Analisa Kebijakan Kesehatan Dalam Pelaya
Analisa Kebijakan Kesehatan Dalam Pelaya
Perlindungan terhadap hak rahasia medis ini dapat di lihat dalam peraturan
perundang-undangan antara lain:
a. Pasal 57 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengatakan
bahwa setiap orang berhak atas kondisi kesehatan pribadinya yang
telah dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan
b. Pasal 48 UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek kedokteran
mengatakan bahwa setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan
praktek kedokterannya wajib menyimpan rahasia kedokteran
c. Pasal 32 (i) UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
mengatakan bahwa hak pasien untuk mendapatkan privasi dan
kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya
d. PP Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan
e. PP Nomor 10 Tahun 1966 Tentang Wajib Simpan Rahasia
Kedokteran
f. Permenkes Nomor 36 Tahun 2012 Tentang Rahasia Kedokteran
g. Pasal 73 ayat (1) UU Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga
Kesehatan bahwa setiap Tenaga Kesehatan dalam melaksanakan
pelayanan kesehatan wajib menyimpan rahasia kesehatan Penerima
Pelayanan Kesehatan
3. Sanksi membuka rahasia medik
1) vital sign
2) memasang nasogastric tube
7) suction
8) memasang peralatan O2
9) penyuntikan (IV,IM, IC,SC)
10) pemasangan infus maupun obat
11) pengambilan preparat
12) pemberian huknah/laksatif
13) kebersihan diri
14) latihan dalam rangka rehabilitasi medis
15) tranpostasi klien untuk pelaksanaan pemeriksaan diagnostik
16) pendidikan kesehatan
17) konseling kasus terminal
18) konsultasi/telepon
19) fasilitasi ke dokter rujukan
20) menyiapkan menu makanan
21) membersihkan tempat tidur pasien
22) fasilitasi kegiatan sosial pasien
23) fasilitasi perbaikan sarana klien.
b. Permenkes Nomor 269 Tahun 2008 Tentang Rekam Medis
1) Pasal 6 Dokter, dokter gigi dan/atau tenaga kesehatan
tertentu bertanggung jawab atas catatan dan/atau dokumen yang
dibuat pada rekam medis
2) Pasal 7 Sarana Pelayanan Kesehatan wajib menyediakan
fasilitas yang diperlukan dalam rangka penyelenggaraan rekam
medis.
3) Pasal 9 ayat (1) Rekam medis pada sarana pelayanan
kesehatan non rumah sakit wajib disimpan sekurang-kurangnya
untuk jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung dari tanggal terakhir
pasien berobat.
4) Pasal 10 ayat (1) Informasi tentang identitas, diagnosis,
riwayat penyakit, riwayat pemeriksaan dan riwayat pengobatan
pasien harus dijaga kerahasiaannya oleh dokter, dokter gigi, tenaga
kesehatan tertentu, petugas pengelola dan pimpinan sarana
pelayanan kesehatan.
c. Undang-Undang 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
1) Pasal 1 ayat (6) Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang
mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki
pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang
kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan
untuk melakukan upaya kesehatan.
Ayat (11) Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau
serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintregasi
dan berkesinambungan untuk memelihara danmeningkatkan
derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit,
peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan
kesehatan oleh pemerintah dan/atau masyarakat.
2) Pasal 22 ayat (1) Tenaga kesehatan harus memiliki
kualifikasi minimum.
3) Pasal 23 ayat (1) Tenaga kesehatan berwenang untuk
menyelenggarakan pelayanan kesehatan.
Ayat (2) Kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan
kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai
dengan bidang keahlian yang dimiliki.
Ayat (3) Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, tenaga
kesehatan wajib memiliki izin dari pemerintah.
Ayat (4) Selama memberikan pelayanan kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilarang mengutamakan kepentingan yang
bernilai materi.
4) Pasal 24 ayat (1) Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 harus memenuhi ketentuan kode etik, standar
profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan
standar prosedur operasional.
5) Pasal 27 ayat (1) Tenaga kesehatan berhak mendapatkan
imbalan dan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas
sesuai dengan profesinya.
Ayat (2) Tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya
berkewajiban mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan
dan keterampilan yang dimiliki.
6) Pasal 28 ayat (1) Untuk kepentingan hukum, tenaga
kesehatan wajib melakukan pemeriksaan kesehatan atas
permintaan penegak hukum dengan biaya ditanggung oleh negara.
7) Pasal 29 Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan
kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus
diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi.
8) Pasal 34 ayat (2) Penyelenggara fasilitas pelayanan
kesehatan dilarang mempekerjakan tenaga kesehatan yang tidak
memiliki kualifikasi dan izin melakukan pekerjaan profesi.
9) Pasal 49 ayat (2) Penyelenggaraan upaya kesehatan harus
memperhatikan fungsi sosial, nilai, dan norma agama, sosial
budaya, moral, dan etika profesi.
10) Pasal 54 ayat (1) Penyelenggaraan pelayanan kesehatan
dilaksanakan secara bertanggung jawab, aman, bermutu, serta
merata dan nondiskriminatif.
d. PMK Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Perubahan PMK 148/2010
Tentang Ijin dan Penyelenggaraan Praktek Perawat
1) Pasal 2 ayat (1) Perawat dapat menjalankan praktik
keperawatan di fasilitas pelayanan kesehatan.
Ayat (2) Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi fasilitas pelayanan kesehatan di luar praktik
mandiri dan/atau praktik mandiri.
Ayat (3) Perawat yang menjalankan praktik mandiri sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) berpendidikan minimal Diploma III (D III)
Keperawatan.
2) Pasal 3 ayat (1) Setiap Perawat yang menjalankan praktik
keperawatan di fasilitas pelayanan kesehatan di luar praktik
mandiri wajib memiliki SIKP.
Ayat (2) Setiap Perawat yang menjalankan praktik keperawatan di
praktik mandiri wajib memiliki SIPP.
Ayat (3) SIKP dan SIPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) dikeluarkan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota dan
berlaku untuk 1 (satu) tempat.
3) Pasal 5A Perawat hanya dapat menjalankan praktik
keperawatan paling banyak di 1 (satu) tempat praktik mandiri dan
di 1 (satu) tempat fasilitas pelayanan kesehatan di luar praktik
mandiri.
4) Pasal 5B ayat (1) SIKP atau SIPP berlaku selama STR
masih berlaku dan dapat diperbaharui kembali jika habis masa
berlakunya.
e. Permenkes Nomor 290 Tahun 2008 Tentang Persetujuan Tindakan
Kedokteran
1) Pasal 2 ayat (1) Semua tindakan kedokteran yang akan
dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
Ayat (2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diberikan secara tertulis maupun lisan.
Ayat (3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan setelah pasien mendapat penjelasan yang diperlukan
tentang perlunya tindakan kedokteran dilakukan.
2) Pasal 3 ayat (1) Setiap tindakan kedokteran yang
mengandung risiko tinggi harus memperoleh persetujuan tertulis
yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.
Ayat (2) Tindakan kedokteran yang tidak termasuk dalam
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan
dengan persetujuan lisan.
Ayat (3) Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibuat dalam bentuk pernyataan yang tertuang dalam formulir
khusus yang dibuat untuk itu.
Ayat (4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
diberikan dalam bentuk ucapan setuju atau bentuk gerakan
menganggukkan kepala yang dapat diartikan sebagai ucapan
setuju.
Ayat (5) Dalam hal persetujuan lisan yang diberikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dianggap meragukan, maka dapat
dimintakan persetujuan tertulis.
3) Pasal 4 ayat (1) Dalam keadaan gawat darurat, untuk
menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak
diperlukan persetujuan tindakan kedokteran.
Ayat (2) Keputusan untuk melakukan tindakan kedokteran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diputuskan oleh dokter atau
dokter gigi dan dicatat di dalam rekam medik.
Ayat (3) Dalam hal dilakukannya tindakan kedokteran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dokter atau dokter gigi wajib
memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien setelah
pasien sadar atau kepada keluarga terdekat.
4) Pasal 5 ayat (1) Persetujuan tindakan kedokteran dapat
dibatalkan atau ditarik kembali oleh yang memberi persetujuan
sebelum dimulainya tindakan.
Ayat (2) Pembatalan persetujuan tindakan kedokteran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hams dilakukan secara tertulis oleh yang
memberi persetujuan.
Ayat (3) Segala akibat yang timbul dari pembatalan persetujuan
tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2)
menjadi tanggung jawab yang membatalkan persetujuan.
5) Pasal 6 Pemberian persetujuan tindakan kedokteran tidak
menghapuskan tanggung gugat hukum dalam hal terbukti adanya
kelalaian dalam melakukan tindakan kedokteran yang
mengakibatkan kerugian pada pasien.
6) Pasal 7 ayat (1) Penjelasan tentang tindakan kedokteran
harus diberikan langsung kepada pasien dan/atau keluarga terdekat,
baik diminta maupun tidak diminta.
Ayat (2) Dalam hal pasien adalah anak-anak atau orang yang tidak
sadar, penjelasan diberikan kepada keluarganya atau yang
mengantar.
7) Pasal 9 ayat (1) Penjelasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 harus diberikan secara lengkap dengan bahasa yang mudah
dimengerti atau cara lain yang bertujuan untuk mempermudah
pemahaman.
Ayat (2) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat
dan didokumentasikan dalam berkas rekam medis oleh dokter atau
dokter gigi yang memberikan penjelasan dengan mencantumkan
tanggal, waktu, nama, dan tanda tangan pemberi penjelasan dan
penerima penjelasan.
Ayat (3) Dalam hal dokter atau dokter gigi menilai bahwa
penjelasan tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien
atau pasien menolak diberikan penjelasan, maka dokter atau dokter
gigi dapat memberikan penjelasan tersebut kepada keluarga
terdekat dengan didampingi oleh seorang tenaga kesehatan lain
sebagai saksi.
8) Pasal 10 ayat (1) Penjelasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 diberikan oleh dokter atau dokter gigi yang merawat pasien
atau salah satu dokter atau dokter gigi dari tim dokter yang
merawatnya. Ayat (2) Dalam hal dokter atau dokter gigi yang
merawatnya berhalangan untuk memberikan penjelasan secara
langsung, maka pemberian penjelasan harus didelegasikan kepada
dokter atau dokter gigi lain yang kompeten.
Ayat (3) Tenaga kesehatan tertentu dapat membantu memberikan
penjelasan sesuai dengan kewenangannya.
Ayat (4) Tenaga kesehatan tertentu sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) adalah tenaga kesehatan yang ikut memberikan pelayanan
kesehatan secara langsung kepada pasien.
9) Pasal 11 ayat (1) Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan
perluasan tindakan kedokteran, dokter yang akan melakukan
tindakan juga harus memberikan penjelasan.
Ayat (2) Penjelasan kemungkinan perluasan tindakan kedokteran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan dasar daripada
persetujuan.
10) Pasal 12 ayat (1) Perluasan tindakan kedokteran yang tidak
terdapat indikasi sebelumnya, hanya dapat dilakukan untuk
menyelamatkan jiwa pasien.
Ayat (2) Setelah perluasan tindakan kedokteran sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan, dokter atau dokter gigi harus
memberikan penjelasan kepada pasien atau keluarga terdekat.
11) Pasal 15 Dalam hal tindakan kedokteran harus dilaksanakan
sesuai dengan program pemerintah dimana tindakan medik
tersebut untuk kepentingan masyarakat banyak, maka persetujuan
tindakan kedokteran tidak diperlukan.
f. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit
Pasal 13 ayat (3) Setiap tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit
harus bekerja sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan Rumah
Sakit, standar prosedur operasional yang berlaku, etika profesi,
menghormati hak pasien dan mengutamakan keselamatan pasien.
g. PMK Nomor 36 Tahun 2012 Tentang Rahasia Kedokteran
Pasal 4 ayat (1) Semua pihak yang terlibat dalam pelayanan
kedokteran dan/atau menggunakan data dan informasi tentang pasien
wajib menyimpan rahasia kedokteran.
Ayat (2) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. dokter
dan dokter gigi serta tenaga kesehatan lain yang memiliki akses
terhadap data dan informasi kesehatan pasien; b. pimpinan fasilitas
pelayanan kesehatan; c. tenaga yang berkaitan dengan pembiayaan
pelayanan kesehatan; d. tenaga lainnya yang memiliki akses terhadap
data dan informasi kesehatan pasien di fasilitas pelayanan kesehatan;
e. badan hukum/korporasi dan/atau fasilitas pelayanan kesehatan; dan
f. mahasiswa/siswa yang bertugas dalam pemeriksaan, pengobatan,
perawatan, dan/atau manajemen informasi di fasilitas pelayanan
kesehatan.
h. Permenkes Nomor 42 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan
Imunisasi
Pasal 27 ayat (3) Dokter di puskesmas dapat mendelegasikan
kewenangan pelayanan imunisasi kepada bidan dan perawat sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan
imunisasi wajib sesuai program Pemerintah.
Ayat (4) Dalam hal di puskesmas tidak terdapat dokter sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), bidan dan perawat dapat melaksanakan
imunisasi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (5) Dalam hal suatu daerah tidak terdapat tenaga kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) maka
pelayanan imunisasi dapat dilaksanakan oleh tenaga terlatih.
i. Permenkes Nomor 46 Tahun 2013 Tentang Registrasi Tenaga
Kesehatan
1) Pasal 2 ayat (1) Setiap Tenaga Kesehatan yang akan
menjalankan praktik dan/atau pekerjaan keprofesiannya wajib
memiliki izin dari Pemerintah.
Ayat (2) Untuk memperoleh izin dari Pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diperlukan STR.
Ayat (3) STR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikeluarkan
oleh MTKI dan berlaku secara nasional.
Ayat (4) Untuk memperoleh STR sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dan ayat (3), Tenaga Kesehatan harus memiliki Sertifikat
Kompetensi.