Anda di halaman 1dari 56

0002 RK

Eps 14. Bergerak dalam Diam

KEDUA lelaki itu saling pandang, berdiri dalam beku. Samar terdengar bunyi
binatang hutan yang berpadu dengan gemercik sebuah pancuran kecil. Selebihnya
hening. Hening yang mengandung hawa maut.

Selama ini, aku, Panca Mahnakhah Mrityu (Lima Cakar Maut) tak pernah
bersimpang jalan dengan Pendekar Harimau Hitam. Kenapa pendekar menghadang
aku? Seorang lelaki berusia 50-an tahun, tanpa rambut di kepala, dengan jenggot
putih memanjang yang mata kanannya ditutupi kain berujar dingin.

Pendekar Harimau Hitam menatap lelaki yang mengaku bernama Lima Cakar Maut,
merasa heran dengan julukannya karena jelas dia seorang diri. Sahaya tak
bermaksud menghadang siapa-siapa. Sahaya hanya bermaksud menolong seorang
teman

Apakah Putri Harum Hutan temanmu?

Sahaya mengenal Putri Harum Hutan. Dan dia mungkin mengenal sahaya. Namun
kami bukan teman. Kami hanya dipersatukan oleh kepentingan yang sama

Dan kau siap mati untuk seseorang yang bukan temanmu?

Sahaya siap mati karena membela yang benar, tak soal apakah dia teman atau
tidak

Keduanya kembali saling pandang, berdiri dalam beku. Bunyi jangkrik mengalun
bersahutan. Di kejauhan samar terdengar nyanyian burung hantu yang
mendendangkan tembang kematian.

Jika tak mau menyingkir, maka kau beruntung, Pendekar Harimau Hitam. Kau
orang pertama yang akan merasakan kehebatan tahap 7 Mahnakhah Lavangi Mrityu
(Cakar Malaekat Maut). Kau akan mati mengenaskan Dia mengangkat tangan,
menggerakkan jemari. Perlahan jemarinya berubah menjadi kehijauan. Hawa
berwarna hijau terlihat mengitari jemarinya.

Sahaya sudah berjanji pada diri sendiri untuk tak lagi mencabut nyawa. Sahaya
berharap saudara tak akan memaksa sahaya melanggar janji Pendekar Harimau
Hitam memasang kuda-kuda. Kaki kanan lurus ke belakang, kaki kiri ditekuk.
Tangan kanan dengan jemari berbentuk cakar diletakkan di depan dada, tepat di
belakang siku tangan kiri yang jemarinya juga membentuk cakar.

Mahnakhah Kasa Asthi (Cakar Pengerat Tulang) siap melayani Tahap 7 Cakar
Malaekat Maut. Silakan!!!

Kedua lelaki itu sama-sama mempelajari ilmu Cakar, salah satu jurus tangan kosong
yang sangat ditakuti namun sukar dilatih. Ilmu Cakar bertumpu pada kehebatan jari
tangan yang dijadikan senjata pembunuh.

Pendekar Harimau Hitam, bersiaplah menghadap Dewa Yama, Dewa Kematian!!


Lima Cakar Maut melompat dan langsung menerjang. Gerakannya cepat. Ayunan
tangannya diikuti kabut tipis berwarna kehijauan, seperti bayangan yang mengincar
kematian.

Pendekar Harimau Hitam menyambut. Cakar disambut dengan cakar. Sodokan


disambut dengan sodokan. Serangan ditangkis dan dibalas. Gerakan maut dibalas
dengan gerakan maut.

Keduanya bergebrak dalam kegelapan, berkelebat dalam kebisuan.

Samar Pendekar Harimau Hitam mencium aroma amis, pertanda jemari lawan
dilumuri bisa yang mematikan. Namun dia tidak takut. Dia percaya dengan
kemampuan ilmu beladirinya.

Pendekar Harimau Hitam berasal dari Bantamsana, sebuah pulau kecil di dekat
Tumasik (sekarang disebut Singapura). Ilmu beladirinya bersumber pada gerakan
harimau, yang merupakan ilmu turun temurun keluarga. Secara khusus dia
menekuni ilmu cakar, yang disebut Mahnakhah Kasa Asthi (Cakar Pengerat Tulang).
***

Kedua lelaki itu berjual beli pukulan. Saling serang dan menghindar. Dalam tujuh
jurus pertama, mulai terlihat perbedaan gaya serangan. Pendekar Harimau Hitam
gerakannya cenderung lebih lunak. Dia umumnya hanya mengincar kaki atau lengan
lawan, menggunakan jurus Pengerat Tulang Penghancur Lutut dan Pengerat
Tulang Peremuk Lengan. Jelas kalau dia tak berniat membunuh. Hanya bermaksud
melukai.

Beda dengan Lima Cakar Maut. Serangannya ganas. Benar-benar ganas. Jemari
kedua lengan yang membentuk cakar menari-nari seperti iblis pencabut nyawa dari
lembah kematian.

Sraatttt. Craaakkk!!!

Jemari Lima Cakar Maaut menggores pundak kiri Pendekar Harimau Hitam, yang
segera melompat mundur.
Pendekar Harimau Hitam mengernyit. Bahu kirinya terasa perih. Perih yang sangat
menusuk.

Dia mengigit bibir. Kemurahan hatinya harus dibayar mahal.

Lima Cakar maut yang melihat lawan terluka semakin bersemangat. Dia kembali
menyerang. Lebih hebat. Lebih dahsyat.

Pendekar Harimau Hitam menghindar. Dan terkejut. Lengan kirinya mulai mati rasa.
Racun yang melumuri jemari lawan ternyata sangat kuat.

Kau terlalu memaksa. Jangan salahkan sahaya!!! Dengan cepat Pendekar


Harimau Hitam mengubah gerakan. Jurusnya kini lebih dahsyat. Sasaran bukan
pada kaki atau lengan. Namun perut. Dan dada. Dan kepala.

Serangan yang terakhir berbuahkan hasil. Jurus Pengerat Tulang Penggegar Otak
menemui sasaran. Kelima jemarinya tenggelam di kepala lawan yang tak ditumbuhi
rambut.

Lima Cakar Maut menjerit. Suaranya nyaring, jauh lebih nyaring dibanding suara
babi hutan yang disembelih. Dia bergerak kacau, berputar. Kedua lengannya
memegang kepala yang berlumuran darah.

Setelah menabrak pohon cemara, Lima Cakar Maut roboh. Mengerang. Dan
akhirnya meregang nyawa.
***

Pendekar Harimau Hitam terdiam, memandangi lawan yang membujur kaku, dan
kemudian menatap jemari tangan kanannya yang berlumuran darah.

Lagi, dia terpaksa mencabut nyawa.

Lagi, dia terpaksa melanggar janji.

Kenapa untuk memenuhi sebuah janji dia harus melanggar janji yang lain?

Perlahan dia mendekati pancuran kecil yang ada di sebelah kanan. Pancuran yang
menggenangi sebuah mata air, yang terlihat berwarna keperakan di bawah cahaya
Purnama.

Dia mencuci darah yang melumuri jemari, seperti ingin mengikis habis semua
penyesalan yanag entah kenapa kini memenuhi sanubari.
Dan dia menjerit lirih.

Lengan kirinya kini tak bisa digerakkan!!

Sial, racunnya sangat ganas, gerutunya. Pundak kirinya kini menghitam.

Dia mengambil kantong kecil berwarna hitam yang diselipkan di pinggang. Di bawah
cahaya bulan dia mengambil sebuah bambu berwarna kuning seukuran ibu jari. Dia
mengigit sumbat bambu, dan kemudian meneteskan serbuk ke luka di pundak kiri.

Pendekar Harimau Hitam mengigit bibir. Rasa perih kini benar-benar menusuk.

Dari kantong yang sama dia mengambil sebuah belati kecil. Sambil menggigit bibir
dia menorehkan pisau ke luka yang menghitam. Dia melakukan itu berkali-kali
hingga darah menghitam di luka menetes dan hilang.

Dia kembali meneteskan serbuk obat dari bambu kecil ke luka.

Untunglah, ketika memutuskan meninggalkan pulau dia dilengkapi obat manjur


untuk pengobatan. Obat seperti ini sangat diperlukan, terutama jika dia terluka ketika
bertarung dengan jagoan tangguh.

Racun sudah berhasil dikeluarkan. Tinggal pemulihan luka.

Pendekar Harimau Hitam menarik nafas panjang. Dia menatap sosok Lima Cakar
Maut yang membeku, dan kemudian melompat ke pucuk pohon terdekat.

Malam terasa sangat dingin.

Pendekar Codet dan Mata Naga pasti sudah berhasil mengatasi lawan, pikirnya.
Seharusnya Putri Harum Hutan kini dalam perjalanan ke Pondok Harum.

Pendekar Harimau Hitam mendesah.

Sang Surya sudah terbit dan menanyakan hujan


***

Begitu melihat Putri Harum Hutan menerima pesan rahasia melalui merpati dari
Pendekar Padi Emas, Pendekar Harimau Hutan segera bersiaga. Kini sang putri
sudah tahu!!

Ketika Putri Harum Hutan menunggang kegelapan dan meninggalkan Trowulan,


Pendekar Harimau Hitam segera meninggalkan pasar. Begitu juga Pendekar
Codet. Dan Pendekar Mata Naga.

Melalui jalan yang berbeda mereka bertemu di kedai Pawon ManteraKata.

Rumah makan paling populer di Trowulan itu sepi. Mereka bertiga satu-satunya
pengunjung. Rumah makan ini memang hanya dibuka hingga petang hari.

Seorang perempuan cantik berusia 30-an tahun, dengan tubuh montok yang dibalut
kemben berwarna hijau mendekati mereka.

Sudah dipastikan. Dia berada di Pondok Harum, bisik perempuan itu, sambil
meletakkan alat minum dari bambu berisi tuak. Ketika berbisik, perempuan itu
sengaja memberi tekanan pada kata dia.

Aku juga mendengar kabar, akan ada dua gerakan malam ini. Yang satunya
bermaksud menjemput dia dari pondok, yang lain ditugaskan
menghalangi pendekar yang bermaksud membantu dia

Terima kasih mbakyu Tri, bisik Mata Naga. Tri adalah nama panggilan untuk
perempuan itu, pemilik Pawon ManteraKata yang di Trowulan dikenal sebagai
Mbakyu Hestrinaputri.

Jangan dulu berterima kasih karena kita belum melakukan apa-apa. Berterima
kasihlah jika kalian bisa membantu menyelamatkan dia Perempuan itu
tersenyum, dan meninggalkan mereka.

Ketiga lelaki itu menatap sosok Tri yang melenggang dan menghilang di dapur. Dan
kemudian terdiam.

Jadi, apa yang kita lakukan sekarang? Ada dua pilihan. Kita ke Pondok Harum
membantu dia, atau membantu Putri Harum Hutan yang kelihatannya akan
dihadang, ujar Pendekar Codet.

Jika kita ke pondok, mungkin sudah terlambat, kata Mata Naga. Kita sebaiknya
berpencar dan menghadapi siapapun yang bermaksud menghadang Putri Harum
Hutan. Setelah itu kita bisa ke Pondok Harum untuk memberikan bantuan

Pendekar Codet dan Harimau Hitam mengangguk. Setelah mereguk habis tuak yang
disajikan Mbakyu Tri, mereka berpisah.

Dengan jalannya sendiri, mereka membantu Putri Harum Hutan


***
Di Pondok Harum. Dari sela papan, Kirana melihat ketujuh lelaki itu mendekat.

Bhayangkara Biru mendekat!!

Memereka datang wajah Kiran memucat.

Perlahan Dhanapati menggenggam jemari gadis itu.

Tenanglah. Mereka bukan Bhayangkara Biru

Oh, bagaimana kamu tahu?

Dhanapati tersenyum, seakan pertanyaan gadis itu terasa lucu di telinga.

Jika mereka Bhayangkara Biru, kita sekarang pasti sudah terluka parah. Atau
mungkin sudah tewas. Jika mereka Bhayangkara Biru, pasti sejak tadi mereka
sudah berada di bubungan rumah, mengamati kita, dan menghabisi kita diam-
diam

Dhanapati mengintip dari sela-sela papan. Dan kemudian menatap Kiran.

Bhayangkara Biru tak pernah melakukan kesalahan. Bahkan kesalahan terkecil,


seperti menginjak daun kering. Kami biasa bergerak dalam diam. Lagipula,
Bhegawan itu pemimpin yang efektif. Jika ingin menghabisi aku, dia tak perlu
mengirimkan semua anggota Bhayangkara Biru. Satu atau dua anggota sudah lebih
dari cukup!!

Kalau begitu, ihhh Kenapa kau pegang-pegang tanganku? Kiran mengibaskan


jemarinya yang sejak tadi digenggam Dhanapati.

Eh maaf Aku tak bermaksud

Kiran segera memalingkan wajahnya yang entah kenapa terasa panas. Dan diam-
diam dia menyesali diri. Kenapa dia mengibaskan pegangan Dhanapati?

Ka.. Kalau bukan Bhayangkara Biru, lalu siapa mereka? Kiran bertanya cepat,
mencoba bersikap biasa.

Dhanapati mengangkat bahunya.

Aku tidak tahu. Tapi siapapun mereka, kita akan segera tahu.
Kiran mengintip. Tamu tak diundang, tujuh pengepung kini sudah berada di dekat
pondok. Sangat dekat. (bersambung)
Eps 15. Para Pembawa Kegelapan
Posted by Cerita Silat ala Rumah Kayu at 11:00 AM
PETANG melarut menuju malam di Trowulan.
Sudah waktunya kedai Pawon ManteraKata tutup. Kedai itu memang hanya buka
hingga petang hari.

Begitu Pendekar Codet, Matanaga dan Harimau Hitam meninggalkan kedainya,


Hestrinaputri, sang pemilik kedai yang biasa disapa dengan nama Mbakyu Tri mulai
membereskan peralatan makan serta cangkir- cangkir yang tersisa di atas meja.
Setelah itu satu persatu kursi kayu digeser, dimasukkan ke bawah meja. Jendela-
jendela juga mulai ditutup.
Dia baru saja hendak menutup pintu ketika tiga orang tamu menerobos masuk.

Mbakyu Tri menyambut tamunya dan berkata, Nyuwun sewu, maaf, tapi kedai ini
sudah hendak tutup.

Tiga orang tamu itu menoleh tapi tak memperdulikan apa yang dikatakannya. Persis
seperti yang telah diduga sebelumnya. Ketiganya terus masuk ke dalam kedai dan
duduk di sebuah bangku yang terletak di pojok kedai.
Mbakyu Tri mematikan beberapa lampu cempor, berharap bahwa mereka mengerti
isyaratnya dan segera meninggalkan tempat itu tanpa dia harus mengatakan apa-
apa lagi.

Tapi sama dengan yang telah beberapa kali terjadi sebelumnya, ketiga tamu itu tak
perduli.

Mbakyu Tri gelisah.


Tamu itu terdiri dari dua orang perempuan dan seorang lelaki. Tak seorangpun dari
mereka yang disukai Mbakyu Tri.

Perempuan pertama, dikenal dikalangan pendekar dengan nama Lendi Cidra. Dia
peramu obat untuk kalangan keluarga keraton. Lendi Cidra sering membeli bahan
ramuan obat di toko obat yang berada tak jauh dari Kedai ManteraKata dan mampir
ke kedai setelah itu. Selalu pada petang hari saat tamu- tamu lain telah
meninggalkan kedai dan Mbakyu Tri juga bersiap pulang.

Diliriknya ketiga tamu tersebut. Mereka duduk di bangku pojok. Tampak olehnya
Lendi Cidra tertawa- tawa genit dengan gerak tubuh yang sangat mengundang.

Setiap kali melihat Lendi Cidra, rasa tak nyaman selalu menyelinap ke dalam hati.
Nalurinya selalu mengatakan bahwa perempuan ini culas dan berbahaya.
Mbakyu Tri memiliki kehalusan hati. Karenanya dia sering dapat menakar perilaku
dan sifat orang segera setelah dia bertemu dengan orang tersebut. Biasanya, kesan
pertama itu kelak akan terbukti benar.

Entahlah. Setiap kali melihat Lendi Cidra, selalu terpikir olehnya tentang seorang
pembisik. Hatinya mempertanyakan apakah Lendi Cidra sebenarnya mata- mata
dari kerajaan lain dan kegiatan meramu obat dilakukannya agar dapat berkeliaran
dengan bebas di dalam lingkungan keraton.

Kadangkala bahkan terpikir oleh Mbakyu Tri, bahwa saat meramu obat sebenarnya
Lendi Cidra sedikit demi sedikit sedikit memasukkan racun ke tubuh para penghuni
keraton dan keluarganya. Jika penghuni keraton sudah dilemahkan, tentu kerajaan
Wilwatikta (Majapahit) akan dengan mudah diserang dan dihancurkan.

Mbakyu Tri memperhatikan meja pojok di mana ketiga tamunya berada. Selain Lendi
Cidra, ada seorang perempuan lain serta seorang lelaki duduk di sana.

Hestrinaputri juga tak menyukai lelaki ini.

Lelaki ini perawakannya tinggi besar. Tapi tak pernah bergaul dengan sesama lelaki.
Dia selalu hanya bertemu dengan para perempuan setiap kali mampir ke kedai itu.

Tidak. Jelas bukan karena laki- laki itu tampan sehingga banyak perempuan yang
menyukainya. Dia sama sekali tak tampan. Hidungnya bulat, giginya besar- besar.
Cara bicaranya kasar dan sorot matanya menakutkan.

Mbakyu Tri yakin sekali bahwa laki- laki itu walau berbadan tegap tapi hatinya
pengecut. Dan dia jelas tak memiliki rasa kesetiaan. Dia akan setia pada siapapun
yang memberinya banyak keuntungan.

Entah apa yang dilakukan lelaki tersebut dengan para perempuan itu. Mungkin dia
adalah seorang penghubung antara Lendi Cidra dengan kerajaan lawan yang
mengutusnya menyusup ke dalam istana, pikir Mbakyu Tri.

Orang ketiga, perempuan yang sudah lebih berumur dikenalnya sebagai istri
seorang pegawai tinggi Kotaraja. Naluri Mbakyu Tri juga mengatakan bahwa ada
yang kurang beres dengan sikap perempuan ini. Suaminya seorang pegawai tinggi
tapi dia bergaul dekat dengan orang- orang yang sungguh diragukan ketulusan dan
kelurusan hatinya.

***
Suara bisik- bisik dan tawa kecil terdengar dari meja pojok itu.
Sungguh mual rasanya melihat kegenitan Lendi Cidra, juga menyaksikan
bagaimana lelaki berlogat kasar tadi membungkuk- bungkuk di depan sang istri
pegawai tinggi dan bermanis muka menjilat kepadanya. Sementara,
seakan berpura- pura tak mengerti atau memang pada dasarnya dia menyukai hal
tersebut, perempuan istri petinggi Kotaraja itu menyambut sikap semacam itu
dengan senang hati.
Pada ora benere, pikir Mbakyu Tri. Pancen wong sidane ngumpul karo sing
sepikiran. Sama tak beresnya. Memang pada akhirnya orang akan berkumpul
dengan orang yang sepaham dengan dirinya.

Di meja pojok, suara bisik dan tawa terdengar lagi.

Hari makin gelap. Suara serangga yang biasa hadir di malam hari nyaring terdengar.
Diputuskannya untuk menghampiri ketiga tamunya untuk mengatakan bahwa kedai
sudah tutup. Dan saat dia mendekat itulah sebuah nama yang disebutkan
Lendi Cidra tertangkap oleh telinganya.

Iblis Sapta Kupatwa.

Mbakyu Tri makin gelisah...

***

Di pondok Harum Hutan, Kiran mengintip dari celah papan. Tamu tak diundang,
tujuh pengepung kini sudah berada di dekat pondok. Sangat dekat.

Kiran mengambil keputusan. Dia berbalik hendak mengatakan sesuatu pada


Dhanapati dan terkejut ketika dilihatnya lelaki itu berdiri hanya sedepa di
belakangnya, berdiri menghunus sebuah pedang.

Kangmas, tidak ! kata Kiran segera, Biarkan aku yang menghadapi mereka. Kau
belum pulih...

Dhanapati tak bergeming.

Apa yang dikatakan Kiran memang betul. Dia belum pulih. Jauh dari pulih. Walau
keadaannya membaik, tapi belum sepersepuluh tenaganya kembali. Dia masih
merasa lemas dan rasa nyeri muncul di setiap jengkal tubuhnya.

Tapi bagaimanapun, mereka kini diserang. Dan tak mungkin dia hanya berdiam diri.

Dhanapati tak tahu siapa yang berada di luar. Suruhan Bhagawan Buriswarakah?
Atau bukan?
Siapapun mereka, Dhanapati tahu bahwa kemampuan mereka jauh di bawah
Bhayangkara Biru. Kecerobohan tentang daun kering yang terinjak sudah cukup
untuk membuktikan hal tersebut. Dalam keadaan normal, Dhanapati sama sekali tak
khawatir. Jangankan hanya tujuh. Berlipat duapun jumlahnya dari itu, dirinya masih
akan mampu menghadapi.

Kali ini, dia sendiri tak tahu seberapa kekuatannya yang masih bersisa akan mampu
melawan ketujuh orang di luar sana. Namun dia tak punya pilihan. Dia hanya berdua
dengan seorang gadis sekarang. Dan tentu tak akan dibiarkannya seorang gadis
bertempur sendiri melawan tujuh lelaki di luar sana. Walau jelas gadis itu memiliki
kemampuan sangat tinggi dalam ilmu pengobatan, tapi belum tentu kemampuannya
untuk bertempur juga setinggi itu.

Dhanapati bergerak maju, tangannya terjulur hendak meraih lengan Kiran


memintanya mundur.

Tapi dia terlambat. Jemarinya meraih udara. Seakan tak melihat tangan Dhanapati
yang terjulur, Kiran membalikkan badan dan bergerak maju ke arah pintu.

Gadis itu telah memutuskan untuk menantang ketujuh orang di luar secara terbuka
dengan keluar dan berdiri di depan pintu. Dengan begitu, dia akan berada di tengah-
tengah di antara ketujuh orang itu dan Dhanapati. Tanpa banyak cakap Kiran telah
dengan sengaja menghalangi jalan Dhanapati.

Kiran memang tak menginginkan Dhanapati turut bertempur. Tidak saat ini. Sebab
dia tahu persis bahwa masih banyak luka yang belum pulih di dalam tubuh lelaki itu.
Masih banyak racun yang belum berhasil dikeluarkannya.

Tidak. Biar dia sajalah yang menghadapi ketujuh orang tak dikenal yang mendatangi
mereka ke Pondok Harum Hutan ini.

Kiran melangkah maju. Selendang sutra halus yang terikat di pinggangnya melambai
ringan, membiaskan pendar cahaya berwarna pelangi dalam gelap malam...

( bersambung )
Eps 16. Selendang Pelangi Para Bidadari
Posted by Cerita Silat ala Rumah Kayu at 1:55 PM
CAHAYA bulan menerobos di sela pepohonan.

Kiran bergerak maju dan meraih kait pintu. Didorongnya pintu itu hingga terbuka dan
dia melangkah maju.

Tujuh orang lelaki yang berada di halaman sekitar Pondok Harum terpana sejenak.
Sesaat lalu mereka masih berunding memikirkan cara untuk menyerbu masuk ke
dalam pondok. Sama sekali di luar dugaan bahwa pintu pondok itu akan sengaja
dibuka dari dalam seperti itu.

Seorang gadis berdiri di depan pintu. Rambutnya terikat menjadi satu di belakang
kepalanya. Beberapa kuntum melati terselip di sekitar ikatan itu.

Dia berdiri di sana tanpa bicara. Diam menanti.

Angin berdesir halus di sekitar, membuat selendang sutra halus di pinggangnya


bergerak perlahan. Cahaya bulan menyentuh selendang itu. Selendang itu
berpendar mengeluarkan cahaya berwarna pelangi
***

Di dalam rumah, dua langkah di belakang pintu, Dhanapati juga menanti.

Betapapun inginnya dia menyerbu maju, akal sehat menahan langkahnya. Tujuh
orang yang berdiri di luar sama sekali tak dikenalnya. Dia tak tahu siapa mereka,
dan apa urusan mereka datang ke sini sebenarnya.

Apakah mereka utusan Bhagawan Buriswara yang ditugaskan untuk


menangkapnya? Tapi mengapa harus orang lain yang dikirim untuk menangkap aku,
pikir Dhanapati heran. Mengapa mereka tak datang sendiri?

Atau barangkali saat ini ada penjahat besar yang harus diburu, sehingga mereka
semua bergerak ke sana, dan mewakilkan tugas untuk menangkapnya pada orang
lain?

Selendang di pinggang Kiran bergerak- gerak melambai.

Rasa khawatir menyelinap di dada Dhanapati.

Tidak. Dia bukan khawatir mengenai dirinya sendiri. Dia tahu bahwa sekali
Bhayangkara Biru berniat menangkapnya, maka mereka akan mengejarnya kemana
pun. Telah diperhitungkannya hal tersebut. Sejak apa yang terjadi di Dukuh Weru
beberapa waktu yang lalu, Dhanapati tahu bahwa Bhayangkara Biru tak akan begitu
saja berhenti.

Bukan itu yang dicemaskannya.

Dia mencemaskan Kiran.

Sebagai seorang tabib, Kiran hebat luar biasa. Dia sabar, telaten dan tak
mengijinkan kesalahan sekecil apapun terjadi. Dhanapati telah melihat bagaimana
dia begitu teliti mengobati setiap luka dan pantang berhenti di tengah jalan.

Beberapa kali sudah Dhanapati menyaksikan bagaimana wajah dan sekujur tubuh
gadis tersebut basah bersimbah peluh ketika berusaha mengeluarkan racun yang
masuk sangat dalam ke dalam tubuhnya. Racun yang amat sulit dikeluarkan sebab
ajian sakti pada pendekar Bhayangkara Biru membuat racun itu menancap kuat di
tubuh.

Tapi, Dhanapati sungguh tak tahu seberapa kemampuan Kiran untuk beradu jurus
dengan ketujuh tamu tak diundang ini. Satu dibanding tujuh, bukan hal yang dapat
dianggap enteng.

Dhanapati menghela nafas. Kakinya mulai terasa kaku, seakan ada ribuan semut
menjalar mulai dari ujung kaki hingga lututnya. Demi para Dewata, pikirnya, bahkan
belum bertempur pun kakiku sudah tak dapat digerakkan dengan baik begini.
Bagaimana pula aku akan dapat membantu Kiran, pikirnya.

Terlintas dalam pikiran Dhanapati tentang kepolosan Kiran yang ditunjukkan


sebelumnya saat dia bahkan tak dapat memperhitungkan bahwa yang datang bukan
Bhayangkara Biru.

Gadis ini terlalu lugu, pikir Dhanapati cemas.

Sementara itu rasa kaku dan kebas di kakinya makin terasa. Selama berada dalam
perawatan Kiran dia memang belum pernah harus berdiri dalam sikap siaga bersiap
untuk bertempur selama itu
***

Di halaman, tujuh lelaki memasang kuda- kuda.

Kiran tetap berdiri tak bergerak.

Dhanapati mengamati dengan heran. Walau menganggap mereka ceroboh sebab


tak dapat menghindari timbulnya suara dari daun kering yang terinjak saat menuju
pondok, tapi cepatnya perubahan sikap ketujuh lelaki ini dari belum siap dan terkejut
ketika Kiran membuka pintu hingga kini siap berlaga seperti itu memberikan kesan
bahwa ketujuh laki- laki tak dikenal itu sedikit banyak tahu mengenai kepiawaian
tabib muda yang selama ini mengobatinya itu dalam ilmu silat.

Apakah ketujuh tamu tersebut mengenal Kiran? Tapi mengapa Kiran sendiri tak
mengenali mereka?
Dhanapati terus bertanya-tanya dalam hati.

Rasa kebas di kakinya bertambah kuat. Dia hampir tak dapat merasakan telapak
kakinya yang menjejak lantai.

Rasa khawatirnya bertambah melihat bagaimana Kiran tak mengubah posisinya. Dia
tetap berdiri diam seakan menanti, sementara menurut perhitungan Dhanapati,
ketujuh laki- laki yang berada di halaman segera akan menyerang.

Andai saja dia tak sedang terluka parah seperti ini, Dhanapati sudah akan
menghadapi mereka sedari tadi. Tapi kini tak ada yang dapat dilakukannya selain
mencoba berdiri tegak dengan kaki yang terasa tak menapak
***

Salah seorang dari ketujuh lelaki itu, masih dalam posisi memasang kuda- kuda
menatap Kiran dan berkata, "Jadi di sini rupanya kau bersembunyi, gadisku"

Deg.

Dada Dhanapati berdegup.

Dia tahu taktik itu. Itu adalah pancingan untuk melengahkan Kiran.

Walau hanya berada di belakangnya, Dhanapati dapat membayangkan bahwa


seorang gadis semacam Kiran dengan beberapa kuntum melati tersemat di
rambut yang terikat menjadi satu di atas tengkuk serta selendang sutra halus
berpendaran warna pelangi di bawah cahaya bulan purnama adalah sesuatu yang
akan sangat memikat hati.

Tapi panggilan gadisku tadi jelas tidak diucapkan dengan nada kagum. Nada
pengucapannya melecehkan. Itu pancingan agar Kiran marah. Dan mengingat
bagaimana jengah Kiran sebelumnya ketika jemarinya berada dalam genggaman
Dhanapati

Dhanapati berusaha mengatasi rasa kebas di kakinya. Bersiap membantu Kiran jika
gadis itu melakukan sesuatu yang tak terkendali.

Tapi dengan takjub didapatinya Kiran tak bergeming.

Gadis itu tetap berdiri di tempatnya tadi. Kini suaranya terdengar. Singkat, jelas dan
sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda kepolosan atau kekanakan yang
kadangkala ditemukan Dhanapati selama ini.

"Siapa kalian?" Kiran bertanya, dingin dan datar.

Lelaki yang tadi berkata-kata terbahak.

"Kau tak mengenal kami, gadisku?" Suaranya serak dan kasar.

Kiran tak menjawab.

Lelaki itu terus terbahak.

"Siapa kalian?" tanya Kiran untuk kedua kalinya. Suaranya masih tetap dingin dan
tajam.

Dhanapati mencatat dalam hati. Gadis ini rupanya memang bukan seseorang yang
bisa dipermainkan. Ilmu pengobatan yang dimilikinya sangat tinggi. Dan dia
seringkali tampak begitu polos dan lugu. Tapi suara dingin dan menusuk yang baru
didengarnya barusan

Dhanapati menanti. Dia mulai berpikir bahwa mungkin kekuatirannya tadi terlalu
berlebihan. Sikap yang baru ditunjukkan Kiran adalah sikap seseorang yang sangat
siap turun ke tengah gelanggang pertempuran jika dibutuhkan. Dia sangat percaya
diri, dan artinya, pikir Dhanapati, walau tak tampak, pastilah sebetulnya dia sudah
mengamati lawan dan memperhitungkan langkahnya jika para lawan menyerang!

Baru saja Dhanapati berpikir begitu, dalam sejentikan jari, lelaki yang tadi
memanggil Kiran dengan sebutan gadisku maju ke depan. Dia melompat dan
berusaha menjangkau Kiran. "Menyerah sajalah, gadisku. Menyerah saja pada kami,
Iblis Sapta Kupatwa."

Dhanapati menahan napas ketika dalam kecepatan yang amat sangat, hampir tak
tampak memasang kuda- kuda, Kiran tiba-tiba melompat tinggi, lalu berputar dan
melayang ke atas kepala penyerangnya yang rupanya berasal dari kelompok
bernama Iblis Sapta Kupatwa itu. Lalu dengan sangat halus Kiran kembali melayang
turun, menjejak tanah tanpa suara.

Kini dia berada di belakang ketujuh lelaki tak dikenal itu. Enam orang berjajar sekitar
tiga tombak di depannya, membentuk setengah lingkaran. Sementara laki- laki yang
tadi menyerangnya berada jauh di sana, tak berapa jauh dari tempat Kiran
sebelumnya berdiri. Lelaki itu kalap. Malu bukan main karena ketika hendak
menangkap Kiran dia hanya menjangkau angin. Gadis yang hendak dijangkaunya
ternyata melompat menjauh..
Lelaki tersebut kini berdiri menghadapi pintu yang terbuka. Sementara itu dua
langkah di belakang pintu Dhanapati berusaha agar tetap dapat berdiri tegak.

Kaki Dhanapati terasa digayuti jutaan semut dan dia sama sekali tak merasakan
apa- apa. Dipegangnya kuat- kuat pedang yang sejak tadi digenggamnya.. Hanya
Pedang Api ini saja yang akan dapat diandalkan jika lelaki di depan pintu yang
mungkin suruhan Bhegawan Buriswara itu menyerbu masuk.

Sementara itu, dalam jarak lima belas tombak di belakang lelaki tak dikenal yang kini
berhadapan dengan Dhanapati, Kiran bersiaga lagi. Dia menyadari bahwa dengan
meninggalkan tempatnya berdiri tadi, Dhanapati kini sama sekali tak
terlindung. Kalau lelaki itu menyerbu masuk, Dhanapati yang masih dalam keadaan
lemah itu tak akan dapat melawan.

Jika orang- orang yang datang itu adalah utusan Bhayangkara Biru untuk
menjemput Dhanapati, mereka akan dengan mudah membawanya pergi.

Tak akan dibiarkannya itu terjadi.


Kiran melompat sekali lagi. Kali ini ke arah muka. Dikebaskannya selendang sutra di
pinggang. Digunakannya ajian Sebya Indradhanu Paramastri (Selendang Pelangi
Para Bidadari ).

Selendang tersebut berkibar dengan halus tapi geraknya mengarah pada satu tujuan
pasti. Pendar warna pelangi berhamburan saat selendang bergerak cepat dan dalam
sekejapan mata melilit tubuh lelaki tak dikenal di depan pintu itu.

Gebyar cahaya pelangi mengelebat kemana- mana. Sungguh pemandangan yang


sangat indah.

Dhanapati sungguh takjub. Gadis ini bukan orang sembarangan, ternyata. Apa yang
baru ditunjukkannya adalah jurus Indradhanu Maharup Kaaya (Pelangi Memeluk
Raga) . Ilmu tingkat tinggi yang hanya dimiliki oleh garis keturunan tertentu.

Tahulah kini Dhanapati, siapa Kiran sebenarnya.

Kesadaran itu membuat bulu kuduknya meremang...

Mereka, tujuh lelaki itu bukan datang untuknya.

Iblis Sapta Kupatwa datang untuk menangkap Kiran!!! ( bersambung)

Eps 17. Kumbang Ganas Menggagahi Kembang


Posted by Cerita Silat ala Rumah Kayu at 2:19 AM
KETENANGAN. Dan ketepatan. Itu kunci dalam ilmu beladiri. Dan itu yang
dilakukan Kiran. Dalam jurusnya yang pertama dia berhasil membuat lawan tak
berdaya. Terbelit selendang.

Enam anggota Iblis Sapta Kupatwa terkejut bukan main melihat rekan mereka tak
berdaya, mirip seperti tikus yang terjebak. Tak bisa bergerak.

Nyaris serentak keenam lelaki itu melompat. Tiga menyerang Kiran, tiga lainnya
mendekati rekannya guna membantu membebaskan.

Dan kembali Kiran memperlihatkan ketenangan. Dengan dingin dia memutar tubuh.
Di saat bersamaan dia melontarkan lelaki yang terbelit ke arah tiga rekannya.

Brukkkkk

Empat lelaki bertabrakan dan bergulingan.

Nyaris secepat mereka terjatuh, secepat itu pula mereka bangkit. Dengan
kemarahan yang ditahan.

Jika tak diperintahkan untuk menangkapmu hidup-hidup, kau akan mati


mengenaskan, desis si lelaki yang sebelumnya terbelit selendang. Dalam
kemarahan dia lupa mengucapkan kata gadisku.
***

Rembulan masih tersaput mega, mengintip malu-malu.

Di tengah rimba, dekat Pondok Harum, Iblis Sapta Kupatwa mengepung Kiran,
menggunakan Formasi Tujuh Bintang.

Kiran masih berdiri tenang. Selendang pelangi dipegang. Erat.

Dengan satu isyarat ketujuh lelaki itu menyerang Kiran. Serangan yang datang
seperti badai. Susul menyusul. Dari kanan kiri. Depan belakang. Atas bawah.
Seperti sekumpulan kumbang ganas yang berupaya menggagahi kembang.

Namun Kiran bukanlah kembang yang pasrah. Gerakannya lincah. Selendang


pelangi yang digerakkan dalam berbagai variasi menimbulkan pendar aneh, yang
bisa menangkis serangan, sekaligus membalas.
***
Di dalam pondok, Dhanapati bersila. Sebagai jagoan yang berpengalaman, dalam
sekali pandang dia tahu kalau Iblis Sapta Kupatwa tak akan bisa mengalahkan
Kiran. Gerakan ketujuh lelaki itu masih kasar. Mudah ditebak dan minim kreasi.
Apalagi mereka rupanya diperintahkan untuk menangkap Kiran hidup-hidup, yang
membuat upaya mereka menjadi lebih sukar.

Sementara gerakan Kiran sungguh sukar ditebak. Gerakannya sangat ringan,


pertanda laghima sariranya sudah mencapai taraf yang cukup tinggi. Kadangkala
selendangnya mengeras seperti tombak, kadang digunakan sebagai kitiran. Kadang
seperti membelai. Semua itu dilakukan Kiran dengan sangat luwes, mirip penari
keraton yang menari di depan Raja.

Setelah melihat Kiran bisa membela diri, perlahan Dhanapati mengatur nafas sambil
bersila. Pukulan mantan rekan di Bhayangkara Biru sungguh amat hebat. Luka yang
diderita sangat parah. Organ dalam tubuhnya rusak. Tenaga saktinya kacau.

Pengobatan yang dilakukan Kiran memang sudah mampu memulihkan sebagian


besar organ dalamnya yang terluka, juga berhasil mengusir racun yang tadinya
bersemayam dalam tubuh. Namun tenaga saktinya masih belum pulih.

Perlahan dia menarik nafas, menahan sedikit di dada dan menghembuskan melalui
mulut. Dia melakukan itu berkali-kali, sambil tetap mengamati pertarungan. Melihat
bagaimana secara perlahan Kiran mulai bisa mendesak para pengepung.

Gadis itu sungguh hebat, pikir Dhanapati.

Di Jawadwipa, tak banyak pendekar perempuan yang memilih selendang sebagai


senjata. Dibanding pedang, golok atau keris, maka selendang dapat dikatakan
merupakan senjata dengan tingkat kesulitan paling tinggi. Untuk bisa menggunakan
selendang sebagai senjata diperlukan tenaga sakti tingkat tinggi yang khas. Tenaga
sakti inilah yang disalurkan melalui selendang sehingga kain ini bisa beralih fungsi
menjadi senjata.

Namun mengingat bahwa gadis ini menguasai jurus Indradhanu Maharup Kaaya,
bahkan kemungkinan besar merupakan pewaris terakhir dan satu-satunya, tak
mengherankan jika gadis itu bisa memainkan selendang dengan sangat mahir.

Dhanapati kembali mengamati pertarungan. Dalam beberapa jurus, seharusnya


Kiran sudah bisa melumpuhkan satu atau dua pengepung. Dan hanya masalah
waktu bagi gadis itu untuk menundukkan para tamu tak diundang itu.

Dhanapati kembali menarik nafas, menahan di dada dan menyalurkan melalui mulut.
Dia kemudian meletakkan kedua telapak tangan ke lantai kayu. Perlahan dia
mengangkat tubuhnya dengan posisi berdiri dengan tangan. Dia kemudian
membengkokkan kedua kakinya sehingga nyaris menyentuh punggung.

Dia berkonsentrasi, mencoba mengalirkan tenaga sakti.

Dan tiba-tiba nalurinya merasakan sesuatu.

Semenjak bergabung dengan Bhayangkara Biru, Dhanapati sangat memercayai


nalurinya. Nalurinya yang tajam telah berkali-kali menyelamatkan nyawanya.

Dan kini, perasaan itu muncul kembali.

Nalurinya mengatakan ada bahaya yang mengintai.

Nalurinya mengatakan, ada jagoan lain, jagoan yang lebih hebat, yang mengintai.

Perlahan Dhanapati menggapai Pedang Api. Dan berdiri. Menanti.


***

Puluhan tombak dari pondok, beberapa pasang mata mengamati pertarungan.

Tak salah lagi, dia gadis yang kita cari. Apalagi dia menguasai jurus Indradhanu
Maharup Kaaya, terdengar suara bening seorang perempuan.

Dan dia cantik. Tubuhnya sintal

Huss. Kau jangan main-main. Perintah untuk kita sangat jelas. Gadis itu harus
diringkus hidup-hidup. Kau jangan melakukan perbuatan yang bisa mengacaukan
rencana

Ketua Muda memang cerdik, dengan menyuruh Iblis Sapta Kupatwa menyerang
terlebih dahulu

Benar. Iblis Sapta Kupatwa membantu kita memastikan identitas gadis itu. Juga
memudahkan, karena kini aku tahu bagaimana menghadapi Indradhanu Maharup
Kaaya

Jadi kita serang sekarang?

Iya. Kau habisi pemuda di pondok itu. Kami berdua menangkap gadis itu.

Ayo
Dalam keremangan malam, tiga bayangan melayang ringan. Berbeda dengan Iblis
Sapta Kupatwa, tiga bayangan ini sama sekali tidak melakukan kesalahan.
Eps. 18 Jawab Hujan Bagi Sang Surya
Posted by Cerita Silat ala Rumah Kayu at 5:44 PM
MALAM memeluk pekat di Trowulan.
Lidah api kecil di lampu cempor bergerak- gerak perlahan.

Di pojok kedai Pawon ManteraKata dua orang perempuan dan seorang lelaki terus
berbincang, tanpa menghiraukan peringatan pemilik kedai bahwa kedai tersebut
telah tutup. Suara tawa genit terdengar ditingkahi beberapa bisik dan gelak tawa.

Mbakyu Tri, pemilik kedai tersebut melangkah mendekati meja pojok untuk sekali
lagi mengingatkan ketiga orang yang duduk di sana bahwa kedainya betul- betul
sudah hendak ditutupnya sekarang.

Langkahnya tertahan saat dia mendengar beberapa buah kata disebutkan dalam
percakapan di meja pojok itu.

Diurungkannya niat untuk menghampiri ketiga orang itu. Dibelokkannya langkahnya


ke meja di samping mereka. Mbakyu Tri berpura- pura membereskan meja itu.
Dibenahinya letak kain penutup meja. Digesernya wadah keramik berisi setangkai
kembang sepatu merah sambil terus menajamkan telinga.
Dada mbakyu Tri berdebar. Dia telah menemukan apa yang dicari selama ini...

***

Derik jangkrik terdengar dari halaman kedai.

Diantara derik itu, suara langkah terdengar. Sekerjapan mata kemudian, tanpa aba-
aba, seorang lelaki masuk ke dalam kedai. Mbakyu Tri menoleh. Begitu pula dengan
ketiga orang di pojok.

Lelaki itu berbaju lusuh, dengan rambut keriting terurai panjang dan ikat kepala yang
sudah tak jelas warnanya. Dia memasuki kedai dengan suara riuh dan cara berjalan
yang oleng seperti orang mabuk.Sambil mengucapkan beberapa kalimat,
dia menarik kursi yang terdekat dengan pintu lalu tanpa perduli sekitarnya, dia
duduk di situ dan meneguk isi kendi yang sedari tadi dipegangnya.

Setelah dengan suara keras meneguk cairan dari dalam kendi dan bersendawa, dia
berkata- kata sendiri

Fajar biaskan sinar ...


~ Ada daun melayang jatuh
Ada angin berdesir dan capung terbang melayang
Di sudut sana gerumbul bunga liar
Berwarna kuning dan ungu
Menari di rerumputan
Bergurau dengan ilalang

: Adakah tanya tentang hujan itu tlah terjawab?

Ketiga orang yang tadi asyik berbincang menatap lelaki tersebut dan menunjukkan
wajah tak senang sebab merasa terganggu dengan datangnya lelaki berbaju lusuh
tersebut.

Seperti hampir semua penduduk Trowulan, mereka tahu siapa lelaki itu, tentu saja:
Pendekar Candu Rusuh. Pendekar Candu Rusuh ini biasa berkeliaran di sekeliling
kota sambil berceloteh mengucapkan beragam syair. Dia tak memiliki tempat tinggal
tetap dan hidup berpindah- pindah, menginap di tempat tinggal para pendekar.

Joglo Abang milik Pujangga Gegurit Wungu ( Kidung Ungu ) adalah salah satu
tempat yang disukainya. Begitu pula dengan Padepokan Rumah Kayu, tempat
tinggal pasangan Nyai Daun Ilalang dan Pendekar Misterius beserta ketiga anak
mereka. Seringkali berhari- hari bahkan berminggu- minggu Pendekar Candu Rusuh
tinggal disana.

Berbeda dengan ketiga tamunya yang menunjukkan wajah tak senang, Mbakyu Tri
lega luar biasa dengan kedatangan lelaki lusuh berambut gimbal itu. Ditinggalkannya
meja yang baru saja dibereskannya dan dia menghampiri meja dimana Pendekar
Candu Rusuh berada sambil mengucapkan beberapa kalimat dengan nada bergurau
:

ahk..
sampai disitu rupanya kau pergi.?
tengoklah kaca disebelah.
bayangan seperti apa kau lihat.?
tengok pula kaca disebelah.
apakah ada berbeda.?
hmm
tengok lagi kaca sebelah
seperti apa kapal yang dia punya.
dan jangan coba mengintip.

kecuali bertanya.?
bagaimana dengan..
membandingkan.?
menyamakan.?
merenungkan.?
pun pula ketika senja tiba,
aku masih bisa mencinta
Pendekar Candu Rusuh terbahak.

Apa yang diucapkan oleh Mbakyu Tri sesaat lalu adalah syair yang diciptakannya
dulu. Itu sebabnya mbakyu Tri mengucapkannya dengan nada bergurau, sebab
mbakyu Tri sedang menggoda dia dengan syairnya sendiri. Pendekar Candu Rusuh
dulu menuliskan dan membacakan syair itu di hadapan para pendekar saat para
pendekar penggemar sastra sedang berkumpul santai di Padepokan Rumah Kayu
pada suatu hari.

***
Pendekar Candu Rusuh terus tebahak- bahak tanpa henti. Suaranya menggema
memenuhi ruangan.

Ketiga orang di pojok menoleh lagi dengan pandangan kesal.

Pendekar Candu Rusuh tak menghiraukan padangan kesal yang menusuk itu. Dia
berdiri dari duduknya dan menghampiri sebuah kaca yang tertempel di dinding di
dekat jendela. Seakan tak menyadari adanya kehadiran tamu lain di dalam kedai,
dengan asyik dia memperhatikan mukanya sendiri di kaca sambil terus mengoceh
mengajak mbakyu Tri bicara, He mbakyu, mengapa selarut ini masih ada disini?
Bukankah kedai ini sudah harus tutup sejak tadi?

Pendekar Candu Rusuh lalu meneruskan kalimatnya tadi dengan membacakan


sebuah syair

piring-piring kotor sudah dibersihkan


semua lapisan lemak
terbawa oleh abu
mengalir ke pelimbahan
: sekarang saatnya untuk tidur
bermimpi gajah dan pelanduk
Mbakyu Tri tertawa geli. Pendekar Candu Rusuh membalas gurauannya tadi.
Mbakyu Tri mengenali syair tersebut, tentu saja. Itu syair yang diciptakan oleh
suaminya, seorang pendekar yang juga pujangga.

Dan ingatan akan suaminya membuat mbakyu Tri gelisah lagi. Sudah terlalu larut
saat ini. Kedai sudah seharusnya tutup sedari tadi dan selayaknya dia telah berada
di rumah sekarang. Suami dan anak- anaknya tentu telah menanti lama. Tapi
bagaimana caranya mengusir tamu- tamu tak tahu diri yang duduk di pojok itu?

Mbakyu Tri melirik ke pojok lagi, dan ah... kali ini hatinya terasa lega.

Ketiga tamu yang rupanya merasa terganggu dan tak nyaman dengan keberadaan
Pendekar Candu Rusuh akhirnya memutuskan untuk meninggalkan kedai. Mereka
berdiri dengan muka masam dari duduknya lalu melangkah keluar sambil
melemparkan pandangan kesal pada Pendekar Candu Rusuh yang terus mengoceh
tak tentu arah di depan kaca.

Tanpa menghiraukan mbakyu Tri, ketiga tamu itu keluar kedai begitu saja. Mereka
tak membayar apapun sebab tadi mereka hanya menumpang duduk saja di kedai itu
tanpa memesan sesuatu, Selalu begitu. Mbakyu Tri sudah sangat mengenal adat
orang- orang itu. +rang- orang yang menganggap merekalah penguasa jagad raya.

Lendi Cidra selalu merasa kedekatannya dengan kalangan keraton karena tugasnya
sebagai peramu obat bagi keluarga keraton membuat derajatnya lebih tinggi dari
orang lain. Menurut pendapatnya, yang sederajat dengannya hanya Raja dan
keluarganya. Semua diluar itu dianggapnya rendah dan selalu dipandangnya
dengan cara yang merendahkan.

Perempuan yang satu lagi, juga tinggi hati. Sebab suaminya adalah seorang petinggi
di Kotaraja, maka dia juga merasa bahwa dengan sendirinya dia juga petinggi yang
harus dihormati. Sementara lelaki yang ada bersama mereka, walau tak jelas dia itu
siapa, tentu saja merasa derajatnya juga tinggi sebab dekat dengan seseorang yang
sehari- hari ada di lingkungan keraton dan istri seorang petinggi. Dasar penjilat tak
tahu malu, geram mbakyu Tri dalam hati.

***

Sepeninggal ketiga orang itu, Pendekar Candu Rusuh berbalik dari tempat dimana
dia berdiri tadi, di depan kaca lalu dihampirinya mbakyu Tri.

Mbakyu Tri berbisik, Kau lihat mereka tadi?

Pendekar Candu Rusuh mengangguk.

Sampaikan pesanku, bisik mbakyu Tri lagi.

Pendekar Candu Rusuh mengangguk sekali lagi.

Mbakyu Tri tak mengatakan pesan apa dan pada siapa pesan itu harus
disampaikan. Pendekar Candu Rusuh tak pula bertanya. Keduanya sama- sama
mengerti apa isi pesan dan pada siapa pesan tersebut harus dibawa. Rahasia yang
terkait dengan Sang Surya Menanyakan Hujan telah bocor dan mereka sedang
bekerja sama menyelidiki darimana sumber kebocoran tersebut.

Nyai Daun Ilalang, pemilik Padepokan Rumah Kayu dimana Pendekar Candu Rusuh
sering menginap, menitipkan pertanyaan pada mbakyu Tri melalui syair yang
diucapkan Pendekar Candu Rusuh saat memasuki kedai tadi. Nyai Daun Ilalang
bertanya apakah mbakyu Tri mendengar sesuatu di kedai ManteraKata miliknya
terkait bocornya berita rahasia itu. Di kedai ManteraKata para pendekar biasa
bertukar berita, karenanya selalu ada kemungkinan sesuatu terdengar di sana.
Malam ini Mbakyu Tri menemukan jawabannya. Dia memperoleh dugaan kuat
tentang siapa dan bagaimana berita rahasia itu bocor. Melalui syair yang
diucapkannya dengan nada bergurau tadi, mbakyu Tri meminta Pendekar Candu
Rusuh melihat wajah orang- orang yang diduganya terlibat dengan kebocoran itu
melalui pantulan kaca yang tertempel di dinding.

Pesan itu, dugaan tentang jaringan yang membocorkan berita rahasia tersebutlah
yang diminta oleh Mbakyu Tri untuk disampaikan oleh Pendekar Candu Rusuh pada
Nyai Daun Ilalang dan suaminya Pendekar Misterius di Padepokan Rumah Kayu...

( bersambung )

* Catatan: puisi- puisi dalam episode ini adalah puisi yang diciptakan oleh Cyperus,
Wicak Hidayat serta puisi di blog daunilalang. Link pada tulisan asli disertakan dalam
posting ini. Terimakasih untuk Wicak & Hes Hidayat serta Cyperus untuk
mengijinkan dipergunakannya puisi- puisi tersebut dalam episode ini.
Eps 19. Airmata Luruh Membasahi Neraka
Posted by Cerita Silat ala Rumah Kayu at 4:17 AM
FAJAR mulai menyingsing.

Pertarungan antara Kiran melawan Iblis Sapta Kupatwa masih berlangsung seru.
Kiran yang dikeroyok, sama sekali tidak terdesak. Bahkan gadis cantik ini menjalani
pertarungan dengan santai.

Setelah beberapa jurus, dia menyadari kalau ketujuh lawan ternyata tidak luar biasa.
Jika mau, Kiran bisa mengalahkan mereka dengan mudah. Namun itu tidak
dilakukan. Kiran sengaja menggunakan lawan untuk mengasah kemampuan.

Seumur hidup, ini untuk pertama kali Kiran terlibat dalam perkelahian, melawan
pihak yang benar-benar merupakan musuh. Selama ini dia mengolah kanuragan
dengan ayah dan dua saudara lelaki. Karena hanya berlatih, pertarungan tak pernah
dilakukan dengan serius.

Berbeda dengan kali ini. Pihak lawan bermaksud menangkapnya. Dia menghadapi
lawan yang nyata.

Dia mengeluarkan jurus demi jurus, melihat bagaimana lawan kerepotan, dan di saat
terakhir, dia mengubah jurus, tidak mau melukai lawan.

Kiran, yang masih menikmati pertarungan, kaget ketika melihat Dhanapati sudah
berada di halaman. Lelaki itu berdiri siaga dengan pedang yang menyeret tanah.

Kenapa Dhanapati tiba-tiba keluar dari pondok? Pemikiran itu membuat Kiran
memutuskan untuk secepatnya mengakhiri pertarungan, sebelum salah satu
anggota Iblis Sapta Kupatwa menyerang Dhanapati!!

Kiran menggerakkan selendang pelanginya. Selendang itu bergulung, mengeluarkan


pendar cahaya yang menyilaukan. Indah. Dan sebelum lawan tersadar, dengan
kecepatan yang sukar diikuti mata ujung selendang menotok jalan darah lawan.
Nyaris bersamaan, ketujuh lawan tumbang, tak mampu menahan kedahsyatan
Paramastri Mataksi Hila (Bidadari Menanyakan Hukum), jurus kelima dari ajian
Sebya Indradhanu Paramastri.

Ajian Sebya Indradhanu Paramastri ternyata bukan nama kosong. Sungguh


merupakan kehormatan bagi kami bisa menyaksikan kehebatan ajian ini
terdengar suara bening yang membelai telinga.

Kiran terkejut. Dan menoleh. Entah sejak kapan dan dengan cara bagaimana, di
sebelah kanan telah berdiri tiga orang. Satu perempuan dan dua laki-laki.

Kiran memegang selendangnya erat-erat. Ada tiga orang yang tiba-tiba datang,
tanpa dia sadari. Ini membuktikan kalau ilmu kanuragan mereka hebat. Jauh lebih
hebat dibanding Iblis Sapta Kupatwa!!

Siapa kalian? Kiran bertanya dingin, sambil menoleh sekilas ke arah Dhanapati.
Apakah kehadiran ketiga orang ini yang membuat Dhanapati keluar dari pondok?

Kami bukan musuh, putri Kiran, ujar si perempuan. Namaku Durgandini. Ini
temanku, Rakai Wanengpati. Dan itu, Ki Brengos. Kami datang dengan damai

Kiran mengamati ketiga orang itu. Yang mengaku bernama Durgandini adalah
perempuan berwajah cantik, berusia sekitar 30-an. Dia mengenakan pakaian dari
sutra yang sangat tipis, membuat lekuk tubuhnya membayang dan tercetak indah.
Lelaki yang disebut Rakai Wanengpati berwajah tampan, berusia 40-an tahun.
Kendati mengenakan pakaian mewah namun Kiran langsung merasa muak. Ada
sesuatu pada pandangan mata lelaki itu yang membuat Kiran merinding. Sementara
Ki Brengos adalah lelaki kurus yang wajahnya dipenuhi jambang, yang menimbulkan
kesan aneh.
Kalian mau apa?

Kami datang untuk mengundang Putri Kiran ke kediaman kami. Tuan Muda kami
ingin bertemu dengan putri, sahut Durgandini. Nada bicaranya lembut dan sangat
enak didengar.

Kiran menggeleng. Kembali melirik Dhanapati yang menundukkan kepala.

Aku sibuk. Aku harus menyembuhkan temanku. Katakan saja di mana tempat
Ketua Muda kalian. Jika punya waktu, aku pasti akan menemui kalian

Maaf putri Kiran, ujar Durgandini sambil tersenyum manis. Ketua Muda kami
bukanlah orang yang suka ditolak. Jika dia menginginkan putri untuk datang
sekarang, maka dengan cara apapun kami harus mengupayakan agar putri bisa
datang. Mohon bisa dipahami

Kiran menatap ketiga orang itu lekat-lekat. Walau bersikap sopan, jelas sekali kalau
keinginan mereka tak bisa ditolak!!

Kalau aku menolak, kalian akan memaksaku? Kalian mau melanggar aturan dalam
Kitab Kutaramanawa?

Kembali Durgandini terdenyum manis. Kitab Kutaramanawa berisi hukum untuk


masyarakat Wilwatikta (Majapahit). Namun kitab itu tidak berlaku untuk kami.
Undang-undang kami dalah perintah Tuan Muda

Sudahlah nimas Durgandini, percuma bicara padanya. Dia harus ditundukkan


dengan kekerasan

Durgandini menatap Rakyan Wanengpati. Ah, bilang saja kalau kau sudah tidak
sabar untuk menyentuh kulitnya yang mulus!!!

Rakyan Wanengpati tersipu dan menatap Kiran dengan sorot mata buas, seperti
pengemis kelaparan yang melihat paha ayam.

Baiklah, jika putri menolak untuk ikut dengan sukarela, terpaksa kami bertindak,
ujar Durgandini. Nada bicaranya masih lembut. Ki Brengos, habisi pemuda itu dan
bantu kami menangkap putri!!

Ki Brengos yang sejak awal berdiam diri, mengangguk perlahan dan mendekati
Dhanapati.

Jangan ganggu dia!!! Kirana berteriak penuh khawatir, dan menyerang Ki Brengos.
Yang diserang melompat menghindar.

Kau tak perlu mengkhawatirkan pemuda itu. Lebih baik kau memikirkan dirimu
sendiri, kata Rakyan Wanengpati, yang menghadang. Dengan kurang ajar dia
menggerakkan tangannya ke dada Kiran!!

Kiran tentu saja tak sudi dadanya disentuh lawan. Dia melompat dan mengayunkan
selendangnya. Namun di saat bersamaan dia mendengar kisaran angin dingin.
Durgandini menyerang dari samping. Gerakannya indah. Kiran kembali melompat
menghindar. Dan dalam sekejap dia telah dikepung oleh dua kekuatan yang
menghimpit.
***

Kau sudah terluka. Jika tak ingin mati mengenaskan, lebih baik kau membunuh diri
saja, Ki Brengos berujar sambil menatap Dhanapati.

Pemuda itu tersenyum tipis. Nyawa adalah pemberian Dewata yang Agung. Jika
ingin dicabut, biarlah Dewata yang melakukan. Aku yang lemah hanya berusaha
mempertahankan nafas

Ki Brengos menatap Dhanapati, seperti tidak tega. Dia bukanlah orang yang suka
menyerang pihak yang sudah terluka. Namun perintah adalah perintah. Dan
perintahnya jelas. Pemuda ini harus dibunuh.

Kalau begitu terimalah kematianmu!!! Ki Brengos menyerang dengan pukulan


sederhana, meninju langsung ke dada. Pukulannya hebat.

Dhanapati merasakan hawa serangan yang dahsyat. Dia membiarkan tubuhnya


seperti terseret angin serangan. Dan sejentik jari kemudian, dengan tubuh terhuyung
dia bergerak satu langkah ke kiri dan dua langkah ke belakang. Pukulan lawan
luput!!

Ehhh??? Ki Brengos kaget melihat lawan dengan aneh bisa menghindar. Dengan
sekali pandang dia melihat kalau gerakan pemuda itu tak dibarengi tenaga sakti.
Pasti kebetulan, pikirnya.

Ki Brengos kembali menyerang. Kedua lengan diayunkan bergantian, diakhiri


dengan tendangan melingkar. Pemuda yang diserang melangkah terhuyung. Seperti
hendak jatuh. Namun lagi-lagi, dengan aneh dia berhasil luput dari serangan.

Ki Brengos makin penasaran. Dia menyerang bertubi-tubi. Kedua lengan yang


digerakkan dengan tenaga sakti mencecar ganas, berpadu dengan tendangan.
Namun lagi-lagi, sambil sempoyongan pemuda itu bisa menghindar!!
Ki Brengos menatap lawannya, dan kemudian ke kaki pemuda itu. Enam jurus
sudah berlalu, dan pemuda itu tetap bisa meluputkan diri. Ini pasti bukan kebetulan.

Kau boleh juga. Coba kau hindari serangan ini Ki Brengos melompat dan
mengayunkan kedua kakinya bergantian. Gerakannya secepat kilat, dibarengi
jotosan bertubi. Sambil menyerang Ki Brengos mengamati gerakan lawan.

Sama seperti sebelumnya, pemuda itu bergerak limbung. Seperti hendak roboh. Dan
lagi-lagi, pemuda itu bisa menghindar!!

Ah, Ajian Deva Saunda!! Kau menguasai Ajian Deva Saunda (Dewa Mabuk)?
Setelah mengamati, Ki Brengos dapat melihat bahwa di balik gerak tubuh
sempoyongan, pemuda itu bergerak dengan langkah tetap. Kedua kakinya bergerak
dengan formasi yang sukar ditebak. Dan melihat gerakan kaki, Ki Brengos yang
berpengalaman langsung bisa menebak apa ajian yang digunakan pemuda itu guna
menghadapi serangannya.

Dhanapati tidak menjawab. Dia mencoba mengatur nafasnya yang kini terengah.
Sama sekali tak diduga kalau nyawanya untuk sementara diselamatkan oleh Ajian
Dewa Mabuk!!
***

Dua tahun lalu, ketika bertugas memburu buronan yang bersembunyi di Daha,
Dhanapati menolong seorang kakek pengemis yang tergeletak di selokan. Pengemis
yang mabuk ini dipenuhi borok di sekujur tubuh.

Dengan telaten, sama sekali tidak merasa jijik, dia mengobati kakek itu hingga
sembuh. Pengobatan dilakukan di sebuah kuil yang terlantar. Sama seperti anggota
Bhayangkara Biru lainnya, Dhanapati adalah pendekar yang welas asih. Yang tak
bisa menutup mata melihat orang lain menderita. Bhayangkara Biru boleh saja
kejam terhadap penjahat dan musuh kerajaan. Namun terhadap masyarakat yang
menderita mereka akan membantu. Tanpa pamrih. Tanpa diminta.

Kakek pengemis itu akhirnya sembuh. Luka-lukanya mengering. Dan Dhanapati


kemudian menyadari kalau kakek yang ditolongnya bukan orang sembarangan.

Kita telah bertemu tanpa direncanakan. Itu namanya jodoh. Kau berjodoh dengan
Ajian Dewa Mabuk, kata si pengemis.

Dhanapati saat itu terdiam. Ajian Dewa Mabuk adalah salah satu ilmu andalan Partai
Pengemis, sebuah kelompok yang sangat disegani di dunia persilatan Jawadwipa.
Konon Ajian Dewa Mabuk hanya dikuasai oleh petinggi Partai Pengemis. Apakah
kakek ini petinggi Partai Pengemis?

Dengan segala hormat, hamba bukan pemabuk. Jadi tak bisa mempelajari ajian
itu, kata Dhanapati merendah. Dia biasa minum tuak, tentu saja, sama halnya
dengan sesama anggota Bhayangkara Biru. Namun mereka bukanlah pemabuk dan
tak pernah berniat untuk menjadi pemabuk.

Untuk mempelajari Ajian Dewa Mabuk kau tak perlu menjadi pemabuk. Ajian Dewa
Mabuk selain untuk menyerang juga ampuh dalam bertahan. Gerakan kaki ajian ini
mengacu pada 72 bintang di angkasa kata si kakek, yang enggan menyebut
siapa jati dirinya.

Merasa tak enak terus menolak, Dhanapati pun dengan terpaksa mempelajari ajian
itu. Ajian Dewa Mabuk diperdalam bersama rekan-rekannya di Bhayangkara Biru.

Dhanapati tak pernah menggunakan ajian itu. Hingga kini.

Kiran merasa desakan yang sangat kuat. Desakan yang membuat nafasnya sesak.
Sama seperti yang diduga, kedua lawan sangat tangguh. Bahkan terlalu tangguh.
Bahkan jika berhadapan satu lawan satu Kiran tak yakin bisa menang.

Untunglah, kedua lawan hanya bermaksud melumpuhkan, dan bukan melukai.


Rakyan Wanengpati bahkan hanya ingin sekedar mencolek tubuh, yang sejauh ini
belum terpenuhi.

Kiran menggerakkan selendangnya. Namun jurus Puspa Sriya Nagata Gurdaka


(Bunga Mekar Diterpa Amarah) seperti tak berarti apa-apa. Rupanya kedua lawan
sudah tahu bagaimana memecahkan ajian Sebya Indradhanu Paramastri. Yakni
bertarung dalam jarak dekat. Pada jarak dekat, Kiran tak bisa menggerakkan
selendangnya dengan maksimal.

Sreeet Sretttt!!! Durgandini dan Rakyan Wanegpati yang sudah di atas angin
tiba-tiba dikejutkan oleh datangnya serangan yang mengiris. Mereka melompat
mundur.

Kiran tidak mengejar. Dia berdiri tenang. Lengan kirinya masih menggenggam
selendang. Sementara jemari tangan kanan kini menggenggam kipas. Dengan
anggun dia menggerakkan kipas ke wajah, merasakan semilir angin pagi.

Dia menatap sekeliling. Dan nyaris tidak percaya. Dhanapati masih hidup!! Walau
dengan gerakan sempoyongan tak menentu namun sejauh ini Dhanapati masih bisa
mempertahanakan nyawanya.

Melihat Dhanapati, semangat Kiran tumbuh. Dia menatap lawan. Tanpa gentar.
***

Dhanapati boleh saja menguasai Ajian Dewa Mabuk yang hebat. Namun
bagaimanapun, dia belum pulih benar. Luka di dalam tubuh bahkan belum
sepenuhnya sembuh. Perlahan, gerakannya mulai melambat.

Ki Brengos dapat melihat perubahan itu. Gerakan kaki si pemuda tak lagi segesit
sebelumnya. Ki Brengos mencecar, menanti kesempatan.

Dan akhirnya kesempatan itu tiba. Melihat gerakan si pemuda makin lambat, dia
bergerak cepat. Tinju diayunkan, diikuti gerakan menyikut.

Namun pukulannya lagi-lagi mengenai angin. Dan Ki Brengos merasa sesuatu yang
dingin menerpa tenggorokannya.

Dia terbelalak ketika tiba-tiba kedua kakinya terasa berat.

Dan di bawah sinar sang Surya yang mengintip malu-malu, dia melihat darah. Yang
meluncur dari tenggorokannya. Seperti air mancur di taman kotaraja!!

Ki Brengos hendak berucap. Namun kata-katanya lenyap ditelan angin pagi. Ki


Brengos menatap pemuda itu, menatap pedangnya yang berlumuran darah, yang
menetes di permukaan tanah berembun. Tetesan darah yang seperti air mata para
bidadari yang menantinya di Negeri Kematian.

Dan kemudian gelap. Kegelapan abadi.


***

Dhanapati menarik nafas panjang. Siasatnya berhasil. Ketika merasa tubuhnya


melemah, Dhanapati tak bermaksud menyembunyikan keadaannya. Dia ingin lawan
merasa lengah karena merasa diintip kemenangan.

Ketika menghindar dengan ajian Dewa Mabuk, Dhanapati tetap menggenggam


Pedang Api, yang terkadang digunakan untuk menopang tubuh. Dengan sabar dia
menanti kesempatan.
Dan di saat terakhir, ketika lawan tak waspada, Dhanapati balas menyerang. Satu
jurus. Satu serangan. Serangan pertama dan satu-satunya.

Dhanapati sadar, tubuh lawan dipenuhi tenaga sakti. Karena itu dia sengaja
menyerang tenggorokan. Sama halnya dengan mata, tenggorokan adalah organ
tubuh terlemah yang tak bisa atau sukar dialiri tenaga sakti.
Jurus Kabarabas Patanti Melutruh Yamaloka (Air Mata Luruh Membasahi Neraka)
lagi-lagi meminta darah. Dan nyawa.

Dhanapati memejamkan mata. Kepalanya terasa pening. Dan tiba-tiba terdengar


jeritan.

Jeritan dari mulut Kiran!! (bersambung)


Eps 20. Erang Kenikmatan yang Menggoda
Posted by Cerita Silat ala Rumah Kayu at 5:52 AM
KIRAN merasakan kepungan Durgandini dan Rakyan Wanengpati makin ketat.
Dengan sekuat tenaga dia bertahan. Kedua lengan yang masing-masing
menggenggam selendang dan kipas digerakkan menurut Pasha Hakasa Papikat
Rasatala (Jaring Langit Jala Bumi), jurus kesebelas dari ajian Sebya Indradhanu
Paramastri.

Jaring Langit Jala Bumi adalah jurus untuk pertahanan. Gerakan kedua tangan
mengeluarkan energi seperti jaring, yang mampu menangkal semua serangan.
Namun yang dihadapi Kiran kali ini adalah dua tokoh besar di dunia persilatan.
Pengalaman mereka jauh dibanding Kiran. Perbedaannya ibarat Gunung Batur dan
Gunung Semeru. Kiran yang masih tergolong anak kemarin sore di kancah
persilatan Jawadwipa kalah segalanya. Dalam sebuah kesempatan, tendangan
Durgandini mampu menembus celah, dan mengena di perut.

Kiran berteriak kesakitan. Terlempar tiga tombak dan bergulingan di tanah.

Sudah kami katakan, percuma melawan. Lebih baik kau ikut dengan kami dengan
sukarela, ujar Durgandini. Masih dengan suaranya yang bening. Dengan senyum
manis. Bersama Rakyan Wanengpati, Durgandini mendekati Kiran yang terbaring di
tanah.

Kiran merasa perutnya bergejolak. Organ tubuhnya terguncang. Tendangan


Durgandini bukan tendangan biasa.

Namun dia tak mempedulikan rasa sakit. Dia justru menoleh ke arah Dhanapati,
dan terheran-heran melihat pemuda itu berdiri sambil menopang pedang. Entah
bagaimana namun pemuda itu ternyata memenangkan pertarungan. Dhanapati
hidup!!

Kemenangan Dhanapati membangkitkan semangat Kiran. Dia bergegas bangkit.


Selendang dan kipas digenggam erat.

Apapun yang terjadi, aku tak akan pergi Kiran mendesis, dan memasang kuda-
kuda. Perlahan dia memutar selendang membentuk gulungan. Kipas juga
digerakkan memutar.
Kiran, kau beristirahatlah dan temani pemuda itu. Biar aku yang menghadapi
mereka Terdengar suara seorang perempuan. Suara yang dingin menusuk yang
datang dari balik pepohonan.

Kiran menoleh. Yang berbicara adalah perempuan cantik berusia pertengahan 20


tahun. Wajahnya cantik, namun dingin, membayangkan kepahitan hidup. Dia
mengenakan pakaian mewah berwarna putih.

Aku Harum Hutan, pemilik tempat ini. Siapa yang berani mati mengacau di
tempatku?

Durgandini dan Rakyan Wanengpati dapat merasakan aura membunuh yang sangat
kuat yang terpancar dari perempuan yang mengaku bernama Harum Hutan itu. Ada
sesuatu yang mengerikan pada perempuan cantik itu, yang membuat Durgandini
dan Wanengpati merinding.

Maaf, kami tak bermaksud lancang. Kami hanya ingin mengundang Putri Kiran
menemui Ketua Muda kami Durgandini berujar, mencoba bersikap ramah.

Kiran adalah tamu Harum Hutan. Dia tak akan kemana-mana. Jika kalian
menyayangi nyawa kalian, cepat minggat dari sini

Durgandini dan Wanengpati saling pandang, menimbang-nimbang. Mereka tentu


saja tahu kalau pondok ini milik Putri Harum Hutan. Mereka juga tahu kalau
perempuan cantik ini adalah pendekar dari Swarnadwipa yang masih kerabat Raja
Wilwatikta. Yang membuat Durgandini dan Rakyan Wanengpati terkejut adalah
kehadiran sang putri. Bukankah ada banyak jagoan yang ditugaskan menghalangi
kedatangannya?

Kami berdua hanya menjalankan perintah. Jadi maaf, kami akan membawanya,
apapun yang terjadi, kata Durgandini. Kini ucapannya tegas. Lenyap sudah
keramahan dan senyumnya yang manis. Dia memasang kuda-kuda. Jari telunjuk
dan jari tengah disatukan. Tangan kanan direntangkan sejajar bahu, lengan kiri
ditekuk dengan kedua jari tepat di depan mulut. Itulah pembukaan dari ajian Wilapa
Sadha Gupata (Totokan Tulang Putih).

Rakyan Wanegpati juga bersiaga. Seluruh tubuhnya bergetar.

Putri, biar kami bertiga yang menghadapi lelaki ini, ujar Dara Merah, yang
melompat ringan bersama kedua rekannya Dara Biru dan Dara Hijau.

Putri Harum Hutan mengangguk. Ilmu beladiri ketiga pembantunya sudah tergolong
tinggi. Mereka seharusnya bisa mengimbangi lelaki itu.
Heh.. Heh Heh Mimpi apa aku semalam. Di pagi buta ini aku disuguhi tiga
gadis cantik. Ayo manis, mari kita bermain-main Sambil tergelak Wanengpati
menerjang. Sama seperti sebelumnya, serangannya diarahkan ke bagian paling
menarik dari perempuan: Dada.

Dara Merah yang diserang tentu saja menghindar. Namun dia terkejut karena
gerakan lawan begitu cepat. Karena tak bisa menghindar terpaksa dia menangkis.

Dukkkk. Dara Merah merasa tubuhnya tergetar.

Lihat serangan!!! Nyaris bersamaan Dara Biru dan Dara Hijau menggebrak.
Mengepung dan menghantam. Dan dalam sekejap, Rakyan Wanengpati terdesak
hebat.

Ketiga dara semakin bersemangat. Lelaki ini harus dirubuhkan secepatnya supaya
mereka bisa membantu Putri Harum Hutan yang kini terlibat pertarungan sengit
dengan Durgandini. Sebuah hantaman dari Dara Hijau membuat Wanengpati
terhuyung. Ketiga gadis ini lalu merangsek.

Sraaattt!!! Serbuk berwarna ungu kebiruan tiba-tiba menghantam wajah ketiga


dara. Mereka terbatuk dan segera melompat mundur. Serbuk itu berbau harum.
Sangat harum dan sejenak membuat mereka pusing.

Heh.. heh.. Heh Kalian sudah terkena Paraga Gayuh Tresna (Serbuk Perangsang
Asmara). Sepenanak nasi lagi kalian bertiga akan menjadi milikku. Heh.. Heh..
heh

Kurang ajar, desis Dara Merah. Ayo kita habisi dia. Jurus ketiga!! Ketiga dara
segera berdiri berjajar. Nyaris bersamaan kedua lengan melakukan gerakan
memutar. Energi aneh terpancar. Rerumputan yang masih basah oleh embun pagi
tercabut hingga akar. Begitu juga semak yang ada di sekeliling.

Serang!! Serempak mereka menggerakkan tangan. Rerumputan dan semak


seperti digerakkan oleh tangan raksasa dan bergerak dengan kecepatan luar biasa
ke arah Rakyan Wanengpati. Itulah jurus Nasta Sagara Wibhata Bhumi
(Membongkar Lautan Membelah Daratan) yang digerakkan dengan Prana Bayu
Agni.

Rakyan Wanegpati dapat melihat dahsyatnya serangan. Dia melompat tinggi dan
berjumpalitan empat kali. Namun angin serangan terus menghujam, seperti naga
raksasa yang marah. Karena tak bisa lagi menghindar, terpaksa dia menangkis.

Blaaar!!! Adu tenaga sakti terjadi. Rakyan Wanengpati terdorong mundur hingga
tujuh tombak, tersandar di sebuah pohon. Dia menatap ketiga lawannya dengan
sorot mata ngeri. Sama sekali tak disangkanya kalau tenaga sakti ketiga gadis muda
itu begitu tinggi!!

Durgandini, angin di sini terlalu keras. Aku pergi!! Wanengpati dapat membaca
situasi. Melihat tak mungkin bisa menculik Kiran, dia memutuskan untuk kabur!!

Durgandini yang bertarung sengit dengan Putri Harum Hutan kaget melihat rekannya
melarikan diri. Rakyan Wanengpati bukan jagoan sembarangan. Di dunia persilatan
dia dikenal dengan julukan Dewa Pemetik Bunga. Bagaimana mungkin dia bisa
dikalahkan tiga gadis muda dengan begitu mudah?

Setelah ditinggal rekannya, semangat bertarung Durgandini berkurang jauh. Dia


segera melompat mundur dan berkelebat di tengah hutan. Kami akan kembali
dengan kekuatan yang lebih besar untuk menjemput Putri Kiran
***

Sang Surya sudah terbit, dengan cahayanya yang berwarna keemasan.

Kalian tidak apa-apa?

Ketiga dara mengangguk.

Ajak kedua tamu ke dalam pondok dan suguhi Kopi Luwaak. Aku akan memeriksa
sekeliling, kata Harum Hutan.

Tiga Dara mengangguk. Dengan sopan mereka mengajak Kiran dan Dhanapati.
Mereka memasuki pondok, dan terus hingga ke belakang. Bagian belakang pondok
ditutupi semak dan rumpun bambu.

Mau ke mana kita? Kiran bertanya heran. Seingatnya Putri Harum Hutan
memerintahkan agar ketiga dara ini menyajikan Kopi. Kenapa justru dibawa ke
belakang pondok?

Menyajikan Kopi Luwaak adalah kalimat sandi. Artinya kami harus membawa
saudara berdua ke tempat yang lebih aman. Pondok ini tak aman, kata Dara Merah.
Ketiganya kini berjalan melewati anak sungai dan tiba di air terjun yang bergemuruh.
Mereka melewati sisi air terjun. Dan Kiran terkagum-kagum karena di balik air terjun
ternyata ada sebuah gua. Gua mungil, setinggi pinggang orang dewasa.

Ikut aku, bisik Dara Hijau, yang segera berjongkok memasuki gua.

Kiran mengikuti. Juga Dhanapati, yang menyeret pedang.


Dara Biru dan dara Merah mengawasi sekeliling dan ikut masuk.

Gua itu terasa lembab. Dan pengap. Gua itu berkelok-kelok, dan menurun.

Kita sudah sampai

Kiran memicingkan matanya yang terasa silau. Ternyata mereka kini berada di dasar
jurang, berupa celah sempit yang indah. Sebuah pondok sederhana didirikan di tepi
mata air yang jernih. Di sekeliling pondok nampak kembang beraneka warna.

Oh, di sini indah sekali.

Iya. Di sini indah. Ini tempat persembunyian aduuuhhh Dara Hijau tiba-tiba
mengernyit dan memijit kepalanya.

Kamu kenapa?

Ah tidak. Hanya pusing sedikit

Aneh Aku juga merasa pusing ujar Dara Biru.

Aku juga merasa pening, tambah Dara Merah.

Kiran mengernyitkan keningnya. Wajah ketiga dara cantik ini merah padam. Mata
mereka sayu.

Kalian tidak apa-apa?

Ah tidak. Pasti kami hanya kelelahan

Tidak. Kalau kekelahan gejalanya lain. Coba aku periksa Kiran segera meraba
denyut nadi, dan memeriksa mata ketiga gadis itu. Dia juga meraba leher.

Demi Jagat Dewa Batara!!! Tidak mungkin.

Apanya yang tidak mungkin? Putri Harum Hutan tiba-tiba muncul.

Eh, aku rasa, ketiga dara ini terkena racun!!

Racun? Siapa yang menyerang kalian dengan racun?

Ah pasti serbuk ittu. Tadi kami diserang dengan serbuk oleh lelaki kurang ajar itu
Iya, aku melihatnya, kata Kiran. Kalian terkena Paraga Gayuh Tresna!!

Tapi kau tabib bukan? Kau bisa mengobati mereka?

Kiran terdiam. Dia kemudian menggamit Harum Hutan. Sebaiknya kita bicara
berdua
***

Paraga Gayuh Tresna adalah racun yang sangat keji. Bahkan setahuku sudah
dilarang dibuat sejak dua ratus tahun lalu, bisik Kiran kepada Harum Hutan. Mereka
kini berada di tepi mata air.

Tapi itu bisa diobati bukan? Harum Hutan bertanya.

Tentu bisa dioobati. Kiran menatap Harum Hutan, merasa ragu. Racun ini, eh,
hanya bisa diobati oleh lelaki. Kiran kemudian berbisik ke telinga Harum Hutan.

Hah? Harum Hutan terbelalak kaget. Kenapa begitu? Dan apa yang akan terjadi
jika mereka tak diobati?

Racun dari serbuk bekerja pada otak dan saraf manusia. Jadi tak bisa disembuhkan
dengan obat-obatan. Jika tak disembuhkan, sebelum tengah hari mereka akan
menjadi gila!!!

Ahhhh!!! Kau yakin?

Aku ini tabib. Dan begitulah yang aku pelajari

Jadi bagaimana?

Di sini hanya ada Dhanapati. Hanya dia yang bisa membantu

Kau yakin dia akan setuju?

Biarlah aku bicara dengannya, dan Putri Harum Hutan bicara kepada ketiga dara
***

Kiran, kau sudah gila? Desis Dhanapati.

Aku tidak gila. Tapi hanya itu satu-satunya cara untuk menyembuhkan mereka.
Untuk mencegah mereka menjadi gila. Mereka terkena Paraga Gayuh
Tresna dan
Aku tahu apa itu Paraga Gayuh Tresna itu, sergah Dhanapati. Tapi bukankah
serbuk itu sudah dilarang dibuat sejak dua ratus tahun lalu?

Entahlah. Tapi yang jelas, ketiga dara terkena racun keji itu. Dan hanya kau yang
bisa menyembuhkan mereka

Dan jika aku tidak mau?

Jika kau tidak mau, aku akan membunuh ketiga pembantuku, dan aku akan
membunuhmu Putri Harum Hutan tiba-tiba muncul. Wajahnya dingin namun
serius.

Ah, Dhanapati pasti mau, kata Kiran. Ingat, ini pengobatan. Kau menjadi tabib dan
mereka adalah pasien. Ingat itu baik-baik. Yang kau lakukan adalah pengobatan!!!
***

Dhanapati memasuki satu-satunya bilik di pondok itu. Bilik yang sangat sederhana,
hanya ditutupi bambu yang dicacah kasar. Ketiga dara duduk di lantai beralaskan
jerami dan rumput kering. Wajah ketiga gadis itu merah padam. Mata mereka sayu.

Pemuda itu mencoba meredakan debar di hati. Dia harus mengobati ketiga gadis ini
yang keracunan. Dan dia harus mengobati dengan

Dia mendekati Dara Merah.

A aku minta maaf. Sekali lagi aku minta maaf, bisik Dhanapati. Aku hanya
berusaha mengobati kalian

Dara Merah mengangguk. Nafasnya terengah.

Maafkan aku Bisik Dhanapati lagi. Perlahan dia membelai rambut Dara Merah.
Kemudian membelai pipinya.

Dhanapati lalu mengecup kening. Dan mata. Dan pipi. Dan

Dara Merah merintih.

Dara Biru dan Dara Hijau yang duduk tak jauh dari Dara Merah terengah
***

Tak jauh dari pondok, Kiran dan Harum Hutan sedang memasak. Tanpa kata. Dan
tiba-tiba mereka saling pandang.

Sayup, dari dalam pondok, terdengar erang kenikmatan. Erang kenikmatan yang
menggoda. Yang membuat jantung kedua gadis ini berdegub kencang!!!!
(bersambung)
Eps 21. Keharuman Pagi Berwarna Pelangi
Posted by Cerita Silat ala Rumah Kayu at 8:51 AM
SINAR Sang Surya mengintip malu- malu dari balik dedaunan.

Dasar jurang dimana Kiran dan Putri Harum Hutan sedang memasak itu terasa
sejuk. Semilir angin pagi membelai pipi, dan menerbangkan anak- anak rambut.
Gemuruh air terjun yang terdengar meningkahi sejuknya angin dan cericit burung
membuat udara semakin dingin.

Tapi di dalam bilik bambu, pagi yang sejuk itu dibuka dengan kehangatan yang
makin lama makin panas dan membara.

Dhanapati bertindak dengan sangat lembut dan hati- hati, tapi racun Paraga Gayuh
Tresna rupanya terhirup sangat dalam oleh ketiga Dara.

Racun tersebut dengan cepat menyebar di seluruh aliran darah. Saat Dhanapati
mendekat, Dara Merah menampilkan gerak dan bahasa tubuh sedemikian rupa yang
dengan segera dapat menularkan aliran panas dan menggelitik pada seluruh tubuh
Dhanapati.

Sementara itu tak jauh dari situ Dara Hijau dan Dara Biru duduk dengan sangat
gelisah, tak sabar menanti.

Dara Merah menyerah dengan pasrah saat Dhanapati mulai menyentuh dan
membelainya. Hangat nafas Dhanapati berpadu dengan hangat nafasnya sendiri.
Kehangatan itu makin menjalar, menjalar, menjalar dan membara...

Sementara itu, sepasang kupu-kupu biru berkejaran di luar pondok, diantara harum
bunga cempaka dan kenanga. Keharuman bunga- bunga itu berhamburan masuk
menerobos bilik bambu dimana kenikmatan yang bergulung naik dan turun seperti
ombak di samudera luas melemparkan jiwa ke awan- awan. Membubung tinggi, dan
makin tinggi...

Gelombang itu bergulung lembut, menghangatkan rasa, lalu membara serta


memanas ketika Dhanapati dan Dara Merah bergerak mendekat ke arah pijar Sang
Surya. Pijar yang semakin panas kala mereka makin mendekat pada suatu titik
ledak yang kemudian, saat mereka tiba di sana...

Blarrr...
Ledakan besar terjadi dan bintang-bintang berpendaran terhambur ke angkasa.

Berwarna-warni seperti percik bara api


***

Dhanapati melawan rasa kantuknya.

Di atas alas jerami, Dara Merah, Dara Hijau dan Dara biru tertidur pulas dengan
senyum tersungging di bibir.

Sebisanya, Dhanapati merapikan bilik itu, juga pakaian ketiga Dara.

Dhanapati tahu bahwa racun Paraga Gayuh Tresna sama sekali tak akan
meninggalkan jejak setelah pengaruh racun itu teratasi dengan apa yang
dilakukannya tadi pada ketiga Dara tersebut.

Ketiga Dara cantik itu akan tertidur dan saat mereka bangun mereka hanya akan
merasa seakan baru saja bermimpi. Ingatan yang nyata tentang apa yang
sebenarnya terjadi akan hilang. Jikapun mereka nanti bertemu dengan Dhanapati,
hanya akan ada sesuatu yang samar- samar yang mengingatkan mereka tentang
hal yang bahkan merekapun tak akan dapat menggambarkan lagi apa itu.

Racun jahat dan keji ini membebaskan lelaki penggunanya dari kewajiban
bertanggung jawab, meninggalkan akibatnya pada para gadis yang kebingungan
sebab tak merasa melakukan apapun tapi mendapati dirinya tiba- tiba mengandung
seorang bayi.

Tentu saja tak semua begitu. Sebagian gadis tak mengandung. Dan karena mereka
tak menyimpan ingatan apapun tentang apa yang terjadi, gadis- gadis ini dapat
melanjutkan hidup mereka seperti biasa.

Dhanapati menyadari semuanya dan karenanya dia sangat berhati- hati ketika
melakukan itu. Berusaha agar para Dara tersebut termasuk dalam golongan yang
kedua.

Apa yang dihadapinya saat ini dengan luka- luka dalam yang belum pulih serta
Bhayangkara Biru yang memburunya serta begitu banyak orang yang ternyata ingin
menangkap Kiran dengan sebab yang tak diketahuinya sudah cukup banyak tanpa
harus ditambah lagi dengan keterlibatannya tanpa sengaja dengan urusan serbuk
perangsang asmara, racun Paraga Gayuh Tresna yang sebenarnya sudah tak
diijinkan untuk dibuat sejak dua ratus tahun yang lalu.
Dhanapati membuka pintu pondok dan melangkah keluar.

Dilihatnya tumpukan kayu bakar yang masih menyisakan asap tak jauh dari situ.
Tapi Kiran dan Putri Harum Hutan tak ada disana
***

Saat memasak tadi, Kiran sungguh gelisah.

Dia sadar sepenuhnya bahwa dialah yang meminta Dhanapati untuk melakukan apa
yang sedang dilakukannya didalam bilik. Tak ada cara lain, sebab memang itulah
satu- satunya cara menangkal racun Paraga Gayuh Tresna. Jika hal tersebut tak
dilakukan sebelum tengah hari nanti, ketiga Dara itu akan menjadi gila.

Tapi entah kenapa, ada rasa tak rela menyeruak di dalam hatinya.

Untuk alasan yang berbeda, Putri Harum Hutan juga merasakan hal yang sama.

Ada sesuatu yang menusuk- nusuk nyeri ke dalam hatinya yang beku. Ada darah
yang menetes kembali. Ada ingatan yang tersimpan rapat kini muncul membayang,
tentang seorang lelaki yang pergi ke medan perang dan tak pernah kembali

Kedua perempuan itu seperti sepakat untuk menyegerakan apa yang sedang
mereka lakukan agar mereka dapat segera meninggalkan tempat itu.

Sesaat setelah masakan mereka matang, Putri Harum Hutan menatap Kiran dan
berkata, Ayo kuantarkan melihat- lihat tempat di sekitar sini

Tanpa ragu Kiran mengangguk. Lalu keduanya melangkah perlahan menjauhi


pondok.

Dalam perjalanan melihat sekitar itu berulangkali Kiran menghela napas. Apa yang
dilihatnya sungguh sangat indah.

Bebungaan aneka warna. Pepohonan aneka rupa. Sarang- sarang burung di dahan
yang rendah dengan anak- anak burung yang mencericit meminta makan.
Keharuman beragam yang berasal dari bunga- bunga di sekitarnya memanjakan
penciuman. Selain itu Kiran melihat pula pohon sukun yang sedang berbuah. Tak
terbilang pula jenis pepohonan lain yang sedang berbuah lebat.

Ilmu silatmu bagus, Harum Hutan tiba- tiba membuka pembicaraan.

Terimakasih, jawab Kiran, Tapi tentu tak setinggi Tuan Putri. Terimakasih telah
menolongku tadi
Putri Harum Hutan mengabaikan ucapan terimakasih Kiran dan menjawabnya
dengan, Kau hanya perlu lebih banyak latihan. Kau harus kerap berlatih kini karena
kau akan membutuhkan ajian dan jurus- jurusmu itu lebih sering

Kiran melangkahkan kakinya, tak menjawab, sebab tak terlalu dimengertinya apa
yang dikatakan oleh Putri Harum Hutan tadi. Dia akan membutuhkan ajian dan jurus-
jurus ilmu silatnya lebih sering, katanya? Dan mengapa pula itu akan terjadi? Aku ini
tabib, pikir Kiran. Lebih penting mempelajari ilmu tentang pengobatan daripada ilmu
untuk berlaga.

Bagaimanapun, Kiran dapat merasakan bahwa Putri Harum Hutan bersungguh-


sungguh dengan ucapannya. Mengingat apa yang telah terjadi, Kiran ingin bertanya
apakah dia mengatakan begitu sebab ternyata ada orang yang ingin menangkap
Kiran di pondoknya tadi, atau

Tapi sebelum Kiran sempat mengeluarkan suaranya, mereka telah tiba di sebuah
padang datar. Padang yang cukup luas itu tertutup rerumputan. Pepohonan berjejer
rapat di tepi padang tersebut, tapi padang itu sendiri kosong. Tak ada tanaman
apapun selain rumput.

Putri Harum Hutan berkata, Mari kita berlatih sebentar di sini.

Walau tetap tak mengerti, Kiran segan membantah. Nada dingin dalam suara Putri
Harum Hutan membuatnya memilih untuk menghemat kata- kata. Nanti, pikir Kiran,
nanti suatu saat jika kebekuan itu telah mencair, aku akan bertukar cerita
dengannya.

Tidak sekarang.

Maka Kiran memasuki lapangan. Berdiri berhadapan dengan Putri Harum Hutan lalu
saling membungkuk memberi salam sebelum memasang kuda- kuda
***

Di jalan setapak di samping pondok, Dhanapati memperhatikan sekeliling. Dicarinya


Kiran, dan Putri Harum Hutan dengan pandangnya. Tapi tak dilihatnya mereka.

Dhanapati memperhatikan lagi dan dengan segera didapatinya beberapa tanda yang
menunjukkan kemana kedua perempuan itu pergi. Diikutinya jejak tersebut.

Sepanjang jalan yang dilalui, seperti juga Kiran dan Putri Harum Hutan tadi,
Dhanapati menghirup keharuman banyak bunga. Dan keharuman itu
mengingatkannya akan sesuatu.
Ah, pikir Dhanapati, aku harus mengumpulkan tujuh macam bunga nanti. Tiba
waktunya untuk bersemedi menyembah para Dewata malam ini, disambung dengan
berpuasa esok hari.

Dhanapati menghitung waktu berdasarkan bulan Purnama, dan dia teringat bahwa
esok hari adalah hari kelahirannya.

Sambil menyeret Pedang Api Dhanapati terus melangkah. Jejak kedua perempuan
yang diikutinya memandunya tiba di tepi sebuah padang datar. Dilihatnya Kiran dan
Putri Harum Hutan ada di sana, sedang mengadu ilmu.

Dhanapati berdiri tak bergerak, menyaksikan apa yang sedang terjadi di tengah
padang itu. Tentu saja dia tahu, Kiran dan Putri Harum Hutan berlaga untuk berlatih,
bukan untuk bertempur sungguhan. Tapi apa yang disaksikannya di tengah padang
itu

Dhanapati menatap takjub. Ini adalah pertarungan paling indah yang pernah
dilihatnya.

Dilihatnya Kiran berjinjit, melompat tinggi lalu membungkuk dan berjungkir balik
beberapa kali di angkasa, sementara selendangnya membuka melebar,
berkelebatan memendarkan warna pelangi.

Putri Harum Hutan berkelit, mengibaskan tangannya dan tiba- tiba saja

Dhanapati menyaksikan kapuk- kapuk putih melayang di angkasa. Di sekitar padang


rumput dimana kedua pendekar perempuan itu sedang mengadu ilmu memang
banyak terdapat pohon randu. Pohon kapuk. Putri Harum Hutan memang tak
memiliki senjata khusus. Terbiasa menggunakan apapun yang ada di sekitarnya
sebagai senjata, rupanya kali ini dia memanfaatkan pohon randu itu.

Di tengah lapangan, Kiran berhenti sejenak. Kapuk putih yang beterbangan itu
sungguh indah. Namun dia tak dapat berlama- lama menikmati, sebab senjata
sesungguhnya dari pohon randu itu mulai pula beterbangan di sekitarnya. Keping
kulit buah randu beterbangan dengan kecepatan yang sangat tinggi menyerbu ke
arah Kiran.

Kiran tentu saja tahu bahwa kepingan kering itu keras dan jika kulit randu yang keras
itu mengenai tubuhnya dalam kecepatan tinggi serta dalam jumlah ribuan seperti
yang sedang terjadi kini, maka dia bisa cedera.

Kiran bergerak memegang ujung selendang pelangi yang berada di pinggang dan
menariknya dengan halus. Selendang itu melebar, sekejap berbentuk seperti kupu-
kupu lalu bergerak ke sana kemari, seakan membuat semacam bungkus di sekitar
Kiran.

Di tepi lapangan, Dhanapati menatap dengan kagum saat menyadari Kiran sedang
memperagakan jurus Kokuna Widung Songa ( Kepompong Kupu- Kupu Sutra), jurus
ketujuh dari ajian Sebya Indradhanu Paramastri. Selendang yang mulanya
membungkus lunak serupa kelambu itu kemudian mengeras berubah bentuk
menjadi tameng yang melindunginya dari kulit kapuk yang beterbangan

( bersambung )
Eps 22. Kelopak Bunga Teratai
Posted by Cerita Silat ala Rumah Kayu at 11:53 AM
KAPUK putih melayang di angkasa.

Bersamaan dengan itu, kulit buah kapuk yang keras beterbangan menyerang ke
satu tujuan.

Kiran.

Tapi Kiran saat itu telah terbungkus aman di dalam tameng berbentuk kepompong
yang terbentuk dari selendangnya. Kulit buah kapuk itu berjatuhan setelah memantul
di bungkus berbentuk kepompong tersebut.

Putri Harum Hutan mengibaskan tangannya lagi. Kali ini, duri- duri tajam
beterbangan dari segala penjuru ke arah kepompong kain selendang yang
membungkus Kiran.

Dhanapati menanti. Ditatapnya duri yang beterbangan itu. Jumlahnya begitu banyak
dengan ketajaman dan kepanjangan yang beragam. Mungkinkah duri- duri itu akan
dapat menembus kepompong selendang sutra Kiran?

Tiba- tiba, saat duri- duri tersebut berjarak sekitar dua tombak dari kepompong sutra,
kepompong tersebut membuka dengan cara yang sungguh indah.

Kepompong itu membelah membuka serupa bunga teratai yang sedang mekar.
Kiran berdiri di tengah- tengahnya, memegang sebuah kipas yang terbuka lebar..

Kiran menggerakkan kipas tersebut ke arah duri- duri yang beterbangan, dan

Jutaan duri itu tetap terbang dengan kecepatan yang sama, hanya saja seperti
terhembus angin besar, duri- duri itu terbang ke arah yang berlawanan, kembali ke
pepohonan darimana duri tersebut tadinya berasal.
Putri Harum Hutan memperhatikan duri- duri yang beterbangan kembali ke pohon
itu. Senyum tipis yang membuat wajahnya yang dingin tampak melembut muncul
sekejapan mata. Tak lama. Tapi Dhanapati dan Kiran dapat menangkap itu.

Ah, bagus sekali, Putri Harum Hutan berkata. Ajian Vyajana Paramastri ( Kipas
Para Bidadari ) memang bukan nama kosong, rupanya

Kalimat itu kemudian disambungnya lagi, Cukuplah latihan kita hari ini. Mari kita
sudahi dulu

Kiran, yang masih berdiri di tengah- tengah kepompong yang kini sudah berubah
menjadi kelopak bunga teratai yang merekah menutup kipasnya dan mengatupkan
kedua tangan di depan dada, tersenyum pada Putri Harum Hutan, kemudian
bersamaan mereka berdua saling membungkuk memberi salam.
***

Indah sekali, Kiran Dhanapati menyambut Kiran di tepi padang rumput.

Kiran melirik ke arah Dhanapati, tersenyum sekilas, tapi menghindari pandangnya.

Demikian pula dengan Putri Harum Hutan. Dia menghindari Dhanapati dan bergegas
berjalan kembali ke pondok meninggalkan Kiran serta Dhanapati di belakangnya.

Sejenak Dhanapati bingung, tak mengerti akan sikap kedua orang perempuan itu.
Tapi kemudian dia teringat pada apa yang baru saja terjadi di pondok, dan kemudian
dia memahami apa yang terjadi.

Kiran berjalan tanpa bicara. Dia senang melihat Dhanapati ada di tepi padang
rumput tempatnya berlatih tadi. Tapi dia sendiri agak bingung bagaimana harus
bersikap. Dia tidak marah. Tidak bisa marah, karena dialah yang meminta Dhanapati
melakukan semua hal yang dilakukannya tadi.

Apalagi itu dilakukan untuk pengobatan.

Paling tidak, itu menyelamatkan empat nyawa, pikir Kiran. Sebab jika Dhanapati tak
melakukan hal tersebut, maka Putri Harum Hutan akan membunuh ketiga Dara dan
juga telah bertekad akan membunuh Dhanapati.

Kiran berusaha menata hatinya sendiri


***

Di dalam bilik berdinding bambu, ketiga Dara mulai terjaga.


Ketiganya saling berpandangan dengan bingung, tak dapat mengingat mengapa
mereka ada di situ. Tak pula tahu apa yang telah terjadi.

Setengah sadar, mereka membenahi pakaian lalu menuju ke belakang pondok.

Tidak ada siapapun di sana, tapi ada wadah berisi masakan yang telah matang.

Mereka menengok kesana kemari dan kemudian setelah beberapa lama mereka
melihat Putri Harum Hutan yang sedang berjalan menuju pondok.

Uh Eh Tuan Putri, maafkan kami, Dara Biru tergagap menyambut Putri


Harum Hutan, Kami tertidur rupanya. Maaf Tuan Putri.

Putri Harum Hutan menoleh sekilas lalu tanpa menunjukkan perasaan apapun
menyuruh ketiga Dara tersebut untuk mandi membersihkan diri sebab sebentar lagi
senja. Kalimat itu disambungnya dengan perkataan bahwa dia meminta ketiganya
untuk setiap hari menemani Kiran dan Putri Harum Hutan berlatih silat.

Kita berempat akan ada di satu sisi berlatih melawan Putri Kiran.

Tiga dara itu mengangguk.

Dara Merah tiba- tiba teringat sesuatu. Bagaimana dengan Dhanapati?

Dhanapati belum sembuh, jawab Putri Harum Hutan. Dia belum akan ikut
berlatih. Jika dia telah pulih nanti, dia akan berlatih bersama kita.

Dara Merah, tanpa mengerti kenapa, merasa pipinya panas. Kedua Dara lain
menunjukkan sikap senang.

Jadi kita berlima akan berlatih melawan Putri Kiran? tanya Dara Hijau.

Ketiga Dara itu tampak sangat kecewa ketika Putri Harum Hutan, masih dengan
nada yang dingin menjawab, Tidak, kita berempat akan berlatih melawan mereka
berdua.

Sementara itu, Kiran dan Dhanapati menyusuri jalan setapak melangkah perlahan
menuju pondok.

Kiran mengamati Dhanapati saat lelaki itu memetik beragam bunga dalam
perjalanan mereka pulang tanpa mengatakan apa- apa. Dhanapatilah yang
memecahkan kebisuan diantara mereka.
Aku akan bersemedi malam ini. Esok adalah hari lahirku, kata Dhanapati.

Kiran mengangguk.

Di dekat air terjun, Dhanapati berkata lagi.

Oh. Di dekat air terjun?

Kiran menatap Dhanapati. Tadi tak terpikir olehnya bahwa Dhanapati akan
melakukan itu diluar pondok. Baru disadarinya kemudian bahwa tentu Dhanapati
menghendaki suasana yang tenang saat bersemedi. Biasanya mereka hanya
berdua, Dhanapati dan Kiran, tapi malam ini di pondok akan ada tambahan empat
orang lain, Putri Harum Hutan dan ketiga Dara.

Aku ikut, kata Kiran.

Aku disana sampai esok hari, komentar Dhanapati.

Aku tahu, jawab Kiran. Aku ikut.

Dhanapati mengangguk. Baiklah. Nanti kita berpamitan dulu pada Putri Harum
Hutan.
***

Putri Harum Hutan mengangguk ketika Dhanapati mengatakan dia akan bersemedi
di dekat air terjun malam ini. Juga mengangguk sekali lagi ketika Kiran mengatakan
dia akan menemani Dhanapati disana.

Hati- hati, itu saja yang dikatakannya pada Kiran.

Ketiga Dara saling berpandangan, tersenyum kecil dan memberi isyarat satu sama
lain. Dara Merah, yang paling berani diantara mereka, membuka mulutnya, tapi
belum sampai suaranya keluar, Putri Harum Hutan telah berkata tegas, Kalian
bertiga tinggal dengan aku di pondok ini. Ada tugas yang harus kalian kerjakan
malam ini.

Tak punya pilihan, ketiga Dara mengangguk tanpa membantah. Sekali- sekali
mereka melirik Dhanapati, sementara Kiran dan Dhanapati berpura- pura tak melihat
apa yang terjadi.
***

Senja turun menyapa hari.


Kiran berjalan meniti bebatuan di sungai bening yang mengalir tak jauh dari pondok.
Dia dan Dhanapati dalam perjalanan menuju air terjun.

Bebatuan itu licin. Dan pada suatu saat, Kiran terpeleset. Dhanapati yang berjalan di
belakangnya dengan sigap menangkap tubuh gadis itu. Lalu segera melepaskannya
kembali setelah Kiran berdiri ajeg.

Terimakasih, kata Kiran.

Dhanapati mengangguk tersenyum. Sejenak kemudian dia mengulurkan tangan,


menawarkan pada Kiran untuk menggandengnya selama meniti bebatuan.

Kiran merasa dadanya berdebar keras. Dia tak berani menatap Dhanapati, tapi
diulurkannya pula tangannya, membiarkan Dhanapati menggenggam tangan itu.
Dan begitulah, bergandengan tangan, mereka menuju sebuah tempat yang agak
datar di dekat air terjun.

Tempat itu indah sekali. Ada tebing batu tinggi berbentuk bulat yang mengelilingi air
terjun itu, sehingga tempat itu seakan sebuah sumur dalam dengan air terjun di
sebuah sisinya sementara anak sungai mengalir menembus tebing batu itu. Di
beberapa tempat di sungai yang tenang tersebut, tampak bunga teratai bermekaran.

Sejenak, bunga teratai mekar itu mengingatkan Dhanapati pada apa yang
disaksikannya tadi, saat Kiran berdiri anggun memegang kipas, menggunakan ajian
Vyajana Paramastri untuk menghalau duri.

Kiran dan Dhanapati, masih bergandengan tangan, memilih sebuah batu datar yang
lebar, dimana mereka berdua kemudian duduk berdampingan. Dhanapati
meletakkan wadah berisi tujuh macam bunga harum yang tadi dipetiknya disana, tak
jauh dari tempat mereka duduk.

Malam itu, mereka berdua duduk bersisian.

Dhanapati memejamkan mata, bersemedi dalam memuja para Dewata.

Kiran juga memejamkan mata, memusatkan pikiran untuk memuja Dewata serta
mendoakan orang- orang yang dikasihinya. Dalam doanya, Kiran menyelipkan nama
Dhanapati, meminta pada Dewata agar mereka melindungi Dhanapati, memberikan
kesehatan serta keselamatan dan melimpahkan banyak berkah baginya.
***

Diam tak bergerak bersemedi sepanjang malam, sentuhan matahari pagi dan cericit
burunglah yang membuat mereka berdua membuka mata.

Kiran merentangkan lengan lalu mengatupkan kedua tangannya di depan dada.


Begitu pula yang dilakukan Dhanapati. Mereka menggenapkan semedi mereka.

Setelah itu, Kiran menoleh menatap Dhanapati. Pada saat yang sama, Dhanapati
menatap Kiran.

Dan getar itu muncul lagi

Kiran memalingkan mukanya dengan rikuh, sebab getar itu terasa sangat kuat.
Entah kenapa, dia sungguh ingin memeluk Dhanapati. Tapi dia malu. Sementara itu
Dhanapati menatap Kiran dari samping. Gadis ini cantik, pikirnya. Dan
menyenangkan. Juga baik hati.

Dhanapati sungguh ingin memeluk Kiran.

Tapi tak dia lakukan itu.

Air memercik dari ketinggian, membasahi rambut mereka berdua. Sinar Sang Surya
menimpa air sungai dan percik air. Tampak seberkas pelangi di hadapan mereka.
Letaknya rendah, hanya sekitar satu tombak dari permukaan air sungai.

Kiran menatap pelangi tersebut dengan takjub. Dia memang selalu menyukai
pelangi. Apalagi pelangi ini berada begitu dekat dan begitu rendah di depannya

Dhanapati membiarkan Kiran bersikap seperti itu sebentar, lalu setelah itu
diulurkannya tangannya. Kiran menyambut tangan Dhanapati dan membiarkan
Dhanapati membantunya berdiri. Bergandengan tangan meniti bebatuan di sungai
kecil yang bening itu, mereka berdua kembali ke Pondok Putri Harum Hutan
Eps 23. Melaksanakan, Bukan Mempertanyakan...
Posted by Cerita Silat ala Rumah Kayu at 3:31 AM
ANGIN berbisik lirih, seperti ingin mengusir rasa penat yang mengguyur keenam
sosok yang duduk bersila. Mereka, lima lelaki dan satu perempuan tenggelam dalam
keheningan. Mereka duduk di halaman berdebu, yang mengeras oleh pijakan kaki
selama bertahun-tahun.

Mereka bersila di atas potongan kulit kambing yang dikeringkan, dan duduk
berdasarkan urutan. Seperti yang sudah berlaku sejak hampir satu setengah tahun
terakhir, ada satu potongan kulit kambing yang kosong. Tempat yang seharusnya
diduduki Dhanapati, orang kelima di Bhayangkara Biru.
***
Seorang lelaki masuk, penuh kharisma, yang memaksa keenam sosok itu
menengadah. Dia berwajah agung, paduan antara ketegasan dan keanggunan,
dengan mata setajam elang dengan rahang yang kokoh.

Lelaki itu bertubuh tegap dan gagah, bagai beruang muda yang lapar. Dia
mengenakan pakaian mewah yang bagian dada kiri bersulam burung Garuda
mengepakkan sayap. Mengenakan pakaian dengan sulaman burung Garuda adalah
ide Bhagawan Buriswara, lelaki gagah itu, beberapa saat setelah ditunjuk Yang
Mulia Mahapatih mengepalai Bhayangkara Biru, organisasi rahasia yang bertugas
memburu para musuh kerajaan dan musuh masyarakat.

Ide yang diungkap Bhagawan Buriswara awalnya dianggap sebagai keanehan. Saat
itu, masyarakat Majapahit belum terbiasa mengenakan busana untuk tubuh bagian
atas. Pria, wanita, bangsawan hingga rakyat jelata umumnya hanya mengenakan
busana sebatas pinggang. Bagian atas dibiarkan terbuka. Para perempuan
umumnya melengkapi tubuh bagian atas dengan sejumlah perhiasan, seperti kalung
beraneka bentuk.

Bhagawan Buriswara ingin Bhayangkara Biru menjadi kelompok elit yang tak hanya
dikenal karena perbuatan, namun juga oleh penampilan. Dia memberi warna baru
untuk sebuah organisasi yang seharusnya rahasia, dan secara hukum tidak pernah
diakui keberadaannya.
***

Bhagawan Buriswara duduk di sebuah batu kecil setinggi dua jengkal. Dan menatap
keenam anggotanya. Mereka nampak letih, padahal Sang Surya baru saja terbit dari
peraduannya.

Jadi, Dhanapati masih hidup? Buriswara membuka percakapan. Suaranya


menggelegar. Bagaimana mungkin seseorang yang terluka parah, yang sebelah
kakinya sudah berada di akhirat bisa lolos dari kejaran dua anggota Bhayangkara
Biru? Bhagawan Buriswara menatap Brontoseno dan Kebo Wungu.

Brontoseno, orang kedua di Bhayangkara Biru menghaturkan sembah di dada.


Rupanya, Dewata yang Agung belum menghendaki kematiannya. Dia diobati
seorang tabib muda, yang kemudian membawanya ke kediaman Pendekar Padi
Emas. Kami sempat terkecoh karena Pendekar Padi Emas rupanya memasukkan
Dhanapati dan tabib penolongnya ke dalam kereta berisi hasil bumi. Belakangan,
kami menemukan jejak mereka di Pondok Harum milik Putri Harum Hutan

Dan kami juga menemukan informasi yang mengejutkan, tambah Kebo Wungu.
Tabib muda yang menolong Dhanapati bukan sembarang tabib. Dia adalah pewaris
terakhir ajian Sebya Indradhanu Paramastri. Dia bernama Kirana dan biasa disapa
Kiran

Kebo Wungu, orang ketujuh di Bhayangkara Biru itu berhenti sejenak, dan kemudian
berkata perlahan, kata demi kata.

Sang Surya sudah terbit dan menanyakan hujan.

Ahhhh! Jadi dia orangnya Bhagawan Buriswara mengelus jenggotnya yang


kasar. Jagat persilatan di Jawadwipa akan terguncang jika kabar tentang
kehadirannya bocor

Emm, entah dengan cara bagaimana, namun ada pihak yang rupanya sudah
mengetahui keberadaannya. Ada yang berusaha menculik dan ada juga yang
berupaya melindunginya.

Benar Bhagawan. Beberapa pendekar dari golongan putih berupaya melindunginya.


Selain Pendekar Padi Emas dan Putri Harum Hutan, ada juga Pendekar Codet,
Pendekar Mata Naga dan Pendekar Harimau Hitam. Kebetulan aku sempat
menemukan jejak mereka di pasar. Mereka, para pendekar dari golongan putih ini
mengadakan pertemuan di Pawon ManteraKata, sahut Sancaka.

Hmmm Menarik sekali, kata Buriswara. Pasti mereka adalah bagian dari Para
Pelindung Yang Tersumpah. Dan tentang pemilik kedai ManteraKata, kita sudah
lama tahu kalau mereka sebenarnya adalah jagoan yang menyamar bukan?
Mengenai pihak yang berusaha menculik, dari mana mereka?

Ini yang tidak kami pahami, Bhagawan, sahut Brontoseno. Beberapa pihak yang
terlibat dalam upaya penculikan Kiran selama ini dikenal sebagai pendekar
pengembara, yang tidak terikat dalam perguruan atau padepokan tertentu. Namun
rupanya kini mereka digerakkan oleh sebuah kekuatan rahasia yang belum jelas
siapa

Brontoseno benar Bhagawan. Delapan Pedang Gunung Lawu, Lima Cakar Ganas,
Iblis Sapta Kupatwa, Durgandini dan Rakyan Wanengpati bisa bekerjasama,
sesuatu yang rasanya mustahil. Tapi itu yang terjadi. Durgandini sempat menyebut
tentang Ketua Muda. Namun belum jelas siapa dia kata Kebo Wungu.

Jadi Dhanapati dan Kiran kini berada di Pondok Harum?

Tadinya begitu, Bhagawan. Namun setelah kami periksa, mereka tak berada di
sana. Kelihatannya mereka lolos melalui semacam jalan rahasia

Dan kalian tidak menemukan jalan rahasia itu?


Hmm Kami tak pantas menjadi anggota Bhayangkara Biru jika tak menemukan
jalan rahasia itu. Di balik sebuah air terjun kami menemukan goa setinggi pinggang.
Namun kami tidak memeriksa hingga ke dalam. Terlalu berbahaya jika kami
diserang atau jika gua itu dipasangi jebakan

Bhagawan Buriswara mengangguk, berpikir keras sambil tetap mengelus


jenggotnya.

Urusan kita adalah dengan Dhanapati. Dia menjadi duri jika tak juga dibereskan.
Tentang Kiran, kita mengamati saja. Sepanjang tidak mengganggu Kerajaan kita tak
perlu ikut campur

Maaf, Bhagawan, Ayu Ningrum, satu-satunya perempuan di Bhayangkara Biru


tiba-tiba menghaturkan sembah. Apakah tidak memungkinkan jika kita mengampuni
Dhanapati? Mengingat apa yang telah dia lalui

Kita bisa saja mengampuni dia, Ayu Ningrum. Pertanyaannya, apakah Dhanapati
akan mengampuni kita? Setelah apa yang kita lakukan, apakah dia akan begitu saja
memaafkan? Aku tidak akan merasa heran jika kelak, suatu hari nanti Dhanapati
muncul di sini dan menantang kita satu per satu..

Bhagawan Buriswara menatap keenam anggotanya. Ingat, Dhanapati sendiri yang


memilih jalannya. Ketika memutuskan meninggalkan Bhayangakra Biru, dia telah
menulis sendiri sejarah hidupnya. Dia yang memutuskan nasibnya!!

Maaf Bhagawan, Bayu Segara yang sejak tadi berdiam diri tiba-tiba bicara. Sudah
hampir dua tahun posisi Dhanapati sebagai orang kelima di Bhayangkara Biru
kosong. Apa tidak sebaiknya dicari pengganti? Maksudku, tak akan ada yang bisa
menggantikan Dhanapati. Namun bagaimanapun, akan lebih mudah bagi kita
bekerja bertujuh daripada berenam seperti sekarang

Aku sudah memikirkan itu, Bayu Segara, kata Buriswara. Bahkan aku sudah
memulai mencari siapa yang bakal menggantikan Dhanapati. Sudah ada tiga nama
yang masuk. Yakni dari Wengker, yang katanya merupakan pewaris ilmu kanuragan
yang dulu dikuasai Senopati Utama Ranggalawe, seorang pendekar perempuan dari
Padepokan Pucuk Daun dan putra seorang Mpu dari Gunung Bromo. Mungkin
menjelang purnama mendatang kita akan melakukan seleksi

Nyaris bersamaan, keenam anggota Bhayangkara Biru menatap kulit kambing


kosong yang biasanya diduduki Dhanapati. Bagaimana rasanya melihat seorang
asing menduduki kulit itu?

Brontoseno dan Kebo Wungu, kalian tetap mencari Dhanapati. Selesaikan tugas
yang belum tuntas. Sancaka, kau amati kedai ManteraKata dan lihat jika ada yang
mencurigakan. Ayu Ningrum, tugasmu mencari tahu siapa di balik kelompok yang
berusaha menculik Kiran. Bayu Segara dan Lembu Kapang, kalian mencari Ki
Bendot Penduti. Terakhir jejaknya menghilang di Kahuripan. Ki Bendot Penduti
sudah banyak menyusahkan rakyat. Habisi dia

Melihat anggotanya mengangguk Bhagawan Buriswara melanjutkan, Ingat, di bulan


Bhadrapada mendatang kalian harus berkumpul di sini. Wilwatikta akan kedatangan
tamu, rombongan dari Pakuan Sunda yang membawa Putri Dyah Pitaloka
Citraresmi. Kerajaan Pakuan Sunda sudah menerima pinangan Yang Mulia Baginda
Raja. Kita akan menemani Mahapatih menemui para tamu di Lapangan Bubat

Kalau rombongan Pakuan Sunda datang membawa calon penganten untuk


Baginda Raja, kenapa harus ditemui di Lapangan Bubat dan bukannya keraton?
Ayu Ningrum bertanya.

Sebagai abdi kerajaan, tugas kita adalah melaksanakan dan bukannya


mempertanyakan perintah. Yang Mulia Mahapatih mengatakan kita akan
menyambut tamu di Lapangan Bubat. Dan itulah yang akan kita lakukan

Keenam anggota Bhayangkara Biru saling pandang. Seperti biasa, Yang Mulia
Mahapatih penuh dengan berbagai ide, walau terkadang mengejutkan. Namun
menerima rombongan yang membawa penganten di sebuah lapangan? Entah
kenapa, mereka merasa ada yang tidak beres. Entah apa
***

Aroma harum semerbak menggugah selera menggoda penciuman Dhanapati dan


Kiran yang mendekati pondok. Putri Harum Hutan dan ketiga dara rupanya baru saja
memasak. Nasi putih yang masih mengepul diletakkan di atas daun pisang yang
dihamparkan di atas rerumputan. Lima ekor ikan air tawar selebar telapak tangan
sudah dibakar dan juga diletakkan di atas daun. Sayur kangkung rebus, pisang
matang dan beberapa butir buah mangga diletakkan di wadah keramik.

Kita makan dulu. Nanti menjelang malam kita berlatih, kata Putri Harum Hutan. Ini
latihan kita yang terakhir di tempat ini karena besok kita harus pergi

Kita akan pergi ke mana?

Ketempat yang lebih aman. Di sini masih rawan

Tapi aku belum selesai mengobati Dhanapati

Dhanapati bukan anak kecil. Lagipula kau tidak bisa mengobati dia selamanya. Itu
terlalu berbahaya. Karena itu, besok Dhanapati tidak akan ikut dengan kita
Ah. Tapi kenapa? (bersambung)
Eps 24. Hati Yang Retak
Posted by Cerita Silat ala Rumah Kayu at 1:06 PM
Udara tetap sejuk walau hari merangkak siang.

Sunyi terasa di sekitar pondok milik Putri Harum Hutan yang berada di balik sebuah
air terjun. Keenam orang yang berada disana melakukan kegiatan masing- masing
tanpa banyak bicara.

Setelah beberapa lama berlalu seperti itu, kesunyian tersebut dipecahkan oleh sang
pemilik pondok.

Dara Biru, Putri Harum Hutan menoleh pada salah satu dari ketiga Dara, Ambil
persediaan uang untuk perjalanan kita. Ambillah tiga kali lipat biasanya, sebab aku
belum tahu pasti kemana kita akan menuju dan apakah kita akan melalui tempat-
tempat dimana persediaan uang kita disimpan.

Dara Biru mengangguk. Dia menuju ke sebuah pojok di dalam pondok dan kembali
mendekati Putri Harum Hutan diiringi suara gemericing. Seperti yang diperintahkan
oleh Putri Harum Hutan, diambilnya sejumlah mata uang emas dan perak, juga uang
dari perunggu yang didatangkan dari Tiongkok yang disebut dengan uang kepeng
untuk bekal di perjalanan.

Dada Kiran berdesir.

Putri Harum Hutan bersungguh- sungguh dengan ucapannya untuk mengajak


mereka segera pergi dari sini rupanya. Mereka, termasuk Kiran, tapi tanpa
Dhanapati.

Kiran saat itu berada di pojok lain pondok tersebut. Dia sedang mengobati
Dhanapati yang duduk memunggunginya. Tangannya bergerak- gerak, tapi tak ada
suara yang keluar dari mulutnya.

Putri Harum Hutan melirik Kiran yang bekerja sambil diam membisu. Sejenak, ada
rasa nyeri terasa di dalam hatinya.

Dia bukan tak mengerti apa yang mulai tumbuh di hati Kiran. Tapi tak ada pilihan,
mereka memang harus pergi, tanpa Dhanapati.

Kiran mungkin tak tahu, tapi Putri Harum Hutan memiliki tugas. Dia adalah bagian
dari Para Pelindung Yang Tersumpah, dan sebab Sang Surya Telah Terbit
Menanyakan Hujan, maka tugasnya hanya satu: melindungi dan menyelamatkan
Kiran dengan segenap daya upaya. Bagaimanapun caranya.
Termasuk jika itu harus memisahkan Kiran dengan Dhanapati.

Rasa nyeri menusuk lagi di dalam hati Putri Harum Hutan. Parasnya yang cantik
sekilas tampak sendu, tapi hanya sesaat. Tak lama kemudian wajahnya telah
menunjukkan kebekuan seperti biasa. Dingin dan beku yang disebabkan suatu
peristiwa dulu, bertahun- tahun yang lalu.

Peristiwa yang sangat ingin dilupakannya, tapi tak juga pernah terlupa.

Peristiwa ketika dia harus menyaksikan lelaki yang dikasihinya pergi

Dan tak pernah kembali.

Luka di hati itu tak pernah sembuh rupanya, dan merencanakan perpisahan seperti
ini membuat basah luka itu terasa berdenyut nyeri.

Putri Harum Hutan teringat pada kekasihnya, seorang lelaki yang mencuri hatinya
dulu. Dia tampan, dan baik hati. Kesalahan lelaki itu hanya satu. Satu saja. Tapi
yang satu itu tak dapat diperbaiki baik oleh sang lelaki maupun Putri Harum Hutan.

Sebab kesalahan itu bukan dibuat oleh mereka. Kesalahan itu dibawa sejak lahir.
Perbedaan kasta.

Lelaki tersebut adalah prajurit rendahan di kerajaan.

Kedekatan itu dengan segera ditentang oleh seluruh keluarga Putri Harum Hutan.
Tapi mereka tak perduli. Kasta tak dapat mengalahkan rasa cinta. Dan keluargapun
berunding. Prajurit kekasih Putri Harum Hutan dikirimkan pergi berperang.

Putri Harum Hutan menangis berhari- hari saat itu. Dan ketika pada akhirnya dia
telah terlalu lelah menangis, diterimanya kenyataan itu. Kekasihnya pergi berperang,
dan akan dinantinya dia sampai kembali.

Tapi lelaki itu tak pernah kembali. Mimpi- mimpi indah yang telah dirajut tak pernah
terwujud.

Sebab kekasihnya tewas dalam peperangan. Bahkan jasadnyapun tak pernah


kembali.

Hati Putri Harum Hutan hancur. Dia tak pernah mau membuka hati bagi lelaki lain.
Tak terhitung banyaknya putra keluarga bangsawan kerajaan meminang, tak
satupun diliriknya.
Cintanya telah terkubur, tak akan tergantikan.

Dia hidup hanya untuk menanti mati. Dengan suatu harapan bahwa pada suatu saat
kelak, pada hidupnya yang berikut, dia akan bertemu lagi dengan titisan kekasihnya
dan kelak mereka akan melanjutkan membangun mimpi- mimpi yang tertunda.
***

Berbaliklah

Dhanapati menoleh. Dia mendengar Kiran bersuara, tapi tak didengarnya jelas suara
itu. Suara itu kecil, nyaris tak terdengar dan tertahan dalam.

Di pojok lain, Putri Harum Hutan bangkit dari duduknya dan memberi isyarat pada
ketiga Dara untuk mengikutinya keluar pondok. Temani aku mencari buah- buahan,
katanya .

Ketiga Dara mengikutinya tanpa banyak bertanya.

Berbaliklah, Kiran berkata lagi pada Dhanapati.

Dhanapati membalikkan badan dan bersila. Kini dia dan Kiran duduk saling
berhadapan. Kiran masih terus menggerakkan tangan mengobati Dhanapati dengan
mata tertutup.

Dhanapati memperhatikan gadis itu, dan dengan segera dia tahu, Kiran menangis.
Dia memejamkan matanya bukan semata agar dapat memusatkan pikiran, tapi lebih
agar dapat menyembunyikan air matanya.

Selama sekian lama diobati oleh Kiran, Dhanapati tahu bahwa Kiran tak harus
berdiam diri saat melakukan pengobatan. Tidak juga harus menutup matanya. Dia
dapat melakukan pengobatan itu sambil bicara. Kiran pernah pula menceritakan
pada Dhanapati bahwa dia senang mengobati anak kecil sebab pengobatan itu bisa
dilakukannya sambil mengobrol dan bermain dengan anak- anak itu.

Tapi hari ini Kiran begitu diam. Sejak Putri Harum Hutan mengatakan bahwa mereka
harus pergi tanpa Dhanapati, Kiran tampak murung.

Kemana kita akan pergi? tanya Kiran tadi pada Putri Harum Hutan. Aku mau
kembali ke Dukuh Wening saja, katanya lagi.

Dhanapati menggelengkan kepalanya dengan takjub saat mendengar apa yang


dikatakan gadis itu. Hal ini adalah bagian dari kepolosan Kiran. Bahkan setelah apa
yang terjadi sebelumnya, ketika kelompok yang bernama Iblis Sapta Kupatwa, juga
Durgandini dan Rakyan Wanengpati berusaha membawanya pergi, yang diinginkan
Kiran sekarang jika tak lagi dapat tinggal di Pondok Putri Harum Hutan hanyalah
kembali ke rumahnya.

Adik kecil, pikir Dhanapati, kau pasti tak mengerti apa bahaya yang menantimu.

Begitu tahu bahwa Kiran menguasai ajian Sebya Indradhanu Paramastri, Dhanapati
sudah dapat menduga mengapa ada pihak- pihak yang ingin menculik gadis itu. Dan
dengan heran dia mendapati bahwa Kiran sendiri seperti tak menyadari hal tersebut.
Dhanapat tak bertanya, tapi dia menduga bahwa ada hal- hal yang menyangkut diri
Kiran yang selama ini belum pernah diberitahukan pada gadis itu sendiri.

Karena itulah dia tampak begitu polos dan naif.

Kiran ujar Dhanapati lembut.

Kiran seakan tak mendengar, dia terus mengobati Dhanapati dengan mata tertutup..

Kiran, kali ini Dhanapati berkata sambil menyentuhkan jemarinya pada tangan
Kiran yang kebetulan sedang bergerak ke arah tangannya.

Sentuhan itu ringan, dan hanya sejenak. Tapi Kiran langsung berhenti mengobati.
Dan juga membuka matanya.

Seperti yang telah diduga Dhanapati, ada air tergenang disana


***

Kau belum sembuh, Kiran berkata. Suaranya tertahan, patah- patah dan
terdengar parau.

Aku ingin mengobatimu hingga sembuh, kata Kiran lagi. Air mata yang sejak tadi
tergenang mulai menetes.

Dhanapati menghela nafas.

Kiran, katanya dengan lembut, Aku berterimakasih padamu. Seumur hidup aku
akan berhutang nyawa. Tapi Putri Harum Hutan benar. Kita harus pergi dari sini.
Tempat ini tidak aman. Dan kalian harus pergi ke arah yang berbeda dengan aku

Kiran tak menjawab. Ditatapnya Dhanapati dengan air mata yang terus mengalir.

Ta..pi Kiran menghela napas. Ta pi kena pa ?


Dhanapati menggenggam tangan Kiran dengan jemarinya. Gadis itu membiarkan hal
tersebut terjadi.

Karena, Dhanapati menjawab perlahan dan hati- hati, Karena.. hanya dengan
cara itulah kita berdua akan dapat tetap hidup

Kiran menatap lelaki gagah di depannya. Ditatapnya lelaki itu dengan pandangan
polos, bening dan tak mengerti.

Dhanapati menarik napas panjang. Dia mengelus kepala Kiran lalu merengkuh gadis
itu kedalam pelukannya. Air mata Kiran mengalir tak terbendung, membasahi dada
Dhanapati

( bersambung )

Anda mungkin juga menyukai