Anda di halaman 1dari 29

TUGAS ILMU BEDAH ORTOPEDI

CASE REPORT SPONDILITIS TB

KEPANITERAAN KLINIK BEDAH


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. H. ABDUL MOELOEK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2017
STATUS PASIEN

A. ANAMNESIS
1. Identitas Pasien
: Tn. FH
Nama
: 25 tahun 7 bulan 14 hari
Umur
: Laki-laki
Jenis Kelamin
: Islam
Agama
:22 Maret 2017
Masuk RS

2. Keluhan Utama

Tidak bisa berjalan sejak 8 hari yang lalu

3. Riwayat Penyakit Sekarang

1 tahun yang lalu OS sering merasakan pegal-pegal dan nyeri pada


pinggang. Kemudian OS memutuskan untuk diurut supaya meringankan
pegal tersebut. Akan tetapi semakin lama pegal dan nyeri yang dirasakan
menjadi lebih berat dan lemas untuk berjalan. Kemudian OS mengeluh tidak
bisa berjalan 8 hari SMRS dan diawali dengan panas dingin pusing serta
menggigil setelah maghrib. BAB dan BAK tidak ada keluhan. Nafsu
makan menurun. Berat badan pasien mengalami penurunan beberapa
bulan terakhir. OS mengaku dulu sering batuk hilang timbul dan hanya
diobati dengan obat warung. Dahulu OS mengaku pernah sakit tipus dan
diobati dengan meminum kapsul cacing. Teman-teman satu pekerjaan OS
tidak memiliki sakit yang sama seperti yang dialaminya saat ini. Sebelumnya
OS bekerja di salah satu toko di Jakarta dan memutuskan berhenti karena
lemas untuk berjalan, tempat tinggal saat bekerja berada di sebuah mes
dengan satu kamar ditempati oleh 4-5 orang dan penghuninya sering
berganti-gantian.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
: Demam Thypoid
Riwayat sakit
: disangkal
Riwayat trauma sebelumnya
: disangkal
Riwayat alergi

Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal


Riwayat diabetes melitus : disangkal

5. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat sakit serupa : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal
Riwayat diabetes melitus : disangkal

6. Riwayat Gizi dan Kebiasaan


Sebelum sakit OS tidak dapat makan dengan teratur dikarenakan jadwal shift pekerjaannya.

7. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien adalah seorang laki-laki umur 25 tahun. Oasien sebelumnya bekerja di salah satu

minimarket di jakarta dan tempat tinggalnya berada di mes dimana satu kamar ditempati oleh

4-5 orang dan penghuninya sering berganti-ganti. Saat ini pasien tinggal dengan

keluarganyaa. Pasien berobat dengan fasilitas BPJS.

B. PEMERIKSAAN FISIK
I. Primary Survey
a. Airway : Bebas
b. I : pergerakan dinding dada kanan = simetris, thoracoabdominal
Breathing
pernafasan x/menit
P : krepitasi (-/-)
P : sonor / sonor
A : ronkhi basah kasar (-/-)
c. Circulation : Tekanan darah 1 1 0 / 7 0 mmHg, Nadi 1 0 8 x/menit

d. Disability : GCS E4V5M6, reflek cahaya (+/+) pupil isokor (3 mm/3 mm)

e. Exposure : lihat status lokalis; suhu 37,0C

II. Secondary Survey


: compos mentis, gizi kesan normoweight
Keadaan umum
: warna sawo matang
Kulit
: mesocephal, jejas (-)
Kepala
: Conjungtiva pucat (-/-) sclera ikterik (-/-) reflek cahaya (+/+),
Mata
pupil isokor (+/+)
: Nafas cuping hidung (-) secret (-) darah (-) septum deviasi (-)
Hidung
: Sekret (-/-) darah (-/-)
Telinga
: Sianosis bibir (-) mukosa basah (+) faring hiperemis (-)
Mulut
: Lihat status lokalis. Deviasi trachea (-), pembesaran KGB (-)
Leher
: Normochest, simetris, retraksi (-)
Thorax
Jantung
: ictus cordis tidak tampak
Inspeksi
: ictus cordis tidak kuat angkat
Palpasi
: batas jantung kesan tidak melebar, ictus cordis teraba di SIC V,
Perkusi
1 cm ke medial linea midclavicularis sinistra
: bunyi jantung I-II intensitas normal, regular,bising (-)
Auskultasi
Pulmo
: Pengembangan dinding dada kanan = kiri
Inspeksi
: Fremitus raba kanan = kiri, krepitasi (-/-)
Palpasi
: sonor / sonor
Perkusi
: SDV (normal/normal), ronkhi basah kasar (+/+)
Auskultasi
: BAK (+), BAK darah (-), BAK nanah (-), nyeri BAK (-).
Genitourinaria
Akral dingin -/- Oedem -/- -/--
Ekstremitas :
III. Status Lokalis : Vertebrae Lumbal
Regio : swelling (-), deformitas (-)
Look : Neurovasculer disturbance (-), nyeri tekan (+)
Feel : limited vertebrae lumbal movement
Move
Status neurologis : Dalam Batas Normal
Sensorik

Motorik : 55
33

C. ASSESSMENT I
Spondilitis TB dd spondilitis piogenik lain
Neoplasma medulla spinalis

D. PLANNING
O2 3 lpm nasal canul
Infus RL 20 tpm
OAT
Inj Ketorolac 5 mg/8 jam
Ro Thorax AP
Cek lab darah
Tranfusi 1 PRC
MRI
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Lab

Spesimen : Darah EDTA (23 Maret 2016)

Hb : 8,4 g/dl
Leukosit : 7500 /ul
Eritrosit : 3,1 juta/ul
Hematokrit : 23
Trombosit : 286 ribu/ul
MCV : 75 fL
MCH : 28 pg
MCHC : 37 g/dL
Hitung Jenis
Basofil :0
Eosinofil :2
Batang : 84
Segmen :8
Limfosit :6
Monosit :5
LED : 5mm/jam
2. Hasil rontgen (15 Maret 2017)
2. Hasil rontgen (22 Maret 2017)

F. ASSESSMENT II
Spondilitis TB Lumbal 4-5
Defnisi Spondilitis
S
pondilitis tuberkulosa adalah suatu peradangan tulang
1
vertebra yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosa.

Ins
idensi
I
nsidensi spondilitis tuberkulosa bervariasi di seluruh dunia dan
biasanya berhubungan dengan kualitas fasilitas pelayanan kesehatan
masyarakat yang tersedia serta kondisi sosial di negara tersebut. Saat
ini spondilitis tuberkulosa merupakan sumber morbiditas dan
mortalitas utama pada negara yang belum dan sedang berkembang,
terutama di Asia, dimana malnutrisi dan kepadatan penduduk
masih menjadi masalah utama.2

B
erdasarkan data surveilans dan survei, WHO memperkirakan
terdapat 9.27 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2007 (139 per
100.000 populasi). Dari 9.27 kasus baru ini, diperkirakan 44% atau 4.1
juta (61 per 100.000 populasi) adalah kasus baru dengan smear-positif.
India, China, Indonesia, Nigeria dan Afrika Selatan menduduki peringkat
pertama hingga kelima dalam hal jumlah total insiden kasus. Menurut
laporan WHO tahun 2009, insidensi tuberkulosa di Indonesia pada tahun
2007 adalah 528.000 kasus atau 228 per 100.000 populasi per tahun.
Dari jumlah ini, 236.000 merupakan kasus dengan smear positif atau 102
per 100.000. Prevalensi tuberkulosis di Indonesia pada tahun 2007adalah
3
566.000 atau 244 per 100.000 populasi per tahun.

P
ada kasus-kasus pasien dengan tuberkulosa, keterlibatan tulang
dan sendi terjadi pada kurang lebih 10% kasus13 dan lebih kurang 50%
10
kasus tuberkulosa tulang adalah s pondilitis tuberkulosa. Lebih kurang
4
45% pasien dengan keterlibatan spinal mengalami defisit neurologis.
Tulang belakang adalah daerah yang paling sering terlibat, yaitu 50%
dari seluruh kasus tuberkulosa tulang, 15% dari kasus tuberkulosa
5
ekstrapulmonal dan 3-5% dari seluruh kasus tuberkulosa.

W
alaupun setiap tulang atau sendi dapat terkena, namun
tulang yang mempunyai fungsi untuk menahan beban (weight bearing)
dan mempunyai pergerakan cukup besar (mobile) lebih sering terkena
dibandingkan dengan bagian yang lain. Tulang belakang merupakan
tempat yang paling sering terkena tuberkulosa tulang, diikuti kemudian
oleh tulang panggul, lutut dan tulang-tulang lain di kaki, sedangkan
2
tulang di lengan dan tangan jarang terkena. Area torako-lumbal
terutama torakal bagian bawah (umumnya T10) dan lumbal bagian atas
merupakan tempat yang paling sering terlibat 6,2 karena pada area ini
pergerakan dan tekanan dari weight bearing mencapai maksimum, lalu
diikuti dengan area servikal dan sakral.2

I
nsidensi keterlibatan daerah servikal adalah 2-3%.6 Pada penelitian
oleh Androniku, et al (2002), terhadap 42 pasien spondilitis tuberkulosa,
destruksi korpus vertebra paling sering melibatkan vertebra torakalis
(83%), diikuti vertebra lumbal (23%) dan vertebra servikal
(13%).7
Patogenesis

Tuberkulosis biasanya memiliki pola seperti yang diuraikan oleh


Wallgreen, yang membagi perkembangan dan resolusi penyakit menjadi
4 tahap. Tahap pertama, yang berlangsung dari 3 hingga 8 minggu
setelah Mt yang terhirup tertahan di alveoli, bakteri tersebar melalui
sirkulasi limfatik ke kelenjar limfe regional di paru, membentuk apa yang
disebut sebagai kompleks Ghon atau kompleks primer. Pada saat ini,
8
terdapat konversi reaktivitas tuberkulin.

Individu dengan tuberkulosa paru aktif mengeluarkan droplet yang


mengandung basil tuberkul yang dapat dihirup oleh individu lain (gambar
1). Jika droplet ini memasuki ruang alveolar, sel dendritik paru dan
makrofag akan menangkap mikroorganisme. Beberapa makrofag yang
terinfeksi akan tetap pada jaringan paru, sedangkan beberapa sel
dendritik yang terinfeksi akan bermigrasi ke kel limfe. Sel T di kelenjar
limfe akan teraktivasi dan bermigrasi untuk mengenali fokus
mycobacteria di paru. Lesi granulomatosa terbentuk dan mengandung
bakteri, mencegah perkembangan penyakit. Pada pasien dengan
imunokompeten, infeksi berhenti pada tahap ini. Walapun begitu, kontrol
infeksi tidak lengkap dan patogen tidak dimusnahkan, sehingga terdapat
9
risiko reaktivasi, bahkan bertahun-tahun setelah infeksi.
Gambar 1. Infeksi, perjalanan penyakit dan mekanisme imun
pada tuberkulosis
Dikutip dari : Kaufmann S H. New Issue in tuberculosis. Ann Rheum
Dis. 2004 ;63(Suppl II) : ii50-ii56)

T
ahap kedua, berlangsung selama 3 bulan, ditandai oleh penyebaran
bakteri secara hematogen ke berbagai organ; pada saat ini pada
beberapa individu, dapat terjadi penyakit akut dan kadang-kadang
fatal, dalam bentuk meningitis tuberkulosa atau tuberkulosa milier.
Inflamasi pada pleura dapat terjadi pada tahap ketiga, yang
berlangsung 3 hingga 7 bulan dan menyebabkan nyeri dada berat,
namun tahap ini dapat berlangsung hingga 2 tahun. Tahap akhir
atau resolusi kompleks primer, dimana penyakit ini tidak
berkembang, dapat berlangsung hingga 3 tahun. Pada tahap ini, lesi
ekstrapulmonal yang lebih perlahan berkembang, misalnya pada
tulang dan sendi, yang sering muncul sebagai nyeri punggung kronik
8,10
dapat terjadi pada beberapa individu.

S
pondilitis tuberkulosa biasanya terjadi akibat penyebaran hematogen
atau penyebaran langsung dari nodus limfatikus paraorta atau melalui
jalur limfatik ke tulang dari fokus infeksi tuberkulosa
2,11
ekstraspinal. Sumber infeksi yang paling sering adalah berasal
2
dari sistem pulmoner dan genitourinarius.

P
enyebaran basil dapat terjadi melalui arteri interkostalis atau lumbal
yang memberikan suplai darah ke dua vertebra yang berdekatan, yaitu
setengah bagian bawah vertebra di atasnya dan bagian atas vertebra
di bawahnya atau melalui pleksus Batsons yang mengelilingi columna
2,12
vertebralis yang menyebabkan banyak vertebra yang terkena.

Lesi mendasar pada spondilitis tuberkulosa adalah kombinasi dari


osteomyelitis dan artritis yang biasanya melibatkan lebih dari satu
vertebra. Aspek anterior dari corpus vertebra yang berdekatan dengan
subchondral plate biasanya terkena. Tuberkulosa dapat menyebar dari
daerah tersebut ke diskus intervertebralis di dekatnya. Pada orang
dewasa, penyakit pada diskus terjadi sekunder akibat penyebaran
infeksi dari korpus vertebra. Pada anak-anak, karena vaskularisasinya,
11
diskus dapat merupakan tempat infeksi primer.

Seperti yang diuraikan sebelumnya, penyebaran basil tuberkulosa secara


hematogen merupakan hal utama dalam patogenesis spondilitis
tuberkulosa. Keterlibatan langsung dari suatu tempat paraspinal yang
berdekatan jarang dijumpai. Penyebaran vena retrograde melalui
pleksus Batsons, yang berjalan secara subchondral pada korpus
vertebra dan mengalirkan darah pada vena basivertebral di tengah
korpus vertebra, telah diusulkan, namun tampaknya kurang diterima. Hal
yang lebih umum diterima adalah bahwa penyebaran hematogen terjadi
melalui jalur arteri. Pada orang dewasa, korpus vertebra memiliki suplai
arteri anterior dan posterior. Di anterior, arteri lumbal, interkostal atau
vertebra yang berdekatan bercabang menjadi sepasang arteri
segmental yang menembus ke korteks vertebra tanpa arteriol
anostomose. Di posterior, arteri spinal bercabang pada tiap foramen
intervertebral dan membentuk jaringan anastomotik kraniokaudal
dengan level yang berdekatan. (gambar 2a). Arteri nutrien, yang
mensuplai vertebra, bercabang menjadi end arterioles yang berakhir ke
aspek anterior dari vertebral end plates. Mycobacteria dapat
terperangkap (tertahan) di arteriol ini. (gambar 2b). Perluasan
lebih lanjut dari infeksi akan mengganggu korteks dan menyebar ke
celah diskus yang berdekatan (gambar 2c). Ini menyebabkan sedikit
penyempitan celah diskus, namun sangat minimal jika dibandingkan
dengan penyempitan diskus pada spondilitis piogenik. Seiring dengan
perkembangan infeksi, bagian lateral dan anterior dari korpus vertebra
dapat hancur dan menyebabkan kolaps angular. Penyebaran
subligamentosa lebih lanjut di bawah ligamen longitudinalis anterior
menyebabkan perluasan kraniokaudal dari infeksi ke multipel korpus
13
vertebra yang berdekatan, dengan ciri destruksi tulang anterior.
Gambar 2. Patogenesis Spondilitis
Tuberkulosa
Dikutip dari : Vuyst D, Vanhoenacker F, Gielen J, et al. Imaging features
of musculoskeletal tuberculosis. Eur Radiol. 2003 ; 13 : 1809-1819.

T
erjadinya nekrosis perkijauan yang meluas mencegah pembentukan
tulang baru dan pada saat yang bersamaan menyebabkan tulang
menjadi avaskular sehingga menimbulkan tuberculous sequestra,
terutama di regio torakal. Diskus intervertebralis yang avaskular relatif
lebih resisten terhadap infeksi tuberkulosa. Penyempitan rongga
diskus terjadi karena perluasan infeksi paradiskal ke dalam ruang
diskus, hilangnya tulang subchondral disertai dengan kolapsnya corpus
vertebra karena nekrosis dan lisis ataupun karena dehidrasi
diskus,sekunder karena perubahan kapasitas fungsional dari end
plate. Suplai darah juga akan semakin terganggu dengan timbulnya
2
end arteritis yang menyebabkan tulang menjadi nekrosis. Bersamaan
dengan perubahan pada tulang, terdapat infeksi jaringan lunak
dengan pembentukan abses dingin paravertebral dan/atau
keterlibatan epidural. Abses paraspinal dapat menjadi sangat
13
besar sehingga menekan struktur sekitarnya.

Pembentukan abses paravertebral terjadi hampir pada setiap kasus.


Dengan kolapsnya korpus vertebra maka jaringan granulasi tuberkulosa,
bahan perkijuan, dan tulang nekrotik akan menonjol keluar melalui
2
korteks dan berakumulasi di bawah ligamentum longitudinalis anterior.
Pada kasus infeksi servikalis atas, abses paravertebral dapat terlihat
13
sebagai abses retrofaring.
Gambar 3. Penyebaran basil tuberkel pada vertebra

McLain RF, Isada C. Spinal Tuberculosis Deserves A Place On The


Radar Screen. Cleveland Clinic Journal of Medicine.2004; 71:537-49.

Infeksi Bakteri dan Patologi Tulang

Sejumlah bakteri, termasuk Mt, tampaknya terlibat dalam patologi


tulang. Terdapat tiga kemungkinan bagaimana bakteri menyebabkan
hilangnya tulang yang patologis yaitu : (1) bakteri secara langsung
menghancurkan komponen nonseluler tulang dengan membebaskan
asam dan protease; (2) bakteri menyebabkan proses seluler yang
menstimulasi degradasi tulang, atau (3) bakteri menghambat
14
sintesis matriks tulang (gambar 4).
Gambar 4. Komponen Bakteri dan Patologi Tulang

Nair S P, Meghi S, Wilson M, et al. Bacterially induced bone destruction :


mechanisms and misconceptions. Infection and Immunity. 1997 ; 64 (7) :
2371-2380.

Tidak diketahui secara pasti bagaimana infeksi Mt pada tulang


menyebabkan penghancuran tulang. Tulang yang sehat dipertahankan
oleh keseimbangan dinamis antara sel osteoblast yang membentuk
matriks tulang dan sel osteoclast yang meresoprsi tulang. Infeksi Mt
pada tulang belakang tampaknya mengubah keseimbangan dinamis ini,
menyebabkan hilangnya matriks ekstraseluler dari tulang vertebra dan
kolaps vertebra. 15

Sekarang telah diketahui bahwa bakteri yang terlibat dalam


penyakit tulang mengandung atau memproduksi molekul dengan efek
poten terhadap sel tulang. Salah satu dari molekul ini adalah
chaperonin, yang merupakan subgrup chaperones. 15 Chaperones
atau protein stres atau heat-shock protein adalah protein yang
disintesis sebagai respon terhadap stres. Chaperone terlibat dalam
berbagai fungsi seluler esensial, seperti metabolisme, pertumbuhan,
diferensiasi dan kematian sel terprogram, dan mempengaruhi aktivasi
enzim dan reseptor. Salah satu subgrup chaperone, yaitu chaperonin
, kini banyak menjadi fokus perhatian. Chaperonin terdiri dari dua
kelompok protein, yaitu chaperonin 60 (cpn60) dan chaperonin 10
(cpn10). 16
Bukti menunjukkan bahwa molekul chaperone memiliki aksi biologis
selain aktivitas untuk protein-folding intraseluler.15 Aktivitas yang
sangat poten dari cpn60 adalah resorpsi tulang. Hilangnya tulang
adalah faktor kunci pada penyakit spondilitis tuberkulosa.25
Chaperonin60 adalah faktor osteolitik yang aktif. Telah dilaporkan bahwa
cpn60 tertentu juga dapat menstimulasi sintesis sitokin. Penelitian
terkini menunjukkan bahwa kerja dari cpn60 pada tulang mungkin
disebabkan oleh aktivasi langsung osteoklas dan perekrutan osteoklas.
14
Dalam suatu studi ditemukan bahwa aktivitas resorpsi tulang dari Mt
disebabkan oleh cpn10 yang sama aktifnya dengan sitokin osteolitik
yang paling poten, interleukin-1. Chaperonin 10 dari Mt juga
menghambat proliferasi dari osteoblas yang dikultur.15 Selain
menstimulasi penghancuran tulang secara in vitro dan pada kultur sel,
cpn10 Mt juga menginduksi monosit secara invitro untuk mensintesa
dan mensekresi sitokin pro-inflamasi.16 Cpn10 dipostulasikan sebagai
komponen utama yang bertanggung jawab terhadap resorpsi tulang
pada spondilitis tuberkulosa.17

Destruksi progresif tulang di bagian anterior dan kolapsnya bagian


tersebut akan menyebabkan hilangnya kekuatan mekanis tulang untuk
menahan berat badan sehingga kemudian akan terjadi kolaps vertebra
dan timbul deformitas berbentuk kifosis (angulasi posterior) yang
progresifitasnya tergantung dari derajat kerusakan,level lesi dan jumlah
vertebra yang terlibat. Bila sudah timbul deformitas ini, maka hal
2
tersebut merupakan tanda bahwa penyakit ini sudah meluas.

Deformitas kifosis disebabkan kolaps pada vertebra anterior. Suatu abses


dingin dapat terbentuk jika infeksi meluas ke ligamen dan jaringan lunak
11
di dekatnya. Di regio torakal kifosis tampak nyata karena adanya
kurvatura dorsal yang normal; di area lumbal hanya tampak sedikit
karena adanya normal lumbar lordosis dimana sebagian besar dari berat
badan akan ditransmisikan ke posterior sehingga terjadi parsial kolaps;
2,11
sedangkan di bagian servikal, kolaps hanya bersifat minimal.

Sejumlah mekanisme yang menimbulkan defisit neurologis dapat timbul


pada pasien dengan spondilitis tuberkulosa.Kompresi syaraf sendiri
dapat terjadi karena kelainan pada tulang (kifosis) atau pada kanalis
spinalis (karena perluasan langsung dari infeksi granulomatosa) tanpa
keterlibatan tulang. Kanalis spinalis dapat menyempit oleh abses,
jaringan granulasi atau invasi dura secara langsung, menyebabkan
2,18,19
kompresi medula spinalis dan defisit neurologis.
Fakta bahwa defisit neurologis sering dijumpai pada daerah servikal
dapat dijelaskan oleh diameter melintang kanalis spinalis yang relatif
kecil terhadap diameter medula spinalis servikalis. Gejala neurologis
dapat disebabkan oleh satu atau lebih penjelasan berikut : subluksasi
vertebra, penekanan medula spinalis oleh tulang, diskus atau abses,
6
respon inflamasi lokal dan vaskulitis tuberkulosa.

Gambaran Klinis

Gambaran klinis dari spondilitis tuberkulosa sangat bervariasi. Tipe


dan intensitas gejala bergantung pada level keterlibatan spinal,
4
keparahan penyakit dan durasi infeksi. Pasien biasanya muncul
dengan kombinasi dari manifestasi sistemik seperti penurunan berat
20,4
badan, demam, fatigue dan malaise dan nyeri punggung. Rasa
nyeri bervariasi dari ringan dan menetap hingga berat dan
berhubungan dengan aktivitas. Nyeri biasanya terlokalisir pada
tempat yang terlibat dan paling sering dijumpai pada vertebra
torakalis. Nyeri dapat bersifat konstan dan ringan, menggambarkan
destruksi progresif dari celah diskus dan elemen vertebra yang
terlibat, atau dapat juga berat dan secara langsung berhubungan
dengan pergerakan spinal dan weight-bearing, yang disebabkan oleh
disrupsi diskus lebih lanjut dan instabilitas spinal, kompresi akar
4
saraf atau fraktur patologis.

Abses dalam kanalis spinalis dapat menekan medula spinalis, dan


gejala neurologis dapat muncul dengan cepat. Bergantung pada level
keterlibatan,abses spinal dapat menyebabkan gejala penekanan akar
saraf, menyerupai herniasi diskus atau dapat menyebabkan kompresi
medula spinalis yang progresif menyebabkan paraplegia atau
4
tetraplegia jika tidak ditangani.

Gejala neurologis dari keterlibatan spinal tampak tidak jelas pada


awalnya, namun akan berkembang seiring waktu. Level keterlibatan
medula spinalis menentukan level gangguan. Jika tuberkulosis
servikal berkembang dan menyebabkan kompresi medula spinalis
atau akar saraf, tanda-tanda awal adalah kelemahan, nyeri, dan kebas
pada ekstremitas atas dan bawah. Deformitas atau abses
progresif kemudian akan meningkatkan tekanan pada medula
spinalis, dan gejala akhirnya berkembang menjadi
4
tetraplegi.
Spondilitis tuberkulosa servikalis merupakan gambaran yang jarang
dijumpai, namun lebih serius karena komplikasi neurologis yang serius
lebih cenderung terjadi. Kondisi ini dicirikan dengan nyeri dan kaku pada
leher. Pasien dengan lesi yang melibatkan vertebra servikal bawah
dapat mengalami disfagi atau stridor. Gejala dapat mencakup tortikolis,
11
suara parau dan defisit neurologis.

Hampir semua pasien dengan spondilitis tuberkulosa menunjukkan


berbagai derajat deformitas vertebra (kifosis). Defisit neurologis dapat
terjadi pada awal perjalanan penyakit, yang bergantung pada level
kompresi medula spinalis. Spondilitis tuberkulosa yang melibatkan
vertebra servikalis atas dapat menyebabkan gejala yang berkembang
cepat. Abses retrofaring dijumpai pada hampir semua kasus.
Manifestasi neurologis terjadi pada awal penyakit dan bervariasi dari
kelumpuhan saraf tunggal hingga hemiparese atau tetraparese.
Banyak penderita spondilitis tuberkulosa (62-90% pasien pada suatu
studi) tidak menunjukkan bukti adanya tuberkulosis ekstraspinal, yang
menyulitkan diagnosis yang segera.11

Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis spondilitis tuberkulosa harus dijajaki jika terdapat kecurigaan


klinis, bahkan jika tidak dijumpai gambaran radiologi paru yang
mendukung. Spondilitis tuberkulosa juga harus selalu diduga jika
11
gambaran radiologis menunjukkan proses destruksi vertebra.
Algoritma diagnostik untuk infeksi tulang belakang dapat dilihat pada
gambar 5.
Terlepas dari agen penyebabnya, gejala klinis yang paling sering adalah
21
nyeri punggung dan spasme otot para vertebral.
Gambar 5. Algoritma Diagnostik Infeksi Tulang Belakang
Kourbeti IS, Tsiodras S, Boumpas DT. Spinal infections : evolving
concepts. Curr Opin Rheumatol. 2008; 20 (4) : 471-479.

Dapat dijumpai peningkatan laju endap darah (tidak spesifk), dari 20


sampai lebih dari 100mm/jam. Pemeriksaan apus darah tepi
menunjukkan leukositosis dengan limfositosis yang bersifat relatif. 2

Foto polos anterior-posterior dan lateral merupakan pemeriksaan imejing


awal yang dilakukan pada tiap pasien dengan nyeri punggung kronis dan
progresif. Pada pasien dengan spondilitis tuberkulosa, gambaran
radiologis bergantung pada luas dan durasi infeksi. Gambaran radiologis
awal dapat terlihat normal pada penyakit tuberkulosis, namun seiring
perjalanan waktu, penyempitan celah diskus dan reaksi end-plate dapat
4
menjadi gambaran yang menonjol.

Foto polos harus dievaluasi untuk destruksi tulang, sklerosis tulang,


disrupsi end-plate,destruksi pedikel, diskus intervertebralis dan jaringan
19
lunak paravertebral. Gambaran radiologis yang mendukung diagnosis
tuberkulosis mencakup keterlibatan banyak level, relatif tidak terkenanya
diskus intervertebralis, abses paravertebral yang besar, dan penyebaran
27
subligamentosa.
Gambar 6. Foto Polos Vertebra pada Spondilitis Tuberkulosa
Dikutip dari : Harisinghani M G, McLoud T C, Shepard J, et al.
Tuberculosis from Head to Toe. Radiographics. 2000 ; 20 : 449-470

D
estruksi endplate dan destruksi korpus vertebra adalah dua tanda yang
paling bermanfaat pada foto polos untuk mendiagnosa spondilitis
tuberkulosa dengan sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi (>79%).
Adanya jaringan lunak paravertertebral dan destruksi pedikel memiliki
spesifisitas yang tinggi namun sensitifitas yang rendah, sedangkan
penyempitan diskus memiliki sensitifitas yang tinggi namun spesifisitas
yang rendah. Secara keseluruhan, sensitifitas dan spesifisitas dari foto
19
polos adalah 82.8% dan 83.9% secara berurutan. (tabel 1)

Tabel 1. Sensitifitas dan Spesifisitas Gambaran Foto Polos


Vertebra Pada Spondilitis tuberculosa.
Dikutip dari : Danchaivijitr N, Temram S, Thepmongkhol K, et al.
Diagnostic accuracy of MR imaging in tuberculous spondylitis. J Med
Assoc Thai. 2007 ; 90(8) : 1581- 1589

Pada foto polos, temuan dini yang paling sering adalah penyempitan
diskus dan osteolisis vertebra. Kemudian diikuti dengan bayangan
paravertebra, kolaps vertebra dan angulasi vertebra pada kasus lanjut.
Abnormalitas ini mungkin tidak dijumpai pada foto polos hingga 8
minggu.19,22

Kalsifikasi di sekitar paraspinal paling baik terlihat dengan CT Scan, yang


juga paling baik untuk menunjukkan sejumlah fragmen tulang kecil yang
mungkin masih berada di daerah tulang yang rusak. CT scan juga paling
baik menunjukkan perluasan anatomis dari destruksi tulang, terutama
elemen posterior dan juga membantu untuk mengklarifikasi apakah
gangguan pada kanalis spinalis disebabkan oleh keterlibatan jaringan
12
lunak atau tulang.

Magnetic resonance imaging (MRI) adalah modalitas pilihan untuk


evaluasi adanya infeksi tulang belakang.14 Magnetic resonance imaging
adalah metode investigasi pilihan untuk diagnosis spondilitis karena
berbagai keuntungannya, mencakup sensitifitas yang tinggi pada tahap
awal, gambaran epidural dan paravertebral yang lebih jelas, keterlibatan
medula spinalis dan kemungkinan untuk membedakan infeksi tuberkulosa
dari yang lain.19

Mycobacterium tuberculosis membentuk tuberkel dengan nekrosis central


caseating yang menunjukkan intensitas sinyal intermediat pada
gambaran T2-weighted. Spondilitis tuberkulosa menunjukkan derajat
24
edema marrow yang kurang luas dibandingkan spondilitis piogenik.
Pada MRI, berbagai gambaran yang perlu dievaluasi adalah intensitas
sinyal dari vertebra dan diskus intervertebralis yang terlibat pada
T1W, T2W dan gambaran contrast-enhanced, destruksi korpus vertebra
dan vertebral end plate, luasnya keterlibatan korpus vertebra, massa
jaringan lunak paraspinal atau pembentukan abses, derajat gangguan
kanalis spinalis dengan atau tanpa kompresi akar saraf atau medula
19
spinalis dan alignment vertebra.

Penelitian oleh Kotze dkk (2006) terhadap gambaran MRI 23 pasien


spondilitis tuberkulosa yang telah dikonfirmasi secara histologis dan
menemukan gambaran sebagai berikut : pembentukan abses
paravertebral yang melibatkan banyak level, penyebaran subligamentosa
ke berbagai level, hiperintensitas pada vertebra yang terkena pada
gambaran T2 dan hipointensitas vertebra yang terkena pada
gambaran T1.18

Perubahan radiologis tipikal adalah perubahan pada dua korpus


vertebra yang berdekatan dengan destruksi diskus intervertebralis dan
adanya abses paravertebral. Gambaran MRI dengan sensitifitas dan
spesifsitas yang tinggi (>80%) adalah disrupsi endplate (100%,81.4%),
jaringan lunak paravertebral (96.8%, 85.3%) dan intensitas sinyal tinggi
pada diskus intervertebralis pada T2W (80.6%, 82.4%). Tanda pada MRI
dengan sensitifitas tinggi namun spesifisitas rendah adalah edema bone
marrow (90.3%, 76.5%), bone marrow enhancement (100%, 42.5%),
keterlibatan elemen posterior (93.5%, 76.5%), stenosis kanalis (87.1%,
26.5%) dan kompresi medula spinalis atau akar saraf 980.6%, 38.2%).
Gambaran MRI dengan sensitifitas yang rendah namun spesifisitas tinggi
adalah enhancement diskus intervertebralis (63.3%, 84.2%), kolaps
vertebra (58.1%, 85.3%), dan deformitas kifosis (67.7%, 82.4%). Detail
sensitifitas dan spesifisitas tiap gambaran MRI terlihat pada tabel 2.
Secara keseluruhan, sensitifitas dan spesifisitas MRI untuk spondilitis
tuberkulosa adalah 100% dan 88.2% secara berturut-turut.19
Tabel 2. Sensitifitas dan Spesifsitas Gambaran MRI pada Spondilitis
Tuberkulosa
Dikutip dari : Danchaivijitr N, Temram S, Thepmongkhol K, et al.
Diagnostic accuracy of MR imaging in tuberculous spondylitis. J Med
Assoc Thai. 2007 ; 90(8) : 1581- 1589

Gambar 7. Gambaran MRI Spondilitis Tuberkulosa


Dikutip dari :Vuyst D, Vanhoenacker F, Gielen J, et al. Imaging features
of musculoskeletal tuberculosis. Eur Radiol. 2003 ; 13 : 1809-1819.

Jika terdapat kecurigaan klinis terhadap adanya suatu spondilitis


tuberkulosa dan gambaran radiologis menunjukkan lesi destruktif yang
membutuhkan terapi bedah, maka debridement lesi akan menyediakan
materi yang cukup banyak untuk kultur dan diagnosis. Namun, jika
ditemukan pada awal perjalanan penyakit, mungkin tidak ada indikasi
untuk intervensi bedah. Untuk kasus ini, biopsi jarum yang diarahkan
dengan CT atau MRI dapat memberikan material diagnostik. Dengan
arahan imejing, jarum halus dapat ditujukan ke rongga abses melalui
dinding otot posterior. Jika didapatkan cairan abses, cairan ini dapat
ditarik melalui jarum halus tanpa kesulitan. Jika dijumpai jaringan
granulasi, mungkin diperlukan suatu trocar untuk memperoleh
4
specimen jaringan.

Penanganan Spondilitis tuberculosis

Pada pasien dengan infeksi spinal, tujuan terapi adalah untuk


menghilangkan penyakit dan untuk mencegah atau memperbaiki defisit
4
neurologis dan deformitas spinal. Penatalaksanaan spondilitis
tuberkulosa masih kontroversi; beberapa penulis menganjurkan
pemberian obat-obatan saja sedangkan yang lain merekomendasikan
pemberian obat-obatan dengan intervensi bedah. Penatalaksanaan
optimal spondilitis tuberkulosa bersifat individual pada tiap kasus. Strategi
manajemen optimal bergantung pada luas dan lokasi destruksi tulang,
adanya deformitas spinal dan instabilitas, dan keparahan gangguan
6
neurologis. Dekompresi agresif, pemberian obat antituberkulosa selama
9-12 bulan dan stabilisasi spinal dapat memaksimalkan terjaganya fungsi
6
neurologis.

Penatalaksanaan Medis/Konservatif
2
1. Pemberian Nutrisi yang Bergizi
2. Istirahat dan Immobilisasi
I
stirahat dapat dilakukan dengan memakai gips untuk melindungi
tulang belakang dalam posisi ekstensi terutama pada keadaan yang
akut atau fase aktif. Pemberian gips ini ditujukan untuk mencegah
pergerakan dan mengurangi kompresi dan deformitas lebih lanjut.
Istirahat di tempat tidur dapat berlangsung 3-4 minggu, sampai
dicapai keadaan yang tenang dengan melihat tanda-tanda klinis,
radiologis dan laboratorium. 2 Immobilisasi leher dapat dilakukan
10
dengan menggunakan cervical brace selama 6-18 bulan.

3. Pemberian Obat Anti Tuberkulosa


P
emberian obat-obatan tetap menjadi prinsip utama
penatalaksanaan pada individu dengan tuberkulosis. Awalnya
dianggap bahwa tuberkulosa skeletal memerlukan penatalaksanaan
selama 12-18 bulan akibat penetrasi yang buruk dari obat
antituberkulosis ke struktur tulang; walaupun begitu terdapat
penelitian yang menunjukkan bahwa tuberkulosa skeletal dapat
diterapi dengan pemberian obat yang lebih singkat. Untuk infeksi
spondilitis tuberkulosa tanpa komplikasi, British and American
Thoracic Societies merekomendasikan pengobatan selama 6 bulan.
Respon pengobatan dapat dinilai dengan radiologis, perbaikan nyeri
punggung, dan kembalinya defisit neurologis,jika ada. Jika pasien
tidak menunjukkan respon terhadap terapi, pengobatan harus
diperpanjang hingga 9-12 bulan. Terapi untuk individu yang sensitif
terhadap obat terdiri dari 2 fase yaitu fase inisial atau intensif
selama 2 bulan dengan 4 jenis obat, yaitu isoniazid (H)
(5mg/kgBB/hari 10 mg/kgBB/hari hingga 300 mg/hari) , rifampicin
(R) (10 mg/kgBB/hari hingga 600 mg/hari), pyrazinamide (Z)
(15-30 mg/kgBB/hari) dan etambutol (E) (15-25 mg/kgBB/hari) ,
diikuti dengan fase lanjutan 4-7 bulan, dengan isoniazid dan
2,5,11
rifampicin.
Menurut The Medical Research Council, terapi pilihan untuk
spondilitis tuberkulosa di negara yang sedang berkembang adalah
2
isoniazid dan rifampicin selama 6-9 bulan. Menurut pedoman
diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia, lama pengobatan
untuk tuberkulosa tulang adalah 9-12 bulan, dengan panduan OAT
28
yang diberikan adalah 2 RHZE/ 7-10 RH.

Penatalaksanaan Bedah
Intervensi bedah diperlukan pada kasus lanjut dengan destruksi tulang
ekstensif, pembentukan abses atau gangguan neurologis. Tujuan
pembedahan adalah untuk mencegah atau memperbaiki defisit neurologis
dan deformitas spinal. Pembedahan juga memfasilitasi kemoterapi yang
sukses, karena kavitas abses menimbulkan lingkungan yang melindungi
basil dari antibiotik sistemik. Ketika diperlukan pembedahan, hasilnya
paling baik jika dilakukan pada awal proses penyakit, sebelum terbentuk
fibrosis dan jaringan parut. Selanjutnya,pembentukan jaringan parut
yang padat menyebabkan perlekatan ke pembuluh darah besar atau
struktur vital, menyebabkan diseksi dan paparan pembedahan
menjadi berbahaya. Respon klinis terhadap pembedahan juga lebih
cepat dan lebih lengkap pada pasien dengan penyakit aktif jika
4,25
dibandingkan dengan pasien dengan penyakit kronis dan deformitas.

I
ndikasi untuk pembedahan pada spondilitis tuberkulosa secara
umum mencakup defisit neurologis (perburukan neurologis akut,
paraparesis), deformitas spinal dengan instabilitas atau nyeri, tidak
menunjukkan respon terhadap terapi medis (kifosis atau instabilitas yang
6,5,11
terus berlanjut), abses paraspinal yang besar, biopsi diagnsotik.

Indikasi pembedahan mencakup faktor klinis (keterlibatan saraf,


paraplegia, dan abses retrofaring besar yang menyebabkan gangguan
ventilasi atau menelan), faktor pengobatan (defisit persisten atau
progresif saat pemberian terapu konservatif yang sesuai, faktor imejing
yaitu keterlibatan panvertebral (skoliosis atau kifosis berat pada foto
polos,destruksi global pada CT atau MRI) atau kompresi ekstradural
(kompresi medula spinalis akibat jaringan granulasi pada MRI) dan
27
faktor pasien (spasme yang menyakitkan atau kompresi akar saraf).

Keterlibatan vertebra servikalis cukup jarang dan pasien biasanya


menunjukkan gejala nyeri, kaku dan tortikolis. Abses yang besar
dapat menyebabkan suara serak, stridor dan disfagia. Indikasi untuk
pembedahan adalah jika abses menyebabkan disfagia, stridor, atau
kesulitan bernafas.27 Pada spondilitis tuberkulosa yang melibatkan
vertebra servikalis, faktor yang membenarkan intervensi bedah dini
adalah defisit neurologis dengan frekuensi dan keparahan yang berat,
kompresi abses yang berat yang menyebabkan disfagi atau asfiksia,
instabilitas vertebra servikalis.11

Dengan indikasi yang tepat, tindakan bedah lebih unggul dalam


mencegah perburukan neurologis, mempertahankan stabilitas, pemulihan
dan mobilisasi segera. Oguz et al (2008) menerapkan suatu sistem
klasifikasi untuk panduan terapi dan membagi spondilitis tuberkulosa
26
menjadi tiga tipe. (table 6)

Tabel 3. Klasifikasi Spondilitis Tuberkulosa

Dikutip dari : Oguz E, Sehirlioglu A, Altinmakas M,et al. A new classification


and guide for surgical treatment of spinal tuberculosis. International
Orthopaedics. 2008 ; 32 : 127-133
DAFTAR PUSTAKA

1. Pedoman Penatalaksanaan spondilitis Tuberkulosa. Departemen


Neurologi FK USU Medan. 2008.

2. Vitriana. Spondilitis Tuberkulosa. 2002. Available


from :
pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/spondilitis_tuberkulosa.pdf

3. Global tuberculosis control : epidemiology, strategy, fnancing :


WHO report 2009. Available from :
www.who.int/tb/publications/...report/2009/en/index.html

4. McLain RF, Isada C. Spinal Tuberculosis Deserves A Place On The


Radar Screen. Cleveland Clinic Journal of Medicine.2004; 71:537-49.

5. McDevitt P, Moyer MT, Goldman JN, Mathew A, et al. Extrapulmonary


tuberculosis presenting as Potts disease with associated
paraesophageal fistula. Hospital Physician. 2008 : 36-40

6. Abdeen K. Surgery for tuberculosis of the cervical spine. The


Internet Journal of Neurosurgery. 2006 ; 3 : 2

7. Androniku S, Jadwat S, Douis H. Patterns of disease on MRI in 53


children with tuberculous spondylitis and the role of gadolinium.
Pediatr Radiol. 2002 ; 32 : 798-805.

8. Smith I. Mycobacterium tuberculosis pathogenesis and molecular


determinants of virulence. Clinical Microbiology Reviews. 2003 ; 16 :
463-496

9. Kaufmann S H. New Issue in tuberculosis. Ann Rheum Dis. 2004 ;


63(Suppl II) : ii50- ii56)
10. Solomon L, warwick DJ, Nayagam S. Apleys system of
orthopaedics and fractures. Eight edition. New York :Oxford university
press, 2001.

11. Hidalgo JA. Pott Disease (Tuberculous Spondylitis). 2008.


Available from : emedicine.medscape.com/article/226141

12. Salter RB. Textbook of disorders and injuries of the


musculoskeletalsystem. Third edition. Philadelphia : Lippincott William
& Wilkins, 1999 : 226-231.

13. Vuyst D, Vanhoenacker F, Gielen J, et al. Imaging features of


musculoskeletal tuberculosis. Eur Radiol. 2003 ; 13 : 1809-1819.

14. Nair S P, Meghi S, Wilson M, et al. Bacterially induced bone


destruction : mechanisms and misconceptions. Infection and
Immunity. 1997 ; 64 (7) : 2371-2380.

15. Meghji S, White PA, Nair S P, et al. Mycobacterium tuberculosis


chaperonin stimulates bone resorption : a potential contributory
factor in Potts disease. J Exp Med. 1997 ; 1241-1246.

16. Ranford JC, Coates A R M, Henderson B. Chaperonins are cell-


signalling proteins : the unfolding bioligy of molecular chaperones.
Expert reviews in molecular medicine. 2000. Available from :
http://www.ermm.cbcu.cam.ac.uk

17. Qamra R, Mande SC, Coates ARM, et al. The unusual


chaperonins of Mycobacterium tuberculosis. Tuberculosis. 2005 ; 85 :
385-394.

18. Kotze D J, Erasmus L J. MRI fndings in proven


mycobacterium tuberculosis spondylitis. SA journal of Radiology.
2006 ; 10 (2) : 6-12.
19. Danchaivijitr N, Temram S, Thepmongkhol K, et al.
Diagnostic accuracy of MR imaging in tuberculous spondylitis. J Med
Assoc Thai. 2007 ; 90(8) : 1581- 1589.

20. American Thoracic Society. Diagnostic standards and


classification of tuberculosis in adults and children. Am J respir Crit.
2000 ; 161 : 1376-1395.

21. Kourbeti IS, Tsiodras S, Boumpas DT. Spinal infections : evolving


concepts. Curr Opin Rheumatol. 2008 ; 20 (4) : 471-479.

22. Josefer SS, Cooper PR. Modern imaging of spinal tuberculosis.


J Neurosurg Spine. 2005 ; 2: 145-150

23. Ledermann H P, Schweitzer M E, Morrison W B, et al. MR


imaging fndings in spinal infections : rules or myths ?. RSNA. 2003 ;
228 (2) : 506-514

24. Hong SH, Kim SM, Ahn JM,et al. Tuberculous versus pyogenic
arthritis: MR imaging evaluation. Radiology. 2001 ; 218 : 848-853.

25. Ge Z, Wang Z, Wei M. Measurement of the concentration of


three antituberculosis drugs in the focus of spinal tuberculosis. Eur
Spine . 2008 ; 17 : 1482-1487.

26. Oguz E, Sehirlioglu A, Altinmakas M,et al. A new classification


and guide for surgical treatment of spinal tuberculosis. International
Orthopaedics. 2008 ; 32 : 127-133.

27. Spiegel DA, Singh GK, Banskota AK. Tuberculosis of the


Musculoskeletal System.

28. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di


Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Jakarta. 2006

Anda mungkin juga menyukai