TINJAUAN PUSTAKA
potensi kerusakan jaringan, atau istilah terhadap kerusakan yang sama (Loeser,
2011).
Nyeri akut disebabkan oleh stimulasi noxious akibat trauma, proses suatu
penyakit atau akibat fungsi otot atau viseral yang terganggu. Nyeri tipe ini
Nyeri akut akan disertai hiperaktifitas saraf otonom dan umumnya mereda dan
Adanya nyeri yang bersifat akut merupakan alasan individu untuk mencari
trauma, pembedahan, atau suatu proses penyakit. Nyeri akut didefinisikan sebagai
nyeri yang disebabkan karena jejas jaringan tubuh dan terjadi aktivasi transducer
nosiseptif pada tempat terjadinya kerusakan jaringan lokal. Jejas lokal ini
sentral, serta sistem saraf otonom. Jejas pada nyeri somatik akut berasal dari
berasal dari organ-organ internal dalam. Secara umum, nyeri akut disini
6
7
menghilang bila proses patologis yang mendasari dapat diatasi (Turk, 2002).
terapi analgetik yang tepat. Nyeri selalu bersifat subyektif. Setiap orang belajar
untuk menerapkan kata nyeri melalui pengalaman terhadap cedera pada awal
nyeri merupakan pengalaman yang kita hubungkan dengan potensi dan kerusakan
jaringan itu sendiri. Hal ini merupakan suatu sensasi yang tidak usah
dipertanyakan lagi pada suatu atau beberapa bagian tubuh, namun juga selalu
tidak nyaman dan oleh karenanya juga merupakan suatu pengalaman emosional.
tidak begitu penting, karena secara subyektif seringkali tidak memiliki kualitas
sensoris terhadap nyeri. Banyak orang mengeluh nyeri meskipun tidak ada
kerusakan jaringan atau penyebab patologis lainnya; biasanya hal ini terjadi
disebabkan oleh kerusakan jaringan jika kita meneliti secara subyektif. Jika pasien
yang disebabkan oleh karena kerusakan jaringan, maka harus disebut sebagai
a. Nyeri nosiseptif
pengeluaran mediator inflamasi dari jaringan, sel imun dan ujung saraf sensoris
dan simpatik.
b. Nyeri neurogenik
Nyeri yang didahului atau disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer pada
sistem saraf perifer. Hal ini disebabkan oleh cedera pada jalur serat saraf perifer,
infiltrasi sel kanker pada serabut saraf, dan terpotongnya saraf perifer. Sensasi
yang dirasakan adalah rasa panas dan seperti ditusuk-tusuk dan kadang disertai
hilangnya rasa atau adanya rasa tidak enak pada perabaan. Nyeri neurogenik dapat
menyebakan terjadinya allodynia. Hal ini mungkin terjadi secara mekanik atau
kronik. Nyeri tipe ini sering menunjukkan respon yang buruk pada pemberian
analgetik konvensional.
c. Nyeri psikogenik
Nyeri ini berhubungan dengan adanya gangguan jiwa misalnya cemas dan
depresi.
9
timbulnya nyeri
Aksis III : karakteristik nyeri atau pola timbulnya nyeri (tunggal, reguler,
kontinyu)
a. Nyeri akut
2. Nyeri somatik dalam : nyeri tumpul pada otot rangka, sendi dan jaringan
ikat
b. Nyeri kronik
otonom kecuali serangan akut. Nyeri tersebut dapat berupa nyeri yang tetap
10
bertahan sesudah penyembuhan luka (penyakit atau operasi) atau awalnya berupa
nyeri akut lalu menetap sampai melebihi 3 bulan. Nyeri ini disebabkan oleh :
a. Nyeri ringan adalah nyeri hilang timbul, terutama saat beraktivitas sehari
b. Nyeri sedang nyeri terus menerus, aktivitas terganggu yang hanya hilang
c. Nyeri berat adalah nyeri terus menerus sepanjang hari, penderita tidak
inflamasi akan mengaktifkan saraf nosiseptor perifer, yang akan memulai proses
transduksi dan transmisi informasi nosisepsi ke sistem saraf pusat dan proses
menjadi aktifitas listrik oleh saraf nosiseptor perifer dan di transmisikan oleh
serat saraf A dan C dari daerah somatik dan viseral perifer ke kornu posterior
11
medula spinalis, dimana terjadi integrasi antara rangsang nyeri perifer dan input
(spinal), yang berakibat terhadap peningkatan tonus otot skelet, hambatan fungsi
mekanik, kimia) menjadi energi listrik (impuls saraf) oleh reseptor sensorik untuk
yang terjadi akibat adanya rangsangan di perifer ke pusat. Modulasi adalah proses
pengaturan impuls yang dihantarkan yang dapat terjadi di setiap tingkat, namun
biasanya diartikan sebagai pengaturan yang dilakukan oleh otak terhadap proses
pemahaman dari impuls saraf yang sampai ke sistem saraf pusat sebagai rasa
dirasakan nyeri adalah suatu proses elektrofisiologis yang disebut nosisepsi. Ada
12
4 proses yang mengikuti suatu proses nosisepsi yaitu (Stoelting, 2006; Morgan
dkk, 2006) :
2.1.3.1. Tranduksi
pulpa gigi dan jaringan tubuh yang lain. Serat saraf aferen A delta dan C adalah
serat-serat saraf sensorik yang mempunyai fungsi meneruskan sensorik nyeri dari
perifir ke sentral ke susunan saraf pusat. Interaksi antara zat algesik dengan
2.1.3.2. Transmisi
yang menyusul proses tranduksi. Oleh serat aferen A-delta dan C impuls nyeri
Serat aferen A-delta dan C yang berfungsi meneruskan impuls nyeri mempunyai
dibanding dengan serat C. Serat A-delta menghantarkan impuls lebih cepat (12-30
spinalis kornu dorsalis yang berfungsi dalam fisiologi nyeri ini disebut sel-sel
neuron nosisepsi. Pada nyeri akut, sebagian dari impuls nyeri tadi oleh serat
13
aferen A-delta dan C diteruskan langsung ke sel-sel neuron yang berada di kornu
antero-lateral dan sebagian lagi ke sel-sel neuron yang berada di kornu anterior
peningkatan tonus sistem saraf otonom simpatis dengan segala efek yang dapat
spinalis akan menimbulkan peningkatan tonus otot skelet di daerah cedera dengan
segala akibatnya.
2.1.3.3. Modulasi
dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior. Impuls nyeri yang diteruskan
spinotalamikus. Didaerah ini akan terjadi interaksi antara impuls yang masuk
dengan sistem inhibisi, baik sistem inhibisi endogen maupun sistem inhibisi
eksogen. Tergantung mana yang lebih dominan. Bila impuls yang masuk lebih
dominan, maka penderita akan merasakan sensibel nyeri. Sedangkan bila efek
sistem inhibisi yang lebih kuat, maka penderita tidak akan merasakan sensibel
nyeri.
2.1.3.4. Persepsi
terhadap neuron sensoris primer dapat teraktifasi baik oleh stimulasi perifer
berulang atau oleh perubahan komponen kimia dari ujung saraf tersebut.
aktivasi protein C kinase dalam sitoplasma terminal saraf perifer. Protein C kinase
yang melalui reseptor protein G-coupled atau tirosin kinasenya akan mengaktifkan
nosiseptor perifer dapat terjadi dan hal ini ditandai dengan penurunan ambang
kecepatan discharge basal (spontan). Input rangsang nyeri dari perifer yang kuat
dirasakan menjadi lebih nyeri dari yang seharusnya. Sistem sirkuit di kornu
dorsalis sangatlah kompleks, dan kita baru mulai mempelajari peranan spesifik
dimulai dan dipertahankan oleh input rangsang nyeri. Meskipun respon ini
sebenarnya memiliki tujuan yang baik, namun secara bersamaan respon tersebut
juga dapat menimbulkan hal yang tidak baik. Nyeri perioperatif yang tidak
2010).
renin, angiotensin II), dan penurunan sekresi hormon anabolik. Efeknya berupa
17
retensi air dan natrium, dan peningkatan level glukosa darah, asam lemak bebas,
Tingkat respon terhadap stress dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti jenis
negatif dan katabolisme protein dapat menghambat pemulihan. Oleh karena itu,
beberapa daerah dari tubuh. Respon terhadap stress merupakan faktor yang
kegagalan graft vaskuler, dan iskemia otot jantung. Stress respon dapat
sebanding dengan beratnya trauma bedah. Hiperglikemia dari stress respon dapat
simpatis yang ikut andil dalam morbiditas atau mortalitas. Aktifasi simpatis dapat
dihasilkan dari kombinasi input inhibisi dari faktor sentral dan lokal, peningkatan
aktifitas aferen simpatis, misalnya yang berasal dari nyeri yang tidak terkontrol,
gastrointestinal.
segera menurun, terutama setelah operasi abdomen atas dan thoraks. Inhibisi
refleks spinal pada aktifitas nervus frenikus merupakan komponen penting dalam
penurunan fungsi paru pascaoperasi ini. Oleh karena itu kontrol terhadap nyeri
pascaoperasi juga penting karena pasien dengan kontrol nyeri yang buruk dapat
menyebabkan pernafasan yang menurun, refleks batuk yang tidak adekuat, dan
patofisiologi yang merugikan yang terjadi pada periode perioperasi dan hal ini
19
dihubungkan dengan aktifasi nosiseptor dan respon terhadap stress. Nyeri yang
tidak terkontrol dapat mengaktifkan sistem saraf simpatis, yang dapat berpotensi
Organizations) pada tahun 2001, penilaian nyeri merupakan tanda vital yang
kelima yang harus kita nilai pada setiap pasien. Penilaian nyeri yang teratur dan
berulang harus dilakukan untuk menilai keadekuatan terapi analgesia yang sedang
berjalan. Frekuensi penilaian nyeri tergantung dari durasi dan beratnya nyeri,
kebutuhan serta respon pasien serta jenis obat dan intervensi yang digunakan.
Penilaian rasa nyeri pada pasien pascaoperasi harus meliputi penilaian pada
kondisi statik (saat istirahat, tidak bergerak) dan pada kondisi dinamis (saat
bergerak, duduk, batuk). Secara garis besar, penilaian nyeri dibagi menjadi dua,
ataupun tingkat berkurangnya nyeri setelah suatu intervensi obat analgesia. Dalam
menilai respon terhadap suatu terapi biasanya dipakai skala penurunan nyeri dan
descriptive scale (VDS) biasanya menggunakan kata tidak nyeri, nyeri ringan,
nyeri sedang, nyeri berat atau sangat nyeri. VDS pertama kali disampaikan oleh
Keele pada tahun 1948. VDS lebih sulit digunakan pada pasien pascaoperasi
dibandingkan dengan skala numerikal dan kurang sensitif untuk menilai hasil
berguna pada pasien-pasien tua atau pasien dengan gangguan penglihatan. Akan
(NPS) membuat skala kategori lebih sulit untuk mengetahui adanya perbedaan
terhadap hasil terapi analgesia yang diberikan (Cousin, 2010; Deloach dkk.,
1998).
tertulis. Skala numerikal dalam kalimat verbal dikenal sebagai numerical rating
scale (NRS), disampaikan oleh Downie pada tahun 1978, dimana pasien diminta
untuk menyatakan tingkat nyerinya dalam skala numerikal, biasanya antara 0-10
dimana 0 sebagai tidak nyeri, dan 10 sebagai sangat nyeri. NRS merupakan salah
satu instrumen pengukur nyeri yang sering digunakan dalam penelitian. Skala
numerikal dalam bentuk tertulis dikenal sebagai VAS dan saat ini merupakan
pengukur nyeri yang paling luas digunakan dalam praktek klinis maupun dalam
penelitian. VAS berupa suatu garis lurus horizontal dengan panjang 100 mm, pada
ujung kiri ditandai dengan tidak ada nyeri sedangkan pada ujung kanan ditandai
dengan sangat nyeri, kemudian pasien diminta untuk memberi tanda pada garis
21
tersebut yang kemudian akan diukur jaraknya dari sebelah kiri. Jarak tersebut
dihitung dalam satuan milimeter (mm) dan mencerminkan tingkat nyeri yang
dialami pasien. Selain dalam posisi horizontal, VAS juga dapat diposisikan
vertikal dan hasilnya tetap valid. Interpretasi nilai VAS sangat bervariasi
tergantung dari definisi yang digunakan, akan tetapi interpretasi nilai VAS yang
paling banyak digunakan yaitu nilai <40 mm sebagai nyeri ringan, 41-70 mm
sebagai nyeri sedang, dan >71 mm sebagai nyeri berat. Hasil dari penilaian VAS
ini dapat digunakan sebagai salah satu pedoman dalam menyesuaikan dosis obat
analgetik yang diberikan (Aubrun dkk., 2003; Bodian dkk., 2001). Skala ini
dalam rentang yang cukup lebar. Akan tetapi dalam menentukan skala ini
diperlukan konsentrasi dan koordinasi yang cukup baik sehingga tidak dapat
atau 15% dikatakan sebagai nyeri sedikit menurun, penurunan nilai 20-30 mm
atau 33% dianggap sebagai penurunan nyeri yang bermakna dari sudut pasien dan
substansial.
individu pasien. Salah satu penilaian multidimensional yang sering dipakai adalah
the McGill Pain Questionaire (MPQ). MPQ dikembangkan oleh Melzack pada
22
tahun 1987 untuk memperoleh penilaian kualitatif dan kuantitatif dari nyeri yang
dirasakan oleh pasien. MPQ menghasilkan dua nilai global, yaitu pain rating
index dan intensitas nyeri terkini. MPQ terbukti sebagai penilaian nyeri yang valid
dan dapat dipercaya. Pain rating index diperoleh dari jumlah nilai dari 20
pertanyaan yang dijawab oleh pasien yang mendeskripsikan segi sensoris, afektif,
dan dimensi nyeri. Intensitas nyeri terkini berupa skala nyeri dari 0-5, dimana 0 =
tidak nyeri, 1 = nyeri ringan, 2 = merasa tidak nyaman, 3 = terganggu oleh nyeri,
blokade natrium pada dinding saraf secara sementara terhadap rangsang transmisi
sepanjang saraf, yang jika dipergunakan pada saraf sentral atau perifer. Anestesi
lokal setelah keluar dari saraf diikuti oleh pulihnya konduksi saraf secara spontan
dan lengkap tanpa diikuti oleh kerusakan struktur saraf. Semua obat anestesi lokal
baru adalah sebagai rekayasa obat lama yang dianggap masih mempunyai
oleh Kollar, pada tahun 1884 yang digunakan pada operasi mata. Penggunaan
kokain aman hanya untuk anestesi topikal. Penggunaan secara sistemik akan
ketagihan, sehingga dibatasi pembuatannya hanya untuk topikal mata, hidung dan
hal prosedur rinolaringologi dan pada saat intubasi endotrakea. (Katzung B,dkk
2006)
Anestesi lokal sintetik yang pertama kali diperkenalkan adalah derifat ester
prokain, yang diperkenalkan oleh Einhorn pada tahun 1905. Lidokain disintesa
sebagai golongan amid oleh Lofgren pada tahun 1943. Menghasilkan blokade
konduksi yang lebih cepat, intens dan lebih lama hasil konduksinya. Tidak seperti
prokain, lidokain merupakan anestesi topikal lebih efektif dan dipakai sebagai
obat antidisritmia. Untuk alasan ini lidokain merupakan pilihan standar bila
oleh A.F. Ekenstam di Swedia pada tahun 1957. Bupivakain pertama digunakan
tahun 1963 oleh L. J. Teluvio. Bupivakain merupakan salah satu lokal anestesi
dengan durasi kerja yang lama, digunakan secara luas untuk intratekal, epidural
dan blok saraf perifer. Obat ini berupa serbuk kristal larut dalam air.
Anestetik lokal ialah gabungan dari garam larut dalam air dan alkaloid
larut dalam lemak dan terdiri dari bagian kepala cincin aromatic tak jenuh yang
bersifat lipofilik, bagian badan sebagai penghubung terdiri dari cincin hidrokarbon
dan bagian ekor yangbterdiri dari amino tersier bersifat hidrofilik. Hampir semua
anestetik lokal, ester (-CO-) atau amid (-NHC-) berikatan dengan rantai
ester dan amide dari anestetik lokal adalah dalam hubungannya menduduki dalam
24
Bagian lipofilik, biasanya terdiri dari cincin aromatik (benzene ring) tak
(dietil-amin)
Properti fisiokimia
1. Molekul C18H28N2OHCl
3. pH larutan 5,2
4. pKa 8,1
saraf pada tempat suntikan obat tersebut, sehingga membran akson tidak akan
aliran impuls yang melewati saraf tersebut terhenti, sehingga segala macam
rangsang atau sensasi tidak sampai analgesia, paresis sampai paralisis dan
vasodilatasi pembuluh darah pada daerah yang terblok (Katzung B,dkk 2006;
anestesi lokal.
jaringan sehingga timbul efek difusi obat ke dalam urat saraf, proses penetrasi ke
dalam sel saraf, distribusi obat-obat di dalam sel saraf, fiksasi obat pada membran
sel.
26
impuls saraf. Molekul obat anestesi harus melewati membran sel melalui
difusi non ionik pasif dari molekul dan kemudian terikat pada kanal Na+.
saraf otonom, sensoris dan motoris pada daerah yang diinnervasi oleh saraf
pada serabut saraf sebagai akibat dari efek obat lokal anestesi (Miller, 2009).
efek pada sistem organ lain pada tubuh. Efek ini disebabkan karena obat tersebut
mengalami proses absorpsi dan distribusi ke dalam sirkulasi dan jaringan tubuh
sama seperti yang dialami oleh obat lain (Heavner James, 2007).
Potensi obat anestesi lokal dipengaruhi oleh kelarutan dalam lemak, makin
larut makin poten. Ikatan dengan protein (protein binding) mempengaruhi lama
kerja dan konstanta dissosiasi (pKa) menentukan awal kerja (Gordon D, 2008).
dkk, 2006).
Lama kerja obat anestesi lokal dipengaruhi oleh ikatan dengan protein
plasma, karena reseptor anestesi lokal adalah protein. Kemudian dipengaruhi juga
natrium (sodium channel) sehingga tidak terjadi aksi potensial, maka tidaklah
paresthesia lidah, pusing, kepala terasa ringan, tinitus, pandangan kabur, agitasi,
lemak, anestesi lokal dapat menghasilkan seizures pada konsentrasi rendah dalam
28
darah. Dengan cara menurunkan aliran darah ke otak dan paparan obat juga
seizure.
yang memberat sampai kejang, dilanjutkan depresi, koma dan puncaknya terjadi
henti napas.
2. Sistem pernafasan
sehingga meningkatkan ambang respon terhadap ventilasi pada kondisi pO2 yang
rendah. Hipotensi akibat hilangnya tonus simpatis dan paralisis respirasi akibat
level blok motoris yang terlalu tinggi bisa menyebabkan hipoventilasi. Apabila
3. Sistem kardiovaskuler
depresi pada otot jantung (spontan dari fase IV depolarisasi) dan menurunkan
durasi periode refrakter. Semua obat anestesi lokal kecuali kokain menghasilkan
relaksasi otot polos. Gejala toksik mayor terhadap kardiovaskuler biasanya sekitar
spontan) dan mengurangi durasi dari periode refraktif. Kontraktilitas miokard dan
disritmia seperti fibrilasi ventrikel. Selain itu, perlu dosis maksimal bupivakain (3
4. Sistem imunologi
5. Sistem muskuloskletal
degenerasi dan lisis, edema, serta nekrosis. Proses regenerasi biasanya terjadi
6. Sistem hematologi
fibrinolisis. Efek seperti ini berhubungan dengan penurunan efikasi dari epidural
2.3.4. Farmakokinetik
diatas pH fisiologis. Hasilnya, <50% dari anestetik lokal merupakan bentuk larut
dalam lemak tidak terionisasi pada pH fisiologis. Contoh, pada pH 7,4 hanya 5%
30
dari tetrakain yang dalam bentuk tidak terionisasi. Adanya asidosis pada tempat
injeksi anestesi lokal (seperti yang terjadi pada jaringan yang infeksi)
menyebabkan peningkatan fraksi obat terionisasi. Hal ini sesuai dengan kenyataan
lemahnya anestesi lokal yang terjadi bila anestesi lokal diinjeksikan pada tempat
fisiologis memiliki mula kerja yang paling cepat, hal ini mencerminkan adanya
rasio yang optimal antara fraksi obat terionisasi dengan fraksi obat tidak
masa kerja anestesi lokal. Sebagai contoh, adanya efek vasodilator yang lebih kuat
sistemik lidokain yang lebih besar dan masa kerja yang lebih singkat. Bupivakain
lemak yang lebih besar oleh etidokain menghasilkan sekuestrasi jaringan dan
1. Absorbsi
Absorbsi sistemik dari obat injeksi bupivakain tergantung pada aliran darah,
a. Lokasi suntikan
daerah suntikan; intravena > trakeal > interkostal > kaudal > paraservikal
b. Adanya vasokonstriktor
durasi kerja dan membatasi efek samping berupa toksisitas. Masa kerja
saraf. Akibatnya, tindakan yang dapat melokalisasi obat pada saraf akan
B,dkk 2006).
Keadaan ini akan membahayakan bila zat anestesi lokal digunakan pada
2. Distribusi
a. Perfusi jaringan
c. Massa jaringan
Semakin larut dalam lemak semakin tinggi ambilan obat oleh jaringan.
Obat yang berada di luar saraf akan diabsorpsi oleh sistem pembuluh darah
kapiler. Sel saraf akan melepaskan ikatannya dengan obat anestesi lokal. Hal ini
33
lain. Kemudian baru terjadi proses detoksifikasi dan eliminasi (Heavner James,
2007).
Abdominal field block sudah dikenal sejak lama dan telah digunakan
secara luas karena tehniknya yang hampir tidak pernah berubah. Meskipun
demikian, tehnik ini memberikan daerah analgesik yang terbatas, sehingga tehnik
ini juga membutuhkan tindakan penyuntikan multipel. Secara sederhana, blok ini
dilakukan dengan batas yang buta (blind), sehingga kesuksesan dari tehnik ini
tehnik yang baru, untuk dapat memberikan analgesia pada dinding abdomen
memberikan daerah analgesia yang lebih luas. Saat ini, transversus abdominis
memberikan penempatan dan deposisi obat anestesi lokal yang lebih baik dengan
pemakaian opioid yang lebih sedikit, analgesia yang baik, dan kebutuhan morfin
pascaoperasi yang minimal (Allcock, 2010). TAP block efektif dalam mengurangi
nyeri pascaoperasi bedah berbagai penelitian, bahkan hingga 48 jam pasca bedah
(McDonnell, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Carney secara acak pada 50
pasien yang dilakukan TAP block menggunakan ropivakain terjadi penurunan nilai
pertama (Carney, 2010). TAP block juga baik dalam menurunkan analgesi pada
2010).
kejadian dan beratnya PONV. Suatu penelitian oleh Carney, belum dapat
membuktikan itu. Hal ini diperkirakan karena pada penelitian tersebut, morfin
bedah kanker ginekologi (Griffiths, 2010). Freir juga melaporkan bahwa TAP
pasien dengan TAP block dilaporkan memiliki resiko hingga 2,2 kali lebih besar
Pada awalnya, TAP block disebut sebagai tehnik yang mudah dilakukan
2009).
2.4.1. Anatomi
anatomi berada diantara otot obliqus internus dan transversus abdominis dan
meluas ke abdomen dimana kedua otot ini masih ada. TAP block merupakan
tehnik anestesi regional yang baru dan cepat berkembang dengan melakukan
injeksi bolus tunggal anestesi lokal yang banyak ke daerah anatomi ini untuk
menghambat saraf aferen somatik sebelum keluar dari TAP menuju ke dinding
Segitiga lumbar Petit adalah daerah anatomi yang secara teori dapat
digunakan sebagai titik referensi masuknya jarum suntik ke daerah TAP. Pada
36
bagian posteriornya, segitiga ini dibentuk dari dinding lateral otot latisimus dorsi
dan dari arah anteriornya dibentuk dari tepi bebas posterior otot obliqus internus,
dengan krista iliaka di bagian bawah. Secara berurutan segitiga ini memiliki
lapisan dari superfisial ke dalam yang dibentuk oleh jaringan subkutan, otot
nervus subkostal (T12), dan nervus iliohipogastrik dan nervus ilioinguinal (L1)
(Mukhtar, 2009)
Gambar 2.4 Persarafan kutaneus dinding abdomen. Daerah yang berwarna adalah
daerah yang mengalami efek analgesia pada injeksi tunggal TAP block posterior.
internus, dimana disitu akan menyebar, dan berakhir sebagai cabang kutaneus
37
jalan, nervus ini menembus muskulus obliqus eksternus dan latissimus dorsi.
obliqus internus dan eksternus dan turun melewati krista illiaka dan memberikan
bagian anterior crista illiaca. Nervus ini mempersarafi bagian atas dan medial
2.4.2. Indikasi
terbukti baik. Blok bilateral dapat dilakukan untuk insisi midline atau operasi
laparoskopi. Yang harus diperhatikan adalah supaya dosis obat anestesi lokal yang
Terdapat kontroversi pada literatur yang ada dalam hal penyebaran dan
derajat blok yang dicapai dengan penyuntikan TAP tunggal. Penelitian pendahulu
sehingga blok ini baik untuk insisi abdominal midline, sementara penelitian yang
lain tidak berhasil menunjukkan penyebaran lebih tinggi dari T 10 sehingga hanya
Pada penelitian sederhana terhadap kadaver, T11, T12, dan L1 hampir selalu
ada di lapangan transversus abdominis, sedangkan T 10 ada pada 50% kasus. Oleh
yang baik. Penambahan penyuntikan subkostal membantu blok yang lebih tinggi
hingga mencapai T7. TAP subkostal merupakan modifikasi dari tehnik asli dimana
probe ultrasonografi diletakkan dibawah tepi kosta dan paralel dengannya. Jarum
abdominis plane untuk memberikan analgesia yang lebih dari yang diberikan oleh
Tujuan dari TAP block adalah untuk deposit anestesi lokal pada bidang
antara otot obliqus internus dan transversus abdominis menargetkan saraf tulang
belakang pada daerah ini. Persarafan pada kulit perut, otot dan peritoneum parietal
tumpul (dari kejang atau peradangan setelah pembedahan) masih akan tetap
terjadi (Mukhtar, 2009). Saat ini terdapat dua tehnik penyuntikan, yaitu: 1)
Gambar 2.5 Jalur nervus spinal T7 sampai T12 dan percabangan dinding abdomen
regional masih sangat terbatas digunakan pada daerah perifer terutama pada
Oleh karena itu tehnik blind TAP block injection (penyuntikan secara tersamar
sesuai.
Titik masuk blind TAP block adalah segitiga Petit. Segitiga ini berada
diantara tepi bawah costa dan krista illiaca. Segitiga ini terikat di anterior oleh
muskulus obliqus eksternus dan di posterior oleh latisimus dorsi. Tehnik ini
40
digambarkan sebagai perasaan double pop (dua kali terasa tahanan) karena jarum
menembus muskulus obliqus eksternus dan obliqus internus. Jarum yang tumpul
Gambar 2.6 Segitiga petit diantara muskulus obliqus ekternus dan latissimus dorsi
CM: costal margin, IC: krista illiaca.
segitiga Petit lumbal pada level jaringan subkutan adalah 6,9 cm (kisaran 4,5-9,2
cm) dan dari permukaan kulit adalah 9,3 cm (kisaran 4-15,1 cm). Pusat segitiga
Petit lumbal adalah 1,4 cm diatas krista iliaka. Kedalaman TAP pada posisi
segitiga Petit lumbal adalah 1,5-4 cm dan pada garis midaksilaris adalah 0,5-2 cm.
Rata-rata ukuran segitiga Petit adalah 2,3 cm x 3,3 cm x 2,2 cm, dengan daerah
rata-rata 3,6 x 1,93 cm2. Dari tiga dari 26 spesimen kadaver yang di eskplorasi
menunjukkan bahwa saraf yang di lakukan TAP block melewati lateral segitiga
Petit. Terdapat temuan secara tidak sengaja yaitu bahwa pada 66% segitiga Petit
abdominal lateral di garis midaksiler, diantara tepi kosta bagian bawah dan krista
akurat pada daerah neurovaskuler yang tepat. Apabila durasi analgesia yang lebih
lama diperlukan untuk sekali penyuntikan anestesi lokal, kateter dapat digunakan
anestesi lokal bolus (20 ml). Infus larutan anestesi lokal dimulai dengan kecepatan
Peralatan:
- Jarum: 50 mm atau 80 mm
- Anestesi lokal 20 mL (dengan konsentrasi berapa saja, blok ini tergantung pada
dinding abdomen diantara tepi kosta dan krista iliaka saat pasien berada dalam
posisi supine
abdominis. Peritoneum dan bowel loop dapat terlihat lebih dalam lagi dari otot.
43
Gambar 2.9 Gambaran ultrasonografi dinding abdomen. EO: external oblique, IO:
internal oblique, TA: transversus abdominis.
probe dan dimasukkan hingga mencapai mencapai lapangan di antara otot oblikus
sentimeter ke arah medial dari probe (dengan jarak yang ekivalen dengan
dikembalikan pada posisi aslinya pada garis midaksiler dimana jarum terlihat
lebih dalam.
memastikan bahwa posisi jarum sudah benar, selanjutnya jika sudah benar, larutan
hipoekhoik).
44
Gambar 2.10 Deposisi anestesi lokal yang tepat pada transversus adbominis plane
juga belum ada literatur dalam bahasa Inggris yang menunjukkan adanya
komplikasi yang dilaporkan pada tehnik block buta (blind block), dimana yang
dan kelemahan saraf femoral sementara. Toksisitas obat anestesi lokal juga dapat
terjadi karena perlunya volume yang banyak untuk mencapai block ini, terutama
apabila dilakukan secara bilateral. Sama seperti tehnik regional lainnya, aspirasi
45
2009).
ropivacaine adalah 2,540,75 mcg/mL pada TAP block bilateral dengan dosis
total 3 mg/kg. Level ini lebih tinggi dari dosis toksik minimal pada level plasma
yang dibakukan yaitu 2,2 mcg/mL, hampir sama dengan level yang umumnya
digunakan untuk blok saraf perifer (misalnya 2,58 mcg/mL untuk blok aksiler).
Kato dkk. juga melaporkan bahwa level toksik plasma dicapai pada penggunaan