Anda di halaman 1dari 43

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Desentralisasi Fiskal


Desentralisasi fiskal adalah salah satu kebijakan Pemerintah Pusat yang
mempunyai prinsip dan tujuan untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah (vertical fiscal imbalance) dan antar
daerah (horizontal fiscal imbalance), meningkatkan kualitas pelayanan publik di
daerah dan mengurangi kesenjangan pelayanan publik antardaerah; meningkatkan
efisiensi pemanfaatan sumber daya nasional, tata kelola, transparan, dan akuntabel
dalam pelaksanaan kegiatan pengalokasian transfer ke daerah yang tepat sasaran,
tepat waktu, efisien, dan adil; mendukung kesinambungan fiskal dalam kebijakan
ekonomi makro. Disamping itu, untuk meningkatkan akuntabilitas pengelolaan
keuangan daerah, kepada daerah diberikan kewenangan memungut pajak daerah
dan retribusi daerah (local taxing power). Kebijakan transfer ke daerah, terdiri
dari Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus. Adapun Dana Perimbangan
terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana
Alokasi Khusus (DAK), yang merupakan komponen terbesar dari dana transfer ke
daerah
Dua hal utama yang menjadi bahasan sehubungan dengan adanya otonomi
daerah yakni kebutuhan fiskal (fiskal needs) dan kapasitas fiskal (fiskal capacity)
yang keduanya dapat dikaitkan dalam upaya mengoptimalkan Pendapatan Asli
Daerah (PAD) dan menjadi isu persaingan ekonomi antar daerah. Selisih dari
kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal disebut fiskal gap. Kapasitas Fiskal (fiscal
capacity) merupakan suatu komponen yang masuk dalam formula penghitungan
Dana Alokasi Umum (DAU), dimana pengalokasiannya didasarkan formula
dengan konsep Kesenjangan Fiskal (fiscal gap) yang merupakan selisih antara
Kebutuhan Fiskal (Fiscal Need) dengan Kapasitas Fiskal (Fiscal Capacity).
Besarnya transfer dana dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah dalam bentuk
Dana Alokasi Umum (DAU) untuk suatu daerah dialokasikan atas dasar Celah
Fiskal dan Alokasi Dasar.
Celah Fiskal = Kebutuhan Fiskal Kapasitas Fiskal

Kebutuhan Fiskal adalah kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan


fungsi dasar umum, dengan komponen pengukuran jumlah penduduk, luas
wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi, Produk Domestik Regional Bruto
Perkapita dan Indeks Pembangunan Manusia
Kapasitas Fiskal adalah sumber pendanaan daerah yang berasal dari PAD dan
Bagi Hasil.

Dana Bagi Hasil bersumber dari pajak dan sumber daya alam (SDA), dana bagi
hasil yang bersumber dari pajak terdiri atas :
a. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
b. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
c. Pajak Penghasilan (PPh) perseorangan

Mengenai kapasitas fiskal ini, satu dampak yang perlu diingat dengan
penggunaan pendapatan aktual daerah sebagai ukuran kapasitas fiskal akan
berdampak kurang baik, karena akan menyebabkan transfer dari pusat ke daerah
banyak dipengaruhi oleh upaya perpajakan (tax effort) daerah. Hal ini akan
menimbulkan opini negatif bahwa daerah tidak perlu bersusah payah menghimpun
pendapatan (under-collect), agar bisa memperoleh transfer yang banyak dari
pusat. Semakin gencar daerah menghimpun penerimaan pajak, maka akan
semakin tinggi ukuran kapasitas fiskalnya dan semakin kecil transfer yang akan
diterimanya.
Mengutip Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.02/2006 tentang
Peta Kapasitas Fiskal Dalam Rangka Penerusan Pinjaman Luar Negeri Pemerintah
Kepada Daerah Dalam Rangka Hibah, yang dimaksud dengan kapasitas fiskal
adalah gambaran kemampuan keuangan daerah yang dicerminkan melalui
pendapatan daerah (tidak termasuk dana alokasi khusus, dana darurat dan
penerimaan lain yang penggunaannya dibatasi untuk membiayai pengeluaran
tertentu) dikurangi dengan belanja pegawai serta dikaitkan dengan jumlah
penduduk miskin.
Dalam Penghitungan kapasitas fiskal dan indeks kapasitas fiskal yang
dikeluarkan Kementrian Keuangan Republik Indonesia menggunakan formula :

KF = ( PAD + BH + DAU + LP ) BP
Jumlah penduduk miskin
dimana :
KF = Kapasitas Fiskal
PAD = Pendapatan Asli Daerah
BH = Bagi Hasil Pajak dan Bagi Hasil Bukan Pajak (SDA)
DAU = Dana Alokasi Umum
LP = Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah kecuali Dana Alokasi
Khusus, Dana Darurat dan penerimaan lain yang
penggunaannya dibatasi untuk membiayai pengeluaran
tertentu
BP = Belanja Pegawai

Jumlah penduduk miskin didasarkan pada data BPS tahun terakhir


Penghitungan kapasitas fiskal menggunakan Data Perhitungan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran terakhir
Penghitungan Indeks Kapasitas Fiskal Daerah Kabupaten/Kota dengan
menghitung kapasitas fiskal masing-masing daerah kabupaten/kota dibagi
dengan rata-rata kapasitas fiskal seluruh daerah kabupaten/kota

Penghitungan kapasitas fiskal didasarkan pada data realisasi APBD tahun


anggaran sebelumnya, sedangkan penghitungan indeks kapasitas fiskal provinsi
dilakukan dengan menghitung kapasitas fiskal masing-masing provinsi dibagi
dengan rata-rata kapasitas fiskal seluruh provinsi. Demikian pula penghitungan
indeks kapasitas fiskal kabupaten/kota dilakukan dengan menghitung kapasitas
fiskal masing-masing kabupaten/kota dibagi dengan rata-rata kapasitas fiskal
seluruh kabupaten/kota. Berdasarkan indeks tersebut, daerah dikelompokkan
dalam empat kategori yaitu daerah kategori kapasitas fiskal sangat tinggi, tinggi,
sedang dan rendah. Sedangkan penetapan kategori kapasitas fiskal bagi daerah
pemekaran yang belum memiliki APBD sendiri, mengikuti kategori kapasitas
fiskal daerah induk. Daerah dengan indeks kapasitas fiskal lebih dari atau sama
dengan 2 (dua) merupakan daerah yang termasuk kategori berkapasitas fiskal
sangat tinggi. Daerah yang memiliki indeks kapasitas fiskal 1-2, termasuk daerah
dengan kategori kapasitas fiskal tinggi.
Untuk meningkatkan kapasitas fiskal daerah (fiscal capacity) tidak hanya
menyangkut peningkatan PAD. Peningkatan kapasitas fiskal pada dasarnya adalah
optimalisasi sumber-sumber penerimaan daerah. Oleh karena itu tidak perlu
dibuat dikotomi antara PAD dengan dana perimbangan. Namun juga perlu
dipahami bahwa peningkatan kapasitas fiskal bukan berarti anggaran yang besar
jumlahnya. Anggaran yang besar namun tidak dikelola dengan baik (tidak
memenuhi prinsip value for money) justru akan menimbulkan masalah, misalnya
dengan terjadinya kebocoran anggaran. Yang terpenting adalah optimalisasi
anggaran karena peran pemerintah daerah nantinya bersifat sebagai fasilitator dan
motivator dalam menggerakkan pembangunan di daerah (Osborne and Gaebler,
1993).

2.1.1. Pendapatan Asli Daerah (PAD)


Penerimaan dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan refleksi dari 4
(empat) jenis pungutan yaitu :
1. Hasil pajak daerah,
2. Hasil retribusi daerah
3. Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan
4. Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah

Tolak ukur kemampuan daerah dilihat dari Rasio PAD terhadap total
APBD sebagai berikut :
1. Rasio PAD terhadap APBD 0,00 - 10,00 persen ( sangat kurang )
2. Rasio PAD terhadap APBD 10,01 - 20,00 persen ( kurang )
3. Rasio PAD terhadap APBD 20,01 - 30,00 persen ( sedang )
4. Rasio PAD terhadap APBD 30,01 - 40,00 persen ( cukup )
5. Rasio PAD terhadap APBD 40,01 - 50,00 persen ( baik )
6. Rasio PAD terhadap APBD di atas 50,00 persen ( sangat baik )
2.1.1.1. Pajak Daerah
Menurut Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang
Pajak Daerah telah memberikan batasan bahwa pajak daerah adalah iuran wajib
yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan
langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan digunakan untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah.

Definisi Pajak
Terdapat bermacam-macam batasan atau definisi tentang "pajak" yang
dikemukakan oleh para ahli diantaranya adalah :
Menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani, pajak adalah iuran masyarakat kepada
negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya
menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat
prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk
membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk
menyelenggarakan pemerintahan.
Menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro, SH., pajak adalah iuran rakyat
kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan)
dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat
ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi
tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut : Pajak adalah
peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai
pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang
merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.
Sedangkan menurut Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., & Brock
Horace R, pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor
pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan,
berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan
yang langsung dan proporsional agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-
tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.
Pajak dari perspektif ekonomi dipahami sebagai beralihnya sumber daya
dari sektor privat kepada sektor publik. Pemahaman ini memberikan gambaran
bahwa adanya pajak menyebabkan dua situasi menjadi berubah. Pertama,
berkurangnya kemampuan individu dalam menguasai sumber daya untuk
kepentingan penguasaan barang dan jasa. Kedua, bertambahnya kemampuan
keuangan daerah dalam penyediaan barang dan jasa publik yang merupakan
kebutuhan masyarakat.
Sementara pemahaman pajak dari perspektif hukum menurut Soemitro
merupakan suatu perikatan yang timbul karena adanya undang-undang yang
menyebabkan timbulnya kewajiban warga negara untuk menyetorkan sejumlah
penghasilan tertentu kepada negara, negara mempunyai kekuatan untuk memaksa
dan uang pajak tersebut harus dipergunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan.
Dari pendekatan hukum ini memperlihatkan bahwa pajak yang dipungut harus
berdsarkan undang-undang sehingga menjamin adanya kepastian hukum, baik
bagi fiskus sebagai pengumpul pajak maupun wajib pajak sebagai pembayar
pajak.
Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi agar sesuatu dapat dianggap
sebagai pajak yaitu :
a. Bersifat pajak dan bukan retribusi
b. Obyek pajak terletak atau terdapat di wilayah daerah kabupaten/kota yang
bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah serta hanya
melayani masyarakat di wilayah daerah kabupaten/kota yang bersangkutan
c. Obyek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan
umum
d. Obyek pajak bukan merupakan obyek pajak propinsi dan atau obyek pajak
pusat
e. Potensinya memadai serta tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif
f. Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat serta menjaga
kelestarian lingkungan
Unsur pajak
Dari berbagai definisi yang diberikan terhadap pajak baik pengertian
secara ekonomis (pajak sebagai pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor
pemerintah) atau pengertian secara yuridis (pajak adalah iuran yang dapat
dipaksakan) dapat ditarik kesimpulan tentang unsur-unsur yang terdapat pada
pengertian pajak antara lain sebagai berikut :
1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang. Asas ini sesuai dengan perubahan
ketiga UUD 1945 pasal 23A yang menyatakan "pajak dan pungutan lain yang
bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam undang-undang."
2. Tidak mendapatkan jasa timbal balik (kontraprestasi perseorangan) yang dapat
ditunjukkan secara langsung. Misalnya, orang yang taat membayar pajak
kendaraan bermotor akan melalui jalan yang sama kualitasnya dengan orang
yang tidak membayar pajak kendaraan bermotor.
3. Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum
pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun
pembangunan.
4. Pemungutan pajak dapat dipaksakan. Pajak dapat dipaksakan apabila wajib
pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakan dan dapat dikenakan sanksi sesuai
peraturan perundag-undangan.
5. Selain fungsi budgeter (anggaran) yaitu fungsi mengisi Kas Negara/Anggaran
Negara yang diperlukan untuk menutup pembiayaan penyelenggaraan
pemerintahan, pajak juga berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau
melaksanakan kebijakan negara dalam lapangan ekonomi dan sosial (fungsi
mengatur/regulatif).

Jenis Pajak
Ditinjau dari segi lembaga pemungut pajak, maka dapat dibagi menjadi
dua jenis pajak yaitu :
1. Pajak Pusat yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat yang terdiri dari :
Pajak Penghasilan
Diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang
diubah terakhir kali dengan UU Nomor 36 Tahun 2008
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
Diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang diubah terakhir kali dengan
UU Nomor 42 Tahun 2009
Bea Materai
UU Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai

2. Pajak Daerah
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah, berikut jenis-jenis pajak daerah :
Jenis Pajak Provinsi terdiri dari :
a. Pajak Kendaraan Bermotor
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
d. Pajak Air Permukaan
e. Pajak Rokok
Jenis Pajak Kabupaten/Kota terdiri atas :
a. Pajak Hotel
b. Pajak Restoran
c. Pajak Hiburan
d. Pajak Reklame
e. Pajak Penerangan Jalan
f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
g. Pajak Parkir
h. Pajak Air Tanah
i. Pajak Sarang Burung Walet
j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Fungsi pajak
Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan
bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak
merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran
termasuk pengeluaran pembangunan termasuk didalamnya untuk pembangunan di
daerah (dalam bentuk dana perimbangan). Berdasarkan hal diatas maka pajak
mempunyai beberapa fungsi, yaitu :

Fungsi Anggaran (budgetair)


Sebagai sumber pendapatan negara dan juga pendapatan daerah, pajak
berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara maupun daerah.
Untuk menjalankan tugas-tugas rutin dan melaksanakan pembangunan
membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pajak. Dewasa
ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja
barang, pemeliharaan dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan,
uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri
dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun
harus ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin
meningkat dan ini terutama diharapkan dari sektor pajak.

Fungsi Mengatur (regulerend)


Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak.
Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai
tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal, diberikan
berbagai macam fasilitas keringanan pajak.

Fungsi Stabilitas
Dengan adanya pajak, pemerintah pusat memiliki dana untuk menjalankan
kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat
dikendalikan, Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur
peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang
efektif dan efisien.

Fungsi Redistribusi Pendapatan


Pajak yang sudah dipungut akan digunakan untuk membiayai semua
kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga
dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat
meningkatkan pendapatan masyarakat dan mengurangi angka kemiskinan.

Syarat pemungutan pajak


Tidaklah mudah untuk membebankan pajak pada masyarakat. Bila terlalu
tinggi, masyarakat akan enggan membayar pajak. Namun bila terlalu rendah,
maka pembangunan tidak akan berjalan karena dana yang kurang. Agar tidak
menimbulkan berbagai masalah, maka pemungutan pajak harus memenuhi
persyaratan yaitu :

Pemungutan pajak harus adil


Seperti halnya produk hukum, pajak pun mempunyai tujuan untuk menciptakan
keadilan dalam hal pemungutan pajak. Adil dalam perundang-undangan
maupun adil dalam pelaksanaannya, antara lain dengan mengatur hak dan
kewajiban para wajib pajak, pajak diberlakukan bagi setiap warga negara yang
memenuhi syarat sebagai wajib pajak dan sanksi atas pelanggaran pajak
diberlakukan secara umum sesuai dengan berat ringannya pelanggaran

Pengaturan pajak harus berdasarkan Undang-Undang


Sesuai dengan Pasal 23 UUD 1945 yang berbunyi: "Pajak dan pungutan yang
bersifat untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang".

Pungutan pajak tidak mengganggu perekonomian


Pemungutan pajak harus diusahakan sedemikian rupa agar tidak mengganggu
kondisi perekonomian, baik kegiatan produksi, perdagangan, maupun jasa.
Pemungutan pajak jangan sampai merugikan kepentingan masyarakat dan
menghambat lajunya usaha masyarakat pemasok pajak, terutama masyarakat
kecil dan menengah.

Pemungutan pajak harus efisien


Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka pemungutan pajak harus
diperhitungkan. Jangan sampai pajak yang diterima lebih rendah daripada
biaya pengurusan pajak tersebut. Oleh karena itu, sistem pemungutan pajak
harus sederhana dan mudah untuk dilaksanakan. Dengan demikian, wajib pajak
tidak akan mengalami kesulitan dalam pembayaran pajak baik dari segi
penghitungan maupun dari segi waktu.

Sistem pemungutan pajak harus sederhana


Bagaimana pajak dipungut akan sangat menentukan keberhasilan dalam
pungutan pajak. Sistem yang sederhana akan memudahkan wajib pajak dalam
menghitung beban pajak yang harus dibiayai sehingga akan memberikan dapat
positif bagi para wajib pajak untuk meningkatkan kesadaran dalam
pembayaran pajak.

Asas pemungutan pajak menurut pendapat para ahli


Untuk dapat mencapai tujuan dari pemungutan pajak, beberapa ahli yang
mengemukakan tentang asas pemungutan pajak, antara lain :
1. Menurut Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nations dengan ajaran yang
terkenal "The Four Maxims", asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut :

Asas Equality (asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas keadilan) :


pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan
kemampuan dan penghasilan wajib pajak. Negara tidak boleh
bertindak diskriminatif terhadap wajib pajak.

Asas Certainty (asas kepastian hukum) : semua pungutan pajak harus


berdasarkan UU, sehingga bagi yang melanggar akan dapat dikenai
sanksi hukum.

Asas Convinience of Payment (asas pemungutan pajak yang tepat waktu


atau asas kesenangan) : pajak harus dipungut pada saat yang tepat bagi
wajib pajak (saat yang paling baik), misalnya disaat wajib pajak baru
menerima penghasilannya atau disaat wajib pajak menerima hadiah.

Asas Efficiency (asas efisien atau asas ekonomis): biaya pemungutan pajak
diusahakan sehemat mungkin, jangan sampai terjadi biaya
pemungutan pajak lebih besar dari hasil pemungutan pajak.
2. Menurut W.J. Langen, asas pemungutan pajak adalah :
Asas daya pikul : besar kecilnya pajak yang dipungut harus berdasarkan
besar kecilnya penghasilan wajib pajak. Semakin tinggi penghasilan
maka semakin tinggi pajak yang dibebankan.

Asas manfaat: pajak yang dipungut oleh negara harus digunakan untuk
kegiatan-kegiatan yang bermanfaat untuk kepentingan umum.

Asas kesejahteraan: pajak yang dipungut oleh negara digunakan untuk


meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Asas kesamaan: dalam kondisi yang sama antara wajib pajak yang satu
dengan yang lain harus dikenakan pajak dalam jumlah yang sama
(diperlakukan sama).

Asas beban yang sekecil-kecilnya: pemungutan pajak diusahakan sekecil-


kecilnya (serendah-rendahnya) jika dibandinglan sengan nilai obyek
pajak. Sehingga tidak memberatkan para wajib pajak.

3. Menurut Adolf Wagner, asas pemungutan pajak sebagai berikut :


Asas politik finansial : pajak yang dipungut negara jumlahnya mencukupi
sehingga dapat membiayai atau mendorong semua kegiatan negara.

Asas ekonomi : penentuan obyek pajak harus tepat, misalnya : pajak


pendapatan dan pajak untuk barang mewah.

Asas keadilan : pungutan pajak berlaku secara umum tanpa diskriminasi,


untuk kondisi yang sama diperlakukan sama pula.

Asas administrasi : menyangkut masalah kepastian perpajakan (kapan,


dimana harus membayar pajak), keluwesan penagihan (bagaimana
cara membayarnya) dan besarnya biaya pajak.

Asas yuridis : segala pungutan pajak harus berdasarkan Undang-Undang,


agar pemerintah daerah dapat mengenakan pajak kepada warganya
atau kepada orang pribadi atau badan lain yang bukan warganya,
tetapi mempunyai keterkaitan dengan pemerintah daerah tersebut,
tentu saja harus ada ketentuan-ketentuan yang mengaturnya. Dalam
Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa segala pajak
untuk keuangan negara ditetapkan berdasarkan undang-undang. Untuk
dapat menyusun suatu undang-undang perpajakan, diperlukan asas-
asas atau dasar-dasar yang akan dijadikan landasan untuk pengenaan
pajak.

Dalam penulisan ilmiah ini, penulis hanya akan menjabarkan dan


menganalisis keefektifan pengelolaan pajak daerah yang dikelola langsung oleh
Dinas Pendapatan Daerah Kota Bogor sebagai pendapatan asli daerah. Pajak
daerah dan retribusi daerah merupakan komponen utama Pendapatan Asli Daerah
(PAD), karena itu pemerintah daerah senantiasa mendorong peningkatan
penerimaan daerah yang bersumber dari pungutan pajak daerah dan retribusi
daerah. Salah satu upaya pemerintah untuk mendorong penerimaan pajak daerah
dan retribusi daerah adalah melalui penyempurnaan peraturan perundang-
undangan di bidang perpajakan dan retribusi daerah sesuai dengan perkembangan
keadaan (Kemenkeu, 2010).

Sistem Pemungutan Pajak Daerah

Sistem pemungutan pajak daerah menerapkan dua sistem yaitu Self


Assesment dan Official Assesment. Wajib pajak diberikan kebebasan untuk
memilih salah satu dari kedua sistem tersebut. Self Assesment merupakan sistem
dimana wajib pajak menghitung dan menetapkan sendiri besarnya pajak terutang
melalui media Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD), sedangkan Official
Assesment adalah perhitungan dan penetapan pajak dilakukan oleh pejabat Dinas
Pendapatan Daerah Kota Bogor berdasarkan laporan dari wajib pajak, yang
dituangkan dalam Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD) dan ditandatangani oleh
pejabat Dinas Pendapatan Daerah.
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 65 tahun 2001 tentang Pajak
Daerah telah memberikan batasan bahwa pajak daerah adalah iuran wajib yang
dilakukan oleh pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang
seimbang, dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah
dan pembangunan daerah. Dari batasan tersebut Dinas Pendapatan Daerah Kota
Bogor melakukan pungutan terhadap enam jenis pajak, dari hasil pemungutan
pajak tersebut diharapkan dapat membiayai tugas-tugas penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan di Kota Bogor dalam rangka mencapai
masyarakat adil dan makmur. Keenam jenis pajak tersebut adalah :

1. Pajak penerangan jalan Umum


Dasar Hukum :
Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Bogor Nomor 19 Tahun 1998
Tentang Pajak Penerangan Jalan.
Surat Gubernur Jawa Barat Nomor 973/1513/Huk tanggal 18 Juni 2001 perihal
Tarif Pajak Penerangan Jalan.

Definisi :
- Pajak Penerangan jalan adalah pungutan daerah atas penggunaan tenaga listrik.
- Obyek pajak penerangan jalan adalah penggunaan tenaga listrik.
- Subyek pajak adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan tenaga
listrik.
- Wajib pajak penerangan jalan adalah orang pribadi atau badan yang menjadi
pelanggan listrik dan atau pengguna tenaga listrik.

Dasar pengenaan pajak dan tarif :


Pengenaan pajak didasarkan pada Nilai Jual Tenaga Listrik.
Tarif pajak ditetapkan dari dasar pengenaan pajak sebagai berikut :
1. Penggunaan tenaga listrik yang berasal dari PLN bukan untuk industri sebesar
5 persen
2. Penggunaan tenaga listrik yang berasal dari PLN untuk industri sebesar 5
persen
3. Penggunaan tenaga listrik yang berasal bukan PLN, bukan untuk industri
sebesar 3 persen
4. Penggunaan tenaga listrik yang berasal bukan PLN untuk industri sebesar 4
persen
2. Pajak Hotel
Dasar Hukum :
Pajak Hotel di Kota Bogor diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2002
tentang Pajak Hotel.
Definisi :
Hotel merupakan bangunan yang khusus disediakan bagi orang untuk dapat
menginap/istirahat, memperoleh pelayanan dan atau fasilitas lainnya dengan
dipungut bayaran termasuk bangunan lainnya yang menyatu, dikelola dan dimiliki
oleh pihak yang sama, kecuali untuk pertokoan dan perkantoran.
Pajak Hotel adalah pajak atas pelayanan hotel
Obyek Pajak adalah setiap pelayanan yang disediakan hotel dengan pembayaran,
termasuk :
1. Fasilitas penginapan atau fasilitas tinggal jangka pendek antara lain gubuk
pariwisata (cottage), motel, wisma pariwisata, pesanggrahan (hostel), hotel
melati dan rumah penginapan termasuk rumah kos dengan jumlah kamar 10
(sepuluh) atau lebih yang menyediakan fasilitas seperti rumah penginapan
2. Pelayanan penunjang sebagai kelengkapan fasilitas penginapan atau tinggal
jangka pendek yang sifatnya memberikan kemudahan dan kenyamanan antara
lain telepon, Faksimil, teleks, fotocopy, pelayanan cuci, seterika, taksi dan
pengangkutan lainnya yang disediakan atau dikelola hotel
3. Fasilitas olahraga dan hiburan yang disediakan khusus untuk tamu hotel bukan
untuk umum antara lain pusat kebugaran (fitnes center), kolam renang, tenis,
golf, karaoke yang disediakan atau dikelola hotel.
4. Jasa persewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel.

Subyek pajak adalah orang pribadi atau badan yang melaksanakan pembayaran
kepada hotel.
Wajib Pajak adalah pengusaha hotel.

Dasar Pengenaan dan Tarif Pajak :


Dasar pengenaan pajak adalah jumlah pembayaran yang dilakukan kepada hotel.
Tarif Pajak ditetapkan sebesar 10 (sepuluh) persen. Besarnya pajak terutang
dihitung dengan cara mengalikan tarif yang sudah ditetapkan (10 persen) dengan
dasar pengenaan pajak (jumlah pembayaran yang dilakukan kepada hotel). Dalam
hal ini wajib pajak harus menambahkan pajak hotel untuk pembayaran pelayanan
dengan mengenakan tarif 10 persen dan apabila tidak menambahkan pajak maka
jumlah pembayaran sudah termasuk pajak.

3. Pajak Restoran
Dasar Hukum :
Pajak Restoran Dikota Bogor diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun
2002 tentang Pajak Restoran.

Definisi :
Restoran/Rumah Makan adalah tempat menyantap makanan dan atau minuman
yang disediakan dengan dipungut bayaran, tidak termasuk usaha jasa boga atau
catering.
Pajak restoran adalah pajak yang dikenakan atas pelayanan di restoran/rumah
makan (tempat menyantap makanan dan atau minuman yang disediakan dengan
dipungut bayaran, tidak termasuk usaha jasa boga/catering).
Obyek pajak restoran adalah setiap pelayanan yang disediakan restoran/rumah
makan dengan pembayarannya meliputi penjualan makanan dan atau minuman
direstoran/rumah makan termasuk penyediaan penjualan makanan/minuman yang
diantar/dibawa pulang.
Untuk obyek pajak seperti warung makan, tenda dan sejenisnya yang sudah tertata
dan menetap dipungut dengan tarif harian.
Subyek pajak restoran adalah orang pribadi atau badan yang melakukan
pembayaran kepada restoran/rumah makan.
Wajib pajak restoran adalah pengusaha restoran/rumah makan.
Dasar Pengenaan dan Tarif Pajak :
Dasar Pengenaan pajak adalah jumlah pembayaran yang dilakukan kepada
restoran/rumah makan. Tarif Pajak ditetapkan 10 (sepuluh) persen.
Besarnya pajak yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif yang telah
ditetapkan (10 persen) dengan dasar pengenaan pajak (jumlah pembayaran yang
dilakukan kepada restoran/rumah makan).
4. Pajak Parkir
Dasar Hukum :
Pajak parkir di Kota Bogor diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2004
tentang pajak parkir.

Definisi :
Pajak parkir adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pibadi atau badan
kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang atas penyelenggaraan
tempat parkir diluar badan jalan, baik yang disediakan dengan pokok usaha
maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat
penitipan kendaraan bermotor dan garasi kendaraan bermotor yang memungut
bayaran.

Obyek pajak parkir adalah penyelenggaraan tempat khusus parkir (di luar badan
jalan) baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang
disediakan sebagai tempat usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan
kendaraan bermotor dan garasi kendaraan bermotor yang memungut bayaran,
termasuk gedung parkir, lingkungan parkir, pelataran parkir, garasi yang
disewakan dan jenis parkir kendaraan lainnya.
Subyek pajak parkir adalah orang pribadi atau badan selaku penyelenggara
perparkiran

Dasar pengenaan dan tarif pajak :


Dasar pengenaan pajak parkir adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya
dibayar untuk pemakaian tempat parkir. Tarif pajak ditetapkan sebesar 20 (dua
puluh) persen.
Besarnya pajak yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan
dasar pengenaan pajak (jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar untuk
pemakaian tempat parkir). Perhitungan besarnya pajak berdasarkan klasifikasi
tempat parkir, jenis kendaraan dan frekuensi pemakaian tempat parkir.
Klasifikasi tempat parkir terdiri atas :
1. Gedung Parkir
2. Lingkungan Parkir
3. Pelataran Parkir
4. Garasi yang disewakan
5. Jenis tempat parkir kendaraan lainnya.

Jenis Kendaraan terdiri atas :


1. Kendaraan bermotor truk gandengan/trailer/kontainer
2. Kendaraan bermotor bus/truk
3. Kendaraan bermotor angkutan barang sejenis boks
4. Kendaraan bermotor angkutan roda 4 seperti sedan, mini bus, pick up
5. Kendaraan bermotor roda 2 seperti sepeda motor dan sejenisnya.

Frekuensi Pemakaian tempat parkir terdiri atas:


1. Satuan jam
2. Satuan hari
3. Satuan bulan

5. Pajak Reklame
Dasar Hukum :
Pajak reklame di Kota Bogor diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2006
tentang pajak reklame.

Definisi :
Pajak reklame adalah pajak yang dipungut atas setiap penyelenggaraan reklame.
Obyek pajak reklame adalah semua penyelenggaraan reklame yang meliputi :
1. Reklame bando
2. Reklame megatron, videotron, Large Electronic Display (LED), Video Wall
dan Dynamics Wall
3. Reklame papan (billboard)
4. Reklame baliho
5. Reklame kain
6. Reklame poster atau tempelan/stiker
7. Reklame selebaran atau brosur
8. Reklame berjalan
9. Reklame udara
10. Reklame suara
11. Reklame film atau slide
12. Reklame peragaan (permanen/tidak permanen)
13. Reklame rombong

Subyek pajak adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan atau
melakukan pemesanan reklame.
Wajib pajak reklame adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan
reklame.

Dasar Pengenaan Pajak dan Tarif :


Pengenaan pajak didasarkan pada Nilai Sewa Reklame (NSR) yang dihitung
dengan memperhatikan lokasi penempatan, jalur jalan, ketinggian, sudut pandang
posisi, jenis, jangka waktu penyelenggaraan dan ukuran media dengan rumusan :

NSR = NJOPR + NSPR

Tarif pajak ditetapkan sebesar 25 persen dari nilai sewa reklame dan untuk
reklame produk rokok dikenakan tambahan pajak sebesar 25 persen dari pokok
pajak.
Besarnya pajak yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar
pengenaan pajak.

6. Pajak Hiburan
Dasar Hukum :
Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan
Daerah Kota Bogor Nomor 3 Tahun 2007 tentang pajak hiburan.

Definisi :
Hiburan adalah semua jenis pertunjukan, permainan, permainan ketangkasan dan
atau keramaian dengan nama dan bentuk apapun yang ditonton atau dinikmati
oleh setiap orang dengan dipungut bayaran, tidak termasuk penggunaan fasilitas
untuk berolahraga.
Pajak Hiburan adalah pungutan daerah atas setiap penyelenggaraan hiburan.
Obyek pajak hiburan yaitu penyelenggaraan hiburan dengan dipungut bayaran
yang meliputi :
a. Pertunjukan :
1. Pertunjukan film bioskop, di studio mini dan tempat lainnya yang
memungut bayaran
2. Pertunjukan kesenian, berupa pertunjukan musik, tari, drama, teater,
komedi, kabaret dan sejenisnya, serta kesenian tradisional
3. Pertunjukan atraksi, sirkus, sulap atau sejenisnya
4. Pertunjukan berupa pameran atau kontes
5. Pertunjukan/pertandingan olahraga
6. Pertunjukan lainnya yang penontonnya di pungut bayaran.
b. Permainan
1. Permainan bilyar
2. Permainan seluncuran, permainan di air, permainan es atau salju, rumah
es/salju, dunia fantasi atau sejenisnya
3. Permainan lainnya yang pemainnya dipungut bayaran
c. Permainan ketangkasan
1. Ketangkasan manual seperti lempar bola, flying fox, permainan di areal out
bond, tembak jitu/sasaran, lempar gelang dan sejenisnya
2. Ketangkasan mekanik seperti gokart, outbond, motor cross, kereta wisata,
kereta gantung atau sejenisnya
3. Ketangkasan elektronik merupakan permainan yang menggunakan tenaga
listrik dan dengan sistem digital atau komputerisasi seperti dingdong, play
station, vidio game, arcade game, computer game atau sejenisnya
4. Ketangkasan di air bukan alami seperti arung jeram, water adventure, water
world dan sejenisnya
5. Ketangkasan di es atau salju bukan alami, sepeti ice skating, snow world
atau sejenisnya
6. Ketangkasan lainnya yang pesertanya dipungut bayaran
d. Keramaian
1. Pasar malam, bazaar atau sejenisnya
2. Keramaian lainnya yang memungut bayaran kepada penonton/pengunjung
yang memasuki kawasan keramaian dimaksud
3. Panti pijat, refleksi, pijat sehat atau sejenisnya, dikecualikan panti pijat tuna
netra
4. Mandi uap, sehat pakai air (SPA), bodycare atau sejenisnya
5. Klub malam, pub, ruang musik (music room), atau sejenisnya
6. Karaoke, balai gita (singing hall) atau sejenisnya.

Tidak termasuk obyek pajak adalah penyelenggaraan hiburan yang tidak dipungut
bayaran, seperti hiburan yang diselenggarakan dalam rangka pernikahan, upacara
adat atau kegiatan keagamaan.
Subyek pajak hiburan adalah orang pribadi atau badan yang menonton dan atau
menikmati hiburan.
Wajib pajak hiburan adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan
hiburan.

Dasar pengenaan pajak dan tarif :


Dasar pengenaan pajak adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar
untuk menonton dan atau menikmati hiburan.

Tarif Pajak Hiburan diatur sebagai berikut :


Pertunjukan :
1. Pertunjukan film
a) di bioskop
1. HTM di atas Rp. 35.000,- sebesar 15 persen
2. HTM Rp. 10.000,- sampai dengan Rp. 35.000,- sebesar 10 persen
3. HTM di bawah Rp. 10.000,- sebesar 5 persen
b) Studio mini, pertunjukan film di studio/tempat khusus, atau sejenisnya
sebesar 10 persen
1. Pertunjukan kesenian
2. Pertunjukan seni kontemporer seperti konser, tari, drama, teater, komedi,
kabaret dan sejenisnya sebesar 10 persen
3. Pertunjukan tradisional sebesar 2 persen
4. Pertunjukan atraksi, sirkus, sulap atau sejenisnya sebesar 10 persen
5. Pertunjukan berupa pameran, kontes atau sejenisnya sebesar 10 persen
6. Pertunjukan/pertandingan olahraga sebesar 10 persen
Permainan
1. Permainan bilyar sebesar 10 persen
2. Permainan seluncuran, permainan di air, permainan es atau salju, rumah
es/salju, dunia fantasi atau sejenisnya sebesar 10 persen
Permainan ketangkasan
1. Ketangkasan manual seperti lempar bola, flying fox, permainan di areal
outbond, tembak jitu/sasaran, lempar gelang dan sejenisnya sebesar 10
persen
2. Ketangkasan mekanik seperti gokart, outbond, motor cross, kereta wisata,
kereta gantung, atau sejenisnya sebesar 10 persen
3. Ketangkasan elektronik merupakan permainan yang menggunakan tenaga
listrik dan dengan sistem digital atau komputerisasi seperti dingdong, play
station, vidio game, arcade game, computer game atau sejenisnya sebesar
20 persen
4. Ketangkasan di air bukan alami seperti arung jeram, water adventure,
water world dan sejenisnya sebesar 10 persen
5. Ketangkasan di es atau salju bukan alami, sepeti ice skating, snow world
atau sejenisnya sebesar 10 persen
Keramaian seperti pasar malam, bazaar atau sejenisnya sebesar 10 persen
Panti pijat, refleksi, pijat sehat atau sejenisnya, dikecualikan panti pijat tuna
netra sebesar 20 persen
Mandi uap, sehat pakai air (SPA), bodycare atau sejenisnya sebesar 25 persen
Klub malam, pub, ruang musik (music room) atau sejenisnya sebesar 35
persen.
Karaoke, balai gita (singing hall) atau sejenisnya sebesar 20 persen

2.1.1.2. Retribusi Daerah


Retribusi daerah sebagaimana pengertian yang dituangkan dalam Undang-
Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah pungutan
daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus
disediakan dan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang
pribadi atau badan. Selanjutnya mengenai retribusi ini Pemerintah Kota Bogor
mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang pajak daerah
yang diimplementasikan kedalam peraturan daerah dan Keputusan Walikota.
Retribusi daerah di Kota Bogor dikelola oleh dinas teknis yang mempunyai
kewenangan dalam melaksanakan pungutan yang berhubungan dengan bidang
tugasnya. Menurut Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 jenis retribusi dapat
dibedakan menjadi :
1. Retribusi jasa umum yang merupakan pungutan yang dikenakan oleh daerah
kepada masyarakat atas pelayanan yang diberikan. Pelayanan yang
digolongkan sebagai jasa usaha tersebut memerlukan pengendalian dalam
konsumsinya dan biaya penyediaan layanan tersebut cukup besar sehingga
layak dibebankan kepada masyarakat, misalnya retribusi pelayanan kesehatan,
persampahan, akta catatan sipil dan KTP.
2. Retribusi jasa usaha merupakan pungutan yang dikenakan oleh daerah
berkaitan dengan penyediaan layanan yang belum memadai disediakan oleh
swasta dan atau penyewaan asset/kekayaan daerah yang belum dimanfaatkan,
misalnya retribusi pasar grosir, terminal, rumah potong hewan.
3. Retribusi perizinan tertentu, pungutan yang dikenakan sebagai pembayaran
atas pemberian izin untuk melakukan kegiatan tertentu yang perlu
dikendalikan oleh daerah, misalnya IMB dan izin pengambilan hasil hutan.

Untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah dan membangun


hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah yang lebih
ideal, kebijakan perpajakan dan retribusi daerah diarahkan untuk lebih
memberikan kepastian hukum, penguatan local taxing power, peningkatan
efektivitas pengawasan dan perbaikan pengelolaan pendapatan pajak daerah dan
retribusi daerah. Kebijakan tersebut tertuang dalam Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) yang berlaku
secara efektif sejak tanggal 1 Januari 2010, sebagai suatu langkah strategis dan
fundamental dalam membangun hubungan keuangan antara pusat dan daerah yang
lebih ideal. Undang-Undang PDRD ini diharapkan dapat menyempurnakan sistem
pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah, memberikan kewenangan yang
lebih luas kepada daerah di bidang perpajakan, meningkatkan efektivitas
pengawasan serta memperbaiki pengelolaan pendapatan dari beberapa jenis pajak
daerah dan retribusi daerah, sehingga dapat mendukung upaya peningkatan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) serta penciptaan iklim investasi yang kondusif.
Dalam struktur APBD baru dengan pendekatan kinerja, jenis PAD yang
berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah sesuai Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai penyempurnaan
atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, yang dirinci pada Tabel 3 dan Tabel 4 dibawah ini :

Tabel 3. Pajak Daerah Provinsi

UU Nomor 34 / 2000 UU Nomor 28 / 2009

1. Pajak Kendaraan Bermotor 1. Pajak Kendaraan Bermotor


2. Bea Balik Nama Kendaraan 2. Bea Balik Nama Kendaraan
Bermotor Bermotor
3. Pajak bahan bakar kendaraan 3. Pajak bahan bakar kendaraan
bermotor bermotor
4. Pajak pengambilan dan 4. Pajak air permukaan
pemanfaatan air bawah tanah dan 5. Pajak rokok
air permukaan
Sumber : Direktorat PDRD, Dirjen Perimbangan Keuangan, Kemenkeu (2011)

Tabel 4. Pajak Daerah Kabupaten/Kota

UU Nomor 34 / 2000 UU Nomor 28 / 2009

1. Pajak Hotel 1. Pajak Hotel


2. Pajak Restoran 2. Pajak Restoran
3. Pajak Hiburan 3. Pajak Hiburan
4. Pajak Reklame 4. Pajak Reklame
5. Pajak Penerangan Jalan 5. Pajak Penerangan Jalan
6. Pajak Parkir 6. Pajak Parkir
7. Pajak Pengambilan Bahan 7. Pajak Mineral Bukan Logam
Galian Golongan C dan Batuan
8. Pajak Air tanah
9. Pajak Sarang Burung Walet
10. PBB Pedesaan & Perkotaan
11. Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan

Sumber : Direktorat PDRD, Dirjen Perimbangan Keuangan, Kemenkeu (2011)


Tabel 5. Local Taxing Power
Pajak Kabupaten / Kota UU 34 / 2000 UU 28 / 2009
1. Pajak Hotel 10 persen 10 persen
2. Pajak Restoran 10 persen 10 persen
3. Pajak Hiburan 35 persen 75 persen
4. Pajak Reklame 25 persen 25 persen
5. Pajak Penerangan Jalan 10 persen 10 persen
6. Pajak Mineral Bukan Logam
20 persen 25 persen
dan Batuan
7. Pajak Parkir 20 persen 30 persen
8. Pajak Air Tanah 20 persen 20 persen
9. Pajak Sarang Burung Walet - 10 persen
10. BPHTB - 5 persen
11. PBB Pedesaan & Perkotaan - 0,3 persen
Sumber : Direktorat PDRD, Dirjen Perimbangan Keuangan, Kemenkeu (2011)

Terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara Undang-Undang Pajak


Daerah yang lama dan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang
baru, antara lain dibatasinya jenis pajak daerah yang dapat dipungut oleh daerah
(Closed List), ditingkatkannya pengawasan atas pemungutan pajak daerah serta
dipertegasnya pengelolaan pendapatan dari pajak daerah. Sebagai kompensasinya,
kepada daerah diberikan kewenangan yang lebih besar di bidang perpajakan
dalam rangka penguatan Local Taxing Power yaitu dengan kenaikan tarif
maksimum, perluasan objek pajak, penambahan jenis pajak, diskresi penetapan
tarif dan pengalihan sebagian pajak pusat menjadi pajak daerah, seperti yang
dijabarkan dalam Tabel 6.
Tabel 6. Kebijakan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
No Tujuan Strategi Kebijakan
1 Memperbaiki kewenangan Menetapkan Jenis Closed List
pemungutan Pungutan Pajak Daerah hanya memungut jenis
pajak dan retribusi yang
tercantum dalam UU No.28
Tahun 2009
2 Penguatan Local Taxing Memperluas Basis 1. Memperluas Objek (Pajak
Power Pungutan dan Diskresi Hotel, Pajak Restoran)
Penetapan Tarif 2. Menambah Jenis (Pajak
Sarang Burung Walet, Pajak
Rokok, BPHTB, PBB
Pedesaan dan Perkotaan)
3. Menaikkan Tarif
Maksimum (Pajak Mineral
Bukan Logam dan Batuan,
Pajak Parkir, Pajak Hiburan)
4. Diskresi Penetapan Tarif
(Daerah bebas menetapkan
tarif dalam batas minimum
dan maksimum yang
ditetapkan dalam Undang-
Undang)
3 Meningkatkan Efektivitas Mengubah Sistem 1. Pengawasan Preventif dan
Pengawasan Pengawasan Korektif
- Raperda terlebih dahulu
dievaluasi
- Perda disesuaikan
dengan hasil evaluasi
- Perda yang telah
ditetapkan disampaikan
ke pemerintah
- Perda yang bertentangan
dengan UU dibatalkan
2. Sanksi
- Administratif (Prosedur)
: Penundaan DAU
dan/atau DBH PPh
- Substansif : Pemotongan
DAU dan/atau DBH PPh
4 Memperbaiki Sistem Meningkatkan Kualitas 1. Memperbaiki Bagi Hasil
Pengelolaan Penggunaan Hasil Pajak Provinsi ke Kab/Kota
Pajak Daerah 2. Mempertegas Earmarking
- 10 persen PKB untuk
memperbaiki jalan
- 50 persen Pajak Rokok
untuk pelayanan
kesehatan
- Sebagian PPJ untuk
penerangan jalan
3. Memperbaiki Sistem
Insentif Pemungutan
Sumber : Direktorat PDRD, Dirjen Perimbangan Keuangan, Kemenkeu (2011)
2.1.2. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Salah satu kebijakan pajak daerah yang diatur dalam Undang-Undang


Nomor 28 Tahun 2009 adalah menetapkan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan
dan Perkotaan (PBB-P2) serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) menjadi pajak kabupaten/kota. Kedua jenis pajak tersebut layak untuk
ditetapkan menjadi pajak daerah karena memenuhi kriteria suatu pajak daerah,
antara lain ditinjau dari aspek lokalitas (immobile) serta hubungan antara
pembayar pajak dan yang menikmati manfaat pajak (the tax benefit-link and local
accountability) dan best practice di berbagai negara.
Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang
dimiliki, dikuasai dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali
kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan dan
pertambangan. Tarif PBB maksimum 0,3 persen dari Nilai Jual Objek Pajak
(NJOP). Kewenangan penetapan tarif PBB akan dialihkan dari pemerintah pusat
kepada pemerintah kabupaten/kota setelah 31 Desember 2013. Didalam Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 1985, Pajak Bumi dan Bangunan mencakup sektor
Pedesaan, Perkotaan, Perkebunan, Perhutanan dan Pertambangan. Setelah
perubahan kebijakan PDRD maka Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan
Perkotaan (PBB-P2) ditetapkan sebagai pajak daerah. Kebijakan terkait dengan
PBB-P2 ditetapkan oleh pemerintah daerah, daerah dapat tidak memungut pajak
daerah apabila potensi tidak memadai dan disesuaikan dengan kebijakan daerah,
seluruh penerimaan dari sektor PBB-P2 menjadi Pendapatan Asli Daerah, daerah
bertanggungjawab sepenuhnya atas pemungutan PBB-P2 baik secara legal, teknik
operasional dan pemanfaatannya serta masyarakat daerah dapat terlibat dalam
proses perumusan kebijakan PBB-P2 dan dapat mengontrol penggunaan
penerimaannya.
Jumlah wajib pajak yang ada di Kota Bogor, terdiri dari 6 (enam)
Kecamatan dapat dilihat pada Tabel 7 :
Tabel 7. Jumlah Wajib Pajak di Wilayah Kota Bogor

Luas Jumlah
No Kecamatan Pokok Ketetapan
( Ha ) WP PBB
1 Bogor Tengah 840 21.248 11.655.106.531
2 Tanah Sareal 1.999 47.877 9.270.225.232
3 Bogor Utara 1.849 41.176 10.732.187.108
4 Bogor Barat 3.074 47.267 8.023.272.399
5 Bogor Timur 1.007 21.905 11.655.106.531
6 Bogor Selatan 3.081 48.336 12.327.310.548
Jumlah 11.850 227.809 61.490.404.342

Sumber : KPP Pratama Bogor, 2009

2.1.3. Bea Perolehan Hak atas Tanah & Bangunan (BPHTB)


Mengutip Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2000
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah
dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak. Pembagian Hak Bagi Hasil
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah sebelum tahun 2011, terlihat pada Gambar 6.
BPHTB

20 80
persen persen

Pemerintah Pemerintah
Pusat Kota / Kabupaten

Seluruh Pemerintah Pemerintah


Pemerintah Provinsi
Kota / Kab. Kota / Kabupaten

UU No.21 Tahun 1997 sebagaimana diubah dengan UU No.20 Tahun 2000

Gambar 6. Pembagian Hak BPHTB antara Pusat dan Daerah

Sebagai implementasi dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, terhitung tanggal 1 Januari 2011,
pengelolaan BPHTB dialihkan dari pemerintah pusat kepada pemerintah
kabupaten/kota, maka kebijakan BPHTB ditetapkan oleh daerah dan menjadi
peluang bagi pemerintah kabupaten/kota untuk meningkatkan Pendapatan Asli
Daerah (PAD), daerah bertanggungjawab sepenuhnya atas pemungutan BPHTB
baik legalitasnya, tata cara pemungutan (prosedur) dan pemanfaatannya serta
masyarakat daerah dapat mengontrol penggunaan penerimaan BPHTB. Mengacu
pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, besaran nilai perolehan objek pajak
tidak kena pajak untuk pajak BPHTB dikenakan paling rendah sebesar Rp.60 juta,
khusus waris/hibah wasiat paling rendah Rp.300 juta. Aturan itu dimaksudkan
untuk menyesuaikan perubahan ketentuan batas maksimal harga rumah yang
diperbolehkan untuk dibeli melalui KPR bersubsidi. Sesuai pasal 5 UU BPHTB,
tarif BPHTB merupakan tarif tunggal, dengan tarif tertinggi yaitu 5 persen dan
ditetapkan dalam peraturan daerah. Penentuan tarif tunggal ini dimaksudkan untuk
kesederhanaan dan kemudahan perhitungan.

2.1.4. Pajak Penghasilan Perseorangan (PPh)


Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
06/KMK.04/2001 dan Peraturan Pemerintah Nomor 115 Tahun 2000 tentang
Pelaksanaan pembagian hasil penerimaan pajak penghasilan orang pribadi dalam
negeri dan pajak penghasilan pasal 21 antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah, maka penerimaan Pajak Penghasilan Orang Pribadi Dalam Negeri dan
Pajak Penghasilan Pasal 21, dibagi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
dengan imbangan sebagai berikut :
80 persen untuk pemerintah pusat
20 persen untuk pemerintah daerah tempat wajib pajak terdaftar
Bagian penerimaan pemerintah daerah dibagi antara daerah provinsi dan daerah
kabupaten/kota dengan imbangan sebagai berikut:
40 persen untuk daerah propinsi,
60 persen untuk daerah kabupaten/kota.

Penghasilan yang dikenakan PPh Pasal 21 adalah penghasilan yang diterima atau
diperoleh Pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang bersifat teratur maupun
tidak teratur.

2.1.5. Pajak Sumber Daya Alam (SDA)


Bagian daerah yang diterima pemerintah daerah berasal dari sumber daya
alam sektor kehutanan, sektor pertambangan umum dan sektor perikanan, dimana
pembagiannya 20 persen untuk pemerintah pusat dan 80 persen untuk daerah.
Rincian bagian daerah ditetapkan sebagai berikut :

Sektor kehutanan
Penerimaan iuran Hak Pengusahaan Hutan (HPH) sebesar 80 persen dibagi
dengan rincian provinsi 16 persen, kabupaten/kota penghasil 64 persen.
Penerimaan Provisi sumber daya hutan sebesar 80 persen dibagi sebagai
berikut :

- Provinsi 16 persen
- Kabupaten / Kota penghasil 32 persen
- Kabupaten / Kota lain 32 persen

Sektor Pertambangan Umum


Penerimaan iuran tetap (Land Rent) sebesar 80 persen dibagi dengan rincian
provinsi 16 persen, kabupaten/kota penghasil 64 persen
Penerimaan iuran eksplorasi sebesar 80 persen dibagi sebagai berikut :
- Provinsi 16 persen
- Kabupaten / Kota penghasil 32 persen
- Kabupaten / Kota lain 32 persen

Sektor Perikanan
Pungutan dari sektor perikanan dibagikan secara merata kepada seluruh
kabupaten dan kota. Bagian pendapatan pemerintah pusat untuk pertambangan
minyak bumi adalah 85 persen, sedangkan bagian untuk daerah adalah 15
persen, yang dibagi sebagai berikut :
- Provinsi 3 persen
- Kabupaten / Kota penghasil 6 persen
- Kabupaten / Kota lain 6 persen

Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Alam


Bagian pendapatan pemerintah pusat untuk pertambangan gas alam adalah
sebesar 70 persen, sedangkan bagian untuk daerah adalah 30 persen, yang
dibagi sebagai berikut :
- Provinsi 6 persen
- Kabupaten / Kota penghasil 12 persen
- Kabupaten / Kota lain 12 persen
2.2. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Bentuk APBD berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29
Tahun 2002 tentang Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan
Daerah serta Tata Cara Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Menurut Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 menjelaskan bahwa APBD adalah
Rencana Keuangan Pemerintah Daerah yang harus disetujui bersama oleh
Pemerintah Daerah dengan DPRD dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ( APBD )

Pendapatan Daerah Belanja Daerah Pembiayaan Daerah

PAD Belanja Tidak Pembiayaan


1. Pajak Daerah Langsung 1. SILPA
2. Retribusi Daerah 1. Belanja Pegawai 2. Pencairan dana
3. Hasil Pengelolaan 2. Bunga cadangan
Kekayaan Daerah 3. Subsidi 3. Hasil penjualan
yang dipisahkan 4. Hibah kekayaan daerah
4. Lain-lain PAD yang 5. Bantuan Sosial yang dipisahkan
sah 6. Belanja Bagi Hasil 4. Penerimaan
Dana Perimbangan 7. Bantuan Keuangan pinjaman daerah
1. Dana Bagi Hasil 8. Belanja tak terduga 5. Penerimaan
2. Dana Alokasi Belanja Langsung kembali pemberian
Umum 1. Belanja Pegawai pinjaman
3. Dana Alokasi 2. Belanja Barang dan 6. Penerimaan
khusus Jasa piutang daerah
Lain-lain pendapatan 3. Belanja Modal Pengeluaran
daerah yang sah 1. Pembentukan dana
1. Hibah tak mengikat cadangan
2. Dana darurat dari 2. Investasi Pemda
pemerintah 3. Pembayaran pokok
3. Dana bagi hasil utang
pajak dari provinsi 4. Pemberian
4. Dana Penyesuaian pinjaman daerah
& Dana Otonomi
Khusus
5. Bantuan keuangan
dari provinsi

Gambar 7. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)


2.3. Analisis Efektivitas
Efektivitas pengelolaan keuangan daerah merupakan salah satu masalah
yang sangat esensial dalam otonomi daerah. Amanat penyelenggaraan negara
yang bersih serta bebas dari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme seperti yang tertuang
dalam TAP MPR RI No.XI/MPR/1999 dan dalam Undang-Undang Nomor
28/1999 serta dalam Inpres Nomor 7/1999 yang mementingkan aspek good
governance dan akuntabilitas.3 Prinsip-prinsip yang mendasari pengelolaan
keuangan daerah adalah transparansi, akuntabilitas dan value for money. Untuk
mengukur kinerja dari pemerintah daerah, maka indikatornya adalah ekonomi,
efisiensi dan efektivitas. Value for money menerapkan tiga prinsip dalam proses
penganggaran yaitu efisiensi, efektivitas dan ekonomi.
Beberapa pengertian efektivitas menurut beberapa ahli diantaranya :
Komarudin (1994), Efektivitas adalah merupakan suatu keadaan yang
menunjukkan tingkat keberhasilan atau kegagalan kegiatan manajemen dalam
mencapai tujuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu.
Hidayat (1986), Efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa
jauh target (kuantitas, kualitas dan waktu) telah tercapai. Dimana makin besar
presentase target yang dicapai, makin tinggi efektivitasnya.
Tunggal (2003) mengutip definisi efisiensi, efektivitas dan ekonomisasi dari
Gerald Vinten sebagai berikut :
Economy-doing things cheap
Efficiency-doing things right
Effectiveness-doing the right things

Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa efektivitas adalah pencapaian


sasaran yang berkaitan dengan tujuan yang telah ditetapkan dan efektivitas adalah
suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas, kualitas dan
waktu) yang telah dicapai oleh manajemen, yang mana target tersebut sudah
ditentukan terlebih dahulu. Efektivitas pengelolaan keuangan daerah merupakan
hal yang sangat penting untuk dievaluasi, karena efektivitas menggambarkan

3. LAN dan BPKP, Akuntabilitas dan Good Governance, Maret 2000


pengelolaan anggaran di daerah yang bersangkutan. Efektivitas berarti bahwa
penggunaan anggaran tersebut harus mencapai target atau tujuan kepentingan
publik (hasil guna), menunjukkan perbandingan antara output dan outcome yaitu
tingkat ketercapaian hasil akhir setelah output diperoleh. Efisiensi berarti
penggunaan dana masyarakat (public money) tersebut dapat menghasilkan output
yang maksimal (berdaya guna), merupakan perbandingan antara sumberdaya yang
digunakan (input) dengan output. Dimensi efektivitas melihat sejauh mana output
yang dihasilkan dapat memenuhi sasaran dan tujuan manajemen.
Penerapan otonomi daerah difasilitasi oleh Pemerintah Pusat dengan
meningkatkan alokasi Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) yang
disalurkan ke daerah dalam bentuk dana perimbangan (DAU atau DAK), maka
konsekuensi dari penyaluran dana yang semakin besar pemerintah daerah dituntut
memiliki kemampuan manajemen keuangan daerah secara profesional. Oleh
karena itu, Pemerintah Pusat melakukan reformasi dibidang keuangan negara.
Reformasi dibidang keuangan tersebut mencakup semua aspek manajemen
keuangan, termasuk perencanaan, implementasi dan pertanggungjawaban. Kondisi
tersebut mensyaratkan manajemen keuangan yang efektif, efisien, transparan dan
akuntabel. Reformasi di tingkat pusat dan daerah diharapkan dapat memperkuat
fundamental desentralisasi di Indonesia.
Bila dilihat dari porsi belanja daerah tahun 2010, ternyata daerah
mengalokasikan anggaran pegawai 44,57 persen, sedangkan belanja modal hanya
21,7 persen. Terdapat 289 kabupaten dan kota yang memiliki belanja pegawai
mendominasi 50 persen atau lebih dari total belanja Pemdanya, bahkan 11
diantaranya belanja pegawai menghabiskan 70 persen dari total belanjanya. Tentu
saja ruang Pemda untuk menggerakkan ekonomi melalui kegiatan produktif
seperti infrastruktur dan peningkatan fasilitas publik semakin berkurang.
Kemampuan fiskal yang rendah karena daerah belum bisa mengoptimalkan
anggaran yang mengakibatkan kesulitan keuangan. Bahkan ada pula daerah yang
mengalami defisit anggaran besar karena salah kelola. Pengelolaan keuangan
daerah masih ada kelemahan dalam perencanaan dan penyusunan laporan
keuangan. Laporan keuangan hingga saat ini baru merupakan
pertanggungjawaban bagi pejabat daerah dan belum menjadi dasar dalam
pengambilan keputusan. Akibatnya informasi dalam laporan keuangan kurang
akuntabel dan tidak bisa dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusan yang
handal.
Akuntabilitas belanja pemerintah daerah sangat minim, karena tidak
adanya aturan pembatasan belanja pegawai di dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah juga tidak adanya sanksi berat bagi
pemerintah daerah yang melanggar. Menurut Dr. H. Marzuki Alie, dalam
tulisannya Efektivitas Pengelolaan Keuangan Daerah, ada beberapa kendala dalam
mencapai pengelolaan keuangan daerah yang efektif. Pertama, kurangnya
efektivitas penyusunan APBD dikarenakan sulitnya mencapai kesepakatan
pembahasan dengan DPRD dan hambatan teknis dalam proses penyusunan
APBD, karena kompleksitas proses penganggaran berbasis kinerja. Kedua,
kurangnya efektivitas pengeluaran APBD. Pengeluaran APBD mempunyai
peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintah
daerah. Efektivitas pengeluaran APBD akan berpengaruh langsung terhadap
efektivitas pelayanan publik, yang pada gilirannya akan menentukan keberhasilan
pembangunan daerah. Ketiga, kurangnya akuntabilitas Laporan Keuangan Daerah.
Berdasarkan hasil pemeriksaan BPK terhadap laporan keuangan 524 pemerintah
daerah di seluruh Indonesia tahun 2010, hanya 14 persen yang mendapatkan
penilaian Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
Kesimpulan dari opini diatas adalah, pertama penggunaan anggaran yang
tepat bisa menjadi efek pengganda (multiplier effect) yang menciptakan siklus
pertumbuhan ekonomi daerah. Untuk itu, pemerintah perlu menerapkan batas
maksimal belanja pegawai dan atau batas minimal belanja modal oleh pemerintah
daerah. Dalam revisi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, hal
tersebut perlu diakomodir. Kedua, disamping itu, dimungkinkan daerah
pemekaran disatukan kembali dengan daerah induknya apabila dalam
perjalanannya mengalami masalah dalam pengelolaan keuangan. Ketiga, sejumlah
indikator harus menjadi perhatian pemerintah terkait dengan PNS, mulai dari
jumlah anggaran yang dialokasikan untuk belanja pegawai, pemenuhan pelayanan
dasar kepada masyarakat dan rasio ideal jumlah PNS dengan jumlah masyarakat
yang dilayani.

Analisis Efektivitas Pengelolaan Pajak Daerah

Efektivitas = Realisasi Penerimaan Pajak x 100 persen


Target Penerimaan Pajak

Asumsi yang digunakan dalam analisis ini dalam menentukan besarnya potensi
digunakan pendekatan angka rencana atau target yang telah ditetapkan oleh
pemerintah daerah telah melalui perhitungan Target Penerimaan Pajak.
Ukuran efektivitas digunakan untuk menggambarkan kesesuaian rencana
dan realisasi. Dari pengertian efektivitas tersebut disimpulkan bahwa efektivitas
bertujuan untuk mengukur rasio keberhasilan, semakin besar rasio maka semakin
efektif, standar minimal rasio keberhasilan adalah 100 persen atau 1 (satu) dimana
realisasi sama dengan target yang telah ditentukan. Rasio dibawah standar
minimal keberhasilan dapat dikatakan tidak efektf. Selama ini belum ada ukuran
baku mengenai kategori efektifitas, ukuran efektifitas biasanya dinyatakan secara
kualitatif dalam bentuk pernyataan saja (judgement).
Tingkat efektivitas dapat digolongkan kedalam beberapa kategori yaitu :
1. Hasil perbandingan tingkat pencapaian diatas 100 persen berarti sangat efektif.
2. Hasil perbandingan tingkat pencapaian 100 persen berarti efektif.
3. Hasil perbandingan tingkat pencapaian dibawah 100 persen berarti tidak
efektif.

2.4. Analisis Matriks Evaluasi Faktor Internal dan Eksternal (IFE - EFE)
Matriks evaluasi faktor internal dan eksternal (Internal Faktor Evaluation-
IFE Matrix dan External Faktor Evaluation-EFE Matrix) merupakan alat bantu
dalam merangkum dan mengevaluasi informasi eksternal yang meliputi informasi
ekonomi, sosial, budaya, demografi, lingkungan, politik, pemerintah, hukum,
teknologi dan persaingan. Tahapan pencocokan dan pemanduan penting dilakukan
untuk melengkapi nilai bobot dan nilai rating kedua faktor strategis. Pembobotan
ditempatkan pada kolom kedua matriks IFE dan matriks EFE, sedangkan rating
ditempatkan pada kolom ketiga matriks IFE dan matriks EFE.
Matriks IFE
Tahapan Pembuatan Matriks IFE :
Buat daftar CSF (Critical Success Factor) untuk aspek internal berkaitan
dengan kekuatan (strengths) dan kelemahan (weaknesses)
Tentukan rating dari setiap CSF, berkisar antara 1-4,
dimana : 1 = sangat lemah,
2 = lemah,
3 = kuat,
4 = sangat kuat
Tentukan bobot dari setiap CSF
Hitung skor setiap CSF dengan mengalikan bobot dengan rating
Jumlahkan semua skor untuk memperoleh skor total, nilai skor berkisar antara
1 sampai dengan 4

Matriks IFE

Key External Factors Rating Bobot Skor


Kekuatan ( Strengths )

Kelemahan ( Weaknesses )

Total

Matriks EFE
Tahapan Pembuatan Matriks EFE :
Buat daftar CSF (Critical Success Factor) untuk aspek eksternal berkaitan
dengan kesempatan (opportunities) dan ancaman (threats)
Tentukan skala (rating) dari setiap CSF, berkisar antara 1-4,
dimana : 1 = dibawah rata-rata,
2 = rata-rata,
3 = diatas rata-rata,
4 = sangat bagus
Tentukan bobot dari setiap CSF
Hitung skor setiap CSF dengan mengalikan bobot dengan rating
Jumlahkan semua skor untuk memperoleh skor total, nilai skor berkisar antara
1 sampai dengan 4

Matriks EFE

Key External Factors Rating Bobot Skor


Peluang ( Opportunities )

Ancaman ( Threats )

Total

Tahap Pencocokan Matriks IE (Internal Eksternal)


Matriks IE (Internal-Eksternal) memposisikan organisasi ke dalam matriks dengan
EFE (baris) dan IFE (kolom) dalam sembilan sel yang diilustrasikan pada Gambar
8 dengan 3 (tiga) ukuran yaitu kuat, sedang dan lemah.
Total Nilai EFI yang diberi bobot
Kuat Sedang Lemah
3,0 - 4,0 2,0 - 2,99 1,0 - 1,99
4,0 3,0 2,0 1,0
Total Nilai EFE yang diberi bobot

Tinggi
3,0 - 4,0 I II III

3,0

Sedang
2,0 - 2,99 IV V VI

2,0

Rendah
1,0 - 1,99 VII VIII IX

1,0
Gambar 8. Matriks I E
Matriks IE dapat dibagi menjadi tiga bagian utama yang mempunyai
dampak strategi berbeda. Pertama, divisi yang masuk dalam sel I, II dan IV dapat
disebut tumbuh dan bina. Strategi yang cocok adalah strategi intensif (penetrasi
pasar, pengembangan pasar dan pengembangan produk) atau strategi integratif,
yaitu integrasi ke depan, integrasi ke belakang dan integrasi horisontal. Kedua,
divisi yang masuk dalam sel III, V atau VII terbaik dapat dikelola dengan strategi
pertahankan dan pelihara, dimana strategi penetrasi pasar dan pengembangan
produk merupakan dua strategi yang terbanyak dilakukan untuk tipe divisi ini.
Ketiga, divisi yang masuk dalam sel VI, VIII atau IX adalah panen atau divestasi

2.5. Analisis SWOT


Untuk perancangan strategi meningkatkan kapasitas fiskal Pemerintah
Daerah Kota Bogor khususnya dari sektor pajak daerah, menggunakan analisis
SWOT. Analisis ini terdiri dari dua faktor strategis yakni internal berisi kekuatan
dan kelemahan serta faktor eksternal berisi peluang dan ancaman. Ada beberapa
keuntungan dari penggunaan analisa SWOT antara lain analisa SWOT tak hanya
dapat membuat ekstrapolasi masa depan, tapi justru dapat dipakai untuk membuat
masa depan, bersifat multiguna dan sederhana serta analisa SWOT cocok dengan
teknik lain dalam perancangan strategi (Delphi, Brainstorming, time series,
regression dan AHP / Analitical Hierarchi Process).
Analisis Eksternal Analisis Internal
Ekonomi, Sosial, Politik Teknologi yang dimiliki
Peraturan (Regulasi) Sumber daya alam
Trend global Sumber daya manusia
Teknologi baru Infrastruktur
Dsb.

Opportunity & Threat Strength & Weakness


Identifikasi peluang dan Identifikasi kekuatan
ancaman dan kelemahan
(Competencies)

Penyesuaian kompetensi
dengan peluang dan ancaman

Strategi

Sumber : Mardiasmo (2002)

Gambar 9. Proses Perumusan Strategi SWOT

2.6. Kemiskinan
Kegiatan pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Secara garis besar kemiskinan dapat dibagi menjadi
dua kategori yaitu kemiskinan struktural (kemiskinan buatan/man made poverty)
dan kemiskinan alamiah. Baik langsung maupun tidak langsung kemiskinan
kategori ini umumnya disebabkan oleh tatanan kelembagaan yang mencakup tidak
hanya tatanan organisasi tetapi juga mencakup masalah aturan yang diterapkan.
Kemiskinan alamiah lebih banyak disebabkan oleh rendahnya kualitas
sumberdaya manusia dan sumberdaya alam.
2.7. Hasil Kajian Terdahulu
Mohammad Riduansyah (2003) melakukan kajian dengan judul
Kontribusi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Terhadap Pendapatan Asli Daerah
(PAD) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ( APBD ) Guna
Mendukung Pelaksanaan Otonomi Daerah (Studi Kasus Pemerintah Daerah
Kota Bogor).4 Dalam kajian tersebut Penerimaan Pendapatan Asli
Daerah (PAD) merupakan sumber penerimaan yang signifikan bagi
pembiayaan rutin dan pembangunan di suatu daerah otonom. Jumlah
penerimaan komponen pajak daerah dan retribusi daerah sangat dipengaruhi oleh
banyaknya jenis pajak daerah dan retribusi daerah yang diterapkan serta
disesuaikan dengan peraturan yang berlaku yang terkait dengan penerimaan kedua
komponen tersebut. Kontribusi penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah
terhadap perolehan PAD Pemerintah Kota Bogor dalam kurun waktu Tahun
Anggaran (TA) 1993/1994-2000 cukup signifikan dengan rata-rata kontribusi
sebesar 27,78 persen per tahun. Kontribusi penerimaan pajak daerah dan retribusi
daerah terhadap total perolehan penerimaan Pemda Bogor tercermin dalam
APBD-nya, dikaitkan dengan kemampuannya untuk melaksanakan otonomi
daerah terlihat cukup baik. Komponen pajak daerah dalam kurun waktu TA
1993/1994-2000 rata-rata pertahunnya memberikan kontribusi sebesar 7,81 persen
per tahun dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 22,89 persen pertahunnya.
Sedangkan pendapatan yang berasal dari komponen retribusi daerah, pada
kurun waktu yang sama, memberikan kontribusi rata-rata pertahunnya sebesar
15,61 persen dengan rata-rata pertumbuhan pertahunnya sebesar 5,08 persen per
tahun. Untuk meningkatkan kontribusi penerimaan pajak daerah dan retribusi
daerah terhadap total penerimaan PAD dan sekaligus memperbesar kontribusinya
terhadap APBD Pemerintah Daerah Kota Bogor perlu dilakukan beberapa langkah
diantaranya perlu dilakukan peningkatan intensifikasi pemungutan jenis-jenis
pajak daerah dan retribusi daerah, kemudian dilakukan ekstensifikasi dengan jalan
memberlakukan jenis pajak dan retribusi baru sesuai dengan kondisi dan potensi
yang ada.

4. Diterbitkan dalam Jurnal Makara, Sosial Humaniora, Volume 7 Nomor 2, Desember 2003
Sukiptiyah (2000) Analisis Dampak Praktek Penghindaran Bea Perolehan
Hak Atas Tanah dan Bangunan terhadap Pendapatan Pemerintah Daerah (Kasus :
Pemerintah Kota Bogor)5. Tujuan penelitian untuk mengetahui besar hilangnya
pendapatan daerah dari pos penerimaan BPHTB akibut Adanya praktek
manipulasi Nilai Perolehan Objek Pajak-Akta Jual Bali (NPOP-AJB)
menggunakan angka dari Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan dan
potensi penerimaan BPHTB dikurangi realisasi penerimaan BPHTB merupakan
besarnya kehilangan penerimaan keuangan dari pos penerimaan BPHTB akibat
praktek manipulasi NPOP-AJB serta mendapatkan informasi tentang faktor utama
yang menyebabkan penghindaran pembayaran BPHTB dan mencari solusinya.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa praktek penghindaran BPHTB telah
terjadi di Pemerintah Kota Bogor. Adanya praktek penghindaran BPHTB,
Pemerintah Kota Bogor kehilangan penerimaan keuangan dari pos bagi hasil
pajak, hal terjadi karena adanya perbedaan yang cukup besar antara NPOP harga
pasar dengan NJOP-PBB, yang ditunjukkan oleh nilai rata-rata rasio antara NPOP
harga pasar terhadap NJOP-PBB sebesar 2,36. Kecilnya probability manipulasi
NPOP-AJB dapat diketahui oleh pejabat Kantor Pelayanan Pajak dan Bangunan,
yang dibuktikan bahwa 92 persen responden tidak takut melakukan manipulasi
NPOP-AJB, dimana 24 persen responden beralasan karena lemahnya administrasi
perpajakan dan 28 persen beralasan kemungkinan untuk terlacak sangat kecil,
sisanya 48 persen responden beralasan seandainya ketahuan sanksinya masih bisa
dinego/damai, kurangnya upaya penyidikan terhadap praktek penghindaran pajak
dan lemahnya "Law Inforcement", dimana belum diterapkannya sanksi yang tegas
bagi wajib pajak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan pemerintah
Nomor 481 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan
Pengalihan hak atas Tanah dan Bangunan, dan Biaya administrasi pembuatan akta
jual beli tanah/bangunan tarifnya didasarkan pada persentase NPOP AJB. Hasil
survei menunjukkan bahwa nilai rata-rata rasio antara NPOP harga pasar terhadap
NPOP AJB sebesar 1,86 dan rata-rata persentase NPOP dilaporkan hanya 59,45
persen artinya jika Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan mampu

5. Diterbitkan dalam www.digilib.ui.ac.id


mengupayakan maka potensi/kapasitas BPHTB Pemerintah Kota Bogor adalah
jauh lebih besar dari realisasi yang ada sekarang. Sejauh ini efisiensi dan
efektivitas pengelolaan BPHTB sudah sangat baik, yang ditunjukkan oleh tingkat
efisiensi sebesar 0,16 persen dan tingkat efektivitas sebesar 167,50 persen.
Sementara itu effort-nya baru mencapai 75,94 persen, hal ini menunjukkan bahwa
target yang ditetapkan jauh lebih kecil dari kapasitas pajak. Langkah proaktif yang
dapat dilakukan Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan untuk
mengantisipasi/memperkecil praktek penghindaran BPHTB adalah : (i) merevisi
NJOP-PBB agar perbedaan NJOP-PBB dengan NPOP sesuai harga pasar tidak
terlalu besar; (ii) merevisi besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena
Pajak (NPOP-TKP) sampai batas terkecil yang masih diperbolehkan dalam
undang-undang dan (iii) Perlunya upaya penyidikan terhadap adanya isue praktek
penghindaran pajak dengan lebih intensif.

Anda mungkin juga menyukai