Anda di halaman 1dari 20

MANAJEMEN KEGAWATDARURATAN

CIDERA KEPALA
Di susun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Gawat Darurat
Dosen Mata Ajar : Maria Putri Sari Utami, S.Kep.,Ns.,M.Kep

AKADEMI KEPERAWATAN NOTOKUSUMO


YOGYAKARTA
2016

1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu peristiwa yang dapat menimbulkan pengalaman traumatik yang
hebat dalam kehidupan manusia adalah kepala. Cedera jenis ini tidak hanya
memerlukan pertolongan secara cepat untuk kelangsungan hidup, namun juga
memerlukan waktu penyembuhan dan rehabilitasi yang cukup lama untuk kembali
hidup dan berfungsi secara optimal. Cedera otak traumatika, pada tahun 2020
akan menjadi penyebab kematian dan kecacatan terbanyak di dunia melebihi
penyakit-penyakit yang lain. Meskipun insidensi cedera otak traumatika di
negara-negara maju di Eropa, Amerika Utara, Jepang dan Australia terus
mengalami penurunan, namun insidensinya mengalami kenaikan di negara-negara
berkembang termasuk Indonesia. Peningkatan ini erat hubungannya dengan
meningkatnya industrialisasi dan pesatnya pertumbuhan kendaraan bermotor.
Dalam setiap tahunnya terdapat 1,4 juta penderita cedera kepala di Amerika
Serikat. Dari keseluruhan cedera, sekitar 50.000 di antaranya meninggal dunia dan
lebih dari 235.000 berobat ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan. Insiden
cedera kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara 15-44 tahun.
Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab (48%-53%) dari insiden cedera
kepala, (20%-28%) lainnya karena jatuh dan (3%-9%) lainnya disebabkan tindak
kekerasan, kegiatan olahraga dan rekreasi. Sedangkan di Indonesia ternyata cidera
kepala menduduki urutan ke dua penyakit yang dapat menyebabkan kematian
dengan case fatality rate (CFR) 4,37% (Depkes RI). Dalam enam tahun terakhir,
peristiwa kecelakaan lalu lintas di propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)
cukup tinggi didukung dari data Kepolisian yang menunjukkan, tahun 2006 telah
terjadi kecelakaan 1.039 kasus kecelakaan di DIY meningkat tiga kali lipat
dibandingkan tahun 2005 dan setiap tahun sedikitnya 130 meninggal (12%) akibat
kecelakaan lalu lintas. Laporan Kepolisian menunjukkan bahwa 88% kematian
diakibatkan oleh cidera kepala. Adanya penanganan yang cepat terhadap cedera
ini berfungsi untuk mencegah terjadinya cedera otak sekunder (Prasetyantoro,
2013).

2
Trauma kepala akan memberikan gangguan yang sifatnya lebih kompleks bila
dibandingkan dengan trauma pada organ tubuh lainnya. Hal ini disebabkan karena
struktur anatomik dan fisiologik dari isi ruang tengkorak yang majemuk, dengan
konsistensi cair, lunak dan padat yaitu cairan otak, selaput otak, jaringan syaraf,
pembuluh darah dan tulang.
Pemeriksaan klinis pada pasien trauma kepala secara umum meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan
radiologis. Pada anamnesis informasi penting yang harus ditanyakan adalah
mekanisme trauma. Pada pemeriksaan fisik secara lengkap dapat dilakukan
bersamaan dengan secondary survey. Pemeriksaan meliputi tanda vital dan sistem
organ. Penilaian GCS awal saat penderita datang ke Rumah Sakit sangat penting
untuk menilai derajat kegawatan cedera kepala. Pemeriksaan neurologis, selain
pemeriksaan GCS, perlu dilakukan lebih dalam, mencakup pemeriksaan fungsi
batang otak, saraf kranial, fungsi motorik, fungsi sensorik, dan refleks-refleks.
Pemeriksaan radiologis yang paling sering dan mudah dilakukan adalah rontgen
kepala yang dilakukan dalam dua posisi, yaitu anteroposterior dan lateral.
Idealnya penderita trauma kepala diperiksa dengan CT Scan, terutama bila
dijumpai adanya kehilangan kesadaran yang cukup bermakna, amnesia, atau sakit
kepala hebat.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari cedera kepala?
2. Apa saja etiologi dari cedera kepala?
3. Apa saja klasifikasi dari cedera kepala?
4. Bagaimana pathway cedera kepala?
5. Apa saja macam-macam perdarahan pada cedera kepala?
6. Bagaimana manajemen kegawatdaruatan pada cedera kepala?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa pengertian dari cedera kepala.
2. Untuk mengetahui apa saja etiologi dari cedera kepala.
3. Untuk mengetahu apa saja klasifikasi dari cedera kepala.

3
4. Untuk mengetahui bagaimana pathway cedera kepala.
5. Untuk menegtahu apa saja macam-macam perdarahan pada cedera
kepala.
6. Untuk mengetahui bagaimana manajemen kegawatdaruatan pada
cedera kepala.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian
Cedera kepala yang sinonimnya adalah trauma kapitis = head injury = trauma
kranioserebral= traumatic brain injury merupakan trauma mekanik terhadap
kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan
fungsi neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik bersifat
temporer maupun permanent (PERDOSSI, 2006 dalam Musliha, 2010).
Menurut Pedoman Penanggulangan Gawat Darurat Ems 119 Jakarta (2008)
dalam Musliha (2010), menyatakan bahwa trauma atau cedera kepala ( Brain
Injury ) adalah salah satu bentuk trauma yang dapat mengubah kemampuan otak
dalam menghasilkan keseimbangan fisik, intelektual, emosional, sosial dan
pekerjaan atau dapat dikatakan sebagai bagian dari gangguan traumatik yang
dapat menimbulkan perubahan-perubahan fungsi otak.
Cidera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau
penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan
(accelerasi-decelerasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh
perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan penurunan kecepatan, serta
notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat
perputaran pada tindakan pencegahan (Donna, 2014).
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa, trauma kepala
adalah trauma pada kulit kepala, tengkorak dan otak yang terjadi baik secara
langsung maupun tidak langsung pada kepala yang dapat mengakibatkan
terjadinya penurunan kesadaran bahkan sampai dapat menyebabkan kematian.

B. Etiologi
Cidera kepala biasanya disebabkan karena adanya:
1. Kecelakaan Lalu Lintas
2. Jatuh
3. Pukulan

5
4. Kejatuhan Benda
5. Kecelakaan Kerja
6. Cidera Lahir
7. Luka Tembak (Rosjidi, 2007)

C. Klasifikasi
Klasifikasi umum yang sering kita temui ada 3 bentuk :
1. Komotio Cerebri
Gangguan fungsi neurologik ringan yang terjadi sesaat dengan gejala
hilangnya kesadaran biasanya kurang dari 10 menit dengan atau tanpa
disertai amnesia retrograde, mual, muntah, nyeri kepala, vertigo dan
tanpa adanya kerusakan struktur otak.
2. Kontusio Cerebri
Gangguan fungsi neurologik dengan hilangnya kesadaran lebih dari
10-15 menit disertai kerusakan otak tetapi kontinuitas otak masih utuh.
3. Laseratio Cerebri
Gangguan fungsi neurologik disertai kerusakan otak yang berat dengan
fraktur tengkorak terbuka. Masa otak terkelupas keluar dari rongga
intracranial (Rosjidi, 2007)
Klasifikasi yang mendekati keadaan klinis adalah berdasarkan nilai GCS
yang dikeluarkan oleh The Traumatic Coma Data Bank (Hudak dan Gallo, 1996
dalam Rosjidi, 2007). Kategori penentuan Keparahan Cedera Kepala berdasarkan
Nilai Skala Koma Glasglow:
Penentuan Keparahan Deskripsi Frekuensi
Minor / ringan GCS = 13-15 55%
Dapat terjadi kehilangan kesadaran
atau amnesia tetapi kurang dari 30
menit.
Tidak ada fraktur tengkorak, tidak
ada kontosio serebral, tidak ada
hematom.

6
Sedang GCS = 9-12 24%
Kehilangan kesadaran dan atau
amnesia lebih dari 30 menit tetapi
kurang dari 24 jam.
Dapat mengalami fraktur tengkorak.
Berat GCS = 3-8 21%
Kehilangan kesadaran dan atau
amnesia lebih dari 24 jam.
Juga meliputi kontosio serebral,
laserasi, atau hematom intracranial.

7
D. Pathway
Pathway cedera kepala menurut Mutaqqin (2008):

8
E. Macam-macam perdarahan
Macam-macam perdarahan yang sering kita temui yaitu:
1. Epidural Hematoma
Terdapat pengumpulan darah di antara tulang tengkorak dan durameter
akibat pecahnya pembuluh darah / cabang-cabang arteri meningeal
media yang terdapat di durameter, pembuluh darah ini tidak dapat
menutup sendiri karena ini sangat berbahaya. Dapat terjadi dalam
beberapa jam sampai 1-2 hari. Lokasi yang paling sering yaitu di lobus
temporalis dan parietalis. Gejala-gejala yang terjadi :
a. Penurunan tingkat kesadaran,
b. Nyeri kepala,
c. Muntah,
d. Hemiparesis,
e. Dilatasi pupil ipsilateral,
f. Pernapasan dalam cepat kemudian dangkal irreguler,
g. Penurunan nadi, peningkatan suhu.
2. Subdural Hematoma
Terkumpulnya darah antara durameter dan jaringan otak, dapat terjadi
akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah
vena/jembatan vena yang biasanya terdapat diantara durameter,
perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut terjadi dalam 48 jam 2
hari atau 2 minggu dan kronik dapat terjadi dalam 2 minggu atau
beberapa bulan. Tanda-tanda dan gejalanya adalah :
a. Nyeri kepala,
b. Bingung,
c. Mengantuk,
d. Berfikir lambat,
e. Kejang dan,
f. Oedem pupil.
Perdarahan intracerebral berupa perdarahan di jaringan otak karena
pecahnya pembuluh darah arteri; kapiler; vena. Tanda dan gejalanya:

9
a. Nyeri kepala,
b. Penurunan kesadaran,
c. Komplikasi pernapasan,
d. Hemiplegia kontra lateral,
e. Dilatasi pupil,
f. Perubahan tanda-tanda vital.
3. Perdarahan Subarachnoid
Perdarahan di dalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh
darah dan permukaan otak, hampir selalu ada pada cedera kepala yang
hebat. Tanda dan gejala :
a. Nyeri kepala,
b. Penurunan kesadaran,
c. Hemiparese,
d. Dilatasi pupil ipsilateral dan,
e. Kaku kuduk (Musliha, 2012)

F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
1. CT-Scan
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan
perubahan jaringan otak.
2. MRI
Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
3. Cerebral Angiography
Menunjukkan anormali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan
otak sekunder menjadi edema, perdarahan dan trauma.
4. Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
5. X-ray
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis (perdarahan/edema), fragmen tulang.

10
6. BAER
Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
7. PET
Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
8. CSF : Lumbal Punksi
Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
9. ABGs
Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi)
jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
10. Kadar Elektrolit
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan
tekanan intrakranial.
11. Screen Toxicologi
Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan
kesadaran (Musliha, 2012).

G. Manajemen cedera kepala


Fokus penatalaksanaan cedera kepala pada saat ini adalah mencegah cedera
primer serta menghindari dan mengelola cedera sekunder. Landasan dari
pengelolaan cedera kepala traumatik sebagai berikut:
1. Resusitasi dan stabilisasi
Resusitasi dan stabilisasi dilakukan sejak dari tempat kejadian,
kecepatan dan ketepatan transportasi, di unit gawat darurat, evakuasi
pembedahan, ruang perawatan/ICU, monitor: derjat kesadaran, vital
sign, kemunduran motorik, reflek batang otak, kontrol Tekanan Intra
Kranial (TIK). Monitor tekanan intra kranial diperlukan pada: koma
dengan perdarahan intrakranial atau kontusio otak, skala Koma
Glasglow < 6 (motorik<4), trauma multipel sehingga memerlukan
ventilasi tekanan positif inermitten (IPPV) (Musliha, 2010).
Penatalaksanaan pada periode pra rumah sakit merupakan titik kritis
untuk mencegah terjadinya cedera sekunder, tetapi ini jarang dilakukan

11
karena pasien dikelola oleh tenaga kesehatan setelah tiba di rumah
sakit.

2. Kecepatan dan ketepatan selama transportasi


Semua pasien dengan cedera otak traumatika dengan GCS <9
langsung dirujuk ke rumah sakit yang memiliki fasilitas untuk
pemeriksaan CT segera, fasilitas bedah saraf memadai, dan fasilitas
pengamat tekanan intrakranial (bila ada) serta kemampuan menindak
hipertensi intrakranial. Pasien dengan GCS 9-13 berpotensi mengalami
cedera intrakranial dan tindakan bedah saraf, hingga harus dirujuk
kepusat bedah saraf.
Transportasi merupakan bagian penting yang mempengaruhi
outcome. Langkah yang berpengaruh pada penanganan pra rumah sakit
adalah informasi lengkap yang dikumpulkan petugas pra rumah sakit
dan yang diminta petugas rumah sakit rujukan seperti apakah pasien
sadar, dapat berbicara, membuka mata, atau menggerakkan ekstremitas
dapat membantu menentukan adanya cedera otak.
Penilaian pra rumah sakit atas mekanisme, jenis dan beratnya
cedera (parahnya kerusakan kendaraan, benturan kaca depan,
penggunaan sabuk pengaman dan alat pengaman lain), kejadian, dan
khususnya pemeriksaan pasien penting untuk menilai situasi neurologis
keseluruhan. Tanda-tanda vital dan oksimetri denyut nadi bila ada,
membantu menemukan hipotensi dan hipoksemia. Skor GCS dan
kondisi pupil memberikan informasi beratnya cedera otak.
Berdasar penilaian pasien, intervensi pra rumah sakit dimulai untuk
mencegah hipotensi atau hipoksemia serta potensi yang mengancam
hidup atau kecacadan lainnya. Disini tingkat keterampilan penolong
sangat menentukan mutu intervensi.
Rumah sakit penerima juga menentukan outcome.
Beberapa faktor berpengaruh pada tindakan yang optimal. Namun
dikota, UGD lebih sibuk, jalanan macet, dan protokol mungkin tidak

12
mengizinkan jalan pintas kepusat yang memiliki fasilitas untuk
pemeriksaan CT segera, fasilitas bedah saraf memadai. Didaerah yang
jauh dari pusat trauma, petugas harus diberi kemudahan memanfaatkan
alat transportasi yang lebih cepat. Bila sarana bedah saraf tidak tersedia,
bawa dulu kefasilitas terdekat untuk stabilisasi pasien, untuk
selanjutnya tergantung kebutuhan. Lakukan penilaian neurologis
berulang untuk mengevaluasi atau menemukan setiap perubahan
kondisi dan status neurologis pasien selama perjalanan.

3. Tindakan di ruang gawat darurat


a. Resusitasi dengan tindakan
1) Jalan napas (Airway)
Jalan napas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang
dengan posisi kepala ekstensi. Jika perlu dipasang pipa
orofaring atau pipa endotrakheal. Bersihkan sisa muntahan,
darah, lendir atau gigi palsu. Jika muntah, pasien dibaringkan
miring. Isi lambung dikosongkan melalui pipa nasogastrik
untuk menghindari aspirasi muntahan.
2) Pernapasan (Breathing)
Gangguan pernapasan dapat disebabkan oleh kelainan
sentral atau perifer. Kelainan sentral disebabkan oleh depresi
pernapasan yang ditandai dengan pola pernapasan Cheyne
Stokes, hiperventilasi neurogenik sentral, atau ataksik. Kelainan
perifer disebabkan oleh aspirasi, trauma dada, edema paru,
emboli paru, atau infeksi. Tata laksana: Oksigen dosis tinggi,
10-15 liter/menit intermiten, cari dan atasi faktor penyebab, jika
diperlukan pakai ventilator.
3) Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi dapat terjadi akibat cedera otak. Hipotensi
dengan tekanan darah sistolik <90 mm Hg yang terjadi hanya
satu kali saja sudah dapat meningkatkan risiko kematian dan

13
kecacatan. Hipotensi kebanyakan terjadi akibat faktor
ekstrakranial, berupa hipovolemia karena perdarahan luar atau
ruptur alat dalam, trauma dada disertai tamponade
jantung/pneumotoraks, atau syok septik. Tata laksananya
dengan cara menghentikan sumber perdarahan, perbaikan
fungsi jantung, mengganti darah yang hilang, atau sementara
dengan cairan isotonik NaCl 0,9%.
b. Pemeriksaan fisik
Setelah resusitasi ABC, dilakukan pemeriksaan fisik yang meliputi
kesadaran, tensi, nadi, pola dan frekuensi respirasi, pupil (besar,
bentuk dan reaksi cahaya), defi sit fokal serebral dan cedera
ekstrakranial. Hasil pemeriksaan dicatat dan dilakukan pemantauan
ketat pada hari-hari pertama. Bila terdapat perburukan salah satu
komponen, penyebabnya dicari dan segera diatasi.
c. Pemeriksaan radiologi
Dilakukan foto kepala dan leher, bila didapatkan fraktur servikal,
neck collar yang telah terpasang tidak dilepas. Foto ekstremitas,
dada, dan abdomen dilakukan atas indikasi. CT scan otak dilakukan
bila ada fraktur tulang tengkorak atau bila secara klinis diduga ada
hematoma intrakranial.

4. Tindakan di ruang perawatan


a. Pemeriksaan laboratorium
1) Hb, leukosit, diferensiasi sel
Penelitian di RSCM menunjukkan bahwa leukositosis dapat
dipakai sebagai salah satu indikator pembeda antara kontusio
(CKS) dan komosio (CKR). Leukosit>17.000 merujuk pada
CT scan otak abnormal, sedangkan angka leukositosis >14.000
menunjukkan kontusio meskipun secara klinis lama penurunan
kesadaran <10 menit dan nilai SKG 13-15 adalah acuan klinis
yang mendukung ke arah komosio.

14
2) Gula darah sewaktu (GDS)
Hiperglikemia reaktif dapat merupakan faktor risiko bermakna
untuk kematian dengan OR 10,07 untuk GDS 201-220mg/
dL dan OR 39,82 untuk GDS >220 mg/dL.
3) Ureum dan kreatinin
Pemeriksaan fungsi ginjal perlu karena manitol merupakan zat
hiperosmolar yang pemberiannya berdampak pada fungsi
ginjal. Pada fungsi ginjal yang buruk, manitol tidak boleh
diberikan.
4) Analisis gas darah
Dikerjakan pada cedera kranioserebral dengan kesadaran
menurun. pCO2 tinggi dan pO2 rendah akan memberikan
luaran yang kurang baik. pO2 dijaga tetap >90 mm Hg, SaO2
>95%, dan pCO2 30-35 mmHg.
5) Elektrolit (Na, K, dan Cl)
Kadar elektrolit rendah dapat menyebabkan penurunan
kesadaran.
6) Albumin serum (hari 1)
Pasien CKS dan CKB dengan kadar albumin rendah (2,7-
3,4g/dL) mempunyai risiko kematian 4,9 kali lebih besar
dibandingkan dengan kadar albumin normal.
7) Trombosit, PT, aPTT, fi brinogen
Pemeriksaan dilakukan bila dicurigai ada kelainan
hematologis. Risiko late hematomas perlu diantisipai.
Diagnosis kelainan hematologis ditegakkan bila trombosit
<40.000/mm3, kadar fibrinogen <40mg/mL, PT >16 detik, dan
aPTT >50 detik
b. Manajemen tekanan intrakranial
Peninggian tekanan intrakranial terjadi akibat edema serebral dan
atau hematoma intrakranial. Bila ada fasilitas, sebaiknya dipasang

15
monitor TIK. TIK normal adalah 0-15 mm Hg. Di atas 20 mmHg
sudah harus diturunkan dengan cara:
1) Posisi tidur: Bagian kepala ditinggikan 20-30o dengan kepala
dan dada pada satu bidang.
2) Terapi diuretik:
a) Diuretik osmotik (manitol 20%) dengan dosis 0,5-1
g/kgBB, diberikan dalam 30 menit. Untuk mencegah
rebound, pemberian diulang setelah 6 jam dengan dosis
0,25-0,5/kgBB dalam 30 menit.
b) Loop diuretic (furosemid) Pemberiannya bersama manitol,
karena mempunyai efek sinergis dan memperpanjang efek
osmotik serum manitol. Dosis: 40 mg/hari IV.
c. Nutrisi
Pada cedera kranioserebral berat, terjadi hipermetabolisme
sebesar 2-2,5 kali normal dan akan mengakibatkan katabolisme
protein. Kebutuhan energi rata-rata pada cedera kranioserebral
berat meningkat rata-rata 40%. Total kalori yang dibutuhkan 25-30
kkal/kgBB/hari. Kebutuhan protein 1,5-2g/kgBB/hari, minimum
karbohidrat sekitar 7,2 g/kgBB/ hari, lipid 10-40% dari kebutuhan
kalori/hari, dan rekomendasi tambahan mineral: zinc 10-30
mg/hari, cuprum 1-3 mg, selenium 50-80 mikrogram, kromium 50-
150 mikrogram, dan mangan 25-50 mg. Beberapa vitamin juga
direkomendasikan, antara lain vitamin A, E, C, riboflavin, dan
vitamin K yang diberikan berdasarkan indikasi.
Pada pasien dengan kesadaran menurun, pipa nasogastrik
dipasang. Bila pemberian nutrisi peroral sudah baik dan cukup,
infus dapat dilepas untuk mengurangi risiko flebitis.

5. Tindakan di ruang pembedahan


Indikasi dilakukan pembedahan pada kasus cidera kepala adalah
perlukaan pada kulit kepala, fraktur tulang kepala, hematom

16
intrakranial, kebocoran cairan serebrospinal, kontusio jaringan otak
yang memiliki diameter >1 cm dan atau laserasi otak. Sedangkan kontra
indikasi dilakukan pembedahan pada kasus cidera kepala adalah adanya
tanda renjatan/ shock, bukan karena trauma (ruptur hepar, ginjal),
fraktur berat pada ekstremitas dan trauma kepala dengan pupil sudah
dilatasi maksimal dan reaksi cahaya negatif, denyut nadi dan respirasi
irreguler.
Tujuan dilakukan pembedahan adalah mengeluarkan bekuan darah
dan jaringan otak yang nekrose, mengurangi tekanan intrakranial,
mengontrol perdarahan, memperbaiki durameter yang rusak. Beberapa
persiapan pembedahan yang dilakukan adalah sebagai berikut,
mempertahankan jalan nafas agar tetap bebeas, pasang infus, observasi
tanda-tanda vital, pemeriksaan laboratorium, pemberian antibiotik
profilaksi, pasang NGT dan DC, theraphy untuk menurunkan TIK, anti
konvulsan.

6. Penanganan perawatan di ruang ICU


Penatalaksanaan terapi intensif cedera kepala setelah dilakukan
resusitasi dan stabilisasi di unit gawat darurat dan sudah dilakukan
tindakan operasi, selanjutnya dirawat di ruang perawatan intensif.
Perawatan di ICU terdiri dari perawatan umum yang ketat dan
perawatan lain yang bertujuan untuk stabilisasi pasien, optimalisasi
oksigen dan hemodinamik otak, mencegah dan melakukan terapi
Hipertensi intrakranial, mempertahankan CPP (Cerebral Perfusion
Pressure) yang stabil dan adekuat, mencegah dari cedera sekunder.
Pasien segera dipindah ke ICU setelah operasi selesai. Tindakan
lanjutan seperti ventilasi mekanik untuk menjamin oksigenasi dan
mencegah hipoksia, mempertahankan kondisi normokapnea untuk
mengendalikan aliran darah otak sehingga dapat menurunkan TIK.
Ventilasi mekanik dilakukan dengan menggunakan obat sedatif.
Analgetik yang adekuatdiberikan untuk mendapatkan kondisi yang

17
nyaman dan aman. Kondisi yang tidak nyaman dari nyeri dapat
menyebabkan respon stres seperti takikardi, meningkatkan konsumsi
oksigen hipermetabolisme, meningkatkan katekolamin endogen, dan
meningkatnya TIK.
Pemberian analgetik yang adekuat dapat menurunkan konsumsi
oksigen 15%, disamping dapat mencegah naiknya tekanan darah yang
dapat menyebabkan perdarahan intrakranial setelah kraniotomi.
Pengalaman yang tidak menyenangkan dapat menyebabkan Post
Traumatic Stress Disorder (PTSD). Propofol digunakan karena
menekan metabolisme serta mempunyai waktu paruh yang pendek
sehingga evaluasi derajat kesadaran dapat segera dilakukan setelah obat
dihentikan. Efek hipotensi dan Propofol Infusion Syndrome perlu
diwaspadai. Analgesia kontinyu fentanyl dan dexketoprofen diberikan
karena efeknya minimal pada hemodinamik. Posisi head up 15o-30o
dilakukan untuk mengurangi tekanan intrakranial dengan memperbaiki
drainase Vena Serebral. Posisi ini bisa menyebabkan hipotensi yang
akan menurunankan perfusi serebral, memperberat iskemi sehingga
akan mempengaruhi luaran. Hemodinamik dijaga kestabilan dengan
mencegah hipotensi dan hipertensi. Hipotensi akan memperburuk
edema otak dan akan meningkatkan TIK. Pengendalian edema otak dan
TIK dapat dilakukan dengan pemberian cairan hiperosmoler seperti
manitol. Manitol bekerja sebagai dioretika osmotik dengan cara
meningkatkan osmolaritas serum dan membuat perbedaan tekanan
osmotik.

7. Perawatan Lainnya
Perawatan lain adalah perawatan harian seperti perubahan posisi
berkala, kebersihan oral, kulit, perawatan mata, pencegahan infeksi,
ulkus, deepvein trombosis, pencegahan peptik ulcer, Pemberian bowel
regimen untuk mencegah konstipasi juga dilakukan fisioterapi
(Soertidewi, 2012).

18
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Trauma kepala adalah trauma pada kulit kepala, tengkorak dan
otak yang terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala
yang dapat mengakibatkan terjadinya penurunan kesadaran bahkan sampai
dapat menyebabkan kematian. Pedoman penatalaksanaan cedera kepala
telah mengalami perbaikan, penanganan yang cepat dan tepat akan
mempengaruhi kondisi dari pasien dengan cedera kepala.
Pada periode ini kondisi-kondisi yang dapat menyebabkan cedera
sekunder bisa cepat diketahui dan dilakukan pengelolaannya sehingga
cedera sekunder dapat dihindari dan dicegah serta diterapi. Landasan dari
pengelolaan cedera kepala adalah resusitasi dan stabilisasi di tempat
kejadian, kecepatan dan ketepatan transportasi, resusitasi di unit gawat
darurat, evakuasi pembedahan, kontrol Tekanan Intra Kranial (TIK),
menjaga tekanan perfusi otak, monitoring multimodal, optimalisasi
lingkungan fisiologis. Hal itu semua memerlukan kerjasama, pemahaman
semua yang terlibat sehingga hasilnya bisa optimal dalam rangka
meminimalkan morbiditas dan mortalitas.

B. Saran
Semoga makalah yang kami susun ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca, memberikan pengetahuan tentang konsep cedera kepala dan
bagaimana manajemen kegawatdaruratan pada cedera kepala. Penyusunan
makalah ini masih banyak terdapat kekurangan baik dari segi
penulisannya, bahasa dan lain sebagainya. Untuk itu saran dari pembaca
yang bersifat membangun sangat kami harapkan agar terciptannya
makalah yang baik dan dapat memberi pengetahuan bagi pembaca.

19
DAFTAR PUSTAKA

Musliha. 2010. Keperawatan Gawat Darurat: Plus Contoh Askep Dengan


Pendekatan NANDA NIC NOC. Yogyakarta: Nuha Medika

Rosjidi, Cholik Harun dan Saiful Hidayat. 2007. Trauma Kepala: Asuhan
Keperawatan Klien Dengan Cidera Kepala. Yogyakarta: Ardana Media

Mutaqqin, Arif. 2008. Pengatar Asuhan Keperawatan Klien Dengn Gangguan


Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika

Nayduch, Donna. 2014. Nurse To Nurse: Perawatan Trauma. Jakarta: Salemba


Medika

Marik, Paul E, dkk. 2002. Management Of Head Trauma: CHEST 2002;


122:699711. http://chestjournals.org/cgi/content/abstract/122/2/699 diakses
pada tanggal 8 September 2016

Soertidewi, Lyna. 2012. Penatalaksanaan Kedaruratan Cedera Kranioserebral :


CDK-193/ vol. 39 no. 5

Prasetyantoro, Indra. 2013. Hubungan Ketepatan Nilai Triase Dengan Tingkat


Keberhasilan Penanganan Pasien Cedera Kepala Di RSU PKU
Muhammadiyah Bantul. http://naskah-publikasi-indra-prasetyantoro.pdf
diakses pada tanggal 8 September 2016

Basuki, W.S dkk. 2015. Penatalaksanaan Perioperatif Cedera Kepala Traumatik


Berat dengan Tanda Cushing: JNI 2015;4 (1): 3442.
http://fmipa.umri.ac.id/wp-content/uploads/2016/06/LUSI-CEDERA-PD-
CUSHING-SINDROM.pdf diakse pada tanggal 8 September 2016

20

Anda mungkin juga menyukai