Anda di halaman 1dari 11

Sosok Pemimpin Ideal

pengetahuan kita selalu berada di lingkaran politik dan kepemimpinan apalagi di


saat menjelang pesta demokrasi di bumi pertiwi, sangat sering kita dengar apa
itu pemimpin, dan siapakah sosok yang layak memimpin. dua hal tersebut saat
perlu dimaknai dalam arti yang luas dalam kontext tegas dan jelas kepada arah
positif, tidak hanya kalangan elit politik, tokoh nasional, namun ada kalanya
pemahaman makna kepemimpinan secara textual dan aktual itu lupus dari
pemahaman yang sesungguhnya, jika kita ,melihat sekilas kehidupan di negeri
kita indonesia, penduduk dengan penganut agama islam terbesar didunia.
Namun pemahaman dasar kepemimpinan itu luput dari pemikiran dalam
penerapan yang disertai dengan ideologi yang sesungguhnya.
Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang
kepemimpinannya. Penguasa adalah pemimpin dan akan ditanya tentang
kepemimpinannya (rakyatnya), (H.R. Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin
Umar).
Hadist ditas menerangkan secara jelas dan tegas makna kepemimpinan yang
sesungguhnya, yang mana setiap individu yang terlahir di dunia ini pada
hakikatnya adalah seorang pemimpin. Tugas kepemimpinan yang kali pertama
tersemat pada diri seseorang adalah tugas memimpin dirinya sendiri. Dalam
menjalankan tugas, ia dituntut untuk menjadi pribadi yang bertanggung jawab,
benar, mandiri, kuat, cerdas, dan bijak layaknya seorang pemimpin.
Keberhasilan seseorang dalam menjadikan dirinya sebagai pemimpin yang
sukses dalam memimpin dirinya sendiri kelak akan sangat berpengaruh bagi
tugas kepemimpinan yang lain, yaitu ketika ia mulai menerima tanggung jawab
untuk memimpin sistem di luar dirinya, seperti rumah tangga, keluarga,
masyarakat, negara, dan agamanya. Tentunya prinsip seorang pemimpin bisa
dilihat dari rekam jejak masa lalu yang telah dilakukan, baik itu disisi ketaatan
serta keteladanan dalam menjalankan perintah agama untuk kesiapan ukhrawi
serta bijak, tegas, dan mampu dalam menjalankan tugas yang di emban dalam
kehidupan di dunia.
Menjelang pemilihan kepala daerah yang akan berlangsung tahun depan, maka
sudah selayaknya kita melihat sosok pemimpin yang sesuai kriteria yang
dianjurkan dalam agama serta layak untuk dijadikan pemimpin di bagi kita
didunia. 1). Taat Agama, Ini adalah landasan utama melihat pemimpin yang
sempurna, karena kesempurnaan agama akan selalu menjaga dirinya dari hal-
hal yang mungkar dalam mengambil kebijakan semasa memimpin yang
tentunya kan berimbas kepada pengikut baik itu sisi positif maupun sisi negatif
nantinya. Bagaimana mungkin seorang pemimpin bisa taat para aturan yang
dipegang olehnya jika aturan Sang Pencipta saja berani dilanggar.
2). Berpendidikan dan pengetahuan, Pemimpin yang berlatar belakang
pendidikan lebih mengenal sosial dalam mengambil bijak dalam mengambil
keputusan yang selalu disandarkan kepada ilmu yang dipelajari dan agamanya.
Karena penyakitnya terbesar pada diri pemimpin adalah rasa ketidak adilan,
maka hanya ilmu dan agama yang bisa membendung dan mengobati penyakit
tersebut. 3). berpengalaman. Tentunya ini ini tidak hanya saja pengalaman
menjadi kepala negara atau kepala pemerintahan namun juga bagaimana
pengalamannya dalam memimpin dirinya sendiri sehingga lingkungan pun bisa
menerimanya. 4). Tegas. ini merupakan sikap seorang pemimpin yang selalu di
idam-idamkan oleh rakyatnya. Tegas bukan berarti otoriter, tapi tegas
maksudnya adalah yang benar katakan benar dan yang salah katakan salah
serta melaksanakan aturan hukum yang sesuai dengan perintah Allah SWT dan
rasulnya. 5) Jujur Dan Bertanggung Jawab, Siapa yang mau dipimpin dengan
orang yang suka PHP (Pemberi Harapan Palsu), atau sering mengingkari ucapan
dan janjinya. Pastinya kejujuran dan mampu bertanggung jawab dengan apa
yang diucapkan (dijanjikan), adalah syarat mutlak yang harus melekat dalam diri
seorang pemimpin. 6) Cerdas, Kriteria lainnya yang wajib dimiliki oleh sosok
pemimpin adalah, mempunyai kecerdasan. Bukan hanya sekedar cerdas (pintar)
dalam hal akademik, namun juga cerdas dalam mengambil keputusan, dapat
mencari jalan keluar dari masalah yang dijumpai dengan kemampuan
menganalisa dan memecahkan masalah akan menjadi landasan untuk memilih
pemimpin yang ideal.
Diakhir tulisan ini kita berharap semua yang kita dambakan selama ini semoga
bisa terwujud sesuai harapan dibawah pemimpin yang arif dan bijaksana dalam
mengemban amanah dan cita-cita anak negeri untuk membangun bangsa, serta
semua harapan terus kita usaha dan ikhtiar biarkan setiap keputusan Allah yang
menentukan..
"Bahwasanya Imam itu bagaikan perisai, dari belakangnya umat berperang dan dengannya
umat berlindung." [HR. Muslim]

alam masa sekarang obsesi pergulatan antar partai dipertaruhkan, dimana money
politic bebas berkeliaran hanya untuk mendapatkan kursi jabatan di pemerintahan.
Hadith diibaratkan Seorang pemimpin merupakan tonggak ( tiang ) utama untuk
kesejahteraan rakyatnya.
Sosok Umar bin khattab yang bergelar Al-Faruq yang semasa hidupnya diwarnai
dengan peperangan pembebasan negeri-negeri islam dan penerapan peraturan dalam suatu
pemerintahan, Umar bin Khattab tampil sebagai pemimpin yang berani dalam
memperjuangkan kebenaran, pemimpin yang teguh dalam membedakan yang benar dan
bathil. Keteguhannya dalam menaklukkan Palestina, ketika berada di Yerussalem. Umar bin
Khattab memberikan toleransi, kebijaksanaan, dan tidak membedakan adanya perbedaan
keyakinan, dan perdamaian Muslim, Nasrani, dan Yahudi yang menjadikan ketiganya hidup
berdampingan meski dengan aturan Islam.Salahudin diceritakan mengalahkan tentara perang
Salib dalam pertempuran Hattin, penggambaran sosok Salahudin yang arif dan adil kepada
masyarakat non-muslim dengan pembebasan meski masyarakat muslim telah banyak yang
menjadi korban akibat kekejaman dari masyarakat zionis yang membunuh secara keji dan
tidak berperikemanusiaan terhadap masyarakat muslim, atau pada masa
kesultanan Ottoman yang diperintah dengan sistem bangsa (millet) yang gambaran dasarnya
bahwa yang berbeda keyakinan diizinkan hidup menurut keyakinan dan system hukumnya
sendiri, meskipun Kesultanan Ottoman adalah negara Islam yang diatur oleh orang-orang
Islam, kesultanan tidak ingin memaksa rakyatnya untuk memeluk Islam. Sebaliknya
kesultanan ingin memberikan kedamaian dan keamanan bagi orang-orang non-Muslim dan
memerintah mereka dengan cara sedemikian sehingga mereka nyaman dalam aturan dan
keadilan Islam.
Andai para pemimpin kita menjelma sosok Umar bin khattab? Pemimpin yang bisa
melihat nasib para rakyatnya, pemimpin yang berani memberontak kekufuran golongan
penindas, sehingga tak seorangpun terdzolimi. Namun realitasnya kehidupan lagaknya
berbanding terbalik dengan masa kepemimpinan pada masa Rasulullah dan para sahabat-
sahabatnya. Kemiskinan semakin terpuruk, Pendidikan yang tidak merata, petani menjerit
dengan hasil pertanian impor lebih membumi di negaranya sendiri, sedang hasil pertanian
lokal drastis anjlok kalah saing dengan harga barang impor yang jauh lebih murah. bahkan
kaum elit lagaknya semakin berkuasa dijagat persaingan bisnis dan ekonomi, para penguasa
tertawa dengan parlentenya.
Menelitik masa kejayaan Susilo Bambang Yudhono, yang tercatat sudah menjabat
dua periode jabatan, dalam kepemimpinannya yang sedikit banyak mengalami pasang surut
dalam perkembangan di segala sector ekonomi, pendidikan, dan keamanan meski tidak
signifikan. Demokrasi sebagai kekuatan untuk mengambil hati rakyat, bahkan Obama pernah
memberikan apresiasi terhadap politik Demokrasi yang diusung presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, meski banyak pejabat yang terlibat dengan skandal hukum. Dalam
kepemimpinan presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tak sedikit kasus korupsi yang terkuak
oleh KPK meski kenyataannya dalam beberapa kasus dinilai lamban dalam penangannya,
sehingga beberapa penyelidikan kasus korupsi yang dilakukan oleh para pejabat negeri terjadi
kesimpangsiuran berita. Mayoritas dari pelaku yang terlibat skandal korupsi diantaranya
bebas bersyarat, yang kemudian memunculkan masalah baru dengan adanya politik uang
mafia hukum di badan penegakan hukum itu sendiri. Paradigma politik pada masa Rasulullah
dan sahabat-sahabatnya saat menjabat khalifah seharusnya menjadi acuan dan pedoman
dalam memimpin kasanah perpolitikan dan kekuasaan di negeri yang tercinta ini.
Kepemimpinan sosok Umar bin Khattab mengingatkan kita pada rakyat China,
dimana kekuasaan dibawah pimpinan Hu Cin Tao yang bertekad memberantas korupsi di
negaranya dengan mengumumkan akan mempersiapkan seribu peti mati untuk pelaku
pencurian uang di negara tersebut. Dalam buku The China Business Handbook disebutkan,
pada tahun 2003 sebanyak 4.300 kasus diungkap dan sebagian divonis hukuman mati.
Kebijakan itu menjadi China mengalami kemajuan dan perkembangan ekonomi yang pesat
serta diperkirakan akan menjadi negara adidaya di dunia internasional. Pemimpin China yang
memanifestasikan masyarakatnya dengan kearifan lokal yang menjadikan kekuasaannya
sebagai amanah rakyat bukan sebagai mendongkrak langkah untuk jalan investasi untuk
menambah pundi-pundi kekayaan. Subhanallah, suatu perubahan yang patut di contoh bagi
pemimpin-pemimpin di dunia.
Semar yang digambarkan dalam mitologi jawa sebagai sosok yang mampu
menerapkan falsafah kepemimpinan yang berhasil memajukan bangsa, sebagai simbol sosok
pemimpin ideal, yang memiliki sifat rendah hati dan tidak serakah. Paribasan yang berwujud
falsafah kebatinan bagi masyarakat Jawa denta denti kusuma warsa sarira cakra.
Penggambaran hakikat dari keadilan menurut pandangan orang Jawa, yang benar tidak dapat
disalahkan, yang salah tidak boleh dibenarkan. Sayangnya, Pemimpin di masa kini bersikap
apatis terhadap dengan paribasan ini. Ketika kepentingan muncul, asalkan ada uang dan
kekuasaan, yang benar dapat menjadi salah, yang salahpun dapat menjadi benar.
( naudzubillah )
Seorang pemimpin/Ulil Amri merupakan figur, yang mana seorang pemimpin harus
mempunyai sifat sifat yang arif, bijaksana, sabar, tegas, adil, penuh perhitungan dalam setiap
mengambil keputusan antara manfaat maupun madhorot terhadap rakyatnya. Seorang
pemimpin harus bertanggung jawab dalam menjalankan tugas yang diembannya. Namun
sebagai rakyat juga harus taat kepada pemimpin athiullaaha wa athiiurrosuula wa ulil
amri minkum taatlah kepada allah, taat kepada rosulmu, dan para pemimpin diantara
kamu.
Pemilukada adalah satu mekanisme demokrasi untuk melahirkan pemimpin
yang betul-betul memiliki karakter dan bisa memimpin rakyatnya
dengan seadil-adilnya.

Seperti yang dicontohkan para pemimpin Islam yang telah membuat


rakyatnya menjadi sejahtera. Pertanyaannya, sosok seperti apa
pemimpin yang kita nantikan?

Ciri-ciri pemimpin muslim sejati adalah tidak tirani, adil dan tidak korup.
Sebab seorang pemimpin negara dalam Islam adalah Khalifah an-
Nubuwwah, artinya menggantikan tugas Nabi SAW baik dalam urusan
duniawi, agama maupun negara. Ia harus mengerti ilmu agama
sekaligus politik.

Sehingga, penguasa negara yang ideal dalam Islam adalah kombinasi


umara-ulama. Sebab pemimpin yang demikian adalah adil dan
beradab. Adil adalah syarat utama menjadi penguasa yang ideal.
Konsep adil dalam Islam adalah memihak kepada yang benar dan
membetulkan yang salah.

Dalam Islam, kepemimpinan merupakan salah satu elemen penting.


Wajib hukumnya mengangkat satu orang amir (pemimpin) dalam suatu
komunitas masyarakat, agar komunitas sosial tersebut mampu
menegakkan kebenaran dan keadilan.

Sebab penegakan keadilan tidak mungkin dicapai kecuali dengan


otoritas seorang pemimpin.
Rasulullah SAW bersabda: Tidak boleh bagi tiga orang berada
dimanapun di bumi ini, tanpa mengambil salah seorang di antara
mereka sebagai amir (pemimpin). (Musnad Imam Ahmad, Jilid III).

Peran penting pemimpin dalam Islam ini menunjukkan, bahwa ilmu


politik (al-siyasah) adalah urgen bagi umat Islam dan dalam fiqh al-
siyasah hukum mempelajarinya adalah fardhu kifayah.

Ibnu Taimiyah mengatakan, pentingnya mengangkat pemimpin


disebabkan karena tanpa seorang pemimpin tidak akan tercipta
ketenangan, ketentraman dan kesejahteraan dalam masyarakat.

Dengan terealisasinya kemaslahatan tersebut, masyarakat Islam akan


mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat (al-falah fi al-dunya wal
akhirah).

Oleh karena itu, kewajiban seorang penguasa bukan hanya menjaga


kebutuhan materi masyarakat, akan tetapi lebih dari itu, memelihara
ketentraman sosial dan kebenaran menjalankan agama, agar selalu
dalam susana kondusif. Ia melindungi jasmani rakyatnya, juga
menguatkan rohaninya agar sesuai syariah.

Karena peran inilah, seorang amir dalam perspektif Islam memegang


posisi yang sangat menentukan masa depan rakyat yang dipimpin.
Maka, dalam fiqh al-siyasah seorang pemimpin disebut khalifah al-
nubuwwah pengganti Nabi baik dalam urusan dunia, agama atau
negara. Maka sistem yang dipegang seorang pemimpin juga harus
kuat.

Perpaduan yang ideal antara sistem dan pemimpin akan membawa


rakyat pada kehidupan makmur dan berkualitas. Dalam kaca mata
Islam, kepemimpinan memiliki ciri khas tersendiri.

Yaitu keharusan adanya seorang pemimpin dalam seluruh perkara,


apalagi perkara besar seperti negara. Sebab tidak akan ada gunanya
pelaksanaan suatu sistem apabila tidak ada orang yang memimpin
pelaksanaan sistem tersebut.
Dalam al-Siyasah al-Syariyah Ibnu Taimiyah memberi petunjuk,
memilih pemimpin bukan atas dasar golongan dan hubungan
kekerabatan. Akan tetapi masyarakat harus mengutamakan
profesionalitas dan amanah.

Syarat kredibilitas dan amanah seorang pemimpin oleh Imam Al-


Ghazaliy dalam al-Tabru al-Masluk fi Nashihati al-Muluk dimaknai
sebagai seorang yang berbuat adil di antara masyarakat, melindungi
rakyat dari kerusakan dan kriminalitas dan tidak zalim (tirani).

Imam Al-Mawardi memberi persyaratan lebih rinci. Seorang pemimpin


haruslah memenuhi kriteria: Pertama, memiliki integritas. Kedua,
penguasaan dalam bidang ilmu negara dan agama, agar menentukan
kebijakan ia bisa berijtihad dengan benar.

Ketiga, sehat panca inderanya (mata, pendengaran, lisan tidak


terganggu yang dapat menghalangi ia menjalankan tugas).

Keempat, tidak cacat yang dapat mengganggu tugas. Kelima,


pemberani memiliki keahlian siasat perang. Keenam kemampuan
intelektual untuk mengatur kemaslahatan rakyat dan terakhir adalah
berasal dari nasab qurays (al-ahkam al-sulthoniyah. hlm 5).

Beberapa ulama memberi kelengkapan syarat, yaitu seorang pemimpin


mesti mewarisi sifat-sifat Nabi Muhammad SAW seperti jujur, cerdas
(memiliki pengetahuan dan kecakapan dalam memimpin), amanah
(dapat dipercaya), dan tabligh (mampu berkomunikasi baik dengan
semua orang dari berbagai strata sosial).

Ciri kepemimpinan Rasul ini menurut para ulama harus dimiliki karena,
seorang pemimpin dalam perspektif Islam berposisi sebagai Khalifah
al-Nubuwwah.

Selain itu, potret kehidupan para khalifah terdahulu yang penuh


kesadaran dan kesederhanaan menjadi kaca bagi para pemimpin saat
ini. Khalifah Umar bin Khattab RA misalnya, setiap malam berkeliling
Kota Madinah memastikan rakyatnya aman dan terpenuhi kebutuhan
makanannya.

Dalam Dinasti Umayyah, sosok Umar bin Abdul Aziz, yang masyur
dengan julukan Umar Kedua karena sifat dan karakternya mewarisi
Umar bin Khattab RA, terkenal dengan zuhud dan wara-nya.
Kekhilafahannya saat itu mencapai zaman keemasan akan tetapi ia
tidak larut dan lalai menikmati kekayaan negaranya.

Kesederhanaannya itu dibuktikan dengan kesahajaan memegang


harta. Harta pribadi dan keluarganya diserahkan ke Baitul Mal.

Secara umum dapat disimpulkan, sosok figur pemimpin ideal menurut


perspektif Islam adalah; calon pemimpin haruslah seorang muslim
yang konsisten menjalankan perintah agama (istiqamah) dan tidak
tirani berbuat zalim sebagaiman disyaratkan oleh al-Ghazali.

Syarat ini oleh Imam al-Mawardi disebut adalah, seorang kafir juga
tidak sah menjadi kepala negara, sebagaimana dijelaskan dalam surat
al-Nisa: 141.

Jika pemimpin itu seorang muslim yang istiqamah dan bertakwa, maka
dalam menjalankan kepemimpinan ia pasti amanah. Persyaratan
selanjutnya adalah merdeka, (bukan budak), karena seorang pemimpin
tidak boleh di bawah bayang-bayang kekuasaan orang lain.

Syarat lainnya adalah tafaqquh fi al-din (memiliki pengetahuan dan


pemahaman agama yang baik). Sebab menurut al-Mawardi, kepala
negara tidak hanya menguasai ilmu politik tapi juga harus menguasai
agama layaknya ulama, dalam istilah lain seorang pemimpin negara itu
harus umara sekaligus ulama.

Kolaborasi negarawan dan agamawan merupakan keharusan untuk


menciptakan suasan aman, damai, dan sejahtera serta berjalan dalam
koridor agama. Jika pengetahuan agamanya belum memadai, maka ia
harus memiliki penasihat keagamaan, atau wakilnya adalah seorang
ulama.***
Read more: http://www.riaupos.co/953-opini-menanti-sosok-pemimpin-
ideal.html#.V8DiWhcWPIU#ixzz4IUPekodw

Memilih Pemimpin yang Ideal

Opini dimuat di Suara Karya, edisi selasa


02 September 2008
Oleh Moh Yasin

Pasca kemerdekaan RI 1945, estafet kegagalan kepemimpinan negara Indonesia tidak pernah
mengalami titik terang, mulai dari kegagalan politik dan ekonomi di era pemerintahan Sukarno,
kegagalan tinggal-landas di era pemerintahan Suharto, serta kegagalan demokratisasi dan
lunturnya ideologi di tangan para pemimpin Indonesia era reformasi hingga sekarang.

Berkali-kali pesta demokrasi digelar di negeri ini, menghabiskan APBN terilyunan rupiyah,
namun rakyat tak kunjung menemukan sosok pemimpin yang bisa membawa pada kedamaian,
kesejahteraan, keadilan, kemakmuran, dan sekaligus menjadi teladan atau panutan rakyat. Yang
ada hanya ritual pergantian pemimpin yang diwarnai dengan kecurangan, kekerasan, suap
menyuap, dan sikap ketidak dewasaan dalam berpolitik. Meminjam istilah Olle Tornquist, proses
demokrasi di Indonesia sejauh ini, hanya menghasilkan Demokrasi Kaum Penjahat, dengan
melahirkan para negarawan yang lebih menonjolkan kepentingan pribadi dan golongan
ketimbang kepentingan rakyat sebagai pemilik kedaulatan.

Proses demokrasi yang buruk tersebut tak lepas dari kecenderungan masyarakat Indonesia yang
masih rendah akan pendidikan politik, sehingga tidak mau berpikir panjang dalam menjatuhkan
pilihan sosok pemimpin dalam sebuah penyelenggaraan pesta demokrasi. Rakyat masih mudah
tertipu dengan hal-hal yang bersifat iming-iming, janji-janji manis, dan pemberian imbalan
materi yang bersifat sesaat.

Seolah masyarakat lupa bahwa falsafah jawa telah memberi petunjuk yang jelas mengenai
kriteria seorang pemimpin yang bisa membawa nusantara ini pada kemakmuran dan
kesejahteraan rakyatnya.

Falsafah jawa mengajarkan bahwa seseorang akan menjadi pemimpin jika ia mendapatkan
wahyu kedaton. Raja-raja kerajaan jawa mendapatkan wahyu kedaton berkah dari kekuatannya
yang luar biasa, raja tidak lain adalah para super jago atau orang pilihan. Dalam konteks
negara demokrasi, Raja tidak lain adalah Presiden. Sementara wahyu yang harus didapat dari
Presiden adalah berupa dukungan rakyat mayoritas, untuk itu wahyu Presiden tidak lain adalah
rakyat, karena dalam sistem demokrasi suara rakyat adalah suara Tuhan.

Lantas siapakah yang berhak menjadi seorang pemimpin? Siapakah yang berhak mendapatkan
wahyu berupa dukungan rakyat mayoritas? Falsafah jawa mengajarkan bahwa kepemimpinan
bukan monopoli beberapa orang, sebab Tuhan memberi kesempatan kepada siapa saja. Untuk
itu yang berhak menjadi seorang pemimpin adalah mereka yang selalu berupaya, berusaha, dan
berjalan menuju kesempurnaan. Orang yang demikianlah nantinya yang berhak menjadi
pemimpin..

Tepat pada tahun 2009, rakyat Indonesia akan dihadapkan pada persoalan menentukan
pemimpin baru untuk periode lima tahun. Agar rakyat tidak lagi keliru dalam menentukan
pemimpin, ada beberapa kriteria dan konsep dalam kepemimpinan jawa yang kiranya perlu
diperhatikan oleh masyarakat Indonesia. Dimana kriteria dan konsep tersebut dapat ditafsirkan
dan dirumuskan dalam konteks negara modern atau negara penganut demokrasi.

Dalam Serat Wulang Reh dijelaskan bahwa seorang pemimpin apabila tidak memahami tanda-
tanda kehidupan kepemimpinannya cenderung tidak punya arah. Pemimpin yang demikian
cenderung cinta dan mengabdikan hidupnya hanya pada kekuasaan, harta, dan jabatan. Bahkan
buta akan kesejahteraan, kedamaian, kemakmuran dan keadilan rakyatnya.
Gadjah Mada, orang yang sukses membawa kemajuan Nusantara,--mengerti akan apa arti
sebuah kepemimpinan, bagaimana cara membangunnya dan bagaimana cara menjalankan
kepercayaan, telah memberi peninggalan pada masyarakat jawa mengenai sosok pemimpin
ideal dan kunci kerberhasilan sebuah negara. Menurutnya pemimpin besar harus memiliki enam
kriteria, abhikamika simapatik, prajna arif dan bijaksana, ustada proaktif, atmasampat
berkepribadian luhur, sakya samanta bisa mengontrol, aksuda parisakta akomodatif dan cerdik
dalam berunding, dan stabilitas adalah kunci keberhasilan membangun sebuah negara.

Gadjah Mada juga mewariskan lima cara yang harus dimiliki seorang pemimpin besar dalam
menjalankan roda kepemimpinan, handayani hanyakra purana senantiasa memberi motifasi
pada bawahan, madya hanyakrabawa dekat dengan rakyat dan selalu terlibat dalam pelaksanaan
pengambilan keputusan, ngarsa hanyakrabawa menjadi teladan bagi rakyatnya, ngarsa bala
wicara menggunakan cara yang cerdas, kreatif dan inofatif dalam menjalankan kepemimpinan,
ngarsa dana upaya memiliki pengabdian dan pengorbanan yang besar demi rakyat dan negara.
Selain peninggalan ajaran Gadjah Mada, seorang pemimpin yang baik, menurut falsafah jawa
adalah mereka yang mau meneladani perwatakan alam atau ajaran hasta brata. Yaitu ajaran yang
dipetik dari serat rama jarwa yaitu ajaran keteladanan kepemimpinan delapan Dewa yakni, Dewa
Endra, Dewa Surya, Dewa Bayu, Dewa Kumara, Dewa Baruna, Dewa Yama, Dewa Candra, dan
Dewa Brama.

Ajaran hasta brata terdiri dari delapan perwatakan alam, seorang pemimpin harus; (1) berwatak
bumi, seorang pemimpin harus suka berderma, memberi dan menerima sebagaimana watak
bumi (2) berwatak air, seorang pemimpin harus punya sikap rendah hati, tenang, dan lemah
lembut (3) berwatak angin, seorang pemimpin harus mengerti persoalan masyarakat, karena ia
akan menghadapi berbagai persoalan dan kebijakan penting (4) berwatak lautan, pemimpin
harus luas hati, siap menerima keluhan dan siap menerima beban yang berat tanpa keluh kesah
(5) berwatak rembulan, pemimpin harus selalu memberi penerangan pada siapa pun dengan
keindahan religiusitas dan spiritualitas (6) berwatak matahari, pemimpin harus memberi daya,
energi, kekuatan atau power terhadap rakyatnya (7) berwatak api, pemimpin harus selalu bisa
menyelesaikan masalah dengan adil dan tidak pilih kasih dan (8) berwatak binatang, seorang
pemimpin harus mempunyai kepribadian luhur dan cita-cita yang tinggi (Arwan Tuti Artha,
Satria Pinili, hlm. 12-15).

Dimana ajaran hasta brata ini merupakan ajaran yang diberikan oleh Prabu Rama Wijaya kepada
Prabu Wibisana sebelum naik takhta ke kerajaan Alengka. Dan delapan ajaran hasta brata
tersebut dijadikan sebagai pedoman bagi perilaku raja-raja besar agar seorang pemimpin
menjadi sosok pemimpin yang adil, berwibawa, arif dan bijaksana.

Ajaran falsafah jawa tentang kriteria pemimpin ini mungkin bisa menjadi solusi baru untuk
memberikan pendidikan politik bagi rakyat agar rakyat tidak lagi sembrono dan bisa menimbang
secara matang dalam menetapkan sosok pemimpin yang sempurna, terutama pada Pilpres 2009
nanti, yang sejauh ini masih tarik ulur wacana antara sosok pemimpin muda dan pemimpin tua
dalam kepemimpinan Indonesia mendatang.

*) Moh Yasin, Peneliti pada Pusat Studi Islam dan Kenegaraan PSIK-Paramadina, Mahasiswa
Pasca Sarjana ICAS-Paramadina, Jakarta. A Branch of ICAS-London.

Anda mungkin juga menyukai