Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Interaksi antara dua buah lempeng merupakan pengaruh dari konsep konveksi
mantel yang terjadi di dalam perut bumi. Lapisan astenosfer yang bersifat plastis
memperoleh panas yang dari mantel bumi sehingga mampu menjadi roda penggerak
lapisan litosfer yang berada tepat diatasnya, inilah yang menjadi dasar lahirnya konsep
tektonik lempeng. Pada dasarnya interaksi antar lempeng dapat berupa tiga macam bentuk
interaksi, yakni : Interaksi Konvergen, Divergen dan Strike Slip (Berpapasan).
Pulau Kalimantan merupakan hasil dari salah satu bentuk interaksi tersebut. Pulau
Kalimantan berada dibagian tenggara dari lempeng Eurasia. Pada bagian utara dibatasi
oleh cekungan marginal Laut China Selatan, di bagian timur oleh selat Makassar dan di
bagian selatan oleh Laut Jawa.
Studi zona konvergen sangat berguna untuk menjelaskan gejala tektonik yang terjadi
pada suatu daerah dengan mengamati bentukan-bentukan struktur (deformasi) yang terjadi
pada daerah tersebut. Selain itu pula, studi zona konvergen dapat digunakan untuk
menganalisa kemungkinan potensi cebakan mineral ekonomis dan potensi bencana yang
mungkin terjadi pada suatu daerah.

I.2 Maksud dan Tujuan


Penulisan makalah ini dilakukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Geologi
Indonesia (GL-3721) di Departemen Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian,
Institut Teknologi Bandung.
Makalah ini di susun agar penulis dan pembaca lebih memahami materi konsep
Geologi Pulau Kalimantan, sejarah terbentuknya dan lainnya.

I.3 Metoda Penulisan


Penulisan makalah dilakukan melalui studi literatur, yang secara sistematik di sajikan
dalam 4 Bab pembahasan , antara lain :
BAB I Pendahuluan, membahas latar belakang pembuatan makalah, maksud dan tujuan
penulisan, dan metoda penulisan.
BAB II Geologi Pulau Kalimantan, membahas tatanan geologi dari Pulau Kalimantan baik
dari segi tektonik maupun stratigrafi
BAB III Kesimpulan, membahas tentang inti sari dari makalah ini
BAB IV Daftar Pustaka

1.4 Lingkup Pembahasan


Pembahasan makalah ini di batasi hanya mencakup pembahasan interaksi lempeng
konvergen dan penerapan konsep konvergen pada daerah tertentu.
BAB II
GEOLOGI PULAU KALIMANTAN

PULAU KALIMANTAN

Pulau Kalimantan berada dibagian tenggara dari lempeng Eurasia. Pada bagian
utara dibatasi oleh cekungan marginal Laut China Selatan, di bagian timur oleh selat
Makassar dan di bagian selatan oleh Laut Jawa.

Gambar 1: Kerangka Tektonik Pulau Kalimantan (Bachtiar, 2006)

Bagian utara Kalimantan didominasi oleh komplek akresi Crocker-Rajang-Embaluh


berumur Kapur dan Eosen-Miosen. Di bagian selatan komplek ini terbentuk Cekungan
Melawi-Ketungai dan Cekungan Kutai selama Eosen Akhir, dan dipisahkan oleh zona ofiolit-
melange Lupar-Lubok Antu dan Boyan.
Di bagian selatan pulau Kalimantan terdapat Schwanner Mountain berumur Kapur
Awal-Akhir berupa batolit granit dan granodiorit yang menerobos batuan metamorf regional
derajat rendah. Tinggian Meratus di bagian tenggara Kalimantan yang membatasi Cekungan
Barito dengan Cekungan Asem-asem. Tinggian Meratus merupakan sekuens ofiolit dan
busur volkanik Kapur Awal. Cekungan Barito dan Cekungan Kutai dibatasi oleh Adang
flexure.

a. Tatanan Tektonik
Basement pre-Eosen
agian baratdaya Kalimantan tersusun atas kerak yang stabil (Kapur Awal) sebagai
bagian dari Lempeng Asia Tenggara meliputi baratdaya Kalimantan, Laut Jawa bagian barat,
Sumatra, dan semenanjung Malaysia. Wilayah ini dikenal sebagai Sundaland. Ofiolit dan
sediment dari busur kepulauan dan fasies laut dalam ditemukan di Pegunungan Meratus,
yang diperkirakan berasal dari subduksi Mesozoikum. Di wilayah antara Sarawak dan
Kalimantan terdapat sediment laut dalam berumur Kapur-Oligosen (Kelompok Rajang),
ofiolit di (Lupar line, Gambar 4; Tatau-Mersing line, Gambar 5 dan 6; Boyan mlange antara
Cekungan Ketungai dan Melawi), dan unit lainnya yang menunjukkan adanya kompleks
subduksi. Peter dan Supriatna (1989) menyatakan bahwa terdapat intrusive besar bersifat
granitik berumur Trias diantara Cekungan Mandai dan Cekungan Kutai atas, memiliki kontak
tektonik dengan formasi berumur Jura-Kapur.

Gambar 2: NW SE Cross section Schematic reconstruction (A) Late Cretaceous, and


(B) Eocene (Pertamina BPPKA, 1997, op cit., Bachtiar, 2006).

Permulaan Cekungan Eosen


Banyak penulis memperkirakan bahwa keberadaan zona subduksi ke arah tenggara
di bawah baratlaut Kalimantan (Gambar 2 dan 3) pada periode Kapur dan Tersier awal dapat
menjelaskan kehadiran ofiolit, mlanges, broken formations, dan struktur tektonik Kelompok
Rajang di Serawak (Gambar 4), Formasi Crocker di bagian barat Sabah, dan Kelompok
Embaluh. Batas sebelah timur Sundaland selama Eosen yaitu wilayah Sulawesi, yang
merupakan batas konvergensi pada Tersier dan kebanyakan sistem akresi terbentuk sejak
Eosen.
Gambar 3: Paleocene Middle Eocene SE Asia tectonic reconstruction.
SCS = South China Sea, LS = Lupar Subduction, MS = Meratus Subduction,
WSUL = West Sulawesi, I-AU = India Australia Plate, PA = Pacific plate
(Pertamina BPKKA, 1997, op cit., Bachtiar, 2006)

Gambar 4: Cross section reconstruction of North Kalimantan that show Lupar


subduction in Eocene
(Hutchison, 1989, op cit., Bachtiar 2006))

Mulainya collision antara India dan Asia pada Eosen tengah (50 Ma) dan
mempengaruhi perkembangan dan penyesuaian lempeng Asia. Adanya subsidence pada
Eosen dan sedimentasi di Kalimantan dan wilayah sekitarnya merupakan fenomena regional
dan kemungkinan dihasilkan dari penyesuaian lempeng, sebagai akibat pembukaan bagian
back-arc Laut Celebes.
Tektonisme Oligosen
Tektonisme pada pertengahan Oligosen di sebagian Asia tenggara, termasuk
Kalimantan dan bagian utara lempeng benua Australia, diperkirakan
sebagai readjusement dari lempeng pada Oligosen. Di pulau New Guinea, pertengahan
Oligosen ditandai oleh ketidakselarasan (Piagram et al., 1990 op cit., Van de Weerd dan
Armin, 1992) yang dihubungkan dengan collision bagian utara lempeng Australia (New
Guinea) dengan sejumlah komplek busur. New Guinea di ubah dari batas konvergen pasif
menjadi oblique. Sistem sesar strike-slip berarah barat-timur yang menyebabkan
perpindahan fragmen benua Australia (Banggai Sula) ke bagian timur Indonesia berpegaruh
pada kondisi lempeng pada pertengahan Oligosen.

Gambar 5: Late Oligocene Early Miocene SE Asia tectonic reconstruction.


SCS = South China Sea, LS = Lupar Subduction, MS = Mersing Subduction, WSUL =
West Sulawesi,
E SUL = East Sulawesi I-AU = India Australia plate, PA = Pacific plate, INC = Indocina,
RRF = Red River Fault,
IND = India; AU = Australia, NG = New Guinea, NP = North Palawan, RB = Reed Bank,
H = Hainan,
SU = Sumba (Pertamina BPKKA, 1997, op cit., Bachtiar 2006)

Ketidakselarasan pada pertengahan Oligosen hadir di Laut China selatan (SCS) dan
wilayah sekitarnya (Adams dan Haak, 1961; Holloway, 1982; Hinz dan Schluter, 1985; Ru
dan Pigott, 1986; Letouzey dan Sage, 1988; op cit., Van de Weerd dan Armin,
1992). Ketidak selarasan ini dihubungkan dengan pemekaran lantai samudera di SCS.
Subduksi pada baratlaut Kalimantan terhenti secara progresif dari baratdaya sampai
timurlaut. Di bagian baratdaya, berhenti pada pertengahan Oligosen; di bagian timurlaut,
berhenti pada akhir Miosen awal (Holloway, 1982, op cit., Van de Weerd dan Armin, 1992).
Gambar 6: NW SE cross section schematic reconstruction (A) Oligocene Middle
Miocene, and
(B) Middle Miocene - Recent (Pertamina BPPKA, 1997, op cit., Bachtiar, 2006).

Gambar 7: Middle Miocene Recent SE Asia tectonic reconstruction


(Pertamina BPKKA, 1997, op cit., Bachtiar, 2006)

Tektonisme Miosen
Di wilayah sekitar SCS pada Miosen awal-tengah terjadi perubahan yang Sangat
penting. Pemekaran lantai samudera di SCS berhenti, sebagai subduksi di Sabah dan
Palawan; mulai terjadinya pembukaan Laut Sulu (silver et al., 1989; Nichols, 1990; op cit.,
Van de Weerd dan Armin, 1992); dan obduksi ofiolit di Sabah (Clennell, 1990, op cit., Van de
Weerd dan Armin, 1992). Membukanya cekungan marginal Laut Andaman terjadi pada
sebagian awal Miosen tengah (Harland et al., 1989. op cit., Van de Weerd dan Armin,
1992).

Gambar 8: Elemen Tektonik Pulau Kalimantan pada Miosen tengah. Nuay, 1985, op
cit., Oh, 1987.)

b. Tatanan Stratigrafi
Dalam pembahasan stratigrafi, akan dibahas hubungan tektonik dan pengendapan
cekungan dari 2 (dua) cekungan yaitu Cekungan Barito dan Cekungan Kutai.
Cekungan Barito
Tektonik
Secara tektonik Cekungan Barito terletak pada batas bagian tenggara dari
Schwanner Shield, Kalimantan Selatan. Cekungan ini dibatasi oleh Tinggian Meratus pada
bagian Timur dan pada bagian Utara terpisah dengan Cekungan Kutaioleh pelenturan
berupa Sesar Adang, ke Selatan masih membuka ke Laut Jawa, dan ke Barat dibatasi oleh
Paparan Sunda.
Cekungan Barito merupakan cekungan asimetrik, memiliki cekungan depan
(foredeep) pada bagian paling Timur dan berupa platform pada bagian Barat. Cekungan
Barito mulai terbentuk pada Kapur Akhir, setelah tumbukan (collision)
antara microcontinent Paternoster dan Baratdaya Kalimantan (Metcalfe, 1996; Satyana,
1996).
Pada Tersier Awal terjadi deformasi ekstensional sebagai dampak dari tektonik
konvergen, dan menghasilkan pola rifting Baratlaut Tenggara. Rifting ini kemudian menjadi
tempat pengendapan sedimen lacustrine dan kipas aluvial (alluvial fan) dari Formasi Tanjung
bagian bawah yang berasal dari wilayah horst dan mengisi bagian graben, kemudian diikuti
oleh pengendapan Formasi Tanjung bagian atas dalam hubungan transgresi.
Pada Awal Oligosen terjadi proses pengangkatan yang diikuti oleh pengendapan
Formasi Berai bagian Bawah yang menutupi Formasi Tanjung bagian atas secara selaras
dalam hubungan regresi. Pada Miosen Awal dikuti oleh pengendapan satuan batugamping
masif Formasi Berai.
Selama Miosen tengah terjadi proses pengangkatan kompleks Meratus yang
mengakibatkan terjadinya siklus regresi bersamaan dengan diendapkannya Formasi
Warukin bagian bawah, dan pada beberapa tempat menunjukkan adanya gejala
ketidakselarasan lokal (hiatus) antara Formasi Warukin bagian atas dan Formasi Warukin
bagian bawah.
Pengangkatan ini berlanjut hingga Akhir Miosen Tengah yang pada akhirnya
mengakibatkan terjadinya ketidakselarasan regional antara Formasi Warukin atas dengan
Formasi Dahor yang berumur Miosen Atas pliosen.
Tektonik terakhir terjadi pada kala Plio-Pliestosen, seluruh wilayah terangkat, terlipat,
dan terpatahkan. Sumbu struktur sejajar dengan Tinggian Meratus. Sesar-sesar naik
terbentuk dengan kemiringan ke arah Timur, mematahkan batuan-batuan tersier, terutama
daerah-daerah Tinggian Meratus.

Stratigrafi
Urutan stratigrafi Cekungan Barito dari tua ke muda adalah :
Formasi Tanjung (Eosen Oligosen Awal)
Formasi ini disusun oleh batupasir, konglomerat, batulempung, batubara, dan basalt.
Formasi ini diendapkan pada lingkungan litoral neritik.
Formasi Berai (Oligosen Akhir Miosen Awal)
Formasi Berai disusun oleh batugamping berselingan dengan batulempung / serpih di
bagian bawah, di bagian tengah terdiri dari batugamping masif dan pada bagian atas
kembali berulang menjadi perselingan batugamping, serpih, dan batupasir. Formasi ini
diendapkan dalam lingkungan lagoon-neritik tengah dan menutupi secara selaras Formasi
Tanjung yang terletak di bagian bawahnya. Kedua Formasi Berai, dan Tanjung memiliki
ketebalan 1100 m pada dekat Tanjung.
Formasi Warukin (Miosen Bawah Miosen Tengah)
Formasi Warukin diendapkan di atas Formasi Berai dan ditutupi secara tidak selaras
oleh Formasi Dahor. Sebagian besar sudah tersingkap, terutama sepanjang bagian barat
Tinggian Meratus, malahan di daerah Tanjung dan Kambitin telah tererosi. Hanya di sebelah
selatan Tanjung yang masih dibawah permukaan.
Formasi ini terbagi atas dua anggota, yaitu Warukin bagian bawah (anggota klastik),
dan Warukin bagian atas (anggota batubara). Kedua anggota tersebut dibedakan
berdasarkan susunan litologinya.
Warukin bagian bawah (anggota klastik) berupa perselingan antara napal atau
lempung gampingan dengan sisipan tipis batupasir, dan batugamping tipis di bagian bawah,
sedangkan dibagian atas merupakan selang-seling batupasir, lempung, dan batubara.
Batubaranya mempunyai ketebalan tidak lebih dari 5 m., sedangkan batupasir bias
mencapai ketebalan lebih dari 30 m.
Warukin bagian atas (anggota batubara) dengan ketebalan maksimum 500 meter,
berupa perselingan batupasir, dan batulempung dengan sisipan batubara. Tebal lapisan
batubara mencapai lebih dari 40 m., sedangkan batupasir tidak begitu tebal, biasanya
mengandung air tawar. Formasi Warukin diendapkan pada lingkungan neritik dalam
(innerneritik) deltaik dan menunjukkan fasa regresi.
Formasi Dahor (Miosen Atas Pliosen)
Formasi ini terdiri atas perselingan antara batupasir, batubara, konglomerat, dan serpih
yang diendapkan dalam lingkungan litoral supra litoral.
Cekungan Kutai
Tektonik
Cekungan Kutai di sebelah utara berbatasan dengan Bengalon dan Zona Sesar
Sangkulirang, di selatan berbatasan dengan Zona Sesar Adang, di barat dengan sedimen-
sedimen Paleogen dan metasedimen Kapur yang terdeformasi kuat dan terangkat dan
membentuk daerah Kalimantan Tengah, sedangkan di bagian timur terbuka dan terhubung
denganlaut dalam dari Cekungan Makassar bagian Utara.

Gambar 9: Elemen Struktur bagian timur Cekungan Kutai. (Beicip, 1992, op.cit.
Allen dan Chambers, 1998. )
Cekungan Kutai dapat dibagi menjadi fase pengendapan transgresif Paleogen dan
pengendapan regresif Neogen. Fase Paleogen dimulai dengan ekstensi pada tektonik dan
pengisian cekungan selama Eosen dan memuncak pada fase longsoran tarikan post-
rift dengan diendapkannya serpih laut dangkal dan karbonat selama Oligosen akhir. Fase
Neogen dimulai sejak Miosen Bawah sampai sekarang, menghasilkan progradasi delta dari
Cekungan Kutai sampai lapisan Paleogen. Pada Miosen Tengah dan lapisan yang lebih
muda di bagian pantai dan sekitarnya berupa sedimen klastik regresif yang mengalami
progradasi ke bagian timur dari Delta Mahakam secara progresif lebih muda menjauhi timur.
Sedimen-sedimen yang mengisi Cekungan Kutai banyak terdeformasi oleh lipatan-lipatan
yang subparalel dengan pantai. Intensitas perlipatan semakin berkurang ke arah timur,
sedangkan lipatan di daerah dataran pantai dan lepas pantai terjal, antiklin yang sempit
dipisahkan oleh sinklin yang datar. Kemiringan cenderung meningkat sesuai umur lapisan
pada antiklin. Lipatan-lipatan terbentuk bersamaan dengan sedimentasi berumur Neogen.
Banyak lipatan-lipatan yang asimetris terpotong oleh sesar-sesar naik yang kecil, secara
umum berarah timur, tetapi secara lokal berarah barat.

Gambar 10: Cekungan Kutai dari Oligosen akhir sekarang. (Beicip, 1992, op.cit.
Allen dan Chambers, 1998.)
Stratigrafi
Pada Kala Oligosen (Tersier awal) Cekungan Kutai mulai turun dan terakumulasi
sediment-sediment laut dangkal khususnya mudstone, batupasir sedang dari Formasi serpih
Bogan dan Formasi Pamaluan. Pada awal Miosen, pengangkatan benua ( Dataran Tinggi
Kucing) ke arah barat dari tunjaman menghasilkan banyak sedimen yang mengisi Cekungan
Kutai pada formasi delta-delta sungai, salah satunya di kawasan Sangatta. Ciri khas
sedimen-sedimen delta terakumulasi pada Formasi Pulau Balang, khususnya sedimen
dataran delta bagian bawah dan sedimen batas laut, diikuti lapisan-lapisan dari Formasi
Balikpapan yang terdiri atas mudstone, bataulanau, dan batupasir dari lingkungan
pengendapan sungai yang banyak didominasi substansi gambut delta plain bagian atas
yang kemudian membentuk lapisan-lapisan batubara pada endapan di bagian barat
kawasan Pinang. Subsidence yang berlangsung terus pada waktu itu kemungkinan tidak
seragam dan meyebabkan terbentuknya sesar-sesar pada sedimen-sedimen. Pengendapan
pada Formasi Balikpapan dilanjutkan dengan akumulasi lapisan-lapisan Kampung Baru
pada kala Pliosen. Selama Kala Pliosen, serpih dari serpih Bogan dan Formasi Pamaluan
yang sekarang terendapkan sampai kedalaman 2000 meter, menjadi kelebihan tekanan
dan tidak stabil, menghasilkan pergerakan diapir dari serpih ini melewati sedimen-sedimen
diatasnya menghasilkan struktur antiklin-antiklin rapat yang dipisahkan oleh sinklin lebih
datar melewati Cekugan Kutai dan pada kawasan Pinang terbentuk struktur Kerucut Pinang
dan Sinklin Lembak.

Gambar 11: Stratigrafi Cekungan Barito, Cekungan Kutai, dan Cekungan Tarakan.
(Courtney, et al., 1991, op cit., Bachtiar, 2006).

BAHAN GALIAN

Saat ini terdapat 15 (lima belas) daftar mineral-mineral potensial yang terdapat di
Kalimantan Tengah, mineral-mineral tersebut adalah :

1. Emas

2. Batubara

3. Gambut

4. Intan

5. Kaolin

6. Pasir Kuarsa

7. Fosfat

8. Batu gamping

9. Kristal Kuarsa

10. Batuan Beku / Batu belah

11. Besi
12. Timah Hitam

13. Tembaga

14. Air Raksa

15. Zircon

Beberapa yang sudah produksi seperti batubara, emas, intan, batu lempung, batu gamping, pasir
kuarsa, kristal kuarsa dan zircon. Sedangkan mineral-mineral lain sedang berada dalam proses survey
dari tahap pengamatan lapangan sampai eksplorasi detail, karena itu data-data sumberdaya mineral
tersebut cukup akurat karena berdasarkan tahapan survey.
1. Potensi Emas
Kalimantan Tengah memiliki sejumlah endapan emas primer dan letakan (placer). Endapan letakan
(placer) banyak ditemukan di sungai, danau, rawa-rawa dan paleo chanel (gosong), sedangkan yang
merupakan hasil endapan hidrotermal yang secara genetic berasosiasi dengan intrusi batuan beku
asam dan juga sering berasosiasi dengan kuarsa dan sulfide (pirit, arseno pirit, tetrahidrit, kalkopirit
dan sedikit pada galena dan spalerit).
Endapan emas di Kalimantan Tengah dapat dijumpai di :
- Kab.Kapuas : Kec.Kapuas Hulu, Kapuas Tengah dan Timpah
- Kab.Gunung Mas : Kec.Tewah, Kahayan Hulu Utara, Rungan, Manuhing, Sepang dan Kurun.
- Kota Palangka Raya : Sungai Takaras Kec.Bukit Batu.
- Kab.Murung Raya : Kec.Sumber Barito, Permata Intan dan Tanah Siang
- Kab.Barito Timur : Kec.Dusun Tengah.
- Kab.Seruyan : Kec.Seruyan Hulu, Kec.Seruyan Tengah.
- Kab.Katingan : Kec.Katingan Hulu, Katingan Tengah, Sanaman Mantikei dan Katingan Hilir.

2. Potensi Batubara
Batubara yang menyusun suatu formasi/lapisan batubara pada awalnya berupa gambut atau akumulasi
bahan serupa yang kemudian mengalami pembusukan, melalui proses kompaksi dan panas dalam
waktu yang sangat panjang maka gambut akan berubah menjadi batubara.
Batubara di Indonesia banyak digunakan untuk bahan bakar, industri semen, PLTU dan dalam jumlah
kecil dalam peleburan timah dan nikel.
Batubara di Kalimantan Tengah sudah mulai ditambang sejak awal abad 19 tambang batubara didekat
Muara Teweh sudah ditambang sejak tahun 1910 dan mampu menghasilkan sekitar 7.000 ton pertahun
saat itu.
Produksi berkurang sejak Perang Dunia ke II dan kemudian berhenti total sekitar tahun 1960.
Survey penyelidikan batubara di Kalimantan Tengah telah dilakukan sejak tahun 1975 oleh beberapa
institusi baik pemerintah maupun perusahaan asing, salah satunya PT. BHP-Biliton yang telah
memprediksikan bahwa terdapat sekitar 400 juta ton batubara dengan nilai kalori >7.000 berkualitas
baik (> 8.000 kal/gr) juga ditemukan di Kabupaten Barito Utara dan Murung Raya bagian utara.
Didaerah ini batubara banyak ditemukan di Muara Bakah, Bakanon, Sungai Montalat, Sungai Lahei,
Sungai Maruwai dan sekitarnya. Beberapa lapisan batubara mempunyai ketebalan mencapai 1,5 7
meter dan mempunyai kualifikasi Cooking Coal dengan kandungan sebagai berikut :
- Kandungan air : 8,74 15,53 %
- Volatile Matter : 0,39 1,76 %
- Karbon : 38,44 48,66 %
- Sulfur : 0,35 0,46 %
- Nilai Kalori : 7.000 8.000 cal/gr.
- CSN : 5 - 7
Lokasi lain yang juga memiliki potensi kandungan batubara dengan nilai kalori <6.000 kal/gr antara
lain :
- Kab.Gunung Mas : Kec.Tewah, Rungan, Kurun, Manuhing.
- Kotawaringin Timur : Kec.Mentaya Hulu, Mentaya Hilir dan Cempaga.
- Kab.Katingan : Kec.Katingan Tengah, dan Tewang Sangalang garing.
- Kab.Kotawaringin Barat : Pangkalan Banteng dan Kotawaringin Lama.
3. Potensi Gambut
Gambut adalah endapan organik yang mengandung sisa-sisa tumbuhan yang telah mengalami
dekomposisi sebagian dan mengandung bahan lain seperti air dan bahan-bahan lain non organic
biasanya berupa lempung dan lanau.
Gambut di Indonesia diperkirakan memiliki area lebih 20 juta hektar dan kebanyakan dalam bentuk
dataran rendah dan rawa. Lebih dari 7 juta hektar berada sepanjang daerah barat, tengah dan selatan
pantai pulau Kalimantan.
Survey tanah gambut telah banyak dilakukan secara intensif terutama untuk keperluan pertanian
(agricultur). Penyelidikan yang dilakukan untuk tujuan pertanian biasanya hanya gambut yang
mempunyai kedalaman 100 cm atau kurang. Gambut yang mempunyai kedalaman lebih dari 100 cm
mempunyai potensi sebagai energi.
Sumber energi gambut biasanya digunakan untuk tenaga pembangkit tapi dapat juga digunakan untuk
bahan baker dan memasak yang biasanya dalam bentuk briket.
Penyelidikan gambut untuk bahan baker telah dilakukan oleh Direktorat batubara dari Departemen
Energi dan Sumber Daya Mineral sejak tahun 1984 didaerah Bereng Bengkel, Palangka Raya dan
Kanamit, Kuala Kapuas.
Daerah Bereng Bengkel Kanamit mempunyai potensi yang cukup besar dengan rata-rata kedalaman
gambut sekitar 2 meter, dan di Bereng Bengkel sendiri sekitar 20 hektar telah diselidiki secara detail
dan telah dilakukan ujicoba produksi gambut bekerjasama dengan Finlandia.
Kualitas gambut Kalimantan Tengah adalah sebagai berikut :
- Kandungan air : 6,11 18,70 %
- Abu : 0,66 6,72 %
- Karbon : 21,03 37,66 %
- Zat Terbang : 41,75 57,13 %
- Nilai Kalori : 3.982 5.426 cal/gr
Daerah lain yang mempunyai potensi gambut di Kalimantan Tengah adalah :
- Daerah antara Sampit dan Kota Besi.
- Daerah antara Sampit dan Pangkalan Bun
- Daerah antara Palangka Raya dan Pulang Pisau.
4. Potensi Intan
Intan telah banyak ditambang dibanyak tempat di Pulau Kalimantan oleh penduduk sejak lama dan
berkembang diberbagai tingkatan sampai sekarang. Intan dipotong dan dipoles/digosok di Martapura
Kalimantan Selatan.
Secara umum endapan utama intan berasosiasi dengan batuan ultrabasic khususnya batuan periodit,
contohnya batuan yang kita kenal sebagai Kimberlite-pipe di Afrika Selatan.
Saat ini penduduk local Kalimantan Tengah menambang endapan intan alluvial mempergunakan
peralatan dan metode yang masih sederhana. Intan yang terdapat dalam endapan alluvial biasanya
terdapat bersama sejumlah mineral seperti korundum, rutile, brookite, quartz, emas, platinum dan
pirit.
Pasir hitam yang terbentuk dari pencucian residu (disebut puya) terdiri dari : Titano magnetite, kromit,
garnet, spinel, hyacinth, topaz, dan ruby.
Penyelidikan terhadap endapan intan sudah dilakukan sejak dulu tetapi masih belum
mendapatkan hasil berupa penemuan endapan utamanya. Tetapi kesempatan bagi
eksplorasi endapan utama dan alluvial masih ada dan dilakukan.

BAB III
KESIMPULAN

Sejarah tektonik dari Pulau Kalimantan dimulai dari Eoses-Oligosen hingga miosen dimana
pada kejadiannya terdapat berbagai evolusi tektonisme.

Cekungan-cekungan sedimentasi di daerah Pulau Kalimantan cenderung memiliki


kemampuan yang baik dalam mengahasilkan hidrokarbon, seperti Cekungan Kutai dan
Cekungan Barito

Pulau Kalimantan juga memiliki potensi bahan galian yang terbukti cukup bervariasi seperti
emas, batubara, intan dan gambut

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Sumber:
Allen, G.P., dan Chambers,J.L.C.,1998, Sedimentation in the Modern and Miocen Mahakam
Delta. IPA, hal. 156-165.
Bachtiar, A., 2006, Slide Kuliah Geologi Indonesia, Prodi Teknik Geologi, FIKTM-ITB.
Oh,H.L., The Kutai Basin a Unique Structural History. Proceeding IPA 20th October 1987Vol I p.
311-316.
Satyana, A.H., 2000, Kalimantan, An Outline of The Geology of Indonesia, Indonesian Association
of Geologists, p.69-89.
Van de Weerd, A.A., dan Armin, Richard A., 1992, Origin and Evolution of the Tertiary Hydrocarbon-
Bearing Basins in Kalimantan (Borneo), Indonesia, The American Association of Petroleum
Geologists Bulletin v. 76, No. 11, p. 1778-1803.

Anda mungkin juga menyukai