Anda di halaman 1dari 13

Gangguan Psikofisiologis Dan Psikologi Kesehatan

Gangguan psikofisiologis seperti asma, hipertensi, sakit kepala, dan gastritis, ditandai
oleh simtom-simtom fisik yang nyata yang disebabkan atau dapat diperburuk oleh faktor-faktor
psikologis. Istilah gangguan psikofisiologis dewasa ini lebih banyak digunakan dibandingkan
istilah sebelumnya dan yang mungkin lebih dikenal gangguan psikomatik. Meskipun demikian,
istilah psikosomatik cukup baik menggambarkan ciri utama gangguan ini; bahwa psike atau
pikiran, memiliki efek yang tidak mengenakkan bagi soma atau tubuh.

Gangguan ini dipandang terkait dengan faktor-faktor psikologis tidak berarti


penderitaanya hanya merupakan rekaan. Seseorang dapat meninggal karena tekanan darah
tinggi atau asma yang dipicu secara psikologis sama seperti jika penyakit tersebut dipicu oleh
infeksi atau cedera fisik.

Gangguan psikofisiologis tidak tercantum dalam DSM-IV-TR, meskipun sebelumnya


tercantum dalam versi-versi DSM terdahulu. Gangguan ini dicantumkan dalam faktor psikologis
yang mempengaruhi kondisi medis, dan diagnosisnya dikodekan dalam bagian lebih luas yang
mencakup berbagai kondisi lain yang dapat menjadi fokus perhatian klinis. Implikasi
penempatan ini adalah gangguan psikofisiologis bukan merupakan gangguan mantal.

Sebelumnya, gangguan psikofisiologis secara umum dianggap hanya mencakup


beberapa penyakit (penyakit psikomatik kalasik seperti magg / sakit lambung, sakit kepala,
asma, dan hipertensi). Diagnosis baru dapat diterapkan terhadap penyakit apa pun,
sebagaimana anggapan dewasa ini bukan semua penyakit dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor
psikologis seperti stress. Terlebih lagi, diagnosis mencakup berbagai kasus di mana faktor-
faktor psikologis atau behavioral mempengaruhi perjalanan atau penanganan suatu gangguan,
tidak hanya kasus-kasus di mana faktor-faktor tersebut mempengaruhi timbulnya penyakit
sehingga lagi-lagi memperluas definisinya. Seperti contoh, seorang penderita hipertensi terus
mengkonsumsi alcohol meskipun ia tahu bahwa alcohol meningkatkan tekanan darah atau
seorang pasien tidak secara rutin minum obat yang diresepkan. Faktor-faktor psikologis atau
behavioral yang berperan mencakup diagnosis Aksis I dan II; ciri-ciri kepribadian; coping stress
seperti menahan amarah, bukannya mengeksperesikannya, faktor-faktor gaya hidup seperti
tidak breolahraga secara teratur.

Psikologi kesehatan dan pengobatan behavioral tidak terbatas pada serangkaian teknik
atau prinsip-prinsip tertentu dalam mengubah perilaku. Para ahli klinis dalam bidang ini
menggunakan berbagai macam prosedurmulai dari manajemen antisipasi stress serta
berbagai pendekatan kognitif behavioralyang semuanya bertujuan untuk mengubah
kebiasaan hidup yang buruk, kondisi psikologis yang menyedihkan, dan proses-proses fisiologis
yang menyimpang segingga menghasilkan berbagai manfaat kesehatan.

Stres Dan Kesehatan


Mendefinisikan Konsep Stres
Istilah stress digunakan untuk merujuk kondisi lingkungan yang memicu
psikopatologi. Pada tahun 1936, Hans Selye, sorang dokter, memperkenalkan sindrom adaptasi
menyeluruh (general adaptation syndrome - GAS), suatu gambaran respon biologis untuk
bertahan dan mengatasi stress fisik. Terdapat tiga fase dalam model ini adalah sebagai berikut :

1. Pada fase pertama, yaitu reaksi alarm (alarm reaction), sistem saraf otonom diaktifkan oleh
stress. Jika stress terlalu kuat, terjadi luka pada saluran pencernaan, kelenjar adrenalin
membesar, dan thymus menjadi lemah.
2. Pada fase kedua, yaitu resistensi (resistance), organisme beradaptasi dengan stress melalui
berbagai mekanisme coping yang dimiliki.
3. Jika stressor menetap atau organisme tidak mampu merespon secara efektif, terjadi fase
ketiga, yaitu suatu tahap kelelahan (exhaustion) yang amat sangat, dan organisme mati atau
menderita kerusakan yang tidak dapat diperbaiki (Selye, 1950).

Beberapa peneliti mengikuti pendapat Selye dan tetap menganggap stress sebagai
respon terhadap berbagai kondisi lingkungan, dan didefinisikan berdasarkan kriteria yang
sangat beragam seperti penderitan emosional, deteriorasi kinerja, atau berbagai perubahan
fisiologis seperti meningkatnya konduktans kulit atau meningkatnya hormon tentu. Masalah
dalam definisi stress berbasis respon ini kriterianya tidak jelas. Berbagai perubahan fisiologis
pada tubuh dapat terjadi sebagai respon terhadap sejumlah stimuli yang dianggap tidap penuh
stress (contohnya mengantisipasi kejadian yang menyenangkan).

Beberapa peneliti lain melihat stress sebagai suatu stimulus, yang sering kali disebut
sebagai stressor, dan bukan suatu respon, dan mengidentifikasinya dengan suatu daftar panjang
berbagai kondisi lingkungan, seperti sengatan listrik, kebosanan, stimuli yang tidak dapat
dikendalikan, berbagai bencana kehidupan, masalah sehari-hari, dan kurang tidur. Stimuli yang
dianggap stressor dapat besar (kematian orang yang dicinta), kecil (masalah sehari-hari, seperti
terjebak dalam kecemasan lalu lintas), akut (gagal dalam ujian), atau kronis (lingkungan kerja
yang terus-menerus tidak menyenangkan). Sebagian stimuli tersebut berupa pengalaman yang
bagi orang-orang dirasakan tidak menyenangkan.

Coping Dan Stres


Mereka menekankan aspek kognitif stress yaitu mereka meyakini bahwa cara kita
menerima atau menilai lingkungan menentukan apakah terdapat suatu stressor. Jika seseorang
beranggapan bahwa tuntutan dalam suatu situasi melebihi kemampuannya, orang tersebut
mengalami stres. Relevan dengan perbedaan individual dalam merespon situasi penuh stress
meupakan konsep coping, yaitu bagaimana orang berupaya mengatasi masalah atau menangani
emosi yang umumnya negatif yang ditimbulkannya. Bahkan diantara mereka yang menilai suatu
situasi sebagai penuh stress, efek stress dapat bervariasi tergantung pada bagaimana individu
menghadapi situasi tersebut. Lazarus dan para koleganya mengidentifikasi dua dimensi coping
(Lazarus & Folkman, 1984).

1. Coping yang berfokus pada masalah (problem-focused coping) mencakup bertindak secara
langsung untuk mengatasi masalah atau mencari informasi yang relevan dengan solusi.
Contohnya adalah menyusun jadwal belajar untuk menyelesaikan berbagai tugas dalam satu
semester sehingga mengurangi tekanan pada akhir semester.
2. Coping yang berfokus pada emosi (emotion- focused coping) merujuk berbagai upaya untuk
mengurangi berbagai reaksi emosional negatif terhadap stress, contohnya dengan
mengalihkan perhatian dari masalah, melakukan relaksasi, atua mencari rasa nyaman dari
orang lain.

Esensi coping berupa penghindaran adalah berusaha menghindar untuk mengakui


bahwa memang ada masalah yang harus diatasi (a.l., menalihkan diri, mengingkari) atau
menolak melakukan sesuatu untuk mengatasi masalah tersebut (a.l., menyerah). Coping yang
efektif sering kali bervariasi sesuai dengan situasi. Pengalihan diri mungkin merupakan cara
efektif untuk mengatasi masalah emosional. Meskipun demikian, bukti-bukti menunjukkan
bahwa secara umum, coping berupa pelarian atau penghindaran (misalnya berharap bahwa
situasi akan berakhir dengan sendirinya) merupakan metode coping yang paling tidak efektif
untuk mengahadapi banyak maslaah kehidupan (Roesch & Weiner, 2001).

Upaya Mengukur Stres


Penelitian mengenai efek stress terhadap kesehatan manusia berupaya mengukur
jumlah stress kehidupan yang dialami seseorang kemudian mengorelasikan pengukuran
tersebut dengan penyakit. Berbagai skala telah dikembangkan untuk mengukur stress
kehidupan yaitu Skala Rating Penyesuaian Sosial (Social Read Justment Rating Scale) dan
Pengukuran Pengalaman Harian (Assessment of Daily Experience).

Skala Rating Penyesuaian Sosial (Social Read Justment Rating Scale)


Pada tahun 1960-an, memberikan peristiwa kehidupan kepada sekelompok besar
responden dan meminta mereka memberi nilai setiap item berdasarkan intens dan lamanya
waktu yang mereka perkirakan dibutuhkan untuk menyesuaikan diri dengan peristiwa tersebut.
Secara subjektif menikah diberi nilai stress 500; semua item kemudian dievaluasi menggunakan
referensi nilai tersbut.

Contohnya, peristiwa yang kedua kali lebih penuh stress dibandingkan menikah diberi
nilai 1.000, dan peristiwa yang seperlima kali penuh stress dibandingkan menikah diberi nilai
100. Dari studi tersebut tercipta yaitu Skala Rating Penyesuaian Sosial (Social Read Justment
Rating Scale SRRS). Seorang responden memberi tanda berbagai peristiwa kehidupan yang
dialami selama kurun waktu tertentu. Nilai-nilai peristiwa yang benar-benar dialami kemudian
dijumlahkan dan menghasilkan skor Unit Perubahan Kehidupan (Life - Change Unit LCU).

Pengukuran Pengalaman Harian (Assessment of Daily Experience)


Berbagai masalah dalam Skala Rating Penyesuaian Sosial (Social Read Justment Rating
Scale SRRS) memicu Stone dan Neale (1982) mengembangkan alat ukur baru, Pengukuran
Pengalaman Harian (Assessment of Daily Experience ADE). Tanpa mengandalkan penuturan
diri, ADE memungkinkan individu mencatat dan membari nilai pengalaman sehari-hari mereka
dalam penelitian prospektif. Tujuannya adalah menguji hubungan antara peristiwa sehari-hari
yang diinginkan dan tidak diinginkan dan munculnya episode penyakit pernafasan. Penyakit
pernafasan dipilih sebagai variabel criterion karena frekuensi terjadinya cukup tinggi untuk
dapat dianalisis sebagai suatu akibat tersendiri.

Salah satu aspek terkuat dan paling menarik dari pola peristiwa yag terjadi sebelum
episode simtom adalah berbagai peristiwa yang tidak dinginkan mencapai titik terendah
beberapa hari sebelum timbulnya penyakit, namun tepat dua hari sebelum timbulnya penyakit
kedua jenis peristiwa tersebut terjadi pada tingkat rata-rata.

Mengukur Coping
Coping paling sering diukur menggunakan kuesioner, yang berisi serangkaian aktivitas
coping dan meminta responden untuk menunjukkan seberapa sering mereka menggunakan
setiap aktivitas untuk mengatasi sresor yang dialami belakangan ini. Seperti halnya efek
stressor, cara terbaik untuk meneliti coping adalah dengan melakukan studi jangka panjang
(longitudinal), yang dapat menunjukkan bahwa cara coping tertentu terhadap stress memicu
hasil yang sebelumnya diperkirakan oleh para peneliti. Metode coping melalui penghindaran,
seperti pengingkaran dan perilaku yang tidak terkendali, memiliki kaitan dengan tingkat
distress yang lebih tinggi.

Dukungan Sosial Sebagai Perantara Hubungan Stres-Penyakit


Terdapat bermacam tipe dukungan sosial. Dukungan sosial structural adalah jaringan
hubungan sosial dasar yang dimiliki seseorang, contohnya status perkawinan dan jumlah teman.
Dukungan sosial fungsional lebih berkaitan dengan kualitas hubungan yang dimiliki seseorang ,
contohnya apakah orang yang bersangkutan yakin bahwa ia memiliki teman-teman yang akan
membantunya pada saat dibutuhkan (Cohen & Wills, 1985).

Dukungan sosial merupakan predictor mortalitas yang pasti. Orang-orang yang


memiliki sedikit teman atau kerabat cenderung memiliki tingkat moralitas yang lebih besar
dibandingkan mereka yang memiliki tingkat dukungan structural yang lebih tinggi (Kaplan, dkk.,
1994). Tingkat dukungan fungsional yang lebih tinggi ditemukan memiliki kaitan dengan tingkat
atherosclerosis (penyumbatan pembuluh darah arteri) yang lebih rendah (Seeman & Syme,
1989), hingga kemampuan perempuan untuk menyesuaikan diri dengan rheumatoid arthritis
kronis (Goodenow, Reisine, & Grady, 1990), dan distress emosional yang lebih rendah pada
perempuan setelah menjalani operasi kanker payudara (Alferi, dkk., 2001). Dengan demikian,
terlihat bahwa dukungan sosial memiliki efek kausal terhadap proses psikologis. Mungkin
kehadiran seorang teman atau pendamping perempuan dapat membantu seseorang menilai
situasi penuh stress sebagai situasi yang kurang membahayakan.

Teori Hubungan Stres-Penyakit


Masalah dalam pendekatan ini adalah penuturan diri bisa saja tidak akurat
mencerminkan penyakit fisik. Contohnya,Waston dan Pennebaker (1989), setelah melakukan
kajian literature secara ekstensif, menyimpulkan bahwa hubungan antara emosi negatif dan
kesehatan sebenarnya hanyalah hubungan antara emosi negatif dan penyakit yang dituturkan.
Sama dengan itu, Stone dan Costa (1990) menyatakan bahwa neurotisisme memprediksi
berbagai laporan tentang jumlah semua jenis keluhan somatic yang lebih tinggi, namun tidak
memperediksi titik akhir yang nyata, seperti kematian atau penyakit jantung koroner yang
dapat diverifikasi.

Selain itu, efek stress dapat tidak langsungstress dapat memicu perubahan
kesehatan yang tidak langsung disebabkan oleh variabel biologis atau psikologis, namun
disebabkan oleh perubahan gaya hidup sehat. Stress yang tinggi dapat menyebabkan semakin
tingginya frekuensi merokok, tidur terganggu , meningkatnya konsumsi alcohol, dan berubahnya
pola makan (berlawanan dengan yang terjadi pada dukungan sosial). Perubahan perilaku
tersebut dapat meningkatkan risiko penyakit.

Teori Biologis
Respons biologis terhadap stress merupakan bagian dari respons yang sehat dan rutin.
Kerusakan fisiologis hanya dapat terjadi bila respons biologis terhadap stress terus-menerus
diaktifkan atau bila proses counter-regulatory tidak dapat mengembalikan sistem tubuh ke
kondisi sebelum stress dalam waktu yang tidak lama.

Berbagai pendekatan biologis mengatribusikan beberapa gangguan psikofisiologis


pada kelemahan organ-organ tertentu, hingga aktivitas sistem-sistem organ tertentu yang
berlebihan ketika merespons stress, serta efek pemaparannya pada hormone-hormon atres,
atau perubahan sistem imun yang disebabkan oleh stress.

Teori Kelemahan Somatik (Somatic Weakness Theory). Faktor-faktor genetic, penyakit yang
pernah diderita sebelumnya, diet, dan sejenisnya dapat menggangu sistem organ tertentu, yang
kemudian menjadi lemah dan tidak memiliki daya tahan terhadap stress. Menurut teori
kelemahan somatic, hubungan antara stress dan gangguan psikofisiologis tertentu terletak pada
kelemahan organ tubuh tertentu. Contohnya sistem pernafasan yang lemah sejak lahir dapat
memicu seseorang menderita asma.

Teori Reaksi Spesifik (Spesific Reaction Theory). Telah ditemukan bahwa setiap orang
memiliki pola respon otonomik terhadap stress yang bersifat individual. Pada seseorang
reaksinya dapat berupa detak jantung menjadi cepat, sedangkan bagi orang lain dapat berupa
trikan nafas yang lebih cepat, namun tidak mengalamani percepatan detak jantung (Lacey,
1967). Menurut teori reaksi spesifik, para individu merespons stress dengan cara khas mereka
sendiri, dan sistem tubuh yang paling respomsif menjadi kandidat yang paling mungkin
mengalami gangguan psikofisiologis yang terjadi kemudian.

Pemaparan jangka Panjang Pada Hormon Stres. Teori yang lebih mutakhir berupaya
menjelaskan fakta bahwa berbagai perubahan biologis yang ditimbulkan oleh stress bersifat
adaptif dalam jangka pendek. Respons-respons biologis utama terhadap stress mencakup
aktivasi sistem saraf simpatis dan aksis hipotalamik-pituitari-adrenalin (HPA). Dalam kondisi
stres, katekolamin seperti epinefrin dilepaskan dari saraf dan medula adrenalin dan memicu
sekresi kortikotropin dari pituitary. Kamudian kortikotropin memicu pelepasan kortisol dari
korteks kelenjar adrenalin.

Kunci teori ini adalah tubuh akan menanggung akibat bila harus terus-menerus beradaptasi
dengan stress. Keharusan tubuh untuk terus-menerus beradaptasi disebut beban alostatik
(allostatic load). Beberapa orang dapat memiliki level hormone stress yang tinggi karena
mereka sering mengalami stress. Sementara beberapa orang lain dapat mengalami kesulitan
beradaptasi dengan stress, baik disebabkan oleh reaksi biologia terhadap stress yang dipicu
secara genetic dalam bentuk lambat beradaptasi, hingga respons-respons behavioral yang
dipelajari dalam jangka panjang dan menghambat adaptasi (seperti pola makan yang buruk,
jarang berolahraga, merokok, atau konsumsi alcohol yang berlebihan), atau kombinasi
keduanya. Sementara itu, yang lain dapat mengalami kesulitan menghentikan respons biologis
terhadap stress, contohnya mereka mengalami sekresi kartisol dalam tingkat yang luar biasa
tinggi bahkan setelah kondisi stress berkurang. Terakhir, beberapa individu dapat memiliki
respons biologis terhadap stress ysang lemah, yang ditunjukkan dengan tingkat pelepasan
kortisol yang rendah dalam merspons stress yang pada akhirnya menyebabkan bagian lain dari
sistem imun merespons secara berlebihan.

Sres Dan Sistem Imun. Pada level umum, stressor memiliki banyak efek pada berbagai macam
sistem tubuhsistem saraf otonom, level hormone, dan aktivitas otak. Salah satu bidang umum
yang menjadi perhatian dewasa ini adalah sistem imun, yang berperan penting dalam penyakit
infeksi, kanker, dan alergi serta dalam penyakit otoimun, seperti rheumatoid artritis, dimana
sistem imun menyerang tubuh. Belum pasti bahwa berbagai perubahan sistem imun yang
terjadi karena stress secara actual dapat meningkatkan risiko penyakit. Bidang penelitian yang
palng dekat mendokumentasikan peran sters dan perubahan sistem imun dalma timbulnya
penyakit secara actual adalah studi tentang penyakit infeksi. Terdapat dua aspek sistem imun
yaitu imunitas sekretori dan sitokin.

Imunitas Sekretori. Komponen sekretori dalam sistem imun terdapatdalam sekresi air mata,
ludah, pencernaan, vagina, hidung, dan brnkialyang membasahi permukaan mucosal tubuh. Zat
yang terdapat dalam sekresi tersebut disebut secretory immunoglobulin A, atau sIgA,
mengandung antibody yang berperan sebagai pertahanan pertama tubuhnterhadap virus dan
bakteri yang memasukinya. Antibody tersebut mencegah virus atau bakteri menempel ke
jaringan mucosal. Studi yang dilakukan Stone dan para koleganya (Stone, Cox, dkk., 1987)
menunjukkan bahwa perubahan jumlah antibody sIgA berhubungan dengan perubahan mood.

Sitokin. Ketika tubuh mendeteksi zat asing, seperti bakteri, suatu barisan pertahanan yang
digunakan sistem imun adalah aktivasi sel-sel yang disebut makrofagus. Aktivasi sel-sel yang
disebut sitokin. Pelepasan sitokin membantu munculnya respons tubuh terhadap infeksi, seperti
kelelahan yang amat sangat, demam, dan aktivasi aksis HPA. Stres dapat memicu serangkaian
respon seistem imun tersebut; dengan demikian, ketika seseorang mengalami stress, IL-1 atau
IL-6 dilepaskan tubuh sedang melakukan perlawanan terhadap infeksi (a.l., Maier & Watkins,
1998).
Teori Psikologis. Teori psikoanalisis berpendapat bahwa konflik-konflik tertentu dan kondisi
emosional negatif yang terkait dengannya memicu terjadinya gangguan psikofisiologis.
Contohnya, implus-impuls hostile yang ditekan dianggap menciptakan kondisi emosional kronis
yang bertanggung jawab terhadap hipertensi esensial.

Faktor-Faktor Kognitif Dan Behavioral. Ancaman fisik jelas menciptakan stress. Namun,
manusia menerima lebih dari sekedar ancaman fisik. Emosi-emosi negatif, seperti kekecewaan,
penyesalan, dan kekhawatiran, tidak dapat dilawan atau diabaikan dengan mudah seperti
halnya ancaman eksternal, dan juga tidak mudah untuk dihilangkan. Berbagai emosi negatif
tersebut membuat sistem biologis tubuh menjadi tegang dan tubuh selalu dalam kondisi
darurat, kadangkala dalam jangka waktu yang jauh lebih lama dari yang dapat kita tanggung,
seperti disebutkan dalam teori McEwen.

Gangguan Kardiovaskular
Gangguan kardiovaskular adalah penyakit pada jantung dan sistem sirkulasi darah.
Pada dua macam penyakit kardiovaskular yang tampaknya dipengaruhi oleh streshipertensi
dan penyakit jantung kororner. Penyakit jantung koroner memiliki angka kematian terbesar.
Secara umum, disepakati bahwa banyaknya kematian yang disebabkan oleh penyakit
kardiovaskular dapat dicegah atau ditunda dengan menangani stu atau lebih faktor risisko yang
telah diketahui, yang banyak di antaranya berkaitan dengan perilaku.

Hipertensi Esensial
Hipertensi, yang umumnya disebut tekanan darah tinggi, memicu seseorang
mengalami atherosclerosis (penyumbatan pembuluh darah), serangan jantung, dan stroke; juga
dapat menyebabkan kematian melalui gagal ginjal. Hipertensi tanpa penyebab biologis yang
nyata disebut hipertensi esensial (atau kadang disebut juga hipertensi primer).

Penyakit Jantung Koroner


Penyakit Jantung Koroner (PJK) terdiri dari dua tipe utama, angina pektoriss dan infarksi
miokardial, atau serangan jantung.

Karakteristik Penyakit. Simtom-simtom angina pektoriss adalah rasa sakit di dadad secara
berkala, biasanya di belakang tulang dada dan sering kali menyebrang ke punggung dan kadang
bahu dan lengan kiri. Penyebab utama serangan rasa sakit adalah kirangnya pasokan oksigen ke
jantung (disebut iskemia), yang pada akhirnya disebabkan oleh atheroklerosis koroner, yaitu
penyembitan atau penyumbatan arteri koroner karena timbunan kolesterol, yaitu suatu
material berlemak, atau karena penyempitan pembuluh darah. Infarksi miokardial adalah
penyakit yang jauh lebih serius dan penyebab utama kematian di Amerika Serikat dewasa ini.
Seperti halnya angina pektoriss, penyakit ini disebabkan oleh kurangnya pasokan oksigen ke
jantung. Namun, tidak seperti angina pektoriss, serangan jantung biasanya mengakibatkan
kerusakan jantung permanen.

Asma
Karakteristik Asma
Ketika terjadi asma terjadi penyempitan saluran udara pada paru-paru, yang mana
saluran udara tersebut bersifat hipersensitif, sehingga menjadi sangat sulit untuk bernafas
(terutama untuk menghembuskan napas) dan tersengal-sengal. Penyempitan ini dapat dipicu
oleh infeksi virus, zat-zat allergen, polusi, asap, olahraga, kedinginan, dan kondisi emosional.
Serangan asma terjadi secara berkala, kadang hampir setiap hari dan kadang-kadang beberapa
minggu atau beberapa bulan, dengan keparahan yang bervariasi. Tanpa diketahui mengapa,
serangan paling sering terjadi di awal pagi.

Etiologi Asma
Beberapa orang menyakini bahwa emosi selalu memiliki implikasi, sedangkan yang
lain membagi berbagai kemungkinan penyebab menjadi tiga kategori : alergi, infeksi, psikologis
(Rees, 1964). Selain tiha kelompok penyebab tersebut terdapat penyebab lingkungan, seperti
kafein, dan olahraga. Bila asma disebabkan oleh allergen, sel-sel pada saluran pernafasan sangat
sensitive terhadap suatu atau beberapa zat tertentu atau allergen, seperti serbuk sari, jamur,
bulu, kecoa, polusi udara, asap rokok, dan tungau, yang menyebabkan terjadinya serangan.
Berbagai racun lingkungan lain, seperti perokok pasif, dapat memicu serangan asma.
Kecemasan, ketegangan yang disebabkan oleh rasa frustasi, kemarahan, depresi, dan antisipasi
kenikmatan yang menyebabkan merupakan contoh-contoh faktor psikologis yang dapat
menggangu fungsi sistem pernafasan dan menimbulkan asma.

AIDS : Sebuah Tantangan Bagi Ilmu Behavioral


AIDS (acquired immunodeficiency syndrome) merupakan ancaman besar bagi
kesehatan masyarakat. Penyakit yang sangat fatal ini memiliki tiga karakteristik unik yang saling
berhubungan yang menjadikannya tepat untuk didiskusikan dalam buku teks psikologi
abnormal : (1) dapat disebabkan oleh perilaku yang tidak rasional dan menghancurkan diri
sendiri; (2) hingga saat ini belum dapat disembuhkan atau dicegah melalui pengobatan medis;
dan (3) dapat dicegah memalui pendekatan psikologis.

Deskripsi Penyakit
AIDS merupakan suatu penyakit di mana sistem kekebalan tubuh sangat menurun
karena HIV sehingga menyebabkan individu berisiko tinggi menderita penyakit fatal, seperti
sarcoma Kaposi, jenis kangker limpa yang jarang terjadi, dan berbagai macam infeksi jamur,
virus, dan bakteria yang berbahaya. Istilah oportunistik sering kali digunakan untuk
menggambarkan berbagai penyakit tersebut karena jarang ditemukan pada orang-orang dengan
sistem kekebalan tubuh sehat. Otoritas medis menduga adanya AIDS bila seseorang yang pada
awalnya sehat menderita penyakit yang tidak mungkin dideritanya bila sistem kekebalan
tubuhnya berfungsi dengan baik.

Penyebaran Penyakit
HIV sering ditularkan melalui hubungan seksual, berisiko, terlepas dari orientasi
seksualnya. HIV hanya terdapat dalam darah, sperma, cairan vagina, dan penularan hanya
terjadi jika cairan yang terinfeksi tersebut masuk ke aliran darah. AIDS tidak dapat ditularkan
melui hubungan sosial biasa atau bahkan dengan tinggal bersama seseorang yang menderita
AIDS atau positif HIV, dengan catatan dilakukan kehati-hatian untuk mencegah terjadinya
kontak dengan darah orang yang terinfeksi. Kategori perilaku beresiko lainnya terdapat pada
pengguna narkoba suntik; menggunakan jarum suntik yang tidak steril bersama-sama dapat
memasukkan darah yang terkandung HIV ke aliran darah orang lain.

Pencegahan Penyakit
Fokus utama dalam mencegah penularan AIDS melalui hubungan seks adalah
mengubah cara-cara berhubungan seks. Seseorang dapat menghilangakan kemungkinan tertular
dengan melakukan hubungan monogamy dengan hanya satu orang yang hasil tes HIV-nya
negatif. Meskipun demikian, hubungan monogamy jarang dilakukan anak-anak muda dan tidak
selalu terjadi pada orang-orang yang sudah menikah atau yang menjalin hubungan
berkomitmen lain.

GENDER DAN KESEHATAN

Pada usia berapapun sejak dilahirkan hingga usia 85 tahun atau lebih , jumlah laki-laki
meninggal lebih banyak dibandingkan permpuan,.Laki laki memiliki kemungkinan dua kali
lebih besar untuk meninggal karena kecelakaan kendaraan, pembunuhan dan lain-lain.
Meskipun demikian tingkat morbiditas yaitu kesehatan yang buruk secara umum atau insiden
beberapa penyakit spesifik pada perempuan lebih tinggi.

Data yang diperoleh dari berbagai studi epidemiologis dan observasional menunjukan
bahwa estrogen dapat melindungi dari penyakit kardiovaskular, untuk menyebut satu contoh
.berdasarkan bukti tersebut, banyak perempuan menjalani terapi penggantian hormon setelah
mengalami menopause sebagai upaya untuk mengurangi resiko penyakit kardiovaskular.

Dari sudut pandang psikoogi .beberapa bukti menunjukan bahwa perempuan memiliki
kemungkinan lebih kecil untuk berkepribadian Tipe A dan juga tidak se hostile laki-laki
(Waldron, 1976;weidner & collin ,1993).meskipun demikian ,semakin banyak bukti yang
mengidikasikan bahwa kemarahan tidak selalu lebih banyak dirasakan dan ditunjukan oleh laki-
laki .

STATUS SOSIOEKONOMI,ETNISITAS, DAN KESEHATAN

Status sosioekonomi (SSE) rendah dikaitkan dengan tingkat masalah kesehatan dan
kematian yang lebih tinggi karena semua sebab.sejumlah penjelasan telah diajukan mengenai
korelasi antara SSE dan keehatan yang buruk serta kematian, namun banyak diantaranya kurang
memiliki bukti empiris.

TERAPI UNTUK GANGGUAN PSIKOFISIOLOGIS

Karena ganggua psikofisiologis benar benar gangguan disfungsi fisik, praktik praktik
psikoterapeutik yang baik memerlukan banyak konsultasi dengan dokter apakah tekanan darah
yang tinggi disebabkan oleh faktor biologis atau seperti dalam hipertensi esensial, berhubungan
dengan stres psikologis , sejumlah obat obatan dapat menurunkannya.

Para terapis yang menganut berberapa paradigma sepakat bahwa mengurangi


kecemasan ,depresi atau kemarahan merupakan cara terbaik untuk mengurangi penderitaan
karena gangguan psikofisiologis .gangguan tertentu hipertensi esensial , penyakit jantung
koroner , atau asma dianggap dipengaruhi jika tidak benar-benar disebabkan , oleh berbagai
emosi tersebut.

BIOFEEDBACK

Semua pembelajaran bergantung pada umpan balik( feedback), yaitu pengetahuan


tentang konsekuensi tindakan kita mengarahkan perilaku kita , maka , ungkapkan bahwa umpan
balik memengaruhi apa yang kita pikirkan , rasakan, dan lakukan bukanlah ungkapan yang luar
biasa . yang perlu dicatat tentang apa yang disebut biofeedback adalah orang yang dapat
mengendalikan perilaku yang secara umum dianggap tidak berada dalam kendali kesadaran,
seperti denyut jantung dan suhu kulit, jika cara tersebut diciptakan untuk memberikan umpan
balik terhadap perilaku semacam itu. Dengan demikian, untuk mengajarkan pada seseorang
bagaimana menaikan suhu kulitnya , kita harus dapat memberi tahu mereka apakah suhu
kulitnya naik, suatu umpan blaik yang secara normal tidak dapat diberikan pada orang yang
bersangkutan( Gatchel,2011).
MENGURANGI KEMARAHAN DAN HOSTILITAS,DEPRESI,DAN ISOLASI SOSIAL

Mengurangi kemarahan dan hostilitas telah menjadi fokus intervensi kedokteran


behavioral selama bertahun-tahun, terutama dalam hipertensi dan penyakit jantung.Alasannya
jelas .kemarahan dan hostilitas yang berlebihan,sebagaimana dijelaskan sebelumnya,
diimplikasikan sebagai faktor resiko penyakit tersebut.Hubungan antara faktor resiko dan
penyakit tersebut digaris bawahi dalam penelitian mengenai pola perilaku tipe A.Berbagai studi
tersebut secara umum melibatkan para laki-laki yang mengalami infraksi miokardinal(serangan
jantung), dan difokuskan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya serangan kedua.Salah satu
studi ang paling komprehensif adalah Recurrent Coronary Prevention Project (Friedman
dkk.,1982),yang digunakan sebagai model penelitian berikutnya.

MANAJEMEN STRES

Manajemen stres adalah serangkaian teknik untuk membantu orang orang yang jaarang
dirujuk sebagai pasien untuk menghadapi berbagai tantangan hidup.Semakin diakuinya peran
stres dalam berbagai penyakit medis,termasuk penyakit yang dipengaruhi oleh disfungsi sistem
kekebalan , memperkuat momentum manajemen stres sebagai strategi untuk mengurangi
melemahnya fungsi sistem kekebalan karena stres.

Manajemen stres mencangkup berbagai teknik, dan umumnya lebih dari satu teknik
yang digunakan dalam setiap pelaksannnya (Davison & Thompson,1988;Lehrer &
Woolfolk,1993;Steptoe,1997) :

1. Pengurangan Ketegangan .Dalam pengurangan ketegangn seseorang diberi latihan


relaksasi otot,kadangkala dibantu dengan biofeedback.
2. Restrukturisasi kognitif . termasuk dalam restrukturisasi kognitif adalah berbagai
pendekatan seperti yang dilakukan Albert Ellis (1962) dan Aron Beck (1976).Fokusnya
adalah mengubah sistem kepercayaan seseorang dan meningkatkan kejernihan
interpretasi logis terhadap pengalaman berdasarkan asumsi bahwa kapasitas intelektual
seseorang dapat mempengaruhi perasaan dan perilaku mereka.
3. Pelatihan Keterampilan behavioral. Karena merupakan suatu hal yang wajar bila
seseorang merasa terbebani jika ia kurang memiliki keterampilan yang diperlukan
untuk menyelesaaikan tugas menantang , maka manajemen stres seringkali mencangkup
instruksi dan latihan keterampilan yang diperlukan dan juga isu umum seperti
manajemen waktu dan penempatan prioritas secara efektif.
4. Pendekatan Perubahan Lingkungan. Bila strategi individual bertujuan untuk membantu
seseorang menghadapi lingkungan tertentu, seseorang jug dapat berada dalam posisi
dimana terkadang masalahnya terletak pada lingkungan bn dan hal terbaik adalah
mengubahnya.
MANAJEMEN RASA SAKIT

Seperti halnya kecemasan , rsa sakit dapt bersifat adaptif.Orang orang ang sejak lahir
tidak mampu ,merasakan sakit, mengalami kerugian yang sangat besar ,dan tentu saja , sangat
beresiko mengalami cedera.Pentingnya pengalihan dalam mengendalikan ras sakit , baik
akutmaupun kronis , konsisten dengan penelitian dalam psikologi kognitif eksperimental .
masing masing orang hanya memiliki suplai terbatas hal hal yang bisaa menjadi pusat
perhatian , dan perhatian terhadap satu saluran input menghalangi pemrosesan input saluran
lain.keterbatasan manusia tersebut dapat dilihat sebagai suatu keuntungan bila berkaitan
dengan rasa sakit.selain pengalihan , faktor faktor lain yang mengurangi rasa sakit adalah
kecemasan yang rendah, perasaan optimis dan rasa kendali dan suatu persaan bahwa apa ang
dialami seseorang memiliki makna dan tujuan tersendiri.

Anda mungkin juga menyukai