Anda di halaman 1dari 12

Al-Kindi

1.Sejarah Hidup
Al-Kindi, nama lengkapnya adalah Abu Yusuf Yakub ibnu Ishaq ibnu al-Shabbah
ibnu Imron ibnu Muhammad ibnu al-Asyas ibnu Qais al-Kindi. Kindah merupakan
suatu nama kabilah terkemuka pra-Islam yang merupakan cabang dari Bani Kahlan
yang menetap di Yaman. Kabilah ini pulalah yang melahirkan seorang tokoh
sastrawan yang terbesar kesusasteraan Arab, sang penyair pangeran Imr Al-Qais, yang
gagal untuk memulihkan tahta kerajaan Kindah setelah pembunuhan ayahnya.

Al-Kindi dilahirkan di Kufah sekitar tahun 185 H dari keluarga kaya dan
terhormat. Ayahnya, Ishaq ibnu Al- Shabbah, adalah gubernur Kufah pada masa
pemerintahan Al-Mahdi dan Ar-Rasyid. Al-kindi sendiri mengalami masa
pemerintahan lima khalifah Bani Abbas, yakni Al-Amin, Al-Mamun, Al-Mutasim,
Al- Wasiq, dan Al-Mutawakkil.

Dalam hal pendidikan Al-Kindi pindah dari Kufah ke Basrah, sebuah pusat studi
bahasa dan teologi Islam. Dan ia pernah menetap di Baghdad, ibukota kerajaan Bani
Abbas, yang juga sebagai jantung kehidupan intelektual pada masa itu. Ia sangat
tekun mempelajari berbagai disiplin ilmu. Oleh karena itu tidak heran jika ia dapat
menguasai ilmu astronomi,ilmu ukur, ilmu alam, astrologi, ilmu pasti, ilmu seni
musik meteorologi,, optika, kedokteran, matematika, filsafat, dan politik.
Penguasaannya terhadap filsafat dan ilmu lainnya telah menempatkan ia menjadi
orang Islam pertama yang berkebangsaan Arab dalam jajaran filosof terkemuka.
Karena itu pulalah ia dinilai pantas menyandang gelar Faiasuf al-Arab ( filosof
berkebangsaan Arab).

2.Filsafat atau Pemikirannya

a.Talfiq
Al-Kindi berusaha memadukan (talfiq) antara agama dan filsafat. Menurutya
filsafat adalah pengetahuan yang benar ( knowledge of truth). Al-Quran yang
membawa argumen-argumen yang lebih meyakinkan dan benar tidak mungkin
bertentangan dengan kebenaran yang dihasilkan oleh filsafat. Karena itu mempelajari
filsafat dan berfilsafat tidak dilarang bahkan teologi bagian dari filsafat, sedangkan
umat Islam diwajibkan mempelajari teologi. Bertemunya agama dan filsafat dalam
kebenaran dan kebaikan sekaligus menjadi tujuan dari keduanya. Agama disamping
wahyu mempergunakan akal, dan filsafat juga mempergunakan akal. Yang benar
pertama bagi Al-Kindi ialah Tuhan. Filsafat dengan demikian membahas tentang
Tuhan dan agama ini pulalah dasarnya. Filsafat yang paling tinggi ialah filsafat
tentang Tuhan.

Dengan demikian, orang yang menolak filsafat maka orang itu menurut Al-Kindi
telah mengingkari kebenaran, kendatipun ia menganggap dirinya paling benar.
Disamping itu, karena pengetahuan tentang kebenaran termasuk pengetahuan
tentang Tuhan, tentang ke-Esaan-Nya, tentang apa yang baik dan berguna, dan juga
sebagai alat untuk berpegang teguh kepadanya dan untuk menghindari hal-hal
sebaliknya. Kita harus menyambut dengan gembira kebenaran dari manapun
datangnya. Sebab, tidak ada yang lebih berharga bagi para pencari kebenaran
daripada kebenaran itu sendiri. Karena itu tidak tidak wajar merendahkan dan
meremehkan orang yang mengatakan dan mengajarkannya. Tidak ada seorang pun
akan rendah dengan sebab kebenaran, sebaliknya semua orang akan menjadi mulia
karena kebenaran. Jika diibaratkan maka orang yang mengingkari kebenaran tersebut
tidak beda dengan orang yang memperdagangkan agama, dan pada akikatnya orang
itu tidak lagi beragama.

Pengingkaran terhadap hasil-hasil filsafat karena adanya hal-hal yang


bertentangan dengan apa yang menurut mereka telah mutlak digariskan Al-Quran.
Hal semacam ini menurut Al-Kindi, tidak dapat dijadikan alasan untuk menolak
filsafat, karena hal itu dapat dilakukan tawil. Namun demikian, tidak bisa dipungkiri
perbedaaan antara keduanya, yaitu:

1) Filsafat termasuk humaniora yang dicapai filosof dengan berpikir, belajar,


sedangkan agama adalah ilmu ketuhanan yang menempati tingkat tertinggi karena
diperoleh tanpa melalui proses belajar, dan hanya diterima secara langsung oleh para
Rasul dalam bentuk wahyu.

2) Jawaban filsafat menunjukan ketidakpastian ( semu ) dan memerlukan berpikir atau


perenungan. Sedangkan agama lewat dalil-dalilnya yang dibawa Al-Quran memberi
jawaban secara pasti dan menyakinkan dengan mutlak.

3) Filsafat mempergunakan metode logika, sedangkan agama mendekatinya dengan


keimanan.

Walaupun Al-Kindi termasuk pengikut rasionalisme dalam arti umum, tetapi ia tidak
mendewa-dewakan akal.

b.Jiwa
Tentang jiwa, menurut Al-Kindi; tidak tersusun, mempunyai arti penting,
sempurna dan mulia. Substansi ruh berasal dari substansi Tuhan. Hubungan ruh
dengan Tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Selain itu jiwa
bersifat spiritual, ilahiah, terpisah dan berbeda dari tubuh. Sedangkan jisim
mempunyai sifat hawa nafsu dan pemarah. Antara jiwa dan jisim, kendatipun berbeda
tetapi saling berhubungan dan saling memberi bimbingan. Argumen yang diajukan
Al-Kindi tentang perlainan ruh dari badan ialah ruh menentang keinginan hawa nafsu
dan pemarah. Sudah jelas bahwa yang melarang tidak sama dengan yang dilarang.

Dengan pendapat Al-Kindi tersebut, ia lebih dekat kepada pemikiran Plato


ketimbang pendapat Aristoteles. Aristoteles mengatakan bahwa jiwa adalah baharu,
karena jiwa adalah bentuk bagi badan. Bentuk tidak bisa tinggal tanpa materi,
keduanya membentuk kesatuan isensial, dan kemusnahan badan membawa kepada
kemusnahan jiwa. Sedangkan Plato berpendapat bahwa kesatuan antara jiwa dan
badan adalah kesatuan accidental dan temporer. Binasanya badan tidak
mengakibatkan lenyapnya jiwa. Namun Al-Kindi tidak menyetujui Plato yang
mengatakan bahwa jiwa berasal dari alam ide. Al-Kindi berpendapat bahwa jiwa
mempunyai tiga daya, yakni: daya bernafsu, daya pemarah, dan daya berpikir.
Kendatipun bagi Al-Kindi jiwa adalah qadim, namun keqadimannya berbeda dengan
qadimnya Tuhan. Qadimnya jiwa karena diqadimkan oleh Tuhan.

3.Moral
Menurut Al-Kindi, filsafat harus memperdalam pengetahuan manusia tentang diri
dan bahwa sorang filosof wajib menempuh hidup susila. Kebijaksanaan tidak dicari
untuk diri sendiri (Aristoteles), melainkan untuk hidup bahagia. Al-Kindi mengecam
para ulama yang memperdagangkan agama untuk memperkaya diri dan para filosof
yang memperlihatkan jiwa kebinatangan untuk mempertahankan kedudukannya
dalam negara. Ia merasa diri korban kelaliman negara seperti Socrates. Dalam
kesesakkan jiwa filsafat menghiburnya dan mengarahkannya untuk melatih kekangan,
keberanian dan hikmak dalam keseimbangan sebagai keutamaan pribadi, tetapi pula
keadilan untuk meningkatkan tata negara. Sebagai filsuf, Al-Kindi prihatin kalau-
kalau syariat kurang menjamin perkembangan kepribadian secara wajar. Karena itu
dalam akhlak atau moral dia mengutamakan kaedah Socrates.

B.Al-Farabi

1.Biografi
Nama lengkapnya Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn
Auzalagh. Dikalangan orang-orang latin abad tengah, Al-Farabi lebih dikenal dengan
Abu Nashr. Ia lahir di Wasij, Distrik Farab (sekarang kota Atrar), Turkistan pada 257
H. Pada tahun 330 H, ia pindah ke Damaskus dan berkenalan dengan Saif al-Daulah
al-Hamdan, sultan dinasti Hamdan di Allepo. Sultan memberinya kedudukan sebagai
seorang ulama istana dengan tunjangan yang sangat besar, tetapi Al-Farabi memilih
hidup sederhana dan tidak tertarik dengan kemewahan dan kekayaan. Al-Farabi
dikenal sebagai filsuf Islam terbesar, memiliki keahlian dalam banyak bidang
keilmuan dan memandang filsafat secara utuh dan menyeluruh serta mengupasnya
secara sempurna, sehingga filsuf yang datang sesudahnya, seperti Ibnu Sina dan Ibn
Rusyd banyak mengambil dan mengupas sistem filsafatnya.

2.Pemikirannya

a)Pemaduan Filsafat
Al-Farabi berusaha memadukan beberapa aliran filsafat yang berkembang
sebelumnya terutama pemikiran Plato, Aristoteles, dan Plotinus, juga antara agama
dan filsafat. Karena itu ia dikenal filsuf sinkretisme yang mempercayai kesatuan
filsafat. Dalam ilmu logika dan fisika, ia dipengaruhi oleh Aristoteles. Dalam masalah
akhlak dan politik, ia dipengaruhi oleh Plato. Sedangkan dalam hal matematika, ia
dipengaruhi oleh Plotinus.

Untuk mempertemukan dua filsafat yang berbeda seperti dua halnya Plato dan
Aristoteles mengenai idea. Aristoteles tidak mengakui bahwa hakikat itu adalah idea,
karena apabila hal itu diterima berarti alam realitas ini tidak lebih dari alam khayal
atau sebatas pemikiran saja. Sedangkan Plato mengakui idea merupakan satu hal yang
berdiri sendiri dan menjadi hakikat segala-galanya. Al-Farabi menggunakan
interpretasi batini, yakni dengan menggunakan tawil bila menjumpai pertentangan
pikiran antara kedanya. Menurut Al-Farabi, sebenarnya Aristoteles mengakui alam
rohani yang terdapat diluar alam ini. Jadi kedua filsuf tersebut sama-sama mengakui
adanya idea-idea pada zat Tuhan. Kalaupun terdapat perbedaan, maka hal itu tidak
lebih dari tiga kemungkinan:

1) Definisi yang dibuat tentang filsafat tidak benar

2) Adanya kekeliruan dalam pengetahuan orang-orang yang menduga bahwa antara


keduanya terdapat perbedaan dalam dasa-dasar falsafi.

3) Pengetahuan tentang adanya perbedaan antara keduanya tidak benar, padahal


definisi keduanya tidaklah berbeda, yaitu suatu ilmu yang membahas tentang yang
ada secara mutlak.

Adapun perbedaan agama dengan filsafat, tidak mesti ada karena keduanya
mengacu kepada kebenaran, dan kebenaran itu hanya satu, kendatipun posisi dan cara
memperoleh kebenran itu berbeda, satu menawarkan kebenaran dan lainnya mencari
kebenaran. Kalaupun terdapat perbedaan kebenaran antara keduanya tidaklah pada
hakikatnya, dan untuk menghindari itu digunakab tawil filosofis. Dengan demikian,
filsafat Yunani tidak bertentangan secara hakikat dengan ajaran Islam, hal ini tidak
berarti Al-farabi mengagungkan filsafat dari agama. Ia tetap mengakui bahwa ajaran
Islam mutlak kebenarannya.

b)Jiwa
Adapun jiwa, Al-Farabi juga dipengaruhi oleh filsafat Plato, Aristoteles dan
Plotinus. Jiwa bersifat ruhani, bukan materi, terwujud setelah adanya badan dan tidak
berpindah-pindah dari suatu badan ke badan lain. Kesatuan antara jiwa dan jasad
merupakan kesatuan secara accident, artinya antara keduanya mempunyai substansi
yang berbeda dan binasanya jasad tidak membawa binasanya jiwa. Jiwa manusia
disebut al-nafs al-nathiqah, yang berasal dari alam ilahi, sedangkan jasad berasal dari
alam khalq, berbentuk, beruapa, berkadar, dan bergerak. Jiwa diciptakan tatkala jasad
siap menerimanya.

Mengenai keabadian jiwa, Al-Farabi membedakan antara jiwa kholidah dan jiwa
fana. Jiwa khalidah yaitu jiwa yang mengetahui kebaikan dan berbuat baik, serta
dapat melepaskan diri dari ikatan jasmani. Jiwa ini tidak hancur dengan hancurnya
badan.

c)Politik
Pemikiran Al-Farabi lainnya yang sangat penting adalah tentang politik yang dia
tuangkan dalam karyanya, al-Siyasah al- Madiniyyah (Pemerintahan Politik) dan ara
al-Madinah al-Fadhilah (Pendapat-pendapat tentang Negara Utama) banyak
dipengaruhi oleh konsep Plato yang menyamakan negara dengan tubuh manusia. Ada
kepala, tangan, kaki dan anggota tubuh lainnya yang masing-masing mempunyai
fungsi tertentu. Yang paling penting dalam tubuh manusia adalah kepala, karena
kepalalah (otak) segala perbuatan manusia dikendalikan, sedangkan untuk
mengendalikan kerja otak dilakukan oleh hati. Demikian juga dalam negara. Menurut
Al-Farabi yang amat penting dalam negara adalah pimpinannya atau penguasanya,
bersama-sama dengan bawahannya sebagai mana halnya jantung dan organ-organ
tubuh yang lebih rendah secara berturut-turut. Pengusa ini harus orang yang lebih
unggul baik dalam bidang intelektual maupun moralnya diantara yang ada. Disamping
daya profetik yang dikaruniakan Tuhan kepadanya, ia harus memilki kualitas-kualitas
berupa: kecerdasan, ingatan yang baik, pikiran yang tajam, cinta pada pengetahuan,
sikap moderat dalam hal makanan, minuman, dan seks, cinta pada kejujuran,
kemurahan hati, kesederhanaan, cinta pada keadilan, ketegaran dan keberanian, serta
kesehatan jasmani dan kefasihan berbicara.

Tentu saja sangat jarang orang yang memiliki semua kualitas luhur tersebut, kalau
terdapat lebih dari satu, maka menurut Al-Farabi yang diangkat menjadi kepala negara
seorang saja, sedangkan yang lain menanti gilirannya. Tetapi jika tidak terdapat
seorang pun yang memiliki secara utuh. Dua belas atribut tersebut, pemimpin negara
dapat dipikul secara kolektif antara sejumlah warga negara yang termasuk kelas
pemimpin.

Pemikiran Al-Farabi tentang kenegaraan terkesan ideal sebagaimana halnya


konsepsi yang ditawarkan oleh Plato. Hal ini dimungkinkan, Al-Farabi tidak pernah
memangku suatu jabatan pemerintahan, ia lebih menyenangi berkhalawat,
menyendiri, sehingga ia tidak mempunyai peluang untuk belajar dari pengalaman
dalam pengelolaan urusan kenegaraan. Kemungkinan lain yang melatarbelakangi
pemikiran Al-Farabi itu adalah situasi pada waktu itu, kekuasaan Abbassiyah
diguncangkan oleh berbagai gejolak, pertentangan dan pemberontakan.

C.Ibnu Sina

1.Biografi
Nama lengkapnya Abu Ali al- Husien ibn Abdullah ibn Hasan ibn Ali ibn Sina. Ia
dilahirkan didesa Afsyanah, dekat Buhkara, Persia Utara pada 370 H. Ia mempunyai
kecerdasan dan ingatan yang luar biasa sehingga dalam usia 10 tahun telah mampu
menghafal Al-Quran, sebagian besar sastra Arab dan juga hafal kitab metafisika
karangan Aristoteles setelah dibacanya empat puluh kali. Pada usia 16 tahun ia telah
banyak menguasai ilmu pengetahuan, sastra arab, fikih, ilmu hitung, ilmu ukur,
filsafat dan bahkan ilmu kedokteran dipelajarinnya sendiri.

2.Pemikirannya

a)Kenabian
Sejalan dengan teori kenabian dan kemukjizatan, ibnu Sina membagi manusia
kedalam empat kelompok: mereka yang kecakapan teoretisnya telah mencapai
tingkat penyempurnaan yang sedemikian rupa sehingga mereka tidak lagi
membutuhkan guru sebangsa manusia, sedangkan kecakapan praktisnya telah
mencapai suatu puncak yang demikian rupa sehingga berkat kecakapan imajinatif
mereka yang tajam mereka mengambil bagian secara langsung pengetahuan tentang
peristiwa-peristiwa masa kini dan akan datang. Kemudian mereka memiliki
kesempurnaan daya intuitif, tetapi tidak mempunyai daya imajinatif. Lalu orang yang
daya teoretisnya sempurna tetapi tidak praktis. Terakhir adalah orang yang
mengungguli sesamanya hanya dalam ketajaman daya praktis mereka.

Nabi Muhammad memiliki syarat-syarat yang dibutuhkan seorang Nabi, yaitu


memiliki imajinasi yang sangat kuat dan hidup, bahkan fisiknya sedemikian kuat
sehingga ia mampu mempengaruhi bukan hanya pikiran orang lain, melainkan juga
seluruh materi pada umumnya. Dengan imajinatif yang luar biasa kuatnya, pikiran
Nabi, melalui keniscayaan psikologis yang mendorong, mengubah kebenaran-
kebenaran akal murni dan konsep-konsep menjadi imaji-imaji dan simbol-simbol
kehidupan yang demikian kuat sehingga orang yang mendengar atau membacanya
tidak hanya menjadi percaya tetapi juga terdorong untuk berbuat sesuatu. Apabila
kita lapar atau haus, imajinasi kita menyuguhkan imaji-imaji yang hidup tentang
makanan dan minuman. Pelambangan dan pemberi sugesti ini, apabila ini berlaku
pada akal dan jiwa Nabi, menimbulkan imaji-imaji yang kuat dan hidup sehingga
apapun yang dipikirkan dan dirasakan oleh jiwa Nabi, ia benar-benar mendengar dan
melihatnya.

b)Tasawuf
Tasawuf, menurut ibnu Sina tidak dimulai dengan zuhud, beribadah dan
meninggalkan keduniaan sebagaimana yang dilakukan orag-orang sufi sebelumnya. Ia
memulai tasawuf dengan akal yang dibantu oleh hati. Dengan kebersihan hati dan
pancaran akal, lalu akal akan menerima marifah dari al-faal. Dalam pemahaman
bahwa jiwa-jiwa manusia tidak berbeda lapangan marifahnya dan ukuran yang
dicapai mengenai marifah, tetapi perbedaannya terletak pada ukuran persiapannya
untuk berhubungan dengan akal faal.

Mengenai bersatunya Tuhan dan manusia atau bertempatnya Tuhan dihati diri
manusia tidak diterima oleh ibnu Sina, karena manusia tidak bisa langsung kepada
Tuhannya, tetapi melalui prantara untuk menjaga kesucian Tuhan. Ia berpendapat
bahwa puncak kebahagiaan itu tidak tercapai, kecuali hubungan manusia dengan
Tuhan. Karena manusia mendapat sebagian pancaran dari perhubungan tersebut.
Pancaran dan sinar tidak langsung keluar dari Allah, tetapi melalui akal faal.

D.Al-Razi

1.Sejarah lahir
Nama lengkap al-razi adalah Abu Bakar Muhammad ibnu Zakaria ibnu Yahya Al-
Razi. Dalam wacana keilmuan barat, beliau dikenal dengan sebutan Razhes. Ia
dilahirkan di Rayy, sebuah kota tua yang masa lalu bernama Rhoges, dekat Teheran,
Republik Islam Iran pada tanggal 1 Syaban 251 H/865 M. Perlu diingat bahwasanya
tempat yang ia tinggali yakni Iran ,yang sebelumnya terkenal dengan sebutan Persia,
merupakan tempat dimana terjadinya pertemuan berbagai kebudayaan terutama
kebudayaan Yunani dan Persia. Dengan suasana seperti lingkungan seperti ini
mendorong bakat Al-Razi tampil sebagai seorang intelektual.

Ada beberapa nama tokoh lain yang juga dipanggil al-razi, yakni Abu Hatim Al-
Razi dan Najmun Al-Razi. Oleh karena itu, untuk membedakan Al-Razi dengan yang
lainnya, perlu ditambahkan dengan sebutan Abu Bakar, yang merupakan nama kun-
yah-nya (gelarnya).

Beliau pernah menjadi tukang intan pada mudanya, penukar uang, dan pemain
kecapi. Lalu beliau memusatkan perhatiannya pada ilmu kimia dan meninggalkannya
akibat eksperimen-eksperimen yang dilakukannya yang menyebabkan mata terserang
penyakit. Setelah itu, beliau mendalami ilmu kedokterang dan filsafat yang ada pada
masa itu.

Ayahnya berharap Al-razi menjadi seorang pedagang besar, maka dari itu
ayahnya membekali Al-razi ilmu-ilmu perdagangan. Akan tetapi, Al-Razi lebih
memilih kepada bidang intelektual ketimbang dengan perdagangan karena
menurutnya bidang intelektual merupakan perkara yang lebih besar ketimbang urusan
dengan materi belaka.

Karena ketekunannya dalam bidang kedoteran dan filsafat, Al-Razi menjadi


terkenal sebagai dokter yang dermawan, penyayang kepada pasien-pasiennya, oleh
karena tiu dia sering memberi pengobata cuma-Cuma kepada orang miskin. Dan
karena reputasinya dalam kedokteran, dia pernah mejabat sebagai kepala rumah sakit
Rayy pada masa pemerintahan Gubernur Al-Mansur ibnu Ishaq. Kemudian dia
berpindak ke Baghdad dan memimpin rumah saki di sana pada masa pemerintahan
Khlifah Al-Muktafi. Setelah Al-Muktafi meninggal, ia kembali ke kota kelahirannya,
kemudian id berpindah-pindah dari satu negeri ke negeri lainnya dan meninggal dunia
pada tanggal 5 Syaban 313 H/ 27 Oktober 925 dalam usia 60 tahun.

2.Karyanya
Mengenai karyanya, tentu berkaitan dengan siapa dia belajar, dan siapa yang
mengajarkan ilmu pengetahuan kepadanya. Menurut Al-Nadim, beliau belajar filsafat
kepada Al-Bakhli yang menguasai filsafat dan ilmu-ilmu kuno. Ia sangat rajin dalam
menulis dan membaca, mungkin inilah yang menyebabkan penglihatannya secara
berangsur-angsur melemah dan akhirnya buta total. Ia menolak akan untuk di obati
dengan mengatakan bahwa pengobatan untuknya itu sia-sia karena tak sebentar lagi
dia akan meninggal.

Tak heran jika karya-karyanya sangat banyak sekali bahkan dia menuliskan pada
salah satu kitabnya, bahwasanya dia menulis tidak kurang sari 200 karya tulis dalam
berbagai ilmu pengetahuan. Karya-karyanya yang meliputi:

1. Ilmu Falak,

2. Matematika,

3. Bidang kimia, yang terkenal dengan Kitab As-rar

4. Bidang kedoteran, yang terkenal dengan al-mansuri Liber al-Almansoris

5. Bidang Medis, yang terkenal dengan kitab Al-Hawi,

6. Mengenai penyakit cacar dan pencegahannya, yakni Kitab al-Judar wa al-


Hasbah

Sebagian dari karyanya telah dikumpulkan menjadi satu kitab yang bernama al-
Rasail Falsafiyyat dan buku-buku yang lainnya seperti Thib al-Ruhani, al-Sirah al-
Falsafah dan lain sebagainya. Dia terkenal sebagai ahli kimia dan ahli kedokteran
dibanding dengan sebagai filosof.
3.Filsafatnya
Lima Kekal ( Al-Qadiim )

Karena filsafatnya terkenal dengan 5 yang kekal, maka kami sebagai pemakal
memasukannya dalam makalah kami. Sebenarnya pemikirannya sangat banyak, akan
tetapi yang akan kami bahas disini hanya pada pemikirannya mengenai 5 hal yang
kekal.

5 hal yang kekal itu antara lain; Al-Baary Taala (Allah Taala), Al-Nafs Al-
Kulliyyat (jiwa universal), Al-Hayuula al-Uula (materi pertama), al-Makaan al-
Muthlaq (tampat/ruang absolut), dan al-Zamaan al-Muthlaq (masa absolut). Dan dia
juga mengklasifikasinya pada yang hidup dan aktif. Yang hidup dan aktif itu Allah dan
jiwa, yang tidak hidup dan pasif itu materi, yang tidak hidup, tidak aktif, dan tidak
pula pasif itu ruang dan waktu.

Al-Baary Taala (Allah Taala), menurutnya Allah itu kekal karena Dia-lah yang
menciptakan alam ini dari bahan yang telah ada dan tidak mungkin dia menciptakan
ala mini dari ketiadaan (creatio ex nihilo). Al-Nafs Al-Kulliyyat (jiwa universal),
menurutnya jiwa merupakan sesuatu yang kekal selain Allah, akan tetapi
kekekalannya tidak sama dengan kekekalan Allah. Al-Hayuula al-Uula (materi
pertama), disebut juga materi mutlak yang tidak lain adalah atom-atom yang tidak
bisa dibagi lagi, dan menurutnya mengenai materi pertama, bahwasanya ia juga kekal
karena diciptakan oleh Pencipta yang kekal.

Sebelumnya dia berpendat bahwa materi bersifat kekal dank arena materi ini
menempati ruang, maka Al-Makaan al-Muthlaq (tampat/ruang absolute) juga kekal.
Ruang dalam pandangannya dibedakan menjadi dua kategori, yakni ruang pertikular
yang terbatas dab terikat dengan sesuatu wujud yang menempatinya, dan ruang
universal yang tidak terikat dengan maujud dan tidak terbatas.

Seperti ruang, dia membedakan pula Al-Zamaan al-Muthlaq (masa absolut)


padad dua kategori yakni; waktu yang absolut/mutlak yang bersifat qadiim dan
substansi yang bergerak atau yang mengalir (jauhar yajri), pembagian yang kedua
yaitu waktu mahsur. Waktu mahsur adalah waktu yang berlandaskan pada pergerakan
planet-planet, perjalanan bintang-bintang, dan mentari. Waktu yang kedua ini tidak
kekal. Menurutnya, bahwasanya waktu yang kekal sudah ada terlebih dahulu sebelum
adanya waktu yang terbatas.

E.Ibnu Miskawaih

1.Sejarah lahir
Nama lengkap Ibnu Miskawaih adalah Abu Ali Ahmad ibnu Muhammad ibnu Yakub
ibnu Miskawaih. Ia dilahirkan di kota Rayy, Iran pada tahun 330 H/ 941 M dan wafat
di asfahan pada tanggal 9 Shafar 421 H/ 16 Februari 1030 M. Dari buku yang kami
dapatkan, tidak ada penjelasan yang sangat rinci mengungkapkan biograpinya.
Namun, ada beberapa hal yang perlu dijelaskan, bahwa ibnu miskawaih belajar
sejarah terutama Taarikh al-Thabari kepada Abu Bakar Ibnu Kamil Al-Qadhi dan
belajar filsafat kepada Ibnu Al-Khammar, mufasir kenamaan karya-karya aristoteles.
Ibnu Miskawaih adalah seorang penganut syiah. Hal ini didasarkan pada
pengabdiannya kepada sultan dan wazir-wazir syiah pada masa pemerintahan Bani
Buwaihi ( 320 448 M ). Dan ketika sultan Ahmad Adhud Al-Daulah menjabat
sebagai kepala pemerintahan, ibnu Miskawaih menduduki jabatan yang penting,
seperti pengangkatannya sebagai Khazin, penjaga perpustakaan Negara dan
bendarahara negara.

2.Karyanya
Dalam karyanya dalam disiplin ilmu meliputi kedokteran, sejarah dan filsafat.
Akan tetapi, dia lebih terkenal sebagai seorang filosof akhlak, ( al-falsafat
al-amaliyat ) ketimbang dengan seorang filosof ketuhanan ( al-falsafat al-
nazhariyyat al-Illahiyat ).

Dalam buku The History of the Muslim Philoshopy disebutkan bahwa karya
tulisannya itu; Al-Fauz al-Akbar, al-Fauz al-Asghar, Tajaarib al-Umaan ( sebuah
sejarah tentang banjir besar yana ditulis pada tahun 369 H/ 979 M), Uns al-Fariid
( yakni koleksi anekdot, syair, peribahasa, dan kata-kata hikmah ), Tartiib al-Saadat (
isinya ahlak dan politik ), al-Mustaufa ( isinya syair-syair pilihan ), al-Jaami, al-
Siyaab, On the Simple Drugs ( tentang kedokteran ), On the composition of the Bajats
( tentang kedokteran ), Kitaab al-Ashribah ( tentang minuman ), Tahziib al-Akhlak
( tentang akhlak ), Risaalat fi al-Lazza wa al-Aalam fil jauhar al-Nafs, ajwibaat wa
Asilat fi al-Nafs wa al-Aql, Al-Jawaab fi Al-Masaail al-Salas, Risaalat fi Jawaab fi
Sual Ali ibnu Muhammad Abuu Hayyan al-Shufii fi HAqiiqat al-Aql, dan Tharathat
al-Nafs.

3.Akhlak
Ibnu miskawaih yang terkenal sebagai seorang yang moralis berpendapat bahwa
akhlak adalah suatu sikap atau keadaan jiwa yang mendorongnya untuk berbuat tanpa
berpikir dan sama sekali tidak ada pertimbangan. Dengan kata lain, ahklak adalah
tindakan yang tidak ada sama sekali pertentangan dalam dirinya untuk melakukan
sesuatu. Menurut kami, ungkapan beliau mengenai hal ini sama dengan perkataan
plato yang mengatakan bahwasanya cinta adalah gerak jiwa yang kosong.

Ibnu Miskawaih juga membagi tingkah laku pada dua unsur yakni; unsur watak
naluriah dan unsur watak kebiasaan dengan melakukan latihan ( riyadhoh ). Serta dia
berpandangan bahwa jiwa mempunyai tiga daya yang mana apabila ketigak daya ini
beserta sifat-sifatnya selaras, maka akan menimbulkan sifat yang keempat yakni adil.

Adapun tiga daya yang dia maksud adalah; daya pikir, daya marah, dan daya
keinginan. Sedangkan yang dia maksud dengan sifat utama mengenai ketiga daya ini
antara lain adalah; sifat hikmah merupakan sifat utama bagi jiwa yang berpikir yang
mana hikmah ini lahir dari ilmu. Rasa berani merupakan sifat utama bagi jiwa marah
yang mana sifat berani ini timbul dari sifat hilm ( mawas diri ). Sedangkan sifat utama
bagi jiwa keinginan adalah sifat murah yang merupakan sifat utamanya yang lahir dati
iffah ( memelihara kehormatan diri ).

Dapat disimpulkan bahwasanya sifat utama itu antara lain; hikmah, berani, dan
murah yang apabila ketiga sifat utama ini selaras, maka sifati keempat akan timbul
darinya, yakni keadilan. Sedangkan lawan dari semua sifat itu adalah bodoh, rakus,
penakut, dan zalim.

F.Ibnu Rusyd

1.Sejarah kelahirannya
Nama asli dari Ibnu Rusyd adalah Abu Al-Walid Muhammad ibnu Ahmad ibnu
Muhammad ibnu Rusyd, beliau dilahirkan di Cordova, Andalus pada tahun 510 H/
1126 M, 15 tahun setelah kematiannya imam ghazali. Di dunia barat dia lebih terkenal
dengan sebutan Averros, sedang di dunia islam sendiri lebih terkenal dengan nama
ibnu Rusyd. Ibnu Rusyd adalah keturunan keluarga terhormat yang terkenal sebagai
tokoh keilmuwan, sedang ayah dan kakeknya adalah mantan hakim di andalus. Pada
tahun 565 H/ 1169 M dia diangkat menjadi seorang hakim di Seville dan Cordova.
Dan pada tahun 1173 ia menjadi ketua mahkamah agung, Qadhi al-Qudhat di
Cordova.

Salah satu faktor yang membuatnya menjadi seorang ilmuwan adalah karena dia
tumbuh dan hidup dalam keluarga yang Ghirah-nya besar sekali dalam bidang
keilmuwan. Akan tetapi yang menjadi faktor utamanya karena ketajamannya dalam
berpikir serta kejeniusan otaknya. Dengan semua faktor-faktor di atas, tidaklah heran
apabila dia menjadi seorang ilmuwan Muslim yang terkemuka.

Hal yang sangat mengagumkan dari ibnu Rusyd adalah semenjak dia sudah mulai
berakal ( masa baligh ) hampir semua hidupnya ia pergunakan untuk belajar dan
membaca. Tak pernah dia melewatkan waktunya selain untuk berpikir dan membaca,
kecuali pada malam ayahnya meninggal dan ketika malam pernikahannya. Dengan
keadaan seperti ini, membuat pemikirannya semakin tajam dan kuat dari waktu ke
waktu.

Kehidupannya sebagai seorang hakim tidaklah mulus, ibnu Rusd pernah


mengalami akan tuduhan pahit, yang pada dasarnya hanya untuk keperluan mobilisasi
menghadapi pemberontakkan Kristen Spanyol, dia di tuduh kafir, lalu dia di adili dan
sebagai hukumannya dia di buang ke Lucena, dekat Cordova. Tidak hanya itu saja,
semua jabatannya sebagai hakim mahkamah agung dicopot serta semua bukunya di
bakar, kecuali buku yang bersifat ilmu pengetahuan murni ( sains ), seperti
kedokteran, matematika dan astronomi.

Setahun lamanya ibnu Rusyd mengalami masa yang sangat getir itu, dan pada
tahun 1197 M, khlifah mencabut hukumannya dan mengembalikkan semua pangkat
yang pernah dia pegang sebelumnya. Ibnu Rusyd meninggal 10 desember 1198 M/ 9
Shafar 595 H di marakesh dalam usia 72 tahun menurut perhitungan Masehi dan 75
tahun menurut perhitungan tahun Hijriyah.

2.Karyanya
Tulisan ibnu Rusyd yang dapat kita dapati pada sekarang ini antara lain; Fashl al-
Maqaal fi maa bain al-Hikmat wa al-Syariah min al-Ittishaal, buku ini berisikan
korelasi antara agama dan filsafat. Al-Kasyfan Manaahij al-Sdillah fi Aqaaid al-
Millat, sedang buku ini berisikan tentang kritik terhadap metode para ahli ilmu kalam
dan sufi. Tahaafut al-Tahaafut, kitab ini berisikan tentang kritikan terhadap imam
ghazali yang kitabnya berjudul Tahaafut al-Falaasifah. Sedangkan karnyanya dalam
bidah fiqih yaitu buku yang berjudul Bidaayat al-Mujtahid wa Nihaayat al-
Muqtashid.

3.Hukum Sebab-Akibat dan Hubungannya dengan Mukjizat


Berikut ini merupakan bantahan Ibnu Ruysd terhadap imam ghazali mengenai sebab-
akibat yang memang merupakan kejadian yang keluar dari kebiasaan;

1. Terdapat hubungan yang dharuuriiy ( pasti ) antara sebab dan akibat

Menurut ibnu rusyd, bahwasanya semua benda atau segala sesuatu yang ada di
alam ini memiliki sifat dan cirri tertentu yang disebut dengan zatiyah. Dengan arti
bahwasanya untuk terwujudnya sesuatu keadaan mesti ada daya atau kekuatan yang
telah ada sebelumnya. Menurut ibnu Rusyd, kita bisa mengenali mawjud yang ada ini
dengan adanya hukum sebab-akibat zatiyah, maka dengan itu pula kita bisa
membedakan antara satu dengan lainnya.

Misalnya, api yang sifat zatiyyah-nya adalah membakar, air yang sifat zatiyyah-
nya adalah membasahi. Sifat membakar dan membasahi ini adalah sifat zatiyyah-nya
dan merupakan pembedan antara api dengan air, jika tidak ada sifat tertentu, tentunya
air dan api sama saja, tidak ada bendanya, akan tetapi hal ini adalah sesuatu yang
mustahil.

1. Hubungan sebab-akibat dengan adat atau kebiasaan

Menurut ibnu rusyd, bahwasanya al-ghazali tidaklah jelas dalam mengemukakan


pendapatnya mengenai sebab-akibat yang dianggap sebagai adat atau kebiasaan. Ibnu
Rusyd mempertanyakan apakah yang al-ghazali maksud ini adalah adat fail (Allah),
atau adat maujud, atau juga adat bagi kita dalam menentukan suatu sifat atau predikat
terhadap maujud ini.

Kalaulah yang dimaksudnya adalah adat Allah, hal ini mustahil karena apa yang
disebut dengan adat adalah suatu kemampuan atau potensi yang diusahakan oleh fail
yang mengkibatkan berulang-ulangnya perhatin mawjud ini. Hal ini sangat
bertentangan dengan ayat Al-Quran yang menyatakan bahwa sunnatullah tidak akan
berganti dan tidak berubah. Jika yang dimaksudnya adalah adat bagi maujud, maka
hal ini hanya akan berlaku bagi yang memiliki roh atau nyawa karena bagi yang selain
itu, bukanlah adat namanya, tetapi tabiaat. Dan apabila yang dia maksud adalah adat
bagi kita dalam menentukan suatu sifat atau predikat terhadap mawjud, sepert si fulan
baik san sebagainya, maka hal ini mawjud terlepas daripada nisbat (hubungan)-nya
kepada fail (Allah).

1. Hubungan sebab-akibat dengan akal

Menurut ibnu Rusyd; pengetahuan akal tidak lebih daripada pengetahuan tentang
gejala yang mawjud beserta sebab-akibatnya yang menyertainya. Pengingkaran
terhadap sebab-akibat berarti pengingkaran terhadap akal dan ilmu pengetahuan.

1. Hubungan sebab-akibat dengan mukjizat


Di awali dengan pendapatnya imam Ghazali, ketika seseorang percaya akan
keniscayaan, maka akan mengakibatkannya tidak percaya terhadap adanya mukjizat
nabi. Mengenai hal ini, ibnu rusyd membedakan antara dua mukjizat; mukjizat al-
Barraaniy dan mukjizat al-Jawaaniy.

Mukjizat al-Barraaniy, adalah mukjizat yang diberikan kepada seorang Nabi,


tetapi tidak sesuai dengan risalah kenabiannya, seperti tongkat nabi musa yang
merumbah menjadi ular, nabi Isa yang dapat menghidupkan orang mati, dan lainnya.
Mukjizat seperti ini yang saat itu dipandang sebagai mukjizat atau perbuatan diluar
kebiasaan dan boleh jadi satu waktu dapat diungkapkan oleh pengetahuan. Ketika
ilmu pengetahuan dapat mengungkapkannya, maka ia tidak dipandang sebagai
mukjizat lagi.

Mukjizat al-Jawaaniy, adalah mukjizat yang diberikan kepada seorang nabi yang
sesuai dengan risalah kenabiannya, seperti mukjizatNabi Muhammad yakni al-Quran.
Mukjizat seperti inilah yang dipandang oleh ibnu Rusyd sebagai mukjizat yang
sebenarnya, karena al-quran tidak dapat diungkapkan oleh pengetahuan (sains)
dimana pun dan kapan pun.

Anda mungkin juga menyukai