Anda di halaman 1dari 11

REFERAT

Rhinosinusitis Kronik

Disusun Oleh :

Melisa Arendra Yati

11 2016 229

Dokter pembimbing : dr.Tantri Kurniawati.Sp,THT-KL.Mkes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT-KL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA


WACANA

PERIODE 15 MEI 17 JUNI 2017

RUMAH SAKIT BAYUKARTA


BAB 1

PENDAHULUAN
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Sinus Paranasal

Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus
etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil
pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua
sinus mempunyai muara ke rongga hidung.

Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga


hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid
dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat anak lahir, sedangkan
sinus frontal berkembang dari dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia
kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan
berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya
mencapai besar maksila 15-18 tahun. Pada orang sehat, sinus terutama berisi udara.
Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran pernapasan yang mengalami modifikasi, dan
mampu menghasilkan mukus dan bersilia, sekret disalurkan ke dalam rongga hidung.

1. Sinus Maksila

Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus
maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya
mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa.

Sinus maksila berbentuk segitiga. Dinding anterior sinus ialah permukaan


fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan
infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung
dinding superiornya adalah dasar orbita dan dinding inferior ialah prosesus alveolaris
dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus
dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infindibulum etmoid.

Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah:

1. Dasar dari anatomi sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang
atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga
gigi taring (C) dan gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat
menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas
menyebabkan sinusitis.
2. Sinusitis maksila dapat menyebabkan komplikasi orbita.
3. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase
kurang baik, lagipula drainase juga harus melalui infundibulum yang sempit.
Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan
akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drenase sinus
maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitus.

2. Sinus Frontal

Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke empat
fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid.
Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan
mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun. Sinus frontal kanan dan kiri
biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari pada lainnya dan dipisahkan oleh sekret
yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu
sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang.Ukurannya sinus
frontal adalah 2.8 cm tingginya, lebarnya 2.4 cm dan dalamnya 2 cm. Sinus frontal
biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berleku-lekuk. Tidak adanya gambaran
septumn-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto Rontgen menunjukkan
adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisakan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita
dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah
ini. Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal.
Resesus frontal adalah bagian dari sinus etmoid anterior.1,2

3. Sinus Etmoid

Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-
akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-
sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etomid seperti piramid dengan
dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2.4
cmn dan lebarnya 0.5 cm di bagian anterior dan 1.5 cm di bagian posterior.1,2

Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang


tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara
konka media dan dinding medial orbita, karenanya seringkali disebut sel-sel etmoid.
Sel-sel ini jumlahnya bervariasi antara 4-17 sel (rata-rata 9 sel). Berdasarkan letaknya,
sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius
dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus etmoid
anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di bawah perlekatan konka media,
sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit
jumlahnya dan terletak di postero-superior dari perlekatan konka media.1,2

Di bagian terdepan sinus etmoid enterior ada bagian yang sempit, disebut
resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar
disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang
disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan atau
peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan
di infundibulum dapat menyebabkan sisnusitis maksila.

Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina
kribosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan
membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior
berbatsan dengan sinus sfenoid.

4. Sinus Sfenoid

Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior.


Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya
adalag 2 cmn tingginya, dalamnya 2.3 cm dan lebarnya 1.7 cm. Volumenya bervariasi
dari 5-7.5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nerbus di bagian lateral os
sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai
indentasi pada dinding sinus etmoid.1,2

Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar
hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus
kavernosus dan a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di sebelah
posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons.1,2

5. Kompleks Ostio-Meatal

Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada
muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior.
Daerah ini rumit dan sempit dan dinamakan kompleks ostio-meatal (KOM), terdiri
dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus, resesus
frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus
maksila.1,2

2.2. Fisiologi

Sampai saat ini belum ada kesesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus
paranasal. Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal ini tidak mempunyai
fungsi apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka.
Namun ada beberapa pendapat yang dicetuskan mengenail fungsi sinus paranasal
yakni :1,2

1. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)


Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur
kelembaban udara inspirasi.Keberatan terhadap teori ini ialah karena ternyata
tidak didapati pertukaran udara yang definitive antara sinus dan rongga
hidung.Lagipula mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar
yang sebanyak mukosa hidung.
2. Sebagai penahan suhu (thermal insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita
dan fossa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah.

3. Membantu keseimbangan kepala


Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka.
Akan tetapi, bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan
memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori
dianggap tidak bermakna.

4. Membantu resonansi suara


Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan
mempengaruhi kualitas suara.Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus
dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang
efektif.Lagipula tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus
pada hewan-hewan tingkat rendah.
5. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak
misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus

6. Membantu produksi mukus


Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil
dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk
membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus
ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.

2.3. Definisi Rhinosinusitis Kronik

Rhinosinusitis kronis adalah penyakit multifaktorial Dan merupakan


penyakit inflamasi mukosa yang melapisi hidung dan sinus paranasal. Peradangan ini
sering bermula dari infeksi virus, yang karena keadaan tertentu berkembang menjadi
infeksi bakterial dengan penyebab bakteri patogen yang terdapat di saluran napas
bagian atas. Penyebab lain adalah infeksi jamur, infeksi gigi, dan dapat pula terjadi
akibat fraktur dan tumor. Secara klinis rinosinusitis dapat dikategorikan sebagai
rinosinusitis akut bila gejalanya berlangsung dari beberapa hari sampai 4 minggu,
rinosinusitis subakut bila berlangsung dari 4 minggu sampai 3 bulan dan rinosinusitis
kronis bila berlangsung lebih dari 3 bulan.

Rinosinusitis bisa terjadi pada salah satu dari keempat sinus yang ada yaitu
maksilaris, etmoidalis, frontalis atau sfenoidalis. Bila mengenai beberapa sinus
disebut multisinusitis sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut
pansinusitis.

Etiologi

Rinosinusitis akut dan rinosinusitis kronik berbeda secara mendalam. Pada


rinosinusitis akut, infeksi virus dan bakteri patogen telah ditetapkan sebagai penyebab
utama.2,14Namun sebaliknya, etiologi dan patofisiologi rinosinusitis kronik bersifat
multifaktorial dan belum sepenuhnya diketahui; rinosinusitis kronik merupakan
sindrom yang terjadi karena kombinasi etiologi yang multipel. Ada beberapa pendapat
dalam mengkategorikan etiologi rinosinusitis kronik.

Berdasarkan EP3OS 2007, faktor yang dihubungkan dengan kejadian


rinosinusitis kronik tanpa polip nasi yaitu ciliary impairment, alergi, asma,
keadaan immunocompromised, faktor genetik, kehamilan dan endokrin, faktor
lokal, mikroorganisme, jamur, osteitis, faktor lingkungan, faktor iatrogenik,
H.pylori dan refluks laringofaringeal.1
Publikasi Task Force (2003) menyatakan bahwa rinosinusitis kronik
merupakan hasil akhir dari proses inflamatori dengan kontribusi beberapa
faktor yaitu faktor sistemik, faktor lokal dan faktor lingkungan. 2,14

Berdasarkan ketiga kelompok tersebut, maka faktor etiologi rinosinusitis


kronik dapat dibagi lagi menjadi berbagai penyebab secara spesifik, ini dapat
dilihat pada tabel 2 berikut.2,14
James Baraniuk (2002) mengklasifikasikan bermacam kemungkinan
patofisiologi penyebab rinosinusitis kronik menjadi rinosinusitis inflamatori
(berdasarkan tipe infiltrat selular yang predominan) dan rinosinusitis non
inflamatori (termasuk disfungsi neural dan penyebab lainnya seperti hormonal
dan obat).15 Rinosinusitis inflamatori kemudian dibagi lagi berdasarkan tipe
infiltrasi selular menjadi jenis eosinofilik, neutrofilik dan kelompok lain.15

Tabel 2. Faktor etiologi rinosinusitis kronik, dikelompokkan masing-masing

berdasarkan faktor genetik/fisiologik, lingkungan dan struktural.2

Genetic/PhysiologicFactors Environmental Factors Structural Factors

Airway hyperreactivity Allergy Septal deviation


Immunodeficiency Smoking Concha bullosa
Aspirin sensitivity Irritants/pollution Paradoxic middle turbinate
Ciliary dysfunction Viruses Haller cells
Cystic fibrosis Bacteria Frontal cells
Autoimmune disease Fungi Scarring
Granulomatous disorders Stress Bone inflammation
Craniofacial anomalies
Foreign bodies
Dental disease
Mechanical trauma
Barotrauma
Faktor genetik atau fisiologik
Hipereaktivitas saluran napas (asma) merupakan faktor yang berperan bagi
rinosinusitis kronik, banyak penelitian menemukan ada asosiasi yang kuat antara
asma dengan rinosinusitis kronik.1,2
Imunodefisiensi (bawaan atau dapatan) juga berperan terhadap rinosinusitis kronik.
Keadaan level imunoglobulin (IgG, IgA, IgM) yang rendah dan kurangnya fungsi sel
limfosit T, maka kejadian sinusitis yang refrakter cenderung meningkat.1,2 Defisiensi
IgG adalah yang paling sering menjadi penyebab bagi rinosinusitis kronik.2,14
Keadaan autoimun lain yang juga berhubungan dengan rinosinusitis kronik adalah sistemik
lupus eritematosus, polikondritis relaps dan sindroma Sjogren. Sindroma Samter dimana
terdapat polip nasi, asma bronkial dan intoleransi aspirin merupakan suatu kondisi dengan
etiologi yang tidak jelas namun mempunyai hubungan dengan rinosinusitis onset dini.1,2,14
Kelainan bawaan seperti kistik fibrosis, sindroma Young, sindroma Kartagener atau
diskinesia siliar primer, berkaitan dengan klirens mukosiliar sinus yang abnormal sehingga
menyebabkan timbulnya rinosinusitis kronik.
Rinosinusitis juga sering ditemukan pada kelainan granulomatosis seperti sarkoidosis dan
granulomatosis Wegener. Pada keadaan ini, terjadi respon inflamasi kronik diikuti dengan
perubahan jaringan lokal yang bervariasi tingkat berat ringannya dari destruksi silia dan
kelenjar mukus sampai destruksi jaringan lokal.

Faktor Lingkungan

Hubungan antara rinitis alergi dengan rinosinusitis telah banyak dipelajari dan tercatat walaupun
hubungan kausal belum dapat ditegakkan secara pasti.2 Pada pasien dengan rinosinusitis kronik,
prevalensi rinitis alergi berkisar antara 25-50 %.2 Pada pasien yang menjalani operasi sinus,
prevalensi hasil test kulit positif berkisar antara 50-84 %, mayoritas (60%) dengan sensitivitas
multipel.
udem mukosa nasal pada pasien rinitis alergi yang terjadi pada ostium sinus dapat
mengurangi ventilasi bahkan mengakibatkan obstruksi ostium sinus sehingga mengakibatkan
retensi mukus dan infeksi. Namun hal ini lebih mengarah kepada rinosinusitis akut
sedangkan sejauh mana perkembangan dan persistensi keadaan ini memberikan pengaruh
bagi rinosinusitis kronik, hingga kini belum dapat dijelaskan.
Faktor iritan dan polutan banyak memberikan implikasi bagi perkembangan rinosinusitis
kronik, antara lain : asap rokok, debu, ozon, sulfur dioksida, komponen volatil organik, dll.
Bahan polutan ini bertindak sebagai iritan nasal mengakibatkan kekeringan dan inflamasi
lokal diikuti influks neutrofil
Virus
Bakteri
fungi
stress
Faktor Struktural

Mukosa cavum nasi dan sinus paranasal memproduksi sekitar satu liter mukus per hari, yang
dibersihkan oleh transport mukosiliar. Obstruksi ostium sinus KOM akan mengakibatkan
akumulasi dan stagnasi cairan, membentuk lingkungan yang lembab dan suasana hipoksia yang
ideal bagi pertumbuhan kuman patogen.1,2 Obstruksi KOM dapat disebabkan oleh berbagai
kelainan anatomis seperti deviasi septum, konka bulosa, sel Haier (ethmoidal infraorbital),
prosesus unsinatus horizontal, skar akibat bekas operasi dan anomali kraniofasial.

Diagnosis
rinosinusitis kronik bila rinosinusitis berlangsung lebih dari dua belas minggu dan diagnosa
dikonfirmasi dengan kompleks faktor klinis mayor dan minor dengan atau tanpa adanya hasil
pada pemeriksaan fisik. Tabel 1 menunjukkan faktor klinis mayor dan minor yang berkaitan
dengan diagnosis rinosinusitis kronik. Bila ada dua atau lebih faktor mayor atau satu faktor
mayor disertai dua atau lebih faktor minor maka kemungkinan besar rinosinusitis kronik. Bila
hanya satu faktor mayor atau hanya dua faktor minor maka rinosinusitis perlu menjadi
diferensial diagnosa.

Tabel 1. Faktor-faktor yang berkaitan dengan diagnosis rinosinusitis kronik,

terdiri dari faktor mayor (utama) dan faktor minor (pelengkap).7

Major factors Minor factors

Facial pain, pressure (alone does not constitute a suggestive Headache


history for rhinosinusitis in absence of another major symptom)
Fever
Facial congestion, fullness
(all nonacute)
Nasal obstruction/blockage
Halitosis
Nasal discharge/ purulence/ discolored nasal drainage
Fatigue
Hyposmia/anosmia
Dental pain
Purulence in nasal cavity on examination
Cough
Fever (acute rhinosinusitis only) in acute sinusitis alone does not
constitute a strongly supportive history for acute in the absence Ear pain/pressure/
of another major nasal symptom or sign
fullness

Anda mungkin juga menyukai