MIKA LESTARIA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Mika Lestaria
NIM A156130254
RINGKASAN
Kerinci merupakan daerah hulu dari Provinsi Jambi yang memiliki hutan
dataran tinggi dan memiliki potensi sebagai modal pembangunan untuk
meningkatkan perekonomian daerah. Di samping itu Kabupaten Kerinci
merupakan salah satu wilayah yang memiliki luasan hutan yang cukup tinggi,
namun dari sub sektor kehutanan hanya berkontribusi sekitar 0,04 % terhadap
PDRB Kabupaten Kerinci. Hal ini terjadi diindikasikan karena selama ini
keberadaan sumberdaya hutan di Kabupaten Kerinci belum dikelola secara
optimal, belum teridentifikasinya nilai-nilai sumberdaya hutan Kabupaten Kerinci,
serta lemahnya kelembagaan dan kebijakan pengelolaan hutan oleh Pemerintah
Kabupaten Kerinci. Pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP)
Model Kerinci adalah salah satu upaya pemerintah dalam mewujudkan
pengelolaan hutan yang efisien dan lestari.
Tujuan dari penelitian ini adalah (1) menganalisis peranan Kesatuan
Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Model Kerinci dalam pengembangan
wilayah Kabupaten Kerinci; (2) menganalisis model kelembagaan KPHP Model
Kerinci; (3) menganalisis kesiapan daerah dalam pembangunan KPHP Model
Kerinci. Penelitian dilakukan di KPHP Model Kerinci di Kabupaten Kerinci
Provinsi Jambi. Metode analisis data dilakukan dengan analisis Nilai Ekonomi
Total (NET), analisis kelembagaan, dan analisis hirarki proses (AHP).
Hasil penelitian menunujukkan bahwa Keberadaan KPHP Model Kerinci
berpotensi berperan dalam pengembangan wilayah Kabupaten Kerinci. Hal ini
ditunjukkan dari Nilai Ekonomi Total Sumberdaya Hutan pada Wilayah KPHP
Model Kerinci sebesar Rp. 337 Milyar/tahun. Dari nilai tersebut, yang berpotensi
menyumbang terhadap PDRB tercatat (PDRB Coklat) adalah dari nilai ekonomi
kayu dan nilai ekonomi agroforestri sebesar Rp.303 milyar/tahun atau sekitar
7,51%. Untuk dapat merealisasikan nilai sumber daya hutan tersebut, maka
dibutuhkan kelembagaan yang ideal sesuai dengan kebutuhan daerah. Model
Kelembagaan KPHP Model Kerinci perlu dikembangkan dengan pembentukan
resort-resort pengelolaan pada beberapa kecamatan. Ada enam resort pengelolaan
yang dibentuk berdasarkan pertimbangan luasan kawasan, kedekatan lokasi dan
potensi pemanfaatan lahan. Kabupaten Kerinci sudah siap dalam pembangunan
KPHP Model Kerinci. Hal ini terlihat dari tingkat capaian kesiapan daerah
sebesar 55,6%. Namun ada beberapa indikator yang harus dibenahi terutama
indikator pada kriteria dukungan regulasi dan perencanaan.
Kerinci is an upstream area of Jambi Province with high land forest and
potentially as a capital of regional development to increase regional economic.
Kerinci is one of regency with the large forest, but sub sector of forestry
contributes only 0,04% of GDP Kerinci Regency. Its may possibly by the
weakness of forest management and policy of Kerinci Regency Government.
Forest production management unit (KPHP) Model Kerinci is one of goverment
efforts to achieve sustainable forest management.
The aims of this research were (1) to analyze the role of forest production
management unit (KPHP) Model Kerinci in the regional development of Kerinci
Regency; (2) to analyze the institutional of forest production management unit
(KPHP) Model Kerinci; (3) to analyze regions readiness for forest production
management unit (KPHP) Model Kerinci development. The study was conducted
in Kerinci Regency. Data were analyzed by total economic value (TEV),
institutional analysis, and analytical hierarchy process (AHP).
The results showed that the Forest Production Management Unit (KPHP)
Model Kerinci potentially to the role in Regional Development of Kerinci
Regency. Its showed by total economic value of natural resources of KPHP
Model Kerinci is Rp. 337 billion/year. From these value, which could potentially
contribute to the GDP is economic value of timber and agroforestry Rp. 303
billion/year or 7,51 per cent of GDP Kerinci Regency. To realize the value of the
forest resources, its required institutional ideally suited of the region. Institutional
Model of KPHP Model Kerinci need to be developed with the formation of the
resorts management in several districts. There are six resort management formed
under consideration of the extent of the area, proximity and potential land use.
Kerinci is ready in development KPHP Model Kerinci. This is evident from the
level of achievement of the region's readiness for 55.6%. However, there are some
indicators that must be addressed mainly indicators on regulatory support and
planning criteria.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS KELEMBAGAAN DAN PERANAN
KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI (KPHP)
DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH KABUPATEN KERINCI
MIKA LESTARIA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Omo Rusdiana, MSc
Judul Tesis : Analisis Kelembagaan dan Peranan Kesatuan Pengelolaan Hutan
Produksi (KPHP) dalam Pengembangan Wilayah Kabupaten
Kerinci
Nama : Mika Lestaria
NIM : A156130254
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Diketahui oleh
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa taala atas
segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian ini adalah Analisis Kelembagaan dan Peranan Kesatuan
Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) dalam Pengembangan Wilayah Kabupaten
Kerinci yang dilaksanakan sejak bulan Mei sampai dengan November 2014.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih
sedalam-dalamnya kepada semua pihak yang telah ikut berpartisipasi dalam
proses penyusunan tesis ini, terutama kepada :
1. Ayah dan Ibu beserta seluruh keluarga atas segala kasih sayang, doa,
dukungan dan semangat yang telah diberikan selama ini.
2. Dr Ir Setia Hadi, MS dan Dr Ir M Buce Saleh, MS selaku komisi
pembimbing yang telah banyak memberikan bantuan, saran ilmiah, dorongan
dan arahan kepada penulis sejak awal hingga penyelesaian tesis ini.
3. Dr Ir Omo Rusdiana, MSc selaku dosen penguji luar komisi dan Dr Ir Untung
Sudadi, MSc selaku pemimpin ujian tesis yang telah memberikan saran dan
masukan dalam penyempurnaan tesis ini.
4. Segenap tim manajemen dan dosen pengajar Program Studi Ilmu
Perencanaan Wilayah IPB.
5. Pusbindiklatren Bappenas yang telah memberikan beasiswa kepada penulis
untuk dapat menimba ilmu di Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
Sekolah Pascasarjana IPB.
6. Pemerintah Kabupaten Padang Pariaman yang telah memberikan izin tugas
belajar di Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana
IPB.
7. Pemerintah Kabupaten Kerinci yang telah memberikan izin melaksanakan
penelitian di Kabupaten Kerinci.
8. Kepala KPH Kerinci Neneng Susanti, S.Hut, MSi yang banyak sekali
membantu selama pengumpulan data.
9. Teman-teman PWL angkatan 2013 dan semua pihak yang telah membantu
penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
Mika Lestaria
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR LAMPIRAN xi
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 4
Manfaat Penelitian 4
Kerangka Pemikiran Penelitian 4
2 TINJAUAN PUSTAKA 6
Konsep Pembangunan dan Pengembangan Wilayah 6
Konsep Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) 7
Hubungan KPH dengan Berbagai Elemen Terkait 10
Teori Kelembagaan 11
Teori Pemangku Kepentingan (Stakeholder) 13
Nilai Ekonomi Total Sumberdaya Alam 14
Analytical Hierarchy Process (AHP) 15
3 METODE 16
Waktu dan Lokasi Penelitian 16
Jenis dan Sumber Data 17
Metode Pengumpulan Data 18
Metode Analisis Data 18
4 KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 21
Kondisi Geografis Wilayah Kabupaten Kerinci 21
Administrasi Wilayah Kabupaten Kerinci 22
Kawasan Hutan dan Penutupan Lahan 23
Topografi dan Morfologi Wilayah 24
Geologi 24
Tanah 25
Iklim 26
Demografi 26
Aksesibilitas 27
Wilayah Daerah Aliran Sungai 27
Posisi KPHP Model Kerinci dalam Tata Ruang Wilayah dan
Pembangunan Daerah Kabupaten Kerinci 27
5 HASIL DAN PEMBAHASAN 28
Nilai Ekonomi Total Sumberdaya Hutan KPHP Model Kerinci 28
Kelembagaan KPHP Model Kerinci 33
Kesiapan Daerah dalam Pembangunan KPHP Model Kerinci 38
6 SIMPULAN DAN SARAN 41
Simpulan 41
Saran 42
DAFTAR PUSTAKA 43
LAMPIRAN 45
RIWAYAT HIDUP 57
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 Kuisioner Analisis Willingness to Pay (WTP) 45
2 Kuisioner Analisis Kesiapan Daerah dalam Pembangunan KPHP 48
Model Kerinci
3 Kriteria dan Indikator Kesiapan Daerah dalam Pembangunan 51
KPHP Model Kerinci
4 Hasil AHP Kesiapan Daerah dalam Pembangunan KPHP Model 56
Kerinci
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
mempunyai perangkat evaluasi kinerja KPH, baik kriteria dan indikator berbasis
kinerja, sistem evaluasi, maupun mekanisme perbaikan kinerja KPH.
Membangun unit pengelolaan dalam bentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan
(KPH) pada tingkat tapak merupakan salah satu hal mendasar untuk mewujudkan
pelaksanaan tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah dalam mengelola
sumberdaya hutan. Unit pengelolaan (KPH) tersebut perlu didesain sedemikian
rupa sesuai situasi lapangan sehingga pembangunan KPH dapat menjadi kondisi
pemungkin (enabling conditions) dicapainya pengelolaan hutan secara
berkelanjutan.
Data dari Badan Planologi Kementerian Kehutanan (2013), hingga akhir
tahun 2014, Kementerian Kehutanan menargetkan penyelesaian 120 KPH
(Kesatuan Pengelolaan Hutan) model di beberapa wilayah di Indonesia. KPH
model merupakan bentuk awal (embrio) dari KPH yang selanjutnya secara
bertahap dapat berkembang menjadi KPH. Salah satu KPH Model yang menjadi
target adalah KPH Model di Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi. KPH Model
Kerinci telah ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.
SK.960/Menhut-II/2013 tentang Penetapan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan
Produksi Model Kerinci (Unit I) yang terletak di Kabupaten Kerinci, Provinsi
Jambi seluas 34.250 (tiga puluh empat ribu dua ratus lima puluh) hektar.
Konsep KPH ini terlihat cukup menjanjikan terwujudnya pengelolaan hutan
secara lebih lestari di masa yang akan datang. Namun, jika dilihat lebih jauh dan
dikaitkan dengan peran dan keterlibatan pemerintah daerah dalam pengelolaan
hutan serta peranan KPHP Model Kerinci dalam pengembangan wilayah, masih
cukup banyak pertanyaan yang belum dapat dijawab secara tegas. Misalnya
menyangkut peranan keberadaan KPHP Model Kerinci dalam pengembangan
wilayah Kabupaten Kerinci, kelembagaan serta kesiapan daerah dalam
pembangunan KPHP Model Kerinci.
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan sebagai salah satu referensi dalam
penelitian terkait Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP). Selain itu dapat
menjadi sumber informasi bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Kerinci dalam
rangka pembangunan di sektor kehutanan.
Kerangka Pemikiran
Model Kelembagaan
KPHP Model Kerinci Deskriptif
2 TINJAUAN PUSTAKA
dapat digolongkan dalam dua kategori strategi yaitu Strategy Demand Side dan
Strategy Supply Side.
undangan tersebut di atas, yang meliputi tahapan : (a) penyusunan rancang bangun
KPH, dilaksanakan oleh gubernur; (b) arahan pencadangan, diberikan oleh
Menteri Kehutanan berdasarkan rancang bangun yang diajukan oleh gubernur; (c)
pembentukan, disusun oleh bupati berdasarkan arahan dari Menteri Kehutanan
yang selanjutnya gubernur mengusulkan penetapannya kepada Menteri
Kehutanan; (d) penetapan, menteri menetapkan KPH berdasarkan usulan
pembentukan dari gubernur. Tahap berikutnya setelah proses penetapan KPH
adalah pembentukan kelembagaan pengelola unit KPH, sehingga akan terbangun
wujud riil KPH di tingkat tapak yang antara lain meliputi penetapan, wilayah
pengelolaan dan kelembagaan pengelola serta jenis aktifitasnya. Badan Planologi
Departemen Kehutanan (2006) lebih jauh menyatakan empat prinsip yang
melandasi pembentukan wilayah KPH, yaitu : (1) transparansi, (2) pelibatan
penuh seluruh pihak terkait, (3) akuntabilitas dan (4) ekosistern. Berdasarkan
pernyataan yang berbunyi sesuai dengan fungsi pokok dan peruntukannya yang
selalu menyertai definisi KPH, menurut Ngakan et al. (2008) bahwa perwilayahan
KPH akan dibuat dengan merujuk pada fungsi pokok dan peruntukan hutan yang
sudah ada. Oleh karena itu, KPH diberi nama menurut fungsi pokok dan
peruntukannya seperti KPHK (Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi) untuk
pengelolaan hutan pada fungsi hutan konservasi (Taman Nasional, Cagar Alarn,
Taman Wisata Alam, Taman Buru, dan lain-lain). Kesatuan Pengelolaan Hutan
Produksi (KPHP) untuk mengelola fungsi hutan produksi dan Kesatuan
Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) untuk mengelola fungsi hutan lindung.
Dalam melaksanakan sebagai fungsi perwilayahan, menurut PP No. 6 tahun 2007,
Organisasi KPH mempunyai tugas dan fungsi (1) menyelenggarakan pengelolaan
hutan yang meliputi kegiatan tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan
hutan, pemanfaatan hutan, penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi hutan dan
reklamasi, dan perlindungan hutan dan konservasi alam; (2) menjabarkan
kebijakan kehutanan nasional, provinsi dan kabupaten/kota bidang kehutanan
untuk diimplementasikan; (3) rnelaksanakan kegiatan pengelolaan hutan di
wilayahnya mulai dan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan
pengawasan serta pengendalian; (4) melaksanakan pemantauan dan penilaian atas
pelaksanaan pengelolaan hutan di wilayahnya; (5) membuka peluang investasi
guna mendukung tercapainya tujuan pengelolaan hutan.
Pembangunan KPH saat ini terus menerus dilakukan di daerah, secara garis
besar pembangunan KPH menunjukkan kemajuan yang cukup signifikan, hal ini
dapat dilihat dari perkembangan pembangunan KPH sampai dengan bulan
Agustus 2011 (Kementerian Kehutanan 2011), penetapan wilayah KPHL
sebanyak 167 unit dengan luas 20.834.918 Ha, KPHP sebanyak 246 Unit
dengan luas 37.063.223 Ha yang tersebar pada 23 propinsi, dan khusus DI
Yogyakarta (tidak dibedakan antara KPHL dan KPHP) dengan luas 16.357 Ha.
Selain itu, Pemerintah telah melakukan penetapan wilayah KPHK pada 20 Taman
Nasional. Untuk mempercepat pengoperasian KPH, maka telah ditetapkan KPH
Model di masing-masing provinsi. Sampai dengan Agustus 2011, telah ditetapkan
KPH model sebanyak 21 unit. KPH yang sudah memiliki organisasi pengelola
dengan kedudukan sebagai UPTD terdapat 32 unit dengan KPH model sebanyak
28 unit dan bukan KPH model sebanyak 4 unit.
10
Teori Kelembagaan
semua anggota masyarakat dan merupakan penata interaksi dalam situasi tertentu
yang berulang.
Kelembagaan adalah suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota
masyarakat dalam suatu organisasi yang memiliki faktor pembatas dan pengikat
berupa norma, aturan formal, maupun non formal untuk mencapai tujuan bersama
(Djogo et al. 2003). Lebih lanjut dinyatakan bahwa kelembagaan mempunyai 10
unsur penting, yaitu: institusi, norma tingkah laku, peraturan, aturan dalam
masyarakat, kode etik, kontrak, pasar, hak milik, organisasi, dan insentif. Ostrom
(1990) mengartikan kelembagaan sebagai aturan yang berlaku dalam masyarakat
(arena) yang menentukan siapa yang berhak membuat keputusan, tindakan apa
yang boleh dan tidak boleh dilakukan, aturan apa yang berlaku umum di
masyarakat, prosedur apa yang harus diikuti, informasi apa yang mesti atau tidak
boleh disediakan dan keuntungan apa yang individu akan terima sebagai buah dari
tindakan yang dilakukannya.
Menurut Kartodihadjo (2006), kelembagaan adalah perangkat lunak, aturan
main, keteladanan, rasa percaya, serta konsistensi kebijakan yang dapat diterapkan
di dalamnya. Kelembagaan sebagai aturan main (formal dan informal) yang
mengatur dan mengendalikan perilaku individu dalam masyarakat atau organisasi.
Dari definisi tersebut pada dasarnya kelembagaan mengandung 2 (dua) pengertian
yaitu aturan main (rule of the game) di satu sisi dan organisasi sebagai
pemain/pelaku (organization as a player) di sisi lainnya. Kedua hal tersebut saling
membutuhkan dan melengkapi bagi jalannya proses-proses pencapaian tujuan
yang tertuang di dalam aturan main yang disepakati.
Kelembagaan merupakan suatu sistem aktivitas dari kelakuan berpola dari
manusia dalam kebudayaannya beserta komponen-komponen yang terdiri dari
sistem norma dan tata kelakuan untuk wujud ideal kebudayaan, kelakuan berpola
untuk wujud kelakuan kebudayaan dan peralatan untuk wujud fisik kebudayaan
yang ditambah dengan manusia atau personil yang melaksanakan kelakuan
berpola (Koentjaraningrat 1997). Kelembagaan sebagai seperangkat norma-norma
dan peraturan yang tumbuh dalam masyarakat yang bersumber pada pemenuhan
kebutuhan pokok dan memiliki bentuk konkritnya adalah asosiasi. Kelembagaan
yang ada di dalam masyarakat merupakan esensi atau bagian pokok dari
masyarakat dan kebudayaannya. Pejovich (1999) menyatakan bahwa
kelembagaan memiliki tiga komponen, yakni: (1) Aturan formal, meliputi
konstitusi, status, hukum dan seluruh regulasi pemerintah lainnya. Aturan formal
membentuk sistem politik (struktur pemerintahan, hak-hak individu), sistem
ekonomi (hak kepemilikan dalam kondisi kelangkaan sumberdaya, kontrak), dan
sistem keamanan (peradilan, polisi) ; (2) Aturan informal, meliputi pengalaman,
nilai-nilai tradisional, agama dan seluruh faktor yang mempengaruhi bentuk
persepsi subjektif individu tentang dunia tempat hidup masyarakat; dan (3)
Mekanisme penegakan, semua kelembagaan tersebut tidak akan efektif apabila
tidak diiringi dengan mekanisme penegakan
Berbagai definisi yang telah diungkapkan oleh para ahli terlihat bahwa
sebenarnya definisi kelembagaan tergantung dari mana orang melihatnya, makro
atau mikro. Sekian banyak pembatasan kelembagaan, minimal ada tiga lapisan
kelembagaan sebagai norma-norma dan konversi, kelembagaan sebagai aturan
main, dan kelembagaan sebagai hubungan kepemilikan (Deliarnov 2006).
13
tidak terlibat dalam pengusahaan hutan, namun memiliki lini bisnis yang terkait
dengan sumber daya hutan atau terkait dengan kegiatan masyarakat yang
kehidupannya tergantung pada sumber daya hutan; masyarakat yang dipengaruhi
oleh perubahan pengelolaan sumber daya hutan sesudah manajemen kolaboratif
diterapkan. Secara praktikal kelompok ini adalah masyarakat yang bermukim di
sekitar hutan di luar batas yurisdiksi kawasaan hutan yang akan dikelola secara
kolaboratif (Tadjudin 2000).
Nilai ekonomi atau total nilai ekonomi suatu sumber daya secara garis besar
dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu nilai atas dasar penggunaan (use value)
dan nilai yang terkandung di dalamnya atau nilai intrinsik (non use value) (Pearce
dan Turner 1990; Pearce dan Moran 1994 dalam Harahap 2010). Nilai
penggunaan (use value) pada dasarnya diartikan sebagai nilai yang diperoleh
seorang individu atas pemanfaatan langsung dari sumber daya alam dan
lingkungan. Use value dibedakan lagi menjadi nilai penggunaan langsung (direct
use value), nilai penggunaan tidak langsung (indirect use value) dan nilai pilihan
(option value).
Nilai penggunaan diperoleh dari pemanfatan aktual lingkungan. Menurut
Pearce dan Moran (1994) dalam Harahap (2010) bahwa nilai penggunaan
berhubungan dengan nilai karena seseorang memanfaatkannya atau berharap akan
memanfaatkan di masa mendatang. Nilai penggunaan langsung adalah nilai yang
ditentukan oleh kontribusi lingkungan pada aliran produksi dan konsumsi
(Munasinghe 1993 dalam Harahap 2010). Menurut Pearce dan Moran (1993)
dalam Harahap (2010) nilai penggunaan langsung berkaitan dengan output yang
dapat dikonsumsi misalnya makanan, biomassa, kesehatan, rekreasi. Sedangkan
nilai penggunaan tidak langsung (indirect use value) ditentukan oleh manfaat
yang berasal dari jasa-jasa lingkungan yang mendukung aliran produksi dan
konsumsi (Munasinghe 1993 dalam Harahap 2010).
Nilai pilihan (option value) berkaitan dengan pilihan pemanfaatan
lingkungan di masa datang. Pernyataan preferensi (kesediaan membayar) untuk
konservasi sistem lingkungan atau komponen sistem berhadapan dengan beberapa
kemungkinan pemanfaatan oleh individu di hari kemudian. Ketidakpastian
penggunaan di masa datang berhubungan dengan ketidakpastian penawaran
lingkungan, teori ekonomi mengidentifikasikan bahwa nilai pilihan adalah
kemungkinan positif. Oleh karenanya option value lebih diartikan sebagai nilai
pemeliharaan sumber daya, sehingga pilihan untuk memanfaatkannya masih
tersedia untuk masa yang akan datang.
Sedangkan nilai penggunaan tidak langsung (non use value) adalah nilai
yang diberikan kepada sumberdaya alam atas keberadaannya, meskipun tidak
dikonsumsi secara langsung dan juga bersifat sulit diukur, karena lebih didasarkan
pada preferensi terhadap lingkungan daripada pemanfaatan langsung.
Nilai intrinsik atau penggunaan tidak langsung (non use value)
dikelompokkan lagi menjadi nilai keberadaan (existence value) dan nilai warisan
(bequest value). Nilai intrinsik berhubungan dengan nilai kesediaan membayar
positif, jika seseorang tidak bermaksud memanfaatkannya (Pearce dan Moran
1994 dalam Harahap 2010). Nilai warisan berhubungan dengan kesediaan
15
Keterangan :
TEV = Total Economic Value (Nilai Ekonomi Total)
UV = Use Value (Nilai Penggunaan)
NUV = Non Use Value (Nilai Intrinsik)
DUV = Direct Use Value (Nilai Penggunaan Langsung)
IUV = Indirect Use Value (Nilai Penggunaan Tidak Langsung)
OV = Option Value (Nilai Pilihan)
BV = Bequest Value (Nilai Warisan)
EV = Existence Value (Nilai Keberadaan)
Fauzi (2014) menyatakan bahwa kombinasi nilai guna ( use value ) dan nilai
non-guna ( non-use value ) menghasilkan apa yang disebut sebagai Total
Economic Value atau TEV. Perlu diketahui bahwa terminologi total dalam total
economic value bukan menunjukkan nilai keseluruhan dari sumber daya alam dan
lingkungan karena bagaimanapun nilai keseluruhan dari sumber daya dan
lingkungan sulit dihitung. Nilai total yang dimaksud dalam TEV lebih
menunjukkan penjumlahan dua komponen utama, yakni nilai guna dan nilai non-
guna.
konsekuensi dari kriteria yang dipilih, sampai kepada sub-sub kriteria yang paling
mendetil. Analisis ini juga memperhitungkan validitas sampai dengan batas
toleransi inkonsistensi berbagai kriteria dan alternatif yang dipilih oleh para
pengambil keputusan (Saaty 1980).
Model AHP ini menggunakan input persepsi manusia yang dapat mengolah
data yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif, sehingga kompleksitas
permasalahan yang ada di sekitar kita dapat didekati dengan baik oleh model AHP
ini. Di samping itu, teknik AHP mempunyai kemampuan untuk memecahkan
masalah yang multi-objektif dan multi-kriteria yang didasarkan pada
perbandingan preferensi dari setiap elemen dalam hirarki. Jadi model ini
merupakan suatu model pengambilan keputusan yang komprehensif (Makkasau
2012).
3 METODE
Adapun luas KPHP Model Kerinci berdasarkan fungsi kawasan dapat dilihat
pada Tabel 1.
Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui hasil wawancara dan
kuisioner dengan responden. Sedangkan data sekunder diperoleh dari hasil studi
pustaka dan data-data dari instansi terkait. Jenis dan sumber data yang diperlukan
berdasarkan tujuan penelitian disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Jenis, Sumber dan Teknik Analisis Data untuk setiap Tujuan Penelitian
Teknik
No Tujuan Jenis Data Sumber Data Output
Analisis
Mengkaji Informasi
Data PDRB
peranan KPHP Peranan KPHP
Kab. Kerinci,
Model Kerinci BPS, Dishutbun Nilai Model dalam
Data potensi
1 dalam Kab. Kerinci, Ekonomi pengembangan
Sumberdaya
pengembangan Masyarakat Total wilayah Kab.
Hutan
wilayah Kab. Kerinci
Kab.Kerinci
Kerinci
Rancang
bangun KPHP
Model Kerinci, Dishutbun Kab.
Menganalisis
RTRW Kab. Kerinci, Bappeda Model
model
Kerinci, Kab. Kerinci, Analisis kelembagaan
2 kelembagaan
Renstra LSM, Deskriptif KPHP Model
KPHP Model
Dishutbun Masyarakat, Kerinci
Kerinci
Kab. Kerinci, Akademisi
Persepsi
Stakeholder
Dishutbun Kab.
Kerinci, Bappeda
Kab. Kerinci,
Menganalisis Informasi
Dinas Pertanian
kesiapan daerah tingkat kesiapan
Kuisioner, Kab. Kerinci,
dalam daerah dalam
3 Persepsi BBTNKS, AHP
pembangunan pelaksanaan
stakeholder BP2HP Wilayah
KPHP Model KPHP Model
IV Jambi
Kerinci Kerinci
LSM,
Masyarakat,
Akademisi
18
NKB = JKT x L x P
Keterangan :
NKB : Nilai ekonomi Kayu Bulat (Rp/tahun)
JKT : Jumlah Kayu yang boleh ditebang (m3/ha)
L : Luas hutan sekunder (ha)
P : Harga kayu bulat (Rp)
19
C1 C2 ... Cn
C1 1 a12 ... a1n
A = (aij) = C2 1/a12 1 ... a2n
... ... ... ... ...
Cn 1/a1n 1/a2n ... 1
Dalam hal ini C1, C2, ..., Cn adalah set elemen pada satu tingkat dalam
hirarki. Kuantifikasi pendapat dari hasil perbandingan berpasangan
membentuk matriks n x n. Nilai aij merupakan nilai matriks pendapat hasil
perbandingan yang mencerminkan nilai kepentingan C1 terhadap Cj.
4. Matriks pendapat gabungan, merupakan matriks baru yang elemen-elemennya
berasal dari rata-rata geometri elemen matriks pendapat individu yang nilai
rasio inkonsistensinya memenuhi syarat.
5. Nilai pengukuran konsistensi yang diperlukan untuk menghitung konsistensi
jawaban responden.
6. Penentuan prioritas pengaruh setiap elemen pada tingkat hirarki keputusan
tertentu terhadap sasaran utama.
Revisi pendapat dapat dilakukan apabila nilai rasio inkonsistensi pendapat
cukup tinggi (0,1). Beberapa ahli berpendapat jika jumlah revisi terlalu besar,
sebaiknya responden tersebut dihilangkan. Jadi penggunaan revisi ini sangat
terbatas mengingat akan terjadinya penyimpangan dari jawaban yang sebenarnya.
Dalam AHP dipergunakan skala Saaty mulai dari 1, yang menggambarkan
atribut yang satu terhadap yang lain sama penting. Untuk atribut yang sama selalu
bernilai 1 sampai 9, yang menggambarkan satu atribut sangat penting terhadap
atribut yang lainnya. Jika hasil perhitungan tersebut menunjukkan nilai CR < 0,10
artinya penilaian pada pengisian kuisioner tergolong konsisten, sehingga nilai
bobotnya dapat digunakan. Analisis data dibantu dengan menggunakan perangkat
lunak Expert Choice 2000.
Oleh karena itu Kabupaten Kerinci menjadi wilayah strategis yang dilalui jalan
utama Jambi - Sumatera Barat - Bengkulu.
Secara umum wilayah Kabupaten Kerinci memiliki batas administrasi
sebagai berikut:
- Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Solok Selatan Provinsi Sumatera
Barat;
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Merangin Provinsi Jambi dan
Kabupaten Muko-Muko Provinsi Bengkulu;
- Sebelah Barat berbatasan dengan Kota Sungai Penuh, Provinsi Jambi dan
Kabupaten Pesisir Selatan Provinsi Sumatera Barat;
- Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bungo dan Kabupaten Merangin
Provinsi Jambi.
Kabupaten Kerinci memiliki luas wilayah 420.000 ha, yang terdiri dari 17
wilayah kecamatan dan 278 desa. Setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2008, Kabupaten Kerinci dimekarkan menjadi dua wilayah administratif,
yaitu Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh.
Saat ini Kabupaten Kerinci memiliki 16 wilayah kecamatan dengan luas
wilayah 380.850 ha. Kota Sungai Penuh terdiri dari 5 wilayah kecamatan dengan
luas wilayah 39.150 ha. Adapun jumlah kecamatan, luas wilayah, jumlah desa
dan kelurahan di Kabupaten Kerinci disajikan pada Tabel 4.
Adapun peta penutupan lahan wilayah KPHP Model Kerinci dapat dilihat
pada Gambar 3.
Geologi
Tanah
Iklim
Tabel 7 Jumlah Curah Hujan, Banyaknya Hari Hujan dan Kelembaban Relatif
menurut Bulan di Kabupaten Kerinci.
Demografi
Aksesibilitas
Posisi KPHP Model Kerinci dalam Tata Ruang Wilayah dan Pembangunan
Daerah Kabupaten Kerinci
Nilai ekonomi kayu diperoleh dengan menghitung jumlah kayu yang boleh
ditebang per tahun dikalikan dengan harga jualnya. Harga kayu di tegakan
dihitung setelah dikurangi biaya operasional (biaya tebang dan biaya transportasi
dari lokasi tebangan ke pabrik), maka didapatkan harga tegakan sebesar Rp
1.500.000/m3 untuk semua jenis kayu. Hal ini berdasarkan harga pasar lokal untuk
tahun 2014 di daerah Kerinci khususnya. Maka nilai ekonomi kayu pada hutan
sekunder adalah Rp. 806.655.000/tahun.
yang ditanam di areal agroforestri KPHP Model Kerinci pada umumnya hampir
sama. Jenis yang dominan yaitu kopi, kayu manis, surian, kemiri, cengkeh,
alpukat, durian, sirih, cabe, tomat, pisang, bambu, kayu bakar, pinang. Diperoleh
nilai agroforestri sebesar Rp. 12.235.000/ha/tahun. Sehingga total nilai
ekonomi agroforestri untuk luasan 24.713,61 ha adalah sebesar
Rp. 302.371.018.400/tahun.
Berbeda halnya dengan perhitungan dari manfaat tangible dari hasil hutan
yang berupa kayu dan bukan kayu yang dapat secara langsung dinilai oleh sistem
pasar, maka untuk manfaat intangible yang mencakup manfaat rekreasi,
perlindungan dan pengaturan tata air, penyerap karbon, kesuburan tanah,
pencegahan erosi dan lain-lain sampai saat ini tidak dapat atau masih sulit dinilai
oleh sistem pasar.
Pemahaman dan pengetahuan yang masih rendah terhadap manfaat
intangible hutan, serta belum adanya penilaian ekonomi secara kuantitatif, telah
mengakibatkan kurangnya pemahaman akan pentingnya fungsi hutan bagi
kesejahteraan manusia secara lengkap dan mendalam (Darusman 2002).
Nilai ekonomi jasa lingkungan pada wilayah KPHP Model Kerinci
diestimasi dengan menggunakan pendekatan analisis Willingness To Pay (WTP).
Pendekatan WTP ini dilakukan dengan mewawancarai 60 responden yang tinggal
di sekitar KPHP Model Kerinci dimana mereka diminta pendapatnya tentang
kesediaan untuk melakukan pembayaran atas manfaat dari jasa lingkungan yang
dirasakan oleh masyarakat terhadap keberadaan hutan pada KPHP Model Kerinci.
Manfaat dari jasa lingkungan yang dimaksud seperti pengaturan tata air, penyerap
karbon, pencegah erosi dan longsor, pencegah banjir, pengatur iklim dan
ekowisata.
Berdasarkan hasil wawancara, dari 60 responden yang diwawancarai yang
merupakan petani dan bukan petani, semuanya bersedia membayar untuk tetap
memperoleh manfaat jasa lingkungan dari keberadaan sumberdaya hutan KPHP
Model Kerinci, karena selama ini mereka memang merasakan manfaat dari
keberadaan hutan, seperti ketersediaan air untuk keperluan rumah tangga, juga
untuk pengairan lahan pertanian dan perkebunan, kesejukan udara, sebagai tempat
wisata alam dan manfaat jasa lingkungan lainnya. Distribusi nilai WTP
masyarakat dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Sebaran Nilai WTP Manfaat Jasa Lingkungan KPHP Model Kerinci
Tabel 9 Nilai Ekonomi Total Sumber Daya Hutan pada KPHP Model Kerinci
Dari hasil analisis Nilai Ekonomi Total pada KPHP Model Kerinci dapat
disimpulkan bahwa Keberadaan sumber daya hutan pada wilayah KPHP Model
Kerinci saat ini berpotensi berperan dalam pengembangan wilayah Kabupaten
Kerinci. Hal ini terlihat dari nilai ekonomi total sumber daya hutan KPHP Model
Kerinci sebesar Rp. 337 milyar/tahun, artinya berpotensi menyumbang sebesar
8,38 % terhadap PDRB Kabupaten Kerinci. Potensi kontribusi sebesar 8,38%
tersebut dianggap masih dalam bentuk PDRB Hijau karena di dalamnya terdapat
nilai jasa lingkungan yang selama ini tidak diperhitungkan dalam PDRB (PDRB
Coklat) Kabupaten Kerinci. Nilai yang diperhitungkan dalam PDRB Coklat
Kabupaten Kerinci adalah nilai dari komoditas kehutanan seperti kayu, getah,
rotan, bambu dan sebagainya yang dalam penelitian ini diambil dari nilai ekonomi
kayu dan nilai ekonomi agroforestri. Oleh karena itu, dari nilai ekonomi total
sebesar Rp. 337 milyar/tahun tersebut yang berpotensi menyumbang terhadap
PDRB tercatat (PDRB Coklat) adalah sebesar Rp.303 milyar/tahun ( nilai
ekonomi kayu dan nilai ekonomi agroforestri) atau sekitar 7,51%. Hal ini jauh
lebih besar dibandingkan dengan kontribusi sub sektor kehutanan terhadap PDRB
Kabupaten Kerinci tahun 2012 yang tercatat (PDRB Coklat) sebesar Rp. 1,7
Milyar atau sebesar 0,04% dari total PDRB Kabupaten Kerinci Rp. 4.03 Triliun.
33
Stakeholders yang terlibat dalam KPHP Model Kerinci secara umum dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu (1) stakeholders primer yang terdiri dari
masyarakat, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kerinci dan Pemerintah
Pusat (Kementerian Kehutanan); (2) stakeholders sekunder yang terdiri dari
Bappeda Kabupaten Kerinci, Dinas Pertanian Kabupaten Kerinci, Pemerintah
Pusat ( Kementerian Kehutanan), Balai Besar Taman Nasional Kerinci Seblat
(BBTNKS), Akademisi (Universitas Jambi) dan LSM pemerhati lingkungan.
Kepentingan, pengaruh dan peluang partisipasi stakeholders dalam pengelolaan
KPHP Model Kerinci disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10 (Lanjutan)
Saat ini kelembagaan KPHP Model Kerinci masih berupa Unit Pelaksana
Teknis Dinas (UPTD) di bawah Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten
Kerinci. Sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 61 tahun 2010
tentang Pedoman organisasi dan tata kerja KPHP dan KPHL di daerah bahwa
bentuk organisasi KPH adalah berupa satuan kerja perangkat daerah (SKPD).
Struktur Organisasi UPTD KPHP Model Kerinci berdasarkan Peraturan
Bupati Kerinci Nomor 14 Tahun 2013 seperti pada Gambar 6.
35
Kepala Dinas
Kepala UPTD
(Kepala KPHP)
Sub Bagian
Tata Usaha
Kelompok
Jabtan
Fungsional
Tabel 11 (Lanjutan)
Resort 1
Resort 1 merupakan gabungan dari lokasi KPHP Model Kerinci yang
berada di Kecamatan Gunung Tujuh, Kecamatan Kayu Aro, dan Kecamatan Kayu
Aro Barat dengan luas resort diperkirakan sekitar 4.000 Ha. Jenis Penutupan
lahan yang dominan pada resort ini adalah lahan pertanian dan perkebunan. Jenis
penutupan lahan lainnya pada resort adalah tubuh air, penutupan hutan primer,
hutan sekunder dan semak belukar. Oleh karena jenis penutupan lahan yang
dominan pada resort ini adalah lahan pertanian dan perkebunan, maka potensi
Pemanfaatan lahan pada resort 1 ini diarahkan untuk pengembangan agroforestri
kayu manis.
Resort 2
Resort 2 merupakan gabungan dari lokasi KPHP Model Kerinci yang
berada di Kecamatan Gunung Kerinci dan Kecamatan Siulak dengan luasan
diperkirakan sekitar 7.500 Ha. Resort ini merupakan resort paling luas
dibandingkan dengan resort lainnya. Jenis Penutupan lahan yang dominan hampir
sama dengan resort 1 yaitu lahan pertanian dan perkebunan. Penutupan lahan lain
adalah hutan primer, hutan sekunder dan semak belukar. Oleh karena jenis
penutupan lahan pada resort ini yang dominan adalah berupa lahan pertanian dan
37
Resort 3
Resort 3 merupakan gabungan dari lokasi KPHP Model Kerinci yang
berada di Kecamatan Siulak Mukai, Kecamatan Air Hangat dan Kecamatan Air
Hangat Timur dengan luasan diperkirakan sekitar 7.300 Ha. Jenis Penutupan
lahan yang dominan hampir sama dengan resort 1 dan 2 yaitu lahan pertanian dan
perkebunan. Penutupan lahan lain adalah hutan primer, hutan sekunder, semak
belukar dan lahan terbuka. Pemanfaatan lahan pada resort ini diarahkan untuk
pengembangan agroforestri kayu manis
Resort 4
Resort 4 merupakan gabungan dari lokasi KPHP Model Kerinci yang
berada di Kecamatan Sitinjau Laut dan Kecamatan Keliling Danau dan
Kecamatan Siulak dengan luasan diperkirakan sekitar 3.500 Ha. Resort ini
merupakan resort yang memiliki luasan yang paling kecil di antara resort-resort
lainnya. Jenis Penutupan lahan yang dominan yaitu lahan pertanian dan
perkebunan. Penutupan lahan lain adalah hutan primer, hutan sekunder dan
semak belukar. Pemanfaatan lahan resort ini diarahkan untuk pengembangan
agroforestri surian.
Resort 5
Resort 5 merupakan lokasi KPHP Model Kerinci yang berada di
Kecamatan Batang Merangin dengan luasan diperkirakan sekitar 4.000 Ha. Jenis
Penutupan lahan yang dominan yaitu lahan pertanian dan perkebunan. Jenis
penutupan lahan lain adalah hutan primer dan semak belukar. Resort ini
merupakan resort yang memiliki luasan hutan primer paling tinggi di antara
resort-resort lainnya. Pemanfaatan lahan diarahkan untuk perlindungan
keanekaragaman hayati.
Resort 6
Resort 6 merupakan gabungan dari lokasi KPHP Model Kerinci yang
berada di Kecamatan Bukit Kerman dan Kecamatan Gunung Raya dengan luasan
diperkirakan sekitar 7.000 Ha. Jenis Penutupan lahan yang dominan hampir sama
dengan resort-resort lainnya yaitu berupa lahan pertanian dan perkebunan.
Penutupan lahan lain adalah hutan primer, hutan sekunder dan semak belukar.
Pemanfaatan lahan diarahkan untuk pengembangan agroforestri surian.
Dengan adanya arahan pembentukan resort-resort pengelolaan KPHP Model
Kerinci ini, diharapkan dapat mempermudah dalam pengawasan wilayah KPHP
karena akan terdapat petugas-petugas yang langsung berada di lapangan yang
akan mengawasi wilayah KPHP, sehingga dapat mengurangi berbagai bentuk
gangguan terhadap wilayah KPHP Model Kerinci, seperti perambahan,
pembalakan liar, konflik tata batas, pendudukan kawasan hutan oleh pihak yang
tidak bertanggung jawab, dan sebagainya.
Model pengembangan kelembagaan KPHP Model Kerinci dengan
pembentukan beberapa resort secara skematis dapat dilihat pada Gambar 7.
38
Kepala KPH
Kelompok
Sub Bagian
Jabatan
Tata Usaha
Fungsional
Resort 1 Resort 4
Kec. Gunung Tujuh Kec. Sitinjau Laut
Kec. Kayu Aro Barat Kec. Keliling Danau
Kec. Kayu Aro
Resort 2 Resort 5
Kec. Gunung Kerinci Kec. Bukit Kerman
Kec. Siulak Kec. Gunung Raya
Resort 3
Kec. Siulak Mukai Resort 6
Kec. Batang Merangin
Kec. Air Hangat
Kec. Air Hangat Timur
Kesiapan daerah yang dimaksud disini adalah kesiapan dari para pihak yang
tertarik dengan keberadaan KPHP Model Kerinci yang kemungkinan mendukung
atau bertentangan/berlawanan dengan keberadaan KPHP Model Kerinci. Para
pihak yang dimaksud adalah Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kerinci,
Bappeda Kabupaten Kerinci, Masyarakat sekitar lokasi KPHP Model Kerinci,
para pemerhati lingkungan dan kehutanan (LSM/akademisi), Dinas Kehutanan
Provinsi Jambi, Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XIII Pangkal Pinang,
BP2HP wilayah IV Jambi.
Analisis kesiapan daerah dalam pelaksanaan KPHP Model Kerinci
didasarkan pada persepsi para pihak yang terlibat. Struktur hirarki yang dibangun
pada AHP dan hasil analisis dirumuskan dari persepsi para pihak yang dapat
dilihat pada Gambar 8.
39
Kesiapan Daerah
dalam Pembangunan KPHP Model Kerinci
Penyusunan Peraturan
Sosialisasi
Rencana Perundangan APBN (0,55)
(0,44)
Pengelolaan Nasional (0,74)
(0,71)
Survei dan
Penyusunan Perda/Perbup
APBD (0,35) Pemetaan
(0,17)
Rencana Bisnis (0,42)
(0,14)
Perdes/Hukum Penelitian dan
Penyusunan Donor (0,10) Pengembangan
Rencana Adat (0,09)
(0,14)
Anggaran
(0,15)
Gambar 8 Struktur Hirarki dan Bobot Kesiapan Daerah dalam
Pembangunan KPHP Model Kerinci
Perencanaan
Pembangunan KPHP Model Kerinci harus diselenggarakan melalui
dukungan perencanaan yang baik, komprehensif dan melibatkan para pihak. Dari
hasil persepsi para pihak diketahui bahwa Rencana Pengelolaan KPHP Model
Kerinci telah disusun namun belum disahkan, rencana bisnis KPHP Model
Kerinci belum disusun, Rencana Anggaran Kegiatan KPHP Model Kerinci tahun
2015 sudah ada dan sudah disahkan.
Dukungan Regulasi
Dukungan regulasi dipilih sebagai prioritas pertama karena KPHP Model
Kerinci merupakan hutan milik negara yang pengelolaan dan pemanfaatannya
harus mengikuti ketentuan hukum yang berlaku. Dukungan regulasi merupakan
pijakan dasar dan pedoman dalam melakukan pembangunan KPHP Model Kerinci.
Kesiapan daerah terkait dengan dukungan regulasi saat ini dapat dilihat dari
persepsi para pihak di antaranya : (1) Dukungan Peraturan Perundangan Nasional
terkait KPH sudah ada namun belum memadai; (2) Peraturan Bupati terkait
KPHP Model Kerinci sudah ada, namun Peraturan Daerah belum ada; (3)
Beberapa daerah di Kabupaten Kerinci yang berbatasan langsung dengan lokasi
KPHP Model Kerinci tidak memiliki Peraturan Desa/Hukum Adat terkait
pemanfaatan dan pengelolaan hutan.
Pendanaan
Pembangunan KPHP Model Kerinci harus didukung dengan dana yang
memadai agar semua kegiatan dapat terealisasi. Alokasi dana untuk
pembangunan KPHP Model Kerinci sebagian besar bersumber dari APBN
40
(sekitar 70%), alokasi dana dari APBD masih belum memadai, saat ini tersedia
juga dana dari donatur yaitu dari Flora Fauna Indonesia (FFI).
Dukungan Expertise
Dukungan expertise menjadi salah satu kriteria kesiapan daerah dalam
pembangunan KPHP Model Kerinci, karena menurut pendapat para pakar bahwa
dukungan expertise sangat penting untuk membantu proses pembangunan KPHP
Model Kerinci. Dukungan expertise yang dimaksud disini adalah dukungan
berupa tenaga ahli yang diperbantukan dari para pihak untuk proses pelaksanaan
pembangunan KPHP Model Kerinci.
Sosialisasi pembangunan KPHP Model Kerinci belum dilakukan kepada
seluruh instansi pemerintah dan non pemerintah terkait di Kerinci, survei dan
pemetaan sudah pernah dilakukan di lokasi KPHP Model Kerinci, belum ada
kegiatan penelitian dan pengembangan terkait KPHP Model Kerinci.
Berdasrkan persepsi dari para pihak, Adapun bobot dan nilai Kesiapan
Daerah dalam Pembangunan KPHP Model Kerinci dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12 Bobot dan Nilai dari Indikator Kesiapan Daerah dalam Pembangunan
KPHP Model Kerinci
Simpulan
1. Keberadaan KPHP Model Kerinci berpotensi berperan dalam
pengembangan wilayah Kabupaten Kerinci. Hal ini ditunjukkan dari Nilai
Ekonomi Total Sumberdaya Hutan pada Wilayah KPHP Model Kerinci
sebesar Rp. 337 milyar/tahun. Dari nilai tersebut, yang berpotensi
menyumbang terhadap PDRB tercatat (PDRB Coklat) adalah dari nilai
ekonomi kayu dan nilai ekonomi agroforestri sebesar Rp.303 milyar/tahun
atau sekitar 7,51%.
2. Untuk dapat merealisasikan nilai sumberdaya hutan pada simpulan 1, maka
dibutuhkan kelembagaan yang ideal yang disesuaikan dengan kebutuhan
daerah. Model Kelembagaan KPHP Model Kerinci perlu dikembangkan
dengan pembentukan resort-resort pengelolaan pada beberapa kecamatan.
42
Saran
1. Dibutuhkan suatu perencanaan dengan pola partisipatif, dimana dalam
proses pengambilan keputusan melibatkan berbagai stakeholder.
2. Pengelolaan KPHP Model Kerinci sebaiknya diselenggarakan dengan
manajemen kolaboratif yaitu pengelolaan secara bersama dan sinergis oleh
para pihak atas dasar kesepahaman dan kesepakatan bersama sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlaku, sehingga dapat meningkatkan
efektifitas pengelolaan KPHP Model Kerinci.
43
DAFTAR PUSTAKA
Nama :...............................................................
Alamat :...............................................................
Petunjuk : Isi dan pilihlah salah satu jawaban dengan memberikan tanda [x] pada
jawaban yang telah tersedia
DAFTAR PERTANYAAN
A. Karakteristik Responden
5. Pekerjaan :
[a] Petani (Pemilik/Penggarap) [b] PNS [c] Pegawai Swasta
[d] Wiraswasta [e] Pensiunan PNS [f] Lainnya,..................
6. Pendapatan :
[a] < 500 ribu
[b] 500 ribu 1 juta
[c] > 1 juta
[d] Tepatnya..................
Alasan :
[a] Faktor lingkungan
[b] Faktor kedekatan dengan tempat kerja
[c] Faktor harga tanah
[d] Faktor keturunan/tanah warisan
[e] Lainnya, sebutkan .........................................................
................................................................................................................
..............................................................................................................
..............................................................................................................
47
SKENARIO
Jika manfaat jasa lingkungan dari kawasan hutan KPHP Model Kerinci ini
ingin tetap lestari dan dapat dirasakan selama mungkin, maka perlu adanya
upaya pelestarian dari masyarakat sekitar. Suatu saat nanti kualitas lingkungan
akan menurun yang dikarenakan berbagai penyebab antara lain, pemanfaatan
lingkungan yang tidak ramah lingkungan dan keterbatasan dana untuk tetap
menjaga kualitas lingkungan tetap baik. Apa Saudara/Saudari bersedia
membayar sejumlah uang untuk menjaga kualitas hutan agar tetap baik
sehingga manfaat jasa lingkungannya dapat dirasakan terus menerus?
Alasan :.............................................
Alasan :.............................................
3. Berapa besar uang (dalam rupiah/bulan) yang bersedia anda bayar agar
manfaat jasa lingkungan dapat dirasakan terus menerus?
[a] 5.000
[b] 10.000
[c] 15.000
[d] 20.000
[e] 25.000
[f] 30.000
48
Kesiapan daerah
Level 1 :
dalam pembangunan KPHP Model
Tujuan Kerinci
Penyusunan Peraturan
Rencana Perundangan APBN Sosialisasi
Pengelolaan Nasional
Level 3 :
Penyusunan Survei dan
Indikator Perda/Perbup APBD
Rencana Bisnis Pemetaan
Penyusunan
Perdes/Hukum Penilitian dan
Rencana Donor
Adat Pengembangan
Anggaran
Level 4 :
Skala Intensitas Sangat baik, baik, sedang, jelek, sangat jelek
Skala yang digunakan dalam kajian ini adalah skala perbandingan berpasangan
Saaty sebagai berikut :
Kebalikan jika untuk aktivitas i mendapat satu angka bila dibandingkan dengan
aktivitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan
dengan i
Contoh :
Faktor Faktor
A
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 B
atau
Faktor Faktor
A 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 B
51
Pendidikan :...............................................................
Instansi :...............................................................
DAFTAR PERTANYAAN
1. Perencanaan 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Dukungan
regulasi
2. Perencanaan 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Pendanaan
3. Perencanaan 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Dukungan
Expertise
4. Dukungan 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Pendanaan
regulasi
5. Dukungan 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Dukungan
regulasi Expertise
6. Pendanaan 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Dukungan
Expertise
1. Penyusunan 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Penyusunan
Rencana Rencana
Pengelolaan Bisnis
2. Penyusunan 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Penyusunan
Rencana Rencana
Pengelolaan Anggaran
3. Penyusunan 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Penyusunan
Rencana Rencana
Bisnis Anggaran
52
1. Dukungan 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Perda/Perbup
peraturan
perundangan
Nasional
2. Dukungan 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Perdes/
peraturan Hukum Adat
perundangan
Nasional
3. Perda/Perbup 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Perdes/
Hukum Adat
1. APBN 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 APBD
2. APBN 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Donor
3. APBD 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Donor
Lampiran 3 (Lanjutan)
2 Sudah ada Perbup terkait KPHP Model
Kerinci, namun Perda belum ada
1 Belum tersedia Perda maupun
Perbub
Adanya 5 Seluruh daerah di Kab. Kerinci yang
Peraturan berbatasan dengan lokasi KPHP Model
Desa/Hukum Kerinci telah memiliki Peraturan
Adat terkait Desa/Hukum Adat terkait pemanfaatan
Pemanfaatan dan pengelolaan hutan
Hutan pada 3 Baru sebagian daerah di Kab. Kerinci
Lokasi KPHP yang berbatasan dengan lokasi KPHP
Model Kerinci Model Kerinci yang memiliki Peraturan
Desa/Hukum Adat terkait pemanfaatan
dan pengelolaan hutan
1 Seluruh daerah di Kab. Kerinci yang
berbatasan langsung dengan lokasi
KPHP Model Kerinci tidak memiliki
Peraturan Desa/Hukum Adat terkait
pemanfaatan dan pengelolaan hutan
3. Pendanaan Pendanaan 5 Alokasi dana untuk pembangunan
yang KPHP Model Kerinci telah ditetapkan
bersumber dan dikucurkan serta memadai
dari APBN 4 Alokasi dana untuk pembangunan
KPHP Model Kerinci telah ditetapkan
dan dikucurkan namun belum memadai
2 Alokasi dana untuk pembangunan
KPHP Model Kerinci telah ditetapkan,
namun belum dikucurkan
1 Alokasi dana untuk pembangunan
KPHP Model Kerinci belum ditetapkan
Pendanaan 5 Alokasi dana untuk pembangunan
yang KPHP Model Kerinci telah ditetapkan
bersumber dan dikucurkan serta memadai
dari APBD 4 Alokasi dana untuk pembangunan
KPHP Model Kerinci telah ditetapkan
dan dikucurkan namun belum memadai
2 Alokasi dana untuk pembangunan
KPHP Model Kerinci telah ditetapkan
namun belum dikucurkan
1 Alokasi dana untuk pembangunan
KPHP Model Kerinci belum ditetapkan
Pendanaan 5 Alokasi dana untuk pembangunan
yang KPHP Model Kerinci telah ditetapkan
bersumber dan dikucurkan serta memadai
dari Donor 4 Alokasi dana untuk pembangunan
KPHP Model Kerinci telah ditetapkan
dan dikucurkan namun belum memadai
2 Alokasi dana untuk pembangunan
KPHP Model Kerinci telah ditetapkan,
namun belum dikucurkan
55
Lampiran 3 (Lanjutan)
1 Alokasi dana untuk pembangunan
KPHP Model Kerinci belum ditetapkan
4. Dukungan Adanya 5 Sosialisasi pembangunan KPHP Model
Expertise Tim/Tenaga Kerinci telah dilakukan kepada seluruh
Sosialisai instansi pemerintah dan non pemerintah
KPHP Model terkait di Kerinci
Kerinci 4 Sosialisasi pembangunan KPHP Model
Kerinci baru dilakukan kepada seluruh
instansi pemerintah dan non pemerintah
terkait di Kerinci
3 Sosialisasi pembangunan KPHP Model
baru dilakukan kepada seluruh instansi
pemerintah terkait di Kerinci
2 Sosialisasi pembangunan KPHP Model
Kerinci baru dilakukan kepada seluruh
instansi non pemerintah terkait di
Kerinci
1 Belum ada sosialisasi pembangunan
KPHP Model Kerinci kepada instansi
pemerintah dan non pemerintah terkait
di Kerinci
RIWAYAT HIDUP
Mika Lestaria, lahir di Desa Tanjung Pauh Mudik Kabupaten Kerinci, pada
tanggal 17 September 1982 merupakan anak kelima dari lima bersaudara
pasangan S. Kardi dan Nurdiani. Pendidikan SMA ditempuh di SMA Negeri 2
Sungai Penuh dan lulus tahun 2000. Pada tahun yang sama melanjutkan
pendidikan sarjana (S1) di Institut Pertanian Bogor pada program studi
Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan dan lulus pada tahun 2006. Pada Tahun
2009 sampai sekarang penulis bekerja pada instansi Pemerintah Kabupaten
Padang Pariaman tepatnya di Dinas Pertanian Peternakan dan Kehutanan
Kabupaten Padang Pariaman. Pada tahun 2013 mendapatkan beasiswa dari
Pusbindiklatren Bappenas untuk melanjutkan sekolah pascasarjana (S2) pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor.