh ADP dan antraksi platelet-
platelet. Berdasarkan sejumlah 7 studi terapi tiklopidin, disimpulkan
bahwa efikasi tiklopidin lebih baik daripada plasebo, aspirin maupun
indofen dalam mencegah serangan ulang stroke iskemik. Efek samping
tiklopidin adalah diare (12,5 persen) dan netropenia (2,4 persen). Bila
obat dihentikan akan reversibel. Pantau jumlah sel darah putih tiap 15
hari selama 3 bulan. Komplikasi yang lebih serius, tetapi jarang, adalah
purpura trombositopenia trombotik dan anemia aplastik.8
b) Anti-oedema otak
Untuk anti-oedema otak dapat diberikan gliserol 10% per infuse
1gr/kgBB/hari selama 6 jam atau dapat diganti dengan manitol 10%.
c) Neuroprotektif
Terapi neuroprotektif diharapkan meningkatkan ketahanan neuron
yang iskemik dan sel-sel glia di sekitar inti iskemik dengan memperbaiki
fungsi sel yang terganggu akibat oklusi dan reperfusi.7
2. Fase Pasca Akut
Setelah fase akut berlalu, sasarn pengobatan dititiberatkan pada tindakan
rehabilitasi penderita, dan pencegahan terulangnya stroke.1
Rehabilitasi
Stroke merupakan penyebab utama kecacatan pada usia di atas 45 tahun, maka
yang paing penting pada masa ini adalah upaya membatasi sejauh mungkin
kecacatan penderita, fisik dan mental, dengan fisioterapi, terapi wicara, dan
psikoterapi.1
Terapi preventif
Tujuannya untuk mencegah terulangnya atau timbulnya serangan baru sroke,
dengan jalan antara lain mengobati dan menghindari faktor-faktor resiko
stroke seperti:
Pengobatan hipertensi
Mengobati diabetes mellitus
Menghindari rokok, obesitas, stress, dll
Berolahraga teratur 1
BAB IV
KESIMPULAN

Stroke non hemoragik didefinisikan sebagai sekumpulan tanda klinik yang


berkembang oleh sebab vaskular. Gejala ini berlangsung 24 jam atau lebih pada umumnya
terjadi akibat berkurangnya aliran darah ke otak, yang menyebabkan cacat atau kematian.
Stroke iskemik sering diklasifikasin berdasarkan etiologinya yaitu trombotik dan embolik.
Untuk mendiagnosa suatu stroke iskemik diperlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
menyeluruh dan teliti. Pemeriksaan yang menjadi gold standar untuk mendiagnosa stroke
iskemik adalah CT-scan. Penting untuk membedakan gejala klinis stroke hemoragik dan
iskemik. Bila tidak dapat dilakukan CT-scan maka dpaat dilakukan sistem skoring untuk
mengerucutkan diagnosa.
Setelah dapat ditegakkan diagnosis, perlu dilakukan terapi segera agar tidak terjadi
iskemik lebih lanjut. Prinsip terapi dari stroke iskemik adalah perbaikan perfusi ke otak,
mengurangi oedem otak, dan pemberian neuroprotektif.
DAFTAR PUSTAKA

AHA/ASA Guideline. 2007. Guideline for the early management of adults with ischemic
stroke. 38:1655-1711.
Caplan, L.R. 2009. Stroke a clinical approach. Edisi ke 4 . Saunders Elsevier. USA. hlm:
447 69
Cohen SN. The subacute stroke patient: Preventing recurrent stroke. In Cohen SN.
Management of Ischemic Stroke. Mc Graw Hill. 2000. pp. 89-109.
Dottenkofer M, Ebner W, Hans FJ. 1999. Nosocomial Infections in A Neurosurgery Intensive
Care Unit. Acta Neuroclinic (Wien).141: 1303-1308.
Frances K. 2005. Tinjauan klinis atas pemeriksaan laboratorium. Jakarta: EGC. hlm: 89
Goetz Christopher G. 2007. Cerebrovascular diseases.In : Goetz: Textbook of Clinical
Neurology. Edisi ke 3. Saunders. Philadelphia
Hassmann, KA. Stroke, Ischemic. http://emedicine.medscape.com/article/793904-
diagnosisDiakses pada 18 Desember 2015.
Kelompok Studi Stroke PERDOSSI. 2007. Pedoman penatalaksanaan stroke. Dalam :
Guideline Stroke. Jakarta.
Kelompok Studi Stroke PERDOSSI. 2011. Guideline Stroke. Jakarta.
Laine L. Gastrointestinal Bleeding. In: Kasper DL (editor). Harrisons Principles of Internal
Medicine. 16th ed. NewYork; Mc Graw Hill; 2005: 235-237.
Lloyd, Jones et al. 2009. Heart Disease and Stroke Statistics. A Report From the American
Heart Association Statistics Committee and Stroke Statistics Subcommittee.
Lumbantobing, SM. Neurologi Klinik Pemeriksaan Klinik dan Mental. FKUI.Jakarta. 2012

Mahar Mardjono, Priguna Sidharta. 2010. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : PT. Dian Rakyat
P.
Misbach J, et al.1999. Stroke, Aspek Diagnostik, Patofisiologi, Manajemen. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI
Price, A. S., Wilson M. L., 2006. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Alih
Bahasa: dr. Brahm U. Penerbit. Jakarta: EGC. hlm: 292 9
Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Indonesia. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. 2007.
Sandercock, P., Gubitz, G. 2000. Prevention of ischaemic stroke. British Medical Journal:
321:14551459.
World Health Organization, 2005. WHO STEPS Stroke Manual: The WHO STEPwise
Approach to Stroke Surveillance. World Health Organization.

Anda mungkin juga menyukai