BAB II Tinjaun Pustaka PDF
BAB II Tinjaun Pustaka PDF
TINJAUAN PUSTAKA
Dana Bagi Hasil bersumber dari pajak dan sumber daya alam (SDA), dana bagi
hasil yang bersumber dari pajak terdiri atas :
a. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
b. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
c. Pajak Penghasilan (PPh) perseorangan
Mengenai kapasitas fiskal ini, satu dampak yang perlu diingat dengan
penggunaan pendapatan aktual daerah sebagai ukuran kapasitas fiskal akan
berdampak kurang baik, karena akan menyebabkan transfer dari pusat ke daerah
banyak dipengaruhi oleh upaya perpajakan (tax effort) daerah. Hal ini akan
menimbulkan opini negatif bahwa daerah tidak perlu bersusah payah menghimpun
pendapatan (under-collect), agar bisa memperoleh transfer yang banyak dari
pusat. Semakin gencar daerah menghimpun penerimaan pajak, maka akan
semakin tinggi ukuran kapasitas fiskalnya dan semakin kecil transfer yang akan
diterimanya.
Mengutip Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.02/2006 tentang
Peta Kapasitas Fiskal Dalam Rangka Penerusan Pinjaman Luar Negeri Pemerintah
Kepada Daerah Dalam Rangka Hibah, yang dimaksud dengan kapasitas fiskal
adalah gambaran kemampuan keuangan daerah yang dicerminkan melalui
pendapatan daerah (tidak termasuk dana alokasi khusus, dana darurat dan
penerimaan lain yang penggunaannya dibatasi untuk membiayai pengeluaran
tertentu) dikurangi dengan belanja pegawai serta dikaitkan dengan jumlah
penduduk miskin.
Dalam Penghitungan kapasitas fiskal dan indeks kapasitas fiskal yang
dikeluarkan Kementrian Keuangan Republik Indonesia menggunakan formula :
KF = ( PAD + BH + DAU + LP ) BP
Jumlah penduduk miskin
dimana :
KF = Kapasitas Fiskal
PAD = Pendapatan Asli Daerah
BH = Bagi Hasil Pajak dan Bagi Hasil Bukan Pajak (SDA)
DAU = Dana Alokasi Umum
LP = Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah kecuali Dana Alokasi
Khusus, Dana Darurat dan penerimaan lain yang
penggunaannya dibatasi untuk membiayai pengeluaran
tertentu
BP = Belanja Pegawai
Tolak ukur kemampuan daerah dilihat dari Rasio PAD terhadap total
APBD sebagai berikut :
1. Rasio PAD terhadap APBD 0,00 - 10,00 persen ( sangat kurang )
2. Rasio PAD terhadap APBD 10,01 - 20,00 persen ( kurang )
3. Rasio PAD terhadap APBD 20,01 - 30,00 persen ( sedang )
4. Rasio PAD terhadap APBD 30,01 - 40,00 persen ( cukup )
5. Rasio PAD terhadap APBD 40,01 - 50,00 persen ( baik )
6. Rasio PAD terhadap APBD di atas 50,00 persen ( sangat baik )
2.1.1.1. Pajak Daerah
Menurut Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang
Pajak Daerah telah memberikan batasan bahwa pajak daerah adalah iuran wajib
yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan
langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan digunakan untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah.
Definisi Pajak
Terdapat bermacam-macam batasan atau definisi tentang "pajak" yang
dikemukakan oleh para ahli diantaranya adalah :
Menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani, pajak adalah iuran masyarakat kepada
negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya
menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat
prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk
membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk
menyelenggarakan pemerintahan.
Menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro, SH., pajak adalah iuran rakyat
kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan)
dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat
ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi
tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut : Pajak adalah
peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai
pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang
merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.
Sedangkan menurut Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., & Brock
Horace R, pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor
pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan,
berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan
yang langsung dan proporsional agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-
tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.
Pajak dari perspektif ekonomi dipahami sebagai beralihnya sumber daya
dari sektor privat kepada sektor publik. Pemahaman ini memberikan gambaran
bahwa adanya pajak menyebabkan dua situasi menjadi berubah. Pertama,
berkurangnya kemampuan individu dalam menguasai sumber daya untuk
kepentingan penguasaan barang dan jasa. Kedua, bertambahnya kemampuan
keuangan daerah dalam penyediaan barang dan jasa publik yang merupakan
kebutuhan masyarakat.
Sementara pemahaman pajak dari perspektif hukum menurut Soemitro
merupakan suatu perikatan yang timbul karena adanya undang-undang yang
menyebabkan timbulnya kewajiban warga negara untuk menyetorkan sejumlah
penghasilan tertentu kepada negara, negara mempunyai kekuatan untuk memaksa
dan uang pajak tersebut harus dipergunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan.
Dari pendekatan hukum ini memperlihatkan bahwa pajak yang dipungut harus
berdsarkan undang-undang sehingga menjamin adanya kepastian hukum, baik
bagi fiskus sebagai pengumpul pajak maupun wajib pajak sebagai pembayar
pajak.
Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi agar sesuatu dapat dianggap
sebagai pajak yaitu :
a. Bersifat pajak dan bukan retribusi
b. Obyek pajak terletak atau terdapat di wilayah daerah kabupaten/kota yang
bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah serta hanya
melayani masyarakat di wilayah daerah kabupaten/kota yang bersangkutan
c. Obyek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan
umum
d. Obyek pajak bukan merupakan obyek pajak propinsi dan atau obyek pajak
pusat
e. Potensinya memadai serta tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif
f. Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat serta menjaga
kelestarian lingkungan
Unsur pajak
Dari berbagai definisi yang diberikan terhadap pajak baik pengertian
secara ekonomis (pajak sebagai pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor
pemerintah) atau pengertian secara yuridis (pajak adalah iuran yang dapat
dipaksakan) dapat ditarik kesimpulan tentang unsur-unsur yang terdapat pada
pengertian pajak antara lain sebagai berikut :
1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang. Asas ini sesuai dengan perubahan
ketiga UUD 1945 pasal 23A yang menyatakan "pajak dan pungutan lain yang
bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam undang-undang."
2. Tidak mendapatkan jasa timbal balik (kontraprestasi perseorangan) yang dapat
ditunjukkan secara langsung. Misalnya, orang yang taat membayar pajak
kendaraan bermotor akan melalui jalan yang sama kualitasnya dengan orang
yang tidak membayar pajak kendaraan bermotor.
3. Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum
pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun
pembangunan.
4. Pemungutan pajak dapat dipaksakan. Pajak dapat dipaksakan apabila wajib
pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakan dan dapat dikenakan sanksi sesuai
peraturan perundag-undangan.
5. Selain fungsi budgeter (anggaran) yaitu fungsi mengisi Kas Negara/Anggaran
Negara yang diperlukan untuk menutup pembiayaan penyelenggaraan
pemerintahan, pajak juga berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau
melaksanakan kebijakan negara dalam lapangan ekonomi dan sosial (fungsi
mengatur/regulatif).
Jenis Pajak
Ditinjau dari segi lembaga pemungut pajak, maka dapat dibagi menjadi
dua jenis pajak yaitu :
1. Pajak Pusat yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat yang terdiri dari :
Pajak Penghasilan
Diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang
diubah terakhir kali dengan UU Nomor 36 Tahun 2008
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
Diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang diubah terakhir kali dengan
UU Nomor 42 Tahun 2009
Bea Materai
UU Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai
2. Pajak Daerah
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah, berikut jenis-jenis pajak daerah :
Jenis Pajak Provinsi terdiri dari :
a. Pajak Kendaraan Bermotor
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
d. Pajak Air Permukaan
e. Pajak Rokok
Jenis Pajak Kabupaten/Kota terdiri atas :
a. Pajak Hotel
b. Pajak Restoran
c. Pajak Hiburan
d. Pajak Reklame
e. Pajak Penerangan Jalan
f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
g. Pajak Parkir
h. Pajak Air Tanah
i. Pajak Sarang Burung Walet
j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Fungsi pajak
Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan
bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak
merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran
termasuk pengeluaran pembangunan termasuk didalamnya untuk pembangunan di
daerah (dalam bentuk dana perimbangan). Berdasarkan hal diatas maka pajak
mempunyai beberapa fungsi, yaitu :
Fungsi Stabilitas
Dengan adanya pajak, pemerintah pusat memiliki dana untuk menjalankan
kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat
dikendalikan, Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur
peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang
efektif dan efisien.
Asas Efficiency (asas efisien atau asas ekonomis): biaya pemungutan pajak
diusahakan sehemat mungkin, jangan sampai terjadi biaya
pemungutan pajak lebih besar dari hasil pemungutan pajak.
2. Menurut W.J. Langen, asas pemungutan pajak adalah :
Asas daya pikul : besar kecilnya pajak yang dipungut harus berdasarkan
besar kecilnya penghasilan wajib pajak. Semakin tinggi penghasilan
maka semakin tinggi pajak yang dibebankan.
Asas manfaat: pajak yang dipungut oleh negara harus digunakan untuk
kegiatan-kegiatan yang bermanfaat untuk kepentingan umum.
Asas kesamaan: dalam kondisi yang sama antara wajib pajak yang satu
dengan yang lain harus dikenakan pajak dalam jumlah yang sama
(diperlakukan sama).
Definisi :
- Pajak Penerangan jalan adalah pungutan daerah atas penggunaan tenaga listrik.
- Obyek pajak penerangan jalan adalah penggunaan tenaga listrik.
- Subyek pajak adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan tenaga
listrik.
- Wajib pajak penerangan jalan adalah orang pribadi atau badan yang menjadi
pelanggan listrik dan atau pengguna tenaga listrik.
Subyek pajak adalah orang pribadi atau badan yang melaksanakan pembayaran
kepada hotel.
Wajib Pajak adalah pengusaha hotel.
3. Pajak Restoran
Dasar Hukum :
Pajak Restoran Dikota Bogor diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun
2002 tentang Pajak Restoran.
Definisi :
Restoran/Rumah Makan adalah tempat menyantap makanan dan atau minuman
yang disediakan dengan dipungut bayaran, tidak termasuk usaha jasa boga atau
catering.
Pajak restoran adalah pajak yang dikenakan atas pelayanan di restoran/rumah
makan (tempat menyantap makanan dan atau minuman yang disediakan dengan
dipungut bayaran, tidak termasuk usaha jasa boga/catering).
Obyek pajak restoran adalah setiap pelayanan yang disediakan restoran/rumah
makan dengan pembayarannya meliputi penjualan makanan dan atau minuman
direstoran/rumah makan termasuk penyediaan penjualan makanan/minuman yang
diantar/dibawa pulang.
Untuk obyek pajak seperti warung makan, tenda dan sejenisnya yang sudah tertata
dan menetap dipungut dengan tarif harian.
Subyek pajak restoran adalah orang pribadi atau badan yang melakukan
pembayaran kepada restoran/rumah makan.
Wajib pajak restoran adalah pengusaha restoran/rumah makan.
Dasar Pengenaan dan Tarif Pajak :
Dasar Pengenaan pajak adalah jumlah pembayaran yang dilakukan kepada
restoran/rumah makan. Tarif Pajak ditetapkan 10 (sepuluh) persen.
Besarnya pajak yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif yang telah
ditetapkan (10 persen) dengan dasar pengenaan pajak (jumlah pembayaran yang
dilakukan kepada restoran/rumah makan).
4. Pajak Parkir
Dasar Hukum :
Pajak parkir di Kota Bogor diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2004
tentang pajak parkir.
Definisi :
Pajak parkir adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pibadi atau badan
kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang atas penyelenggaraan
tempat parkir diluar badan jalan, baik yang disediakan dengan pokok usaha
maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat
penitipan kendaraan bermotor dan garasi kendaraan bermotor yang memungut
bayaran.
Obyek pajak parkir adalah penyelenggaraan tempat khusus parkir (di luar badan
jalan) baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang
disediakan sebagai tempat usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan
kendaraan bermotor dan garasi kendaraan bermotor yang memungut bayaran,
termasuk gedung parkir, lingkungan parkir, pelataran parkir, garasi yang
disewakan dan jenis parkir kendaraan lainnya.
Subyek pajak parkir adalah orang pribadi atau badan selaku penyelenggara
perparkiran
5. Pajak Reklame
Dasar Hukum :
Pajak reklame di Kota Bogor diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2006
tentang pajak reklame.
Definisi :
Pajak reklame adalah pajak yang dipungut atas setiap penyelenggaraan reklame.
Obyek pajak reklame adalah semua penyelenggaraan reklame yang meliputi :
1. Reklame bando
2. Reklame megatron, videotron, Large Electronic Display (LED), Video Wall
dan Dynamics Wall
3. Reklame papan (billboard)
4. Reklame baliho
5. Reklame kain
6. Reklame poster atau tempelan/stiker
7. Reklame selebaran atau brosur
8. Reklame berjalan
9. Reklame udara
10. Reklame suara
11. Reklame film atau slide
12. Reklame peragaan (permanen/tidak permanen)
13. Reklame rombong
Subyek pajak adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan atau
melakukan pemesanan reklame.
Wajib pajak reklame adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan
reklame.
Tarif pajak ditetapkan sebesar 25 persen dari nilai sewa reklame dan untuk
reklame produk rokok dikenakan tambahan pajak sebesar 25 persen dari pokok
pajak.
Besarnya pajak yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar
pengenaan pajak.
6. Pajak Hiburan
Dasar Hukum :
Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan
Daerah Kota Bogor Nomor 3 Tahun 2007 tentang pajak hiburan.
Definisi :
Hiburan adalah semua jenis pertunjukan, permainan, permainan ketangkasan dan
atau keramaian dengan nama dan bentuk apapun yang ditonton atau dinikmati
oleh setiap orang dengan dipungut bayaran, tidak termasuk penggunaan fasilitas
untuk berolahraga.
Pajak Hiburan adalah pungutan daerah atas setiap penyelenggaraan hiburan.
Obyek pajak hiburan yaitu penyelenggaraan hiburan dengan dipungut bayaran
yang meliputi :
a. Pertunjukan :
1. Pertunjukan film bioskop, di studio mini dan tempat lainnya yang
memungut bayaran
2. Pertunjukan kesenian, berupa pertunjukan musik, tari, drama, teater,
komedi, kabaret dan sejenisnya, serta kesenian tradisional
3. Pertunjukan atraksi, sirkus, sulap atau sejenisnya
4. Pertunjukan berupa pameran atau kontes
5. Pertunjukan/pertandingan olahraga
6. Pertunjukan lainnya yang penontonnya di pungut bayaran.
b. Permainan
1. Permainan bilyar
2. Permainan seluncuran, permainan di air, permainan es atau salju, rumah
es/salju, dunia fantasi atau sejenisnya
3. Permainan lainnya yang pemainnya dipungut bayaran
c. Permainan ketangkasan
1. Ketangkasan manual seperti lempar bola, flying fox, permainan di areal out
bond, tembak jitu/sasaran, lempar gelang dan sejenisnya
2. Ketangkasan mekanik seperti gokart, outbond, motor cross, kereta wisata,
kereta gantung atau sejenisnya
3. Ketangkasan elektronik merupakan permainan yang menggunakan tenaga
listrik dan dengan sistem digital atau komputerisasi seperti dingdong, play
station, vidio game, arcade game, computer game atau sejenisnya
4. Ketangkasan di air bukan alami seperti arung jeram, water adventure, water
world dan sejenisnya
5. Ketangkasan di es atau salju bukan alami, sepeti ice skating, snow world
atau sejenisnya
6. Ketangkasan lainnya yang pesertanya dipungut bayaran
d. Keramaian
1. Pasar malam, bazaar atau sejenisnya
2. Keramaian lainnya yang memungut bayaran kepada penonton/pengunjung
yang memasuki kawasan keramaian dimaksud
3. Panti pijat, refleksi, pijat sehat atau sejenisnya, dikecualikan panti pijat tuna
netra
4. Mandi uap, sehat pakai air (SPA), bodycare atau sejenisnya
5. Klub malam, pub, ruang musik (music room), atau sejenisnya
6. Karaoke, balai gita (singing hall) atau sejenisnya.
Tidak termasuk obyek pajak adalah penyelenggaraan hiburan yang tidak dipungut
bayaran, seperti hiburan yang diselenggarakan dalam rangka pernikahan, upacara
adat atau kegiatan keagamaan.
Subyek pajak hiburan adalah orang pribadi atau badan yang menonton dan atau
menikmati hiburan.
Wajib pajak hiburan adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan
hiburan.
Luas Jumlah
No Kecamatan Pokok Ketetapan
( Ha ) WP PBB
1 Bogor Tengah 840 21.248 11.655.106.531
2 Tanah Sareal 1.999 47.877 9.270.225.232
3 Bogor Utara 1.849 41.176 10.732.187.108
4 Bogor Barat 3.074 47.267 8.023.272.399
5 Bogor Timur 1.007 21.905 11.655.106.531
6 Bogor Selatan 3.081 48.336 12.327.310.548
Jumlah 11.850 227.809 61.490.404.342
20 80
persen persen
Pemerintah Pemerintah
Pusat Kota / Kabupaten
Penghasilan yang dikenakan PPh Pasal 21 adalah penghasilan yang diterima atau
diperoleh Pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang bersifat teratur maupun
tidak teratur.
Sektor kehutanan
Penerimaan iuran Hak Pengusahaan Hutan (HPH) sebesar 80 persen dibagi
dengan rincian provinsi 16 persen, kabupaten/kota penghasil 64 persen.
Penerimaan Provisi sumber daya hutan sebesar 80 persen dibagi sebagai
berikut :
- Provinsi 16 persen
- Kabupaten / Kota penghasil 32 persen
- Kabupaten / Kota lain 32 persen
Sektor Perikanan
Pungutan dari sektor perikanan dibagikan secara merata kepada seluruh
kabupaten dan kota. Bagian pendapatan pemerintah pusat untuk pertambangan
minyak bumi adalah 85 persen, sedangkan bagian untuk daerah adalah 15
persen, yang dibagi sebagai berikut :
- Provinsi 3 persen
- Kabupaten / Kota penghasil 6 persen
- Kabupaten / Kota lain 6 persen
Asumsi yang digunakan dalam analisis ini dalam menentukan besarnya potensi
digunakan pendekatan angka rencana atau target yang telah ditetapkan oleh
pemerintah daerah telah melalui perhitungan Target Penerimaan Pajak.
Ukuran efektivitas digunakan untuk menggambarkan kesesuaian rencana
dan realisasi. Dari pengertian efektivitas tersebut disimpulkan bahwa efektivitas
bertujuan untuk mengukur rasio keberhasilan, semakin besar rasio maka semakin
efektif, standar minimal rasio keberhasilan adalah 100 persen atau 1 (satu) dimana
realisasi sama dengan target yang telah ditentukan. Rasio dibawah standar
minimal keberhasilan dapat dikatakan tidak efektf. Selama ini belum ada ukuran
baku mengenai kategori efektifitas, ukuran efektifitas biasanya dinyatakan secara
kualitatif dalam bentuk pernyataan saja (judgement).
Tingkat efektivitas dapat digolongkan kedalam beberapa kategori yaitu :
1. Hasil perbandingan tingkat pencapaian diatas 100 persen berarti sangat efektif.
2. Hasil perbandingan tingkat pencapaian 100 persen berarti efektif.
3. Hasil perbandingan tingkat pencapaian dibawah 100 persen berarti tidak
efektif.
2.4. Analisis Matriks Evaluasi Faktor Internal dan Eksternal (IFE - EFE)
Matriks evaluasi faktor internal dan eksternal (Internal Faktor Evaluation-
IFE Matrix dan External Faktor Evaluation-EFE Matrix) merupakan alat bantu
dalam merangkum dan mengevaluasi informasi eksternal yang meliputi informasi
ekonomi, sosial, budaya, demografi, lingkungan, politik, pemerintah, hukum,
teknologi dan persaingan. Tahapan pencocokan dan pemanduan penting dilakukan
untuk melengkapi nilai bobot dan nilai rating kedua faktor strategis. Pembobotan
ditempatkan pada kolom kedua matriks IFE dan matriks EFE, sedangkan rating
ditempatkan pada kolom ketiga matriks IFE dan matriks EFE.
Matriks IFE
Tahapan Pembuatan Matriks IFE :
Buat daftar CSF (Critical Success Factor) untuk aspek internal berkaitan
dengan kekuatan (strengths) dan kelemahan (weaknesses)
Tentukan rating dari setiap CSF, berkisar antara 1-4,
dimana : 1 = sangat lemah,
2 = lemah,
3 = kuat,
4 = sangat kuat
Tentukan bobot dari setiap CSF
Hitung skor setiap CSF dengan mengalikan bobot dengan rating
Jumlahkan semua skor untuk memperoleh skor total, nilai skor berkisar antara
1 sampai dengan 4
Matriks IFE
Kelemahan ( Weaknesses )
Total
Matriks EFE
Tahapan Pembuatan Matriks EFE :
Buat daftar CSF (Critical Success Factor) untuk aspek eksternal berkaitan
dengan kesempatan (opportunities) dan ancaman (threats)
Tentukan skala (rating) dari setiap CSF, berkisar antara 1-4,
dimana : 1 = dibawah rata-rata,
2 = rata-rata,
3 = diatas rata-rata,
4 = sangat bagus
Tentukan bobot dari setiap CSF
Hitung skor setiap CSF dengan mengalikan bobot dengan rating
Jumlahkan semua skor untuk memperoleh skor total, nilai skor berkisar antara
1 sampai dengan 4
Matriks EFE
Ancaman ( Threats )
Total
Tinggi
3,0 - 4,0 I II III
3,0
Sedang
2,0 - 2,99 IV V VI
2,0
Rendah
1,0 - 1,99 VII VIII IX
1,0
Gambar 8. Matriks I E
Matriks IE dapat dibagi menjadi tiga bagian utama yang mempunyai
dampak strategi berbeda. Pertama, divisi yang masuk dalam sel I, II dan IV dapat
disebut tumbuh dan bina. Strategi yang cocok adalah strategi intensif (penetrasi
pasar, pengembangan pasar dan pengembangan produk) atau strategi integratif,
yaitu integrasi ke depan, integrasi ke belakang dan integrasi horisontal. Kedua,
divisi yang masuk dalam sel III, V atau VII terbaik dapat dikelola dengan strategi
pertahankan dan pelihara, dimana strategi penetrasi pasar dan pengembangan
produk merupakan dua strategi yang terbanyak dilakukan untuk tipe divisi ini.
Ketiga, divisi yang masuk dalam sel VI, VIII atau IX adalah panen atau divestasi
Penyesuaian kompetensi
dengan peluang dan ancaman
Strategi
2.6. Kemiskinan
Kegiatan pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Secara garis besar kemiskinan dapat dibagi menjadi
dua kategori yaitu kemiskinan struktural (kemiskinan buatan/man made poverty)
dan kemiskinan alamiah. Baik langsung maupun tidak langsung kemiskinan
kategori ini umumnya disebabkan oleh tatanan kelembagaan yang mencakup tidak
hanya tatanan organisasi tetapi juga mencakup masalah aturan yang diterapkan.
Kemiskinan alamiah lebih banyak disebabkan oleh rendahnya kualitas
sumberdaya manusia dan sumberdaya alam.
2.7. Hasil Kajian Terdahulu
Mohammad Riduansyah (2003) melakukan kajian dengan judul
Kontribusi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Terhadap Pendapatan Asli Daerah
(PAD) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ( APBD ) Guna
Mendukung Pelaksanaan Otonomi Daerah (Studi Kasus Pemerintah Daerah
Kota Bogor).4 Dalam kajian tersebut Penerimaan Pendapatan Asli
Daerah (PAD) merupakan sumber penerimaan yang signifikan bagi
pembiayaan rutin dan pembangunan di suatu daerah otonom. Jumlah
penerimaan komponen pajak daerah dan retribusi daerah sangat dipengaruhi oleh
banyaknya jenis pajak daerah dan retribusi daerah yang diterapkan serta
disesuaikan dengan peraturan yang berlaku yang terkait dengan penerimaan kedua
komponen tersebut. Kontribusi penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah
terhadap perolehan PAD Pemerintah Kota Bogor dalam kurun waktu Tahun
Anggaran (TA) 1993/1994-2000 cukup signifikan dengan rata-rata kontribusi
sebesar 27,78 persen per tahun. Kontribusi penerimaan pajak daerah dan retribusi
daerah terhadap total perolehan penerimaan Pemda Bogor tercermin dalam
APBD-nya, dikaitkan dengan kemampuannya untuk melaksanakan otonomi
daerah terlihat cukup baik. Komponen pajak daerah dalam kurun waktu TA
1993/1994-2000 rata-rata pertahunnya memberikan kontribusi sebesar 7,81 persen
per tahun dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 22,89 persen pertahunnya.
Sedangkan pendapatan yang berasal dari komponen retribusi daerah, pada
kurun waktu yang sama, memberikan kontribusi rata-rata pertahunnya sebesar
15,61 persen dengan rata-rata pertumbuhan pertahunnya sebesar 5,08 persen per
tahun. Untuk meningkatkan kontribusi penerimaan pajak daerah dan retribusi
daerah terhadap total penerimaan PAD dan sekaligus memperbesar kontribusinya
terhadap APBD Pemerintah Daerah Kota Bogor perlu dilakukan beberapa langkah
diantaranya perlu dilakukan peningkatan intensifikasi pemungutan jenis-jenis
pajak daerah dan retribusi daerah, kemudian dilakukan ekstensifikasi dengan jalan
memberlakukan jenis pajak dan retribusi baru sesuai dengan kondisi dan potensi
yang ada.
4. Diterbitkan dalam Jurnal Makara, Sosial Humaniora, Volume 7 Nomor 2, Desember 2003
Sukiptiyah (2000) Analisis Dampak Praktek Penghindaran Bea Perolehan
Hak Atas Tanah dan Bangunan terhadap Pendapatan Pemerintah Daerah (Kasus :
Pemerintah Kota Bogor)5. Tujuan penelitian untuk mengetahui besar hilangnya
pendapatan daerah dari pos penerimaan BPHTB akibut Adanya praktek
manipulasi Nilai Perolehan Objek Pajak-Akta Jual Bali (NPOP-AJB)
menggunakan angka dari Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan dan
potensi penerimaan BPHTB dikurangi realisasi penerimaan BPHTB merupakan
besarnya kehilangan penerimaan keuangan dari pos penerimaan BPHTB akibat
praktek manipulasi NPOP-AJB serta mendapatkan informasi tentang faktor utama
yang menyebabkan penghindaran pembayaran BPHTB dan mencari solusinya.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa praktek penghindaran BPHTB telah
terjadi di Pemerintah Kota Bogor. Adanya praktek penghindaran BPHTB,
Pemerintah Kota Bogor kehilangan penerimaan keuangan dari pos bagi hasil
pajak, hal terjadi karena adanya perbedaan yang cukup besar antara NPOP harga
pasar dengan NJOP-PBB, yang ditunjukkan oleh nilai rata-rata rasio antara NPOP
harga pasar terhadap NJOP-PBB sebesar 2,36. Kecilnya probability manipulasi
NPOP-AJB dapat diketahui oleh pejabat Kantor Pelayanan Pajak dan Bangunan,
yang dibuktikan bahwa 92 persen responden tidak takut melakukan manipulasi
NPOP-AJB, dimana 24 persen responden beralasan karena lemahnya administrasi
perpajakan dan 28 persen beralasan kemungkinan untuk terlacak sangat kecil,
sisanya 48 persen responden beralasan seandainya ketahuan sanksinya masih bisa
dinego/damai, kurangnya upaya penyidikan terhadap praktek penghindaran pajak
dan lemahnya "Law Inforcement", dimana belum diterapkannya sanksi yang tegas
bagi wajib pajak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan pemerintah
Nomor 481 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan
Pengalihan hak atas Tanah dan Bangunan, dan Biaya administrasi pembuatan akta
jual beli tanah/bangunan tarifnya didasarkan pada persentase NPOP AJB. Hasil
survei menunjukkan bahwa nilai rata-rata rasio antara NPOP harga pasar terhadap
NPOP AJB sebesar 1,86 dan rata-rata persentase NPOP dilaporkan hanya 59,45
persen artinya jika Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan mampu