EPILEPSI
A. Definisi
Epilepsi merupakan gejala kompleks dari banyak gangguan fungsi otak yang
dikarakteristikkan oleh kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat
reversibel (Tarwoto, 2007). Kejang merupakan akibat dari pembebasan listrik yang tidak terkontrol dari
sel saraf korteks serebral yang ditandai dengan serangan tiba-tiba, terjadi gangguan kesadaran ringan,
aktivitas motorik, atau gangguan fenomena sensori.
B. Etiologi
Penyebab pada kejang epilepsi sebagianbesara belum diketahui (Idiopatik) Sering terjadi pada:
1. Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
2. Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
3. Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol
4. Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
5. Tumor Otak
6. Kelainan pembuluh darah
(Tarwoto, 2007)
1. Epilepsi Primer (Idiopatik)
Epilepsi primer hingga kini tidak ditemukan penyebabnya, tidak ditemukan kelainan pada jaringan otak
diduga bahwa terdapat kelainan atau gangguan keseimbangan zat kimiawi dan sel-sel saraf pada area
jaringan otak yang abnormal.
2. Epilepsi Sekunder (Simtomatik)
Epilepsi yang diketahui penyebabnya atau akibat adanya kelainan pada jaringan otak. Kelainan ini dapat
disebabkan karena dibawah sejak lahir atau adanya jaringan parut sebagai akibat kerusakan otak pada
waktu lahir atau pada masa perkembangan anak, cedera kepala (termasuk cedera selama atau sebelum
kelahiran), gangguan metabolisme dan nutrisi (misalnya hipoglikemi, fenilketonuria (PKU), defisiensi
vitamin B6), faktor-faktor toksik (putus alkohol, uremia), ensefalitis, anoksia, gangguan sirkulasi, dan
neoplasma.
C. Patofisiologi
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang atau dari
jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung
pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum
kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak
memicu kejang.
Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yang
berikut :
1. Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.
2. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan apabila terpicu
akan melepaskan nuatan menurun secara berlebihan.
3. Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam repolarisasi) yang
disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA).
4. Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu
homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini
menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter
inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian
disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang,
kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat
menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan.
Asetilkolin mmuncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin
mengalami deplesi selama aktivitas kejang.
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti histopatologik menunjang
hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor patologik yang secara
konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin dijumpai di antara kejang.
Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap asetikolin, suatu neurotransmitter fasilitatorik, fokus-fokus
tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.
D. Manifestasi Klinis
1. Sawan Parsial (lokal, fokal)
a. Sawan Parsial Sederhana : sawan parsial dengan kesadaran tetap normal
Dengan gejala motorik
- Fokal motorik tidak menjalar: sawan terbatas pada satu bagian tubuh saja
- Fokal motorik menjalar : sawan dimulai dari satu bagian tubuh dan menjalar meluas ke daerah lain.
Disebut juga epilepsi Jackson.
- Versif : sawan disertai gerakan memutar kepala, mata, tuibuh.
- Postural : sawan disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam sikap tertentu
- Disertai gangguan fonasi : sawan disertai arus bicara yang terhenti atau pasien mengeluarkan bunyi-
bunyi tertentu
Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial; sawan disertai halusinasi sederhana yang
mengenai kelima panca indera dan bangkitan yang disertai vertigo.
- Somatosensoris: timbul rasa kesemuatan atau seperti ditusuk-tusuk jarum.
- Visual : terlihat cahaya
- Auditoris : terdengar sesuatu
- Olfaktoris : terhidu sesuatu
- Gustatoris : terkecap sesuatu
- Disertai vertigo
Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium, pucat, berkeringat, membera,
piloereksi, dilatasi pupil).
Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)
- Disfagia : gangguan bicara, misalnya mengulang suatu suku kata, kata atau bagian kalimat.
- Dimensia : gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah mengalami, mendengar, melihat, atau
sebaliknya. Mungkin mendadak mengingat suatu peristiwa di masa lalu, merasa seperti melihatnya lagi.
- Kognitif : gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.
- Afektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut.
- Ilusi : perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau lebih besar.
- Halusinasi kompleks (berstruktur) : mendengar ada yang bicara, musik, melihat suatu fenomena tertentu,
dll.
b. Sawan Parsial Kompleks (disertai gangguan kesadaran)
Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran : kesadaran mula-mula baik kemudian baru
menurun.
- Dengan gejala parsial sederhana A1-A4 : gejala-gejala seperti pada golongan A1-A4 diikuti dengan
menurunnya kesadaran.
- Dengan automatisme. Yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang timbul dengan sendirinya, misalnya gerakan
mengunyah, menelan, raut muka berubah seringkali seperti ketakutan, menata sesuatu, memegang
kancing baju, berjalan, mengembara tak menentu, dll.
Dengan penurunan kesadaran sejak serangan; kesadaran menurun sejak permulaan kesadaran.
- Hanya dengan penurunan kesadaran
- Dengan automatisme
c. Sawan Parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik, tonik, klonik)
Sawan parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan umum.
Sawan parsial kompleks yang berkembang menjadi bangkitan umum.
Sawan parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial kompleks lalu berkembang menjadi bangkitan
umum.
2. Sawan Umum (Konvulsif atau NonKonvulsif)
1. Sawan lena (absence)
Pada sawan ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, muka tampak membengong, bola mata dapat
memutar ke atas, tak ada reaksi bila diajak bicara. Biasanya sawan ini berlangsung selama - menit
dan biasanya dijumpai pada anak.
Hanya penurunan kesadaran
Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan, biasanya dijumpai pada kelopak mata atas,
sudut mulut, atau otot-otot lainnya bilateral.
Dengan komponen atonik. Pada sawan ini dijumpai otot-otot leher, lengan, tangan, tubuh mendadak
melemas sehingga tampak mengulai.
Dengan komponen klonik. Pada sawan ini, dijumpai otot-otot ekstremitas, leher atau punggung
mendadak mengejang, kepala, badan menjadi melengkung ke belakang, lengan dapat mengetul atau
mengedang.
Dengan automatisme
Dengan komponen autonom.
2. Lena tak khas (atipical absence)
Dapat disertai:
Gangguan tonus yang lebih jelas.
Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.
3. Sawan Mioklonik
Pada sawan mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat atau lemah sebagian otot atau
semua otot, seringkali atau berulang-ulang. Bangkitan ini dapat dijumpai pada semua umur.
4. Sawan Klonik
Pada sawan ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan tunggal multiple di lengan,
tungkai atau torso. Dijumpai terutama sekali pada anak.
5. Sawan Tonik
Pada sawan ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi kaku pada wajah dan bagian tubuh
bagian atas, flaksi lengan dan ekstensi tungkai. Sawan ini juga terjadi pada anak.
6. Sawan Tonik-Klonik
Sawan ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang terkenal dengan nama grand mal. Serangan
dapat diawali dengan aura, yaitu tanda-tanda yang mendahului suatu sawan. Pasien mendadak jatuh
pingsan, otot-otot seluruh badan kaku. Kejang kaku berlangsung kira-kira - menit diikutti kejang
kejang kelojot seluruh tubuh. Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri. Tarikan napas menjadi dalam
beberapa saat lamanya. Bila pembentukan ludah ketika kejang meningkat, mulut menjadi berbusa karena
hembusan napas. Mungkin pula pasien kencing ketika mendapat serangan. Setelah kejang berhenti
pasien tidur beberapa lamanya, dapat pula bangun dengan kesadaran yang masih rendah, atau langsung
menjadi sadar dengan keluhan badan pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.
7. Sawan atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga pasien terjatuh. Kesadaran
dapat tetap baik atau menurun sebentar. Sawan ini terutama sekali dijumpai pada anak.
3. Sawan Tak Tergolongkan
Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola mata yang ritmik, mengunyah,
gerakan seperti berenang, menggigil, atau pernapasan yang mendadak berhenti sederhana.
E. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pungsi Lumbar
Pungsi lumbar adalah pemeriksaan cairan serebrospinal (cairan yang ada di otak dan kanal tulang
belakang) untuk meneliti kecurigaan meningitis. Pemeriksaan ini dilakukan setelah kejang demam
pertama pada bayi.
- Memiliki tanda peradangan selaput otak (contoh : kaku leher)
- Mengalami complex partial seizure
- Kunjungan ke dokter dalam 48 jam sebelumnya (sudah sakit dalam 48 jam sebelumnya)
- Kejang saat tiba di IGD (instalasi gawat darurat)
- Keadaan post-ictal (pasca kejang) yang berkelanjutan. Mengantuk hingga sekitar 1 jam setelah kejang
demam adalah normal.
- Kejang pertama setelah usia 3 tahun
Pada anak dengan usia > 18 bulan, pungsi lumbar dilakukan jika tampak tanda peradangan selaput otak,
atau ada riwayat yang menimbulkan kecurigaan infeksi sistem saraf pusat. Pada anak dengan kejang
demam yang telah menerima terapi antibiotik sebelumnya, gejala meningitis dapat tertutupi, karena itu
pada kasus seperti itu pungsi lumbar sangat dianjurkan untuk dilakukan.
2. EEG (electroencephalogram)
EEG adalah pemeriksaan gelombang otak untuk meneliti ketidaknormalan gelombang. Pemeriksaan ini
tidak dianjurkan untuk dilakukan pada kejang demam yang baru terjadi sekali tanpa adanya defisit
(kelainan) neurologis. Tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa EEG yang dilakukan saat kejang
demam atau segera setelahnya atau sebulan setelahnya dapat memprediksi akan timbulnya kejang
tanpa demam di masa yang akan datang. Walaupun dapat diperoleh gambaran gelombang yang
abnormal setelah kejang demam, gambaran tersebut tidak bersifat prediktif terhadap risiko berulangnya
kejang demam atau risiko epilepsi.
3. Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.
4. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan seperti pemeriksaan darah rutin, kadar elektrolit, kalsium, fosfor, magnsium, atau gula
darah tidak rutin dilakukan pada kejang demam pertama. Pemeriksaan laboratorium harus ditujukan
untuk mencari sumber demam, bukan sekedar sebagai pemeriksaan rutin.
5. Neuroimaging
Yang termasuk dalam pemeriksaan neuroimaging antara lain adalah CT-scan dan MRI kepala.
Pemeriksaan ini tidak dianjurkan pada kejang demam yang baru terjadi untuk pertama kalinya.
F. Pencegahan
Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan untuk pencegahan epilepsi.
Resiko epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsi yang digunakan
sepanjang kehamilan. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama yang dapat dicegah.
Melalui program yang memberi keamanan yang tinggi dan tindakan pencegahan yang aman, yaitu tidak
hanya dapat hidup aman, tetapi juga mengembangkan pencegahan epilepsi akibat cedera kepala. Ibu-ibu
yang mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita dengan latar belakang sukar melahirkan, pengguna
obat-obatan, diabetes, atau hipertensi) harus di identifikasi dan dipantau ketat selama hamil karena lesi
pada otak atau cedera akhirnya menyebabkan kejang yang sering terjadi pada janin selama kehamilan
dan persalinan.
Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia dini, dan program pencegahan
kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti konvulsan secara bijaksana dan memodifikasi gaya
hidup merupakan bagian dari rencana pencegahan ini.
G. Pengobatan
Pengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang. Penderita akan diberikan obat antikonvulsan
untuk mengatasi kejang sesuai dengan jenis serangan. Penggunaan obat dalam waktu yang lama
biasanya akan menyebabkan masalah dalam kepatuhan minum obat (compliance) seta beberapa efek
samping yang mungkin timbul seperti pertumbuhan gusi, mengantuk, hiperaktif, sakit kepala, dll.
Penyembuhan akan terjadi pada 30-40% anak dengan epilepsi. Lama pengobatan tergantung jenis
epilepsi dan etiologinya. Pada serangan ringan selama 2-3th sudah cukup, sedang yang berat
pengobatan bisa lebih dari 5th. Penghentian pengobatan selalu harus dilakukan secara bertahap.
Tindakan pembedahan sering dipertimbangkan bila pengobatan tidak memberikan efek sama sekali.
Penanganan terhadap anak kejang akan berpengaruh terhadap kecerdasannya. Jika terlambat
mengatasi kejang pada anak, ada kemungkinan penyakit epilepsi, atau bahkan keterbalakangan mental.
Keterbelakangan mental di kemudian hari. Kondisi yang menyedihkan ini bisa berlangsung seumur
hidupnya.
H. Konsep Keperawatan
A. Pengkajian
Perawat mengumpulkan informasi tentang riwayat kejang pasien. Pasien ditanyakan tentang faktor atau
kejadian yang dapat menimbulkan kejang. Asupan alkohol dicatat. Efek epilepsi pada gaya hidup dikaji:
- Apakah ada keterbatasan yang ditimbulkan oleh gangguan kejang?
- Apakah pasien mempunyai program rekreasi? Kontak sosial?
- Apakah pengalaman kerja?
- Mekanisme koping apa yang digunakan?
Obsevasi dan pengkajian selama dan setelah kejang akan membantu dalam mengindentifikasi tipe
kejang dan penatalaksanaannya.
1. Selama serangan :
- Apakah ada kehilangan kesadaran atau pingsan.
- Apakah ada kehilangan kesadaran sesaat atau lena.
- Apakah pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh ke lantai.
- Apakah disertai komponen motorik seperti kejang tonik, kejang klonik, kejang tonik-klonik, kejang
mioklonik, kejang atonik.
- Apakah pasien menggigit lidah.
- Apakah mulut berbuih.
- Apakah ada inkontinen urin.
- Apakah bibir atau muka berubah warna.
- Apakah mata atau kepala menyimpang pada satu posisi.
- Berapa lama gerakan tersebut, apakah lokasi atau sifatnya berubah pada satu sisi atau keduanya.
2. Sesudah serangan
- Apakah pasien : letargi , bingung, sakit kepala, otot-otot sakit, gangguan bicara
- Apakah ada perubahan dalam gerakan.
- Sesudah serangan apakah pasien masih ingat apa yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan.
- Apakah terjadi perubahan tingkat kesadaran, pernapasan atau frekuensi denyut jantung.
- Evaluasi kemungkinan terjadi cedera selama kejang.
3. Riwayat sebelum serangan
- Apakah ada gangguan tingkah laku, emosi.
- Apakah disertai aktivitas otonomik yaitu berkeringat, jantung berdebar.
- Apakah ada aura yang mendahului serangan, baik sensori, auditorik, olfaktorik maupun visual.
4. Riwayat Penyakit
- Sejak kapan serangan terjadi.
- Pada usia berapa serangan pertama.
- Frekuensi serangan.
- Apakah ada keadaan yang mempresipitasi serangan, seperti demam, kurang tidur, keadaan emosional.
- Apakah penderita pernah menderita sakit berat, khususnya yang disertai dengan gangguan kesadaran,
kejang-kejang.
- Apakah pernah menderita cedera otak, operasi otak
- Apakah makan obat-obat tertentu
- Apakah ada riwayat penyakit yang sama dalam keluarga
5. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat keluarga dengan kejang
b. Riwayat kejang demam
c. Tumor intrakranial
d. Trauma kepal terbuka, stroke
6. Riwayat Kejang
a. Berapa sering terjadi kejang
b. Gambaran kejang seperti apa
c. Apakah sebelum kejang ada tanda-tanda awal
d. Apa yang dilakuakn pasien setelah kejang
7. Riwayat Penggunaan Obat
a. Nama obat yang dipakai
b. Dosis obat
c. Berapa kali penggunaan obat
d. Kapan putus obat
8. Pemeriksaan fisik
a. Tingkat kesadaran
b. Abnormal posisi mata
c. Perubahan pupil
d. Garakan motorik
e. Tingkah laku setelah kejang
f. Apnea
g. Cyanosis
h. Saliva banyak
9. Psikososial
a. Usia
b. Jenis kelamin
c. Pekerjaan
d. Peran dalam keluarga
e. Strategi koping yang digunakan
f. Gaya hidup dan dukungan yang ada
10. Pengetahuan pasien dan keluarga
a. Kondisi penyakit dan pengobatan
b. Kondisi kronik
c. Kemampuan membaca dan belajar
11. Pemeriksaan Diagnostik
a. laboratorium
b. radiologi
I. Diagnosa keperawatan
1. Resiko tinggi terhadap trauma/penghentian pernapasan.
2. Resiko tinggi tidak efektif jalan nafas, pola nafas b/d kerusakan persepsi.
3. Gangguan harga diri/identitas pribadi b/d persepsi tidak terkontrol
4. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan aturan pengobatan
J. Intervensi Keperawatan
1. Dx: resiko tinggi tidak efektif jalan nafas, pola nafas b/d kerusakan persepsi
Intervensi:
Mandiri
a. Anjurkan pasien untuk mengosongkan mulut dari benda/zat tertentu/gigi palsu atau alat yang lain jika
fase aura terjadi dan untuk menghindari rahang mengatup jika kejang terjadi tanpa ditandai gejala awal.
b. Letakkan pasien pada posisi miring, permukaan datar, miringkan kepala selama serangan kejang.
c. Tanggalkan pakaian pada daerah leher/abdomen.
d. Masukkan spatel lidah atau gulugan benda lunak sesuai dengan indiksi.
e. Lakukan penghisapan sesuai indikasi.
Kolaborasi
a. Berikan tambahan oksigen sesuai kebutuhan pada fase posiktal.
b. Siapkan untukmelakukan intubasi, jika ada indikasi
2. Dx: Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan aturan pengobatan
Interverensi :
a. Jelaskan kembali mengenai patofisiologi/ prognosis penyakit dan perlunya pengobata/penanganan
dalam jangka waktu yang lama sesuai indikasi.
b. Tinjau kembali obat-obat yang didapat, penting sekali memakan obat sesuai petunjuk, dan tidak
menghentikan pengobatan tanpa pengawasan dokter. Termasuk petunjuk untuk pengurasi dosis.
c. Berikan petunjuk yang jelas pada pasien untuk minum obat bersamaan dengan waktu makan, jika
memungkinkan.
d. Diskusikan mengenai efek samping secara khusus, seperi mengantuk, hiperaktif, gangguan tidur,
hipertrofi pada gusi, gangguan penglihatan, mual/muntah, ruam pada kulit, sinkope/ataksia, kelahiran
yang terganggu dan anemia aplastik.
e. Anjurkan pasien untuk menggunakan semacam gelang identifikasi/semacam petunjuk yang
memberitahukan bahwa pasien adalah penderita epilepsi.
f. Tekankan perlunya untuk melakukan evaluasi yang teratur/melakukan pemeriksaan laboratorium yang
teratur sesuai dengan indikasi, seperti darah lengkap harus diperiksa minimal dua kali dalam satu tahun
dan munculnya sakit tenggorok atau demam.
g. Bicarakan kembali kemungkinan efek dari perubahan hormonal
h. Diskusikan manfaat dari kesehatan umum yang baik, seperti diet yang adekuat, istirahat yang cukup,
latihan yang cukup dan hindari bahaya, alkohol, kefein dan obaat yang dapat menstimulasi kejang.
i. Tinjau kembali pentingnya kebersihan mulut dan perawatan gigi teratur.
j. Identifikasi perlunya penerimaan terhadap keterbatasan yang dimiliki, diskusikan tindakan keamanan
yang diperhatikan saat mengemudi, menggunakan alat mekanik, panjat tebing, berenang, hobi dan
sejenisnya.
3. Dx : Gangguan harga diri/identitas pribadi b/d persepsi tidak terkontrol
Interverensi :
a. Diskusikan perasaan klien mengenai diagnostic, persepsi diri terhadap penanganan yang dilakukan.
Anjurkan untuk mengungkapkan perasaannya.
b. Identifikasi kemungkinan reaksi orang pada keadaan penyakitnya.
c. Hindari pemberian perlindungan yang amat berlebihan pada klien. Anjurkan aktivitas dengan
memberikan pengawasan/ pemantauan jika ada indikasi.
d. Tentukan sikap/kecakapan orang terdekat. Bantu ia menyadari perasaan itu adalah normal.
4. Dx : Resiko tinggi terhadap trauma/penghentian pernapasan.
Interverensi :
a. Pertahankan bantalan lunak pada penghalang tempat tidur yang terpasang dengan tempat tidur posisi
rendah.
b. Evaluasi kebutuhan untuk/berikan perlindungan pada kepala
c. Gunakan termometer dengan bahan metal atau dapatkan suhu melalui lubang telingan jika perlu.
d. Pertahankan tirah baring secara ketat jika pasien mengalami tanda-tanda timbulnya fase prodomal.
Jelaskan pada orang tua klien perlunya kegiatan ini.
e. Tinggallah bersama pasien dalam waktu beberapa lama selama/setelah kejang.
f. Masukkan jalan napas buatan yang terbuat dari plastik/biarkan pasien menggigit benda lunak antara gigi
(jika rahang sedang relaksasi ). Miringkan kepala kesalah satu sisi/lakukan penghisapan pada jalan
napas sesuai indikasi.
g. Atur kepala, tempatkan diatas daerah yang empuk atau bantu meletakkan pada lantai jika keluar dari
tempat tidur. Jangan melakukan reistren.
h. Cata tipe dari aktivitas kejang ( seperti lokasi/lamanya aktivitas motorik, hilang/penurunan kesadaran,
inkontinensia) dan berapa kali terjadi ( frekuensi/kambuhnya)
2.1 Pengkajian
- Identitas
Nama anak : An. A
Umur : 15 bulan
Jenis kelamin : perempuan
No. Register : 10082571
Lahir : Normal
Tempat/tanggal lahir : Surabaya, 23 Agustus 2007
Diagnosa Medis :Kejang Epilepsi
Tanggal MRS :
d. Riwayat Imunisasi
Ibu mengatakan bahwa imunisasi anaknya sudah lengkap. Reaksi setelah mendapat imunisasi DPT anak
panas tetapi tidak kejang, sembuh dengan meminum obat yang diberikan petugas kesehatan.
3.5 Implementasi
Tanggal Pelaksanaan Pelaksanaan
Tanggal 8 Desember 2008 Diagnosa : Resiko tinggi tidak efektif jalan
nafas, pola nafas b/d kerusakan persepsi.
1. Mengosongkan mulut dari benda/zat
tertentu/gigi palsu atau alat yang lain untuk
menghindari rahang mengatup jika kejang
terjadi tanpa ditandai gejala awal
2. Meletakkan pasien pada posisi miring,
permukaan datar, miringkan kepala selama
serangan kejang.
3. Melakukan penghisapan jika ada sumbatan
pada jalan napas.
4. melepaskan pakaian pada daerah
leher/abdomen.
Tanggal 8 Desember 2008 Diagnosa : kurangnya pengetahuan
keluarga tentang penyakit b/d keterbatasan
informasi
1. mengkakji tingkat pengetahuan keluarga
2. memberikan penjelasan tentang penyakit
yang diderita anak dan semua prosedur
perawatan yang akan dilakukan
3. Jika anak sembuh, jaga agar tidak terkena
penyakit infeksi dengan menghindari
penderita penyakit menular sehingga tidak
mencetuskan kenaikan suhu.
4. Memberitahu keluarga agar memberikan
informasi pada petugas imunisasi bahwa
anaknya pernah mendapat kejang sehingga
pemberian imunisasi DPT tidak diberikan
pertusis, hanya DT saja.
3.4 Perencanaan
2. Diagnosa / masalah :
Resiko tinggi tidak efektif jalan nafas, pola nafas b/d
kerusakan persepsi.
Tujuan :
Mengurangi ketidak efektifan jalan nafas
Kriteria :
- Dapat bernafas secara spontan
- Mengurangi rasa gelisah dan rewel
- Badan tidak terlihat lemas
Rencana :
- Berikan tambahan oksigen sesuai kebutuhan - Memperlancar pemenuhan oksigen
yg terhambat
- Tanggalkan pakaian pada daerah leher/abdomen. - Supaya dapat bernafas lega
- Lakukan penghisapan sesuai indikasi. - Memperlancar jalan nafas
3. Diagnosa / masalah :
Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan aturan
pengobatan
Tujuan :
Pengetahuaan keluarga bertambah tentang penyakit
anaknya
Kriteria :
- Keluarga tidak sering bertanya tentang penyakit
anaknya
- Keluarga mampu di ikut sertakan dalam proses
keperawatan keluarga menaati setiap proses
keperawatan
Rencana :
- Kaji tingkat pengetahuuan keluarga - Mengetahui sejauh mana
pengetahuuan yang di miliki oleh
keluarga dan kebebaran informasi
yang di dapat
- Agar keluarga dapat menerima
informasi dengan mudah dan tepat
- Beri penjelasan tentang penyakit yang di derita anak sehingga tidak timbul
dan semua prosedur peawatan yang akan di lakukan kesalahpahaman sehingga
keluarga lebih kooperatif
- Sebagai upaya preventif seranggan
kejang ulang