Oleh :
Mahardhika Kartikandini
G99161058
Pembimbing :
Ardhana Tri Arianto, dr., M.Si, Med, Sp.An.
BAB I
PENDAHULUAN
Hemoroid merupakan penyakit yang umum terjadi. Pada usia sekitar 50
tahun, 50% individu mengalami berbagai tipe hemoroid. Pasien dengan gangguan
hemoroid mencari pertolongan medis terutama akibat nyeri dan perdarahan rectal.
Walaupun tidak mengancam jiwa, penyakit ini dapat menyebabkan perasaan yang
sangat tidak nyaman. Menurut data WHO, jumlah penderita hemoroid di dunia
pada tahun 2008 mencapai lebih dari 230 juta jiwa dan diperkirakan akan
meningkat menjadi 350 juta jiwa pada tahun 2030.
Di Indonesia sendiri penderita hemoroid terus bertambah. Menurut data
Depkes tahun 2008, prevalensi hemoroid di Indonesia adalah 5,7 persen, namun
hanya 1,5 persen saja yang terdiagnosa. Jika data Riskesdas (riset kesehatan dasar)
2007 menyebutkan ada 12,5 juta jiwa penduduk Indonesia mengalami hemoroid,
maka secara epidemiologi diperkirakan pada tahun 2030 prevalensi hemoroid di
Indonesia mencapai 21,3 juta orang (Hemoroid Care, 2004).
Hemoroid adalah pelebaran varises satu segmen atau lebih vena-vena
hemoroidales. Secara kasar hemoroid biasanya dibagi dalam 2 jenis, hemoroid
interna dan hemoroid eksterna. Hemoroid interna merupakan varises vena
hemoroidalis superior dan media. Sedangkan hemoroid eksterna merupakan
varises vena hemoroidalis inferior.Sesuai istilah yang digunakan, maka hemoroid
interna timbul di sebelah luar otot sfingter ani, dan hemoroid eksterna timbul di
sebelah dalam sfingter. Hemoroid timbul akibat kongesti vena yang disebabkan
gangguan aliran balik dari vena hemoroidalis. Kedua jenis hemoroid ini sangat
sering terjadi dan terdapat pada sekitar 35% penduduk baik pria maupun wanita
yang berusia lebih dari 25 tahun. Walaupun keadaan ini tidak mengancam jiwa,
tetapi dapat menyebabkan perasaan yang sangat tidak nyaman.
Penanganan hemoroid dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu terapi non
bedah dan terapi bedah. Terapi non-bedah ditujukan untuk penderita hemoroid
ringan (stage I & II), dan terapi bedah ditujukan untuk penderita hemoroid stage
III & IV. Ada tiga tindakan bedah yang tersedia saat ini yaitu bedah konvensional
(menggunakan pisau dan gunting), bedah laser (sinar laser sebagai alat pemotong)
dan bedah stapler ( menggunakan alat dengan prinsip kerja stapler).
1
Hemoroidektomi dilaksanakan dengan tehnik anestesi local atau anestesi
regional/spinal. Anestesi regional memberikan keuntungan berupa respirasi masih
spontan, lebih murah, sedikit resiko muntah yang dapat menyebabkan aspirasi
paru pada pasien dengan perut penuh, tidak memerlukan intubasi, pengaruh
terhadap biokimiawi tubuh minimal, fungsi usus cepat kembali, observasi dan
perawatan post operatif lebih ringan.
Pada presentasi kasus ini akan dibahas mengenai tatalaksana
hemoroidektomi pada laki-laki usia 60 tahun dengan hemoroid grade IV dengan
metode anestesi RASAB.
BAB II
2
TINJAUAN PUSTAKA
A HEMOROID
Definisi
Hemoroid adalah pelebaran vena di dalam pleksus hemoroidalis yang
tidak merupakan kelainan patologik. Hanya apabila hemoroid menyebabkan
keluhan atau penyulit, diperlukan tindakan.
Rektum panjangnya 15 20 cm dan berbentuk huruf S. Mula mula
mengikuti cembungan tulang kelangkang, fleksura sakralis, kemudian
membelok kebelakang pada ketinggian tulang ekor dan melintas melalui
dasar panggul pada fleksura perinealis. Akhirnya rektum menjadi kanalis
analis dan berakhir jadi anus. Rektum mempunyai sebuah proyeksi ke sisi
kiri yang dibentuk oleh lipatan kohlrausch. Pada sepertiga bagian atas rektum,
terdapat bagian yang dapat cukup banyak meluas yakni ampula rektum bila
ini terisi maka imbullah perasaan ingin buang air besar. Kanalis analis pada
dua pertiga bagian bawahnya, ini berlapiskan kulit tipis yang sedikit
bertanduk yang mengandung persarafan sensoris yang bergabung dengan
kulit bagian luar, kulit ini mencapai ke dalam bagian akhir kanalis analis dan
mempunyai epidermis berpigmen yang bertanduk rambut dengan kelenjar
sebacea dan kelenjar keringat. Daerah kolumna analis, yang panjangnya kira
kira 1 cm, di sebut daerah hemoroidal, cabang arteri rectalis superior turun
ke kolumna analis terletak di bawah mukosa dan membentuk dasar
hemorhoid interna (Morgan, 2006).
3
Gambar. 2.1
Faktor Risiko
1. Anatomik : vena daerah anorektal tidak mempunyai katup dan pleksus
hemoroidalis kurang mendapat sokongan dari otot dan fascia
sekitarnya.
2. Umur : pada umur tua terjadi degenerasi dari seluruh jaringan
tubuh, juga otot sfingter menjadi tipis dan atonis.
3. Keturunan : dinding pembuluh darah lemah dan tipis.
4. Pekerjaan : orang yang harus berdiri , duduk lama, atau harus
mengangkat barang berat mempunyai predisposisi untuk hemoroid.
5. Mekanis : semua keadaan yang menyebabkan meningkatnya tekanan
intra abdomen, misalnya penderita hipertrofi prostat, konstipasi
menahun dan sering mengejan pada waktu defekasi.
6. Endokrin : pada wanita hamil ada dilatasi vena ekstremitas dan anus
oleh karena ada sekresi hormone relaksin.
7. Fisiologi : bendungan pada peredaran darah portal, misalnya pada
penderita sirosis hepatis (Morgan, 2006).
Klasifikasi
4
Hemoroid dibedakan antara yang interna dan eksterna. Hemoroid
interna adalah pleksus vena hemoroidalis superior di atas linea dentata/garis
mukokutan dan ditutupi oleh mukosa. Hemoroid interna ini merupakan
bantalan vaskuler di dalam jaringan submukosa pada rektum sebelah bawah.
Sering hemoroid terdapat pada tiga posisi primer, yaitu kanan depan ( jam 7 ),
kanan belakang (jam 11), dan kiri lateral (jam 3). Hemoroid yang lebih kecil
terdapat di antara ketiga letak primer tesebut (Mansjoer, 2014).
Gambar. 2.2
5
Derajat II : Tonjolan keluar dari anus waktu defekasi dan masuk
sendiri setelahselesai defekasi.
Derajat III : Tonjolan keluar waktu defekasi, harus didorong masuk
setelahdefekasi selesai karena tidak dapat masuk sendiri.
Derajat IV : Tonjolan tidak dapat didorong masuk/inkarserasi
Diagnosis
Anamnesis :
Pasien sering mengeluh menderita hemoroid atau wasir tanpa ada
hubungannya dengan gejala rektum atau anus yang khusus. Nyeri yang
hebat jarang sekali ada hubungannya dengan hemoroid interna dan hanya
timbul pada hemoroid eksterna yang mengalami thrombosis (Mansjoer,
2014).
Tanda dan gejala :
Perdarahan umumnya merupakan tanda pertama dari hemoroid
interna akibat trauma oleh faeces yang keras. Darah yang keluar berwarna
merah segar dan tidak tercampur dengan faeces, dapat hanya berupa garis
pada faeces atau kertas pembersih sampai pada perdarahan yang terlihat
menetes atau mewarnai air toilet menjadi merah. Hemoroid yang
membesar secara perlahan-lahan akhirnya dapat menonjol keluar
menyebabkan prolaps. Pada tahap awal, penonjolan ini hanya terjadi pada
waktu defekasi dan disusul reduksi spontan setelah defekasi. Pada stadium
yang lebih lanjut, hemoroid interna ini perlu didorong kembali setelah
defekasi agar masuk kembali ke dalam anus.
Pada akhirnya hemoroid dapat berlanjut menjadi bentuk yang
mengalami prolaps menetap dan tidak bisa didorong masuk lagi.
Keluarnya mukus dan terdapatnya faeces pada pakaian dalam merupkan
ciri hemoroid yang mengalami prolaps menetap. Iritasi kulit perianal dapat
menimbulkan rasa gatal yang dikenal sebagai pruritus anus dan ini
disebabkan oleh kelembaban yang terus menerus dan rangsangan mukus.
Nyeri hanya timbul apabila terdapat trombosis yang luas dengan udem dan
radang (Mansjoer, 2014).
Pemeriksaan fisik :
6
Hemoroid eksterna dapat dilihat dengan inspeksi apalagi bila terjadi
trombosis. Bila hemoroid interna mengalami prolaps, maka tonjolan yang
ditutupi epitel penghasil musin akan dapat dilihat apabila penderita
diminta mengejan.
Pada pemeriksaan colok dubur, hemoroid interna stadium awal tidak
dapat diraba sebab tekanan vena di dalamnya tidak terlalu tinggi dan
biasanya tidak nyeri. Hemoroid dapat diraba apabila sangat besar. Apabila
hemoroid sering prolaps, selaput lendir akan menebal. Trombosis dan
fibrosis pada perabaan terasa padat dengan dasar yang lebar. Pemeriksaan
colok dubur ini untuk menyingkirkan kemungkinan karsinoma rectum
(Morgan, 2006)
Pemeriksaan penunjang :
Pemeriksaan Anoskopi. Dengan cara ini dapat dilihat hemoroid
internus yang tidak menonjol keluar. Anoskop dimasukkan untuk
mengamati keempat kuadran. Penderita dalam posisi litotomi. Anoskop
dan penyumbatnya dimasukkan dalam anus sedalam mungkin, penyumbat
diangkat dan penderita disuruh bernafas panjang. Hemoroid interna terlihat
sebagai struktur vaskuler yang menonjol ke dalam lumen. Apabila
penderita diminta mengejan sedikit maka ukuran hemoroid akan membesar
dan penonjolan atau prolaps akan lebih nyata. Banyaknya benjolan,
derajatnya, letak ,besarnya dan keadaan lain dalam anus seperti polip,
fissura ani dan tumor ganas harus diperhatikan.
Pemeriksaan proktosigmoidoskopi. Proktosigmoidoskopi perlu
dikerjakan untuk memastikan keluhan bukan disebabkan oleh proses
radang atau proses keganasan di tingkat tinggi, karena hemoroid
merupakan keadaan fisiologik saja atau tanda yang menyertai. Faeces
harus diperiksa terhadap adanya darah samar (Morgan, 2006).
Diagnosis banding
Perdarahan rektum merupakan manifestasi utama hemoroid interna
yang juga terjadi pada :
1. Karsinoma kolorektum
2. Penyakit divertikel
3. Polip
4. Kolitis ulserosa
7
Pemeriksaan sigmoidoskopi harus dilakukan. Foto barium kolon
dan kolonoskopi perlu dipilih secara selektif, bergantung pada keluhan dan
gejala penderita. Prolaps rektum juga harus dibedakan dari prolaps mukosa
akibat hemoroid interna (Morgan, 2006).
Penanganan
Terapi non bedah
A. Terapi obat-obatan (medikamentosa) / diet
Kebanyakan penderita hemoroid derajat pertama dan derajat
kedua dapat ditolong dengan tindakan lokal sederhana disertai
nasehat tentang makan. Makanan sebaiknya terdiri atas makanan
berserat tinggi seperti sayur dan buah-buahan. Makanan ini
membuat gumpalan isi usus besar, namun lunak, sehingga
mempermudah defekasi dan mengurangi keharusan mengejan
berlebihan.
Supositoria dan salep anus diketahui tidak mempunyai efek
yang bermakna kecuali efek anestetik dan astringen. Hemoroid
interna yang mengalami prolaps oleh karena udem umumnya dapat
dimasukkan kembali secara perlahan disusul dengan tirah baring
dan kompres lokal untuk mengurangi pembengkakan. Rendam
duduk dengan dengan cairan hangat juga dapat meringankan nyeri
(Mansjoer, 2014).
B. Skleroterapi
Skleroterapi adalah penyuntikan larutan kimia yang
merangsang peradangan steril, misalnya5% fenol dalam minyak
nabati. Penyuntikan diberikan ke submukosa dalam jaringan areolar
yang longgar di bawah hemoroid interna dengan tujuan
menimbulkan peradangan steril yang kemudian menjadi fibrotik
dan meninggalkan parut. Terapi suntikan bahan sklerotik bersama
nasehat tentang makanan merupakan terapi yang efektif untuk
hemoroid interna derajat I dan II, tidak tepat untuk hemoroid yang
lebih parah atau prolapse (Mansjoer, 2014).
C. Ligasi dengan gelang karet
8
Hemoroid yang besar atau yang mengalami prolaps dapat
ditangani dengan ligasi gelang karet (Altamore &
Giuratrabocchetta, 2013).
D. Krioterapi / bedah beku
Hemoroid dapat pula dibekukan dengan suhu yang rendah
sekali. Tindakan ini cepat dan mudah dilakukan dalam tempat
praktek atau klinik. Terapi ini tidak dipakai secara luas karena
mukosa yang nekrotik sukar ditentukan luasnya. Krioterapi ini
lebih cocok untuk terapi paliatif pada karsinoma rektum yang
ireponibel.
E. Hemorroidal Arteri Ligation ( HAL )
Pada terapi ini, arteri hemoroidalis diikat sehingga jaringan
hemoroid tidak mendapat aliran darah yang pada akhirnya
mengakibatkan jaringan hemoroid mengempis dan akhirnya
nekrosis (Altamore & Giuratrabocchetta, 2013).
F. Infra Red Coagulation ( IRC ) / Koagulasi Infra Merah
Dengan sinar infra merah yang dihasilkan oleh alat yang
dinamakan photocuagulation, tonjolan hemoroid dikauter sehingga
terjadi nekrosis pada jaringan dan akhirnya fibrosis.
G. Generator galvanis
Jaringan hemoroid dirusak dengan arus listrik searah yang
berasal dari baterai kimia. Cara ini paling efektif digunakan pada
hemoroid interna.
H. Bipolar Coagulation / Diatermi bipolar
Prinsipnya tetap sama dengan terapi hemoroid lain di atas
yaitu menimbulkan nekrosis jaringan dan akhirnya fibrosis. Namun
yang digunakan sebagai penghancur jaringan yaitu radiasi
elektromagnetik berfrekuensi tinggi. Pada terapi dengan diatermi
bipolar, selaput mukosa sekitar hemoroid dipanasi dengan radiasi
elektromagnetik berfrekuensi tinggi sampai akhirnya timbul
kerusakan jaringan. Cara ini efektif untuk hemoroid interna yang
mengalami perdarahan (Latief, 2002).
Terapi bedah
9
Terapi bedah dipilih untuk penderita yang mengalami keluhan menahun
dan pada penderita hemoroid derajat III dan IV. Terapi bedah juga dapat
dilakukan dengan perdarahan berulang dan anemia yang tidak dapat sembuh
dengan cara terapi lainnya yang lebih sederhana. Penderita hemoroid derajat
IV yang mengalami trombosis dan kesakitan hebat dapat ditolong segera
dengan hemoroidektomi.
Prinsip yang harus diperhatikan dalam hemoroidektomi adalah eksisi
yang hanya dilakukan pada jaringan yang benar-benar berlebihan. Eksisi
sehemat mungkin dilakukan pada anoderm dan kulit yang normal dengan
tidak mengganggu sfingter anus. Eksisi jaringan ini harus digabung dengan
rekonstruksi tunika mukosa karena telah terjadi deformitas kanalis analis
akibat prolapsus mukosa (Ramirez, 2014).
Ada tiga tindakan bedah yang tersedia saat ini yaitu bedah konvensional
(menggunakan pisau dan gunting), bedah laser (sinar laser sebagai alat
pemotong) dan bedah stapler (menggunakan alat dengan prinsip kerja
stapler).
Komplikasi
Perdarahan akut pada umumnya jarang, hanya terjadi apabila yang
pecah adalah pembuluh darah besar. Hemoroid dapat membentuk pintasan
portal sistemik pada hipertensi portal, dan apabila hemoroid semacam ini
mengalami perdarahan maka darah dapat sangat banyak.
Yang lebih sering terjadi yaitu perdarahan kronis dan apabila berulang
dapat menyebabkan anemia karena jumlah eritrosit yang diproduksi tidak bisa
mengimbangi jumlah yang keluar. Anemia terjadi secara kronis, sehingga
sering tidak menimbulkan keluhan pada penderita walaupun Hb sangat
rendah karena adanya mekanisme adaptasi.
Apabila hemoroid keluar, dan tidak dapat masuk lagi
(inkarserata/terjepit) akan mudah terjadi infeksi yang dapat menyebabkan
sepsis dan bisa mengakibatkan kematian (Latief, 2002).
Prognosis
Dengan terapi yang sesuai, semua hemoroid simptomatis dapat dibuat
menjadi asimptomatis. Pendekatan konservatif hendaknya diusahakan terlebih
dahulu pada semua kasus. Hemoroidektomi pada umumnya memberikan hasil
yang baik. Sesudah terapi penderita harus diajari untuk menghindari obstipasi
10
dengan makan makanan serat agar dapat mencegah timbulnya kembali gejala
hemoroid (Mansjoer, 2014).
B HEMOROIDEKTOMI
Definisi
Hemoroidektomi adalah suatu tindakan pembedahan dengan cara
pengangkatan pleksus hemoroidalis dan mukosa atau tanpa mukosa yang
hanya dilakukan pada jaringan yang benar-benar berlebih.
Indikasi
Penderita dengan keluhan menahun dan hemoroid derajat III dan IV.
Perdarahan berulang dan anemia yang tidaksembuh dengan terapi lain
yang lebih sederhana.
Hemoroid derajat IV dengan thrombus dan nyeri hebat.
Kontra indikasi operasi
Hemoroid derajat I dan II
Penyakit Chrons
Karsinoma rectum yang inoperable
Wanita hamil
Hipertensi portal
Komplikasi
Inkontinensia
Retensio urine
Nyeri luka operasi
Stenosisani
Perdarahan fistula & abses
Prosedur
Ada tiga tindakan bedah yang tersedia saat ini yaitu bedah konvensional
(menggunakan pisau dan gunting), bedah laser (sinar laser sebagai alat
pemotong) dan bedah stapler (menggunakan alat dengan prinsip kerja
stapler).
A. Bedah konvensional
11
Saat ini ada 3 teknik operasi yang biasa digunakan yaitu :
1 Teknik Milligan Morgan
Teknik ini digunakan untuk tonjolan hemoroid di 3 tempat utama.
Teknik ini dikembangkan di Inggris oleh Milligan dan Morgan pada
tahun 1973. Basis massa hemoroid tepat diatas linea mukokutan dicekap
dengan hemostat dan diretraksi dari rektum. Kemudian dipasang jahitan
transfiksi catgut proksimal terhadap pleksus hemoroidalis. Penting untuk
mencegah pemasangan jahitan melalui otot sfingter internus.
Biasanya tidak lebih dari tiga kelompok hemoroid yang dibuang
pada satu waktu. Striktura rektum dapat merupakan komplikasi dari
eksisi tunika mukosa rektum yang terlalu banyak. Sehingga lebih baik
mengambil terlalu sedikit daripada mengambil terlalu banyak jaringan.
(Altomare & Giuratrabocchetta, 2013)
2 Teknik Whitehead
Teknik operasi yang digunakan untuk hemoroid yang sirkuler ini
yaitu dengan mengupas seluruh hemoroid dengan membebaskan mukosa
dari submukosa dan mengadakan reseksi sirkuler terhadap mukosa
daerah itu. Lalu mengusahakan kontinuitas mukosa kembali.
3 Teknik Langenbeck
Pada teknik Langenbeck, hemoroid internus dijepit radier dengan
klem. Lakukan jahitan jelujur di bawah klem dengan cat gut chromic no
2/0. Kemudian eksisi jaringan diatas klem. Sesudah itu klem dilepas dan
jepitan jelujur di bawah klem diikat. Teknik ini lebih sering digunakan
karena caranya mudah dan tidak mengandung resiko pembentukan
jaringan parut sekunder yang biasa menimbulkan stenosis.(Panarese et al,
2012)
B. Bedah Laser
Pada prinsipnya, pembedahan ini sama dengan pembedahan
konvensional, hanya alat pemotongnya menggunakan laser. Saat laser
memotong, pembuluh jaringan terpatri sehingga tidak banyak
mengeluarkan darah, tidak banyak luka dan dengan nyeri yang minimal.
12
Pada bedah dengan laser, nyeri berkurang karena syaraf rasa nyeri
ikut terpatri. Di anus, terdapat banyak syaraf. Pada bedah laser, serabut
syaraf dan selubung syaraf menempel jadi satu, seperti terpatri sehingga
serabut syaraf tidak terbuka. Untuk hemoroidektomi, dibutuhkan daya
laser 12 14 watt. Setelah jaringan diangkat, luka bekas operasi
direndam cairan antiseptik. Dalam waktu 4 6 minggu, luka akan
mengering. Prosedur ini bisa dilakukan hanya dengan rawat jalan
(Panarese et al, 2012).
C. Bedah Stapler
Teknik ini juga dikenal dengan nama Procedure for Prolapse
Hemorrhoids (PPH) atau Hemoroid Circular Stapler. Teknik ini mulai
diperkenalkan pada tahun 1993 oleh dokter berkebangsaan Italia yang
bernama Longo sehingga teknik ini juga sering disebut teknik Longo. Di
Indonesia sendiri alat ini diperkenalkan pada tahun 1999. Alat yang
digunakan sesuai dengan prinsip kerja stapler. Bentuk alat ini seperti
senter, terdiri dari lingkaran di depan dan pendorong di belakangnya
(Panarese et al, 2012).
13
[4] [5] [6]
Internal/External Hemorrhoids [1] Dilator [2Purse String [3]Closing PPH
[4] Mucosa Pull [5] Staples [6]
C ANESTESI SPINAL
Anestesi regional biasanya dimanfaatkan untuk kasus bedah yang
pasiennya perlu dalam kondisi sadar untuk meminimalisasi efek samping
operasi yang lebih besar, bila pasien tak sadar, misalnya pada persalinan
Caesar, operasi usus buntu, operasi pada lengan dan tungkai. Caranya dengan
menginjeksikan obat-obatan bius pada bagian utama pengantar register rasa
nyeri ke otak yaitu saraf utama yang ada di dalam tulang belakang. Sehingga,
obat anestesi mampu menghentikan impuls saraf di area itu.
Analgesi regional adalah suatu tindakan anestesi yang menggunakan
obat analgetik lokal untuk menghambat hantaran saraf sensorik, sehingga
impuls nyeri dari suatu bagian tubuh diblokir untuk sementara. Fungsi
motorik dapat terpengaruh sebagian atau seluruhnya, sedangkan penderita
tetap sadar. Sensasi nyeri yang ditimbulkan organ-organ melalui sistem saraf
tadi lalu terhambat dan tak dapat diregister sebagai sensasi nyeri di otak. Dan
sifat anestesi atau efek mati rasa akan lebih luas dan lama dibanding anestesi
lokal.
Pada kasus bedah, bisa membuat mati rasa dari perut ke bawah. Namun,
oleh karena tidak mempengaruhi hingga ke susunan saraf pusat atau otak,
maka pasien yang sudah di anestesi regional masih bisa sadar dan mampu
14
berkomunikasi, walaupun tidak merasakan nyeri di daerah yang sedang
dioperasi (Joomla, 2008).
Analgesi spinal (anestesi lumbal, blok subarachnoid) dihasilkan bila
kita menyuntikkan obat analgetik lokal ke dalam ruang subarachnoid di
daerah antara vertebra L2-L3 / L3-L4 (obat lebih mudah menyebar ke kranial)
atau L4-L5 (obat lebih cenderung berkumpul di kaudal).
Indikasi anestesi spinal dapat digunakan pada hampir semua operasi
abdomen bagian bawah, perineum dan kaki. Analgesia spinal mudah
dilakukan dengan memberikan kondisi yang baik untuk pembedahan pada
daerah abdomen bawah seperti hernia inguinalis, hernia skrotalis, hernia
umbilikalis, appendektomi, hidrokelektomi, varikokelektomi, TURP
(Transurethral resection of the prostate) dan haemorroidektomi. Anestesi ini
memberi relaksasi yang baik, tetapi lama anestesi didapat dengan lidokain
hanya sekitar 90 menit. Bila digunakan obat lain misalnya bupivakain,
sinkokain, atau tetrakain, maka lama operasi dapat diperpanjang sampai 2-3
jam. Penambahan agen reseptor adrenergik alpha2 agonis seperti clonidine,
dapat digunakan dalam metode anasthesi spinal. Sebagai agonis alpha2,
penyuntikan clonidine pada spinal memperpanjang durasi blok sensorik dan
motorik, meningkatkan sedasi dan namun juga mempotensiasi hipotensi dan
bradikardi. Kontraindikasi penambahan clonidine pada anastesi spinal yaitu
pada pasien dengan hipovolemia, anemia berat, penyakit jantung, kelainan
pembekuan darah, septikemia, tekanan intrakranial yang meninggi.
Tahapan penatalaksanaan anestesi yang dilaksanakan perioperatif:
1. Persiapan pra anestesi
Persiapan pra anestesi sangat mempengaruhi keberhasilan anestesi
dan pembedahan. Kunjungan pra anestesi harus dipersiapkan dengan
baik, pada bedah elektif umumnya dilakukan 1-2 hari sebelumnya,
sedangkan pada bedah darurat waktu yang tersedia lebih singkat.
Adapun tujuan kunjungan pra anestesi adalah:
a. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.
15
b. Merencanakan dan memilih tehnik serta obatobat anestesi yang
sesuai dengan fisik dan kehendak pasien.
c. Menentukan status fisik penderita dengan klasifikasi ASA
(American Society of Anesthesiology).
ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan
faal, biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%.
ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan sedang
sebagai akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka
mortalitas 16%.
ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas
harian/ live style terbatas. Angka mortalitas 38%.
ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa,
tidak selalu sembuh dengan operasi. Misal: insufisiensi fungsi
organ, angina menetap. Angka mortalitas 68%.
ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi
hampir tak ada harapan hidup dalam 24 jam, baik dengan operasi
maupun tanpa operasi. Angka mortalitas 98%.
ASA VI : Pasien donor organ dengan mati otak
16
menimbulkan interaksi dengan obat anestetik seperti
kortikosteroid, obat antihipertensi, antidiabetik, antibiotik,
golongan aminoglikosid, dll.
e. Riwayat anestesi dan operasi yang terdiri dari tanggal, jenis
pembedahan dan anestesi, komplikasi dan perawatan
intensif paska bedah.
f. Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi
tindakan anestesi seperti merokok, alkohol, obat penenang,
narkotik, dan muntah.
g. Riwayat keluarga yang menderita kelainan seperti hipertensi
maligna.
h. Riwayat berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan
umum, pernafasan, kardiovaskular, ginjal, gastrointestinal,
hematologi, neurologi, endokrin, psikiatrik, ortopedi dan
dermatologi.
i. Makanan yang terakhir dimakan.
Pemeriksaan Fisik
a. Tinggi dan berat badan. Untuk memperkirakan dosis obat,
terapi cairan yang diperlukan, serta jumlah urin selama dan
sesudah pembedahan.
b. Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi
pernafasan, serta suhu tubuh.
c. Jalan nafas (airway). Jalan nafas diperiksa untuk
mengetahui adanya trismus, keadaan gigi geligi, adanya gigi
palsu, gangguan fleksi ekstensi leher, deviasi ortopedi dan
dermatologi. Ada pula pemeriksaan mallampati, yang
dinilai dari visualisasi pembukaan mulut maksimal dan
posisi protusi lidah. Pemeriksaan mallampati sangat penting
untuk menentukan kesulitan atau tidaknya dalam
melakukan intubasi. Penilaiannya yaitu:
17
1) Mallampati I: palatum molle, uvula, dinding posterior
oropharynk, tonsilla palatina dan tonsilla pharyngeal
2) Mallampati II : palatum molle, sebagian uvula, dinding
posterior
3) Mallampati III: palatum molle, dasar uvula
4) Mallampati IV: palatum durum saja
d. Jantung, untuk mengevaluasi kondisi jantung.
e. Paru-paru, untuk melihat adanya dispneu, ronki dan mengi.
f. Abdomen, untuk melihat adanya distensi, massa, asites,
hernia, atau tanda regurgitasi.
g. Ekstremitas, terutama untuk melihat adanya perfusi distal,
sianosis, adanya jari tabuh, infeksi kulit, untuk melihat di
tempat-tempat pungsi vena atau daerah blok saraf regional.
2. Premedikasi Anestesi
Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi.
Adapun tujuan dari premedikasi antara lain:
a. Memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.
b. Menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam.
c. Membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam.
d. Memberikan analgesia, misal pethidin.
e. Mencegah muntah, misal : domperidol, metoklopropamid.
f. Memperlancar induksi, misal : pethidin.
g. Mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin.
h. Menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : sulfas
atropin.
i. Mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas
atropin
Premedikasi diberikan berdasarkan atas keadaan psikis dan
fisiologis pasien yang ditetapkan setelah dilakukan kunjungan
prabedah. Dengan demikian maka pemilihan obat premedikasi yang
18
akan digunakan harus selalu mempertimbangkan umur pasien, berat
badan, status fisik, derajat kecemasan, riwayat pemakaian obat
anestesi sebelumnya, riwayat hospitalisasi sebelumnya, riwayat
penggunaan obat tertentu yang berpengaruh terhadap jalannya
anestesi, perkiraan lamanya operasi, macam operasi, dan rencana
anestesi yang akan digunakan.
Sesuai dengan tujuannya, maka obat-obat yang dapat
digunakan sebagai obat premedikasi dapat digolongkan seperti di
bawah ini:
a. Narkotik analgetik, misal morfin, pethidin.
b. Transquillizer yaitu dari golongan benzodiazepin, misal
diazepam dan midazolam.
c. Barbiturat, misal pentobarbital, penobarbital, sekobarbital.
d. Antikolinergik, misal atropin dan hiosin.
e. Antihistamin, misal prometazine.
f. Antasida, misal gelusil.
g. H2 reseptor antagonis, misal simetidine.
19
e. Palpasi : untuk mengenal ruangan antara 2 vertebra lumbalis.
f. Pungsi lumbal hanya antara L2-L3, L3-L4, L4-L5, L5-S1.
g. Setelah tindakan antiseptik daerah punggung pasien dan
memakai sarung tangan steril, pungsi lumbal dilakukan dengan
penyuntikan jarum lumbal no. 22 lebih halus no. 23, 25, 26 pada
bidang median dengan arah 10-30 derajat terhadap bidang
horisontal ke arah kranial pada ruang antar vertebra lumbalis
yang sudah dipilih. Jarum lumbal akan menembus berturut-turut
beberapa ligamen, yang terakhir ditembus adalah duramater
subarachnoid.
h. Setelah stilet dicabut, cairan LCS akan menetes keluar.
Selanjutnya disuntikkan larutan obat analgetik lokal ke dalam
ruang subarachnoid. Cabut jarum, tutup luka dengan kasa steril.
i. Monitor tekanan darah setiap 5 menit pada 20 menit pertama,
jika terjadi hipotensi diberikan oksigen nasal dan ephedrin IV 5
mg, infus 500-1000 ml NaCl atau hemacel cukup untuk
memperbaiki tekanan darah.
20
Merupakan opioid agonis sintetis yang sering digunakan untuk
premedikasi. Keuntungan penggunaan obat ini adalah
memudahkan induksi, mengurangi kebutuhan obat anestesi,
menghasilkan analgesia pra dan pasca bedah, memudahkan
melakukan pemberian pernafasan buatan.
Fentanyl dapat menyebabkan bradikardi sehingga memicu
penurunan tekanan darah dan cardiac output. Fentanyl juga
memiliki efek vasodilatasi perifer, sehingga dapat menyebabkan
hipotensi orthostatik. Hal ini akan lebih berat lagi bila
digunakan pada pasien dengan hipovolemia, juga dapat
menyebabkan depresi pusat pernapasan di medulla yang dapat
ditunjukkan dengan respon turunnya CO2. Mual dan muntah
menunjukkan adanya stimulasi narkotik pada pusat muntah di
medulla. Posisi tidur dapat mengurangi efek tersebut.
Sediaan : dalam ampul 50 mcg/cc
Dosis : 0,05 ug/kgBB
Pemberian : IV, IM, intradural
21
2) Menyebabkan post operatif headache.
7. Penatalaksanaan
a. Pemberian oksigen
Apabila terjadi hipoventilasi baik oleh obatobat narkotik,
anestesi umum maupun lokal, maka akan mudah terjadi
hipoksemia yang berat. Faktor-faktor yang menyebabkan hal ini,
yaitu :
1) Turunnya kemampuan paru-paru untuk menyimpan O2
2) Naiknya konsumsi oksigen
3) Airway closure
4) Turunnya cardiac output pada posisi supine
b. Terapi cairan
22
Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk mencukupi kebutuhan
cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama operasi. Selain
itu jugaa untuk tindakan emergency pemberian obat.
Pemberian cairan operasi dibagi :
1) Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa,
muntah, penghisapan isi lambung, penumpukan cairan
pada ruang ketiga seperti pada ileus obstruktif,
perdarahan, luka bakar dan lain-lain. Kebutuhan cairan
untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml/ kgBB/ jam. Bila
terjadi dehidrasi ringan 2% BB, sedang 5% BB, berat 7%
BB. Setiap kenaikan suhu 10 C diatas 370 C kebutuhan
cairan bertambah 10 15 %.
2) Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi.
Kebutuhan cairan pada dewasa untuk operasi :
Ringan = 4 ml / kgBB / jam
Sedang = 6 ml / kgBB / jam
Berat = 8 ml / kg BB / jam
Bila terjadi perdarahan selama operasi, dimana perdarahan
kurang dari 10% EBV maka cukup digantikan dengan
cairan kristaloid sebanyak 3 kali volume darah yang
hilang. Apabila perdarahan lebih dari 10 % maka dapat
dipertimbangkan pemberian plasma / koloid/ dekstran
dengan dosis 1 2 kali darah yang hilang.
3) Setelah operasi
Pemberian Pemberian cairan pasca operasi ditentukan
berdasarkan defisit cairan selama operasi ditambah
kebutuhan sehari-hari pasien.
8. Pemulihan
23
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan paska operasi
dan anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau
recovery room yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca atau
anestesi. Ruang pulih sadar merupakan batu loncatan sebelum
pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan perawatan
intensif di ICU. Dengan demikian pasien paska operasi atau
anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena
operasi atau pengaruh anestesinya.
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang
perawatan perlu dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah
anestesi dan pembedahan. Untuk regional anestesi digunakan skor
Bromage.
Bromage Scoring System
Kriteria Skor
Gerakan penuh dari tungkai 0
Tak mampu ekstensi tungkai 1
Tak mampu fleksi lutut 2
Tak mampu fleksi pergelangan kaki 3
24
Pada tindakan premedikasi sekitar 15-30 menit sebelum anestesi lakukan
observasi tanda vital. Setelah tindakan antisepsis kulit daerah punggung
pasien dan memakai sarung tangan steril, pungsi lumbal dilakukan dengan
menyuntikkan jarum lumbal (biasanya no 25 atau 27) pada bidang median
setinggi vertebra L3-4 atau L4-5. Jarum lumbal akan menembus berturut-
turut beberapa ligamen, sampai akhirnya menembus duramater-
subarachnoid. Setelah stilet dicabut, cairan serebro spinal akan menetes
keluar. Selanjutnya disuntikkan larutan obat analgetik lokal kedalam ruang
subarachnoid tersebut. Keberhasilan anestesi diuji dengan tes sensorik Pin
prick test, menggunakan jarum halus atau kapas. Daerah pungsi ditutup
dengan kasa dan plester, kemudian posisi pasien diatur pada posisi operasi.
2. Pembagian tingkat anestesi spinal:
a. Sadle back anestesi, yang kena pengaruhnya adalah daerah lumbal
bawah dan segmen sakrum.
b. Spinal rendah, daerah yang mengalami anestesi adalah daerah
umbilikus/ Th X di sini termasuk daerah thoraks bawah, lumbal dan
sakral.
c. Spinal tengah, mulai dari perbatasan kosta (Th VI) di sini termasuk
thoraks bawah, lumbal dan sakral.
d. Spinal tinggi, mulai garis sejajar papilla mammae, disini termasuk
daerah thoraks segmen Th4-Th12, lumbal dan sakral.
e. Spinal tertinggi, akan memblok pusat motor dan vasomotor yang lebih
tinggi.
3. Indikasi anestesi spinal pada hemoroidektomi
Biasanya anestesi spinal dilakukan untuk pembedahan pada daerah yang
diinervasi oleh cabang Th.4 (papila mammae kebawah).
4. Kontraindikasi absolut anestesi spinal
a. Pasien menolak
b. Infeksi pada tempat suntikan
c. Hipovolemia berat, syok
d. Koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan
25
e. Tekanan intrakranial meninggi
5. Kontraindikasi relatif anestesi spinal:
a. Infeksi sistemik (sepsis, bakterimia)
b. Kelainan psikis
c. Bedah lama
d. Penyakit jantung
e. Hipovolemia ringan
f. Nyeri punggung kronis
6. Obat anestesi spinal pada hernia repair
Obat anestetik yang sering digunakan: Lidocain 1-5 %, Bupivacain 0,25-
0,75 %.
7. Mekanisme kerja
Anestesi spinal dihasilkan oleh injeksi larutan anestesi lokal ke dalam
ruang subarakhnoid lumbal. Larutan anestesi lokal dimasukkan ke dalam
cairan serebrospinal lumbal, bekerja pada lapisan superfisial dari korda
spinalis, tetapi tempat kerja yang utama adalah serabut preganglionik
karena mereka meninggalkan korda spinal pada rami anterior. Karena
serabut sistem saraf simpatis preganglionik terblokade dengan konsentrasi
anestesi lokal yang tidak memadai untuk mempengaruhi serabut sensoris
dan motoris, tingkat denervasi sistem saraf simpatis selama anestesi spinal
meluas kira-kira sekitar dua segmen spinal sefalad dari tingkat anestesi
sensoris. Untuk alasan yang sama, tingkat anestesi motorik rata-rata dua
segmen dibawah anestesi sensorik.
8. Komplikasi anestesi spinal pada hemoroidektomi
a. Hipotensi
b. Brakikardi
c. Sakit kepala spinal (pasca pungsi)
d. Menggigil
e. Mual-muntah
f. Total spinal
g. Sequelae neurologic
26
h. Penurunan tekanan intrakranial
i. Meningitis
j. Retensi urine
BAB III
LAPORAN KASUS
I ANAMNESIS
A Identitas Penderita
Nama : Tn. S
Umur : 60 tahun
Pekerjaan : pegawai swasta
Alamat : Masaran, Sragen, Jawa Tengah
Tanggal masuk : 31 Januari 2017
Tanggal pemeriksaan : 1 Februari 2017
No RM : 01306xxx
B Data Dasar
1 Keluhan Utama
27
Pasien merupakan konsulan TS bedah digestif denganbenjolan
yang keluar dari anus.
5 Riwayat Kebiasaan
Merokok : disangkal
Ketergantungan obat : disangkal
28
Pasien adalah seorang pria usia 60 tahun dan bekerja
sebagai pegawai swasta, saat ini pasien tinggal dengan istri dan
anaknya. Pasien berobat dengan fasilitas BPJS Kesehatan.
II PEMERIKSAAN FISIK
A Primary Survey
Airway : Bebas, patensi hidung (+/+), deviasi septum (-), buka
mulut >3 jari, mallampati I, gerak leher bebas, TMD >
6cm
Breathing : Thorax bentuk normochest, simetris, pengembangan
dada kanan=kiri, retraksi (-), otot bantu nafas (-),
sonor/sonor, suara dasar vesikuler +/+, suara tambahan
-/-, frekuensi nafas 20x/menit.
Circulation :Jantung ictus cordis tak tampak, tak kuat angkat teraba
di SIC V LMCS, bunyi jantung I-II intensitas normal,
reguler, bising pansistolik di SIC IV linea parasternal
sinistra, tekanan darah 140/90 mmHg, nadi 86 x/menit
irama teratur, isi cukup, CRT <2 detik, akral dingin (-).
Disability : GCS E4V5M6, pupil isokor dengan diameter 3mm /
3mm, reflek cahaya +/+.
Exposure : suhu 370C
B Secondary Survey
29
Leher : trakhea di tengah, simetris, massa/ pembesaran
limfonodi (-), gerak leher bebas, TMD >6cm
Abdomen :dinding perut sejajar dinding dada, distensi (-), bising
usus (+), timpani, hepar dan lien tidak teraba, supel
RT : teraba massa pada anus dengan diameter 0.5 cm pada
arah jam 7, nyeri tekan (+), konsistensi kenyal, TMSA
(+), , ampula rektii tidak kolaps, feses (-) darah (-)
Ekstremitas : akral dingin oedem
- - - -
IV KONSULTASI
Konsultasi TS Jantung: EKG sinus rhythm, HR 85 bpm, normoaxis,
LVH. Cor compensated. Toleransi tindakan risiko ringan
30
V TERAPI
- Injeksi metamizol 1 g/8 jam
- Injeksi Ranitidine 50 mg/12 jam
- Cek EKG
- Pro hemoroidektomi
VI DIAGNOSA ANESTESI
Tn S, laki-laki 60 tahun, dengan hemorrhoid grade IV, pro
hemoroidektomi, pemeriksaan fisik kondisi umum baik komposmentis,
tekanan darah 140/90, Hb 11.3, Al 15,0. Pada prinsipnya setuju tata
laksana anastesi dengan dengan stasus fisik ASA II, plan informed
consent, puasa 6 jam pre operasi, premedikasi di OK, regional anestesi
sub arakhnoid blok.
VII PROBLEM
Hemoroid
Anemia ringan
Hipokalemi
LVH
Perdarahan
Nyeri post Operasi
Infeksi
31
Circulation :Jantung ictus cordis tak tampak, tak kuat angkat teraba
di SIC V LMCS, bunyi jantung I-II intensitas normal,
reguler, bising tidak terdengar, tekanan darah 140/90
mmHg, nadi 86x/menit irama teratur, isi cukup, CRT
<2 detik, akral dingin (-).
Disability : GCS E4V5M6, pupil isokor dengan diameter 3mm /
3mm, reflek cahaya +/+.
Exposure : suhu 360C
B Secondary Survey
Kulit : sawo matang, turgor menurun (-), lembab (+), ikterik(-)
Kepala : bentuk mesocephal, rambut warna putih
Mata : konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), lensa keruh
(-/-)
Telinga : sekret (-)
Hidung : nafas cuping hidung (-), sekret (-), patensi (+/+), deviasi
septum (-)
Mulut : sianosis (-), mukosa basah (+), papil lidah atrofi (-)
stomatitis (-)
Leher : trakhea di tengah, simetris, massa/ pembesaran
limfonodi (-), gerak leher bebas, TMD >6cm
Abdomen :dinding perut sejajar dinding dada, distensi (-), bising
usus (+), timpani, hepar dan lien tidak teraba, supel
RT : teraba massa pada anus dengan diameter 0.5 cm pada
arah jam 7, nyeri tekan (+), konsistensi kenyal, TMSA
(+), , ampula rektii tidak kolaps, feses (-) darah (-)
Ekstremitas : akral dingin oedem
- - - -
- - - -
Anestesi dimulai pukul 10.20 berlangsung 125 menit, sampai pukul
12.05. Tindakan bedah dilakukan mulai pukul 10.2012.00 WIB.
Dilakukan pre medikasi dengan Metoclopramide 10 mg IV dan
Ranitidine 50 mg IV.Dilakukan regional anestesi sub arachnoid
block dengan levobupivacaine 10 mg dan morfin 100 g secara
intratekal. Setelah menunggu beberapa saat, perlahan pasien
teranestesi. Kemudian dilakukan tindakan hemoroidektomi dengan
32
posisi litotomi pada pasien.Durante operasi diberikan O2 3 lpm
dengan nasal kanul dan infus Ringer Laktat 15 tpm.
Perhitungan cairan durante operasi adalah (BB = 70 kg)
33
mmHg, nadi 75 x/menit, frekuensi napas 20 x/menit, Sp0 2 99%
dengan nasal kanul 3lpm.
Setelah operasi, pasien dirawat di bangsal melati 3 untuk
mendapat perawatan lebih lanjut. Keadaan umum pasien baik,
kesadaran compos mentis, tekanan darah 130/80mmHg, nadi
70x/menit, frekuensi napas 18x/menit. Analgetik post operasi
diberikanfentanyl 100 mcg dalam ringer laktat dengan kecepatan 20
tpm dan maintenance cairan kristaloid 100 cc/jam.
BAB IV
PEMBAHASAN
34
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum dan tanda-tanda
vital dalam batas normal, pemeriksaan mata, kepala, hidung, leher, dada, perut,
dan ekstremitas dalam batas normal. Dari pemeriksaan rectal touche teraba massa
pada anus dengan diameter 0.5 cm pada arah jam 7, nyeri tekan (+), konsistensi
kenyal, TMSA (+), ampula rektii tidak kolaps, feses (-) darah (-). Dari hasil
pemeriksaan penunjang berupa lanoratorium darah didapatkan anemia ringan
(11.3 mg/dl) dan hipokalemi (3.3 mg/dl). Dari hasil pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang disimpulkan status fisik ASA-II, karena pada pasien
terjadi gangguan sistemik ringan sampai sedang yaitu anemia ringan dan
hipokalemi. Diputuskan untuk dilakukan anestesi spinal karena tindakan operasi
pada tubuh bagian bawah dan tidak ada kontraindikasi anestesi spinal.
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang,
ditegakkan diagnosis anestesi yaitu Tn S, laki-laki 60 tahun, dengan hemorrhoid
grade IV, pro hemoroidektomi, pemeriksaan fisik kondisi umum baik
komposmentis, tekanan darah 140/90, Hb 11.3, Al 15,0. Pada prinsipnya setuju
tata laksana anastesi dengan dengan stasus fisik ASA II, plan informed consent,
puasa 6 jam pre operasi, premedikasi di OK, regional anestesi sub arakhnoid blok.
Tatalaksana hemoroid dapat berupa tatalaksana non bedah dan tatalaksana
pembedahan, tergantung dari derajat hemoroidnya. Hemoroid derajat I dan II
dapat diobati dengan tatalaksana non bedah, seperti medikamentosa, skleroterapi,
atau ligasi. Terapi bedah dipilih untuk penderita yang mengalami keluhan
menahun dan pada penderita hemoroid derajat III dan IV. Terapi bedah juga dapat
dilakukan dengan perdarahan berulang dan anemia yang tidak dapat sembuh
dengan cara terapi lainnya yang lebih sederhana. Penderita hemoroid derajat IV
yang mengalami trombosis dan kesakitan hebat dapat ditolong segera dengan
hemoroidektomi.
Hemoroidektomi dapat dilakukan dengan tiga tehnik, yaitu bedah
konvensional dengan tehnik Milligan-Morgan (disebut juga open
haemorrhoidectomy), bedah laser (sinar laser sebagai alat pemotong) dan bedah
stapler (menggunakan alat dengan prinsip kerja stapler). Pada operasi
hemoroidektomi, dapat dilakukan jenis anestesi local atau regional. Anestesi
35
regional memberikan keuntungan berupa respirasi masih spontan, lebih murah,
sedikit resiko muntah yang dapat menyebabkan aspirasi paru pada pasien dengan
perut penuh, tidak memerlukan intubasi, pengaruh terhadap biokimiawi tubuh
minimal, fungsi usus cepat kembali, observasi dan perawatan post operatif lebih
ringan.
Sebelum memulai prosedur anestesi, dilakukan premedikasi dengan
Metoclopramide 10 mg IV dan Ranitidine 50 mg IV. Metoclopramide digunakan
sebagai anti emetik dan untuk mengurangi sekresi kelenjar. Sedangkan Ranitidine
yang merupakan H2 antagonist berfungsi dalam mencegah terjadinya stress ulcer
akibat peningkatan asam lambung yang berlebihan pada pasien pre operasi.
36
Pada durante operasi, pada pasien tejadi penurunan tekanan darah menjadi
110-120/70-80. Hal ini disebabkan oleh efek hipotensi dari anestesi spinal, yang
disebabkan oleh adanya blok simpatis yang menyebabkan vasodilatasi, kemudian
tejadi penurunan volume darah arteriole dan vena, sehingga terjadi hipotensi. Pada
pasien tidak terjadi efek samping lain seperti depresi pernafasan ataupun
menggigil.
Pasien diberikan analgetik post operasi berupa fentanyl 100 mcg dalam
ringer laktat dengan kecepatan 20 tpm dan maintenance cairan kristaloid 100
cc/jam. Fentanyl merupakan agen analgesic opioid dengan mekanisme kerja yang
mirip dengan morfin, namun dengan solubilitas lemak yang lebih besar dan durasi
dan onset yang lebih cepat (Taylor, 2014).
Setelah operasi selesai dan kondisi pasien stabil, pasien dibawa ke bangsal
Melati 3. Observasi post operasi didapatkan pasien mampu menggerakkan
anggota tubuh bagian bawahnya pada 15 menit post operasi, keluhan nyeri sudah
tidak dirasakan. Pemantauan vital sign didapatkan hasil HR : 72 x/mnt, RR : 20
x/mnt, tensi : 130/90 mmhg, suhu 360 C. Pasien sudah mampu mengkonsumsi
makan halus, 1 hari setelah operasi, dengan flatus (+), namun belum BAB. Pada
tanggal 2 Februari 2017 (1 hari post op), pasien sudah diperbolehkan kembali ke
rumah.
37
BAB V
KESIMPULAN
38
yang berarti baik dari segi anestesi maupun dari tindakan operasinya. Selama di
ruang pemulihan pasien sadar penuh, hemodinamik stabil, dan tidak terjadi hal
yang memerlukan penanganan serius.
DAFTAR PUSTAKA
Latief SA. 2002. Petunjuk praktis anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 34-7, 72-80.
39
Mansjoer, Arif. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 4. Jilid 2. Media
Aesculapius. Jakarta.
Morgan, GE. 2006. Critical care. In: Clinical Anesthesiology. 3rd ed. Lange
Medical Books/Mc Graw-Hill. USA: 951-994.
Taylor, Donald R. 2014. The pharmacology of fentanyl and its impact on pain
management: Optimizing the treatment of BTP. Medscape Neurology
7(2):1-5
40