Anda di halaman 1dari 37

ANALISIS UU PERAWAT TENTANG KEBIJAKAN PEMERINTAH

MENGENAI PERMENKES PELAYANAN KEPERAWATAN


DI RUMAH SAKIT

A. Hak-Hak Pasien Yang Harus Dihormati

1. Pada UU No 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran


khususnya pada pasal 52 juga diatur hak-hak pasien, yang meliputi:
a. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis
sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat 3.
b. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain.
c. Mendapat pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis.
d. Menolak tindakan medis.
e. Mendapatkan isi rekam medis.
2. Terkait rekam medis, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269
Tahun 2008 Tentang Rekam Medis pasal 12 menyebutkan:
Berkas rekam medis milik sarana pelayanan kesehatan. Isi rekam medis
merupakan milik pasien. Isi rekam medis sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dalam bentuk ringkasan rekam medis. Ringkasan rekam medis
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diberikan, dicatat, atau dicopy
oleh pasien atau orang yang diberi kuasa atau atas persetujuan tertulis
pasien atau keluarga pasien yang berhak untuk itu.
3. Menurut UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, pada pasal 4-
8 disebutkan setiap orang berhak atas kesehatan, akses atas sumber daya,
pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau; menentukan
sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan, lingkungan yang sehat, info
dan edukasi kesehatan yang seimbang dan bertanggungjawab, dan
informasi tentang data kesehatan dirinya.
Hak-hak pasien dalam UU No. 36 tahun 2009 itu diantaranya meliputi:
a. Hak menerima atau menolak sebagian atau seluruh pertolongan
(kecuali tak sadar, penyakit menular berat, gangguan jiwa berat).
b. Hak atas rahasia pribadi (kecuali perintah UU, pengadilan, ijin ybs,
kepentngan ybs, kepentingan masyarakat).
Hak tuntut ganti rugi akibat salah atau kelalaian (kecuali tindakan
penyelamatan nyawa atau cegah cacat).
4. Hak Pasien dalam UU No 44 / 2009 Tentang Rumah Sakit (Pasal
32 UU 44/2009) menyebutkan bahwa setiap pasien mempunyai hak
sebagai berikut:
a. Memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang
berlaku di Rumah Sakit
b. Memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien.
c. Memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa
diskriminasi.
d. Memperoleh pelayanan kesehatan bermutu sesuai dengan standar
profesi dan standar prosedur operasional.
e. Memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien
terhindar dari kerugian fisik dan materi;
f. Mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan.
g. Memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya
dan peraturan yang berlaku di rumah sakit.
h. Meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada
dokter lain (second opinion) yang memiliki Surat Ijin Praktik (SIP)
baik di dalam maupun di luar rumah sakit.
i. Mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita
termasuk data-data medisnya.
j. Memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan
dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya.
k. Mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan
medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan
komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan
yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan.
l. Didampingi keluarganya dalam keadaan kritis.
m. Menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang
dianutnya selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya.
n. Memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam
perawatan di Rumah Sakit.
o. Mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan Rumah Sakit
terhadap dirinya.
p. Menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan
agama dan kepercayaan yang dianutnya.
q. Menggugat dan atau menuntut rumah sakit apabila rumah sakit itu
diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik
secara perdata ataupun pidana.
r. Mengeluhkan pelayanan rumah sakit yang tidak sesuai dengan
standar pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
5. UU Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan pasal 38, klien
berhak :
a. Mendapatkan informasi secara, benar, jelas, dan jujur tentang
tindakan Keperawatan yang akan dilakukan;
b. Meminta pendapat Perawat lain dan/atau tenaga kesehatan lainnya;
c. Mendapatkan Pelayanan Keperawatan sesuai dengan kode etik,
standar Pelayanan Keperawatan, standar profesi, standar prosedur
operasional, dan ketentuan Peraturan Perundang-undangan;
d. Memberi persetujuan atau penolakan tindakan Keperawatan yang
akan diterimanya; dan
e. Memperoleh keterjagaan kerahasiaan kondisi kesehatannya
Selanjutnya apabila hak-haknya dilanggar, maka upaya hukum yang tersedia
bagi pasien adalah:
1. Mengajukan gugatan kepada pelaku usaha, baik kepada lembaga
peradilan umum maupun kepada lembaga yang secara khusus berwenang
menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha (Pasal 45
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen)
2. Melaporkan kepada polisi atau penyidik lainnya. Hal ini karena di
setiap undang-undang yang disebutkan di atas, terdapat ketentuan sanksi
pidana atas pelanggaran hak-hak pasien.
Dasar hukum yang mengatur tentang hal ini antara lain :
1. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
2. Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran
3. Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
4. Undang-Undang No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
(Kewajiban tenaga kesehatan sama dengan hak-hak pasien)
Sedangkan sanksi yang dapat diberikan apabila melanggar hak-hak
pasien tersebut, antara lain : 1) Sanksi pidana; 2) Sanksi perdata; 3) Sanksi
Administratif; dan 4) Sanksi Disiplin.
Pada tahun 2003 pernah terjadi di sebuah rumah sakit, pasien
meninggal dunia pasca operasi tumor di belakang kepala, keluarga dan pasien
tidak dijelaskan hasil observasi pre operasi dan resiko operasi. Dari kasus ini
keluarga berhak menuntut pihak Rumah Sakit atau Tim Operasi secara
hukum. Contoh lainnya adalah Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
(YLKI) menilai penggunaan rumah sakit sebagai tempat syuting merupakan
pelanggaran hak terhadap pasien. "Itu melanggar hak pasien karena
seharusnya ruang yang tertutup menjadi terbuka," kata Ketua YLKI, Tulus
Abadi Kamis (27/12). Menurut Tulus, syuting yang dilakukan di rumah sakit,
akan membuat pasien yang seharusnya mendapatkan perawatan maksimal
menjadi terganggu. Menanggapi kasus meninggalnya seorang anak berumur 9
tahun di ICCU RS Harapan Kita yang diduga akibat tidak mendapatkan
perawatan maksimal karena ICCU dipergunakan untuk syuting sinetron Love
in Paris, Tulus menilai perlu ada sanksi tegas terhadap pihak rumah sakit dan
juga production house pembuat sinetron itu.
"Sebaiknya, pimpinan rumah sakit itu dicopot dan manajemen rumah
sakit hams meminta maaf serta mengganti rugi secara materil kepada keluarga
pasien walaupun nyawa tidak bisa diganti dengan uang
B. Perawat Sebagai Tenaga Kesehatan
1. Kewajiban perawat sebagai tenaga kesehatan

a. Perawat wajib memiliki :


1) Sertifikat Kompetensi (SK) ; sebagai bukti memiliki
kompetensi standar sesuai level pendidikannya, sebagai dasar
memperoleh STR
2) Surat Tanda Registrasi (STR) ; sebagai bukti telah
teregistrasi secara hukum sebagai dasar pengajuan SIP
3) Surat Ijin Perawat (SIP) ; sebagai bukti tertulis pemberian
kewenangan untuk menjalankan pekerjaan keperawatan diseluruh
wilayah Indonesia.
4) Surat Ijin Kerja (SIK) ; sebagai bukti tertulis yang
diberikan kepada perawat untuk melakukan praktek keperawatan
di sarana kesehatan
5) Surat Ijin Praktek Perawat (SIPP) ; sebagai bukti tertulis
yang diberikan kepada perawat untuk menjalankan praktek
perawat perorangan atau kelompok
b. Perawat wajib menghormati hak-hak pasien.
c. Perawat wajib merujuk kasus yang tidak dapat ditangani.
d. Perawat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya
tentang klien, kecuali jika dimintai keterangan oleh pihak berwenang
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
e. Perawat wajib memberikan informasi kepada pasien / keluarga
yang sesuai batas kewenangan perawat.
f. Perawat wajib meminta persetujuan setiap tindakan yang akan
dilakukan oleh perawat sesuai dengan kondisi pasien baik secara
tertulis maupun secara lisan.
g. Perawat wajib mencatat semua tindakan keperawatan (dokumentasi
asuhan keperawatan) secara akurat sesuai peraturan dan SOP yang
berlaku.
h. Mematuhi standar profesi dan kode etik perawat Indonesia dalam
melaksanakan praktik profesi keperawatan
i. Meningkatkan pengetahuan berdasarkan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi keperawatan dan kesehatan secara terus
menerus.
j. Melakukan pertolongan darurat yang mengancam jiwa pasien
sesuai batas kewenangan dan SOP.
k. Melaksanakan program pemerintah dalam meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat
l. Mentaati semua peraturan perundang-undangan
m. Menjaga hubungan kerja yang baik antara sesama perawat maupun
dengan anggota tim kesehatan lain.
n. Perawatwajib memberikan kesempatan
kepada klien untuk
berhubungan dengan keluarganya, selama tidak bertentangan dengan
peraturan dan standar profesi yang ada.
o. Perawatwajib memberikan kesempatan
kepada klien untuk
menjalankan ibadahnya sesuai dengan agama atau kepercayaan
masing-masing selama tidak mengganggu klien yang lainnya.
p. Perawat di dalam melakukan praktik mandiri dan / atau
berkelompok diwajibkan untuk membantu program pemerintah.

2. Peraturan yang mengatur kewajiban perawat

a. Permenkes 148 Tahun 2010 tentang Ijin dan Penyelenggaraan


Praktik Perawat, pasal 8, 9, 10, 12
b. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, pasal
32
c. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan,
pasal 37 dan 38
d. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga
Kesehatan, pasal 26, pasal 58, 59, 60, 61, 62, pasal 66, pasal 70, pasal
73.
3. Sanksi jika perawat tidak memenuhi kewajiban

Pertanggungjawaban perawat dalam kewajibannya sebagai


penyelenggaraan pelayanan kesehatan dapat dilihat berdasarkan tiga (3)
bentuk pembidangan hukum yakni :
a. Pertanggungjawaban secara hukum keperdataan, perbuatan
melanggar hukum (onrechtmatigedaad) sesuai dengan ketentuan Pasal
1365 KUH-Perdata dan perbuatan wanprestasi (contractual liability)
sesuai dengan ketentuan Pasal 1239 KUH-Perdata. Dan
Pertanggungjawaban perawat bila dilihat dari ketentuan dalam
KUHPerdata maka dapat dikategorikan ke dalam 4 (empat) prinsip
sebagai berikut:
1) Pertanggungjawaban langsung dan mandiri (personal
liability) berdasarkan Pasal 1365 BW dan Pasal 1366 BW.
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut maka seorang perawat yang
melakukan kesalahan dalam menjalankan fungsi independennya
yang mengakibatkan kerugian pada pasien maka ia wajib memikul
tanggungjawabnya secara mandiri.
2) Pertanggungjawaban dengan asas respondeat superior atau
vicarious liability atau let's the master answer maupun khusus di
ruang bedah dengan asas the captain of ship melalui Pasal 1367
BW. Bila dikaitkan dengan pelaksanaan fungsi perawat maka
kesalahan yang terjadi dalam menjalankan fungsi interdependen
perawat akan melahirkan bentuk pertanggungjawaban di atas.
Sebagai bagian dari tim maupun orang yang bekerja di bawah
perintah dokter/rumah sakit, maka perawat akan bersama-sama
bertanggungjawab atas kerugian yang menimpa pasien.
3) Pertanggungjawaban dengan asas zaakwarneming
(perbuatan mengurus kepentingan orang lain dengan tidak diminta
oleh orang itu untuk mengurusi kepentingannya) berdasarkan Pasal
1354 BW.
4) Dalam hal ini konsep pertanggungjawaban terjadi seketika
bagi seorang perawat yang berada dalam kondisi tertentu harus
melakukan pertolongan darurat dimana tidak ada orang lain yang
berkompeten untuk itu.
Perlindungan hukum dalam tindakan zaakwarneming perawat
tersebut tertuang dalam Pasal 10 Permenkes No. 148 Tahun 2010.
Perawat justru akan dimintai pertanggungjawaban hukum apabila
tidak mengerjakan apa yang seharusnya dikerjakan dalam Pasal 10
tersebut. Gugatan berdasarkan wanprestasi seorang perawat akan
dimintai pertanggungjawaban apabila terpenuhi unsur-unsur
wanprestasi yaitu:
1) Tidak mengerjakan kewajibannya sama sekali; dalam
konteks ini apabila seorang perawat tidak mengerjakan semua
tugas dan kewenangan sesuai dengan fungsi, peran, maupun
tindakan keperawatan.
2) Mengerjakan kewajiban tetapi terlambat; dalam hal ini
apabila kewajiban sesuai fungsi tersebut dilakukan terlambat yang
mengakibatkan kerugian pada pasien. Contoh kasus seorang
perawat yang tidak membuang kantong urine pasien dengan
kateter secara rutin setiap hari. Melainkan 2 hari sekali dengan
ditunggu sampai penuh. Sehingga dari tindakan tersebut
mengakibatkan pasien mengalami infeksi saluran kencing (ISK)
dari kuman yang berasal dari urine yang tidak dibuang.
3) Mengerjakan kewajiban tetapi tidak sesuai dengan yang
seharusnya; suatu tugas yang dikerjakan asal-asalan. Sebagai
contoh seorang perawat yang mengecilkan aliran air infus pasien
di malam hari, tidak siap tanggap menjaga pasien rawat inap yang
dalam penjagaan dan tanggungjawabnya di malam hari hanya
karena tidak mau terganggu istirahatnya.
4) Mengerjakan yang seharusnya tidak boleh dilakukan; dalam
hal ini apabila seorang perawat melakukan tindakan medis yang
tidak mendapat delegasi dari dokter, seperti menyuntik pasien
tanpa perintah, menyuntik pasien tanpa kehati-hatian asal obat
masuk saja, tanpa mempertimbangkan efek pemberian yang terlalu
cepat atau terlalu lambat dan cara pemberian yang benar sesuai
dengan basic ilmu yang dimiliki, melakukan pemasangan infus
dan menjahit luka pada pasien padahal dirinya belum terlatih dan
tidak dalam pengawasan dokter.
Apabila seorang perawat terbukti memenuhi unsur wanprestasi,
maka pertanggungjawaban itu akan dipikul langsung oleh perawat
yang bersangkutan sesuai personal liability.
b. Hukum pidana
Pertanggungjawaban secara hukum pidana seorang perawat baru dapat
dimintai pertanggungjawaban apabila terdapat unsur-unsur sebagai
berikut;
1) Suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum ; dalam hal
ini apabila perawat melakukan pelayanan kesehatan di luar
kewenangan yang tertuang dalam Pasal 8 Permenkes No.
148/2010,
2) Mampu bertanggung jawab, dalam hal ini seorang perawat
yang memahami konsekuensi dan resiko dari setiap tindakannya
dan secara kemampuan, telah mendapat pelatihan dan pendidikan
untuk itu. Artinya seorang perawat yang menyadari bahwa
tindakannya dapat merugikan pasien,
3) Adanya kesalahan (schuld) berupa kesengajaan (dolus)
atau karena kealpaan (culpa),
4) Tidak adanya alasan pembenar atau alasan pemaaf; dalam
hal ini tidak ada alasan pemaaf seperti tidak adanya aturan yang
mengijinkannya melakukan suatu tindakan, ataupun tidak ada
alasan pembenar.
c. Hukum administrasi
Secara prinsip, pertanggungjawaban hukum administrasi lahir
karena adanya pelanggaran terhadap ketentuan hukum administrasi
terhadap penyelenggaraan praktik perawat berdasarkan ketentuan yang
berlaku.
Permenkes No. 148/2010 telah memberikan ketentuan administrasi
yang wajib ditaati perawat yakni:
1) Surat Izin Praktik Perawat bagi perawat yang melakukan
praktik mandiri.
2) Penyelenggaraan pelayanan kesehatan berdasarkan
kewenangan yang telah diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 9 dengan
pengecualian Pasal 10.
3) Kewajiban untuk bekerja sesuai standar profesi.
Ketiadaan persyaratan administrasi di atas akan membuat perawat
rentan terhadap gugatan malpraktik. Ketiadaan SIPP dalam
menjalankan penyelenggaraan pelayanan kesehatan merupakan sebuah
administrative malpractice yang dapat dikenai sanksi hukum. Ada dua
ketentuan tentang kewajiban izin tersebut untuk perawat yang bekerja
di sebuah RS :
1) Pada UU Kesehatan dan UU RS disebutkan bahwa RS
dilarang mempekerjakan karyawan/tenaga profesi yang tidak
mempunyai surat izin praktik.
2) Sementara dalam Permenkes No. 148/2010 SIPP bagi
perawat yang bekerja di RS (disebutkan dengan istilah fasilitas
yankes di luar praktik mandiri) tidak diperlukan.
Bentuk sanksi administrasi yang diancamkan pada pelanggaran hukum
administrasi ini adalah teguran lisan, teguran tertulis, dan pencabutan
izin.

C. Aspek Rahasia Medik

1. Pihak yang wajib menjaga rahasia medik

Yang wajib menyimpan rahasia medik. Disebutkan dalam PP No.10 tahun


1966 tentang Wajib Simpan Rahasia Dokter, pasal 3 yang berbunyi:
a. Tenaga kesehatan yang terdiri dari:
1) Tenaga medis : dokter dan dokter gigi
2) Tenaga keperawatan : perawat dan bidan.
3) Tenaga kefarmasian : apoteker, analis farmasi dan asisten apoteker.
4) Tenaga kesehatan masyarakat : epidemiolog kesehatan,
entomolog kesehatan, mikrobiolog kesehatan, penyuluh kesehatan,
administrator kesehatan dan sanitarian.
5) Tenaga gizi : nutrizionis dan dietisien
6) Tenaga keterapian fisik : fisioterapis, okupasiterapis, dan
terapis wicara.
7) Tenaga keteknisian medis : radiografer, radioterapis, teknisi
gigi, teknisi elektromedis, analis kesehatan, refraksionis optisien,
otorik prostetik, teknisi transfusi, dan perekam medis. (Lembaran
Negara tahun 1963 No.78)
b. Mahasiswa, murid yang bertugas dalam lapangan pemeriksaan,
pengobatan dan atau perawatan orang lain yang ditetapkan oleh
Menteri Kesehatan

2. Peraturan perundangan yang mengatur rahasia medik/rahasia


jabatan

Perlindungan terhadap hak rahasia medis ini dapat di lihat dalam peraturan
perundang-undangan antara lain:
a. Pasal 57 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengatakan
bahwa setiap orang berhak atas kondisi kesehatan pribadinya yang
telah dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan
b. Pasal 48 UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek kedokteran
mengatakan bahwa setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan
praktek kedokterannya wajib menyimpan rahasia kedokteran
c. Pasal 32 (i) UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
mengatakan bahwa hak pasien untuk mendapatkan privasi dan
kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya
d. PP Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan
e. PP Nomor 10 Tahun 1966 Tentang Wajib Simpan Rahasia
Kedokteran
f. Permenkes Nomor 36 Tahun 2012 Tentang Rahasia Kedokteran
g. Pasal 73 ayat (1) UU Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga
Kesehatan bahwa setiap Tenaga Kesehatan dalam melaksanakan
pelayanan kesehatan wajib menyimpan rahasia kesehatan Penerima
Pelayanan Kesehatan
3. Sanksi membuka rahasia medik

a. Sanksi pidana : KUHP Pasal 112, KUHP Pasal


322 KUHP Pasal 112
Barangsiapa dengan sengaja mengumumkan surat-surat, berita-berita
atau keterangan-keterangan yang diketahuinya bahwa harus
dirahasiakan untuk kepentingan negara atau dengan sengaja
memberitahukan atau memberikannya kepada negara asing, kepada
seorang raja atau suku bangsa, diancam dengan pidana penjara paling
lama tujuh tahun.
KUHP Pasal 322
(1) Barangsiapa dengan sengaja membuka suatu rahasia yang wajib
disimpannya karena jabatan atau pekerjaannya yang sekarang maupun
yang dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan
bulan atau denda paling banyak sembilan ribu rupiah
(2) Jika kejahatan dilakukan pada seorang tertentu maka
perbuatannya itu hanya dapat dituntut atas pengaduan orang tersebut
b. Sanksi perdata : KUH Perdata Pasal 1365, KUH Perdata Pasal
1366, KUH Perdata Pasal 1367
KUH Perdata Pasal 1365
Setiap perbuatan yang melanggar hukum yang berakibat kerugian
bagi orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya
mengakibatkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.
KUH Perdata Pasal 1366
Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang
disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang
disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya
KUH Perdata Pasal 1367
Seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang
disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugain yang
disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi
tanggungannya atau disebabkan karena perbuatan orang-orang yang
berada dibawah pengawasannya.
c. Sanksi Administratif: undang-undang No.6 tahun 1963 pasal 11
d. Sanksi Sosial
D. Aspek Informed Consent

1. Hak-hak pasien yang tercantum dalam Informed Consent

a. Hak memperoleh informasi tentang dirinya termasuk tindakan dan


pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga
kesehatan.
b. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa;
c. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis
d. Memberikan persetujuan atas tindakan yang akan dilakukan oleh
tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya;

2. Peraturan perundangan yang mengatur Informed Consent

a. Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan pasal 8


dan pasal 56 ayat 1
b. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit,
pasal 32 poin J dan point K
c. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran (UUPK) pasal 45 tentang persetujuan tindakan medis
d. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga
Kesehatan, pasal 70, 71 dan 72
e. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
290/MENKES/PER/III/2008 Tentang Persetujuan Tindakan
Kedokteran pasal 2 ayat 1 dan Pasal 2 ayat 3.

3. Peran perawat dalam Informed Consent

Peran perat sebagai advocator pasien dan sumber informasi


(communicator) bagi pasien selama fase perawatan di rumah sakit.
Perawat bertanggung jawab untuk membantu klien dan keluarga dalam
menginterpretasikan informasi dari berbagai pemberi pelayanan dan
dalam memberikan informasi lain yang diperlukan untuk mengambil
persetujuan (informed consent) atas tindakan keperawatan yang diberikan
kepadanya. A client advocate is an advocate of clients rights. Sedangkan
educator yaitu sebagai pemberi pendidikan kesehatan bagi klien dan
keluarga.

E. Aspek Praktek Keperawatan

1. Pengertian praktek perawat

a. Menurut Kepmenkes 1239/2001 Tentang Praktik Keperawatan,


praktik keperawatan adalah melakukan asuhan keperawatan meliputi
pengkajian, penetapan diagnosa keperawatan, perencanaan,
melaksanakan tindakan dan evaluasi. Pelayanan tindakan medik hanya
dapat dilakukan atas permintaan tertulis dokter. Dan perawat yang
memiliki SIPP dapat melakukan kunjungan rumah.
b. Menurut UU 38/2014 Tentang Keperawatan : Praktek keperawatan
adalah pelayanan yang diselenggarakan oleh Perawat dalam bentuk
Asuhan Keperawatan. Asuhan Keperawatan adalah rangkaian interaksi
Perawat dengan Klien dan lingkungannya untuk mencapai tujuan
pemenuhan kebutuhan dan kemandirian Klien dalam merawat dirinya.
Dengan demikian seorang perawat yang melaksanakan profesinya harus
menggunakan metode asuhan keperawatan yang terdiri dari : pengkajian,
penetapan diagnosa keperawatan, perencanaan, melaksanakan tindakan
dan evaluasi selama melakukan interaksi dengan klien.

2. Aspek etis praktek perawat

a. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan


Konsumen
b. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia
c. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
d. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 Tentang Penerapan
Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
e. Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI) 2000
f. Kode Etik Keperawatan Indonesia
g. Kode Etik Kedokteran Indonesia

3. Aspek yuridis/hukum praktek perawat sesuai regulasi

a. SE Dirjen Yan-Med No. HK. 00.06.5.1.311 Tentang Home Care


Terdapat 23 tindakan keperawatan mandiri yang bisa dilakukan oleh
perawat dalam kegiatan home care antara lain :

1) vital sign
2) memasang nasogastric tube

3) memasang selang susu besar


4) memasang cateter
5) penggantian tube pernafasan
6) merawat luka decubitus

7) suction

8) memasang peralatan O2
9) penyuntikan (IV,IM, IC,SC)
10) pemasangan infus maupun obat
11) pengambilan preparat
12) pemberian huknah/laksatif
13) kebersihan diri
14) latihan dalam rangka rehabilitasi medis
15) tranpostasi klien untuk pelaksanaan pemeriksaan diagnostik
16) pendidikan kesehatan
17) konseling kasus terminal
18) konsultasi/telepon
19) fasilitasi ke dokter rujukan
20) menyiapkan menu makanan
21) membersihkan tempat tidur pasien
22) fasilitasi kegiatan sosial pasien
23) fasilitasi perbaikan sarana klien.
b. Permenkes Nomor 269 Tahun 2008 Tentang Rekam Medis
1) Pasal 6 Dokter, dokter gigi dan/atau tenaga kesehatan
tertentu bertanggung jawab atas catatan dan/atau dokumen yang
dibuat pada rekam medis
2) Pasal 7 Sarana Pelayanan Kesehatan wajib menyediakan
fasilitas yang diperlukan dalam rangka penyelenggaraan rekam
medis.
3) Pasal 9 ayat (1) Rekam medis pada sarana pelayanan
kesehatan non rumah sakit wajib disimpan sekurang-kurangnya
untuk jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung dari tanggal terakhir
pasien berobat.
4) Pasal 10 ayat (1) Informasi tentang identitas, diagnosis,
riwayat penyakit, riwayat pemeriksaan dan riwayat pengobatan
pasien harus dijaga kerahasiaannya oleh dokter, dokter gigi, tenaga
kesehatan tertentu, petugas pengelola dan pimpinan sarana
pelayanan kesehatan.
c. Undang-Undang 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
1) Pasal 1 ayat (6) Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang
mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki
pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang
kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan
untuk melakukan upaya kesehatan.
Ayat (11) Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau
serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintregasi
dan berkesinambungan untuk memelihara danmeningkatkan
derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit,
peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan
kesehatan oleh pemerintah dan/atau masyarakat.
2) Pasal 22 ayat (1) Tenaga kesehatan harus memiliki
kualifikasi minimum.
3) Pasal 23 ayat (1) Tenaga kesehatan berwenang untuk
menyelenggarakan pelayanan kesehatan.
Ayat (2) Kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan
kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai
dengan bidang keahlian yang dimiliki.
Ayat (3) Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, tenaga
kesehatan wajib memiliki izin dari pemerintah.
Ayat (4) Selama memberikan pelayanan kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilarang mengutamakan kepentingan yang
bernilai materi.
4) Pasal 24 ayat (1) Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 harus memenuhi ketentuan kode etik, standar
profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan
standar prosedur operasional.
5) Pasal 27 ayat (1) Tenaga kesehatan berhak mendapatkan
imbalan dan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas
sesuai dengan profesinya.
Ayat (2) Tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya
berkewajiban mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan
dan keterampilan yang dimiliki.
6) Pasal 28 ayat (1) Untuk kepentingan hukum, tenaga
kesehatan wajib melakukan pemeriksaan kesehatan atas
permintaan penegak hukum dengan biaya ditanggung oleh negara.
7) Pasal 29 Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan
kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus
diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi.
8) Pasal 34 ayat (2) Penyelenggara fasilitas pelayanan
kesehatan dilarang mempekerjakan tenaga kesehatan yang tidak
memiliki kualifikasi dan izin melakukan pekerjaan profesi.
9) Pasal 49 ayat (2) Penyelenggaraan upaya kesehatan harus
memperhatikan fungsi sosial, nilai, dan norma agama, sosial
budaya, moral, dan etika profesi.
10) Pasal 54 ayat (1) Penyelenggaraan pelayanan kesehatan
dilaksanakan secara bertanggung jawab, aman, bermutu, serta
merata dan nondiskriminatif.
d. PMK Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Perubahan PMK 148/2010
Tentang Ijin dan Penyelenggaraan Praktek Perawat
1) Pasal 2 ayat (1) Perawat dapat menjalankan praktik
keperawatan di fasilitas pelayanan kesehatan.
Ayat (2) Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi fasilitas pelayanan kesehatan di luar praktik
mandiri dan/atau praktik mandiri.
Ayat (3) Perawat yang menjalankan praktik mandiri sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) berpendidikan minimal Diploma III (D III)
Keperawatan.
2) Pasal 3 ayat (1) Setiap Perawat yang menjalankan praktik
keperawatan di fasilitas pelayanan kesehatan di luar praktik
mandiri wajib memiliki SIKP.
Ayat (2) Setiap Perawat yang menjalankan praktik keperawatan di
praktik mandiri wajib memiliki SIPP.
Ayat (3) SIKP dan SIPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) dikeluarkan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota dan
berlaku untuk 1 (satu) tempat.
3) Pasal 5A Perawat hanya dapat menjalankan praktik
keperawatan paling banyak di 1 (satu) tempat praktik mandiri dan
di 1 (satu) tempat fasilitas pelayanan kesehatan di luar praktik
mandiri.
4) Pasal 5B ayat (1) SIKP atau SIPP berlaku selama STR
masih berlaku dan dapat diperbaharui kembali jika habis masa
berlakunya.
e. Permenkes Nomor 290 Tahun 2008 Tentang Persetujuan Tindakan
Kedokteran
1) Pasal 2 ayat (1) Semua tindakan kedokteran yang akan
dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
Ayat (2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diberikan secara tertulis maupun lisan.
Ayat (3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan setelah pasien mendapat penjelasan yang diperlukan
tentang perlunya tindakan kedokteran dilakukan.
2) Pasal 3 ayat (1) Setiap tindakan kedokteran yang
mengandung risiko tinggi harus memperoleh persetujuan tertulis
yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.
Ayat (2) Tindakan kedokteran yang tidak termasuk dalam
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan
dengan persetujuan lisan.
Ayat (3) Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibuat dalam bentuk pernyataan yang tertuang dalam formulir
khusus yang dibuat untuk itu.
Ayat (4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
diberikan dalam bentuk ucapan setuju atau bentuk gerakan
menganggukkan kepala yang dapat diartikan sebagai ucapan
setuju.
Ayat (5) Dalam hal persetujuan lisan yang diberikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dianggap meragukan, maka dapat
dimintakan persetujuan tertulis.
3) Pasal 4 ayat (1) Dalam keadaan gawat darurat, untuk
menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak
diperlukan persetujuan tindakan kedokteran.
Ayat (2) Keputusan untuk melakukan tindakan kedokteran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diputuskan oleh dokter atau
dokter gigi dan dicatat di dalam rekam medik.
Ayat (3) Dalam hal dilakukannya tindakan kedokteran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dokter atau dokter gigi wajib
memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien setelah
pasien sadar atau kepada keluarga terdekat.
4) Pasal 5 ayat (1) Persetujuan tindakan kedokteran dapat
dibatalkan atau ditarik kembali oleh yang memberi persetujuan
sebelum dimulainya tindakan.
Ayat (2) Pembatalan persetujuan tindakan kedokteran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hams dilakukan secara tertulis oleh yang
memberi persetujuan.
Ayat (3) Segala akibat yang timbul dari pembatalan persetujuan
tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2)
menjadi tanggung jawab yang membatalkan persetujuan.
5) Pasal 6 Pemberian persetujuan tindakan kedokteran tidak
menghapuskan tanggung gugat hukum dalam hal terbukti adanya
kelalaian dalam melakukan tindakan kedokteran yang
mengakibatkan kerugian pada pasien.
6) Pasal 7 ayat (1) Penjelasan tentang tindakan kedokteran
harus diberikan langsung kepada pasien dan/atau keluarga terdekat,
baik diminta maupun tidak diminta.
Ayat (2) Dalam hal pasien adalah anak-anak atau orang yang tidak
sadar, penjelasan diberikan kepada keluarganya atau yang
mengantar.
7) Pasal 9 ayat (1) Penjelasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 harus diberikan secara lengkap dengan bahasa yang mudah
dimengerti atau cara lain yang bertujuan untuk mempermudah
pemahaman.
Ayat (2) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat
dan didokumentasikan dalam berkas rekam medis oleh dokter atau
dokter gigi yang memberikan penjelasan dengan mencantumkan
tanggal, waktu, nama, dan tanda tangan pemberi penjelasan dan
penerima penjelasan.
Ayat (3) Dalam hal dokter atau dokter gigi menilai bahwa
penjelasan tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien
atau pasien menolak diberikan penjelasan, maka dokter atau dokter
gigi dapat memberikan penjelasan tersebut kepada keluarga
terdekat dengan didampingi oleh seorang tenaga kesehatan lain
sebagai saksi.
8) Pasal 10 ayat (1) Penjelasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 diberikan oleh dokter atau dokter gigi yang merawat pasien
atau salah satu dokter atau dokter gigi dari tim dokter yang
merawatnya. Ayat (2) Dalam hal dokter atau dokter gigi yang
merawatnya berhalangan untuk memberikan penjelasan secara
langsung, maka pemberian penjelasan harus didelegasikan kepada
dokter atau dokter gigi lain yang kompeten.
Ayat (3) Tenaga kesehatan tertentu dapat membantu memberikan
penjelasan sesuai dengan kewenangannya.
Ayat (4) Tenaga kesehatan tertentu sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) adalah tenaga kesehatan yang ikut memberikan pelayanan
kesehatan secara langsung kepada pasien.
9) Pasal 11 ayat (1) Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan
perluasan tindakan kedokteran, dokter yang akan melakukan
tindakan juga harus memberikan penjelasan.
Ayat (2) Penjelasan kemungkinan perluasan tindakan kedokteran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan dasar daripada
persetujuan.
10) Pasal 12 ayat (1) Perluasan tindakan kedokteran yang tidak
terdapat indikasi sebelumnya, hanya dapat dilakukan untuk
menyelamatkan jiwa pasien.
Ayat (2) Setelah perluasan tindakan kedokteran sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan, dokter atau dokter gigi harus
memberikan penjelasan kepada pasien atau keluarga terdekat.
11) Pasal 15 Dalam hal tindakan kedokteran harus dilaksanakan
sesuai dengan program pemerintah dimana tindakan medik
tersebut untuk kepentingan masyarakat banyak, maka persetujuan
tindakan kedokteran tidak diperlukan.
f. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit
Pasal 13 ayat (3) Setiap tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit
harus bekerja sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan Rumah
Sakit, standar prosedur operasional yang berlaku, etika profesi,
menghormati hak pasien dan mengutamakan keselamatan pasien.
g. PMK Nomor 36 Tahun 2012 Tentang Rahasia Kedokteran
Pasal 4 ayat (1) Semua pihak yang terlibat dalam pelayanan
kedokteran dan/atau menggunakan data dan informasi tentang pasien
wajib menyimpan rahasia kedokteran.
Ayat (2) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. dokter
dan dokter gigi serta tenaga kesehatan lain yang memiliki akses
terhadap data dan informasi kesehatan pasien; b. pimpinan fasilitas
pelayanan kesehatan; c. tenaga yang berkaitan dengan pembiayaan
pelayanan kesehatan; d. tenaga lainnya yang memiliki akses terhadap
data dan informasi kesehatan pasien di fasilitas pelayanan kesehatan;
e. badan hukum/korporasi dan/atau fasilitas pelayanan kesehatan; dan
f. mahasiswa/siswa yang bertugas dalam pemeriksaan, pengobatan,
perawatan, dan/atau manajemen informasi di fasilitas pelayanan
kesehatan.
h. Permenkes Nomor 42 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan
Imunisasi
Pasal 27 ayat (3) Dokter di puskesmas dapat mendelegasikan
kewenangan pelayanan imunisasi kepada bidan dan perawat sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan
imunisasi wajib sesuai program Pemerintah.
Ayat (4) Dalam hal di puskesmas tidak terdapat dokter sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), bidan dan perawat dapat melaksanakan
imunisasi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (5) Dalam hal suatu daerah tidak terdapat tenaga kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) maka
pelayanan imunisasi dapat dilaksanakan oleh tenaga terlatih.
i. Permenkes Nomor 46 Tahun 2013 Tentang Registrasi Tenaga
Kesehatan
1) Pasal 2 ayat (1) Setiap Tenaga Kesehatan yang akan
menjalankan praktik dan/atau pekerjaan keprofesiannya wajib
memiliki izin dari Pemerintah.
Ayat (2) Untuk memperoleh izin dari Pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diperlukan STR.
Ayat (3) STR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikeluarkan
oleh MTKI dan berlaku secara nasional.
Ayat (4) Untuk memperoleh STR sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dan ayat (3), Tenaga Kesehatan harus memiliki Sertifikat
Kompetensi.

2) Pasal 3 ayat (1) Sertifikat Kompetensi sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) diberikan kepada peserta didik
setelah dinyatakan lulus Uji Kompetensi oleh perguruan tinggi
bidang kesehatan yang memiliki izin penyelenggaraan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3) Pasal 4 ayat (1) STR berlaku sejak tanggal dikeluarkan dan
berakhir pada tanggal lahir Tenaga Kesehatan yang bersangkutan
di tahun kelima.
Ayat (2) STR dapat diperpanjang setiap 5 (lima) tahun setelah
memenuhi persyaratan.
Ayat (3) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
meliputi: a. pengabdian diri sebagai tenaga profesi atau vokasi di
bidang kesehatan; dan b. pemenuhan kecukupan dalam kegiatan
pelayanan, pendidikan, pelatihan, dan/atau kegiatan ilmiah lainnya.
Ayat (4) Jumlah satuan kredit profesi sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf b untuk setiap kegiatan ditetapkan oleh MTKI atas
usulan dari organisasi profesi.
4) Pasal 5 ayat (1) Pengabdian diri sebagai tenaga profesi atau
vokasi di bidang kesehatan sebagaimana dimaksud pada pasal 4
ayat (3) huruf a dibuktikan dengan: a. keterangan kinerja dari
institusi tempat bekerja, atau keterangan praktik dari kepala dinas
kesehatan kabupaten/kota; b. Surat izin Praktik atau Surat Izin
Kerja; dan c. rekomendasi dari organisasi profesi.
5) Pasal 6 Dalam hal Tenaga Kesehatan tidak dapat memenuhi
ketentuan persyaratan perpanjangan STR sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (3), maka Tenaga Kesehatan tersebut harus
mengikuti evaluasi kemampuan yang dilaksanakan oleh organisasi
profesi bekerja sama dengan MTKI.
j. Permenkes Nomor 49 Tahun 2013 Tentang Komite Keperawatan
Rumah Sakit
1) Pasal 4 ayat (1) untuk mewujudkan tata kelola klinis yang
baik sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, semua asuhan
keperawatan dan asuhan kebidanan yang dilaksanakan oleh setiap
tenaga keperawatan di Rumah Sakit dilakukan atas Penugasan
Klinis dari Kepala/Direktur Rumah Sakit.
Ayat (2) Penugasan kilnis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berupa pemberian Kewenangan Klinis tenaga keperawatan oleh
Kepala/Direktur Rumah Sakit melalui penerbitan Surat Penugasan
Klinis kepada tenaga keperawatan yang bersangkutan.
2) Pasal 10 ayat (2) Subkomite Kredensial sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a bertugas merekomendasikan
Kewenangan Klinis yang adekuat sesuai kompetensi yang dimiliki
tenaga keperawatan.
k. Permenkes Nomor 9 Tahun 2014 Tentang Klinik
1) Pasal 11 ayat (1) Ketenagaan Klinik rawat jalan terdiri atas
tenaga medis, tenaga keperawatan, Tenaga Kesehatan lain, dan
tenaga non kesehatan sesuai dengan kebutuhan.
Ayat (2) Ketenagaan Klinik rawat inap terdiri atas tenaga medis,
tenaga kefarmasian, tenaga keperawatan, tenaga gizi, tenaga analis
kesehatan, Tenaga Kesehatan lain dan tenaga non kesehatan sesuai
dengan kebutuhan.
2) Pasal 14 Setiap tenaga kesehatan yang bekerja di Klinik
harus bekerja sesuai dengan standar profesi, standar prosedur
operasional, standar pelayanan, etika profesi, menghormati hak
pasien, serta mengutamakan kepentingan dan keselamatan pasien.
3) Pasal 32 ayat (1) Klinik menyelenggarakan pelayanan
kesehatan perorangan yang bersifat promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif.
Ayat (2) Pelayanan kesehatan yang bersifat promotif, preventif,
kuratif dan rehabilitatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan dalam bentuk rawat jalan, rawat inap, pelayanan satu
hari (one day care) dan/atau home care.
Ayat (3) Pelayanan satu hari (one day care) sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) merupakan pelayanan yang dilakukan untuk pasien
yang sudah ditegakkan diagnosa secara definitif dan perlu
mendapat tindakan atau perawatan semi intensif (observasi) setelah
6 (enam) jam sampai dengan 24 (dua puluh empat) jam.
Ayat (4) Home care sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
merupakan bagian atau lanjutan dari pelayanan kesehatan yang
berkesinambungan dan komprehensif yang diberikan kepada
individu dan keluarga di tempat tinggal mereka yang bertujuan
untuk meningkatkan, mempertahankan atau memulihkan kesehatan
atau memaksimalkan tingkat kemandirian dan meminimalkan
dampak penyakit
l. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan
1) Pasal 26 ayat (1) Tenaga Kesehatan yang telah ditempatkan
di Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib melaksanakan tugas sesuai
dengan Kompetensi dan kewenangannya.
2) Pasal 27 ayat (1) Tenaga Kesehatan yang diangkat oleh
Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat dipindahtugaskan antar
provinsi, antar kabupaten, atau antar kota karena alasan kebutuhan
fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau promosi.
Ayat (2) Tenaga Kesehatan yang bertugas di daerah tertinggal
perbatasan dan kepulauan serta daerah bermasalah kesehatan
memperoleh hak kenaikan pangkat istimewa dan pelindungan
dalam pelaksanaan tugas.
3) Pasal 28 ayat (3) Tenaga Kesehatan yang diangkat oleh
Pemerintah atau Pemerintah Daerah di daerah khusus berhak
mendapatkan fasilitas tempat tinggal atau rumah dinas yang
disediakan oleh Pemerintah Daerah.
4) Pasal 30 ayat (1) Pengembangan Tenaga Kesehatan
diarahkan untuk meningkatkan mutu dan karier Tenaga Kesehatan.
Ayat (2) Pengembangan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan serta
kesinambungan dalam menjalankan praktik.
Ayat (3) Dalam rangka pengembangan Tenaga Kesehatan, kepala
daerah dan pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan bertanggung
jawab atas pemberian kesempatan yang sama kepada Tenaga
Kesehatan dengan mempertimbangkan penilaian kinerja.
5) Pasal 32 ayat (1) Pendayagunaan Tenaga Kesehatan Warga
Negara Indonesia ke luar negeri dapat dilakukan dengan
mempertimbangkan keseimbangan antara kebutuhan Tenaga
Kesehatan di Indonesia dan peluang kerja bagi Tenaga Kesehatan
Warga Negara Indonesia di luar negeri.
6) Pasal 44 ayat (1) Setiap Tenaga Kesehatan yang
menjalankan praktik wajib memiliki STR.
7) Pasal 46 ayat (1) Setiap Tenaga Kesehatan yang
menjalankan praktik di bidang pelayanan kesehatan wajib
memiliki izin.
Ayat (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam
bentuk SIP.
8) Pasal 47 Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik
mandiri harus memasang papan nama praktik.
9) Pasal 48 ayat (1) Untuk terselenggaranya praktik tenaga
kesehatan yang bermutu dan pelindungan kepada masyarakat,
perlu dilakukan pembinaan praktik terhadap tenaga kesehatan.
Ayat (2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Menteri bersama-sama dengan Pemerintah Daerah,
konsil masing-masing Tenaga Kesehatan, dan Organisasi Profesi
sesuai dengan kewenangannya.
10) Pasal 50 ayat (1) Tenaga Kesehatan harus membentuk
Organisasi Profesi sebagai wadah untuk meningkatkan dan/atau
mengembangkan pengetahuan dan keterampilan, martabat, dan
etika profesi Tenaga Kesehatan
11) Pasal 57 Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik
berhak: a. memperoleh perlindungan hukum sepanjang
melaksanakan tugas sesuai dengan Standar Profesi, Standar
Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur Operasional; b.
memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari Penerima
Pelayanan Kesehatan atau keluarganya; c. menerima imbalan jasa;
d. memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja,
perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia, moral,
kesusilaan, serta nilai-nilai agama; e. mendapatkan kesempatan
untuk mengembangkan profesinya; f. menolak keinginan Penerima
Pelayanan Kesehatan atau pihak lain yang bertentangan dengan
Standar Profesi, kode etik, standar pelayanan, Standar Prosedur
Operasional, atau ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan g.
memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.
12) Pasal 58 ayat (1) Tenaga Kesehatan dalam menjalankan
praktik wajib: a. memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan
Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, Standar Prosedur
Operasional, dan etika profesi serta kebutuhan kesehatan Penerima
Pelayanan Kesehatan; b. memperoleh persetujuan dari Penerima
Pelayanan Kesehatan atau keluarganya atas tindakan yang akan
diberikan; menjaga kerahasiaan kesehatan Penerima Pelayanan
Kesehatan; d. membuat dan menyimpan catatan dan/atau dokumen
tentang pemeriksaan, asuhan, dan tindakan yang dilakukan; dan e.
merujuk Penerima Pelayanan Kesehatan ke Tenaga Kesehatan lain
yang mempunyai Kompetensi dan kewenangan yang sesuai.
Ayat (2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dan huruf d hanya berlaku bagi Tenaga Kesehatan yang melakukan
pelayanan kesehatan perseorangan
13) Pasal 59 ayat (1) Tenaga Kesehatan yang menjalankan
praktik pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib memberikan
pertolongan pertama kepada Penerima Pelayanan Kesehatan dalam
keadaan gawat darurat dan/atau pada bencana untuk penyelamatan
nyawa dan pencegahan kecacatan.
Ayat (2) Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilarang menolak Penerima Pelayanan Kesehatan dan/atau dilarang
meminta uang muka terlebih dahulu.
14) Pasal 60 Tenaga Kesehatan bertanggung jawab untuk: a.
mengabdikan diri sesuai dengan bidang keilmuan yang dimiliki; b.
meningkatkan Kompetensi; c. bersikap dan berperilaku sesuai
dengan etika profesi; d. mendahulukan kepentingan masyarakat
daripada kepentingan pribadi atau kelompok; dan e. melakukan
kendali mutu pelayanan dan kendali biaya dalam
menyelenggarakan upaya kesehatan.
15) Pasal 61 Dalam menjalankan praktik, Tenaga Kesehatan
yang memberikan pelayanan langsung kepada Penerima Pelayanan
Kesehatan harus melaksanakan upaya terbaik untuk kepentingan
Penerima Pelayanan Kesehatan dengan tidak menjanjikan hasil.
16) Pasal 62 ayat (1) Tenaga Kesehatan dalam menjalankan
praktik hams dilakukan sesuai dengan kewenangan yang
didasarkan pada Kompetensi yang dimilikinya.
Ayat (2) Jenis Tenaga Kesehatan tertentu yang memiliki lebih dari
satu jenjang pendidikan memiliki kewenangan profesi sesuai
dengan lingkup dan tingkat Kompetensi.
17) Pasal 63 ayat (1) Dalam keadaan tertentu Tenaga Kesehatan
dapat memberikan pelayanan di luar kewenangannya.
18) Pasal 65 ayat (1) Dalam melakukan pelayanan kesehatan,
Tenaga Kesehatan dapat menerima pelimpahan tindakan medis
dari tenaga medis.
19) Pasal 66 ayat (1) Setiap Tenaga Kesehatan dalam
menjalankan praktik berkewajiban untuk mematuhi Standar
Profesi, Standar Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur
Operasional.
20) Pasal 67 ayat (1) Tenaga Kesehatan dalam menjalankan
praktik dapat melakukan penelitian dan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi kesehatan.
21) Pasal 68 ayat (1) Setiap tindakan pelayanan kesehatan
perseorangan yang dilakukan oleh Tenaga Kesehatan harus
mendapat persetujuan.
Ayat (2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan setelah mendapat penjelasan secara cukup dan patut.
Ayat (3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
sekurang-kurangnya mencakup: a. tata cara tindakan pelayanan; b.
tujuan tindakan pelayanan yang dilakukan; c. alternatif tindakan
lain; d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan e.
prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
Ayat (4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
diberikan, baik secara tertulis maupun lisan.
Ayat (5) Setiap tindakan Tenaga Kesehatan yang mengandung
risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang
ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.
22) Pasal 69 ayat (1) Pelayanan kesehatan masyarakat harus
ditujukan untuk kepentingan masyarakat dan tidak melanggar hak
asasi manusia.
Ayat (2) Pelayanan kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) yang merupakan program Pemerintah tidak
memerlukan persetujuan tindakan.
Ayat (3) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tetap harus diinformasikan kepada masyarakat Penerima Pelayanan
Kesehatan tersebut.
23) Pasal 70 ayat (1) Setiap Tenaga Kesehatan yang
melaksanakan pelayanan kesehatan perseorangan wajib membuat
rekam medis Penerima Pelayanan Kesehatan.
Ayat (2) Rekam medis Penerima Pelayanan Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera dilengkapi
setelah Penerima Pelayanan Kesehatan selesai menerima
pelayanan kesehatan.
Ayat (3) Setiap rekam medis Penerima Pelayanan Kesehatan harus
dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan atau paraf Tenaga
Kesehatan yang memberikan pelayanan atau tindakan.
Ayat (4) Rekam medis Penerima Pelayanan Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus disimpan dan dijaga
kerahasiaannya oleh Tenaga Kesehatan dan pimpinan Fasilitas
Pelayanan Kesehatan.
24) Pasal 73 ayat (1) Setiap Tenaga Kesehatan dalam
melaksanakan pelayanan kesehatan wajib menyimpan rahasia
kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan.
25) Pasal 74 Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan dilarang
mengizinkan Tenaga Kesehatan yang tidak memiliki STR dan izin
untuk menjalankan praktik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
26) Pasal 75 Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik
berhak mendapatkan perlindungan hukum sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan.
27) Pasal 77 Setiap Penerima Pelayanan Kesehatan yang
dirugikan akibat kesalahan atau kelalaian Tenaga Kesehatan dapat
meminta ganti rugi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-
undangan.
28) Pasal 78 Dalam hal Tenaga Kesehatan diduga melakukan
kelalaian dalam menjalankan profesinya yang menyebabkan
kerugian kepada penerima pelayanan kesehatan, perselisihan yang
timbul akibat kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu
melalui penyelesaian sengketa di luar pengadilan sesuai dengan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
29) Pasal 79 Penyelesaian perselisihan antara Tenaga Kesehatan
dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
m. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan
1) Pasal 2 Praktik Keperawatan berasaskan: a.
perikemanusiaan; b. nilai ilmiah; c. etika dan profesionalitas; d.
manfaat; e. keadilan; f. pelindungan; dan g. kesehatan dan
keselamatan Klien.
2) Pasal 17 Untuk melindungi masyarakat penerima jasa
pelayanan kesehatan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan
yang diberikan oleh Perawat, Menteri dan Konsil Keperawatan
bertugas melakukan pembinaan dan pengawasan mutu Perawat
sesuai dengan kewenangan masing-masing.
3) Pasal 18 ayat (1) Perawat yang menjalankan Praktik
Keperawatan wajib memiliki STR.
4) Pasal 19 ayat (1) Perawat yang menjalankan Praktik
Keperawatan wajib memiliki izin.
Ayat (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam
bentuk SIPP.
5) Pasal 21 Perawat yang menjalankan praktik mandiri harus
memasang papan nama Praktik Keperawatan
6) Pasal 27 ayat (1) Perawat warga negara Indonesia lulusan
luar negeri yang akan melakukan Praktik Keperawatan di
Indonesia harus mengikuti proses evaluasi kompetensi.
7) Pasal 28 ayat (1) Praktik Keperawatan dilaksanakan di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan tempat lainnya sesuai dengan
Klien sasarannya.
Ayat (2) Praktik Keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas: a. Praktik Keperawatan mandiri; dan b. Praktik
Keperawatan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
Ayat (3) Praktik Keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus didasarkan pada kode etik, standar pelayanan, standar
profesi, dan standar prosedur operasional.
Ayat (4) Praktik Keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
didasarkan pada prinsip kebutuhan pelayanan kesehatan dan/atau
Keperawatan masyarakat dalam suatu wilayah
8) Pasal 29 ayat (1) Dalam menyelenggarakan Praktik
Keperawatan, Perawat bertugas sebagai: a. pemberi Asuhan
Keperawatan; b. penyuluh dan konselor bagi Klien; c. pengelola
Pelayanan Keperawatan; d. peneliti Keperawatan; e. pelaksana
tugas berdasarkan pelimpahan wewenang; dan/atau f. pelaksana
tugas dalam keadaan keterbatasan tertentu.
Ayat (2) Tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilaksanakan secara bersama ataupun sendiri-sendiri.
Ayat (3) Pelaksanaan tugas Perawat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus dilaksanakan secara bertanggung jawab dan
akuntabel.
9) Pasal 32 ayat (1) Pelaksanaan tugas berdasarkan
pelimpahan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat
(1) huruf e hanya dapat diberikan secara tertulis oleh tenaga medis
kepada Perawat untuk melakukan sesuatu tindakan medis dan
melakukan evaluasi pelaksanaannya.
Ayat (2) Pelimpahan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat dilakukan secara delegatif atau mandat.
Ayat (3) Pelimpahan wewenang secara delegatif untuk melakukan
sesuatu tindakan medis diberikan oleh tenaga medis kepada
Perawat dengan disertai pelimpahan tanggung jawab.
Ayat (4) Pelimpahan wewenang secara delegatif sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) hanya dapat diberikan kepada Perawat
profesi atau Perawat vokasi terlatih yang memiliki kompetensi
yang diperlukan.
Ayat (5) Pelimpahan wewenang secara mandat diberikan oleh
tenaga medis kepada Perawat untuk melakukan sesuatu tindakan
medis di bawah pengawasan.
Ayat (6) Tanggung jawab atas tindakan medis pada pelimpahan
wewenang mandat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berada
pada pemberi pelimpahan wewenang.
10) Pasal 36 Perawat dalam melaksanakan Praktik
Keperawatan
berhak: a. memperoleh pelindungan hukum sepanjang
melaksanakan tugas sesuai dengan standar pelayanan, standar
profesi, standar prosedur operasional, dan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan; b. memperoleh informasi yang benar, jelas,
dan jujur dari Klien dan/atau keluarganya; c. menerima imbalan
jasa atas Pelayanan Keperawatan yang telah diberikan; d. menolak
keinginan Klien atau pihak lain yang bertentangan dengan kode
etik, standar pelayanan, standar profesi, standar prosedur
operasional, atau ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan e.
memperoleh fasilitas kerja sesuai dengan standar.
11) Pasal 37 Perawat dalam melaksanakan Praktik
Keperawatan
berkewajiban: a. melengkapi sarana dan prasarana Pelayanan
Keperawatan sesuai dengan standar Pelayanan Keperawatan dan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan; b. memberikan
Pelayanan Keperawatan sesuai dengan kode etik, standar
Pelayanan Keperawatan, standar profesi, standar prosedur
operasional, dan ketentuan Peraturan Perundang-undangan; c.
merujuk Klien yang tidak dapat ditangani kepada Perawat atau
tenaga kesehatan lain yang lebih tepat sesuai dengan lingkup dan
tingkat kompetensinya; d. mendokumentasikan Asuhan
Keperawatan sesuai dengan standar; e. memberikan informasi
yang lengkap, jujur, benar, jelas, dan mudah dimengerti mengenai
tindakan Keperawatan kepada Klien dan/atau keluarganya sesuai
dengan batas kewenangannya; f. melaksanakan tindakan
pelimpahan wewenang dari tenaga kesehatan lain yang sesuai
dengan kompetensi Perawat; dan g. melaksanakan penugasan
khusus yang ditetapkan oleh Pemerintah.
12) Pasal 53 ayat (1) Pengembangan Praktik Keperawatan
dilakukan melalui pendidikan formal dan pendidikan nonformal
atau pendidikan berkelanjutan.
Ayat (2) Pengembangan Praktik Keperawatan bertujuan untuk
mempertahankan atau meningkatkan keprofesionalan Perawat.
Ayat (3) Pendidikan nonformal atau pendidikan berkelanjutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditempuh setelah
menyelesaikan pendidikan Keperawatan.
Ayat (4) Dalam hal meningkatkan keprofesionalan Perawat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan dalam memenuhi
kebutuhan pelayanan, pemilik atau pengelola Fasilitas Pelayanan
Kesehatan harus memfasilitasi Perawat untuk mengikuti
pendidikan berkelanjutan.
Ayat (5) Pendidikan nonformal atau pendidikan berkelanjutan
dapat diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah,
Organisasi Profesi Perawat, atau lembaga lain yang terakreditasi
sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang
berlaku.
Ayat (6) Pendidikan nonformal atau pendidikan berkelanjutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
kebutuhan Praktik Keperawatan yang didasarkan pada standar
pelayanan, standar profesi, dan standar prosedur operasional.
13) Pasal 55 Pemerintah, Pemerintah Daerah, Konsil
Keperawatan, dan Organisasi Profesi membina dan mengawasi
Praktik Keperawatan sesuai dengan fungsi dan tugas masing-
masing.

4. Jenis-jenis praktek perawat

Menurut UU 38/2014 Tentang Keperawatan, terdapat beberapa jenis


praktek keperawatan, yaitu :
a. Praktik keperawatan mandiri
1) Praktik perawat mandiri (UU 38/2014 Tentang
Keperawatan)
2) Praktik keperawatan di rumah/Home care (SK Dirjen Yan-
Med Nomor HK. 00.06.5.1.311 Tentang Home Care)
3) Praktik keperawatan di masyarakat (PMK No. 75 Tahun
2014 Tentang Puskesmas)
b. Praktik keperawatan di fasilitas pelayanan kesehatan
1) Klinik (PMK No. 9/2014 Tentang Klinik)
2) Rumah Sakit (UU No. 44/2009 Tentang Rumah Sakit dan
PMK No. 49/2013 Tentang Komite Keperawatan Rumah Sakit)
3) Puskesmas (PMK No. 75 Tahun 2014 Tentang Puskesmas)

Anda mungkin juga menyukai