Anda di halaman 1dari 7

16

BAB 3
KARAKTERISTIK JALAN

Jalan merupakan salah satu elemen lalu lintas disamping pemakai jalan dan kendaraan.
Sebagai tempat berjalannya lalu lintas elemen ini harus direncanakan dengan baik sesuai
dengan standar disain yang telah ditetapkan. Di Indonesia standar yang berlaku adalah
standar dari Bina Marga yang merupakan adopsi dari sistem yang dipakai di Amerika yakni
sistem AASHTO (American Association of State Highway and Transportation Officials) yang
telah dimodifikasi dengan kondisi Indonesia.
Disain geometrik jalan raya yang baik mampu memberikan pelayanan : keselamatan,
kenyamanan, efisiensi, kelancaran lalu lintas, serta efek sosial, dan dampak lingkungan
berpegang paling tidak pada empat konsep yakni: lokasi, disain alinemen, efek terhadap
potongan melintang jalan, serta klasisfikasi fungsi jalan dan tingkat akses jalan.

3.1. PEMAHAMAN TERHADAP LOKASI DISAIN


Rute yang baik akan mampu memberikan keuntungan pada pemakai jalan, tidak
menimbulkan gejolak sosial, dan berdampak lingkungan rendah. Data-data berikut ini
merupakan informasi penting yang diperlukan untuk kepentingan perancangan dan
perencanaan jalan,
yaitu:
1. Tata guna lahan (land use), distribusi pergerakan penduduk, dan tingkat kepadatan
penduduk.
2. Struktur geologi lingkungan.
3. Potensi ke depan dari lokasi: pabrik, pertanian, pemukiman, atau pariwisata.
4. Kondisi jalan-jalan yang sudah ada (existing roads) yang melayani area tersebut.
5. Kegunaan /utilitas (utility) area dan fasilitas yang sudah ada.
6. Peta dari area.

3.2. DISAIN ALINEMEN DAN POTONGAN JALAN


Disain alinemen jalan, baik alinemen horisontal maupun alinemen vertikal, yang diwujudkan
dalam bentuk penentuan rute adalah faktor utama untuk menentukan tingkat keamanan dan
efisiensi yang sangat dipengaruhi oleh kondisi topografi lokasi, karakteristik dari jalan, dan
fungsi jalan.
Sedangkan dalam perancangan alinemen vertikal inti pokok pembahasannya adalah
bagaimana mendisain jalan yang baik dalam arah vertikal yang memenuhi syarat-syarat
kelandaian dan panjang kritis, menentukan jari-jari lengkung vertikal agar memenuhi jarak
pandangan pengemudi, memberikan variasi kelandaian jalan dari satu kelandaian ke
kelandaian berikutnya agar harmonis dan aman.
Disain alinemen horisontal dan vertikal merupakan dua hal yang saling terkait dan tidak
dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya sehingga koordinasi diantara kedua alinemen
harus dipadukan dengan seksama. Disain jalan merupakan bentuk tiga dimensi yang
merupakan perpaduan antara keduanya. Tidak menutup kemungkinan bahwa disain alinemen
horisontal harus dirubah manakala tidak ditemukan perpaduan yang harmonis dari keduanya.
Banyak hal yang memungkinkan hal itu misalnya jika tikungan horizontal (tikungan tajam)
berada dalam satu lokasi dengan lengkung vertikal cembung maka mutlak harus dilakukan
rute ulang. Demikian pula pemaksaan terhadap disain horizontal, misalnya agar diperoleh
jalan yang selurus mungkin pada daerah kontur pegunungan, akan dapat menyebabkan
17

kelandaian vertikal yang melampaui batas atau panjang kritis yang terlampaui. Dan jika hal itu
tidak dirubah berarti akan membuat disain yang tidak efisien dan tidak stabil akibat adanya
timbunan yang sangat tinggi.
Sebelum menentukan rute yang merupakan perpaduan antara alinemen horisontal dan
alinemen vertikal, perancang harus perpegang pada klasifikasi fungsi jalan yang akan dibuat:
apakah itu jalan lokal, kolektor, atau arteri karena hal itu akan sangat menentukan pada
kriteria disain. Masing-masing kelas jalan mempunyai spesifikasi yang berbeda baik pada
lebar jalan, kelandaian, kecepatan rencana, dan fasilitas-fasilitas lainnya seperti bahu jalan,
jalur lambat, atau jalur pejalan kaki. Untuk kepentingan itu maka dalam menentukan rute
harus selalu mengingat pada klasifikasi jalan yang masing-masing memiliki fasilitas dan disain
kriteria yang berbeda. Disainer harus mengerti akan kondisi potongan melintang jalan (cross
section) secara pasti pada setiap titik dalam rute yang dilaluinya agar dapat memastikan
apakah bagian kiri-kanan jalan itu cukup untuk menyediakan fasilitas-fasilitas yang harus
dipenuhi seperti bahu jalan ataupun saluran drainase.

3.3. KLASIFIKASI FUNGSI JALAN


Menurut PP No. 26 Th.1985 Tentang Jalan, sistem jaringan jalan dibagi dalam 2 kategori yakni
sistem jaringan primer dan sistem jaringan sekunder
1. Sistem Jaringan Primer
a. Sistem jaringan primer disusun mengikuti ketentuan pengaturan tata ruang dan
struktur pengembangan wilayah tingkat nasional yang menghubungkan simpul-simpul
jasa distribusi sebagai berikut:
- Dalam satu Satuan Wilayah Pengembangan menghubungkan secara menerus kota
jenjang kesatu, kota jenjang kedua, kota jenjang ketiga, dan kota jenjang di bawahnya
sampai ke persil.
- Menghubungkan kota jenjang ke satu dengan kota jenjang ke satu antar Satuan
Wilayah Pengembangan.
b. Jalan Arteri Primer: menghubungkan kota jenjang ke satu yang terletak
berdampingan atau menghubungkan kota jenjang ke satu dengan kota jenjang kedua.
c. Jalan Kolektor Primer: menghubungkan kota jenjang ke dua dengan kota jenjang
kedua atau menghubungkan kota jenjang ke dua dengan kota jenjang ketiga.
d. Jalan Lokal Primer: menghubungkan kota jenjang ke satu dengan persil atau kota
jenjang kedua dengan persil atau menghubungkan kota jenjang ke tiga dengan kota
jenjang ke tiga, kota jenjang ke tiga dengan kota jenjag di bawahnya, kota jenjang ketiga
dengan persil, atau kota di bawah jenjang ke tiga dengan persil

Maksud Penjenjangan Kota


Penjenjangan kota yang dimaksudkan adalah pengelompokan kota ditinjau dari segi
pembinaan jaringan jalan, dan bukan pembagian kota berdasarkan kelas-kelasnya sesuai
dengan UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, dengan
kriteria berikut.
1). Kota Jenjang ke satu: adalah kota yang berperan melayani seluruh satuan wilayah
pengembangannya, dengan kemampuan pelayanan jasa yang paling tinggi dalam
satuan wilayah pengembangannya serta memiliki orientasi ke luar wilayahnya.
2). Kota Jenjang ke dua: kota yang berperan melayani sebagian dari satuan wilayah
pengembangannya, dengan kemampuan pelayanan jasa yang lebih rendah dari kota
18

jenjang ke satu dalam satuan wilayah pengembangannnya dan terikat jangkauan


jasa ke kota jenjang kedua serta memiliki orientasi ke kota jenjang ke satu.
3). Kota Jenjang ke tiga: kota yang berperan melayani sebagian dari satuan wilayah
pengembangannya, dengan kemampuan pelayanan jasa yang lebih rendah dari kota
jenjang ke dua dalam satuan wilayah pengembangannnya dan terikat jangkauan jasa
ke kota jenjang kedua serta memiliki orientasi ke kota jenjang ke dua dan kota
jenjang ke satu.
Tabel 3.1. Hubungan antar hierarki kota dengan peranan ruas
jalan
Dalam sistem Jaringan Primer

KOTA JENJANG I JENJANG II JENJANG III PERSIL

JENJANG I Arteri Arteri - Lokal

JENJANG II Arteri Kolektor Kolektor Lokal

JENJANG III - Kolektor Lokal Lokal

Sumber:
PERSIL Departemen
Lokal Perhubungan,1993,
Kolektor Peraturan
Lokal Pemerintah
Lokal Republik
Indonesia Nomor 43 Tahun 1993 Tentang Prasarana dan Lalu-lintas Jalan,
Jakarta

2. Sistem Jaringan Sekunder


a. Sistem Jaringan Sekunder disusun mengikuti mengikuti ketentuan pengaturan tata
ruang kota yang menghubungkan kawasan-kawasan yang mempunyai fungsi primer,
fungsi sekunder ke satu, fungsi sekunder ke dua, fungsi sekunder ke tiga sampai ke
perumahan.
b. Jalan Arteri Sekunder: menghubungkan kawasan primer dengan kawasan sekunder ke
satu atau menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder ke
satu atau menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder ke
dua.
c. Jalan Kolektor Sekunder: menghubungkan kawasan sekunder ke dua dengan kawasan
sekunder ke dua atau menghubungkan kawasan sekunder ke dua dengan kawasan
sekunder ke kedua.
d. Jalan Lokal Sekunder: menghubungkan kawasan sekunder ke satu dengan perumahan,
menghubungkan kawasan sekunder ke dua dengan perumahan, kawasan sekunder ke
tiga dan seterusnya ke perumahan.

Tabel 3.2. Hubungan antar kawasan kota dengan peranan


ruas jalan
Dalam sistem Jaringan Sekunder

KAWASAN PRIMER SEKUNDER SEKUNDER SEKUNDER PERU-


I II III MAHAN

PRIMER - Arteri - - -

SEKUNDER I Arteri Arteri Arteri - Lokal

SEKUNDER II - Arteri Kolektor Kolektor Lokal

SEKUNDER III - - KOlektor - Lokal

PERUMAHAN - Lokal Lokal Lokal -


19

Sumber: Departemen Perhubungan,1993, Peraturan Pemerintah Republik


Indonesia Nomor 43 Tahun 1993 Tentang Prasarana dan Lalu-lintas Jalan,
Jakarta

Maksud Kawasan
Kawasan adalah wilayah yang dibatasi oleh lingkup pengamatan fungsi tertentu,
meliputi:
1). Kawasan Primer: kawasan kota yang mempunyai fungsi primer.
2). Kawasan Sekunder: kawasan kota yang mempunyai fungsi sekunder.
3). Fungsi Primer suatu kota adalah sebagai titik simpul jasa distribusi bagi daerah
jangkauan peranannya.
4). Fungsi Sekunder suatu kota dihubungkan dengan pelayanan terhadap warga kota itu
sendiri yang lebih berorientasi ke dalam dan jangkauan lokal.

3.4. HIRARKI JALAN


Menurut wewenang pembinaan, jalan dikelompokkan sbb:
1. Jalan Nasional
2. Jalan Propinsi
3. Jalan Kabupaten
4. Jalan Kotamadya
5. Jalan Khusus

3.4.1. Jalan Nasional


Yang termasuk dalam kelompok Jalan Nasional adalah:
1. Jalan Arteri Primer
2. Jalan Kolektor Primer yang menghubungkan antar ibukota propinsi
3. Jalan-jalan lain yang mempunyai nilai strategis terhadap kepentingan nasional, tidak
dominan terhadap pengembangan ekonomi namun mempunyai peranan menjamin
kesatuan dan keutuhan nasional seperti pada daerah-daerah rawan
4. Penetapan status Jalan Nasional adalah Keputusan Menteri

3.4.2. Jalan Propinsi


Yang termasuk dalam kelompok Jalan Propinsi adalah:
1. Jalan Kolektor Primer yang menghubungkan antara ibukota propinsi dengan ibukota
kabupaten/kotamadya.
2. Jalan Kolektor Primer yang menghubungkan antar ibukota kabupaten/ kotamadya.
3. Jalan-jalan lain yang mempunyai nilai strategis terhadap kepentingan propinsi, tidak
dominan terhadap pengembangan ekonomi namun mempunyai peranan menjamin
terselenggaranya pemerintahan Dati I dan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan sosial
lainnya.
4. Penetapan status Jalan Nasional adalah Keputusan Menteri Dalam Negeri atas usul Pemda
Dati I serta memperhatikan pendapat Menteri PU.
20

3.4.3. Jalan Kabupaten


Yang termasuk dalam kelompok Jalan Kabupaten adalah:
1. Jalan Kolektor Primer yang tidak termasuk dalam kelompok Jalan Nasional dan Jalan
Propinsi di atas.
2. Jalan Lokal Primer
3. Jalan Sekunder lain selain yang tercantum alam kelompok Jalan Nasional dan Jalan Propinsi
di atas.
4. Penetapan status Jalan Nasional adalah Keputusan Gubernur Kepala Dati I atas usul
Pemda Dati II serta memperhatikan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.

3.4.4. Jalan Kotamadya


Yang termasuk dalam kelompok Jalan Kotamadya adalah:
1. Jalan sekunder di dalam kota
2. Penetapan status ruas Jalan Arteri Sekunder sebagai Jalan Kotamadya dilakukan dengan
Keputusan Gubernur Kepala Dati I atas usul Pemda Dati II serta memperhatikan pedoman
yang ditetapkan oleh Menteri.
3. Penetapan status ruas Jalan Kolektor Sekunder sebagai Jalan Kotamadya dilakukan dengan
Keputusan Gubernur Kepala Dati I atas usul Pemda Dati II serta memperhatikan pedoman
yang ditetapkan oleh Menteri.
4. Penetapan status ruas Jalan Lokal Sekunder sebagai Jalan Kotamadya dilakukan dengan
Keputusan Walikotamadya Dati II.

3.4.5. Jalan Khusus


Yang termasuk dalam kelompok Jalan Khusus adalah:
1. Jalan yang dibangun dan dipelihara oleh Instansi/Badan Hukum/Perorangan untuk
melayani kepentingan masing-masing
2. Penetapan status ruas Jalan Khusus dilakukan oleh Instansi/Badan Hukum/Perorangan
yang memiliki ruas jalan tersebut dengan memperhatikan pedoman yang ditetapkan oleh
Menteri.

3.5. TINGKAT AKSES JALAN

Jalan dan Jalan Raya merupakan prasarana lalu lintas untuk melakukan pergerakan dari moda
transportasi dengan dua fungsi yang berbeda, yakni:
1. Untuk pergerakan menerus (through movement)
2. Untuk menyediakan akses ke persil/pemukiman (land access)

Kedua fungsi di atas sangat vital tidak dapat dipisah meskipun berbanding terbalik
kepentingannya. Setiap perjalanan dimulai dan berakhir dengan memakai kedua fungsi
tersebut, sehingga perlu semacam jenjang antara (interface) kapan kendaraan boleh
memasuki suatu kawasan dengan memakai prinsip pembatasan akses jalan sesuai fungsi
jalan: Utama (Arteri), Kolektor, dan Lokal.
Gambar 3.1. berikut memberikan gambaran tentang suatu konsep perjalanan yang benar
dengan memakai prinsip akses suatu jalan. Gambar 3.2. memberikan gambaran tentang
21

klasifikasi fungsi jalan dan tingkat akses jalan. Jalan arteri merupakan jalan dengan tingkat
mobilitas yang tinggi, membutuhkan perencanaan dengan tingkat akses jalan serendah
mungkin. Sebaliknya jalan lokal memberikan tingkat akses yang besar sehingga mobilitas yang
terjadipun sangat rendah.

Home Jalan
Jalan
Kolektor
Lokal

Transisi Arteri
Office
Transisi Jalan
Lokal

Jalan
Kolektor

Sumber: American Association of State Highway and Transportation Officials A Policy


on Geometric Design of Highways and Streets, AASHTO, Washington DC, 1984
Gambar 3.1. Tipikal Pergerakan Asal Tujuan

Sedangkan Gambar 3.3. meberikan ilustrasi kondisi jaringan jalan di perkotaan maupun di
daerah pinggir kota. Untuk jalan di daerah antar kota persentase panjang jalan pada Tabel 3.3.

Sumber: American Association of State Highway and Transportation Officials A


Policy on Geometric Design of Highways and Streets, AASHTO, Washington
DC, 1984
Gambar 3.2. Klasifikasi Fungsi Jalan dan Tingkat
Pelayanan yang disediakan
22

Gambar 3.3. Klasifikasi Jalan di Perkotaan dan Antarkota


Sumber: American Association of State Highway and Transportation Officials A
Policy on Geometric Design of Highways and Streets, AASHTO, Washington
DC, 1984

Tabel 3.3. Persentase Panjang Jalan sesuai kelas

System Panjang Jalan ( %)

Sistem Arteri 24
Sistem Arteri dan Arteri Minor 6 12
Jalan Kolektor 20 25
Jalan Lokal 65 - 75
Sumber: American Association of State Highway and Transportation Officials A
Policy on Geometric Design of Highways and Streets, AASHTO, Washington
DC, 1984

Anda mungkin juga menyukai