Anda di halaman 1dari 4

Penjara, siksa dan hinaan tidak akan pernah bisa menghilangkan keluhuran budi.

akal
bulus pengusasa saat itu, mereka adalah orang orang yang berjuang fi sabilillah
hizbullah. tangan Imam Malik menjadi kaku tidak dapat diangakat. meski demikian
beliau memaafkan orang-orang memukulinya mangatakan 70 kali. serta ada pula
menyebutkan lebih dari itu. Sebagian perawi menyebutkan, penyebab Imam Malik
dipukul dikarenakan fatwa, bahwa pengangkatan Abu Jafar sebagai Khalifah tidak sah
karena melalui paksaan.

menjebloskan Abu Hanifah ke penjara selama dua minggu dengan harapan, berubah
fikiran. Selama dalam penjara, Abu Hanifah dicambuk 10 kali setiap hari selama 10
hari, hampir saja beliau meninggal karena kerasnya siksaan yang ia terima. Namun,
Allah berkata lain, Justru dinasti Umawiyah tumbang akibat kezalimannya yang
melampau batas itu.

jabatan qadhi

Para ulama inilah yang seyogyanya menjadi panutan bagi kita semua dan sekaligus
menjadi role model dalam membentuk pribadi yang berkarakter dan beradab. Ulama
harus menjadi penasihat untuk pemerintah dan bahkan penentang jika penguasa
melenceng dari aturan Islam yang bersumber dari Alquran dan hadis. Wallahu A'lam!

seorang tiran yang zhalim harus diperangi, tak peduli apakah ia Umawiyah atau
Abbasiyah.

ulama di bawah ini adalah sosok teladan yang harus dijadikan panutan di tengah
hingar-bingarnya suasana politk saat ini

Seakan sudah menjadi sebuah konsensus jika tahun 2013-2014 adalah tahun politik di
Indonesia, sehingga tak ada yang membantah pendapat tersebut. Benar atau tidaknya
pendapat di atas, yang jelas suhu politik sejak awal tahun ini telah memanas dan
tak pernah redup. Untuk kalangan lokal, di Sulawesi Selatan, tempat penulis
berdomisili, politik di daerah ini seakan tak mengenal tahun, dan sepertinya para
pemimpin hanya sibuk mengurusi politik dan menguras harta negara yang hakikatnya
milik rakyat dari waktu ke waktu bukan sibuk mengurus rakyat atau makin mendekatakn
diri pada Allah. Para pengambil kebijakan yang notabene-nya adalah pelayan rakyat
itu, justru kian hari kian menjadi musuh rakyat. Kalau pun terpaksa muncul di
tengah kaum jelata, itu pasti ada maksud dan tujuan yang terselip. 'Ada udang di
balik batu'. Demikian kata pepatah!

Kembali ke tahun politik. Saya selaku warga negara Republik Indonesia yang masih
ditakdirkan menetap di Makassar, sebuah kota lama yang masyhur dan tertulis dalam
buku-buku Asing, mulai dari Munjid fi Al-Lughah wal Alam, hingga tulisan-tulisan
orang Potugis seperti Alexander De Rhodes sebagaimana dikutif oleh Leonado Y Andaya
dalam, The Heritage of Arung Palakka: A History of South Sulawesi (Celebes) in
Seventeeth Century, 2004. Pendek kata, kata Makassar adalah sebuah jaminan akan
eksistensinya dari dulu hingga kini.

Makassar, juga dalam hiruk-pikuk karena sedang diambang pemilihan Wali Kota, yang
akan menakhodai Makassar lima tahun ke depan, atau satu priode mendatang.
Sedikitnya ada sepuluh calon yang akan bertanding menjadi katanya pelayan rakyat,
berbagai alasan mengapa begitu banyak yang ingin maju sebagai pemimpin di Makassar,
mulai dari yang --sekali lagi katanya-- ingin mewakafkan diri, mengabdikan diri,
berbakti, berjuang bersama rakyat, hingga yang ingin menjadikan Makassar 'bergerak'
atau kota yang nyaman (comport city). Berbagai macam alasan, mengapa mereka begitu
ngotot menjadi pemimpin. Belum lagi pemilihan legislator yang akan dihelat tahun
depan, para caleg saat ini sedang gencar-gencarnya mengiklankan dirinya, sudut-
sudut kota kian rusak pemandangannya akbiat banyaknya baliho yang tak tertata.
Padahal sejatinya, menjadi pemimpin atau wakil rakyat dalam pandangan Islam, tidak
melulu dianggap mulia, malah kerap mendatangkan kehinaan jika salah dalam
menentukan kebijakan, terutama jika berhukum atau memutuskan perkara dengan hukum
thaghut dan hawa nafsu.

Para ulama dari salafush shaleh sangat menghindari untuk memegang jabatan karena
takut dimintai pertanggung-jawaban di sisi Allah kelak, atau tidak sudi berbaur
deengan para pemimpin yang memerintah dengan zalim dan kejahilan, bukan dengan ilmu
dan keadilan.
Sebagai penawar, penulis mencoba mengetengahkan dua sosok ulama yang namanya tetap
abadi dan tersemat di dada setiap umat Islam karena kegigihannya menjaga jarak
dengan pemimpin dan terus menjadi penasihat bebas tak terikat bagi mereka. Kedua
ulama di bawah ini adalah sosok teladan yang harus dijadikan panutan di tengah
hingar-bingarnya suasana politk saat ini. Berikut kisahnya!

Imam Abu Hanifah

Abu Hanifah bin Numan bin Tsabit adalah teladan sejarah dalam memiliki karakter
dan yang berlandaskan pada agama. Dilahirkan di Kufah tahun 80 H. dan wafat di
Baghdad tahun 150 H, dikenal sebagai tokoh Ahlul Rayi (aliran rasionalitas).

Pernah dua kali ditunjuk menjadi qadhi, pertama pada masa Bani Umayyah dan yang
kedua, masa Abbasiyah. Namun keduanya ditolak. Sikap tegasnya pada khalifah Al-
Manshur sangat masyhur. Semuanya mencerminkan karakter Abu Hanifah yang tidak mudah
tunduk kepada tirani. Takdir berbicara, bagaimana Abu Hanifah mendapat ujian akibat
politik kezhaliman. Api pemberontakan terhadap penguasa Umawiyah yang sadis dan
tiran berkobar di seantero negeri yang berakhir dengan pembantaian missal yang
mengerikan. Dalam situasi kacau dan memprihatinkan itu, Imam Abu Hanifah didatangi
utusan penguasa Irak yang durjana, Yazid bin Hubairah yang menawarkan jabatan qadhi
bersama sejumlah ulama lainnya. Sebagai seorang yang berilmu dan berfikiran tajam,
Abu Hanifah sadar bahwa penguasa durjana dan para pemimpinnya yang biadab itu hanya
bertujuan menjadikan dirinya dan para ulama lain sebagai justifikasi bagi perbuatan
jahat mereka. Justifikasi para ulama ini akan dimanfaatkan para penguasa untuk
mengelabui masyarakat, bahwa kebiadaban mereka sah dan didukung penguasa zhalim.
Dengan tegas Abu Hanifah mengumumkan penawan itu secara terbuka. Ia berkata bahwa,
demi Allah, jika Ibnu Hurairah membuka pintu-pintu kota Wasith bagiku, aku akan
menolak untuk memasukinya, maka bagaimana mungkin aku menerimanya, padahal ia
hendak membunuh seorang laki-laki mukmin? Demi Allah, aku menolak selamanya.

Penolakan ini membuat pemimpin tirani berang. Ia menjebloskan Abu Hanifah ke


penjara selama dua minggu dengan harapan, berubah fikiran. Selama dalam penjara,
Abu Hanifah dicambuk 10 kali setiap hari selama 10 hari, hingga nyaris nyawanya
terenggut. Namun, Allah berkata lain, dinasti Umawiyah tumbang akibat kezalimannya
yang melampau. Ketegasan sikap Abu Hanifah terhadap penguasa zhalim dinasti
Umawiyah yang tercermin pada sosok Yazid bin Hubairah, juga beliau lakukan terhadap
Abu Jafar Al Manshur, penguasa Abbasiyah. Hal ini disadari logika pemikirannya
bahwa seorang tiran yang zhalim harus diperangi, tak peduli apakah ia Umawiyah atau
Abbasiyah.

Ketika itu, Al-Manshur menawarkan jabatan yang dulu pernah ditawarkan Dinasti
Umawiyah, tetapi Abu Hanifah bersikukuh menolaknya. Keduanya sama-sama ngotot. Al-
Manshur ngotot menawarkan agar Abu Hanifah menerima jabatan itu, bahkan ia
bersumpah, sedang Abu Hanifah juga demikan halnya tetap menolak dan bersumpah untuk
tetap dalam pendiriannya. Rabi bin Yunus, menteri Al Manshur berkata, Tidakkah
engaku lihat Khalifah bersumpah? Abu Hanifah menjawab, Ia lebih mampu membayar
keffarat atas sumpahnya daripada aku! akhirnya Abu Hanifah ditangkap lalu
dipenjarakan. Namun setelah beberapa hari dia ditanya lagi, Bersediakah engakau?
Abu Hanifah menjawab, Aku tidak layak menjadi qadhi. Engaku dusta!, sergah Al
Manshur. Engkau telah mengatakan aku pendusta, berarti aku tidak patut menjadi
qadhi. Kalaupun aku pendusta, aku tetap akan mengatakan, tidak tukas Abu Hanifah
tanpa beban. Al Manshur berang dan memvonis hukuman cambuk pada Abu Hanifah.
Hukuman inilah akhirnya merenggut nyawanya, ia wafat setalah mendapat cambukan kali
ke 130. Ruhnya yang suci melayang saat beliau sujud. Abu Hanifah wafat sebagai
syuhada, sementara Al-Mashur menjalani hari-harinya dan dinyatakan oleh sejarah
sebagai seorang penguasa zhalim dan durjana. Tepat di di tahun wafatnya 150 H, Imam
Syafii juga lahir, dengan itu sering dikatakan bahwa imam yang satu pergi dan yang
lain datang.

Karakter ketabahan dan konsistansi dalam mempertahankan kebenaran (istiqamah),


melawan kezaliman yang dilakukan oleh penguasa tiran adalah sebuah karakter yang
merupakan dasar dari ajaran Islam yang tidak diperselisihkan lagi kebenarannya.

Imam Malik bin Anas

Malik bin Anas yang lahir di Madinah tahun 93 H dan wafat pada tahun 178 H. Ulama
penulis kitab hadis Al-Muatha ini tidak pernah meninggalkan Madinah kecuali saat
pergi haji ke Mekkah. Murid-murid yang belajar kepadanya datang dari berbagai
penjuru dunia, di antaranya Mesir, Maroko, dan Andalusia. Karyanya yang paling
spektakuler adalah al Muattha yang merupakan kitab fikih pertama dalam Islam
tentunya jika kita mengecualikan kitab al majmu karya Zaid bin Ali Zainal Abidin
menggantikan Imam Abu Hanifah dalam karakter tegas dan teguh memegang prinsip
terhadap Al-Mansur, sekalipun harus menerima aneka ragam penyiksaan dan cobaan.
Sikap tegas Malik, menyebabkan Al-Mashur menggunakan akal bulusnya, dimana dia
bersumpah bahwa Abu Hanifah disiksa gubernurnya tanpa konsultasi lebih dahulu
padanya. Untuk lebih meyakinkan, Al-Manshur mencopot jabatan pegawainya dan
menyiksanya.

Dan cukuplah Malik bin Anas selama hidupnya konsisten untuk menyuarakan kebenaran
fi sabilillah, tidak takut terhadap kekejaman orang-orang yang sadis dan keganasan
para pemimpin durjana, Berkat dirinya, Madinah menjadi kiblat ilmu yang didatangi
para pencari ilmu dari beragam plosok dunia untuk menimba ilmu dan mendulang
ketakwaan Malik bin Anas yang luas. Sampai-sampai dikatakan, Tidak ada fatwa
selama ada Malik di Madinah.
Dalam tulisan ini, penulis hanya akan menukil sebagian saja sebagai bukti keteguhan
dalam mempertahankan al-haq dan kegigihannya menentang mereka yang menyimpang dari
kebenaran, serta keberaniannya dalam menjalankan amar maruf nahyi mungkar, tanpa
mempedulikan penyiksaan penguasa terhadapnya. Sebagaimana dikutif Musthafa Ar-
Rifai, diantaranya adalah, Isa bin Umar pernah ditanya, Apakah Malik mendatangi
para penguasa? ia menjawab,Tidak, melainkan lebih dulu ia didatangi lalu ia
mendatangi mereka. Waktu itu Malik bin Anas ditanya, Mengapa engkau mendatangi
penguasa, padahal mereka zhalim dan sewenang-wenang? Malik menjawab, Semoga Allah
Merahmatimu, siapakah orangnya yang bicara kebenaran? lalu Malik menambahkan,
Sepatutnyalah seorang muslim yang Allah anugrahkan ilmu dan pemahaman agama, untuk
mendatangi penguasa guna menyuruh berbuat makruf dan mencegah dari yang mungkar,
serta memberi peringatan dan nasihat. Demikian agar kunjungan si alim berbeda
dengan orang lain. Jika semua itu dilakukan, maka tak ada puncak keutamaan selain
itu.; Suatu hari, Imam Malik mendatangi Harun Al-Rasyid. Kepadanya ia
menganjurkan untuk peduli kapada kemaslahatan kaum muslimin. Malik berkata kepada
harun, Aku mendengar sebuah riwayat bahwa Khalifah Umar bin Khattab pada tahun
paceklik meniup api tungku untuk memasak makanan, sehingga dari jenggotnya keluar
asap. Tak aneh bila rakyat respek padanya.; Pada kesempatan lain, Imam Malik
mendatangi Khalifal Harun Al Rasyid yang tengah bersiap-siap bermain catur Imam
Malik berkata, Apakah ini sebuah kebenaran, wahai amirul mukminin? tanyanya
sambil berdiri tegak dihadapan Khalifah. Bukan! Jawab Khalifah, Malik menutur,
Tidak adalagi sebuah kebenaran melainkan kesesatan. Maka Harun Al Rasyid
mengangkat kakinya dan menyuruh Imam Malik untuk tidak berdiri lagi dihadapannya
setelah itu. Abu Yaqub al Hunaini, teman Imam Malik bercerita, Aku mendengar Imam
Malik bersumpah demi Allah, bahwa ia tidak mendatangi seorang penguasa melainkan
Allah menghilangakan rasa takut dari hatinya, sehingga ia berani mengucapkan kata-
kata kebenaran kepadanya.; Ibnu Wahab mengisahkan, suatu saat ia duduk di samping
Abu Jafar Al Mashur, tiba-tiba Abu Jafar bersin, maka Imam Malik mendoakannya,
Ketika Malik pamit, pengawalnya menegur dan mengancamnya jika melakukan hal itu
sekali lagi di hadapan khalifah. Pengawal semacam ini adalah pendamping jahat yang
menjerumuskan pemimpin kepada bencana. Beberapa hari kemudian Imam Malik kembali
datang dan duduk di samping Khalifah. Ketika Abu Jafar Al Manshur bersin, Malik
melirik pengawal lalu berkata kepada Al-Manshur, Apa hukum yang engkau inginkan
wahai Amirul Mukminin? Hukum Allah atau hukum setan? Al-Manshur menjawab, Hukum
Allah! serta merta Malik menjawab, Yarhamukallah! (semoga Allah merahmatimu); Di
lain waktu seorang penjilat yang cari muka memuji salah seorang pejabat Madinah di
hadapannya, sementara Malik di sisinya. Mendengar pujian orang itu, Malik marah
dan menegur sang pejabat, Hati-hati, engakau jangan tertipu oleh pujian orang
terhadapmu! Karena orang yang memujimu dengan suatu kebaikan yang tidak ada pada
dirimu, akan mencelamu dengan kejahatan yang tidak ada padamu,; Suatu hari, Imam
Malik bin Anas diberi minuman saat berkunjung ke Khalifah Al-Mahdi, namun ia
menolak meminumnya, karena di gagang gelasnya yang terbuat dari kaca terdapat
perak, lalu dihadirkan cangkir dari tembikar, maka ia pun meminumnya dan meminta
Khalifah membuang perak itu; Di antara ujian yang dideritanya pada tahun 146 H.
adalah Khalifah Abu Jafar melarangnya menyampaikan hadis yang berbunyi, Tidak ada
thalak bagi orang yang dipaksa. Diam-diam, ada yang mananyakan kepada Imam Malik
tentang hadits tersebut, hal ini mendorong sang Imam menyampaikan hadits ini ke
khalayak. Mendengar demikian Jafar bin Sulaiman, Gubernur Madinah memukul Imam
Malik 30 kali, dalam riwayat lain lebih 30 kali dan ada yang mangatakan 70 kali,
serta ada pula menyebutkan lebih dari itu. Sebagian perawi menyebutkan, penyebab
Imam Malik dipukul dikarenakan fatwa, bahwa pengangkatan Abu Jafar sebagai
Khalifah tidak sah karena melalui paksaan.

Namun hukuman demi hukuman yang diderita, tidak membuat Imam Malik turun derajat,
bahkan sebaliknya. Dirinya makin menjadi lebih terhormat dan masyhur di mata umat.
Al-Hunaini teman Malik menuturkan, Setelah menderita hukuman pukul, tangan Imam
Malik menjadi kaku tidak dapat diangakat. Demi Allah, setelah ia dipukul, ia
menjadi lebih terhormat dan lebih besar sehingga seakan-akan pukulan itu menjadi
perhiasan baginya. Al-Qarawi menguatkan, Ketika Malik bin Anas dipukul dan
disiksa, orang-orang datang menjenguknya ketika siuaman, ia berkata, Aku jadikan
kalian saksi bahwa orang yang memukuliku aku maafkan. Al-Qarawi melanjutkan, Pada
hari kedua, kami kembali menjenguk. Ternyata ia sudah dapat berdiri, lalu kami
ucapkan sesuatu yang telah kami dengar darinya. Dan kepadanya kami berkata, Engaku
telah menderita seperti ini. Ia bertutur, Kemarin aku takut meninggal lalu aku
berjumpa denga Rasulullah, dimana aku sangat malu kepada beliau jika sebagian
muslim masuk neraka lantaran aku. Al-Mutharrif berkomentar, Aku dapati bekas
cambukan di punggung Malik, aku telah memeriksanya dan nampaknya saat meraka
mencambuknya, mereka membuka baju Imam Malik sehingga ia dapat meluruskan sorbannya
karena babak belur pada pundaknya. Imam Malik sangat malu pada dirinya, saat
pakaian yang menutupi dada dan pahanya terlepas akibat cambukan. Terbukanya paha
lebih berat baginya daripada cambukan yang ia derita, ia lebih merasa sakit karena
dadanya kelihatan ketimbang karena cambukan. Begitulah sekelumit cerita tentang
karakter kesabaran, konsistensi, dan perjuangan sang Imam dalam menyebar dan
mempertahankan kebenaran, sesuatu yang sangat langka di era pragmatisme saat ini.

Semoga kedua ulama muktabar di atas dapat menjadi penawar dahaga dalam suasana yang
serba pragmatis saat ini. Dimana mayoritas orang berlomba-lomba untuk menggapai
kesuksesan material, seperti ingin terkenal, kaya, menjabat jabatan, disanjung,
dst. Para ulama inilah yang seyogyanya menjadi panutan bagi kita semua dan
sekaligus menjadi role model dalam membentuk pribadi yang berkarakter dan beradab.
Ulama harus menjadi penasihat untuk pemerintah dan bahkan penentang jika penguasa
melenceng dari aturan Islam yang bersumber dari Alquran dan hadis. Wallahu A'lam!

Anda mungkin juga menyukai