Anda di halaman 1dari 52

LAPORAN KASUS

TUBERKULOSIS PARU

Pembimbing:

dr.

Disusun oleh:

Nadhifayanti Fauziah

NIM:

2012730143

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2017

1
BAB I

LAPORAN KASUS

I.1 Identitas Pasien

Nama : Tn. A

Jenis Kelamin : Laki - laki

Umur : 26 Tahun

Alamat : Jatinegara

Agama : Islam

Tgl dtg : 11 Mei 2015

I.2 Anamnesis

Keluhan Utama

Pasien mengeluh batuk sejak lebih dari 1 tahun smrs.

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke RSIJ Pondok Kopi dengan keluhan batuk sejak lebih dari 1 tahun, batuk
disertai dahak berwarna putih kehijauan dan dirasakan setiap hari. Pasien mengaku pernah
batuk disertai darah. Keluhan Sering berkeringat saat malam dan napsu makan berkurang
diakui pasien. Pasien juga mengeluh berat badannya semakin menurun. Demam dirasakan
oleh pasien hilang timbul dan tidak terlalu tinggi. Buang air besar dan buang air kecil diakui
pasien tidak ada keluhan. Riwayat tansfusi dan pemakaian jarum suntik disangkal pasien.

Pasien menyangkal adanya mual, muntah. pasien menyangkal adanya riwayat trauma pada
dada. Pasien mengaku sebagai perokok aktif.

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat pengobkatan paru sebelumnya diakui pasien 1,5 tahun yang lalu namun hanya
berlangsung 3 bulan pengobatan. Os mengaku tidak meneruskan pengobatan karena alasan

2
masalah keluarga sehingga tidak dapat memperhatikan dan meneruskan pengobatan penyakit
parunya.

Riwayat asma, kencing manis, darah tinggi, penyakit jantung maupun penyakit kuning
disangkal pasien.

Riwayat Keluarga

Riwayat keluarga yang mengalami keluhan atau penyakit serupa dengan pasien disangkal.
Namun pasien mengaku adanya keluhan serupa pada teman dilingkungan kerjanya.

Riwayat Alergi

Riwayat alergi obat dan makanan disangkal pasien

I.3 Pemeriksaan Fisik (diperiksa tgl 19 Mei 2017)

Keadaan umum : Tampak sesak

kesadaran Compos Mentis, GCS E4M6V5 Tampak Sakit sedang

Berat Badan : 47 kg

Tinggi Badan : 160 cm

BMI : 18,36 (status gizi kurang)

TD : 120/80 mmHg

Nadi : 88x/menit

Suhu : 36,7oC

Pernafasan : 28x/menit
3
Kepala

Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut.

Mata : sclera ikterik (-), konjungtiva anemis (-), pupil bula isokor,
RCL +/+, RCTL +/+

Hidung : Pernapasan cuping hidung (-), Epistaksis (-), secret (-)

Telinga : Gangguan pendengaran (-), Perdarahan dari liang telinga (-)

Mulut : Bibir kering (-), Perdarahan gusi (-), Hipertrofi gusi (-), karies dentis
(+)

Leher

Tekanan vena jugularis (JVP) : 5 2 cmH2O

Kelenjar Tiroid : Tidak teraba pembesaran

Kelenjar Limfe : Tidak teraba pembesaran

Kelenjar Getah Bening Submandibula, Leher, Supraklavikula, Ketiak dan Paha tidak ada
pembesaran.

Thorax

Paru-Paru

Inspeksi : simetris hemitorak kanan-kiri, depan-belakang saat statis dan dinamis,


dan tidak ada kelainan kulit

Palpasi : Tidak teraba adanya masa ataupun benjolan, tidak terdapat nyeri tekan
dan nyeri lepas, fremitus vokal dan taktil simetris kanan dan kiri.

Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru kiri-kanan, depan-belakang. Peranjakan


paru (+)
4
Auskultasi : Vesikuler +/+ (paru-paru depan-belakang), Ronkhi +/+ basah kasar,
Wheezing -/-,

Jantung

Inspeksi : Ictus cordis terlihat

Palpasi : Ictus cordis teraba.

Perkusi : Batas jantung kanan ICS V linea midclavicula dextra

Batas jantung kiri ICS VI line midclavicula sinistra

Batas pinggang jantung ICS III linea parasternal sinistra

Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni regular, Gallop (-), Murmur (-)

Abdomen

Inspeksi : Datar, tidak membuncit dan tidak ada luka

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Perkusi : Terdengar suara timpani di seluruh kuadran abdomen, Shifting dullness


(-), ketok CVA (-)

Palpasi :Tidak terdapat nyeri tekan dan nyeri lepas di seluruh 4 kuadran
abdomen, Pembesaran hepar, lien, ginjal, kandung kemih tidak
teraba,Undulasi (-)

Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2, edema -/-.

I.4 Pemeriksaan Penunjang (diperiksa tgl 11 Mei 2017)

Hasil sputum BTA

Sewaktu : +++ (positif tiga)

5
Pagi : tidak dilakukan
Sewaktu : tidak dilakukan

I.5 Diagnosa Kerja

TB paru putus obat (Drop Out)

I.6 Diagnosa Banding

Pneumonia
Bronkhitis Kronis

I.7 Tata Laksana

OAT kategori II
Curcuma 2x1 tablet
Ambroxol 3x1 tablet
Diet tinggi kalori dan tinggi protein
Edukasi tentang penyakit TB paru dan lama Pengobatan
Edukasi untuk control sebelum obat habis untuk mengambil obat

I.8 Prognosis

Quo ad vitam : ad bonam


Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

6
BAB II
PENDAHULUAN

Tuberkulosis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium


tuberculosa. Hasil ini ditemukan pertama kali oleh Robert Koch pada tahun 1882.

Penyakit tuberkulosis sudah ada dan dikenal sejak zaman dahulu, manusia sudah
berabad-abad hidup bersama dengan kuman tuberkulosis. Hal ini dibuktikan dengan
ditemukannya lesi tuberkulosis pada penggalian tulang-tulang kerangka di Mesir. Demikian
juga di Indonesia, yang dapat kita saksikan dalam ukiran-ukiran pada dinding candi
Borobudur.1

Diseluruh dunia tahun 1990 WHO melaporkan terdapat 3,8 juta kasus baru TB dengan
49% kasus terjadi di Asia Tenggara. Dalam periode 1984 1991 tercatat peningkatan jumlah
kasus TB diseluruh dunia, kecuali Amerika dan Eropa. Di tahun 1990 diperkirakan 7,5 juta
kasus TB dan 2,5 juta kematian akibat TB diseluruh dunia.2

Annual Risk Infection ditahun 1980 1985 dinegara-negara Asia Tenggara


diperkirakan sekitar 2% yang berarti terdapat insidensi 100 kasus BTA (+) per 100.000
penduduk.3 Tahun 1987 di Singapura terdapat 62 kasus per 100.000 penduduk, dengan rata-
rata penurunan tahunan 5,7% sejak tahun 1959. Brunei Darussalam dengan angka kematian
8,5 kasus per 100.000 penduduk dengan insiden BTA (+) 84 kasus per 226.000 penduduk.
Sedangkan Filipina ditahun 1981 1983 memperkirakan prevalensi BTA (+), 0,95%.4
Berdasarkan data dari SEAMIC Health Statistic tahun 1990, penyakit tuberkulosis penyebab
kematian no. 10 di Thailand tahun 1989 dan menduduki urutan ke 4 di Filipina pada tahun
1987.5 Menurut Global TB WHO, 1998 saat ini pusat dari epidemi TB berada di Asia
dengan terdapat 4,5 juta dari 8 juta kasus yang diperkirakan terdapat di dunia atau 50%
kasusnya di 6 negara yaitu India, Cina, Bangladesh, Pakistan, Indonesia dan Filipina.
Indonesia menempati urutan ke-3 sebagai penyumbang kasus terbesar di dunia setelah India
dan Cina.6

Berdasarkan hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Departemen Kesehatan


RI, tahun 1972 TB menempati urutan ke 3 penyebab kematian menurut SKRT tahun 1980 TB
menempati urutan ke 4, dan menurut SKRT tahun 1992, TB menempati urutan nomor 2
sesudah penyakit sistem sirkulasi.

7
Hasil SKRT tahun 1995 TB merupakan penyebab kematian nomor 3 dari seluruh
kelompok usia dan nomor 1 antara penyakit infeksi yang merupakan masalah kesehatan
masyarakat Indonesia.4
Pembuatan diagnosis tuberkulosis paru kadang-kadang sulit, sebab penyakit
tuberkulosis paru yang sudah berat dan progresif, sering tidak menimbulkan gejala yang dapat
dilihat/dikenal; antara gejala dengan luasnya penyakit maupun lamanya sakit, sering tidak
mempunyai korelasi yang baik. Hal ini disebabkan oleh karena penyakit tuberkulosis paru
merupakan penyakit paru yang besar (great imitator), yang mempunyai diagnosis banding
hampir pada semua penyakit dada dan banyak penyakit lain yang mempunyai gejala umum
berupa kelelahan dan panas.7

Walaupun penyakit ini telah lama dikenal, obat-obat untuk menyembuhkannya belum
lama ditemukan, dan pengobatan tuberkulosis paru saat ini lebih dikenal dengan sistem
pengobatan jangka pendek dalam waktu 69 bulan. Prinsip pengobatan jangka pendek adalah
membunuh dan mensterilkan kuman yang berada di dalam tubuh manusia. Obat yang sering
digunakan dalam pengobatan jangka pendek saat ini adalah isoniazid, rifampisin, pirazinamid,
streptomisin dan etambutol.8

8
BAB III
ISI

II.1 EPIDEMIOLOGI

Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia


ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis
sebagai Global Emergency . Laporan WHO tahun2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8
juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasusBTA (Basil Tahan
Asam) positif. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut
regionalWHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus
TB di dunia, namun bila dilihatdari jumlah penduduk terdapat 182 kasus per 100.000
penduduk. Di Afrika hampir 2 kali lebih besar dari Asiatenggara yaitu 350 per 100.000
pendduduk.9

Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2 - 3 juta setiap
tahun. Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar kematian akibat TB
terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang per
100.000 penduduk. Angka mortaliti tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000
penduduk, dimana prevalensi HIV yang cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat kasus
TB yang muncul.9

Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB setelah India
dan China. Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru TB dan sekitar 140.000 kematian akibat
TB. Di Indonesia tuberkulosis adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan
merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan
akut pada seluruh kalangan usia.9

Berikut ini adalah gambaran penyebaran penyakit Tuberkulosis di seluruh dunia

9
Gambar 1. Penyebaran Penyakit Tuberkulosis di Seluruh Dunia10

II.2 DEFINISI

Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium


tuberculosis.10

II.3 MIKROBIOLOGI

A. Morfologi dan Struktur Bakteri

Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak


berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 0,6 mm dan panjang 1 4 mm.
Dinding M. tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%).
Penyusun utama dinding sel M. tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-
waxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord factor, dan mycobacterial sulfolipids yang
berperan dalam virulensi. Asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang (C60
C90) yang dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan

10
peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada dinding sel bakteri
tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding sel
yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri M. tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu
apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut
dengan larutan asamalkohol.

Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu komponen lipid,
polisakarida danprotein. Karakteristik antigen M. tuberculosis dapat diidentifikasi dengan
menggunakan antibodi monoklonal . Saat ini telah dikenal purified antigens dengan berat
molekul 14 kDa (kiloDalton), 19 kDa, 38 kDa, 65 kDa yang memberikan sensitifitas dan
spesifisitas yang berfariasi dalam mendiagnosis TB. Ada juga yang menggolongkan antigen
M.tuberculosis dalam kelompok antigen yang disekresi dan yang tidak disekresi (somatik).
Antigen yang disekresi hanya dihasilkan oleh basil yang hidup, contohnya antigen 30.000 a,
protein MTP 40 dan lain lain.9

B. Biomolekuler

Genom M. tuberculosis mempunyai ukuran 4,4 Mb (mega base) dengan kandungan


guanin (G) dan sitosin (C) terbanyak. Dari hasil pemetaan gen, telah diketahui lebih dari 165
gen dan penanda genetik yang dibagi dalam 3 kelompok. Kelompok 1 gen yang merupakan
sikuen DNA mikobakteria yang selalu ada (conserved) sebagai DNA target, kelompok II
merupakan sikuen DNA yang menyandi antigen protein, sedangkan kelompok III adalah
sikuen DNA ulangan seperti elemen sisipan.

Gen pab dan gen groEL masing-masing menyandi protein berikatan posfat misalnya
protein 38 kDa dan protein kejut panas (heat shock protein) seperti protein 65 kDa, gen katG
menyandi katalase-peroksidase dan gen 16SrRNA (rrs) menyandi protein ribosomal S12
sedangkan gen rpoB menyandi RNA polimerase.

Sikuen sisipan DNA (IS) adalah elemen genetik yang mobile. Lebih dari 16 IS ada
dalam mikobakteria antara lain IS6110, IS1081 dan elemen seperti IS (IS-like element).
Deteksi gen tersebut dapat dilakukan dengan teknik PCR dan RFLP.9

11
Gambar 2. Gambaran mikroskopik M. Tuberculosis dengan Pewarnaan Ziehl Neelsen

II.4 PATOGENESIS

Paru merupakan port dentre lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena
ukurannyayang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirup,
dapatmencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh
mekanismeimunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB dan
biasanyasanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagiankecil
kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akanbereplikasi dalam
makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembangbiak, akhirnya akan
membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama kolonikuman TB di jaringan paru
disebut Fokus Primer GOHN.

Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar
limferegional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus
primer.Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan
dikelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus parubawah
atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus,sedangkan jika
fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalahkelenjar paratrakeal. Kompleks
primer merupakan gabungan antara fokus primer,kelenjar limfe regional yang membesar
(limfadenitis) dan saluran limfe yangmeradang (limfangitis).

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya


kompleksprimer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda
denganpengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan

12
sejakmasuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB
biasanyaberlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12
minggu.Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103-104,yaitu
jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler.

Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmikkuman


TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap tuberkulin,
mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleksprimer inilah, infeksi
TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai olehterbentuknya hipersensitivitas
terhadap tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji tuberkulin. Selama
masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif.Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas
seluler tubuh terhadap TB telahterbentuk. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun
yang berfungsi baik, begitu sistem imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti.
Namun,sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas
selulertelah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan
segeradimusnahkan.

Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanyamengalami


resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelahmengalami nekrosis
perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akanmengalami fibrosis dan
enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan
paru. Kuman TB dapat tetap hidup danmenetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.

Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat
disebabkan oleh fokus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di parudapat
membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadinekrosis perkijuan
yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melaluibronkus sehingga
meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfehilus atau paratrakea yang
mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akanmembesar karena reaksi inflamasi yang
berlanjut. Bronkus dapat terganggu.Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal
dapat menyebabkanateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan
dapatmerusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan
TBendobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksikomplit
pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis danateletaksis, yang sering
disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.

13
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat
terjadipenyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebarke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan padapenyebaran hematogen,
kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebarke seluruh tubuh. Adanya
penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TBdisebut sebagai penyakit sistemik.

Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk


penyebaranhematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB
menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkangejala klinis.
Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh.Organ yang biasanya
dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik,misalnya otak, tulang, ginjal, dan
paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus atasparu. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB
akan bereplikasi dan membentuk kolonikuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan
membatasi pertumbuhannya.

Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi pertumbuhannya


olehimunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dorman. Fokus ini umumnya
tidaklangsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi fokusreaktivasi.
Fokus potensial di apkes paru disebut sebagai Fokus SIMON. Bertahun-tahunkemudian, bila
daya tahan tubuh pejamu menurun, fokus TB ini dapatmengalami reaktivasi dan menjadi
penyakit TB di organ terkait, misalnya meningitis,TB tulang, dan lain-lain.

Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenikgeneralisata


akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini,sejumlah besar kuman TB
masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruhtubuh. Hal ini dapat menyebabkan
timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secaraakut, yang disebut TB diseminata. TB
diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulansetelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit
bergantung pada jumlah dan virulensikuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya
penyebaran. Tuberkulosisdiseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu
(host) dalammengatasi infeksi TB, misalnya pada balita.

Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic


spreaddengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui cara
iniakan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilih milier berasal dari gambaranlesi
diseminata yang menyerupai butir padi-padian/jewawut (millet seed). Secarapatologi

14
anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm, yang secarahistologi merupakan
granuloma.

Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted


hematogenicspread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan menyebar
kesaluran vaskular di dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan masuk danberedar di
dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapatdibedakan dengan
acute generalized hematogenic spread. Hal ini dapat terjadisecara berulang.

Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama), biasanyasering
terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB paru pada anak,yaitu
penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru kronik. Sebanyak0.5-3%
penyebaran limfohematogen akan menjadi TB milier atau meningitis TB, halini biasanya
terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer. Tuberkulosis endobronkial (lesisegmental yang
timbul akibat pembesaran kelenjar regional) dapat terjadi dalamwaktu yang lebih lama (3-9
bulan). Terjadinya TB paru kronik sangat bervariasi,bergantung pada usia terjadinya infeksi
primer. TB paru kronik biasanya terjadiakibat reaktivasi kuman di dalam lesi yang tidak
mengalami resolusi sempurna.Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak, tetapi sering pada
remaja dan dewasa muda.

Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi TB.
TBtulang dan sendi terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi, dan paling banyak terjadidalam
1 tahun tetapi dapat juga 2-3 tahun kemudian. TB ginjal biasanya terjadi 5-25tahun setelah
infeksi primer.12

Gambar 3. Skema Perkembangan Sarang Tuberkulosis Post Primer dan Perjalanan


Penyembuhannya9

15
Gambar 4. Patogenesis Tuberkulosis11

II.5 KLASIFIKASI

A. Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk
pleura.
1. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA)

TB paru dibagi atas:

a. Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:


Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif. Hasil
pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan radiologik
menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak
menunjukkan BTA positif dan biakan positif.

b. Tuberkulosis paru BTA (-)


1) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik dan
kelainan radiologis menunjukkan tuberkulosis aktif.

16
2) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M. tuberculosis
positif.

2. Berdasarkan tipe pasien


Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa
tipe pasien yaitu :
a. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurangdari satu bulan.
b. Kasus kambuh (relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis
dan telah dinyatakansembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat
dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positifatau biakan positif.
Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologik dicurigai lesi aktif /
perburukan dan terdapat gejalaklinis maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan :
1) Infeksi non TB (pneumonia, bronkiektasis dll) Dalam hal ini berikan dahulu antibiotik
selama 2 minggu, kemudian dievaluasi.
2) Infeksi jamur
3) TB paru kambuh
Bila meragukan harap konsul ke ahlinya.
c. Kasus defaulted atau drop out
Adalah pasien yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa
pengobatannya selesai.
d. Kasus gagal
1) Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada
akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan).
2) Adalah pasien dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif menjadi BTA
positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan.
e. Kasus kronik / persisten
Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan
ulang kategori 2 denganpengawasan yang baik.

17
Catatan:
a. Kasus pindahan (transfer in):
Adalah pasien yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten dan kemudian
pindah berobat kekabupaten lain.Pasien pindahan tersebut harus membawa surat rujukan /
pindah.
b. Kasus Bekas TB:
1) Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran
radiologik paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial menunjukkan
gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung.
2) Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan dan telah mendapat pengobatan
OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan gambaran radiologic.9

B. Tuberkulosis Ekstra Paru


Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain
paru, misalnya pleura, kelenjargetah bening, selaput otak, perikard, tulang, persendian, kulit,
usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan lain-lain.
Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur positif atau patologi anatomi. Untuk kasus-
kasus yang tidak dapatdilakukan pengambilan spesimen maka diperlukan bukti klinis yang
kuat dan konsisten dengan TB ekstra paru aktif.

II.6 DIAGNOSIS

Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan


fisik/jasmani, pemeriksaanbakteriologik, radiologik dan pemeriksaan penunjang lainnya.

A. Gejala klinik

Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan
gejala sistemik, bila organ yangterkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratorik
(gejala lokal sesuai organ yang terlibat).
1. Gejala respiratorik
a. batuk-batuk lebih dari 2 minggu
b. batuk darah
c. sesak napas
d. nyeri dada

18
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang
cukup berat tergantung dariluas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical check up.
Bila bronkus belum terlibat dalam prosespenyakit, maka pasien mungkin tidak ada gejala
batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, danselanjutnya batuk diperlukan
untuk membuang dahak ke luar.

2. Gejala sistemik
a. Demam
b. Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun.

3. Gejala tuberkulosis ekstra paru


Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada
limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar
getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara pada
pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri dada pada sisi yang rongga
pleuranya terdapat cairan.

B. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik, kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang
terlibat.Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru.
Pada permulaan (awal)perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan
kelainan. Kelainan paru pada umumnyaterletak di daerah lobus superior terutama daerah
apeks dan segmen posterior (S1 & S2) , serta daerah apeks lobusinferior (S6). Pada
pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara
napasmelemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum.

Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya


cairan di rongga pleura. Pada perkusiditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang
melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.

Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di


daerah leher (pikirkankemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di daerah ketiak.
Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi cold abscess

19
Gambar 5. Paru : Apeks Lobus Superior dan Apeks Lobus Inferior

C. Pemeriksaan Bakteriologik

1. Bahan pemeriksasan
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti
yang sangat penting dalammenegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini
dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquorcerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan
lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faecesdan jaringan
biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH)

2. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan


Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS):
a. Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
b. Pagi ( keesokan harinya )
c. Sewaktu / spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi)
atau setiap pagi 3 hari berturut-turut.
Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan/ditampung dalam
pot yang bermulut lebar,berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah
pecah dan tidak bocor. Apabila ada fasilitas,spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus pada
gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium.

Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di gelas objek, atau
untuk kepentingan biakan danuji resistensi dapat ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml sebelum
dikirim ke laboratorium.

20
Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke dalam
kotak sediaan) yang akan dikirimke laboratorium, harus dipastikan telah tertulis identitas
pasien yang sesuai dengan formulir permohonanpemeriksaan laboratorium.

Bila lokasi fasilitas laboratorium berada jauh dari klinik/tempat pelayanan pasien,
spesimen dahak dapat dikirimdengan kertas saring melalui jasa pos.Cara pembuatan dan
pengiriman dahak dengan kertas saring:
a. Kertas saring dengan ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat agar terlihat bagian tengahnya.
b. Dahak yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan di bagian tengah dari kertas
saring sebanyak + 1 ml.
c. Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan melubangi pada satu ujung yang
tidak mengandung bahan dahak.
d. Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat yang aman, misal di
dalam dus.
e. Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan dalam kantong plastik
kecil.
f. Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara) dengan melidahapikan sisi
kantong yang terbuka dengan menggunakan lidi.
g. Di atas kantong plastik dituliskan nama pasien dan tanggal pengambilan dahak.
h. Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos ke alamat laboratorium.

3. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain.


Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura, liquor
cerebrospinal, bilasan bronkus,bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar /BAL, urin, faeces
dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukandengan cara :
a. Pemeriksaan mikroskopik:
Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen
Mikroskopik fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk screening)
lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila :
1) 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negative :BTA positif
2) 1 kali positif, 2 kali negative :ulang BTA 3 kali kecuali bila ada fasilitas foto toraks,
kemudian
o bila 1 kali positif, 2 kali negatif :BTA positif
o bila 3 kali negatif :BTA negatif

21
Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala IUATLD (rekomendasi
WHO).Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease) :
Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif
1) Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang
ditemukan.
2) Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+).
3) Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+).
4) Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+).

Interpretasi hasil dapat juga dengan cara Bronkhorst


SkalaBronkhorst (BR) :
1) BR I : ditemukan 3-40 batang selama 15 menit pemeriksaan.
2) BR II : ditemukan sampai 20 batang per 10 lapang pandang.
3) BR III : ditemukan 20-60 batang per 10 lapang pandang.
4) BR IV : ditemukan 60-120 batang per 10 lapang pandang.
5) BR V : ditemukan > 120 batang per 10 lapang pandang.

b. Pemeriksaan biakan kuman: Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode


konvensional ialah dengan cara :
1) Egg base media: Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh.
2) Agar base media : Middle brook.

Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan dapat


mendeteksi Mycobacteriumtuberculosis dan juga Mycobacterium other than tuberculosis
(MOTT). Untuk mendeteksi MOTT dapat digunakanbeberapa cara, baik dengan melihat
cepatnya pertumbuhan, menggunakan uji nikotinamid, uji niasin maupunpencampuran
dengan cyanogen bromide serta melihat pigmen yang timbul.

D. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto lateral,
top-lordotik, oblik, CT-Scan.Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi
gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).
Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
1. Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen
superior lobus bawah.

22
2. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular.
3. Bayangan bercak milier.
4. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).

Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif


1. Fibrotik
2. Kalsifikasi
3. Schwarte atau penebalan pleura

Luluh paru (destroyed Lung ) :


1. Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat, biasanya
secara klinis disebut luluh paru . Gambaran radiologik luluh paru terdiri dari atelektasis,
ektasis/ multikavitas dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai aktivitas lesi atau
penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologik tersebut.
2. Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktiviti proses penyakit.

Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat dinyatakan sbb
(terutama pada kasusBTA negatif) :
1. Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak
lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di atas chondrostemal junction dari
iga kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra
torakalis 5), serta tidak dijumpai kavitas
2. Lesi luas
Bila proses lebih luas dari lesi minimal.

E. Pemeriksaan Khusus

Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya waktu yang
dibutuhkan untukpembiakan kuman tuberkulosis secara konvensional. Dalam perkembangan
kini ada beberapa teknik yang lebihbaru yang dapat mengidentifikasi kuman tuberkulosis
secara lebih cepat.

1. Pemeriksaan BACTEC
Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode radiometrik. M
tuberculosis memetabolismeasam lemak yang kemudian menghasilkan CO2 yang akan
dideteksi growth indexnya oleh mesin ini. Sistem inidapat menjadi salah satu alternatif

23
pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu menegakkan diagnosis danmelakukan
uji kepekaan.

2. Polymerase chain reaction (PCR)


Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA, termasuk
DNA M.tuberculosis. Salahsatu masalah dalam pelaksanaan teknik ini adalah
kemungkinan kontaminasi. Cara pemeriksaan ini telah cukupbanyak dipakai, kendati
masih memerlukan ketelitian dalam pelaksanaannya.

Hasil pemeriksaan PCR dapat membantu untuk menegakkan diagnosis sepanjang


pemeriksaan tersebutdikerjakan dengan cara yang benar dan sesuai standar
internasional.Apabila hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan data lain tidak ada yang
menunjang kearah diagnosis TB, makahasil tersebut tidak dapat dipakai sebagai
pegangan untuk diagnosis TB.

Pada pemeriksaan deteksi M.tb tersebut diatas, bahan / spesimen pemeriksaan dapat
berasal dari paru maupunekstra paru sesuai dengan organ yang terlibat.

3. Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda :


a. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)
Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi respon humoral
berupa proses antigenantibodiyang terjadi. Beberapa masalah dalam teknik ini antara lain
adalah kemungkinan antibodi menetap dalamwaktu yang cukup lama.

b. ICT
Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah uji serologik
untuk mendeteksi antibodi M.tuberculosis dalam serum. Uji ICT merupakan uji diagnostik
TB yang menggunakan 5 antigen spesifik yangberasal dari membran sitoplasma
M.tuberculosis, diantaranya antigen M.tb 38 kDa. Ke 5 antigen tersebutdiendapkan dalam
bentuk 4 garis melintang pada membran immunokromatografik (2 antigen
diantaranyadigabung dalam 1 garis) disamping garis kontrol. Serum yang akan diperiksa
sebanyak 30 ml diteteskan kebantalan warna biru, kemudian serum akan berdifusi
melewati garis antigen. Apabila serum mengandung antibodyIgG terhadap M.tuberculosis,
maka antibodi akan berikatan dengan antigen dan membentuk garis warna merahmuda.
Uji dinyatakan positif bila setelah 15 menit terbentuk garis kontrol dan minimal satu dari
empat garisantigen pada membran.

24
c. Mycodot
Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh manusia. Uji ini
menggunakan antigenlipoarabinomannan (LAM) yang direkatkan pada suatu alat yang
berbentuk sisir plastik. Sisir plastik ini kemudiandicelupkan ke dalam serum pasien, dan
bila di dalam serum tersebut terdapat antibodi spesifik anti LAM dalamjumlah yang
memadai sesuai dengan aktiviti penyakit, maka akan timbul perubahan warna pada sisir
dan dapatdideteksi dengan mudah.

d. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)


Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi serologi yang terjadi
dalam menginterpretasi hasilpemeriksaan serologi yang diperoleh, para klinisi harus hati
hati karena banyak variabel yang mempengaruhikadar antibodi yang terdeteksi.

e. Uji serologi yang baru / IgG TB


Saat ini pemeriksaan serologi belum dapat dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis.

F. Pemeriksaan Lain

1. Analisis Cairan Pleura


Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan pada
pasien efusi pleura untukmembantu menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang
mendukung diagnosis tuberkulosis adalah ujiRivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta
pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan danglukosa rendah.

2. Pemeriksaan histopatologi jaringan


Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis TB.
Pemeriksaan yang dilakukanialah pemeriksaan histologi. Bahan jaringan dapat diperoleh
melalui biopsi atau otopsi, yaitu :
a. Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah bening (KGB)
b. Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope dan Veen Silverman)
c. Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy/TBLB) dengan bronkoskopi, trans
thoracal biopsy/TTB, biopsy paru terbuka).
d. Otopsi

Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan, satu sediaan dimasukkan ke


dalam larutan salin dandikirim ke laboratorium mikrobiologi untuk dikultur serta sediaan
yang kedua difiksasi untuk pemeriksaan histologi.
25
3. Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik untuk
tuberkulosis. Laju endap darah( LED) jam pertama dan kedua dapat digunakan sebagai
indikator penyembuhan pasien. LED sering meningkatpada proses aktif, tetapi laju endap
darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun kurangspesifik.

4. Uji tuberkulin
Uji tuberkulin yang positif menunjukkan adanya infeksi tuberkulosis. Di Indonesia
dengan prevalensi tuberculosis yang tinggi, uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik
penyakit kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini akanmempunyai makna bila didapatkan
konversi, bula atau apabila kepositifan dari uji yang didapat besar sekali. Padamalnutrisi dan
infeksi HIV uji tuberkulin dapat memberikan hasil negatif.

Gambar 6. Alur Diagnosis TB Paru

26
II.7PERJALANAN PENYAKIT

Cara penularan12

1. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.


2. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000
percikan dahak.
3. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam
waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar
matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa
jam dalam keadaan yang gelap dan lembab.
4. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan
dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin
menular pasien tersebut.
5. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi
percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.

A. Risiko penularan12
1. Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB paru
dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari
pasien TB paru dengan BTA negatif.
2. Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis
Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko Terinfeksi TB selama
satutahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000
pendudukterinfeksi setiap tahun.
3. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%.
4. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif.

B. Risiko menjadi sakit TB12


1. Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB.
2. Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000
terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB setiap tahun.
Sekitar 50 diantaranya adalah pasien TB BTA positif.

27
3. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah daya
tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk).
4. HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi sakit
TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler
(cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunistic), seperti
tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bias
mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah
pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan
meningkat pula.

Pasien TB yang tidak diobati, setelah 5 tahun, akan:


1. 50% meninggal
2. 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi
3. 25% menjadi kasus kronis yang tetap menular

Gambar 7. Faktor Risiko Kejadian TB

28
II.8 PENATALAKSANAAN

Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase
lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduanobat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan
tambahan.

A. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)


1. Prinsip pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup
dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangangunakan OAT tunggal
(monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi DosisTetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan
dan sangat dianjurkan.
b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasanlangsung (DOT =
Directly Observed Treatment) oleh seorang PengawasMenelan Obat (PMO).
c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

Tahap awal (intensif)


a. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perludiawasi secara
langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
b. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,biasanya pasien menular
menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2minggu.
c. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)dalam 2 bulan.

Tahap Lanjutan
a. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namundalam jangka waktu
yang lebih lama
b. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehinggamencegah terjadinya
kekambuhan

2. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia


Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:
a. TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks: lesi luas
Paduan obat yang dianjurkan :

29
1) 2 RHZE / 4 RH atau
2) 2 RHZE / 4R3H3 atau
3) 2 RHZE/ 6HE.
Paduan ini dianjurkan untuk
1) TB paru BTA (+), kasus baru
2)TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologik lesi luas (termasuk luluh paru)
Pada evaluasi hasil akhir pengobatan, bila dipertimbangkan untuk memperpanjang
fase lanjutan, dapat diberikan lebihlama dari waktu yang ditentukan. (Bila perlu dapat
dirujuk ke ahli paru). Bila ada fasilitas biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan
dengan hasil uji resistensi

b. TB paru kasus kambuh


Pada TB paru kasus kambuh menggunakan 5 macam OAT pada fase intensif selama 3
bulan (bila ada hasil ujiresistensi dapat diberikan obat sesuaihasil uji resistensi). Lama
pengobatan fase lanjutan 5 bulan atau lebih, sehingga paduan obat yang diberikan :
2RHZES / 1 RHZE / 5 RHE. Biladiperlukan pengobatan dapat diberikan lebih lama
tergantung dari perkembangan penyakit.Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi,
maka alternatif diberikan paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 R3H3E3(P2 TB).

c. TB Paru kasus gagal pengobatan


Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji resistensi dengan menggunakan minimal 5
OAT (minimal 3 OAT yangmasih sensitif), seandainya H resistentetap diberikan. Lama
pengobatan minimal selama 1 - 2 tahun. Sambil menunggu hasil uji resistensi dapat
diberikanobat 2 RHZES, untuk kemudiandilanjutkan sesuai uji resistensi
1) Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan obat : 2
RHZES/1 RHZE/5H3R3E3 (P2TB)
2) Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang optimal
3) Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke ahli paru

d. TB Paru kasus putus berobat


Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai dengan
kriteria sebagai berikut :
1) Pasien yang menghentikan pengobatannya < 2 bulan, pengobatan OAT dilanjutkan
sesuai jadwal.
2) Pasien menghentikan pengobatannya 2 bulan:
30
o Berobat 4 bulan, BTA saat ini negatif , klinik dan radiologik tidak aktif / perbaikan,
pengobatan OATSTOP. Bila gambaran radiologik aktif,lakukan analisis lebih lanjut
untuk memastikan diagnosis TB dengan mempertimbangkan juga
kemungkinanpenyakit paru lain. Bila terbukti TBmaka pengobatan dimulai dari
awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yanglebih
lama. Jika telah diobati dengankategori II maka pengobatan kategori II diulang dari
awal.
o Berobat > 4 bulan, BTA saat ini positif : pengobatan dimulai dari awal dengan
paduan obat yang lebih kuatdan jangka waktu pengobatan yanglebih lama. Jika
telah diobati dengan kategori II maka pengobatan kategori II diulang dari awal.
o Berobat < 4 bulan, BTA saat ini positif atau negatif dengan klinik dan radiologik
positif: pengobatan dimulaidari awal dengan paduan obat yangsama
Jika memungkinkan sebaiknya diperiksa uji kepekaan (kultur resistensi) terhadap OAT.

e. TB Paru kasus kronik


1) Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi, berikan RHZES.
Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi (minimal
terdapat 3 macam OAT yang masih sensitif dengan H tetap diberikan walaupun
resisten) ditambah dengan obat lini 2 seperti kuinolon, betalaktam, makrolid.
2) Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup.
3) Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan.
4) Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke ahli paru
Catatan : TB diluar paru lihat TB dalam keadaan khusus

Paket Kombipak.
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan
Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk
digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.

Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting untuk
menyembuhkan pasien danmenghindari MDR TB (multidrug resistant tuberculosis).
Pengembangan strategi DOTS untuk mengontrol epidemi TBmerupakan prioriti utama WHO.
International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan
WHOmenyarakan untuk menggantikan paduan obat tunggal dengan kombinasi dosis tetap

31
dalam pengobatan TB primerpada tahun 1998. Dosis obat tuberkulosis kombinasi dosis tetap
berdasarkan WHO seperti terlihat pada tabel 3.

Keuntungan kombinasi dosis tetap antara lain:


1. Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal.
2. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan pengobatan
yang tidak disengaja.
3. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar dan standar.
4. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit.
5. Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat penurunan penggunaan
monoterapi.

Tabel 1. Jenis dan Dosis OAT


Dosis (mg) / BB (kg)
Obat Dosis Dosis yang dianjurkan Dosis
(mg/kgBB/Har Harian Intermitten Maksimu
i) (mg/kgBB/Har (mg/kgBB/Har m < 40 40-60 > 60
i) i)
R 8-12 10 10 600 300 450 600
H 4-6 5 10 300 150 300 450
Z 20-30 25 35 750 1000 1500
E 15-20 15 30 750 1000 1500
S 15-18 15 15 1000 Sesuai 750 1000
BB

Tabel 2. Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1


Berat Badan Tahap Intensif Tahap Lanjutan
tiap hari selama 56 hari 3 kali seminggu selama 16 minggu
RHZE (150/75/400/275) RH (150/150)
30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

Tabel 3. Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 1


Dosis per hari / kali Jumlah
Tahap Lama Tablet Kaplet Tablet Tablet hari/kali
Pengobatan Pengobatan Isoniasid Rifampisin Pirazinamid Etambutol menelan
@ 300 mg @ 450 mg @ 500 mg @ 250 mg obat
Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56
32
Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48

Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
a. Pasien baru TB paru BTA positif.
b. Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
c. Pasien TB ekstra paru

Tabel 4. Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2


Tahap Intensif Tahap Lanjutan
Berat Tiap hari 3 kali seminggu
Badan RHZE (150/75/400/275) + S RH (150/150) + E (400)
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu
30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
+ 500 mg Streptomisin inj. + 2 tablet Etambutol
38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
+ 750 mg Streptomisin inj. + 3 tablet Etambutol
55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
+ 1000 mg Streptomisin inj. + 4 tablet Etambutol
71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
+ 1000 mg Streptomisin inj. + 5 tablet Etambutol

Tabel 5. Dosis paduan OAT Kombipak untuk Kategori 2


Tahap Lama Tablet Kaplet Tablet Etambutol Streptomis Jumlah/
Pengobat Pengobata Isoniasi Rifampisi Pirazinami Tablet Tablet in Injeksi kali
an n d n d @ 250 @ 400 menelan
@ 300 @ 450 @ 500 mg mg mg obat
mg mg
Tahap
Intenif 2 bulan 1 1 3 3 - 0,75 gr 56
(dosis 1 bulan 1 1 3 3 - - 28
harian
Tahap
Lanjutan 4 bulan 2 1 - 1 2 - 60
(dosis 3x
seminggu
)

Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya:
a. Pasien kambuh

33
b. Pasien gagal
c. Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

Catatan:
a. Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk streptomisin adalah
500mg tanpa memperhatikan berat badan.
b. Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.
c. Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest sebanyak
3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).

Tabel 6. Dosis KDT untuk Sisipan


Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari
RHZE (150/75/400/275)
30-37 kg 2 tablet 4KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT
71 kg 5 tablet 4KDT

Tabel 7. Dosis OAT Kombipak untuk Sisipan


Tahap Lamanya Tablet Kaplet Tablet Tablet Jumlah
Pengobatan Pengobatan Isoniasid Rifampisin Pirazinamid Etambutol hari/kali
@ 300 mg @ 450 mg @ 500 mg @ 250 mg menelan obat
Tahap
Intensif 1 bulan 1 1 3 3 28
(dosis
harian)

Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis yang
telah ditentukan oleh WHOmerupakan dosis yang efektif atau masih termasuk dalam batas
dosis terapi dan non toksik.Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut,
bila mengalami efek samping serius harus dirujuk kerumah sakit / dokter spesialis paru /
fasiliti yang mampu menanganinya.

34
B. Efek Samping OAT

Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping.


Namun sebagian kecil dapatmengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan
kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukanselama pengobatan.
Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4 & 5), bila efek
samping ringan dan dapat diatasidengan obat simtomatik maka pemberian OAT dapat
dilanjutkan.

1. Isoniazid (INH)
Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi, kesemutan,
rasa terbakar di kaki dannyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin
dengan dosis 100 mg perhari atau dengan vitamin Bkompleks. Pada keadaan tersebut
pengobatan dapat diteruskan. Kelainan lain ialah menyerupai defisiensi piridoksin
(syndrom pellagra).
Efek samping berat dapat berupa hepatitis imbas obat yang dapat timbul pada kurang
lebih 0,5% pasien. Bila terjadihepatitis imbas obat atau ikterik, hentikan OAT dan pengobatan
sesuai dengan pedoman TB pada keadaan khusus

2. Rifampisin
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan
simtomatik ialah :
a. Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang
b. Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang-kadang diare
c. Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan
d. Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah :
e. Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop dulu dan
penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus
f. Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari gejala ini
terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi walaupun gejalanya
telah menghilang
g. Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas

Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata, air liur.
Warna merah tersebut terjadikarena proses metabolisme obat dan tidak berbahaya. Hal ini
harus diberitahukan kepada pasien agar dimengertidan tidak perlu khawatir.

35
3. Pirazinamid
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai pedoman TB
pada keadaan khusus). Nyerisendi juga dapat terjadi (beri aspirin) dan kadang-kadang dapat
menyebabkan serangan arthritis Gout, hal inikemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi
dan penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi demam,mual, kemerahan dan reaksi
kulit yang lain.

4. Etambutol

Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya ketajaman,


buta warna untuk warnamerah dan hijau. Meskipun demikian keracunan okuler tersebut
tergantung pada dosis yang dipakai, jarang sekaliterjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari
atau 30 mg/kg BB yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguanpenglihatan akan kembali
normal dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidakdiberikan
pada anak karena risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi

5. Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan
keseimbangan dan pendengaran.Risiko efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan
peningkatan dosis yang digunakan dan umur pasien.Risiko tersebut akan meningkat pada
pasien dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal. Gejala efek samping yang
terlihat ialah telinga mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini
dapat dipulihkan bilaobat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan
diteruskan maka kerusakan alatkeseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan
keseimbangan dan tuli).

Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai
sakit kepala, muntah dan eritemapada kulit. Efek samping sementara dan ringan (jarang
terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yangmendenging dapat terjadi segera
setelah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25grStreptomisin
dapat menembus barrier plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada wanita hamil sebab
dapatmerusak syaraf pendengaran janin.

Tabel 11. Efek Samping Minor OAT dan Penatalaksanaannya


Efek samping Kemungkinan Penyebab Tatalaksana
Minor OAT diteruskan
Tidak nafsumakan, mual, Rifampisin Obat diminum malam sebelum tidur
36
sakit perut
Nyeri sendi Pirazinamid Beri aspirin/allopurinol
Kesemutan sampai dengan INH Beri vitamin B6 1x100 mg/hari
rasa terbakar di kaki
Warna kemerahan pada air Rifampisin Beri penjelasan, tidak perlu diberi
seni apa-apa

Tabel 12. Efek Samping Mayor OAT dan Penatalaksanaannya


Efek samping Kemungkinan Penyebab Tatalaksana
Mayor Hentikan pengobatan
Gatal dan kemerahan pada Semua jenis OAT Beri antihistamin dan
kulit dievaluasi ketat
Tuli Streptomisin Streptomisisn dihentikan,
ganti etambutol
Gangguan keseimbangan Streptomisin Streptomisisn dihentikan,
(vertigo dan nistagmus) ganti etambutol
Ikterik/Hepatitis Imbas Obat Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT
(penyebab lain disingkirkan) sampai ikterik menghilang
dan boleh diberikan
hepatoprotektor
Muntah dan bingung Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT dan
(suspect drug-induced pre- lakukan uji fungsi hati
icteric hepatitis)
Gangguan penglihtatan Etambutol Hentikan Etambutol
Kelainan sistemik, termasuk Rifampisin Hentikan Rifampisin
syok dan purpura

Catatan : Penatalaksanaan efek samping obat:


1. Efek samping yang ringan seperti gangguan lambung yang dapat diatasi secara
simptomatik
2. Pasien dengan reaksi hipersensitif seperti timbulnya rash pada kulit, umumnya disebabkan
oleh INH dan rifampisin. Dalam hal ini dapat dilakukan pemberian dosis rendah dan
desensitsasi dengan pemberian dosis yang ditingkatkan perlahan-lahan dengan pengawasan
yang ketat. Desensitisasi ini tidak bias dilakukan terhadap obat lainnya
3. Kelainan yang harus dihentikan pengobatannya adalah trombositopenia, syok atau gagal
ginjal karena rifampisin, gangguan penglihatan karena etambutol, gangguan nervus VIll
karena streptomisin dan dermatitis exfoliative dan agranulositosis karena thiacetazon
4. Bila suatu obat harus diganti, maka paduan obat harus diubah hingga jangka waktu
pengobatan perlu dipertimbangkan kembali dengan baik.

37
D. Pengobatan Suportif / Simptomatik

Pada pengobatan pasien TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila keadaan klinis
baik dan tidak ada indikasirawat, pasien dapat dibeikan rawat jalan. Selain OAT kadang perlu
pengobatan tambahan atau suportif/simtomatikuntuk meningkatkan daya tahan tubuh atau
mengatasi gejala/keluhan.

1. Pasien rawat jalan


a. Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin tambahan
(pada prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk pasien tuberkulosis, kecuali untuk
penyakit komorbidnya)
b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam
c. Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas atau
keluhan lain.

2. Pasien rawat inap


Indikasi rawat inap :
TB paru disertai keadaan/komplikasi sbb :
a. Batuk darah (profus)
b. Keadaan umum buruk
c. Pneumotoraks
d. Empiema
e. Efusi pleura masif / bilateral
f. Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)
TB di luar paru yang mengancam jiwa :
a. TB paru milier
b. Meningitis TB
Pengobatan suportif / simtomatik yang diberikan sesuai dengan keadaan klinis dan indikasi
rawat

38
E. Terapi Pembedahan

lndikasi operasi
1. Indikasi mutlak
a. Semua pasien yang telah mendapat OAT adekuat tetetapi dahak tetap positif
b. Pasien batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara konservatif
c. Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara
konservatif
2. lndikasi relatif
a. Pasien dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang
b. Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan
c. Sisa kavitas yang menetap.

Tindakan Invasif (Selain Pembedahan)


1. Bronkoskopi
2. Punksi pleura
3. Pemasangan WSD (Water Sealed Drainage)
Kriteria Sembuh
1. BTA mikroskopik negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir pengobatan) dan
telah mendapatkan pengobatan yang adekuat
2. Pada foto toraks, gambaran radiologik serial tetap sama/ perbaikan
3. Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif

F. Evaluasi Pengobatan

Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan efek samping
obat, serta evaluasi keteraturanberobat.

Evaluasi klinik
1. Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya setiap 1
bulan
2. Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya
komplikasi penyakit
3. Evaluasi klinik meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisik.

Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9 bulan pengobatan)

39
1. Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak
2. Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik
a. Sebelum pengobatan dimulai
b. Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
c. Pada akhir pengobatan
3. Bila ada fasiliti biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensiEvaluasi
radiologik (0 - 2 6/9 bulan pengobatan)

Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:


1. Sebelum pengobatan
2. Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan kemungkinan
keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan)
3. Pada akhir pengob

Evaluasi efek samping secara klinik


1. Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan darah lengkap
2. Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan gula darah , serta
asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek samping pengobatan
3. Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid
4. Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol (bila ada keluhan)
5. Pasien yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan audiometri (bila
ada keluhan)
6. Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal tersebut. Yang
paling penting adalah evaluasi klinik kemungkinan terjadi efek samping obat. Bila pada
evaluasi klinik dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium
untuk memastikannya dan penanganan efek samping obat sesuai pedoman

Evalusi keteraturan berobat


1. Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan diminum / tidaknya
obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting penyuluhan atau pendidikan mengenai
penyakit dan keteraturan berobat. Penyuluhan atau pendidikan dapat diberikan kepada
pasien, keluarga dan lingkungannya.
2. Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi.

Evaluasi pasien yang telah sembuh

40
Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi minimal dalam 2 tahun
pertama setelah sembuh, hal inidimaksudkan untuk mengetahui kekambuhan. Hal yang
dievaluasi adalah mikroskopik BTA dahak dan foto toraks.
Mikroskopik BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan (sesuai indikasi/bila ada gejala) setelah
dinyatakan sembuh. Evaluasi fototoraks 6, 12, 24 bulan setelah dinyatakan sembuh.

II.9 RESISTEN GANDA (MULTI DRUG RESISTANCE)

A. Definisi

Resistensi ganda menunjukkan M.tuberculosis resisten terhadap rifampisin dan INH


dengan atau tanpa OAT lainnya. Secara umum resistensi terhadap obat tuberkulosis dibagi
menjadi :
1. Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan TB.
2. Resistensi inisial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah pasiennya sudah pernah ada
riwayat pengobatan sebelumnya atau tidak.
3. Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah punya riwayat pengobatan sebelumnya.
Laporan pertama tentang reistensi ganda datang dari Amerika Serikat, khususnya pada
pasien TB dan AIDS yangmenimbulkan angka kematian 70% 90% dalam waktu hanya 4
sampai 16 minggu. Laporan WHO tentang TB tahun2004 menyatakan bahwa sampai 50 juta
orang telah terinfeksi oleh kuman tuberkulosis yang resisten terhadap obatanti tuberkulosis.
TB paru kronik sering disebabkan oleh MDR
Ada beberapa penyebab terjadinya resitensi terhadap obat tuberkulosis, yaitu :
1. Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis
2. Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu karena jenis obatnya yang kurang atau
karena di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi yang tinggi terhadap obat yang
digunakan, misalnya memberikan rifampisin dan INH saja pada daerah dengan resistensi
terhadap kedua obat tersebut sudah cukup tinggi
3. Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga minggu lalu
stop, setelah dua bulan berhenti kemudian berpindah dokter dan mendapat obat kembali
selama dua atau tiga bulan lalu stop lagi, demikian seterusnya
4. Fenomena addition syndrome (Crofton, 1987), yaitu suatu obat ditambahkan dalam
suatu paduan

41
5. pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena kuman TB telah resisten
pada paduan yang pertama, maka penambahan (addition) satu macam obat hanya akan
menambah panjang nya daftar obat yang resisten
6. Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara baik, sehingga
7. mengganggu bioavailabiliti obat
8. Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang obat datang ke suatu daerah kadang terhenti
9. pengirimannya sampai berbulan-bulan
10. Pemakaian obat antituberkulosis cukup lama, sehingga kadang menimbulkan kebosanan
11. Pengetahuan pasien kurang tentang penyakit TB
12. Kasus MDR-TB rujuk ke ahli paru

B. Pengobatan Tuberkulosis Resisten Ganda (MDR)

Klasifikasi OAT untuk MDR


Kriteria utama berdasarkan data biologikal dibagi menjadi 3 kelompok OAT:
1. Obat dengan aktivitas bakterisid: aminoglikosid, tionamid dan pirazinamid yang bekerja
pada pH asam
2. Obat dengan aktivitas bakterisid rendah: fluorokuinolon
3. Obat dengan akivitas bakteriostatik, etambutol, cycloserin dan PAS

Fluorokuinolon
Secara invitro fluorokuinolon dapat digunakan untuk kuman TB yang resisten
terhadap lini-1 yaitu moksifloksasinkonsentrasi hambat minimal paling rendah dibandingkan
fluorokuinolon lainnya dengan urutan berikutnyagatifloksasin, sparfloksasin, levofloksasin,
ofloksasin dan siprofloksasin. Siprofloksasin harus dihindari
pemakainnya karena efek samping pada kulit yang berat (foto sensitif).

Resistensi silang
Tionamid dan tiosetason
Etionamid pada kelompok tionamid komplit resistensi silangdengan
a. Aminoglikosid
b. Fluorokuinolon
c. Sikloserindan terizidon

42
Pengobatan MDR-TB hingga saat ini belum ada paduan pengobatan yang
distandarisasi untuk pasienmenggunakan minimal 2-3 OAT yang masih sensitif dan obat
tambahan lain.
Obat tambahan yang dapat digunakan yaitu golongan fluorokuinolon (ofloksasin dan
siprofloksasin),aminoglikosida (amikasin, kanamisin dan kapreomisin), etionamid, sikloserin,
klofazimin, amoksilin, klavulanat.
Saat ini paduan yang dianjurkan ialah OAT yang masih sensitif minimal 2 3 OAT
lini 1 ditambahdengan obat lini 2, yaitu Ciprofloksasin dengan dosis 1000 1500 mg atau
ofloksasin 600 800 mg (obat dapatdiberikan single dose atau 2 kali sehari).
Pengobatan terhadap tuberkulosis resisten ganda sangat sulit dan memerlukan waktu
yang lama yaituminimal 12 bulan, bahkan bisa sampai 24 bulan.
Hasil pengobatan terhadap TB resisten ganda ini kurang menggembirakan. Pada
pasien non-HIV,konversi hanya didapat pada sekitar 50% kasus, sedangkan response rate
didapat pada 65% kasus dankesembuhan pada 56% kasus.
Pemberian obat antituberkulosis yang benar dan pengawasan yang baik, merupakan
salah satu kuncipenting mencegah resisten ganda. Konsep Directly Observed Treatment Short
Course (DOTS) merupakan salahsatu upaya penting dalam menjamin keteraturan
berobat.Prioriti yang dianjurkan bukan pengobatan MDR, tetetapi pencegahan MDR-TB.

II.10 PENGOBATAN PADA KEADAAN KHUSUS

A. TB Milier
1. Rawat inap
2. Paduan obat: 2 RHZE/ 4 RH
3. Pada keadaan khusus (sakit berat), tergantung keadaan klinik, radiologik dan evaluasi
pengobatan, maka pengobatan lanjutan dapat diperpanjang
4. Pemberian kortikosteroid tidak rutin, hanya diberikan pada keadaan :
a. Tanda / gejala meningitis
b. Sesak napas
c. Tanda / gejala toksik
d. Demam tinggi
e. Kortikosteroid: prednison 30-40 mg/hari, dosis diturunkan 5-10 mg setiap 5-7 hari,
lama pemberian 4 6 minggu.

43
B. Pleuritis Eksudativa TB(Efusi Pleura TB)

1. Paduan obat: 2RHZE/4RH.


2. Evakuasi cairan, dikeluarkan seoptimal mungkin, sesuai keadaan pasien dan berikan
kortikosteroid
3. Dosis steroid : prednison 3 x 10 mg selama 3 minggu
4. Hati-hati pemberian kortikosteroid pada TB dengan lesi luas dan DM.
5. Evakuasi cairan dapat diulang bila diperlukan

C. TB Ekstra Paru (Selain TB Milier Dan Pleuritis TB)

1. Paduan obat 2 RHZE/ 1 0 RH.


2. Prinsip pengobatan sama dengan TB paru menurut ATS, misalnya pengobatan untuk
TB tulang, TB sendi dan TB kelenjar.
3. Pada TB diluar paru lebih sering dilakukan tindakan bedah. Tindakan bedah dilakukan
untuk :
a. Mendapatkan bahan / spesimen untuk pemeriksaan (diagnosis)
b. Pengobatan :
1) perikarditis konstriktiva
2) kompresi medula spinalis pada penyakit Pott's
4. Pemberian kortikosteroid pada perikarditis TB untuk mencegah konstriksi jantung,
dan pada meningitis TB untukmenurunkan gejala sisa neurologik. Dosis yang
dianjurkan ialah 0,5 mg/kg /hari selama 3-6 minggu.

D. TBParu Dengan Diabetes Melitus (DM)

1. Paduan obat: 2 RHZ(E-S)/ 4 RH dengan gula darah terkontrol


2. Bila gula darah tidak terkontrol, atau pada evaluasi akhir pengobatan dianggap belum
cukup, maka pengobatan dapat dilanjutkan (bila perlu konsult ke ahli paru)
3. Gula darah harus dikontrol
4. Hati-hati dengan penggunaan etambutol, karena efek samping etambutol pada mata;
sedangkan pasien DM sering mengalami komplikasi kelainan pada mata
5. Perlu diperhatikan penggunaan rifampisi karena akan mengurangi efektiviti obat oral
anti diabetes (sulfonil urea), sehingga dosisnya perlu ditingkatkan

44
6. Perlu kontrol / pengawasan sesudah pengobatan selesai, untuk mengontrol /
mendeteksi dini bila terjadi kekambuhan

E. TB Paru Dengan HIV / AIDS

Beberapa pasien yang datang berobat, mungkin diduga terinfeksi HIV atau menderita
AIDS. Indikasi untukmelakukan tes HIV dapat dilihat pada tabel 5 di bawah ini. Pemeriksaan
tes HIV disertai dengan konseling sebelum dan sesudah tes (VoluntaryCounseling and
Testing/VCT)

Tabel 13. Indikasi Tes Darah HIV


Kombinasi dari A dan B (1 kelompok A dan 1dari B)
A. Berat badan turun drastic
TB paru
Sariawan / stomatitis berulang
Sarkoma Kaposi
B. Riwayat perilaku risiko tinggi
Pengguna NAZA suntikan
Homoseksual
Waria
Pekerja seks
Pramuria panti pijat

1. Pada dasarnya pengobatannya sama dengan pengobatan TB tanpa HIV/AIDS.


2. Prinsip pengobatan adalah menggunakan kombinasi beberapa jenis obat dalam jumlah
cukup dan dosis serta jangka waktu yang tepat
3. Pemberian tiasetazon pada pasien HIV/AIDS sangat berbahaya karena akan
menyebabkan efek toksik berat pada kulit
4. Injeksi streptomisin hanya boleh diberikan jika tersedia alat suntik sekali pakai yang
steril.
5. Desensitisasi obat (INH,Rifampisin) tidak boleh dilakukan karena mengakibatkan
toksik yang serius pada hati
6. Pada pasien TB dengan HIV/AIDS yang tidak memberi respons terhadap pengobatan,
selain dipikirkan terdapat resistensi terhadap obat juga harus dipikirkan terdapatnya
malabsorpsi obat. Pada pasien HIV/ AIDS terdapat korelasi antara imunosupresi yang
berat dengan derajat penyerapan, karenanya dosis standar OAT yang diterima
suboptimal sehingga konsentrasi obat rendah dalam serum

45
7. Paduan obat yang diberikan berdasarkan rekomendasi ATS yaitu: 2 RHZE/RH
diberikan sampai 6-9 bulan setelah konversi dahak
8. INH diberikan terus menerus seumur hidup.
9. Bila terjadi MDR, pengobatan sesuai uji resistensi / sesuai pedoman pengobatan
MDR-TB

Waktu Memulai Terapi


1. Waktu pemberian obat pada koinfeksi TB-HIV harus memperhatikan jumlah limfosit CD4
dan sesuai denganrekomendasi yang ada (seperti terlihat pada tabel 6)

Tabel 14. Pedoman pemberian ARV pada koinfeksi TB-HIV


Kondisi Rekomendasi Kondisi Rekomendasi
TB paru, CD4 < 50 sel/mm3, atau TB toleransi terhadap AOT telah tercapai
ekstrapulmonal Mulai terapi OAT, segera
mulai terapi ARV jika
TB paru, CD4 50-200 sel/mm3 atau hitung total < 1200 sel/mm3
limfosit
Mulai terapi OAT. Terapi ARV dimulai TB paru, CD4 > 200 sel/mm3 atau hitung
setelah 2 bulan limfosit
simptomatik, AIDS (+Kaposi/ Ca cervix / limfoma / wasting syndrome / pneumonia P.
Carinii/ toksoplasmosis otak /retinitis virus sitomegalo / kandidiasis esofagus, trakea,
bronkus, sel/mm3), asimptomatik + viral load > 55.000 kopi/ml)Interaksi obat TB dengan
ARV (Anti Retrovirus)

2. Pemakaian obat HIV/AIDS misalnya zidovudin akan meningkatkan kemungkinan


terjadinya efek toksik OAT
3. Tidak ada interaksi bermakna antara OAT dengan ARV golongan nukleosida, kecuali
Didanosin (ddI) yangharus diberikan selang 1 jam dengan OAT karena bersifat sebagai
buffer antasida
4. Interaksi dengan OAT terutama terjadi dengan ARV golongan non-nukleotida dan
inhibitor protease.Rifampisinjangan diberikan bersama dengan nelfinavir karena rifampisin
dapat menurunkan kadar nelfinavir sampai 82%.Rifampisin dapat menurunkan kadar
nevirapin sampai 37%, tetapi sampai saat ini belum ada peningkatan dosisnevirapin yang
direkomendasikan

46
F. TB Paru Pada Kehamilan dan Menyusui
1. Tidak ada indikasi pengguguran pada pasien TB dengan kehamilan
2. Obat antituberkulosis tetap dapat diberikan kecuali streptomisin, karena efek samping
streptomisin pada gangguan pendengaran janin
3. Pada pasien TB dengan menyusui, OAT & ASI tetap dapat diberikan, walaupun
beberapa OAT dapat masuk ke dalam ASI, akan tetapi konsentrasinya kecil dan tidak
menyebabkan toksik pada bayi
4. Wanita menyusui yang mendapat pengobatan OAT dan bayinya juga mendapat
pengobatan OAT, dianjurkan tidak menyusui bayinya agar bayi tidak mendapat dosis
berlebihan
5. Pada wanita usia produktif yang mendapat pengobatan TB dengan rifampisin,
dianjurkan untuk tidak menggunakan kontrasepsi hormonal, karena dapat terjadi
interaksi obat yang menyebabkan efektiviti obat kontrasepsi hormonal berkurang.

G. TB Paru dan Gagal Ginjal


1. Jangan menggunakan streptomisin, kanamisin dan capreomycin
2. Sebaiknya hindari penggunaan etambutol, karena waktu paruhnya memanjang dan
terjadi akumulasi etambutol. Dalam keadaan sangat diperlukan, etambutol dapat
diberikan denganpengawasan kreatinin
3. Sedapat mungkin dosis disesuaikan dengan faal ginjal (CCT, Ureum, Kreatnin)
4. Rujuk ke ahli Paru

H. TB Paru dengan Kelainan Hati


1. Bila ada kecurigaan gangguan fungsi hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati sebelum
pengobatan
2. Pada kelainan hati, pirazinamid tidak boleh diberikan
3. Paduan obat yang dianjurkan (rekomendasi WHO) ialah 2 SHRE/6 RH atau 2 SHE/10
HE
4. Pada pasien hepatitis akut dan atau klinik ikterik , sebaiknya OAT ditunda sampai
hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan sangat diperlukan dapat
diberikan S dan E maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan
dengan 6 RH
5. Sebaiknya rujuk ke ahli Paru

47
I. Hepatitis Imbas Obat
Dikenal sebagai kelainan hati akibat penggunaan obat-obat hepatotoksik (drug induced
hepatitis)
Penatalaksanaan
1. Bila klinik (+) (Ikterik [+], gejala mual, muntah [+]) OAT Stop
2. Bila gejala (+) dan SGOT, SGPT > 3 kali,: OAT stop
3. Bila gejal klinis (-), Laboratorium terdapat kelainan: Bilirubin > 2 OAT Stop
4. SGOT, SGPT > 5 kali : OAT stop
5. SGOT, SGPT > 3 kali : teruskan pengobatan, dengan pengawasan

Paduan OAT yang dianjurkan :


1. Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ)
2. Setelah itu, monitor klinik dan laboratorium. Bila klinik dan laboratorium normal
kembali (bilirubin, SGOT, SGPT), maka tambahkan H (INH) desensitisasi sampai
dengan dosis penuh (300 mg). Selama itu perhatikan klinik dan periksa laboratorium
saat INH dosis penuh , bila klinik dan laboratorium normal , tambahkan rifampisin,
desensitisasi sampai dengan dosis penuh (sesuai berat badan). Sehingga paduan obat
menjadi RHES
3. Pirazinamid tidak boleh diberikan lagi

II.11KOMPLIKASI

Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum pengobatan
atau dalam masa pengobatanmaupun setelah selesai pengobatan.Beberapa komplikasi yang
mungikin timbul adalah :
1. Batuk darah
2. Pneumotoraks
3. Luluh paru
4. Gagal napas
5. Gagal jantung
6. Efusi pleura

48
II.12DIRECTLY OBSERVED TREATMENT SHORT COURSE (DOTS)

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa kunci keberhasilan program


penanggulangan tuberculosis adalah dengan menerapkan strategi DOTS, yang juga telah
dianut oleh negara kita. Oleh karena itu pemahamantentang DOTS merupakan hal yang
sangat penting agar TB dapat ditanggulangi dengan baik.
DOTS mengandung lima komponen, yaitu :
1. Komitmen pemerintah untuk menjalankan program TB nasional
2. Penemuan kasus TB dengan pemeriksaan BTA mikroskopik
3. Pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara langsung, dikenal dengan istilah DOT
(Directly Observed Therapy)
4. Pengadaan OAT secara berkesinambungan
5. Monitoring serta pencatatan dan pelaporan yang (baku/standar) baik Istilah DOT diartikan
sebagai pengawasan langsung menelan obat jangka pendek setiap hari oleh Pengawas
Menelan Obat (PMO)

A. Tujuan
1. Mencapai angka kesembuhan yang tinggi
2. Mencegah putus berobat
3. Mengatasi efek samping obat jika timbul
4. Mencegah resistensi

B. Pengawasan
Pengawasan terhadap pasien TB dapat dilakukan oleh :
1. Pasien berobat jalan
Bila pasien mampu datang teratur, misal tiap minggu maka paramedis atau petugas sosial
dapat berfungsi sebagaiPMO. Bila pasien diperkirakan tidak mampu datang secara teratur,
sebaiknya dilakukan koordinasi dengan puskesmassetempat. Rumah PMO harus dekat dengan
rumah pasien TB untuk pelaksanaan DOT ini.
Beberapa kemungkinan yang dapat menjadi PMO
a. Petugas kesehatan
b. Orang lain (kader, tokoh masyarakat dll)
c. Suami/Istri/Keluarga/Orang serumah

49
2. Pasien dirawat
Selama perawatan di rumah sakit yang bertindak sebagai PMO adalah petugas RS, selesai
perawatan untuk pengobatan selanjutnya sesuai dengan berobat jalan.

C. Langkah Pelaksanaan DOT

Dalam melaksanakan DOT, sebelum pengobatan pertama kali dimulai, pasien


diberikan penjelasan bahwa harus adaseorang PMO dan PMO tersebut harus ikut hadir di
poliklinik untuk mendapat penjelasan tentang DOT

D. Persyaratan PMO

1. PMO bersedia dengan sukarela membantu pasien TB sampai sembuh selama


pengobatan dengan OAT dan menjaga kerahasiaan penderita HIV/AIDS.
2. PMO diutamakan petugas kesehatan, tetapi dapat juga kader kesehatan, kader
dasawisma, kader PPTI, PKK, atau anggota keluarga yang disegani pasien

E. Tugas PMO

1. Bersedia mendapat penjelasan di poliklinik


2. Melakukan pengawasan terhadap pasien dalam hal minum obat
3. Mengingatkan pasien untuk pemeriksaan ulang dahak sesuai jadwal yang telah
ditentukan
4. Memberikan dorongan terhadap pasien untuk berobat secara teratur hingga selesai
5. Mengenali efek samping ringan obat, dan menasehati pasien agar tetap mau menelan
obat
6. Merujuk pasien bila efek samping semakin berat
7. Melakukan kunjungan rumah
8. Menganjurkan anggota keluarga untuk memeriksa dahak bila ditemui gejala TB

F. Penyuluhan
Penyuluhan tentang TB merupakan hal yang sangat penting, penyuluhan dapat
dilakukan secara :
1. Peroranga/Individu

50
Penyuluhan terhadap perorangan (pasien maupun keluarga) dapat dilakukan di unit rawat
jalan, di apotik saatmengambil obat dll
2. Kelompok
Penyuluhan kelompok dapat dilakukan terhadap kelompok pasien, kelompok keluarga
pasien, masyarakatpengunjung RS dll
Cara memberikan penyuluhan :
a. Sesuaikan dengan program kesehatan yang sudah ada
b. Materi yang disampaikan perlu diuji ulang untuk diketahui tingkat penerimaannya
sebagai bahan untuk penatalaksanaan selanjutnya
c. Beri kesempatan untuk mengajukan pertanyaan, terutama hal yang belum jelas
d. Gunakan bahasa yang sederhana dan kalimat yang mudah dimengerti, kalau perlu
dengan alat peraga (brosur, leaflet dll)

G. DOTS Plus
1. Merupakan strategi pengobatan dengan menggunakan 5 komponen DOTS
2. Plus adalah menggunakan obat antituberkulosis lini 2
3. DOTS Plus tidak mungkin dilakukan pada daerah yang tidak menggunakan strategi DOTS
4. Strategi DOTS Plus merupakan inovasi pada pengobatan MDR-TB

DAFTAR PUSTAKA

1. Eddy, PS. Sejarah dan Epidemiologi Penyakit Tuberkulosis. Simposium Tuberkulosis.


Surabaya, Des. 1982 : 11-20.
2. Raviglione MC, Snider DE, Kochi Arata, Global Epidemiology of Tuberculosis
JAMA 1995 ; 273 : 220-26.
3. WHO.TB A Clinical manual for South East Asia. Geneva, 1997; 19-23.
4. Aditama T.Y. Tuberculosis Situation in Indonesia, Singapore, Brunei Darussalam and
in Philippines, Cermin Dunia Kedokteran 1993 ; 63 : 3 7.
51
5. Hudoyo, A. Penerapan Strategi DOTS bagi Penderita TB, Dalam Simposium dan
Semiloka TB Terintegrasi. RSUP Persahabatan, Jakarta, 1999.
6. Broekmans, JF. Success is possible it best has to be fought for, World Health Forum
An International Journal of Health Development. WHO, Geneva, 1997 ; 18 : 243 47.
7. Bing, K. Diagnostik dan klasifikasi tuberkulosis paru. RTD Diagnosis dan Pengobatan
Mutakhir Tuberkulosis Pam Semarang, Mei 1989 1-6.
8. Suryatenggara, W. Peranan pyrazinamide dalam pengobatan tuberkulosis Yogyakarta
1984 : 43-55. paru jangka pendek. Simposium Pengobatan Mutakhir Tuberkulosis
Paru Bandung, 57-63.
9. PDPI. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, Jakarta.
2002.
10. Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta, 2011.
11. Widodo, Eddy. Upaya Peningkatan PeranMasyarakat Dan Tenaga KesehatanDalam
Pemberantasan Tuberkulosis. IPB, Bogor. 2004.
12. Werdhani, Retno Asti. Patofisiologi, Diagnosis, Dan Klafisikasi Tuberkulosis.
Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, Dan Keluarga FKUI. 2002.

52

Anda mungkin juga menyukai