Anda di halaman 1dari 15

SELF LEARNING REPORT CASE STUDY 4

A. Anti Virus

Virus adalah parasit berukuran mikroskopik yang menginfeksi sel


organisme biologis. Virus bersifat parasit obligat, hal tersebut disebabkan karena
virus hanya dapat bereproduksi di dalam material hidup dengan menginvasi dan
memanfaatkan sel makhluk hidup karena virus tidak memiliki perlengkapan
selular untuk bereproduksi sendiri (Syarif, 2007). Biasanya virus mengandung
sejumlah kecil asam nukleat (DNA atau RNA, tetapi tidak kombinasi keduanya)
yang diselubungi semacam bahan pelindung yang terdiri atas protein, lipid,
glikoprotein, atau kombinasi ketiganya. Untuk berkembangbiak, virus
memerlukan lingkungan sel yang hidup. Virus hanya dapat berkembang biak
(bereplikasi) pada medium yang hidup seperti embrio, jaringan hewan, jaringan
tumbuhan. Karena virus tidak memiliki sistem enzim dan tidak dapat
bermetabolisme, maka virus tidak dapat melakukan reproduksi sendiri. Untuk
berkembangbiak mereka harus menginfeksi sel inang. Ada dua macam cara virus
menginfeksi sel inang yaitu siklus litik dan fase lisogenetik (Irfan, 2010).

1. Siklus Litik, merupakan fase dimana virus akan menghancurkan sel hospes
setelah berhasil melakukan replikasi. Terdiri dari 6 tahapan sebagai
berikut:
a. Fase adsorbsi/ attachment/ pelekatan
Pelekatan virus merupakan proses interaksi awal antara partikel virus
dengan molekul reseptor pada permukaan sel inang. Pada tahap ini,
terjadi ikatan spesifik antara molekul reseptor seluler dengan
antireseptor pada virus. Beberapa jenis virus memerlukan molekul
lainnya untuk proses pelekatan yaitu koreseptor. Molekul reseptor
yang targetnya pada permukaan sel dapat berbentuk protein (biasanya
glikoprotein) atau residu karbohidrat yang terdapat pada glikoprotein
atau glikolipid (Syarif, 2007). Beberapa virus kompleks seperti
herpesvirus memiliki lebih dari satu reseptor sehingga mempunyai
beberapa rute untuk berikatan dengan sel. Reseptor virus mempunyai
beberapa kelas yang berbeda : (Irfan, 2010).

molekul immunoglobulin-like superfamily

reseptor terkait membran

saluran dan transporter transmembran

b. Fase injeksi/ penetration


Setelah terbentuk lubang, kapsid virus berkontraksi untuk memompa
asam nukleatnya (DNA atau RNA) masuk kedalam sel. Jadi, kapsid
virus tetap berada diluar sel bakteri. Penetrasi terjadi pada waktu yang
sangat singkat setelah pelekatan virus pada reseptor di membran
sel. Proses ini terdapat tiga mekanisme yang terlibat: (Irfan, 2010).
Translokasi partikel virus
Endositosis virus ke dalam vakuola intraseluler
Fusi dari envelope dengan membran sel (untuk virus yang
berenvelope)
c. Fase sintesis
Virus tidak memiliki mesin biosintetik sendiri. Virus akan
menggunakan mesin biosintetik inang (misalnya bakteri) untuk
melanjutkan kehidupanya sehingga DNA virus memproduksi enzim
penghancur untuk menghancurkan DNA bakteri. Dengan demikian
bakteri tidak mampu mengendalikan mesin biosintetik sendiri. DNA
virus akan mereplikasikan diri berulangkali dengan jalan menkopi diri
membentuk DNA virus dengan jumlah yang banyak. Selanjutnya DNA
virus tersebut melakukan sintesis protein virus yang akan dijadikan
kapsid (Irfan, 2010).
d. Fase perakitan/assembly
Kapsid yang disintesis mula-mula terpisah-pisah antara bagian kepala,
ekor, dan serabut ekor. Bagian-bagian kapsid tersebut dirakit menjadi
menjadi kapsid virus yang utuh, kemudian DNA virus masuk
didalamnya sehingga terbentuk tubuh virus yang utuh dan berjumlah
banyak sekitar 100-200 buah. Perakitan merupakan proses
pengumpulan komponen-komponen virion pada bagian khusus di
dalam sel. Selama proses ini, terjadi pembentukan struktur partikel
virus. Proses ini tergantung kepada proses replikasi di dalam sel dan
tempat di mana virus melepaskan diri dari sel. Mekanisme perakitan
bervariasi untuk virus yang berbeda-beda. Contoh : proses
perakitan Picornavirus, Poxvirus, dan Reovirus terjadi di sitoplasma,
sementara itu proses perakitan Adenovirus, Poliovirus, dan Parvovirus
terjadi di nucleus (Irfan, 2010).
e. Fase Pematangan
Pematangan merupakan tahap dari siklus hidup virus dimana virus
bersifat infeksius. Pada tahap ini terjadi perubahan struktur dalam
partikel virus yang kemungkinan dihasilkan oleh pemecahan spesifik
protein kapsid untuk menghasilkan produk yang matang. Protease
virus dan enzim seluler lainnya biasanya terlibat dalam proses ini
(Irfan, 2010).
f. Fase litik/release
Ketika perakitan virus selesai, virus telah memproduksi enzim lisozim
yaitu enzim penghancur yang akan menghancurkan dinding sel bakteri.
Ketika dinding sel bakteri hancur, sel bakteri mengalami lisis (pecah),
dan virus-virus baru akan keluar untuk mencari inang yang lain. Fase
ini merupakan fase lisisnya sel bakteri namun bagi virus merupakan
fase penghamburan virus(Irfan, 2010).
2. Siklus Lisogenik, merupakan fase replikasi dimana virus tidak
menghancurkan sel bakteri. Pada siklus ini sel inangnya tidak hancur tetapi
disisipi oleh asam nukleat dari virus (Irfan, 2010). Tahap penyisipan
tersebut kemudian membentuk provirus. Tahap-tahapannya sebagai
berikut:
a. Fase adsorbsi
Fase ini ditandai dengan melekatnya ekor virus pada dinding sel
bakteri. Virus menempel hanya pada tempat-tempat khusus, yakni
pada permukaan dinding sel bakteri yang memiliki protein khusus
yang dapat ditempeli protein virus. Menempelnya virus pada protein
dinding sel bakteri itu sangat khas, seperti halnya kunci dan gembok.
Virus dapat menempel pada sel-sel tertentu yang diinginkan karena
memiliki reseptor pada ujung-ujung serabut ekor. Setelah menempel,
virus mengeluarkan enzim lisozim (enzim penghancur) sehingga
terbentuk lubang pada dinding bakteri dan sel inang (Irfan, 2010).
b. Fase injeksi/penetration
Setelah terbentuk lubang, kapsid virus berkontraksi untuk memompa
asam nukleatnya (DNA atau RNA) masuk kedalam sel (Irfan, 2010).
c. Fase penggabungan
Ketika memasuki fase injeksi, DNA virus masuk kedalam tubuh
bakteri. Selanjutnya, DNA bakteri akan melakukan penggabungan.
DNA bakteri berbentuk silkuler, yakni seperti kalung yang tidak
berujung dan berpangkal. DNA tersebut berupa benang ganda yang
terpilin. Mula-mula DNA bakteri terputus, kemudian DNA virus
menggabungkan diri diantara benang yang putus tersebut, dan akhirnya
membentuk DNA sikuler baru yang telah disisipi DNA virus. Dengan
kata lain, didalam DNA bakteri terkandung DNA genetik virus (Irfan,
2010).
d. Fase pembelahan
Dalam keadaan tersebut itu, DNA virus sudah tidak aktif lagi, yang
dikenal sebagai profag. Karena DNA virus menjadi satu dengan DNA
bakteri, maka jika DNA bakteri melakukan replikasi, profag juga ikut
melakukan replikasi. Dengan demikian, terbentuklah dua sel bakteri
sebagai hasil pembelahan dan didalam setiap sel anak bakteri
mengandung profag yang identic (Irfan, 2010).
e. Fase sintesis
Pada tahap ini, profag tersebut memisahkan diri dari DNA bakteri,
kemudian menghancurkan DNA bakteri. Selanjutnya, DNA virus
mengadakan sintesis yakni mensintesis protein untuk digunakan
sebagai kapsid bagi virus-virus baru dan juga melakukan replikasi
DNA sehingga DNA virus menjadi banyak (Irfan, 2010).
Antivirus adalah sebuah agen yang membunuh virus dengan cara menekan
kemampuan virus untuk bereplikasi, menghambat kemampuan untuk
menggandakan dan memperbanyak diri (Agoes, 2008). Terdapat beberapa hal
yang perlu dipertimbangkan dalam penggunaan obat terapi antivirus yaitu dilihat
dari lamanya terapi, pemberian terapi tunggal atau kombinasi, interaksi obat dan
kemungkinan terjadinya resistensi. Menurut Gunawan (2009) obat antivirus
diklasifikasi menjadi 2 golongan yaitu golongan Antinoretrovirus dan
Antiretrovirus.

1. Antinoretrovirus , terdiri dari


a. Antivirus untuk herpes
Asiklovir
- Mekanisme kerja :
Asiklovir memerlukan tiga kali fosforilasi sebelum aktif.
Pertama, difosforilasi menjadi senyawa monofosfat oleh kinase
timidin pada sel hospes yang terinfeksi virus. Kemudian enzim
seluler menambahkan gugus fosfat ntuk membentuk asiklovir
difosfat dan trifosfat. Asiklovir trifosfat inilah yang akan
menghambat sintesis DNA virus dengan cara berkompetisi
dengan deoksiguannosin trifosfat DNA polymerase virus.
Apabila asiklovir trifosfat yang masuk ke tahap replikasi DNA
maka sintesis akan berhenti dan memutus pembentkan rantai
DNA virus (Gunawan, 2009).
- Indikasi :
Herpes genital, herpes zoster, keratitis herpetic dan herpes
labialis.
- Dosis :
herpes genital PO 5x/hari 200mg tablet,
herpes zoster PO 4x400mg sehari
Penggunaan topical untuk keratitis herpetic adalah dalam
bentuk krim ophthalmic 3% dan krim 5% untuk herpes labialis.
- Efek samping :
Efek samping tergantung pada cara pemberian. Misalnya, iritasi
local dapat terjadi dari pemberian topical, sakit kepala, diare,
mual, dan muntah merupakan hasil pemberian oral , gangguan
fungsi ginjal dapat timbul pada dosis tinggi atau pasien
dehidrasi yang menerima obat secara intravena.
Gansiklovir
- Mekanisme kerja :
Gansiklovir diubah menjadi gansiklovir monofosfat oleh enzim
fospotransferasse yang dihasilkan oleh sel yang terinfeksi
sitomegalovirus. Gansiklovirmonofospat merupakan sitrat
fospotranferase yang lebih baik dibandingkan dengan asiklovir.
Waktu paruh eliminasi gangsiklovir ktrifospat sedikitnya 12
jam, sedangkan asiklovir hanya 1-2 jam. Perbedaan inilah yang
menjelaskan mengapa gansiklovir lebih superior dibandingkan
dengan asiklovir untuk terapi penyakit yang disebabkan oleh
sitomegalovirus (Gunawan, 2009).
- Indikasi :
Infeksi CMV, terutama CMV retinitis pada pasien
immunocompromised (misalnya : AIDS ) baik untuk terapi atau
pencegahan.
- Sediaan dan Dosis :
Diberikan secara IV 10 mg/kg per hari ( 2 X 5 mg/kg, setiap 12
jam) selama 14-21 hari,dilanjutkan dengan pemberian
maintenance peroral 3000mg per hari ( 3 X sehari 4 kapsul @
250 mg ).
Foskarnet
- Mekanisme kerja :
Obat ini membentuk kompleks dengan DNA polymerase virus
pada tempat ikatan pirofosfat, mencegah pecahnya pirofosfat
dari nukleosida trifosfat dan menghambat proses pemanjangan
primer-template (Tjay dan rahardja, 2007)
- Indikasi :
Retinitis CMV pada pasien AIDS, infeksi herpes mukoktan
yang resisten terhadap asiklovir, infeksi HSV dan VZV pada
pasien imunocompromise
- Efek samping : nefrotoksisitas, dan hipokalsemia simptomatik.
b. Antivirus untuk influenza
Amantadin dan Rimantadin
- Indikasi : pencegahan dan terapi awal infeksi virus influenza A
(Amantadin juga diindikasi untuk terapi penyakit Parkinson ).
- Dosis :
Amatidin 200 mg perhari ( 2 x 100mg kapsul)
Rimantidin 300 mg per hari ( 2 x sehari 150mg tablet)
- Efek samping : gelisah, sulit berkonsentrasi, insomnia, dan
kehilangan nafsu makan (Gunawan, 2009).
Inhibitor Neuraminidase (Oseltamivir, Zanamivir)
- Mekanisme kerja :
Hambatan terhadap neuraminidase mencegah terjadinya
infeksi. Neuraminidase juga mengakibatkan penlepasan virus
yang optimal dari sel yang terinfeksi, menurunkan
kemungkinan berkembangnya influenza dan menurunkan
tingkat keparahan, jika penyakitnya berkembang (Tjay dan
Rahardja, 2007)
- Indikasi :
Terapi dan pencegahan infeksi virus influenza A dan B.
- Dosis :
Zanamivir diberikan per inhalasi dengan dosis 20 mg per hari
(2 x 5 mg, setiap 12 jam) selama 5 hari. Sedangkan, oseltamivir
diberikan per oral dengan dosis 150 mg per hari (2 x 75 mg
kapsul, setiap 12 jam) selama 15 hari. Terapi dengan zanamivir
/oseltamivir dapat diberikan seawal mungkin, dalam waktu 48
jam, setelah onset gejala (Gunawan, 2009).
- Efek samping :
Terapi zanamivir gejala saluran nafas dan gejala saluran
cerna, batuk, bronkospasme dan penurunan fungsi paru
reversibel pada beberapa pasien.
Terapi oseltamivir mual, muntah, nyeri abdomen, sakit
kepala.
Ribavirin, efektif terhadap virus RNA dan DNA khusunya
orthomyxovirus (influenza A dan B), dan paramyxovirus (cacar air,
respiratory syncytialvirus (RSV).
- Mekanisme kerja :
Ribavirin merupakan analog guanosin yang cincin purinnya
tidak lengkap. Setelah mengalami fosforilasi intrasel , ribavirin
trifosfat mengganggu tahap awal transkripsi virus, seperti
proses capping dan elongasi mRNA serta menghambat sintesis
ribonukleoprotein (Gunawan, 2009).
- Indikasi :
Terapi infeksi RSV pada bayi dengan resiko tinggi. Ribavirin
digunakan dalam kombinasi dengan interferon-/ pegylated
interferon untuk terapi infeksi hepatitis C.
- Dosis : PO 800-1200 mg/ hari untuk terapi infeksi HCV/ dalam
bentuk aerosol (larutan 20 mg/ml).
- Efek samping : iritasi konjungtiva ringan.
c. Antivirus untuk HBV dan HCV.
Lamivudin
- Mekanisme kerja :
Lamivudin dimetabolisme di hepatosit menjadi bentuk triposfat
yang aktif. Lamivudin bekerja dengan cara menghentikan
sintesis DNA, secara kompetitif menghambat polymerase virus.
Lamivudin tidak hanya aktif terhadap HBV wild-type saja,
namun juga terhadap varian precorel core promoter dan dapat
mengatasi hiperresponsivitas sel T sitotoksik pada pasien yang
terinfeksi kronik (Gunawan, 2009).
- Indikasi : Infeksi HBV ( wild-type dan precore variants).
- Dosis :
PO 100 mg per hari (dewasa), untuk anak-anak 1mg/kg yang
bila perlu ditingkatkan hingga 100mg/hari. Lama terapi yang
dianjurkan adalah 1 tahun pada pasien HBeAg (-) dan lebih
dari 1 tahun pada pasien yang HBe(+).
- Efek Samping : mual, muntah, sakit kepala, peningkatan kadar
ALT dan AST dapat terjadi pada 30-40% pasien.
Adefovir
- Indikasi :
Adefovir terbukti efektif dalam terapi infeksi HBV yang
resisten terhadap lamivudin.
- Dosis : PO 10 mg/hari.
Entekavir
- Mekanisme kerja :
Entekavir merupakan analog deoksiguanosin yang memiliki
aktivitas anti-hepadnavirus yang kuat. Entekavir mengalami
fosforilasi menjadi bentuk trifosfat yang aktif, yang berperan
sebagai kompetitorsubstrat natural (deoksiguanosin trifosfat)
serta menghambat HBV polymerase (Gunawan, 2009).
- Indikasi : Infeksi HBV.
- Efek samping : Sakit kepala, infeksi saluran nafas atas, batuk,
nasofaringitis, fatigue, pusing, nyeri abdomen atas dan mual
(Katzung, 2010).
2. Antiretrovirus, terdiri dari
a. Nukleuside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI)
Zidovudin
- Mekanisme kerja :
Zidovudin bekerja dengan cara menghambat enzim reverse
transcriptase virus, setelah gugus asidotimidin (AZT) pada
zidovudin mengalami fosforilasi. Gugus AZT 5- mono fosfat
akan bergabung pada ujung 3 rantai DNA virus dan
menghambat reaksi reverse transcriptase (Gunawan, 2009).
- Indikasi : infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV
lainnya(seperti lamivudin dan abakafir).
- Efek samping : anemia, neotropenia, sakit kepala, mual.
Didanosin
- Mekanisme kerja : Obat ini bekerja pada HIV dengan cara
menghentikan pembentukan rantai DNA virus.
- Indikasi :
Infeksi HIV, terutama infeksi HIV tingkat lanjut, dalam
kombinasi anti HIV lainnya.
- Dosis : tablet & kapsul salut enteric peroral 400 mg/hari dalam
dosis tunngal atau terbagi.
- Efek samping : diare, pankreatitis, neuripati perifer.
Zalsitabin
- Mekanisme kerja : Obat ini bekerja pada HIV dengan cara
menghentikan pembentukan rantai DNA virus (Gunawan,
2009).
- Indikasi :
Infeksi HIV, terutama pada pasien HIV dewasa tingkat lanjut
yang tidak responsive terhadap zidovudin dalam kombinasi
dengan anti HIV lainnya (bukan zidanudin).
- Dosis : Diberikan peroral 2,25 mg / hari(1 tablet 0,75 mg tiap 8
jam)
- Efek samping : Neuropati perifer, stomatitis, ruam dan
pankreatitis.
Stavudin
- Mekanisme kerja :
Obat ini bekerja pada HIV RT dengan cara menghentikan
pembentukkan rantai DNA virus (Gunawan, 2009).
- Indikasi : Infeksi HIV terutama HIV tingkat lanjut,
dikombinasikan dengan antiHIV lainnya.
- Dosis : Per oral 80 mg/hari (1 kapsul 40 mg, setiap 12 jam).
- Efek samping : Neuropati periver, sakit kepala, mual, ruam.

b. Nukleutide Reverse Transcriptase Inhibitor (NtRTI)


Tenofovir Disoproksil
- Mekanisme kerja : Bekerja pada HIV dengan cara
menghentikan pembentukan rantai DNA virus (Gunawan,
2009).
- Indikasi : Infeksi HIV dalam kombinasi dengan evafirens, tidak
boleh dikombinasi dengan lamifudin dan abakafir.
- Dosis : Per oral sehari 300 mg tablet.
- Efek samping : Mual, muntah, flatulens, dan diare.
c. non neokleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI)
Merupakan kelas obat yang menghambat aktivitas enzim revers
transcriptase dengan cara berikatan ditempat yang dekat dengan tempat
aktif enzim dan menginduksi perubahan konformasi pada situs akif ini.
Semuasenyawa NNRTI dimetabolisme oleh sitokrom P450 sehingga
cendrung untuk berinteraksi dengan obat lain (Gunawan, 2009).
Nevirapin
- Indikasi : Infeksi HIV-1 dalam kombinasi dengan anti-HIV
lainnya terutama NRTI.
- Efek samping : Ruam, demam, fatigue, sakit kepala, somnolens
dan peningkatan enzim hati.
Delavirdin
- Indikasi : Infeksi HIV-1, dikombinasi dengan anti HIV lainnya
terutama NRTI.
- Dosis : Per oral 1200mg / hari ( 2 tablet 200mg 3 x sehari ) dan
tersedia dalam bentuk tablet 100mg.
- Efek samping : Ruam, penningkatan tes fungsi hati,
menyebabkan neutropenia.
Efavirenz
- Indikasi : Infeksi HIV- 1
- Efek samping : Sakit kepala, pusing, mimpi buruk, sulit
berkonsentrasi dan ruam.
d. Protease inhibitor (PI), terdiri dari
Sakuinavir
Ritonavir
Indinavir
Nelfinavir
Amprenavir
Lopinavir
e. Viral entry inhibitor.
Obat ini bekarja dengan cara menghambat fusi virus ke sel. Selain
enfuvitid ; bisiklam saat ini sedang berada dalam study klinis. Obat ini
bekerrja dengan cara menghambat masukan HIV ke sel melalui
reseptor CXCR4 (Gunawan, 2009).
Enfurtid
- Indikasi :
Terapi infeksi HIV-1 dalam kombinasi dengan antiHIV-
lainnya.
- Efek samping : Adanya reaksi local seperti nyeri, eritema,
proritus, iritasi dan nodul atau kista.

B. Anti Fungal

Obat anti jamur merupakan obat yang digunakan untuk menghilangkan


organismemikroskopis tanaman yang terdiri dari sel seperti cendawan dan ragi,
atau obat yang digunakan untuk menghilangkan jamur. Berdasarkan indikasi
klinis, obat anti jamur terdiri dari beberapa kelompok, yaitu (Kee dan Hayes,
1993)

1. Obat anti jamur untuk infeksi sistemik


a. Amfoterisin B
Mekanism kerja : berikatan kuat dengan ergosterol yang terdapat pada
membran sel jamur, sehingga menyebabkan kebocoran dari membran
sel, dan akhirnya lisis (Pappas PG, dkk., 2004).
Indikasi : infeksi jamur berat yang mengancam nyawa termasuk
histoplasmosis, blastomycosis, aspergilosis, mucormycosis, dan
candidosis (Tjay dan Rahadja, 2007).
Kontraindikasi : gangguan fungsi ginjal, kehamilan, dan menyusui.
Efek samping : demam, sakit kepala, mual, lemas, diare dan gangguan
ginjal (Tjay dan Rahadja, 2007).
b. Flusitosin
Mekanisme kerja : flusitosin masuk ke dalam sel jamur dengan
bantuan sitosin deaminase dan dalam sitoplasma akan bergabung
dengan RNA setelah mengalami deaminasi menjadi 5-fluorourasil.
Sintesis protein sel jamur terganggu akibat penghambatan langsung
sintesis DNA oleh metabolit 5-fluorourasil (Pappas PG, dkk., 2004).
Indikasi : efektif untk pengobatan kandidiasis, kriptokokosis,
torulopsis, dan aspergilosis. Kriptokokus dan candida dapat menjadi
resisisten selama pengobatan dengan flusitosin (Tjay dan Rahadja,
2007).
c. Imidazole
Ketokonazol
Mekanisme kerja : berinteraksi dengan enzim P-450 untuk
menghambat demetilasi lanosterol menjadi ergosterol yang
penting untuk membran jamur. Obat ini efektif terhadap
histoplasmosis paru, tulang, sendi, dan jaringan lemak,
dermatomikosis, dan kandidosis (mukotan, vaginal, dan rongga
mulut). Namun obat ini dikontraindikasikan pada penderita
yang hipersensitif, ibu hamil, dan menyusui serta penyakit
hepar akut (Pappas PG, dkk., 2004)..
Flukonazol
Mekanisme kerja : menghambat sintesis ergosterol membran
sel jamur.
Indikasi : meningitis kriptokokus, kandidiasis orofaringeal,
kandidiasia esophageal, kandidiasis vaginal, dan kandidiasis
sistemik (Tjay dan Rahadja, 2007).
Kontraindikasi : hipersensitif derivate triazol, wanita hamil,
laktasi, dan anak dibawah 16 tahun (Tjay dan Rahadja, 2007).
2. Obat anti jamur ntk infeksi dermatofit dan mkokutan
a. Griseofulvin
Mekanisme kerja : obat ini masuk ke dalam sel jamur, berinteraksi
dengan mikrotubulus dalam jamur dan merusak serat mitotik dan
menghambat mitosis (Pappas PG, dkk., 2004).
Indikasi : dermatofitosis berat pada kulit, kuku dan rambut khussnya
yang disebabkan oleh Trichophyton rubum (Tjay dan Rahadja, 2007).
b. Nistatin
Mekanisme kerja : berikatan dengan ergosterol pada membran jamur,
permeabilitas meningkat, sel jamur mati.
Indikasi : kandidiasis kulit, selaput lender dan salran cerna, dan
sariawan (Tjay dan Rahadja, 2007).
Kontraindikasi : pasien yang hipersensitif terhadap nystatin (Tjay dan
Rahadja, 2007).
DAFTAR PUSTAKA

Agoes, Azwar.,dkk., 2008, Kumpulan Kuliah Farmakologi, Jakarta: EGC

Gunawan, Sulistia Gan., 2009, Farmakologi dan Terapi edisi 5, Jakarta: FKUI

Irfan, Daffarishq., 2010, Virus dan Antivirus, Yogyakarta: Mitra Pelajar

Tjay, T.H., Rahardja, K., 2007, Obat-Obat Penting : Khasiat, Penggunaan, dan
Efek-Efek Sampingnya, Jakarta: Gramedia

Katzung, Bertram G., 2011, Farmakologi Dasar dan Klinik ed.1, Jakarta: Salemba
Medika

Kee, Joyce L., Hayes, Evelyn R., 1993, Farmakologi, Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran

Pappas PG, Rex JH, Sobel JD., 2004, Gudelines for the treatment of candidiasis.
Clin Infect Dis hal. 38:161-89.

Syarif, A., dkk., 2007, Farmakologi dan Terapi, Jakarta: Gaya Baru

Anda mungkin juga menyukai