Anda di halaman 1dari 14

A.

Patomekanisme
Patogenesis tetanus diawali dengan kontaminasi luka dengan spora Clostridium
tetani. Pertumbuhan dan produksi toksin hanya terjadi pada luka dengan potensial
oksidasi-reduksi yang rendah seperti pada jaringan mati, benda asing, atau infeksi aktif.
Clostridium tetani tidak memicu terjadinya inflamasi, luka tetap tampak biasa kecuali
terdapat infeksi dari organisme lain (Kasper, 2015).
Toksin tetanus merupakan zinc-dependent metalloproteinase yang memiliki target
berupa protein (Sinaptobrevin) yang penting dalam pelepasan neurotransmiter dari ujung
saraf melalui fusi vesikel dengan membran plasma neuronal. Toksin yang dilepaskan
pada luka terikat dengan terminal motor neuron perifer, masuk ke akson, dan ditransport
menuju badan sel saraf di batang otak dan korda spinalis secara transport intraneuronal
retrograde. Toksin kemudian akan bermigrasi melalui sinaps menuju terminal presinaps
dimana akan memblokade pelepasan neurotransmiter inhibitorik glisin dan GABA
(Kasper, 2015).

Gambar III.1. Patogenesis Tetanus (Kasper, 2015).

Gejala awal dari infeksi tetanus dapat diawali dengan paralisis flaksid yang
disebabkan gangguan pelepasan vesikel asetilkolin pada neuromuscukar junction, seperti
yang terjadi dengan toksin botulinum. Namun, tidak seperti toksin botulinum, toksin
tetanus akan mengalami transport retrograde yang luas pada akson lower motor neuron
hingga mencapai korda spinalis atau batang otak. Di sini toksin ditransport melintasi
sinaps dan diambil oleh ujung saraf inhibitorik neuron GABAergik dan/atau glisinergik
yang mengontrol aktivitas lower motor neuron. Sekali toksin masuk ke ujung saraf,
toksin akan membelah sinaptobrevin sehingga akan menghambat pelepasan GABA dan
glisin, yang mengakibatkan peningkatan aktivitas otot dalam bentuk kekakuan dan
spasme (Hassel, 2013).

B. Manifetasi Klinis
Tetanus biasanya terjadi setelah luka dengan penetrasi yang dalam dimana
pertumbuhan bakteri anaerob dapat terjadi. Tempat infeksi yang paling umum adalah
luka pada ekstremitas bawah, infeksi uterus post-partum atau post-abortus, injeksi
intramuskular nonsteril, dan fraktur terbuka. Penting untuk menekankan bahwa trauma
minor dapat menimbulkan tetanus. Pada 30% pasien tidak tampak adanya tempat masuk
(portal of entry). Tetanus telah diidentifikasi setelah berbagai cidera jaringan, termasuk
injeksi intravena dan intramuskular, akupunktur, tindik telinga, dan bahkan luka akibat
tusuk gigi. Tetanus dapat juga terjadi pada infeksi kronis seperti otitis media dan setelah
ulkus dekubitus. Tetanus dapat dibedakan menjadi empat bentuk berdasarkan manifestasi
klinisnya (Cottle, 2011).
1. Tetanus lokal
Tetanus lokal merupakan bentuk yang jarang ditemukan. Pasien dengan
tetanus lokal mengalami spasme dan peningkatan tonus otot terbatas pada otot-otot
di sekitar tempat infeksi tanpa tanda-tanda sistemik. Kontraksi dapat bertahan
selama beberapa minggu sebelum perlahan-lahan menghilang. Tetanus lokal dapat
berlanjut menjadi tetanus general tetapi gejala yang timbul biasanya ringan dan
jarang menimbulkan kematian. Mortalitas akibat tetanus lokal hanya 1% (Edlich,
2003).
2. Tetanus sefalik
Tetanus sefalik juga merupakan bentuk yang jarang ditemukan (insiden sekitar
6%) dan merupakan bentuk khusus tetanus lokal yang mempengaruhi otot-otot
nervus kranialis terutama di daerah wajah. Tetanus sefalik dapat timbul setelah otitis
media kronik maupun cidera kepala (kulit kepala, mata dan konjungtiva, wajah,
telinga, atau leher). Manifestasi klinis yang dapat timbul dalam 1-2 hari setelah
cidera antara lain fasial palsi akibat paralisis nervus VII (paling sering), disfagia, dan
paralisis otot-otot ekstraokuler serta ptosis akibat paralisis nervus III. Tetanus sefalik
dapat berlanjut menjadi tetanus general. Tingkat mortalitas yang dilaporkan tinggi,
yaitu 15-30% (Bhatia, 2002).

Gambar III.2. Paralisis N VII sinistra dan tampak luka baru pada pasien dengan
tetanus sefalik (Cook, 2001).
3. Tetanus general
Sekitar 80% kasus tetanus merupakan tetanus general. Tanda khas dari tetanus
general adalah trismus (lockjaw) yaitu ketidakmampuan membuka mulut akibat
spasme otot maseter. Trismus dapat disertai gejala lain seperti kekakuan leher,
kesulitan menelan, rigiditas otot abdomen, dan peningkatan temperatur 2-4C di atas
suhu normal. Spasme otot-otot wajah menyebabkan wajah penderita tampak
menyeringai dan dikenal sebagai risus sardonicus (sardonic smile). Spasme otot-otot
somatik yang luas menyebabkan tubuh penderita membentuk lengkungan seperti
busur yang dikenal sebagai opistotonus dengan fleksi lengan dan ekstensi tungkai
serta rigiditas otot abdomen yang teraba seperti papan (Edlich, 2003).
Kejang otot yang akut, paroksismal, tidak terkoordinasi, dan menyeluruh
merupakan karakteristik dari tetanus general. Kejang tersebut terjadi secara
intermiten, ireguler, tidak dapat diprediksi, dan berlangsung selama beberapa detik
sampai beberapa menit. Pada awalnya kejang bersifat ringan dan terdapat periode
relaksasi diantara kejang, lama kelamaan kejang menimbulkan nyeri dan kelelahan
(paroksismal). Kejang dapat terjadi secara spontan atau dipicu berbagai stimulus
eksternal dan internal. Distensi vesika urinaria dan rektum atau sumbatan mukus
dalam bronkus dapat memicu kejang paroksismal. Udara dingin, suara, cahaya,
pergerakan pasien, bahkan gerakan pasien untuk minum dapat memicu spasme
paroksismal (Edlich, 2003).
Sianosis dan bahkan kematian mendadak dapat terjadi akibat spasme tersebut.
Terkadang pasien dengan tetanus general menampakkan manifestasi autonomik
yang mempersulit perawatan pasien dan dapat mengancam nyawa. Overaktivitas
sistem saraf simpatis lebih sering ditemukan pada pasien usia tua atau pecandu
narkotik dengan tetanus. Overaktivitas autonom dapat menyebabkan fluktuasi
ekstrim tekanan darah yang bervariasi dari hipertensi ke hipotensi serta takikardia,
berkeringat, hipertermia, dan aritmia jantung (Edlich, 2003).

(a) (b)

Gambar III.3. (a) Risus sardonikus; (b) Anak penderita tetanus yang menangis
akibat kontraksi otot yang nyeri (Cook, 2001)

Pada tetanus kesadaran penderita tidak terganggu dan penderita mengalami


nyeri hebat pada setiap episode spasme. Spasme berlanjut selama 2-3 minggu, yaitu
waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan transpor toksin yang sudah berada
intraaksonal, setelah antitoksin diberikan. Apabila antitoksin tidak diberikan,
pemulihan lengkap akan terjadi dalam beberapa bulan sampai produksi dan
pengikatan tetanospasmin selesai dan terjadi pembentukan neuromuscular junction
yang baru (Ang, 2003).
4. Tetanus neonatorum
Tetanus neonatorum disebabkan infeksi Clostridium tetani yang masuk
melalui tali pusat sewaktu proses pertolongan persalinan. Spora masuk disebabkan
proses pertolongan persalinan yang tidak steril, baik karena penggunaan alat maupun
obat-obatan yang terkontaminasi spora Clostridium tetani. Kebiasaan menggunakan
alat pertolongan persalinan dan obat tradisional yang tidak steril merupakan faktor
utama dalam terjadinya tetanus neonatorum. Gambaran klinis tetanus neonatorum
serupa dengan tetanus general. Gejala awal ditandai dengan ketidakmampuan untuk
menghisap 3-10 hari setelah lahir. Gejala lain termasuk iritabilitas dan menangis
terus menerus (rewel), risus sardonikus, peningkatan rigiditas, dan opistotonus
(Ritarwan, 2004).

Gambar III.4. Tetanus neonatorum (Ang, 2003)

C. Penegakan Diagnosis
Diagnosis tetanus lebih sering ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis
dibandingkan berdasarkan penemuan bakteriologis. Diagnosis relatif lebih mudah pada
daerah dengan insiden tetanus yang sering, tetapi lebih lambat di negara-negara
berkembang dimana tetanus jarang ditemukan. Selain trismus, pemeriksaan fisik
menunjukkan hipertonisitas otot-otot, refleks tendon dalam yang meningkat, kesadaran
yang tidak terganggu, demam derajat rendah, dan sistem saraf sensoris yang normal.
Spasme paroksismal dapat ditemukan secara lokal maupun general. Sebagian besar
pasien memiliki riwayat luka dalam 2 minggu terakhir dan secara umum tidak memiliki
riwayat imunisasi tetanus toksoid yang jelas (Farrar et al., 2000).
Pemeriksaan bakteriologis dapat mengkonfirmasi adanya Clostridium tetani pada
hanya sekitar sepertiga pasien yang memiliki tanda klinis tetanus. Harus diingat bahwa
isolasi Clostridium tetani dari luka terkontaminasi tidak berarti pasien akan atau telah
menderita tetanus. Frekuensi isolasi Clostridium tetani dari luka pasien dengan tetanus
klinis dapat ditingkatkan dengan memanaskan satu set spesimen pada suhu 80C selama
15 menit untuk menghilangkan bentuk vegetatif mikroorganisme kompetitor tidak
berspora sebelum media kultur diinokulasi (Edlich, 2003).
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan leukositosis sedang. Pemeriksaan cairan
serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat akibat kontraksi otot. Hasil
elektromiografi dan elektroensefalografi biasanya normal dan tidak membantu diagnosis.
Pada kasus tertentu apabila terdapat keterlibatan jantung elektrokardiografi dapat
menunjukkan inversi gelombang T. Sinus takikardia juga sering ditemukan. Diagnosis
tetanus harus dibuat dengan hati-hati pada pasien yang memiliki riwayat dua atau lebih
injeksi tetanus toksoid yang terdokumentasi. Spesimen serum harus diambil untuk
memeriksa kadar antitoksin. Kadar antitoksin 0,01 IU/mL dianggap protektif (Ogunrin,
2009).
Setelah diagnosis tetanus dibuat harus ditentukan derajat keparahan penyakit.
Beberapa sistem skoring tetanus dapat digunakan, diantaranya adalah skor Phillips,
Dakar, Ablett, dan Udwadia. Sistem skoring tetanus juga sekaligus bertindak sebagai
penentu prognosis (Sjamsuhidajat, 2005).
Sistem skoring menurut Phillips dikembangkan pada tahun 1967 dan didasarkan
pada empat parameter, yaitu masa inkubasi, lokasi infeksi, status imunisasi, dan faktor
pemberat. Skor dari keempat parameter tersebut dijumlahkan dan interpretasinya sebagai
berikut: (a) skor < 9 tetanus ringan, (b) skor 9-18 tetanus sedang, dan (c) skor > 18
tetanus berat.
Tabel III.1. Skor Phillips untuk menilai derajat tetanus (Farrar et al., 2000)

Parameter Nilai
Masa < 48 jam 5
inkubasi 2-5 hari 4
6-10 hari 3
11-14 hari 2
> 14 hari 1
Lokasi Internal dan umbilikal 5
infeksi Leher, kepala, dinding tubuh 4
Ekstremitas atas 3
Ekstremitas bawah 2
Tidak diketahui 1
Status Tidak ada 10
imunisasi Mungkin ada/ibu mendapatkan imunisasi (pada
neonatus) 8
> 10 tahun yang lalu 4
< 10 tahun yang lalu 2
Imunisasi lengkap 0
Faktor Penyakit atau trauma yang mengancam nyawa 10
pemberat Keadaan yang tidak langsung mengancam nyawa 8
Keadaan yang tidak mengancam nyawa 4
Trauma atau penyakit ringan 2
ASA derajat I 1

Tabel III.2. Sistem skoring tetanus menurut Ablett (Cottle, 2011)


Grade I (ringan) Trismus ringan hingga sedang, spastisitas general, tidak
ada distres pernapasan, tidak ada spasme dan disfagia.
Grade II Trismus sedang, rigiditas yang tampak, spasme ringan
(sedang) hingga sedang dengan durasi pendek, takipnea 30
kali/menit, disfagia ringan.
Grade III A Trismus berat, spastisitas menyeluruh, spasme spontan
(berat) yang memanjang, distres pernapasan dengan takipnea
40 kali/menit, apneic spell, disfagia berat, takikardia
120 kali/menit.
Grade III B Keadaan seperti pada grade III ditambah disfungsi
(sangat berat) otonom berat yang melibatkan sistem kardiovaskuler.
Hipertensi berat dan takikardia bergantian dengan
hipotensi relatif dan bradikardia, salah satunya dapat
menjadi persisten.

Sistem skoring menurut Ablett juga dikembangkan pada tahun 1967 dan menurut
beberapa literatur merupakan sistem skoring yang paling sering digunakan. Udwadia
(1992) kemudian sedikit memodifikasi sistem skoring Ablett dan dikenal sebagai skor
Udwadia (Cottle, 2011).
Tabel III.3. Sistem skoring tetanus menurut Udwadia (Cottle, 2011).
Grade I (ringan) Trismus ringan hingga sedang, spastisitas general, tidak
ada distres pernapasan, tidak ada spasme dan disfagia.
Grade II Trismus sedang, rigiditas yang tampak, spasme ringan
(sedang) hingga sedang dengan durasi pendek, takipnea 30
kali/menit, disfagia ringan.
Grade III (berat) Trismus berat, spastisitas menyeluruh, spasme spontan
yang memanjang, distres pernapasan dengan takipnea
40 kali/menit, apneic spell, disfagia berat, takikardia 120
kali/menit, keringat berlebih, dan peningkatan salivasi.
Grade IV (sangat Keadaan seperti pada grade III ditambah disfungsi otonom
berat) berat yang melibatkan sistem kardiovaskuler: hipertensi
menetap (> 160/100 mmHg), hipotensi menetap (tekanan
darah sistolik < 90 mmHg), atau hipertensi episodik yang
sering diikuti hipotensi.

Sistem skoring lainnya diajukan pada pertemuan membahas tetanus di Dakar,


Senegal pada tahun 1975 dan dikenal sebagai skor Dakar. Skor Dakar dapat diukur tiga
hari setelah muncul gejala klinis pertama (Ogunrin, 2009).

Tabel III.4. Sistem skoring Dakar untuk tetanus (Ogunrin, 2009)


Faktor
Skor 1 Skor 0
prognostik
Masa inkubasi < 7 hari 7 hari atau tidak diketahui
Periode onset < 2 hari 2 hari
Umbilikus, luka bakar,
Penyebab lain dan
uterus, fraktur terbuka, luka
Tempat masuk penyebab yang tidak
operasi, injeksi
diketahui
intramuskular
Spasme Ada Tidak ada
Demam > 38.4oC < 38.4oC
Dewasa > 120 kali/menit Dewasa < 120 kali/menit
Takikardia
Neonatus > 150 kali/menit Neonatus < 150 kali/menit

Skor total mengindikasikan keparahan dan prognosis penyakit sebagai berikut:


1. Skor 0-1 : tetanus ringan dengan tingkat mortalitas < 10%
2. Skor 2-3 : tetanus sedang dengan tingkat mortalitas 10-20%
3. Skor 4 : tetanus berat dengan tingkat mortalitas 20-40%
4. Skor 5-6 : tetanus sangat berat dengan tingkat mortalitas > 50%

D. Tatalaksana
Tatalaksana pada tetanus diantaraanya adalah sebagai berikut (Lubis, 2003;
Samuels, 2008).
1. Tatalaksana Umum
Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan
peredaran toksin, mencegah spasme otot dan memberikan bantuan pernafasan
sampai pulih dan tujuan tersebut dapat diperinci sebagai berikut:
a. Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa membersihkan luka,
irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan nekrotik), membuang benda asing
dalam luka serta kompres dengan H2O2, dalam hal ini penatalaksanaan terhadap
luka tersebut dilakukan 1-2 jam setelah ATS dan pemberian antibiotika. Sekitar
luka diberikan suntikan ATS.
b. Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan
membuka mulut dan menelan. Hila ada trismus, makanan dapat diberikan
personde atau parenteral.
c. Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan terhadap
penderita.
d. Oksigen, pernafasan buatan dan traceostomi bila perlu.
e. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.
2. Obat- obatan
a. Antibiotika
Diberikan parenteral Penisilin 1,2 juta unit/hari selama 10 hari, IM.
Sedangkan tetanus pada anak dapat diberikan Penisilin dosis 50.000
Unit/KgBB/12 jam secara IM diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap
penisilin, obat dapat diganti dengan preparat lain seperti tetrasiklin dosis 30-40
mg/kgBB/ 24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2 gram dan diberikan dalam dosis
terbagi (4 dosis). Bila tersedia Penisilin intravena, dapat digunakan dengan dosis
200.000 unit/kgBB/24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari. Antibiotika ini hanya
bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari Clostridium tetani, bukan untuk
toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya komplikasi pemberian
antibiotika spectrum luas dapat dilakukan.
b. Antitoksin
Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin (HTIG)
dengan dosis 3000-6000 U, satu kali pemberian saja, secara IM tidak boleh
diberikan secara intravena karena HTIG mengandung "anti complementary
aggregates of globulin", yang dapat mencetuskan reaksi alergi yang serius. Bila
HTIG tidak ada, dianjurkan untuk menggunakan tetanus antitoksin, yang berasal
dari hewan, dengan dosis 40.000 U, dengan cara pemberiannya adalah 20.000 U
dari antitoksin dimasukkan kedalam 200 cc cairan NaC1 fisiologis dan
diberikan secara intravena, pemberian harus sudah diselesaikan dalam waktu
30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa 20.000 U diberikan secara IM pada
daerah sebelah luar.
c. Tetanus Toksoid
Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama, dilakukan bersamaan
dengan pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik
yang berbeda. Pemberian dilakukan secara I.M. Pemberian TT harus dilanjutkan
sampai imunisasi dasar terhadap tetanus selesai.
d. Antikonvulsan
Penyebab utama kematian pada tetanus neonatorum adalah kejang klonik
yang hebat, muskular dan laringeal spasme beserta komplikasinya. Dengan
penggunaan obat obatan sedasi/muscle relaxans, diharapkan kejang dapat
diatasi. Obat anti konvulsan yang dapat digunakan untuk tetanus noenatal
berupa diazepam, obat ini diberikan melalui bolus injeksi yang dapat diberikan
setiap 2 4 jam. Pemberian berikutnya tergantung pada hasil evaluasi setelah
pemberian anti kejang. Bila dosis optimum telah tercapai dan kejang telah
terkontrol, maka jadwal pemberian diazepam yang tetap dan tepat baru dapat
disusun. Dosis diazepam pada saat dimulai pengobatan (setelah kejang
terkontrol) adalah 20 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 8 kali pemberian (pemberian
dilakukan tiap 3 jam). Kemudian dilakukan evaluasi terhadap kejang, bila
kejang masih terus berlangsung dosis diazepam dapat dinaikkan secara bertahap
sampai kejang dapat teratasi. Dosis maksimum adalah 40 mg/kgBB/hari (dosis
maintenance).
Pengobatan berdasarkan derajat berat ringannya tetanus adalah (Samuels,
2008):
a. Kasus ringan: Penderita tanpa sianosis: 90 - 180 begitu juga promazine 6 jam
dan barbiturat secukupnyanya untuk mengurangi spasme.
b. Kasus berat :
1) Semua penderita dirawat di ICU (satu team).
2) Dilakukan tracheostomi segera. Endotracheal tube minimal harus
dibersihkan setiap satu jam dan setiap 3 hari ETT harus diganti dengan
yang baru.
3) Curare diberi secukupnya mencegah spasme sampai 2 jam. Pernafasan
dijaga dengan respirator oleh tenaga yang berpengalaman.
4) Penderita rubah posisi/ miringkan setiap 2 jam. Mata dibersihkan tiap 2 jam
mencegah konjungtivitis.
5) Pasang NGT, diet tinggi, cairan cukup tinggi
6) Urine pasang kateter, beri antibiotika
7) Kontrol serum elektrolit, ureum.
8) Rontgen foto thorax
9) Jika keadaan umum membaik, NGT dihentikan. Tracheostomy
dipertahankan beberapa hari, kemudian dicabut/dibuka dan bekas luka
dirawat dengan baik.

E. Prognosis
Prognosis tetanus tergantung dari periode inkubasi, waktu dari inokulasi spora
sampai gejala pertama, dan waktu gejala pertama sampai spasme tetanus pertama. Secara
umum semakin pendek interval mengindikasikan tetanus yang lebih serius dan prognosis
yang buruk. Pasien biasanya dapat bertahan dan kembali ke keadaan sebelum sakit.
Pemulihan biasanya lambat dan terjadi selama 2-4 bulan. Beberapa pasien tetap
hipotonus. Tetanus tidak memberikan keadaan imun, sehingga pasien membutuhkan
imunisasi aktif dengan tetanus toksoid untuk mencegah kekambuhan (Hinfey, 2015).
Sebuah skala penilaian dikembangkan untuk menilai keparahan tetanus dan
menentukan prognosis. Pada skala ini, 1 poin diberikan untuk tiap kriteria berikut
(Hinfey, 2015):
1. Periode inkubasi <7 hari
2. Periode onset <48 jam
3. Tetanus akibat luka bakar, pembedahan, fraktur, aborsi septik, pemotongan tali
pusat, atau injeksi intramuskuler
4. Adiksi narkotik
5. Tetanus generalisata
6. Suhu >40C
7. Takikardi >120x/menit (150x/menit pada neonatus)
Skor total mengindikasikan keparahan penyakit dan prognosis seperti berikut
(Hinfey, 2015):
1. 0 atau 1 : Tetanus ringan, mortalitas <10%
2. 2 atau 3 : Tetanus sedang, mortalitas 10-20%
3. 4 : Tetanus berat, mortalitas 20-40%
4. 5 atau 6 : Tetanus sangat berat, mortalitas >50%

F. Komplikasi
Komplikasi tetanus dapat berupa komplikasi primer atau efek langsung dari toksin
seperti aspirasi, spasme laring, hipertensi, dan henti jantung, atau komplikasi sekunder
akibat imobilisasi yang lama maupun tindakan suportif seperti ulkus dekubitus,
pneumonia akibat ventilasi jangka panjang, stress ulcer, dan fraktur serta ruptur tendon
akibat spasme otot (Ang, 2003).

Tabel III.4. Komplikasi Akibat Tetanus (Ang, 2003)


Sistem organ Komplikasi
Jalan napas Aspirasi, spasme laring, obstruksi terkait penggunaan
sedatif.
Respirasi Apneu, hipoksia, gagal napas tipe I dan II, ARDS
(Acute Respiratory Distress Syndrome), komplikasi
akibat ventilasi mekanis jangka panjang (misalnya
pneumonia), komplikasi trakeostomi.
Kardiovaskular Takikardia, hipertensi, iskemia, hipotensi, bradikardia,
aritmia, asistol, gagal jantung.
Renal Gagal ginjal, infeksi dan stasis urin.
Gastrointestinal Stasis, ileus, perdarahan.
Muskuloskeletal Rabdomiolisis, myositis ossificans circumscripta,
fraktur akibat spasme.
Lain-lain Penurunan berat badan, tromboembolisme, sepsis,
sindrom disfungsi multiorgan.

G. Pencegahan
Tindakan pencegahan merupakan usaha yang sangat penting dalam menurunkan
morbiditas dan mortalitas akibat tetanus. Ada dua cara mencegah tetanus, yaitu
perawatan luka yang adekuat dan imunisasi aktif dan pasif (Sjamsuhidajat, 2005).
1. Perawatan luka
Terutama pada luka tusuk, kotor atau luka yang tercemar dengan spora tetanus.
2. Imunisasi pasif
Diberikan antitoksin, pemberian antitoksin ada 2 bentuk, yaitu:
a) ATS dari serum kuda
b) Tetanus Immunoglobulin Human (TIGH).
Dosis yang dianjurkan belum ada keseragaman pendapat
a) 15003000 U I.M.
b) 30005000 U I.M.
Pemberian ini sebaiknya didahului dengan tes kulit dan mata. Dosis TIHG:
250500 U I.M.
3. Imunisasi aktif
Di Indonesia dengan adanya program Pengembangan Imunisasi (PPI) selain
menurunkan angka kesakitan juga mengurangi angka kematian tetanus. Imunisasi
tetanus biasanya dapat diberikan dalam bentuk DPT; DT dan TT.
a) DPT : diberikan untuk imunisasi dasar
b) DT: diberikan untuk booster pada usia 5 tahun; diberikan pada anak dengan
riwayat demam dan kejang
c) TT: diberikan pada: ibu hamil, anak usia 13 tahun keatas.
Sesuai dengan Program Pengembangan Imunisasi, imunisasi dilakukan pada
usia 2, 4 dan 6 bulan. Sedangkan booster dilakukan pada usia 1,52 tahun dan usia 5
tahun. Dosis yang diberikan adalah 0,5 cc tiap kali pemberian secara intramuskuler

Ang, J. 2003. Tetanus. Tersedia di: www.chmkids.org/upload/docs/imed/TETANUS.pdf.


Diakses 27 Mei 2017.

Bhatia, R, Prabhakar, S., Grover, V.K. 2002. Tetanus. Neurology India. 50:398-407.

Cook, T., Protheroe, R., Handel, J. 2001. Tetanus: a review of the literature. British Journal
of Anaesthesia. 87(3):477-87.

Cottle, L.E., Beeching, N.J., Carrol, E.D., Parry, C.M. 2011. Tetanus. Tersedia di:
https://online.epocrates.com/u/2944220/Tetanus+infection. Diakses tanggal 27 Mei
2017.

Edlich, R.F., Hill, L.G., Mahler, C.A., Cox, M.J., Becker, D.G., Jed, H, Horowitz, M., et al.
2003. Management and Prevention of Tetanus. Journal of Long-Term Effects of
Medical Implants.13(3):139-54.

Farrar, J.J., Yen, L.M., Cook, T., Fairweather, N., Binh, N., Parry, J., et al. 2000 .
Neurological Aspects of Tropical Disease: Tetanus. J Neurol Neurosurg Psychiatry.
69:292301.
Hassel, B.. 2013. Tetanus: Pathophysiology, Treatment, and the Possibility of Using
Botulinum Toxin against Tetanus-Induced Rigidity and Spasm. Toxins (Basel). 5(1):
73-83.

Hinfey, P. 2015. Tetanus. Tersedia di: http://emedicine.medscape.com/article/229594-


overview. Diakses pada 27 Mei 2017.

Kasper, D., Fauci, A., Longo, D., Braunwald, E., Hauser, S., Jameson, J. 2015. Harrisons
Principles of Internal Medicine. New York: McGraw-Hill.

Lubis, C.P. 2003. Management of Tetanus in Children. Medan: Balai Penerbit FK USU.

Ogunrin, O. 2009. Tetanus - A Review of Current Concepts in Management. Journal of


Postgraduate Medicine;11(1):46-61.

Ritarwan, K. 2004. Tetanus. Tersedia di:


http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3456/1/penysaraf-kiking2.pdf.
Diakses tanggal 27 Mei 2017.

Sjamsuhidajat, R. 2005. Tetanus. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai