Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Dalam GBHN, dinyatakan bahwa pola dasar pembangunan Nasional pada hakekatnya adalah
Pembangunan Manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia. Jadi jelas bahwa
hubungan antara usaha peningkatan kesehatan masyarakat dengan pembangunan, karena tanpa modal
kesehatan niscaya akan gagal pula pembangunan kita.
Usaha peningkatan kesehatan masyarakat pada kenyataannya tidaklah mudah seperti membalikkan
telapak tangan saja, karena masalah ini sangatlah kompleks, dimana penyakit yang terbanyak diderita oleh
masyarakat terutama pada yang paling rawan yaitu ibu dan anak, ibu hamil dan ibu meneteki serta anak
bawah lima tahun.
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak. Insidens
menurut kelompok umur Balita diperkirakan 0,29 episode per anak/tahun di Negara berkembang dan 0,05
episode per anak/tahun di negara maju. Ini menunjukkan bahwa terdapat 156 juta episode baru di dunia per
tahun dimana 151 juta episode (96,7%) terjadi di Negara berkembang. Kasus terbanyak terjadi di India (43
juta), China (21 juta) dan Pakistan (10 juta) dan Bangladesh, Indonesia, Nigeria masing-masing 6 juta
episode. Dari semua kasus yang terjadi di masyarakat, 7-13% kasus berat dan memerlukan perawatan
rumah sakit. Episode batuk-pilek pada Balita di Indonesia diperkirakan 2-3 kali per tahun (Rudan et al Bulletin
WHO 2008). ISPA merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien di Puskesmas (40%-60%) dan
rumah sakit (15%-30%). (Kemkes RI, Pedoman Pengendalian ISPA)
ISPA sering disalah-artikan sebagai infeksi saluran pernapasan atas. Yang benar, ISPA merupakan
singkatan dari Infeksi Saluran Pernafasan Akut, yang meliputi saluran pernapasan bagian atas dan saluran
pernapasan bagian bawah. Penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu atau lebih bagian dari saluran
napas mulai dari hidung (saluran bagian atas) hingga jaringan di dalam paru-paru (saluran bagian bawah).
Pada mulanya istilah ISPA diadaptasi dari Bahasa Inggris yaitu Acute Respiratory Infections (ARI).
Sehingga dari istilah tersebut terdapat beberapa unsur yang ada dalam ISPA, meliputi Infeksi, Saluran
pernapasan, dan Infeksi akut.
Infeksi merupakan masuknya kuman yang ada dalam tubuh sehingga berkembanglah suatu penyakit
yang nantinya akan menimbulkan gejala penyakit. Pada dasarnya kuman yang masuk dalam tubuh manusia
adalah mikroorganisme.
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit saluran pernafasan akut yang menyerang
saluran utama pernafasan yang meliputi saluran pernafasan bagian atas seperti rhinitis, fharingitis,
dan otitis serta saluran pernafasan bagian bawah seperti laryngitis, bronchitis, bronchiolitis danpneumonia,
yang dapat berlangsung selama 14 hari. Batas waktu 14 hari diambil untuk menentukan batas akut dari
penyakit tersebut. Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung sampai alveolibeserta organ
seperti sinus, ruang telinga tengah dan pleura (Depkes RI, 2008).
Infeksi Saluran Pernafasan Atas disebabkan oleh beberapa golongan kuman yaitu bakteri, virus,
dan ricketsia yang jumlahnya lebih dari 300 macam. Pada ISPA atas 90-95% penyebabnya adalah virus. Di
negara berkembang, ISPA bawah terutama pneumonia disebabkan oleh bakteri dari genus
streptokokus, haemofilus, pnemokokus, bordetella dan korinebakterium, sedang di negara maju ISPA
bawah disebabkan oleh virus, miksovirus, adenivirus, koronavirus, pikornavirus dan herpesvirus(Parker,
1985 dalam Putranto, 2007).
Cara penularan ISPA kontak langsung melalui mulut dan droplet (pengecilan tetesan seperti partikel
cairan yang dimuntahkan dari mulut pada waktu kita batuk, bersin, atau berbicara yang mungkin membawa
infeksi yang lain melalui udara atau penularan terjadi karena kontak langsung melalui udara) atau penularan
terjadi karena kontak langsung melalui tangan, sapu tangan, peralatan makanan atau benda-benda lain yang
baru saja terkontaminasi oleh saluran pernafasan dari orang-orang yang terinfeksi. Virus yang dikeluarkan
melalui tinja fekal-oral (Depkes RI).
Ada beberapa klasifikasi dari ISPA (Depkes RI tahun 2008) antara lain :
1. Ringan (bukan pneumonia): Batuk tanpa pernafasan cepat / kurang dari 40 kali / menit, hidung tersumbat /
berair, tenggorokan merah, telinga berair.
2. Sedang (pneumonia sedang): Batuk dan nafas cepat tanpa stridor, gendang telinga merah, dari telinga
keluar cairan kurang dari 2 minggu. Faringitis purulen dengan pembesaran kelenjar limfe yang nyeri tekan
(adentis servikal).
3. Berat (pneumonia berat): Batuk dengan nafas berat, cepat dan stridor, membran keabuan di taring,
kejang,apnea, dehidrasi berat / tidur terus, sianosis dan adanya penarikan yang kuat pada dinding dada
sebelah bawah ke dalam.

Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan masalah kesehatan yang sangat serius baik di Dunia
maupun di Indonesia. Tahun 2008 UNICEF dan WHO melaporkan bahwa ISPA merupakan penyebab
kematian paling besar pada manusia, jika dibandingkan dengan total kematian akibat AIDS, malaria dan
campak. Kematian akibat ISPA ini (99,9% terutama Pneumonia) terjadi pada negara-negara kurang
berkembang dan berkembang seperti Sub Sahara Afrika dan Asia khususnya di Asia tenggara dan Asia
Selatan. Untuk Sub Sahara sendiri terjadi 1.022.000 kasus per tahun sedangkan di Asia Selatan mencapai
702.000 kasus per tahun (Depkes RI, 2010).
Kematian akibat ISPA lebih di dominasi balita usia 0-59 bulan yaitu lebih dari 2 juta kematian tiap
tahunnya, ini juga berarti 1 dari 5 orang balita di dunia meninggal setiap harinya. Dari seluruh kasus kematian
balita usia 1-5 akibat ISPA, tiga perempatnya terjadi pada 15 negara, termasuk Indonesia yang menempati
peringkat keenam dengan jumlah kasus ISPA sebanyak 6 juta kasus per tahun (Depkes RI, 2010).
Secara umum penemuan kasus ISPA di Indonesia sangat mencengangkan. Betapa tidak, selama 10
tahun (2000-2010) persentase atas kasus ini berkisar antara 24,6%-35,9%. Berdasarkan hasil survei
demografi kesehatan Indonesia, kematian balita 1-4 tahun (AKABA) pada tahun 2007 sebesar 44 per 1000
kelahiran hidup, 15,5% atau sebesar 30.470 kematian pada balita usia 1-5 tahun disebabkan oleh ISPA. Ini
berarti secara rata-rata di Indonesia 83 orang balita meninggal setiap harinya karena ISPA. Sehingga
tidaklah mengherankan kemudian jika Riskesdas (2010) menepatkan ISPA pada peringkat kedua sebagai
penyebab kematian balita di Indonesia (Depkes RI, 2010).
Program pengendalian ISPA secara khusus telah dimulai sejak tahun 1984, dengan tujuan berupaya
untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian khususnya pada bayi dan anak balitayang disebabkan
oleh ISPA , namun kelihatannya angka kesakitan dan kematian tersebut masih tetap tinggi seperti yang telah
dilaporkan berdasarkan data Riskesda 2013, yaitu Lima provinsi dengan ISPA tertinggi adalah Nusa
Tenggara Timur (41,7%), Papua (31,1%), Aceh (30,0%), Nusa Tenggara Barat (28,3%), dan Jawa Timur
(28,3%). Pada Riskesdas 2007, Nusa Tenggara Timur juga merupakan provinsi tertinggi dengan ISPA
(41,4%). Period prevalence ISPA Indonesia menurut Riskesdas 2013 (25,0%) tidak jauh berbeda dengan
2007 (25,5%).
Salah satu permasalahan yang dihadapi dalam menentukan penyakit ISPA di Indonesia adalah masih
terbatasnya data yang dapat dipercaya dan mutakhir. Hal ini disebabkan penyakit ISPA merupakan
kelompok penyakit yang dapat menginfeksi pada berbagai lapisan masyarakat dan di berbagai daerah
dengan letak geografis yang berbeda dan berpotensi menjadi daerah endemik dari beberapa penyakit infeksi
yang setiap saat dapat menjadi acaman bagi kesehatan masyarakat.Pengaruh geografis dapat mendorong
terjadinya peningkatan kasus maupun kematian penderita akibat ISPA, misalnya pencemaran lingkungan
yang disebabkan oleh asap karena kebakaran hutan, gas buangan yang berasal dari sarana transpotasi dan
polusi udara dalam rumah karena asap dapur, asap rokok, perubahan iklim global antara lain perubahan
suhu udara, kelembaban, dan curah hujan merupakan acaman kesehatan terutama pada penyakit ISPA.

B. Rumusan masalah
Rumusan masalah yang penulis angkat berdasarkan tema Penyakit ISPA adalah Program
Pengendalian Penyakit ISPA.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Program Pengendalian Penyakit ISPA (P2 ISPA)


Program pengendalian ISPA secara khusus telah dimulai sejak tahun 1984, dengan tujuan berupaya
untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian khususnya pada bayi dan anak balita yang disebabkan
oleh ISPA , namun kelihatannya angka kesakitan dan kematian tersebut masih tetap tinggi seperti yang telah
dilaporkan berdasarkan data Riskesda 2013, yaitu Lima provinsi dengan ISPA tertinggi adalah Nusa
Tenggara Timur (41,7%), Papua (31,1%), Aceh (30,0%), Nusa Tenggara Barat (28,3%), dan Jawa Timur
(28,3%). Pada Riskesdas 2007, Nusa Tenggara Timur juga merupakan provinsi tertinggi dengan ISPA (41,4
%). Periode prevalence ISPA Indonesia menurut Riskesdas 2013 (25,0%) tidak jauh berbeda dengan 2007
(25,5%).
Ruang lingkup pengendalian ISPA pada awalnya fokus pada pengendalian pneumonia balita. Dalam
beberapa tahun terakhir telah mengalami pengembangan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan pelayanan
kesehatan masyarakat yaitu:
1. Pengendalian Pneumonia Balita.
2. Pengendalian ISPA umur 5 tahun.
3. Kesiapsiagaan dan Respon terhadap Pandemi Influenza serta penyakit saluran pernapasan lain yang
berpotensi wabah.
4. Faktor risiko ISPA.
Dalam upay pengendalian penyakit ISPA ini dirumuskan beberapa program pengendalian penyakit ISPA
yang dilaksanakan melaluli beberapa kegiatan penting antara lain:
1. Kebijakan, untuk mencapai tujuan program pemberatasan penyakit ISPA balita maka dirumuskan
kebijakan sebagai berikut :
a. Melaksanakan promosi meliputi advokasi dan sosialisasi, untuk penanggulangan pnemonia balita sehingga
masyarakat, mitra kerja terkait dan pengambil keputusan mendukung pelaksanaan penanggulangan
pnemonia balita.
b. Melaksanakan penemuan penderita melalui saran kesehatan dasar (pelayanan kesehatan di desa,
Puskesmas Pembantu, Puskesmas dan Sarana Rawat Jalan Rumah Sakit) dibantu oleh kegiatan Posyandu
dan Kader Posyandu.
c. Melaksanakan tatalaksana standard penderita ISPA dengan deteksi dini, pengobatan yang tepat dan
segera, pencegahan komplikasi dan rujukan ke sarana kesehatan yang lebih memadai.
d. Melaksanakan surveilans kesakitan dan kematian pnemonia balita serta faktor resikonya termasuk faktor
resiko lingkungan dan kependudukan.
2. Strategi, rumusan umum strategi pemberantasan penyakit ISPA adalah sebagai berikut:
a. Promosi penanggulangan pnemonia balita melalui advokasi, bina suasana dan gerakan masyarakat.
b. Penurunan angka kesakitan dilakukan dengan upaya pencegahan atau penanggulangan faktor resiko
melalui kerjasama lintas program dan lintas sektor, seperti melalui kerjasama dengan program imunisasi,
program bina kesehatan balita, program bina gizi masarakat dan program penyehatan lingkungan
pemukiman.
c. Peningkatan penemuan melalui upaya peningkatan prilaku masyarakat dalam pencaharian pengobatan
yang tepat.
d. Melaksanakan tatalaksana kasus melalui pendekatan Manejemen Terpadu Balita sakit (MTBS) dan audit
kasus untuk peningkatan kualitas tatalaksana kasus ISPA.
e. Peningkatan sistem surveilans ISPA melalui kegiatan surveilans rutin, autopsi verbal dan pengembangan
informasi kesehatan serta audit manejemen program.
3. Kegiatan Pokok P2 ISPA
Dalam mencapai sasaran dan tujuan pengendalian penyakit ISPA, maka Strategi Pengendalian Penyakit
ISPA dijabarkan dalam 7 kegiatan pokok yaitu:
a. Promosi penanggulangan pnemonia balita
b. Kemitraan
c. Peningkatan penemuan kasus dan kualitas tatalaksana kasus ISPA
d. Peningkatan kualitas sumber daya
e. Surveilans ISPA
f. Pemantauan dan evaluasi
g. Pengembangan program ISPA.
Dalam pelaksanaannya kegiatan P2 ISPA mengacu kepada pendekatan Manajemen Pemberantasan
Penyakit Menular Berbasis Wilayah atau dengan kata lain diarahkan menanggulangi secara komprehensif
faktor-faktor yang berhubungan dengan kesakitan dan kematian balita termasuk faktor resiko lingkungan,
faktor resiko kependudukan dan penanganan kasus yang dilakukan secara terpadu dengan mitra kerja terkait
yang didukung oleh surveilans yang baik serta tercemin dalam perencanaan dan penganggaran kesehatan
secara terpadu (P2KT).
Secara rinci kegiatan pokok ISPA dijabarkan sebgai berikut:
1. Promosi Penanggulangan Pneumonia Balita
Pemberantasan penyakit ISPA di Indonesia mencakup kegiatan advokasi, bina suasana dan gerakan
masyarakat. Tujuan yang diharapkan dari kegiatan promosi balita secara umum adalah meningkatnya
pengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat dalam upaya dalam penanggulangan pnemonia balita.
Sasaran promosi dalam P2 ISPA mencakup sasaran primer (ibu balita dan keluarganya), sasaran sekunder
(petugas kesehatan dan petugas lintas program serta lintas sektor), dan sasaran tersier (pengambil
keputusan). Pesan pokok, metode dan media yang digunakan sesuai dengan sasaran.
2. Kemitraan
Merupakan faktor penting untuk menunjang keberhasilan program. Pembangunan kemitraan dalam program
P2 ISPA diarahkan untuk meningkatkan peran serta masyarakat, peran serta lintas program dan lintas sektor
terkait serta peran pengambil keputusan termasuk penyandang dana. Dengan demikian pembangunan
kemitraan diharapkan pendekatan pelaksanaan program pemberantasan penyakit ISPA khususnya
pnemonia dapat terlaksana secara terpadu dan kompherensif. Dengan kata lain intervensi pemberantasan
penyakit ISPA tidak hanya tertuju pada penderita saja, tetapi juga terhadap faktor resiko (lingkungan dan
kependudukan) dan faktor lain yang berpengaruh melalui dukungan peran aktif sektor lain yang
berkompeten.
3. Peningkatan Penemuan dan Tatalaksana Kasus
Kegiatan ini merupakan kegiatan terpenting, karena keberhasilan upaya penurunan kematian pnemonia
pada balita ditentukan oleh keberhasilan upaya penemuan dan tatalaksana penderita ini.
Dalam kebijakan dan strategi Program P2 ISPA maka penemuan dan tatalaksana penderita ini dilaksanakan
di rumah tangga dan masyarakat (keluarga, kader dan posyandu), di tingkat pelayanan kesehatan swasta
(praktek dokter, poliklinik swasta, RS swasta). Dengan demikian yang melaksanakan kegiatan secara
langsung adalah tenaga kesehatan di sarana-sarana kesehatan tersebut dan kader posyandu di masyarakat.
Adapun prosedur penemuan dan tatalaksana penderita ISPA di masing-masing sarana/tingkatan mengacu
pada tatalaksana standar yang ditetapkan.
Sedangkan tatalaksana kasus ISPA dilaksanakan melalui pendekatan Manajemen Terpadu Balita Sakit
(MTBS) disarana kesehatan dasar. Disamping itu perlu dilakukan audit kasus dalam upaya peningkatan
kualitas tatalaksana kasus yang dilaksanakan dengan koordinasi tingkat kabupaten/kota.
4. Peningkatan Kualitas Sumber Daya
a. Sumber Daya Manusia (SDM)
Sumber Daya Manusia yang terlibat dalam program P2 ISPA meliputi kader, petugas kesehatan yang
memberikan tatalaksana ISPA di sarana pelayanan kesehatan (Polindes, Pustu, Puskesmas, RS, Poliklinik),
pengelola program ISPA di puskesmas, kabupaten/kota, provinsi dan pusat. Upaya peningkatan kualitas
SDM P2 ISPA dilakukan di berbagai jenjang melalui kegiatan pelatihan, setiap pelatihan yang dilakukan perlu
ditindaklanjuti dengan supervisi dan monitoring serta pembinaan di lapangan. Selanjutnya pelaksanaan
pelatihan secara terpadu dengan program lain perlu dikembangkan, terutama pelatihan menyangkut aspek
manajemen atau pengelola program P2 ISPA dilakukan pula melalui kegiatan magang, asistensi tatalaksana
oleh dokter ahli, studi banding, seminar dan workshop sesuai dengan kebutuhan.
b. Logistik
Dukungan logistik sangat diperlukan dalam menunjang pelaksanaan program P2 ISPA. Aspek logistik
Pemberantasan Penyakit ISPA mencakup peralatan, bahan dan sarana yang diperlukan untuk
melaksanakan kegiatan-kegiatan. Sampai saat ini logistik kegiatan distandarisasi, dari logistik untuk kegiatan
penemuan dan tatalaksana penderita dan logistik untuk kegiatan komunikasi dan penyebaran informasi.
Untuk kegiatan penemuan dan tatalaksana penderita mencakup obat dan alat bantu hitung pernapasan
(soundtimer).
Untuk kegiatan komunikasi dan penyebaran informasi, logistik yang telah disediakan program meliputi media
cetak dan elektronik.
5. Surveilans ISPA
Untuk melaksanakan kegiatan pencegahan, pemberantasan dan penanggulangan penyakit termasuk ISPA
secara efektif dan efisien, diperlukan data dasar (baseline) dan data program yang lengkap dan akurat.
Upaya dalam mendapatkan data atau informasi tersebut diatas dilakukan melalui kegiatan surveilans
epidemiologi ISPA yang aktif dengan diferivikasi oleh survey atau penelitian yang sesuai. Surveilans
epidemiologi ISPA diarahkan untuk mendapatkan data dan informasi yang dapat digunakan sebagai
landasan dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan program pemberantasan ISPA secara efektif dan
efisien serta mampu mengantifikasi kecenderungan-kecenderungan yang mungkin muncul.
Namun demikian secara umum pelaksanaan surveilans Program P2 ISPA mengikuti langkah-langkah
surveilans epidemiologi pada umumnya, sebagaimana diuraikan berikut:
a. Tujuan Surveilans ISPA
Menyediakan informasi tentang situasi dan besarnya masalah penyakit ISPA khususnya kejadian pnemonia
balita dan kematian balita akibat pnemonia di masyarakat beserta faktor resikonya dan informasi lain yang
diperlukan bagi upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA secara efektif sehingga angka
kesakitan dan kematian balita akibat pnemonia dapat diturunkan sesuai tujuan pemberantasan penyakit
ISPA.
b. Kegiatan
1) Pengumpulan data
Data penyakit ISPA termasuk pnemonia balita dikumpulkan di sarana kesehatan tingkat pertama (rawat jalan
rumah sakit, Puskesmas, Pustu dan Posyandu, serta pelayanan kesehatan swasta) dengan menggunakan
formulir, kartu atau buku khusus. Selanjutnya kasus pnemonia dari sarana tersebut dilaporkan ke puskesmas
yang menangani wilayah kerja dari sarana kesehatan yang bersangkutan, secara aktif (melaporkan sendiri)
maupun pasif (puskesmas menjemput laporan dari sarana kesehatan di wilayah kerjanya) dengan
menggunakan instrumen standar yang dibuat oleh puskesmas. Puskesmas selanjutnya meneruskan laporan
ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Untuk laporan kasus pnemonia dari rumah sakit, laporan langsung ke
Dinas Kesehatan (Subdin P2M).
2) Pengolahan dan Analisa Data
Data yang telah terkumpul, baik dari institusi sendiri maupun dari luar selanjutnya dilakukan pengolahan dan
analisa. Pengolahan dan analisa data dilaksanakan baik oleh puskesmas, Kabupaten/kota maupun Propinsi.
3) Penyajian Data Umpan Balik
Sebagai bahan atau dasar bagi kepentingan pelaksanaan kegiatan atau perbaikan pelaksanaan kegiatan,
hasil kerja survailans ISPA perlu disajikan dan disebarluaskan atau diumpanbalikan kepada pihak-pihak yang
memerlukannya secara teratur, baik kalangan internal maupun eksternal.

4) Peningkatan Jaringan Informasi


Jaringan informasi antara Kabupaten/Kota, Provinsi dan pusat sangat diperlukan untuk membangun sistem
informasi kesehatan yang handal sehingga mampu meningkatkan koordinasi dan keterpaduan
pelaksanaannya pemberantasan penyakit ISPA antar berbagai jenjang dari mulai perencanaan sampai
dengan evaluasi program.
6. Pemantauan dan Evaluasi
Kegiatan pokok ini terdiri dari dua kegiatan penting, yaitu pemantauan (monitoring) dan penilaian (evaluasi).
a. Pemantaauan Pemberantasan Penyakit ISPA (monitoring) dimaksudkan untuk memantau secara teratur
kegiatan dan pelaksanaan program agar dapat diketahui apakah kegiatan program dilaksanakan sesuai
dengan yang telah direncanakan dan digariskan oleh kebijaksanaan program. Pelaksanaan pemantauan
Pemberantasan Penyakit ISPA dapat memanfaatkan kegiatan supervisi dan bimbingan tehnis, Pencatatan
Pelaporan Pemberantasan Penyakit ISPA, dan Pemantauan program P2M & PL di Kabupaten/kota.
b. Evaluasi dilakukan untuk menilai apakah pencapaian hasil kegiatan telah memenuhi target yang diharapkan,
mengidentifikasi masalah dan hambatan yang dihadapi serta menyusun langkah-langkah perbaikan
selanjutnya termasuk perencanaan dan penganggaran. Kegiatan evaluasi dilaksanakan di berbagai jenjang
administrasi kesehatan, baik ditingkat pusat, provinsi maupun Kabupaten/Kota.
c. Peningkatan Manajemen Program, aspek manajemen program P2 ISPA yang masih memerlukan perhatian
terus ditingkatkan diantaranya aspek perencanaan, pembiayaan, dan administrsi. Aspek manajemen
tersebut diatas merupakan beban kerja terbesar untuk unit yang mengelola Pemberantasan Penyakit ISPA
baik di tingkat pusat, provinsi maupun Kabupaten/Kota.
Kegiatan ini juga dilaksanakan diberbagai tingkat administrasi kesehatan. Peningkatan manajemen program
pada aspek perencanaan dilakukan melalui penerapan perencanaan dan penganggaran kesehatan terpadu
(P2KT) dalam perencanaan kegiatan program P2 ISPA.
Penerapan P2KT dalam pelaksanaan program P2 ISPA akan efektif bila didukung kinerja surveilans yang
mampu memberikan informasi yang lengkap dan akurat sehingga menghasilkan perencanaan program P2
ISPA berdasarkan fakta (evidence based planning). Dalam meningkatkan manajemen pembiayaan,
diupayakan penggalian potensi sumber biaya masyarakat, swasta, organisasi non pemerintah, dan lembaga-
lembaga donor, mengingat kemampuan pemerintah dalam penyediaan biaya untuk program cukup terbatas.
Pembiayaan dipusat terutama bersumber pada APBN dengan sumber dana tambahan dari sumber dana
lain seperti dana kerjasama Pemerintah RI dengan organisasi internasional, dana bantuan pinjaman luar
negeri. Di provinsi pembiayaan terutama bersumber dari APBN dan Dana Alokasi Umum (DAU) provinsi
disamping sumber dana lain. Begitu pula di tingkat Kabupaten/Kota sebagian besar masih bertumpu pada
APBN disamping DAU Kabupaten/Kota, sedangkan potensi sumber dana dari masyarakat atau swasta
belum teralokasi dengan baik. Untuk itu dalam mewujudkan pembiayaan program P2 ISPA yang memadai
di berbagai jenjang administrasi kesehatan, perlu diupayakan secara terus-menerus penggalian potensi
sumber biaya non pemerintah.
7. Pengembangan Program
Dalam upaya pencapaian tujuan pemberantasan penyakit ISPA khususnya pneumonia, perlu dilakukan
pengembangan program sesuai dengan tuntutan perkembangan di masyarakat. Pengembangan program
P2 ISPA dilakukan diantaranya melalui kegiatan penelitian, uji coba konsep-konsep intervensi baru seperti
pendekatan tatalaksana penderita ISPA, pencegahan dan penanggulangan faktor resiko baik dilingkungan
maupun kependudukan, peningkatan kemitraan, peningkatan manajemen dan sebagainya serta kegiatan-
kegiatan ilmiah lainnya seperti pertemuan kajian program, seminar, workshop dan sebagainya.

B. Faktor-faktor Keberhasilan
Secara umum penemuan kasus ISPA di Indonesia sangat mencengangkan. Betapa tidak, selama 10
tahun (2000-2010) persentase atas kasus ini berkisar antara 24,6%-35,9%. Berdasarkan hasil survei
demografi kesehatan Indonesia, kematian balita 1-4 tahun (AKABA) pada tahun 2007 sebesar 44 per 1000
kelahiran hidup, 15,5% atau sebesar 30.470 kematian pada balita usia 1-5 tahun disebabkan oleh ISPA. Ini
berarti secara rata-rata di Indonesia 83 orang balita meninggal setiap harinya karena ISPA. Sehingga
tidaklah mengherankan kemudian jika Riskesdas (2010) menepatkan ISPA pada peringkat kedua sebagai
penyebab kematian balita di Indonesia (Depkes RI, 2010).
Namun, jika dilihat kembali dan dibandingkan antara angka kejadian ISPA pada Riskesda 2007, dan
2013, secara nasional mengalami penurunan yaitu 0,5 % dari 25,5 % pada 2007 menjadi 25,0% pada 2013.
Meskipun angka tersebut masih sangat jauh dari yang diharapkan, namun untuk pengendalian ISPA sendiri
setidaknya ada sedikit titik terang.
Untuk meningktkan keberhasilan pengendalian ISPA, tidak dapat dilaksanakan hanya dari jajaran
kesehatan saja namun harus didukung pemangku kepentingan dan masyarakat agar dapat mencapai tujuan.
Pelaksanaan pengendalian ISPA memerlukan komitmen pemerintah pusat, pemeritah daerah,
dukungan dari lintas program, lintas sektor serta peran serta masyarakat termasuk dunia usaha.Pedoman
ini mengulas situasi pengendalian pneumonia, kebijakan dan strategi, kegiatan pokok, peran pemangku
kepentingan, tantangan dan pengembangan ke depan sesuai dengan visi misi dan rencana strategis
Kementerian Kesehatan.
Peningkatan pelaksanaan pengendalian ISPA perlu didukung dengan berbagai kegiatan pengendalian
ISPA baik sarana, prasarana, sumber daya manusia dan semua sumber dana pendukung program yang
tersedia baik APBN maupun APBD untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya dalam mencapai tujuan program dan
target yang telah ditentukan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing jajaran kesehatan,
pemangku kepentingan dan masyarakat itu sendiri.

C. Faktor-faktor kegagalan
Secara nasional, terjadi penurunan tingkat kejadian ISPA yaitu 25,5 % pada SDKI 2007 menjadi 25,0%
pada SDKI 2013. Namun, berdasarkan angka kejadian pada beberapa provinsi dengan prevalensi kejadian
tertinggi, perbandingannya dapat dilihat pada tabel berikut:
Table 1.1
Prevalensi kejadian ISPA tertinggi di 5 Provinsi di Indonesia pada 2007-2013 (Riskesdas)
Prevalensi kejadian ISPA
No Provinsi
Riskesda 2007 Riskesda 2013
1 NTT 41,3% 41,7%
2 Aceh 36,6% 30,0%
3 Papua barat 36,2% 25,9%
4 Gorontalo 33,9% 23,2%
5 Papua 30,5% 31,1%

Table 1.2
Prevalensi kejadian ISPA tertinggi di 5 Provinsi di Indonesia pada 2007-2013 (Riskesdas)
Prevalensi kejadian ISPA
No Provinsi
Riskesda 2013 Riskesda 2007
1 NTT 41,7% 41,3%
2 Papua 31,1% 30,5%
3 Aceh 30,0% 36,6%
4 NTB 28,3% 26,5%
5 Jawa timur 28,3% 20,5%

Dari data diatas didapatkan bahwa terdapat peningkatan dan penurunan prevalensi kejadian ISPA pada
waktu dan tempat tertentu. Ada beberapa factor penting yang menjadi penyebab kurang efektifnya kegiatan
pengendalian penyakit ISPA antara lain :
1. Kurangnya sosialisasi kepada masyarakat mengenai kejadian ISPA, sehingga masyarakat
mengganggapnya biasa.
2. Salah satu permasalahan yang dihadapi dalam menentukan penyakit ISPA di Indonesia adalah masih
terbatasnya data yang dapat dipercaya dan mutakhir. Hal ini disebabkan penyakit ISPA merupakan
kelompok penyakit yang dapat menginfeksi pada berbagai lapisan masyarakat.
3. Kurangnya manajemen program, aspek manajemen program P2 ISPA yang masih memerlukan perhatian
untuk terus ditingkatkan diantaranya aspek perencanaan, pembiayaan, dan administrasi.
4. Kurangnya manajemen pembiayaan, mengingat kemampuan pemerintah dalam penyediaan biaya untuk
program cukup terbatas.
5. Perbedaan letak geografis, sanitasi, status gizi dan pengetahuan yang turut mempengaruhi keberhasilan
pengendalian ISPA.

D. Penerapan di daerah lain


Program pengendalian penyakit ISPA adalah program pemerintah yang dijalankan secara nasional,
yang berfungsi untuk meningkatkan pengendalian terhadap kejadian ISPA terutama peningkatan
pemantauan pneumonia pada balita dan beberapa ruang lingkup pengendalian ISPA lainnya yang bertujuan
untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian khususnya pada anak balita.
Program ini dapat diterapkan di daerah lain, karena ini adalah program yang secara nasional terdapat
pada Dinas Kesehatan Provinsi, Kab/Kota, Rumah sakit, Puskesmas, Pustu, dan instansi kesehatan lainnya
yang bekerja sama dalam upaya pengendalian ISPA.

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN (Analisis mahasiswa).


ISPA adalah penyakit yang disebabkan oleh kurang lebih 300 jenis virus, bakteri dan parasit yang
menyerang masyarakat dari berbagai latar belakang, pengaruh geografis, sanitasi, status gizi dan beberapa
faktor resiko lainnya.
Program Pengendalian Penyakit ISPA (P2 ISPA) adalah program nasional yang dijalankan atas dasar
kerja sama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam Pedoman Pengendalian Penyakit ISPA.
Secara Nasional angka kejadian ISPA dari tahun ke tahun mengalami penurunan, begitu juga di
beberapa daerah ada yang mengalami penurunan drastis, dan ada juga yang mengalami peningkatan yang
sedkit tetapi tidak dapat diabaikan.
Salah satu poin penting dalam MDGs 2015 adalah menurunkan angka kematian anak. Indikator
nasional angka kematian bayi berdasarkan Perpres No.5 tahun 2010 yang tertuang dalam RPJMN 2010-
2014 adalah 23 per 1000 KH. Sementara berdasarkan SDKI 2012 AKB adlah 32 per 1000 KH. Angka
kematian balita (AKBA) target MDGs 2015 adalah 32 per 1000 KH, sementara data SDKI menunjukan AKBA
2012 adalah 40 per 100 KH. (dr. Awi Muliadi, MKM. www.Infodokterku.com)
ISPA berat memberikan sumbangsi besar sebagai penyebab kematian bayi usia 0-11 bulan (12,7%)
dan dan balita 0-59 bulan (13,2%). (Riskesda 2007)
Hal ini tidak dapat diabaikan begitu saja. Program P2 ISPA perlu mendapat perhatian yang lebih serius
dari pemerintah, elemen-elemen lain yang berkepentingan, juga masyarakat sebagai pelaksana dan
sasaran.
Dalam pedoman P2 ISPA sudah sangat jelas kebijakan, kemitraan, sosialisasi, advokasi, logistik,
survailans, pengembangan SDM, program dan pendanaan. Tinggal bagaimana pemerintah, masyarakat dan
pemangku kepentingan lain saling bekerja sama dalam memaksimalkan pencapaian program ini.

DAFTAR PUSTAKA

http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/124/jtptunimus-gdl-nurhadig2a-6164-2-babii.pdf
http://idtesis.com/pengertian-infeksi-saluran-pernapasan-akut-ispa-menurut/
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33047/3/Chapter%20II.pdf
http://dokterkecil.wordpress.com/2011/03/31/ispa-infeksi-saluran-pernapasan-akut/
http://pppl.depkes.go.id/_asset/_download/FINAL%20DESIGN%20PEDOMAN%20PENGENDALIAN%20ISPA.pdf

Anda mungkin juga menyukai