alam masa sekarang obsesi pergulatan antar partai dipertaruhkan, dimana money
politic bebas berkeliaran hanya untuk mendapatkan kursi jabatan di pemerintahan.
Hadith diibaratkan Seorang pemimpin merupakan tonggak ( tiang ) utama untuk
kesejahteraan rakyatnya.
Sosok Umar bin khattab yang bergelar Al-Faruq yang semasa hidupnya diwarnai
dengan peperangan pembebasan negeri-negeri islam dan penerapan peraturan dalam suatu
pemerintahan, Umar bin Khattab tampil sebagai pemimpin yang berani dalam
memperjuangkan kebenaran, pemimpin yang teguh dalam membedakan yang benar dan
bathil. Keteguhannya dalam menaklukkan Palestina, ketika berada di Yerussalem. Umar bin
Khattab memberikan toleransi, kebijaksanaan, dan tidak membedakan adanya perbedaan
keyakinan, dan perdamaian Muslim, Nasrani, dan Yahudi yang menjadikan ketiganya hidup
berdampingan meski dengan aturan Islam.Salahudin diceritakan mengalahkan tentara perang
Salib dalam pertempuran Hattin, penggambaran sosok Salahudin yang arif dan adil kepada
masyarakat non-muslim dengan pembebasan meski masyarakat muslim telah banyak yang
menjadi korban akibat kekejaman dari masyarakat zionis yang membunuh secara keji dan
tidak berperikemanusiaan terhadap masyarakat muslim, atau pada masa
kesultanan Ottoman yang diperintah dengan sistem bangsa (millet) yang gambaran dasarnya
bahwa yang berbeda keyakinan diizinkan hidup menurut keyakinan dan system hukumnya
sendiri, meskipun Kesultanan Ottoman adalah negara Islam yang diatur oleh orang-orang
Islam, kesultanan tidak ingin memaksa rakyatnya untuk memeluk Islam. Sebaliknya
kesultanan ingin memberikan kedamaian dan keamanan bagi orang-orang non-Muslim dan
memerintah mereka dengan cara sedemikian sehingga mereka nyaman dalam aturan dan
keadilan Islam.
Andai para pemimpin kita menjelma sosok Umar bin khattab? Pemimpin yang bisa
melihat nasib para rakyatnya, pemimpin yang berani memberontak kekufuran golongan
penindas, sehingga tak seorangpun terdzolimi. Namun realitasnya kehidupan lagaknya
berbanding terbalik dengan masa kepemimpinan pada masa Rasulullah dan para sahabat-
sahabatnya. Kemiskinan semakin terpuruk, Pendidikan yang tidak merata, petani menjerit
dengan hasil pertanian impor lebih membumi di negaranya sendiri, sedang hasil pertanian
lokal drastis anjlok kalah saing dengan harga barang impor yang jauh lebih murah. bahkan
kaum elit lagaknya semakin berkuasa dijagat persaingan bisnis dan ekonomi, para penguasa
tertawa dengan parlentenya.
Menelitik masa kejayaan Susilo Bambang Yudhono, yang tercatat sudah menjabat
dua periode jabatan, dalam kepemimpinannya yang sedikit banyak mengalami pasang surut
dalam perkembangan di segala sector ekonomi, pendidikan, dan keamanan meski tidak
signifikan. Demokrasi sebagai kekuatan untuk mengambil hati rakyat, bahkan Obama pernah
memberikan apresiasi terhadap politik Demokrasi yang diusung presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, meski banyak pejabat yang terlibat dengan skandal hukum. Dalam
kepemimpinan presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tak sedikit kasus korupsi yang terkuak
oleh KPK meski kenyataannya dalam beberapa kasus dinilai lamban dalam penangannya,
sehingga beberapa penyelidikan kasus korupsi yang dilakukan oleh para pejabat negeri terjadi
kesimpangsiuran berita. Mayoritas dari pelaku yang terlibat skandal korupsi diantaranya
bebas bersyarat, yang kemudian memunculkan masalah baru dengan adanya politik uang
mafia hukum di badan penegakan hukum itu sendiri. Paradigma politik pada masa Rasulullah
dan sahabat-sahabatnya saat menjabat khalifah seharusnya menjadi acuan dan pedoman
dalam memimpin kasanah perpolitikan dan kekuasaan di negeri yang tercinta ini.
Kepemimpinan sosok Umar bin Khattab mengingatkan kita pada rakyat China,
dimana kekuasaan dibawah pimpinan Hu Cin Tao yang bertekad memberantas korupsi di
negaranya dengan mengumumkan akan mempersiapkan seribu peti mati untuk pelaku
pencurian uang di negara tersebut. Dalam buku The China Business Handbook disebutkan,
pada tahun 2003 sebanyak 4.300 kasus diungkap dan sebagian divonis hukuman mati.
Kebijakan itu menjadi China mengalami kemajuan dan perkembangan ekonomi yang pesat
serta diperkirakan akan menjadi negara adidaya di dunia internasional. Pemimpin China yang
memanifestasikan masyarakatnya dengan kearifan lokal yang menjadikan kekuasaannya
sebagai amanah rakyat bukan sebagai mendongkrak langkah untuk jalan investasi untuk
menambah pundi-pundi kekayaan. Subhanallah, suatu perubahan yang patut di contoh bagi
pemimpin-pemimpin di dunia.
Semar yang digambarkan dalam mitologi jawa sebagai sosok yang mampu
menerapkan falsafah kepemimpinan yang berhasil memajukan bangsa, sebagai simbol sosok
pemimpin ideal, yang memiliki sifat rendah hati dan tidak serakah. Paribasan yang berwujud
falsafah kebatinan bagi masyarakat Jawa denta denti kusuma warsa sarira cakra.
Penggambaran hakikat dari keadilan menurut pandangan orang Jawa, yang benar tidak dapat
disalahkan, yang salah tidak boleh dibenarkan. Sayangnya, Pemimpin di masa kini bersikap
apatis terhadap dengan paribasan ini. Ketika kepentingan muncul, asalkan ada uang dan
kekuasaan, yang benar dapat menjadi salah, yang salahpun dapat menjadi benar.
( naudzubillah )
Seorang pemimpin/Ulil Amri merupakan figur, yang mana seorang pemimpin harus
mempunyai sifat sifat yang arif, bijaksana, sabar, tegas, adil, penuh perhitungan dalam setiap
mengambil keputusan antara manfaat maupun madhorot terhadap rakyatnya. Seorang
pemimpin harus bertanggung jawab dalam menjalankan tugas yang diembannya. Namun
sebagai rakyat juga harus taat kepada pemimpin athiullaaha wa athiiurrosuula wa ulil
amri minkum taatlah kepada allah, taat kepada rosulmu, dan para pemimpin diantara
kamu.
Pemilukada adalah satu mekanisme demokrasi untuk melahirkan pemimpin
yang betul-betul memiliki karakter dan bisa memimpin rakyatnya
dengan seadil-adilnya.
Ciri-ciri pemimpin muslim sejati adalah tidak tirani, adil dan tidak korup.
Sebab seorang pemimpin negara dalam Islam adalah Khalifah an-
Nubuwwah, artinya menggantikan tugas Nabi SAW baik dalam urusan
duniawi, agama maupun negara. Ia harus mengerti ilmu agama
sekaligus politik.
Ciri kepemimpinan Rasul ini menurut para ulama harus dimiliki karena,
seorang pemimpin dalam perspektif Islam berposisi sebagai Khalifah
al-Nubuwwah.
Dalam Dinasti Umayyah, sosok Umar bin Abdul Aziz, yang masyur
dengan julukan Umar Kedua karena sifat dan karakternya mewarisi
Umar bin Khattab RA, terkenal dengan zuhud dan wara-nya.
Kekhilafahannya saat itu mencapai zaman keemasan akan tetapi ia
tidak larut dan lalai menikmati kekayaan negaranya.
Syarat ini oleh Imam al-Mawardi disebut adalah, seorang kafir juga
tidak sah menjadi kepala negara, sebagaimana dijelaskan dalam surat
al-Nisa: 141.
Jika pemimpin itu seorang muslim yang istiqamah dan bertakwa, maka
dalam menjalankan kepemimpinan ia pasti amanah. Persyaratan
selanjutnya adalah merdeka, (bukan budak), karena seorang pemimpin
tidak boleh di bawah bayang-bayang kekuasaan orang lain.
Pasca kemerdekaan RI 1945, estafet kegagalan kepemimpinan negara Indonesia tidak pernah
mengalami titik terang, mulai dari kegagalan politik dan ekonomi di era pemerintahan Sukarno,
kegagalan tinggal-landas di era pemerintahan Suharto, serta kegagalan demokratisasi dan
lunturnya ideologi di tangan para pemimpin Indonesia era reformasi hingga sekarang.
Berkali-kali pesta demokrasi digelar di negeri ini, menghabiskan APBN terilyunan rupiyah,
namun rakyat tak kunjung menemukan sosok pemimpin yang bisa membawa pada kedamaian,
kesejahteraan, keadilan, kemakmuran, dan sekaligus menjadi teladan atau panutan rakyat. Yang
ada hanya ritual pergantian pemimpin yang diwarnai dengan kecurangan, kekerasan, suap
menyuap, dan sikap ketidak dewasaan dalam berpolitik. Meminjam istilah Olle Tornquist, proses
demokrasi di Indonesia sejauh ini, hanya menghasilkan Demokrasi Kaum Penjahat, dengan
melahirkan para negarawan yang lebih menonjolkan kepentingan pribadi dan golongan
ketimbang kepentingan rakyat sebagai pemilik kedaulatan.
Proses demokrasi yang buruk tersebut tak lepas dari kecenderungan masyarakat Indonesia yang
masih rendah akan pendidikan politik, sehingga tidak mau berpikir panjang dalam menjatuhkan
pilihan sosok pemimpin dalam sebuah penyelenggaraan pesta demokrasi. Rakyat masih mudah
tertipu dengan hal-hal yang bersifat iming-iming, janji-janji manis, dan pemberian imbalan
materi yang bersifat sesaat.
Seolah masyarakat lupa bahwa falsafah jawa telah memberi petunjuk yang jelas mengenai
kriteria seorang pemimpin yang bisa membawa nusantara ini pada kemakmuran dan
kesejahteraan rakyatnya.
Falsafah jawa mengajarkan bahwa seseorang akan menjadi pemimpin jika ia mendapatkan
wahyu kedaton. Raja-raja kerajaan jawa mendapatkan wahyu kedaton berkah dari kekuatannya
yang luar biasa, raja tidak lain adalah para super jago atau orang pilihan. Dalam konteks
negara demokrasi, Raja tidak lain adalah Presiden. Sementara wahyu yang harus didapat dari
Presiden adalah berupa dukungan rakyat mayoritas, untuk itu wahyu Presiden tidak lain adalah
rakyat, karena dalam sistem demokrasi suara rakyat adalah suara Tuhan.
Lantas siapakah yang berhak menjadi seorang pemimpin? Siapakah yang berhak mendapatkan
wahyu berupa dukungan rakyat mayoritas? Falsafah jawa mengajarkan bahwa kepemimpinan
bukan monopoli beberapa orang, sebab Tuhan memberi kesempatan kepada siapa saja. Untuk
itu yang berhak menjadi seorang pemimpin adalah mereka yang selalu berupaya, berusaha, dan
berjalan menuju kesempurnaan. Orang yang demikianlah nantinya yang berhak menjadi
pemimpin..
Tepat pada tahun 2009, rakyat Indonesia akan dihadapkan pada persoalan menentukan
pemimpin baru untuk periode lima tahun. Agar rakyat tidak lagi keliru dalam menentukan
pemimpin, ada beberapa kriteria dan konsep dalam kepemimpinan jawa yang kiranya perlu
diperhatikan oleh masyarakat Indonesia. Dimana kriteria dan konsep tersebut dapat ditafsirkan
dan dirumuskan dalam konteks negara modern atau negara penganut demokrasi.
Dalam Serat Wulang Reh dijelaskan bahwa seorang pemimpin apabila tidak memahami tanda-
tanda kehidupan kepemimpinannya cenderung tidak punya arah. Pemimpin yang demikian
cenderung cinta dan mengabdikan hidupnya hanya pada kekuasaan, harta, dan jabatan. Bahkan
buta akan kesejahteraan, kedamaian, kemakmuran dan keadilan rakyatnya.
Gadjah Mada, orang yang sukses membawa kemajuan Nusantara,--mengerti akan apa arti
sebuah kepemimpinan, bagaimana cara membangunnya dan bagaimana cara menjalankan
kepercayaan, telah memberi peninggalan pada masyarakat jawa mengenai sosok pemimpin
ideal dan kunci kerberhasilan sebuah negara. Menurutnya pemimpin besar harus memiliki enam
kriteria, abhikamika simapatik, prajna arif dan bijaksana, ustada proaktif, atmasampat
berkepribadian luhur, sakya samanta bisa mengontrol, aksuda parisakta akomodatif dan cerdik
dalam berunding, dan stabilitas adalah kunci keberhasilan membangun sebuah negara.
Gadjah Mada juga mewariskan lima cara yang harus dimiliki seorang pemimpin besar dalam
menjalankan roda kepemimpinan, handayani hanyakra purana senantiasa memberi motifasi
pada bawahan, madya hanyakrabawa dekat dengan rakyat dan selalu terlibat dalam pelaksanaan
pengambilan keputusan, ngarsa hanyakrabawa menjadi teladan bagi rakyatnya, ngarsa bala
wicara menggunakan cara yang cerdas, kreatif dan inofatif dalam menjalankan kepemimpinan,
ngarsa dana upaya memiliki pengabdian dan pengorbanan yang besar demi rakyat dan negara.
Selain peninggalan ajaran Gadjah Mada, seorang pemimpin yang baik, menurut falsafah jawa
adalah mereka yang mau meneladani perwatakan alam atau ajaran hasta brata. Yaitu ajaran yang
dipetik dari serat rama jarwa yaitu ajaran keteladanan kepemimpinan delapan Dewa yakni, Dewa
Endra, Dewa Surya, Dewa Bayu, Dewa Kumara, Dewa Baruna, Dewa Yama, Dewa Candra, dan
Dewa Brama.
Ajaran hasta brata terdiri dari delapan perwatakan alam, seorang pemimpin harus; (1) berwatak
bumi, seorang pemimpin harus suka berderma, memberi dan menerima sebagaimana watak
bumi (2) berwatak air, seorang pemimpin harus punya sikap rendah hati, tenang, dan lemah
lembut (3) berwatak angin, seorang pemimpin harus mengerti persoalan masyarakat, karena ia
akan menghadapi berbagai persoalan dan kebijakan penting (4) berwatak lautan, pemimpin
harus luas hati, siap menerima keluhan dan siap menerima beban yang berat tanpa keluh kesah
(5) berwatak rembulan, pemimpin harus selalu memberi penerangan pada siapa pun dengan
keindahan religiusitas dan spiritualitas (6) berwatak matahari, pemimpin harus memberi daya,
energi, kekuatan atau power terhadap rakyatnya (7) berwatak api, pemimpin harus selalu bisa
menyelesaikan masalah dengan adil dan tidak pilih kasih dan (8) berwatak binatang, seorang
pemimpin harus mempunyai kepribadian luhur dan cita-cita yang tinggi (Arwan Tuti Artha,
Satria Pinili, hlm. 12-15).
Dimana ajaran hasta brata ini merupakan ajaran yang diberikan oleh Prabu Rama Wijaya kepada
Prabu Wibisana sebelum naik takhta ke kerajaan Alengka. Dan delapan ajaran hasta brata
tersebut dijadikan sebagai pedoman bagi perilaku raja-raja besar agar seorang pemimpin
menjadi sosok pemimpin yang adil, berwibawa, arif dan bijaksana.
Ajaran falsafah jawa tentang kriteria pemimpin ini mungkin bisa menjadi solusi baru untuk
memberikan pendidikan politik bagi rakyat agar rakyat tidak lagi sembrono dan bisa menimbang
secara matang dalam menetapkan sosok pemimpin yang sempurna, terutama pada Pilpres 2009
nanti, yang sejauh ini masih tarik ulur wacana antara sosok pemimpin muda dan pemimpin tua
dalam kepemimpinan Indonesia mendatang.
*) Moh Yasin, Peneliti pada Pusat Studi Islam dan Kenegaraan PSIK-Paramadina, Mahasiswa
Pasca Sarjana ICAS-Paramadina, Jakarta. A Branch of ICAS-London.