Pembimbing:
dr. Joyo Santoso, Sp.PD
Disusun oleh:
Nurul Apriliani G4A015019
Maulana Achsan K. G4A016052
2017
LEMBAR PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS
CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)
Disusun Oleh:
Nurul Apriliani G4A015019
Maulana Achsan K. G4A016052
Dokter Pembimbing:
1
I. PENDAHULUAN
2
II. LAPORAN KASUS
A. Identitas Penderita
Nama :Ny. M
Umur : 33 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Pondok Cabe Ilir 5/9 Pamulang
Agama : Islam
Status : Menikah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tanggal masuk RSMS : 2 Mei 2017, melalui poli RSMS
Tanggal periksa : 3 Mei 2017
B. Subjektif
1. Keluhan utama
Lemas
2. Keluhan tambahan
Mual, muntah, demam.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poli RSMS pada tanggal 2 Mei 2016 untuk kontrol
penyakitnya. Pasien mengaku memiliki riwayat gagal ginjal dan telah
rutin cuci darah di RSUD Margono Soekarjo 2x per minggu. Pasien
mengeluhkan badan lemas. Keluhan sudah dirasakan sejak 1 hari
sebelum masuk ke rumah sakit. Pasien juga mengeluhkan mual, muntah,
demam.
Pasien mengaku rutin hemodialiasa di RSUD Margono sejak Januari
2014 setelah didiagnosis CKD pada Desember 2014.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat hipertensi : Diakui
b. Riwayat DM : Disangkal
c. Riwayat penyakit jantung : Disangkal
d. Riwayat stroke : Disangkal
e. Riwayat alergi : Disangkal
f. Riwayat penyakit liver : Disangkal
5. Riwayat penyakit keluarga
3
a. Riwayat hipertensi : Disangkal
b. Riwayat DM : Disangkal
c. Riwayat penyakit jantung : Disangkal
d. Riwayat penyakit ginjal : Disangkal
6. Riwayat sosial ekonomi
a. Home
Pasien tinggal bersama suami dan 1 orang anak.
b. Community
Hubungan pasien dengan keluarganya baik dan komunikasi selalu
lancar dengan tetangganya.
c. Occupational
Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga..
d. Diet
Pola makan pasien tergolong baik dan teratur.
e. Drug
Pasien rutin cuci darah di RSUD Margono Soekarjo 2x per minggu
sejak Januari 2015.
f. Personal habbit
Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok dan meminum alkohol.
Pasien jarang berolahraga.
C. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum : Sedang
2. Kesadaran : Compos mentis, GCS E4M6V5
3. Vital sign
a. Tekanan Darah : 220/130mmHg
b. Nadi : 112x/menit,kuat, isi cukup, regular
c. RR : 20x/menit, reguler
d. Suhu : 38.1oC
4. Status Antropometri
Tinggi Badan : 150 cm
Berat Badan : 55 kg
4
IMT : 24,4
5. Status Generalis
a. Kepala
Bentuk : mesochepal, simetris, venektasi temporal (-)
Rambut : warna hitam, tidak mudah dicabut, distribusi merata,
tidak rontok.
b. Mata
Palpebra : edema (-/-) ptosis (-/-)
Konjungtiva : anemis (+/+)
Sklera : ikterik (-/-)
Pupil : reflek cahaya (+/+) normal,isokor 3 mm
c. Telinga
Otore (-/-), Deformitas (-/-), Nyeri tekan (-/-), Discharge (-/-)
d. Hidung
Napas cuping hidung (-), Deformitas (-/-), Discharge (-/-),
Rinorhea (-/-)
e. Mulut
Bibir sianosis (-), Bibir kering (-)
f. Leher
Trakhea : deviasi trakhea (-/-)
Kelenjar lymphoid : tidak membesar, nyeri (-)
Kelenjar thyroid : tidak membesar
JVP : 5+2 cm H2O
g. Dada
1) Paru
Inspeksi : bentuk dada simetris, ketinggalan gerak (-)
Palpasi : vocal fremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor pada lapang paru kiri dan kanan, batas paru
hepar di SIC V LMCD
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronki
basah kasar (-/-), ronki basah halus (-/-)
2) Jantung
5
Inspeksi : Ictus cordis tidak nampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V LMCS, kuat angkat
Perkusi : Batas jantung kanan atas:SIC II LPSD
Batas jantung kiri atas:SIC II LPSS
Batas jantung kanan bawah:SIC IV LPSD
Batas jantung kiri bawah: SIC V LMCS
Auskultasi : S1>S2, reguler, murmur (-), gallops (+)
h. Abdomen
Inspeksi : datar
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-)
Palpasi : supel, nyeri tekan (-)
Hepar : tak teraba
Lien : tak teraba
i. Ekstrimitas
Pemeriksaan Ekstremitas Ekstremitas
Superior Inferior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Edema - - - -
Sianosis - - - -
Akral dingin - - - -
Reflek + + + +
fisiologis
Reflek patologis - - - -
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium tanggal 2 Mei 2017
Hematokrit 19 L % 25 47
6
Glukosa sewaktu 107 N mg/dL <=200
Hematokrit 27 L % 35 47
MCHC 32.8 N % 32 36
Hitung jenis
Basofil 0.2 N % 01
Eosinofil 2.3 N % 24
Batang 0.3 L % 35
Segmen 79.2 H % 50 70
Limfosit 12.2 L % 25 40
Monosit 5.8 N % 28
E. Resume
1. Anamnesis
7
a. Keluhan utama: Lemas
b. Keluhan tambahan: mual, muntah, demam.
c. Pasien memiliki riwayat gagal ginjal dan telah rutin cuci darah di
RSUD Margono Soekarjo 2x per minggu sejak Januari 2015.
d. Pasien memiliki riwayat hipertensi.
2. Pemeriksaan fisik
a. Vital Sign
Tekanan Darah : 220/130 mmHg
Nadi : 112x/menit, kuat, isi cukup, regular
RR : 20x/menit, reguler
Suhu : 38.1oC
b. Pemeriksaan generalis
1) Kepala : dalam batas normal
2) Mata : konjungtiva anemis +/+
3) Telinga : dalam batas normal
4) Hidung : dalam batas normal
5) Mulut : dalam batas normal
6) Leher : dalam batas normal
7) Dada : dalam batas normal
8) Paru : dalam batas normal
9) Jantung : dalam batas normal
10) Abdomen : dalam batas normal
11) Ekstrimitas : dalam batas normal
c. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium tanggal 2 Mei 2017
Hematokrit 19 L % 25 47
8
Glukosa sewaktu 107 N <=200
Hematokrit 27 L % 35 47
MCHC 32.8 N % 32 36
Hitung jenis
Basofil 0.2 N % 01
Eosinofil 2.3 N % 24
Batang 0.3 L % 35
Segmen 79.2 H % 50 70
Limfosit 12.2 L % 25 40
Monosit 5.8 N % 28
9
72 x kreatinin plasma
= (140 - 33) x 55 x 0,85
72 x 5.26
= 5002.25
394.5
= 12.68 ml/mnt/1,73 m2
F. Diagnosis
CKD Grade V (on Hemodialisa)
Hipertensi Grade II
Anemia
H. Penatalaksanaan
1. Non Farmakologis
a. Edukasi keluarga tentang perjalanan penyakit, terapi, komplikasi,
prognosis penyakit.
b. Diet Rendah Garam, Rendah Protein, Rendah Kalium, Tinggi
Kalori.
2. Farmakologi
a. Inf NaCl 0.9% 10 tpm
b. Inf Paracetamol
c. Amlodipin 1x10 mg
d. Clonidin 1x1
e. Valsartan 1x80mg
f. Transfusi PRC 3 Kolf
g. HD Rutin 2x/minggu
3. Monitoring
a. Tanda vital
10
b. Darah lengkap, ureum, kreatinin, elektrolit
I. Prognosis
Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad malam
J. Perkembangan Pasien
Kamis, 4 S: P:
Lemas (+) - Inf NaCl
Mei Demam (-)
0.9% 10 tpm
2017 Mual (-)
- Inf
Muntah (-)
Sesak (+) Paracetamol
Suli tidur (+) - Amlodipin
O:
1x10 mg
Tensi: 230/130
- Clonidin 1x1
Nadi: 96x/menit
- Valsartan
RR: 22x/menit
Suhu: 36.9 1x80mg
A: - Transfusi
CKD on HD
PRC 3 Kolf
Hipertensi stage II
- HD Rutin
Anemia
2x/minggu
Jumat, S: P:
5 Mei Lemas (-) membaik - Amlodipin
Demam (-) 1x10 mg
2017
Mual (-) - Clonidin 1x1
Muntah (-) - Valsartan
Sesak (-)
Sulit tidur (-) membaik 1x80mg
- Transfusi
O:
Tensi: 150/120 PRC 1 Kolf
Nadi: 98x/menit - HD Rutin
RR: 20x/menit 2x/minggu
Suhu: 36.1
A:
CKD on HD
Hipertensi stage II
Anemia
11
12
III. TINJAUAN PUSTAKA
Tabel III.1. Klasifikasi CKD (Eknoyan, 2009; Levey et., al., 2005)
13
Klasifikasi Berdasarkan Keparahan
GFR
Derajat Deskripsi mL/min/1.73 Keadaan Klinis
2
m
1 Kerusakan ginjal dengan Albuminuria,
GFR Normal atau 90 proteinuria,
meningkat hematuria
2 Kerusakan ginjal dengan Albuminuria,
penurunan GFR ringan 60-89 proteinuria,
hematuria
3 Penurunan GFR sedang Insufisiensi ginjal
30-59
kronik
4 Penurunan GFR berat Insufisiensi ginjal
15-29
kronik, pre-ESRD
5 Gagal ginjal < 15 Gagal ginjal,
Atau dialisis uremia, ESRD
3. Etiologi
Penyebab dari CKD yang tersering dapat dibagi menjadi delapan
kelompok besar, diantaraya (Price dan Wilson, 2010):
a. Penyakit infeksi tubulointerstitial, seperti pielonefritis kronis dan
refluks nefropati.
b. Penyakit peradangan, seperti glomerulonefritis.
c. Penyakit vaskuler hipertensif, seperti nefrosklerosis benigna,
nefrosklerosis maligna, dan stenosis arteri renalis.
d. Gangguan jaringan ikat, seperti Sistemik Lupus Eritematosus (SLE),
poliarteritis nodosa, sklerosis sistemik progresif.
e. Gangguan kongenital dan herediter, seperti penyakit ginjal polikistik,
asidosis tubulus ginjal.
f. Penyakit metabolik, seperti Diabetes Mellitus (DM), gout,
hiperparatiroidisme, amaloidosis.
g. Nefropati toksik, seperti penyalahgunaan analgesik, nefropati timah.
h. Nefropati obstruktif, terbagi dalam traktus urinarius bagian atas
(batu, neoplasma, fibrosis retroperitoneal) dan traktus urinarius
14
bagian bawah (hipertrofi prostat, striktur uretra, anomali kongenital
leher vesika urinaria, dan uretra).
Penyakit CKD merupakan keadaan gangguan fungsi ginjal
progresif yang dapat disebabkan oleh banyak faktor, namun hipertensi
dan DM merupakan 2 buah penyebab yang paling sering mendasari
terjadinya CKD (McCance dan Sue, 2006). Penyebab lain yang dapat
menyebabkan gangguan fungsi ginjal progresif adalah reduksi massa
ginjal dikarenakan infeksi dan obstruksi ginjal (Lopez-Novoa et., al.,
2010).
Hipertensi dapat mengakibatkan terjadinya CKD melalui beberapa
mekanisme (Suwitra, 2009):
a. Vaskulopati ginjal yang terjadi pada arteri dan arteriol preglomerular.
Vaskulopati yang terjadi diakibatkan oleh aterosklerosis, disfungsi
endotel, penebalan dinding pembuluh darah, serta fibrosis pada
hipertensi
b. Kerusakan mikrovaskuler pada kapiler glomerulus
c. Kerusakan barrier filtrasi (podosit, sel mesangial, dan membrana
basalis) di glomerulus karena glumerulosklerosis.
d. Fibrosis interstitial.
4. Epidemiologi
Insidensi penyaki t CKD di Amerika Serikat, berdasarkan data
tahun 1995-1999 menyatakan insidensi penyakit ginjal kronik
diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini
meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Terdapat 1800 kasus baru gagal
ginjal pertahunnya di Malaysia, dandi negara berkembang lainnya,
insidensi ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk per
tahun.Penyakit CKD lebih sering terjadi pada pria daripada
wanita.Insidennya pun lebih sering pada kulit berwarna hitam daripada
kulit putih(Suwitra, 2009).
Penyebab CKD pada pasien dengan hemodialisis di Indonesia
menurut data PERNEFRI tahun 2011 didapatkan sebagai berikut,
Penyakit Ginjal hipertensi (34%), nefropati diabetika (27%),
15
glomerulopati primer (14%), nefropati obstruksi (8%), pielonefritis
kronik (6%), nefropati asam urat (2%), SLE (1%), ginjal polikistik (1%),
lain-lain (6%), dan tidak diketahui (1%) (PERNEFRI,2011).
5. Patogenesis
Perjalanan umum CKD diperoleh dengan melihat hubungan antara
bersihan kreatinin dengan GFR sebagai persentase dari keadaan normal,
terhadap kreatinin serum dan kadarBlood Uric Nitrogen (BUN) karena
massa nefron dirusak secara progresif. Perjalanan penyakit CKD secara
umum terjadi dalam beberapa tahapan, yaitu (Price dan Wilson, 2010):
a. Stadium I (Penurunan Cadangan Ginjal)
Selama stadium ini kreatinin serum dan kadar BUN normal,
dan pasien asimtomatik. Gangguan fungsi ginjal hanya dapat
terdeteksi dengan memberi beban kerja yang berat pada ginjal
tersebut, seperti tes pemekatan urin yang lama atau dengan
mengadakan tes GFR yang teliti.
b. Stadium II (Insufisiensi Ginjal)
Insufisiensi ginjal menandakan bahwa ginjal sudah tidak dapat
lagi menjalankan f ungsinya secara normal, pada keadaan ini GFR
mengalami penurunan yang bermakna hingga mencapai 25% dari
besaran normal akibat kerusakan lebih dari 75% jaringan
nefron.Tanda dan gejala serta disfungsi ginjal yang ringan sudah
muncul. Nefron yang masih berfungsi akan melakukan kompensasi
untuk memaksimalkan fungsi ginjal. Kelainan konsentrasi urin,
nokturia, anemia ringan, dan gangguan fungsi ginjal saat stres dapat
terjadi pada tahapan ini.
c. Stadium III (End Stage Renal Disease/ ESRD)
Stadium ini dimulai ketika sekitar 90% dari massa nefron telah
hancur, atau hanya sekitar 200.000 nefron yang masih utuh. Nilai
GFR hanya 10% dari keadaan normal, dan bersihan kreatinin hanya
sebesar 5-10 ml per menit atau kurang. Pada keadaan ini, kreatinin
serum dan kadar BUN akan meningkat dengan sangat menyolok
16
sebagai respons terhadap GFR yang mengalami penurunan. Gejala
yang timbul cukup parah, karena ginjal tidak sanggup
mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit dalam
tubuh.Pasien biasanya menjadi oligourik dan terdapat perubahan
biokimia serta gej ala-gejala yang dinamakan sindrom uremik.
6. Patofisiologi
Patofisiologi umum CKD dijelaskan melalui dua pendekatan
teoretis. Sudut pandang tradisional mengatakan semua unit nefron telah
terserang penyakit namun dalam stadium yang berbeda-beda dan bagian-
bagian spesifik dari nefron yang berkaitan dengan fungsi tertentu saja
yang benar-benar rusak atau berubah strukutnya. Sebagai contoh
kerusakan pada medula akan merusak susunan anatomik pada lengkung
Henle, sehingga dapat mempengaruhi pompa klorida dan mengganggu
proses aliran balik pemekat dan aliran balik penukar. Teori kedua atau
disebut dengan hipotesis Bricker. Apabila nefron terserang penyakit maka
seluruh unitnya akan hancur, namun sisa nefron yang masih utuh tetap
bekerja normal. Uremia akan timbul jika jumlah nefron sudah berkurang
sehingga keseimbangan cairan dan elektrolit tidak dapat dipertahankan
lagi (Price dan Wilson, 2010).
Sisa nefron yang ada beradaptasi dengan mengalami hipertrofi
dalam usahanya untuk mengimbangi beban ginjal. Terjadi peningkatan
filtrasi dan reabsorbsi glomerulus tubulus dalam setiap nefron, meskipun
GFR untuk seluruh massa nefron yang terdapat dalam ginjal turun di
bawah nilai normal. Mekanisme tersebut mampu menyokong
keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh hingga tingkat fungsi ginjal
yang paling rendah. Namun jika 75% massa nefron telah hancur, maka
kecepatan filtrasi dan beban zat terlarut bagi setiap nefron akan semakin
tinggi. Hal ini mengakibatkan keseimbangan glomerulus tubulus tidak
dapat dipertahankan lagi (Pricedan Wilson, 2010).
Pada saat kemampuan memekatkan atau mengencerkan kemih
hilang atau menurun, maka akan menyebabkan berat jenis urin tetap pada
nilai 1,010 atau 285 mOsm/liter yaitu sama dengan konsentrasi plasma,
17
dan merupakan penyebab gejala poliuria dan nokturia. Retensi cairan dan
natrium ini mengkibatkan ginjal tidak mampu mengkonsentrasikan dan
mengencerkan urin.Respon ginjal yang tersisa terhadap masukan cairan
dan elektrolit sehari-hari tidak terjadi .Penderita sering menahan cairan
dan natrium, sehingga meningkatkan risiko terjadinya edema, gagal
jantung kongestif dan hipertensi (Price dan Wilson, 2010).
Anemia pada CKD sebagai akibat terjadinya produksi eritropoetin
yang tidak adekuat dan memendekkan usia sel darah merah. Eritropoetin
adalah suatu substansi normal yang diproduksi oleh ginjal, menstimulus
sumsum tulang untuk menghasilkan sel darah merah.Pada penderita CKD
produksi eritropoetin menurun (Price and Wilson, 2010).
Pada penderita CKD, juga terjadi gangguan metabolisme kalsium
dan fosfat. Kedua kadar serum tersebut memiliki hubungan yang saling
berlawanan. Dengan menurunnya filtrasi melalui glomerulus ginjal,
terdapat peningkatan kadar fosfat serum dan penurunan kadar serum
kalsium (Price and Wilson, 2010).
Pada penderita DM, konsentrasi gula dalam darah yang meningkat,
menyebabkan kerusakan pada nefron ginjal atau menurunkan fungsinya
yang akhirnya akan merusak sistem kerja nefron untuk memfiltrasi zat
zat sisa. Keadaan ini bisa mengakibatkan ditemukannya
mikroalbuminuria dalam urin penderita.Inilah yang biasa disebut sebagai
nefropati diabetik (Price and Wilson, 2010).
Penderita CKD juga dapat meng alami osteoforosis sebagai akibat
dari menurunnya fungsi ginjal untuk memproduksi vitamin D, sehingga
terjadi perubahan kompleks kalsium, fosfat dan keseimbangan hormon
(Price and Wilson, 2010).
7. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis CKD terdiri dari kelainan hemopoeisis, saluran
cerna, mata, kulit, selaput serosa, dan kelainan kardiovaskular yaitu
sebagai berikut:
a. Kelainan hemopoeisis
18
Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94
CU), sering ditemukan pada pasien CKD. Anemia pada pasien CKD
terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal lain yang ikut
berperan dalam terjadinya anemia a dalah defisiensi besi, kehilangan
darah (misal perdarahan saluran cern a, hematuri), masa hidup
eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam
folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses
inflamasi akut ataupun kronik (Suwitra, 2009).
Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin < 10
g/dL atau hematokrit < 30 %, meliputi evaluasi terhadap status besi
(kadar besi serum / serum iron, kapasitas ikat besi total/Total Iron
binding Capacity(TIBC), feritin serum, mencari sumber perdarahan,
morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis, dan sebagainya
(Murray et al., 2007; Suwitra, 2009).
Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya,
di samping penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoetin
(EPO) merupakan hal yang dianj urkan. Pemberian tranfusi pada
penyakit ginjal kronik harus dilakukan hati-hati, berdasarkan
indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Tranfusi darah
yang dilakukan secara tidak cermat mengakibatkan kelebihan cairan
tubuh, hiperkalemia, dan perburukan fungsi ginjal. Sasaran
hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dL
(Suwitra, 2009).
b. Kelainan saluran cerna
Mual dan muntah sering merup akan keluhan utama dari
sebagian pasien CKD terutama pada stadium terminal. Patogenesis
mual dan muntah masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan
dengan dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia.
Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa
lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan
segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan
antibiotika(Suwitra, 2009).
19
c. Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada
sebagian kecil pasien CKD. Gangguan visus cepat hilang setelah
beberapa hari mendapat pengobatan CKD yang adekuat, misalnya
hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala nistagmus,
miosis dan pupil asimetris. Kelainan re tina (retinopati) mungkin
disebabkan hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada
pasien CKD. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada
conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan
hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa
pasien CKD akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau
tersier(Suwitra, 2009).
d. Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum
jelas dan diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder.
Keluhan gatal ini akan se gera hilang setelah tindakan
paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak jarang
dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea
frost (Kumar et al., 2007).
e. Kelainan kardiovaskular
Patogenesis CHF pada CKD sangat kompleks. Beberapa faktor
seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi sistem vaskular,
sering dijumpai pada pasien CKD terutama pada stadium terminal
dan dapat menyebabkan kegagalan faal jantung(Suwitra, 2009).
8. Penegakan Diagnosis
Penegakan diagnosis CKD berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik mengenai manifestasi klinis yang ada pada pasien dan
dibantu hasil pemeriksaan penunjang (Suwitra, 2009).
a. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
1) Sesuai dengan penyakit yang mendasari, seperti hipertensi,
diabetes mellitus, infeksi tractus urinarius, batu tractus urinarius,
hiperurikemi, SLE, dan lainnya.
20
2) Sindrom uremia, yang terdiri dari: lemah, letargi, anoreksia, mual
muntah, nokturia, kelebihan cairan, neuropati perifer, pruritus,
uremic frost, perikarditis, kejang, sampai koma.
3) Gejala komplikasinya antara lain: hipertensi, anemia,
osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan
keseimbangan elektrolit.
b. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan darah, pada pemeriksaan darah ditemukan anemia
normositik normokrom dan terdapat sel Burr pada uremia berat.
Leukosit dan trombosit masih dalam batas normal. Klirens
kreatinin meningkat melebihi laju filtrasi glomerulus dan turun
menjadi kurang dari 5 ml/menit pada gagal ginjal terminal.
Dapat ditemukan proteinuria 200-1000mg/hari.
2) Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan ureum dan kreatinin
seru, dan penurunan GFR yang dihitung menggunakan rumus
Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin saja tidak dapat digunakan
untuk memperkirakan fungsi ginjal.
3) Kelainan biokimiawi darah yang meliputi penurunan kadar
hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiper atau
hipokelemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia,
hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik.
4) Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria dan
leukosuria.
c. Gambaran radiologis
1) Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak.
2) Pielografi intravena, jarang digunakan karena kontras sering
tidak dapat melewati filter glomerulus, disamping terjadi
kekhawatiran adanya pengaruh toksik oleh kontras terhadap
ginjal yang sudah mengalami kerusakan.
3) Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai indikasi.
21
4) USG ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil,
korteks yang menipis adanya hidronefrosis atau batu ginjal,
kista, massa, kalsifikasi.
5) Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila
ada indikasi.
d. Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat dilakukan
pada penderita dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal,
dimana diagnosis secara invasif sulit ditegakkan. Pemeriksaan ini
bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis,
dan mengevaluasi terapi yang telah diberikan.Biopsi ginjal
kontraindikasi pada keadaan ginjal yang sudah mengecil, ginjal
polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik,
gangguan pembekuan darah, gagal nafas, dan obesitas.
9. Penatalaksanaan
Diagnosis CKD harus dilakukan berdasarkan klasifikasi etiologi
dan patologi sehingga petugas kesehatan dapat merencanakan terapi yang
tepat untuk mencegah progresi penyakit dan memperbaiki keadaan
umum. Tujuan dari terapi CKD adalah sebagai berikut (Suwitra, 2009) :
a. Terapi Spesifik te rhadap Penyakit Dasarnya
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah
sebelum penurunan GFR, sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak
terjadi.Pada ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi,
biopsi, dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan
indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik.Sebaliknya, bila GFR
sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap penyakit
dasarnya sudah tidak banyak bermanfaat.
b. Pencegahan dan Terapi terhadap Kondisi Komorbid
Penting untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan
GFR pada pasien penyakit ginjal kronik.Hal ini untuk mengetahui
kondisi komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-
faktor komorbid ini antara lain gangguan keseimbangan cairan,
22
hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obat-obat
nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit
dasarnya.
23
Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan
asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari
sumber yang sama. Pembatasan fosfat perlu untuk mencegah
terjadinya hiperfosfatemia.
24
1) Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR ringan (GFR 60-89
ml/menit) : tekanan darah mulai meningkat
2) Penurunan GFR sedang (GFR 30-59 ml/menit) :
hiperfosfatemia, hipokalsemia, anemia, hiperparatiroid,
hipertensi, dan hiperhomosisteinemia
3) Penurunan GFR berat (GFR 15-29 ml/menit) : malnutrisi,
asidosis metabolik, kecenderungan hiperkalemia, dan
dislipidemia
4) Gagal ginjal (GFR < 15 ml/menit) : gagal jantung dan uremia
f. Terapi Pengganti Ginjal berupa Dialisis atau Transplantasi
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik
stadium 5, yaitu pada GFR 15 ml/menit.Terapi pengganti tersebut
dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi
ginjal.
1) Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk
mencegah gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi
dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang belum
tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi
tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi
elektif.Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu
perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru
dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik,
hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic
Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi
elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m, mual,
anoreksia, muntah, dan astenia berat (Sukandar, 2006).
Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan
sampai sekarang telah dilaksanakan di banyak rumah sakit
rujukan.Umumnya dipergunakan ginjal buatan yang
kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput
semipermiabel (hollow fibre kidney).Kualitas hidup yang
25
diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai
sekarang 14 tahun.Kendala yang ada adalah biaya yang mahal
(Rahardjo et al, 2006).
26
a. Hiperkalemia, yang diakibatkan oleh penurunan ekskresi, asidosis
metabolik, katabolisme dan masukan diit berlebih.
b. Perikarditis, yang diakibatkan oelh infeksi akibat efusi pleura dan
tamponade jantung akibat produk sampah uremik dan dialisis yang
tidak adekuat.
c. Hipertensi, yang diakibatkan oleh retensi cairan dan natrium serta
malfungsi sistem reninangiotensin-aldosteron.
d. Anemia, yang diakibatkan oleh penurunan eritropoetin, penurunan
rentang usia sel darah merah, penekanan sumsum tulang, defisiensi
besi, dan asam folat.
e. Osteodistrofi ginjal, yang diakibatkan oleh ketidak seimbangan
kalsium dan fosfat
Pasien dengan CKD akan mengalami peningkatan kadar urea
dalam darah karena gagalnya sekresi yang disebabkan oleh penurunan
fungsi filtrasi pada glomerulus. Kalium juga merupakan ion yang
disekresikan melalui ginjal, sehingga dapat terjadi hiperkalemia. Pasien
CKD dapat mengalami vaskulopati serta retensi cairan dalam tubuh.
Vaskulopati dapat menyebabkan kerusakan endotel serta respon
vasokonstriksi pembuluh darah yang berujung pada keadaan
hipertensi(McCance dan Sue, 2006).
Retensi cairan yang terjadi dalam jangka waktu lama akan
menyebabkan overload cairan. Hasil limbah nitrogen (ureum dan
kreatinin) dapat memicu reaksi inflamasi pada organ organ di sekitar
ginjal. Reaksi inflamasi pada jantung yang diikuti dengan hipertensi dan
overload cairan akan membebani kerja jantung. Jantung yang tidak dapat
mengkompensasi akibat dari CKD dapat berakhir pada keadaanCHF.
CHF yang berkelanjutan dapat mengakibatkan edema pulmo apabila
tidak ditangani (McCance dan Sue, 2006).
11. Prognosis
Pasien dengan CKD umumnya akan menuju stadium terminal atau
ESRD. Angka progresivitasnya tergantung dari diagnosis yang
mendasari, keberhasilan terapi, dan juga dari individu masing-masing.
Pasien yang menjalani dialisis kronik akan mempunyai angka kesakitan
27
dan kematian yang tinggi. Pasien dengan gagal ginjal stadium akhir yang
menjalani transpantasi ginjal akan hidup lebih lama daripada yang
menjalani dialisis kronik. Kematian terbanyak adalah karena kegagalan
jantung (45%), infeksi (14%), kelainan pembuluh darah otak (6%), dan
keganasan (4%) (Rahardjo et al, 2006).
B. Anemia
1. Definisi
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah e
ritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memnuhi fungsinya untuk
membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer
(penurunan oxygen carrying capacity). Secara praktis anemia ditunjukkan
oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atu hitung eritrosit (red cell
count). Tetapi yang paling lazim dipakai adalah kadar hemoglobin,
kemudian hematokrit. Harus diingat bahwa terdapat keadaan-keadaan
tertentu dimana ketiga parameter tersebut tidak sejalan dengan massa
ertitrosit, seperti pada dehidrasi, perdarahan akut dan kehamilan.
Permasalahan yang timbul adalah berapa kadar hemoglobin, hematokrit
atau hitung eritrosit paling rendah yang dianggap anemia. Kadar
hemoglobin dan eritrosit sangat bervariasi tergantung pada usia,jenis
kelamin, ketinggian tempat tinggal seta keadaan fisiologis tertentu seperti
misalnya kehamilan (Aru W Sudoyo, 2009).
Anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal jumlah
SDM, kuantitas hemoglobin, dan volume packed red blood cells
(hematokrit) perl 100 ml darah. Dengan demikian, anemia bukan suatu
diagnosis melainkan suatu cerminan perubahan patofisiologik yang
mendasar yang diuraikan melalui anamnesis yang seksama, pemeriksaan
fisik dan konfirmasi laboratorium (Sylvia A.Price, 2005).
2. Kriteria Anemia
Parameter yang paling umum dipakai untuk menunjukkan penurunan
massa eritrosit adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan
hitung eritrosit. Pada umumnya ketiga parameter tersebut saling
28
bersesuaian. Yang menjadi masalah adalah berapakah kadar hemoglobin
yang dianggap abnormal. Harga normal hemoglobin sangat bervariasi
secara fisiologik tergantung pada umur, jenis kelamin, adanya kehamilan
dan ketinggian tempat tinggal. Di Negara Barat kadar hemoglobin paling
rendah untuk laki-laki adalah 14 g/dl dan 12 gr/dl pada perempuan dewasa
pada permukaan laut. Peneliti lain memberi angka berbeda yaitu 12 gr/dl
(hematokrit 38%) untuk perempuan dewasa, 11g/dl (hematokrit 36%)
untuk perempuan hamil, dan 13 g/dl untuk laki dewasa. WHO menetapkan
cut off point anemia untuk keperluarn penelitian lapangan yaitu
Kelompok Kriteria Anemia (Hb)
Laki-laki Dewasa < 13 g/dl
Wanita Dewasa tidak hamil < 12 g/dl
Wanita Hamil < 11 g/dl
Untuk keperluan klinik (rumah sakit atau praktek dokter) di Indonesia dan
negara berkembang lainnya, kriteria WHO sulit dilaksanakan karena tidak
praktis. Apabila kriteria WHO dipergunakan secara ketat maka sebagian
besar pasien yang mengunjungi poliklinik atau dirawat di Rmuah Sakit
akan memerlukan pemeriksaan work up anemia lebih lanjut. Oleh karena
itu bebrapa peneliti di Indonesia mengambil jalan tengah dengan memakai
kriteria hemoglobin kurang dari 10 g/dl sebagai awal dari work up anemia,
atau di India dipakai angka 10-11 g/dl.
3. Etiologi dan Klasifikasi Anemia
Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena: 1) Gangguan
pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang; 2) Kehilangan darah keluar
tubuh (perdarahan): 3) Proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum
waktunya(hemolisis), gambaran lebih rinci tentang etiologi anemia dapat
dilihat ada tabel di bawah :
Klasifikasi Anemia menurut Etiopatogenesis
1. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang
a. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
1) Anemia defisiensi besi
2) Anemia defisiensi asam folat
3) Anemia defisiensi vitamin B12
b. Gangguan penggunaan (utilisasi) besi
29
1) Anemia akibat penyakit kronik
2) Anemia sideroblastik
c. Kerusakan sumsum tulang
1) Anemia aplastik
2) Anemia mieloptisik
3) Anemia pada keganasan hematologi
4) Anemia diseritropoietik
5) Anemia pada sindrom mielodisplastik
Anemia akibat kekurangan eritropoietin: anemia pada gagal ginjal
kronik
2. Anemia akibat hemoragi
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia akibat perdarahan kronik
3. Anemia hemolitik
1) Anemia Hemolitik intrakorpuskular
a. Gangguan membran eritrosit (membranopati)
b. Gangguan ensim eritrosit (enzimopati): anemia akibat defisiensi
G6PD
c. Gangguan Hemoglobin (hemoglobinopati)
Thalassemia
Hemoglobinopati struktural : HbS,HbE,dll
2) Anemia Hemolitik ekstrakorpuskular
a. Anemia Hemolitik autoimun
b. Anemia Hemolitik mikroangiopatik
c. Lain-lain
4. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan patogenesis
yang kompleks
Klasifikasi lain untuk anemia dapat dibuat berdasarkan
gambaran morfologik dengan melihat indeks eritrosit atau hapusan
darah tepi. Dalam klasifikasi ini anemia dibagi menjadi tiga golongan :
1. Anemia hipokromik mikrositer, bila MCV<80fl dan MCH <27pg:
30
2. Anemia normokromik normositer, bila MCV 80-95 fl dan MCH
27-34 pg:
3. Anemia makrositer bila MVC > 95 fl.
Klasifikasi etiologi dan morfologi bila digabungkan akan sangat
menolong dalam mengetahui penyebab suatu anemia berdasarkan jenis
morfologi anemia seperti terlihat pada tabel di bawah ini:
Klasifikasi Anemia berdasarkan morfologi dan etiologi
I. Anemia hipokromik mikrositer
a. Anemia Defisiensi Besi
b. Thalasemia Mayor
c. Anemia akibat Penyakit Kronik
d. Anemia Sideroblastik
II. Anemia normokromik normositer
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia aplastik
c. Anemia hemolitik didapat
d. Anemia akibat penyakit kronik
e. Anemia pada gagal ginjal kronik
f. Anemia pada sindrom mielodisplastik
g. Anemia pada keganasan hematologik
III. Anemia makrositer
a) Bentuk megaloblastik
1. Anemia defisiensi asam folat
2. Anemia defisiensi B12, termasuk anemia permisiosa
b) Bentuk non-megaloblastik
1. Anemia pada penyakit hati kronik
2. Anemia pada hipotiroidisme
3. Anemia pada sindrom mielodisplastik.
31
kadar hemoglobin turun di bawah harga tertentu. Gejala umum anemia ini
timbul karena: anoksia jaringan, mekanisme kompensasi tubuh terhadap
berkurangnya daya angkut oksigen.
Gejala umum anemia menjadi jelas (anemia simtomatik) apabila kadar
hemoglobin telah turun di bawah 7 gr/dl. Berat ringannya gejala umum
anemia tergantung pada
a. Derajat penurunan hemoglobin,
b. Kecepatan penurunan hemoglobin
c. Usia
d. Adanya kelainan jantung atau paru sebelumnya.
Gejala anemia dapat digolongkan menjadi 3 jenis gejala, yaitu :
1) Gejala umum anemia
Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul
karena iskemia organ target serta akibat mekanisme kompensasi
tubuh terhadap penurunan kadar hemoglobin. Gejala ini muncul pada
setiap kasus anemia setelah penurunan hemoglobin sampai kadar
tertentu (Hb<7bg/dl). Sindrom anemia terdiri dari rasa lemah, lesu,
cepat lelah, telinga mendenging (tinnitus), mata berkunang-kunang,
kaki terasa dingin, sesak nafas dan dispepsia. Pada pemerikaan,
pasien tampak pucat yang mudah dilihat pada konjungtiva, mukosa
mulut,telapak tangan dan jaringan di bawah kuku. Sindrom anemia
bersifat tidak spesifik karena dapat ditimbulkan oleh penyakit di luar
anemia dan tidak sensitif karena timbul setelah penurunan yang berat
(Hb<7 gr/dl).
2) Gejala Khas masing-masing anemia
Gelaja ini spesifik untuk masing-masing jenis anemia, sebagai contoh
:
Anemia defisiensi Besi : disfagia,atrofi papil lidah, stomatitis
angular, dan kuku sendok (koilonychia).
Anemia megaloblastik : glositis, gangguan neurologik pada
defisiensi vitamin B12.
Anemia hemolitik : ikterus, splenomegali dan hepatomegali
32
Anemia aplastik : perdarahan dan tanda-tanda infeksi
3) Gejala penyakit dasar : timbul akibat dasar yang menyebabkan
anemia sangat bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut.
Misalnya gejala akibat infeksi cacing tambang: sakit perut,
pembengkakan parotis dan warna kuning pada telapak tangan. Pada
kasus tertentu sering gejala penyakit dasar lebih dominan, seperti
misalnya paa anemia akibat penyakit kronik oleh karena artritis
reumatoid.
Meskipun tidak spesifik, anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat
penting pada kasus anemia untuk mengarahkan diagnosis anemia.
Tetapi pada umumnya diagnosis anemia memerlukan pameriksaan
laboratorium.
33
dibutuhkan untuk diagnosis definitif pada bebrapa jenis anemia.
Pemeriksaan sumsum tulang mutlak diperlukan untuk diagnosis anemia
aplastik, anemia megaloblastik serta pada kelainan hematologik yang
dapat mensupresi sistem eritroid.
Pemeriksaan Khusus
Pemeriksaan ini hanya dikerjakan atas indikasi khusus, misalnya pada :
Anemia Defisiensi Besi: serum iron, TIBC (total iron biding
capacity), saturasi transferin, protoporfirin eritrosit,feritin serum,
reseptor transferin dan pengecatan besi pada sumsum tulang ( Perls
stain).
Anemia Megaloblastik : folat serum, vitamin B12 serum, tes supresi
deoksirudin, dan tes Schiling.
Anemia Hemolitik : bilirubin serum, tes Coomb, elektroforesis
hemoglobin dan lain lain.
Anemia Aplastik : biopsi Sumsum tulang
Juga diperlukan pemeriksaan non-hematologik tertentu seperti
nisalnya pemeriksaan faal hati, faal ginjal atau faal tiroid.
6. Pendekatan Terapi
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian terapi pada
pasien anemia ialah: 1) pengobatan hendaknya diberikan berdasarkan
diagnosis definitif yang telah ditegakkan terlebih dahulu, 2) pemberian
hemanitik tanpa indikasi yang jelas tidak dianjurkan, 3) pengobatan
anemia dapat berupa: a) terapi untuk keadaan darurat seperti misalnya
pada perdarahan akut akibat anemia aplastik yang mengancam jiwa pasien,
atau pada anemia pasca perdarahan akut yang diertai gangguan
hemodinamik, b) terapi suportif, c) terapi yang khas untuk masing-masing,
d) terapi kausal untuk mengobati penyakit dasar yang menyebabkan
anemia tersebut; 4) dalam keadaan dimana diagnosis definitif tidak dapat
ditegakkan, kita terpaksa memberikan terapi percobaan (terapi ex
juvantivus). Disini harus dilakukan pemantauan yang ketat terhadap
respon terapi dan perubahan perjalanan penyakit pasien dan dilakukan
34
evaluasi terus menerus tentang kemungkinan perubahan diagnosis, 5)
transfusi diberikan pada anemia pasca perdarahan akut dengan tanda-tanda
gangguan hemodinamik. Pada anemia kronik transfusi hanya diberikan
jika anemia bersifat simptomatik atau adanya ancaman payah jantung.
Disini diberikan packed red cell. Pada anemia kronik sering dijumpai
peningkatan volume darah, oleh karena itu transfusi diberikan dengan
tetesan pelan. Dapat juga diberikan diuretika kerja cepat seperti furosemid
sebelum transfusi (Bakta, 2009).
C. Hipertensi
1. Definisi
Hipertensi adalah suatu kondisi peningkatan tekanan darah sistolik
140 mmHg atau tekanan darah diastolik 90 mmHg secara kronis
(Tantoet al., 2014). Menurut The Seventh Report of the Joint National
Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High
Blood Pressure (JNC 7), hipertensi diklasifikasikan menjadi empat
macam sebagai berikut:
Tabel III.2. Klasifikasi Hipertensi JNC 7 (Christensen, 2014).
Kategori TD Sistolik TD Diastolik
Normal 90-119 60-79
Pre Hipertensi 120-139 80-89
Hipertensi 1 140-159 90-99
Hipertensi 2 160 100
2. Etiologi
Menurut penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua yaitu
hipertensi esensial atau hipertensi primer dan hipertensi sekunder
(Yogiantoro, 2009). Hipertensi primer adalah hipertensi yang tidak
diketahui penyebabnya, sedangkan hipertensi sekunder adalah hipertensi
akibat suatu penyakit atau kelainan yang mendasari seperti stenosis arteri
renalis, penyakit parenkim ginjal, feokromositoma, hiperaldosteronisme,
dan sebagainya (Tanto et al., 2014).
3. Epidemiologi
35
Secara umum, 20% dari populasi orang dewasa memiliki
hipertensi. Prevalensi hipertensi meningkat pada usia lebih dari 60 tahun.
Hipertensi di seluruh dunia mencapai angka 1 juta orang dan
berkontribusi terhadap lebih dari 7,1 juta kematian per tahunnya
(Dreisbach, 2014).
Studi epidemiologis menunjukkan dengan makin meningkatnya
penduduk usia lanjut, makin meningkat pula angka kejadian hipertensi
pada populasi. Data hipertensi yang lengkap sampai saat ini berasal dari
negara-negara maju. Data The National Health and Nutrition
Examination Survey (NHNES) menyebutkan dari tahun 1999-2000,
insiden hipertensi pada orang dewasa sekitar 29-31%, berarti terdapat 58-
65 juta orang hipertensi di Amerika, dan terjadi peningkatan 15 juta dari
data NHNES III pada tahun 1988-1991. Hipertensi esensial sendiri
merupakan 95% dari seluruh kasus hipertensi (Yogiantoro, 2009).
4. Patomekanisme
Hipertensi merupakan penyakit multifaktorial. Terdapat banyak
mekanisme yang berperan dalam peningkatan tekanan darah.
Mekanisme-mekanisme tersebut ialah sebagai berikut (Yogiantoro, 2009;
Tanto et al., 2014) :
a. Faktor Genetik
b. Mekanisme Neural : stress, aktivasi simpatis, variasi diurnal
c. Mekanisme Renal : retensi natrium dan cairan tubuh
d. Mekanisme Vaskuler : disfungsi endotel, radikal bebas, remodelling
vaskuler
e. Mekanisme Hormonal : sistem renin, angiotensin, aldosteron
f. Faktor Perilaku dan Gaya Hidup : asupan garam yang tinggi,
stress,obesitas, merokok, dan diet tidak sehat (tinggi lemak)
merupakan faktor risiko hipertensi.
5. Diagnosis
Hipertensi ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang sebagai berikut (Tanto et al., 2014) :
a. Anamnesis
36
Kebanyakan kasus hipertensi bersifat asimptomatik. Namun,
beberapa pasien umumnya mengeluhkan sakit kepala, penglihatan
kabur, dan leher terasa kaku serta kencang. Pada anamnesis kita juga
perlu menanyakan kemungkinan hipertensi sekunder, faktor risiko,
dan kemungkinan komplikasi yang terdapat pada pasien.
b. Pemeriksaan Fisik
Nilai tekanan darah diambil dari rerata dua kali pengukuran
pada setiap kali kunjungan ke dokter. Jika tekanan darah 140/90
mmHg pada kunjungan kedua atau lebih, maka hipertensi dapat
ditegakkan.
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk memeriksa
komplikasi yang mungkin terjadi dan menegakkan diagnosis bila
curiga hipertensi sekunder. Pemeriksaan yang dilakukan disesuaikan
dengan arah kecurigaan, seperti pemeriksaan TSH, FT3, dan FT4
bila kita curiga pasien mengalami hipertensi sekunder akbiat
hipertiroidisme.
6. Penatalaksanaan
a. Non farmakologis
Secara non farmakologis, JNC 7 merekomendasikan
menurunkan tekanan darah sekaligus menurunkan risiko
kardiovaskular dengan kombinasi dua atau lebih program modifikasi
gaya hidup sebagai berikut (Madhur, 2014) :
1) Menurunkan berat badan
Penelitian menunjukkan tekanan darah dapat menurun 5-20
mmHg tiap 10 kg. Rekomendasi diet DASH (Dietary
Approaches to Stop Hypertension) dapat menurunkan tekanan
darah 8-14 mmHg dengan nasi, buah, sayuran, dan susu rendah
lemak.
2) Pembatasan konsumsi alkohol
37
Pembatasan konsumsi alkohol dapat menurunkan tekanan darah
2-4 mmHg.
3) Pembatasan intake garam
Konsumsi garam dibatas hingga tidak lebih dari 100 mmol/hari
sehingga dapat menurunkan tekanan darah 2-8 mmHg.
4) Pengaturan intake kalium mendekati 90 mmol/hari.
5) Pengaturan intake kalsium dan magnesium.
6) Berhenti merokok dan mengurangi makanan dengan lemak
jenuh serta kolesterol tinggi.
7) Olahraga
Aktivitas fisik yang bersifat aerobik selama 30 menit per hari
dapat menurunkan 4-9 mmHg.
b. Farmakologis
Menurut National Institute for Health and Care Excellence
(NICE) 2013, pada usia pasien <55 tahun lebih disarankan
menggunakan anti hipertensi golongan Angiotensin Converting
Enzyme (ACE) inhibitor dan Angiotensin Reseptor Blocker (ARB),
sedangkan usia pasien >55 tahun lebih disarankan menggunakan
Calcium Channel Blocker (CCB). Pilihan obat yang dapat digunakan
ialah sebagai berikut.
Tabel III.3. Pilihan Anti Hipertensi (Tanto et al., 2014).
Golongan Nama Obat Dosis Harian
ACE-Inhibitor Captopril 25-100 mg
Ramipril 2,5-20 mg
ARB Valsartan 80-320 mg
Irbesartan 150-300 mg
CCB Nondihidropiridin
- Verapamil 120-360 mg
- Diltiazem 120-540 mg
Dihidropiridin
- Amlodipin 2,5-10 mg
38
Sekali terapi anti hipertensi dimulai, pasien harus rutin kontrol
dan mendapat pengaturan dosis setiap bulan sampai target tekanan
darah tercapai. Tekanan darah (terutama pada pasien hipertensi
derajat 2), elektrolit, dan LFG harus tetap terpantau. Setelah tekanan
darah mencapai target dan stabil, frekuensi kunjungan dapat turun
menjadi 3-6 bulan sekali. Apabila tekanan darah sudah mencapai
target, pengobatan harus tetap berlanjut dengan memperhatikan efk
samping obat dan komplikasi hipertensi. Pasien perlu diedukasi
bahwa terapi hipertensi berlaku seumur hidup dan terus dievaluasi
berkala (Tanto et al., 2014).
7. Komplikasi
Komplikasi hipertensi tergantung organ target, antara lain sebagai
berikut (Tanto et al., 2014):
a. Cerebrovaskuler: stroke, transient ischemic attack, demensia
vaskular.
b. Mata: retinopati hipertensif.
c. Kardiovaskular: penyakit jantung hipertensif, disfungsi atau
hipertrofi ventrikel kiri, penyakit jantung koroner.
d. Renal: nefropati hipertensif, albuminuria, penyakit ginjal kronis
e. Arteri Perifer: Klaudikasio intermitten.
39
IV. KESIMPULAN
40
DAFTAR PUSTAKA
Bakta, I Made. 2009. Pendekatan Terhadap Pasien Anemia dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Interna Publishing.
Brenner, B. M., dan Lazarus, J. M. 2012. Gagal Ginjal Kronik dalam Prinsip-
Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Harrison. Jakarta: EGC.
Christensen, Buck. 2014. Hypertension Classification. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/2172178-overview (Diakses
25Februari 2017).
Eknoyan, G. 2009. Definition and Classification of Chronic Kidney Disease. US
Nephrology: 13-7.
Kumar, V., S.L. Robbins, danR.S. Cotran. 2007. Buku Ajar Patologi. Jakarta:
EGC.
Levey, A.S., E. Kai-Uwe, T. Yusuke, L. Adeera., C. Josef, R. Jeromeet al. 2005.
Definition and Classification of Chronic Kidney Disease: A Position
Statement from Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO).
Kidney International: 67; 2089-100.
Lopez-Novoa, M. Jose, M.S. Carlos, B. Ana, J.L.H. Francisco. 2010. Common
Pathophysiological Mechanism of Chronic Kidney Disease: Therapeutic
Perspectives. Pharmacology and Therapeutics: 128; 61-81.
McCance, K. L., E.H. Sue. 2006. Pathophysiology:The Biologic of Disease in
Adults and Children. Canada: Elsevier Mosby.
Murray, L., W. Ian, T. Tom, K.C. Chee. 2009. Chronic Renal failure in Ofxord
Handbook of Clinical Medicine. New York: Oxford University.
PERNEFRI. 2011. Fourth Annual Report of IRR 2011. Jakarta: PERNEFRI.
Price, S.A., L.M. Wilson. 2010. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses Perjalanan
Penyakit. Jakarta: EGC.
Rahardjo, P., E. Susalit, Suhardjono. 2006. Hemodialisis. Dalam: Sudoyo, A.W.,
B. Setiyohadi, I. Alwi, S.K. Marcellus, S. Setiati. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI.
Smeltzer, S.C., B.G. Bare. 2009. Buku Ajar Keperawatan Medikal BedahBrunner
& Suddarth. Jakarta: EGC.
41
Sudoyo, A. W., B. Sutiyahadi, I. Alwi, M. Simadibrata, S. Setiati. 2006. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Sukandar, E. 2006.Gagal Ginjal Dan Panduan Terapi Dialisis. Bandung: Fakultas
Kedokteran UNPAD.
Suwitra, K.2009. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam: Sudoyo, A. W., B. Sutiyahadi, I.
Alwi, M. Simadibrata, S. Setiati. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Tanto, C, N.M. Hustrini.2014. Penyakit Ginjal Kronis (Dalam : Kapita Selekta
Kedokteran Edisi IV Jilid 2). Jakarta: Media Aesculapius.
42