Anda di halaman 1dari 8

BAGIAN ANASTESI, TERAPI INTENSIF Journal

DAN MANAJEMEN NYERI April 2017


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN

Use Of Opioid Analgesics for PostOperative Pain


Donald R. Powell, DPM

Oleh:

Siti Hardiyanti
C111 12 001

Residen Pembimbing:
dr. Ridho Ridwan

Supervisor Pembimbing :
Prof. Dr. dr. Muh. Ramli Ahmad, Sp. An-KAP-KMN

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ANASTESI, TERAPI INTENSIF, DAN MANAJEMEN NYERI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2017
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini, menyatakan bahwa


Nama : Siti Hardiyanti
NIM : C11112001
Universitas : Hasanuddin

Telah menyelesaikan tugas jurnal dengan judul Penggunaan Analgesia Opioid


untuk nyeri Post Operasi dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian
Anastesi, Terapi Intensif dan Manajemen Nyeri Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin.

Makassar, April 2017

Supervisor Pembimbing Residen Pembimbing

Prof. Dr. dr. Muh. Ramli Ahmad, Sp. An- dr. Ridho Ridwan
KAP-KMN
PENGGUNAAN ANALGESIA OPIOID UNTUK NYERI POST OPERASI

Donald R. Powell, DPM

Pada operasi tungkai dan pergelangan kaki, baik tulang dan struktur jaringan
lunak, berhubungan dengan tingkat nyeri yang lebih tinggi dibandingkan operasi
lain. Penelitian telah menunjukkan bahwa konsentrasi nosiseptor dalam periosteal
dan ligamen lebih tinggi dibandingkan dengan bedah spesialisasi lainnya sehingga
menyebabkan batas ambang nyeri yang lebih rendah.1 Manajemen nyeri yang baik
jelas penting dan dibutuhkan untuk mengenali modalitas dan agen farmakologi
yang tersedia. Analgesi opioid, teknik bedah yang tepat dan modalitas fisik
termasuk rest (istirahat), ice (kompres es), compression (kompresi), dan elevation
(elevasi) memungkinkan ahli bedah podiatri mencapai tujuan ini dengan efektif.
Opioid telah digunakan sebagai metode pengobatan untuk nyeri sejak
3400 sebelum masehi.2 Morfin, unsur pokok opium yang paling aktif, pertama
kali diekstrak dalam bentuk murni pada awal abad ke-19. Bersama dengan
pengenalan senyawa sintetik dan penemuan jarum suntik, penggunaan luas opioid
untuk manajemen nyeri menjadi terjangkau.2
FARMAKOLOGI OF OPIOID
Opioid dapat dibagi menjadi 4 kelas kimia: phenanthrenes (morfin, codeine,
hidromorfon, hydrocodone, oxycodone, oxymorphone, butorphanol),
benzomorphans (pentazocine), pheneylpiperidines (fentanyl, meperidine),
diphenylheptanes (propoxyphene dan metadon), dan tramadol.2 Setiap kelas
kemudian dapat dipecah menjadi agonis/antagonis atau parsial agonis/antagonis,
dimana sebagian besar opioid bertindak sebagai agonis.
Opioid bekerja berikatan dengan reseptor pada 5 area sistem saraf pusat.
Reseptor tersebut adalah Mu (), Kappa (), Delta (), Sigma () dan Epsilon (),
dengan reseptor utama adalah dan . Ketika opioid berikatan dengan
reseptornya di neuron presinaptik saraf penghantar nyeri nosiseptif, kanal Ca
diinaktifkan dan neurotransmitter yang bertanggung jawab untuk nyeri (misalnya
glutamat, substansi P) menurun, sehingga terjadi analgesia.2 Selain itu, opioid
yang berikatan dengan reseptornya di postsinaptik menurunkan eksitabilitas
neuron melalui pembukaan kanal kalium.1 Hasil akhir dari kedua mekanisme
tersebut adalah penghambatan nyeri.
Morfin, yang dianggap sebagai standar baku emas opioid, berasal dari
Tanaman Papaver somniferum, bekerja sebagai agonis reseptor . Ditemukan oleh
Freidrich Sertrner kemudian diberi nama dari kata Morpheus, dewa mimpi
Yunani. Morfin diindikasikan untuk nyeri sedang sampai berat, memiliki waktu
paruh 2 jam dan durasi kerja 4-7 jam. Jika diberikan per oral, onset kerjanya
adalah 30 menit dan 5-10 menit jika diberikan secara intravena. Morfin juga
terdapat dalam sediaan extended release atau sama jika diberikan dalam cairan
D5W per infus.
Dosis yang biasa digunakan adalah 10-30 mg setiap 3-4 jam per oral dan
2-4 mg setiap 3-4 jam IV. Hasil metabolisme morfin terdapat dalam 2 bentuk
metabolit; morfin-6-glukuronida (M6G) dan morfin-3-glukuronida (M3G). Dalam
penelitian terbaru, M6G telah terbukti memberikan efek analgesia sebanding
dengan morfin dengan penurunan insiden mual dan muntah.3 Kekurangannya
adalah potensinya setengah dari morfin dan efek analgesia yang ditimbulkan
tertunda karena alirannya lambat melalui sawar darah otak.3 Namun, para peneliti
telah menemukan efek kurangnya depresi pernafasan yang signifikan pada M6G
dan sebuah studi menjanjikan sedang berlangsung untuk menentukan apakah
M6G lebih baik dari morfin untuk digunakan selanjutnya.
Kodein adalah alkaloid semisintetik yang disintesis dari morfin pada tahun
1832. Kodein digunakan untuk nyeri ringan sampai sedang dengan
bioavailabilitas 60%. Dosis 120 mg secara subkutan setara dengan 10 mg morfin.
Efek analgesia kodein diyakini berasal dari metabolisme kodein menjadi morfin.2
Kodein paling sering diberikan bersama asetaminofen, dengan dosis kodein yang
beragam (yaitu, 15 mg, 30 mg, dan 60 mg) diberikan setiap 4 jam. Kodein
memiliki onset kerja 30 menit dan waktu paruh 3 jam. Durasi kerja 4-6 jam dan
efek sedasi jarang dijumpai serta menyebabkan sedikit euforia.
Hidromorfon adalah analog keton morfin, diduga bekerja dengan mengikat
reseptor dan sedikit di -receptors.2 Hidromorfon secara signifikan lebih poten
daripada morfin, dengan beberapa perkiraan menyatakan rasio 7: 1 hingga 11:
1.2.2 Durasi kerja 3-4 jam, onset sekitar 30 menit dan waktu paruh 2 jam dengan
dosis oral (2-8 mg setiap 4 jam). Hidromorfon umumnya digunakan pada Patient
Controlled Analgesia (PCA) untuk nyeri sedang sampai berat. Smith
memperingatkan kejadian hiperglikemia sementara dapat terjadi akibat
penggunaan hidromorfon dan harus dipertimbangkan ketika merawat pasien
diabetes.
Hidrokodon adalah opioid sintetik yang berkerja sebagai agonis reseptor ,
diindikasikan untuk nyeri sedang sampai berat. Meskipun diberi label sebagai
agonis reseptor lemah, hidrokodon diubah menjadi hidromorfon oleh
dimetilisasi sehingga memiliki kapasitas mengikat reseptor jauh lebih tinggi.
Hidrokodon adalah opioid yang paling sering diresepkan dengan waktu paruh
sekitar 3 sampai 4 jam 2, durasi kerja 4-8 jam dengan onset 10-20 menit.
Hidrokodon diberikan dengan dosis 5-10 mg 4 kali sehari per oral dan sering
dikombinasikan dengan asetaminofen. Dosis maksimum hidrokodon adalah 60
mg/hari, tapi hal ini mungkin dibatasi oleh dosis maksimum asetaminofen yang
tidak melebihi 4 mg / hari.
Oksikodon berasal dari tebain alkaloid opium dan bekerja pada beberapa
receptor.2 Oksikodon dua kali lebih kuat dari morfin dan memiliki efek
halusinogen lebih sedikit. Bioavailabilitas tinggi dengan jalur per oral dan
memiliki waktu paruh 2,5 jam. Oksikodon terdapat dalam bentuk immediate
release dan controlled release (CR). Dosis oksikodon immediate release adalah
10-30 mg setiap 4 jam sementara sediaan CR adalah 10 mg dengan waktu
pelepasan lebih dari 12 jam. Waktu paruh dari oksikodon CR adalah 4-5 jam.
Oksikodon CR dianggap unik karena memiliki profil penyerapan bifasik dimana
tahap pertama melibatkan onset cepat diikuti dengan fase pelepasan yang panjang.
4
Beer et al5 membandingkan terapi standar terhadap oksikodon CR untuk
manajemen nyeri pasca operasi bawah lutut dan penggantian pinggul pada 194
pasien di 2 studi terpisah. Oksikodon CR ternyata sama efektif dengan terapi
standar dalam mengobati nyeri pasca operasi, menyebabkan durasi rawat inap
lebih pendek dan pemberian analgesia lebih jarang.5 Terdapat faktor perkalian
untuk sebagian besar opioid analgesia ketika mengkonversi dosis parenteral ke
oral oksikodon untuk pemulangan pasien. Persamaan tersebut adalah:
Dosis opioid yang digunakan sekarang (mg/hari)x faktor = Oxycodone mg/hari
Faktor opioid umum: Faktor morfin oral 0,5 dan faktor parenteral 3, faktor
hidromorfon oral 4 dan faktor parenteral 20, faktor oral meperidine 0,1 dan faktor
parenteral 0,4.4
Meperidine adalah narkotik agonis reseptor pertama. Meperidin
dianggap sebagai agonis lemah, dengan efek hanya 1/10 dari morfin. Onset
meperidin sekitar 30 menit per oral dengan efek tertingi terlihat dalam 1 jam.
Durasi kerja adalah sekitar 3-5 jam dan waktu paruh 3 jam. Dosis meperidine
adalah 50 mg setiap 4 jam dan sering dikombinasi dengan promethazine.
Metabolit dari meperidine adalah normeperidine yang dapat menyebabkan
aktivitas epilepsi dan tidak boleh diberikan kepada pasien yang mengkonsumsi
monoamine oxidase inhibitor (MAOIs) karena dapat mempotensiasi depresi
pernapasan berat, eksitasi susunan saraf pusat dan kejang.2 Selain itu,
normeperidine bersifat nonreversible dengan nalokson, sehingga meperidine tidak
boleh digunakan pada pasien dengan gangguan ginjal karena hal ini juga dapat
mempotensiasi aktivitas epilepsi.
Propoxifen adalah opioid yang bekerja di sentral yaitu dengan mengikat
reseptor . Propoxifen adalah agonis opioid ringan diindikasikan untuk nyeri
ringan sampai sedang. Propoxifen 66% seefektif kodein dan memiliki time peak
plasma (waktu puncak) 2 jam serta waktu paruh 6-12 jam. Dosisnya 65 mg per
oral diberikan setiap 4 jam, sering dikombinasi dengan aspirin dan kafein.
Metabolitnya, norpropoxyphene, dihasilkan dari degradasi melalui N-demetilasi di
hepar, memiliki waktu paruh 30 jam dan telah terbukti menyebabkan aritmia.6
Oleh sebab ini, penggunaan propoksifen harus berhati-hati pada orang tua.
Fentanyl, agonis reseptor yang berkaitan dengan struktur meperidine.
Waktu paruhnya 2-3 jam dan memiliki potensi analgesia 80 kali lebih dari
morfin.4 Fentanyl lebih larut dalam lemak, oleh karena itu diindikasikan untuk
durasi pendek dan nyeri yang segera muncul pasca operasi. Penggunaan fentanyl
dapat secara transdermal dan dipertahankan selama 72 jam dalam bentuk patch
(tempelan). Selain itu, fentanyl sering disarankan untuk pasien bronkospastik
karena tidak adanya menyebabkan pelepasan histamin.
Metadon adalah sintetik agonis reseptor dengan struktur yang tidak
terkait dengan opioid lain sehingga memungkinkan penggunaannya pada pasien
dengan alergi morfin.2 Tidak ada metabolit aktif dan durasi kerjanya adalah 4
sampai 6 jam. Namun, perlu dicatat bahwa disebabkan kelarutan lipidnya yang
tinggi, waktu paruh metadon diperpanjang menjadi 8-59 jam.
Tramadol, analog dari kodein, merupakan opioid atipikal yang ada di 2
enantiomer. Salah satu bentuk menghambat reuptake serotonin melalui agonis
reseptor , sedangkan bentuk lainnya menghambat reuptake norepinefrin.2 Waktu
paruh adalah 6-8 jam dengan onset 1 jam dan durasi kerja 9 jam. Tramadol
mungkin menjadi pilihan bagi pasien yang menolak opioid yang umum dan
ditoleransi dengan baik pada populasi lansia.7
PATIENT CONTROLLED ANALGESIA (PCA)
Pemberian obat intravena di rumah sakit selama satu hari mungkin merupakan
pengobatan optimal untuk lebih dari kasus yang terlibat, seperti dalam prosedur
rekonstruksi. Munculnya patient controlled analgesia (PCA) pada tahun 1973
telah merevolusi pemberian obat nyeri di rumah sakit.8 Tujuan PCA adalah untuk
mempertahankan konsentrasi obat dalam plasma yang adekuat dengan
menghindari peningkatan atau penurunan yang signifikan.8 Oleh karena itu,
penting untuk pasien untuk memahami konsep dosis dan interval lockout pada
dosis umumnya. Morfin, meperidin, hidromorfon, dan fentanyl biasanya diberikan
melalui PCA, dimana morfin yang paling sering diresepkan dan meperidine sangat
tidak dianjurkan karena metabolitnya, normeperidin, yang neurotoksik. Adjuvan
seperti asetaminofen dan ketorolak juga telah digunakan dalam pengobatan PCA
dengan hasil yang memuaskan.8
EFEK SAMPING
Konstipasi adalah efek samping yang paling umum terjadi pada penggunaan
opioid.9 Aktivasi reseptor di usus memegang peran pada penurunan motilitas
lambung dan penurunan sekresi.9 Untuk keadaan tersebut digunakan pelunak tinja
dan pencahar, namun metilnatrexone mungkin dapat menjadi pertimbangan lain di
masa depan. Methylnatrexone merupakan antagonis reseptor yang saat ini
sedang diselidiki untuk kepentingan klinis dan dinilai unik karena memiliki
afinitas antagonis perifer sementara tidak mengurangi/mempertahankan efek
analgesia sentral.9
Efek samping yang dihadapi akibat penggunaan opioid adalah konstipasi
dan mual tetapi juga termasuk sedasi, depresi pernapasan, retensi urin dan pruritis.
Meskipun sering ditemui, efek tersebut dapat tangani dengan pemberian nalokson.
Nalokson adalah antagonis opioid dan dapat membalikkan efek sedasi yang
diinduksi opioid, hipotensi dan depresi pernapasan.10 Nalokson diberikan IV
dengan dosis awal 0,2-0,4 mg. Jika tidak ada respon setelah 2-3 menit, diberikan
tambahan 1-2 mg IV sampai dosis total 10 mg. Durasi kerja nalokson adalah
sekitar 45-90 menit, sedangkan depresi pernafasan akibat overdosis opioid dapat
berlangsung 4-5 jam, sehingga dosis nalokson selanjutnya mungkin diperlukan.10
RINGKASAN
Elleby et al6 melakukan survei terhadap lebih dari 50 dokter Podiatric dan
mempertanyakan obat primer dan sekunder pilihan mereka untuk nyeri pasca
operasi. Meskipun studi ini dilakukan lebih dari satu dekade yang lalu, tapi tetap
merupakan penelitian terbaru dari peresepan dokter Podiatric di seluruh negeri.
Tylenol dengan kodein adalah obat pilihan utama untuk 32% dari semua prosedur
jaringan lunak dan 42% dari prosedur tulang dalam kasus nyeri ringan sampai
sedang.
Ketika ditanya tentang nyeri sedang sampai berat, obat pilihan utama
adalah oksikodon (36%) dan hidrokodon (26%). Berdasarkan prosedur,
meperidine adalah pilihan pertama untuk operasi bunion (32%) dan paling sering
diresepkan dengan promethazine. Dalam 45% kasus bedah digital, diresepkan
tylenol dengan kodein. Apakah hasil penelitian tersebut telah berubah dalam
dekade terakhir belum dipelajari, tetapi menurut Drug Enforcement
Administration, hidrokodon sekarang merupakan opioid yang paling banyak
diresepkan.11
Dari semua analgesia yang tersedia, opioid terbukti menjadi metode yang
paling dapat diandalkan dan efektif untuk nyeri.12 Meskipun tidak ada opioid
superior, terdapat beberapa regimen kontrol nyeri yang tersedia dan
standardisasi harus dikurangi. Pemilihan opioid harus disesuaikan dengan masing-
masing pasien dan profil efek samping dari masing-masing obat. Selain itu, rute
pemberian yang paling nyaman dan paling mahal (yaitu, oral) harus
diimplementasikan secepat mungkin setelah tersedia.5
DAFTAR PUSTAKA

1. Stern SS, Ponticello MN. Current concepts in pain management:


pharmacologic options for the pediatric, geriatric, hepatic and renal failure
patient. Clin Podiatr Med Surg 2008;25:381-407.

2. Trescot AM, Datta S, Lee M, et al. Opioid pharmacology. Pain Physician


2008: Opioid Special Issue 2008: 11. p. S133-53.

3. A. van Dorp EL, Romberg R, Sarton E, et al. Morphine-6Glucuronide:


Morphines successor for postoperative pain relief? Anesthesia Analgesia
2006;102:1789-97.

4. Smith RG. A review of opioid analgesics frequently prescribed by


podiatric physicians. J Am Podiatric Med Assoc 2006;96:367-73.

5. Van de Beer JD, Winemaker MJ, Donnelly GAE, et al. Efficacy and safety
of controlled-release oxycodone and standard therapies for postoperative
pain after knee or hip replacement. Can J Surg 2005;48:277-83.

6. Elleby DH, Greenburg PM, Barry LD. Postoperative narcotic and


nonnarcotic analgesics. Clin Podiatr Med Surg 1992;9:365-83.

7. Barkin RL, Barkin D. Pharmacologic management of acute and chronic


pain: focus on drug interactions and patient-specific pharmacotherapeutic
selection. South Med J 2001;94:758.

8. Costa JR, Coleman R. Post-operative pain management using


patientcontrolled analgesia. Clin Podiatr Med Surg 2008;25:465-75.

9. Swegle JM, Logemann C. Management of common opioid-induced


adverse effects. Am Family Phy 2006;74:1347-54.

10. Mokhlesi B, Leikin JB, Murray P, et al. Adult toxicology in critical care;
part ii: specific poisonings. Chest 2003;123:910-1.

11. Hydrocodone. Drug Enforcement Administration website. URL:


http://www.usdoj.gov/dea/concern/hydrocodone.html.

12. Fields HL, Martin JB. Pain: pathophysiology and management. In:
Harrisons Principles of Internal Medicine, 16th ed. New York (NY):
McGraw-Hill; 2005. p. 74-75.

Anda mungkin juga menyukai