Anda di halaman 1dari 71

ANALISIS KELEMBAGAAN DAN PERANAN

KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI (KPHP)


DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH KABUPATEN KERINCI

MIKA LESTARIA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Kelembagaan


dan Peranan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) dalam Pengembangan
Wilayah Kabupaten Kerinci adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2015

Mika Lestaria
NIM A156130254
RINGKASAN

MIKA LESTARIA. Analisis Kelembagaan dan Peranan Kesatuan Pengelolaan


Hutan Produksi (KPHP) dalam Pengembangan Wilayah Kabupaten Kerinci.
Dibimbing oleh SETIA HADI dan M. BUCE SALEH.

Kerinci merupakan daerah hulu dari Provinsi Jambi yang memiliki hutan
dataran tinggi dan memiliki potensi sebagai modal pembangunan untuk
meningkatkan perekonomian daerah. Di samping itu Kabupaten Kerinci
merupakan salah satu wilayah yang memiliki luasan hutan yang cukup tinggi,
namun dari sub sektor kehutanan hanya berkontribusi sekitar 0,04 % terhadap
PDRB Kabupaten Kerinci. Hal ini terjadi diindikasikan karena selama ini
keberadaan sumberdaya hutan di Kabupaten Kerinci belum dikelola secara
optimal, belum teridentifikasinya nilai-nilai sumberdaya hutan Kabupaten Kerinci,
serta lemahnya kelembagaan dan kebijakan pengelolaan hutan oleh Pemerintah
Kabupaten Kerinci. Pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP)
Model Kerinci adalah salah satu upaya pemerintah dalam mewujudkan
pengelolaan hutan yang efisien dan lestari.
Tujuan dari penelitian ini adalah (1) menganalisis peranan Kesatuan
Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Model Kerinci dalam pengembangan
wilayah Kabupaten Kerinci; (2) menganalisis model kelembagaan KPHP Model
Kerinci; (3) menganalisis kesiapan daerah dalam pembangunan KPHP Model
Kerinci. Penelitian dilakukan di KPHP Model Kerinci di Kabupaten Kerinci
Provinsi Jambi. Metode analisis data dilakukan dengan analisis Nilai Ekonomi
Total (NET), analisis kelembagaan, dan analisis hirarki proses (AHP).
Hasil penelitian menunujukkan bahwa Keberadaan KPHP Model Kerinci
berpotensi berperan dalam pengembangan wilayah Kabupaten Kerinci. Hal ini
ditunjukkan dari Nilai Ekonomi Total Sumberdaya Hutan pada Wilayah KPHP
Model Kerinci sebesar Rp. 337 Milyar/tahun. Dari nilai tersebut, yang berpotensi
menyumbang terhadap PDRB tercatat (PDRB Coklat) adalah dari nilai ekonomi
kayu dan nilai ekonomi agroforestri sebesar Rp.303 milyar/tahun atau sekitar
7,51%. Untuk dapat merealisasikan nilai sumber daya hutan tersebut, maka
dibutuhkan kelembagaan yang ideal sesuai dengan kebutuhan daerah. Model
Kelembagaan KPHP Model Kerinci perlu dikembangkan dengan pembentukan
resort-resort pengelolaan pada beberapa kecamatan. Ada enam resort pengelolaan
yang dibentuk berdasarkan pertimbangan luasan kawasan, kedekatan lokasi dan
potensi pemanfaatan lahan. Kabupaten Kerinci sudah siap dalam pembangunan
KPHP Model Kerinci. Hal ini terlihat dari tingkat capaian kesiapan daerah
sebesar 55,6%. Namun ada beberapa indikator yang harus dibenahi terutama
indikator pada kriteria dukungan regulasi dan perencanaan.

Kata kunci : Analisis Kelembagaan, Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi, Nilai


Ekonomi Total
SUMMARY

MIKA LESTARIA. Analysis of Institutional and the Role of Forest Production


Management Unit (KPHP) for Regional Development in Kerinci Regency.
Supervised by SETIA HADI and M BUCE SALEH.

Kerinci is an upstream area of Jambi Province with high land forest and
potentially as a capital of regional development to increase regional economic.
Kerinci is one of regency with the large forest, but sub sector of forestry
contributes only 0,04% of GDP Kerinci Regency. Its may possibly by the
weakness of forest management and policy of Kerinci Regency Government.
Forest production management unit (KPHP) Model Kerinci is one of goverment
efforts to achieve sustainable forest management.
The aims of this research were (1) to analyze the role of forest production
management unit (KPHP) Model Kerinci in the regional development of Kerinci
Regency; (2) to analyze the institutional of forest production management unit
(KPHP) Model Kerinci; (3) to analyze regions readiness for forest production
management unit (KPHP) Model Kerinci development. The study was conducted
in Kerinci Regency. Data were analyzed by total economic value (TEV),
institutional analysis, and analytical hierarchy process (AHP).
The results showed that the Forest Production Management Unit (KPHP)
Model Kerinci potentially to the role in Regional Development of Kerinci
Regency. Its showed by total economic value of natural resources of KPHP
Model Kerinci is Rp. 337 billion/year. From these value, which could potentially
contribute to the GDP is economic value of timber and agroforestry Rp. 303
billion/year or 7,51 per cent of GDP Kerinci Regency. To realize the value of the
forest resources, its required institutional ideally suited of the region. Institutional
Model of KPHP Model Kerinci need to be developed with the formation of the
resorts management in several districts. There are six resort management formed
under consideration of the extent of the area, proximity and potential land use.
Kerinci is ready in development KPHP Model Kerinci. This is evident from the
level of achievement of the region's readiness for 55.6%. However, there are some
indicators that must be addressed mainly indicators on regulatory support and
planning criteria.

Keywords: Forest Production Management Unit (KPHP), Institutional Analysis,


Total Economic Value (TEV)
Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS KELEMBAGAAN DAN PERANAN
KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI (KPHP)
DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH KABUPATEN KERINCI

MIKA LESTARIA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Omo Rusdiana, MSc
Judul Tesis : Analisis Kelembagaan dan Peranan Kesatuan Pengelolaan Hutan
Produksi (KPHP) dalam Pengembangan Wilayah Kabupaten
Kerinci
Nama : Mika Lestaria
NIM : A156130254

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Setia Hadi, MS. Dr Ir M Buce Saleh, MS.


Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Ilmu Perencanaan Wilayah

Prof Dr Ir Santun R.P. Sitorus Dr Ir Dahrul Syah, MscAgr.

Tanggal Ujian: 27 Maret 2015 Tanggal Lulus:


PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa taala atas
segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian ini adalah Analisis Kelembagaan dan Peranan Kesatuan
Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) dalam Pengembangan Wilayah Kabupaten
Kerinci yang dilaksanakan sejak bulan Mei sampai dengan November 2014.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih
sedalam-dalamnya kepada semua pihak yang telah ikut berpartisipasi dalam
proses penyusunan tesis ini, terutama kepada :
1. Ayah dan Ibu beserta seluruh keluarga atas segala kasih sayang, doa,
dukungan dan semangat yang telah diberikan selama ini.
2. Dr Ir Setia Hadi, MS dan Dr Ir M Buce Saleh, MS selaku komisi
pembimbing yang telah banyak memberikan bantuan, saran ilmiah, dorongan
dan arahan kepada penulis sejak awal hingga penyelesaian tesis ini.
3. Dr Ir Omo Rusdiana, MSc selaku dosen penguji luar komisi dan Dr Ir Untung
Sudadi, MSc selaku pemimpin ujian tesis yang telah memberikan saran dan
masukan dalam penyempurnaan tesis ini.
4. Segenap tim manajemen dan dosen pengajar Program Studi Ilmu
Perencanaan Wilayah IPB.
5. Pusbindiklatren Bappenas yang telah memberikan beasiswa kepada penulis
untuk dapat menimba ilmu di Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
Sekolah Pascasarjana IPB.
6. Pemerintah Kabupaten Padang Pariaman yang telah memberikan izin tugas
belajar di Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana
IPB.
7. Pemerintah Kabupaten Kerinci yang telah memberikan izin melaksanakan
penelitian di Kabupaten Kerinci.
8. Kepala KPH Kerinci Neneng Susanti, S.Hut, MSi yang banyak sekali
membantu selama pengumpulan data.
9. Teman-teman PWL angkatan 2013 dan semua pihak yang telah membantu
penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2015

Mika Lestaria
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR LAMPIRAN xi
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 4
Manfaat Penelitian 4
Kerangka Pemikiran Penelitian 4
2 TINJAUAN PUSTAKA 6
Konsep Pembangunan dan Pengembangan Wilayah 6
Konsep Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) 7
Hubungan KPH dengan Berbagai Elemen Terkait 10
Teori Kelembagaan 11
Teori Pemangku Kepentingan (Stakeholder) 13
Nilai Ekonomi Total Sumberdaya Alam 14
Analytical Hierarchy Process (AHP) 15
3 METODE 16
Waktu dan Lokasi Penelitian 16
Jenis dan Sumber Data 17
Metode Pengumpulan Data 18
Metode Analisis Data 18
4 KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 21
Kondisi Geografis Wilayah Kabupaten Kerinci 21
Administrasi Wilayah Kabupaten Kerinci 22
Kawasan Hutan dan Penutupan Lahan 23
Topografi dan Morfologi Wilayah 24
Geologi 24
Tanah 25
Iklim 26
Demografi 26
Aksesibilitas 27
Wilayah Daerah Aliran Sungai 27
Posisi KPHP Model Kerinci dalam Tata Ruang Wilayah dan
Pembangunan Daerah Kabupaten Kerinci 27
5 HASIL DAN PEMBAHASAN 28
Nilai Ekonomi Total Sumberdaya Hutan KPHP Model Kerinci 28
Kelembagaan KPHP Model Kerinci 33
Kesiapan Daerah dalam Pembangunan KPHP Model Kerinci 38
6 SIMPULAN DAN SARAN 41
Simpulan 41
Saran 42
DAFTAR PUSTAKA 43
LAMPIRAN 45
RIWAYAT HIDUP 57
DAFTAR TABEL

1 Luas KPHP Model Kerinci berdasarkan Fungsi Kawasan 17


2 Jenis, Sumber Data dan Teknik Analisis Data untuk setiap 17
Tujuan Penelitian
3 Skala Banding secara Berpasangan 20
4 Luas Wilayah per Kecamatan di Kabupaten Kerinci 22
5 Jenis Penutupan Lahan di KPHP Model Kerinci 23
6 Formasi Batuan Penyusun di Wilayah KPHP Model 24
Kerinci
7 Jumlah Curah Hujan, Banyaknya Hari Hujan dan 26
Kelembaban Relatif menurut Bulan di Kabupaten Kerinci
8 Sebaran Nilai WTP Manfaat Jasa Lingkungan KPHP Model 31
Kerinci
9 Nilai ekonomi Total Sumberdaya Hutan pada KPHP 32
Model Kerinci
10 Stakeholders, Kepentingan dan Tingkat Kepentingannya 33
serta Pengaruh dan Peluang Partisipasinya dalam
Pengelolaan KPHP Model Kerinci
11 Resort Pengelolaan pada KPHP Model Kerinci 35
12 Bobot dan Nilai dari Indikator Kesiapan Daerah dalam 40
Pembangunan KPHP Model Kerinci
13 Interval Tingkat Kesiapan Daerah dalam Pembangunan 40
KPHP Model Kerinci

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka Pemikiran Penelitian 5


2 Peta Kawasan Hutan Kabupaten Kerinci 16
3 Peta Penutupan Lahan KPHP Model Kerinci 23
4 Sebaran Kelas Diameter Pohon di KPHP Model Kerinci 29
5 Praktek Agroforestri yang Didominasi Kayu Manis 30
6 Struktur Organisasi KPHP Model Kerinci 35
7 Model Pengembangan Kelembagaan KPHP Model Kerinci
dengan Pembentukan Resort-resort Pengelolaan 38
8 Struktur Hirarki dan Bobot Kesiapan Daerah dalam
Pembangunan KPHP Model Kerinci 39

DAFTAR LAMPIRAN
1 Kuisioner Analisis Willingness to Pay (WTP) 45
2 Kuisioner Analisis Kesiapan Daerah dalam Pembangunan KPHP 48
Model Kerinci
3 Kriteria dan Indikator Kesiapan Daerah dalam Pembangunan 51
KPHP Model Kerinci
4 Hasil AHP Kesiapan Daerah dalam Pembangunan KPHP Model 56
Kerinci
1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pengembangan wilayah merupakan rangkaian kegiatan yang meliputi


banyak aspek yang saling berinteraksi satu sama lain. Pada dasarnya
pengembangan wilayah bertujuan agar suatu wilayah dapat berkembang menuju
tingkat perkembangan yang diinginkan yang dilaksanakan dengan cara
pemanfaatan sumberdaya yang dimiliki dengan cara optimal dan adil,
meningkatkan keserasian antar wilayah, keterpaduan antar sektor pembangunan
dalam rangka mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
Salah satu ciri suatu wilayah dikatakan berkembang adalah jika
meningkatnya perekonomian suatu wilayah. Hingga saat ini, sumberdaya alam
sangat berperan dalam meningkatkan perekonomian suatu wilayah. Salah satunya
adalah sumberdaya hutan.
Kabupaten Kerinci merupakan daerah hulu dari Provinsi Jambi yang
memiliki hutan dataran tinggi dan memiliki potensi sebagai modal pembangunan
untuk meningkatkan perekonomian daerah. Di samping itu Kabupaten Kerinci
merupakan salah satu wilayah yang memiliki luasan hutan yang cukup tinggi.
Luasan kawasan hutan di Kabupaten Kerinci tahun 2012 meliputi hutan
pelestarian alam 191.822 ha, hutan produksi 28.655 ha, hutan adat 1.820,11 ha
dan hutan hak/milik 5.000 ha (BPS Kabupaten Kerinci 2013). Dari luas hutan
yang dimiliki, seharusnya dari sub-sektor Kehutanan dapat berkontribusi lebih
besar terhadap total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten
Kerinci. Namun, sampai tahun 2012, sub sektor kehutanan hanya berkontribusi
sebesar 0,04 persen. Hal ini terjadi diindikasikan karena selama ini keberadaan
sumberdaya hutan di Kabupaten Kerinci belum dikelola secara optimal, belum
teridentifikasinya nilai-nilai sumberdaya hutan Kabupaten Kerinci, serta lemahnya
kelembagaan dan kebijakan pengelolaan hutan oleh Pemerintah Kabupaten
Kerinci.
Sub-sektor Kehutanan di Kabupaten Kerinci yang dimaksud disini
mencakup kegiatan penebangan segala jenis kayu serta pengambilan daun-daunan,
getah-getahan dan akar-akaran, termasuk juga kegiatan perburuan. Komoditi yang
dicakup meliputi: kayu gelondongan (baik yang berasal dari hutan rimba maupun
hutan budidaya), kayu bakar, rotan, arang, bambu, terpentin, gondorukem, kopal,
menjangan, babi hutan, serta hasil hutan lainnya. (BPS Kabupaten Kerinci 2013)
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Kerinci (BPS
Kabupaten Kerinci 2013), Sektor pertanian memberikan kontribusi terbesar
terhadap total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Kerinci.
PDRB Kabupaten Kerinci atas dasar harga berlaku untuk sektor pertanian pada
tahun 2012 menyumbang sebesar Rp.2.701,98 milyar. Kontribusi terbesar sektor
ini disumbangkan oleh sub sektor tanaman bahan makanan (Tabama) yaitu
sebesar 34,16 persen terhadap total PDRB Kabupaten Kerinci.
Sejak diterapkannya sistem pemerintahan otonomi daerah, pembangunan
dan pengelolaan hutan menghadapi berbagai tantangan baru. Lahirnya Undang-
undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang kurang mengikutsertakan
2

pemerintah daerah dalam pengurusan hutan ditanggapi berbagai pihak sebagai


tidak sejalan dengan penyelenggaraan otonomi daerah. Pemerintah pusat dianggap
mendominasi pengambilan keputusan dalam pengelolaan hutan. Namun, di sisi
lain ketika kabupaten beserta masyarakatnya diberikan kesempatan yang lebih
luas untuk mengelola hutan yang ada di wilayahnya, di beberapa daerah terjadi
ledakan pemberian izin konsesi skala kecil yang mengakibatkan meningkatnya
laju kerusakan hutan.
Dalam melaksanakan misi pengurusan hutan di era otonomi daerah,
pemerintah pusat meluncurkan berbagai kebijakan yang diharapkan dapat
mendorong terwujudnya kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat, serta
sekaligus mengakomodir tuntutan dan kepentingan pemerintah daerah. Salah satu
kebijakan yang sedang dikembangkan adalah apa yang tertuang dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 yakni Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH).
Badan Planologi Departemen Kehutanan (2006) menyatakan bahwa pembentukan
KPH bertujuan untuk menyediakan wadah bagi terselenggaranya kegiatan
pengelolaan hutan secara efisien dan lestari.
Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) merupakan wujud nyata bentuk
organisasi pengelolaan hutan yang benar-benar menjalankan fungsi
menajemen/pengelolaan kawasan hutan pada tingkat tapak. Pembentukan KPH
telah menjadi amanat peraturan perundangan bidang kehutanan mengenai
pemantapan kawasan hutan (sesuai dengan amanat UU No. 41 tahun 1999 tentang
Kehutanan) tertuang dalam penyelenggaraan pengurusan hutan khususnya di
Perencanaan Kehutanan. Sesuai peraturan perundangan, perencanaan kehutanan
terdiri atas: Inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan
kawasan hutan, pembentukan wilayah pengelolaan hutan dan perencanaan hutan.
Rangkaian proses pemantapan kawasan hutan tersebut salah satu yang terpenting
adalah terbentuknya wilayah pengelolaan hutan dan institusi pengelolanya, yang
merupakan Organisasi Tingkat Tapak (teritory) dalam wujud Kesatuan
Pengelolaan Hutan (KPH).
Peran Strategis Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dalam mendukung
penyelenggaraan pembangunan kehutanan diwujudkan dalam bentuk optimalisasi
akses masyarakat terhadap hutan serta merupakan salah satu jalan bagi resolusi
konflik. Keberadaan KPH di tingkat lapangan yang dekat masyarakat, akan
memudahkan pemahaman permasalahan riil di tingkat lapangan, untuk sekaligus
memposisikan perannya dalam penetapan bentuk akses yang tepat bagi
masyarakat serta saran solusi konflik. Selain itu KPH Menjadi salah satu wujud
nyata bentuk desentralisasi sektor kehutanan, karena organisasi KPHL dan KPHP
adalah organisasi perangkat daerah.
Menurut Kartodihardjo (2008) organisasi KPH ditetapkan dalam tiga fase
yaitu fase pertumbuhan, fase pengembangan dan fase pemantapan. Fase
pertumbuhan merupakan suatu proses menuju pembentukan organisasi KPH, fase
ini diharapkan berjalan sampai akhir tahun 2009, dimana telah terbentuk minimal
satu KPH di setiap propinsi. Bagi setiap KPH yang telah terbentuk segera
memasuki fase berikutnya yaitu fase pengembangan, fase pengembangan adalah
fase dimana KPH telah terbentuk, dimana perhatian pembangunan KPH diarahkan
pada struktur dan fungsi organisasi, jumlah dan kualifikasi sumberdaya manusia,
manajemen dan kepemimpinan, serta ketersediaan sumberdaya lainnya.
Sedangkan fase pemantapan adalah fase dimana Pemerintah diharapkan telah
3

mempunyai perangkat evaluasi kinerja KPH, baik kriteria dan indikator berbasis
kinerja, sistem evaluasi, maupun mekanisme perbaikan kinerja KPH.
Membangun unit pengelolaan dalam bentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan
(KPH) pada tingkat tapak merupakan salah satu hal mendasar untuk mewujudkan
pelaksanaan tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah dalam mengelola
sumberdaya hutan. Unit pengelolaan (KPH) tersebut perlu didesain sedemikian
rupa sesuai situasi lapangan sehingga pembangunan KPH dapat menjadi kondisi
pemungkin (enabling conditions) dicapainya pengelolaan hutan secara
berkelanjutan.
Data dari Badan Planologi Kementerian Kehutanan (2013), hingga akhir
tahun 2014, Kementerian Kehutanan menargetkan penyelesaian 120 KPH
(Kesatuan Pengelolaan Hutan) model di beberapa wilayah di Indonesia. KPH
model merupakan bentuk awal (embrio) dari KPH yang selanjutnya secara
bertahap dapat berkembang menjadi KPH. Salah satu KPH Model yang menjadi
target adalah KPH Model di Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi. KPH Model
Kerinci telah ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.
SK.960/Menhut-II/2013 tentang Penetapan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan
Produksi Model Kerinci (Unit I) yang terletak di Kabupaten Kerinci, Provinsi
Jambi seluas 34.250 (tiga puluh empat ribu dua ratus lima puluh) hektar.
Konsep KPH ini terlihat cukup menjanjikan terwujudnya pengelolaan hutan
secara lebih lestari di masa yang akan datang. Namun, jika dilihat lebih jauh dan
dikaitkan dengan peran dan keterlibatan pemerintah daerah dalam pengelolaan
hutan serta peranan KPHP Model Kerinci dalam pengembangan wilayah, masih
cukup banyak pertanyaan yang belum dapat dijawab secara tegas. Misalnya
menyangkut peranan keberadaan KPHP Model Kerinci dalam pengembangan
wilayah Kabupaten Kerinci, kelembagaan serta kesiapan daerah dalam
pembangunan KPHP Model Kerinci.

Perumusan Masalah

Dalam upaya membantu pengelolaan hutan pada tingkat tapak maka


pemerintah mengeluarkan kebijakan mengenai pembentukan Kesatuan
Pengelolaan Hutan (KPH) yang berfungsi sebagai lembaga pengelola kawasan
hutan produksi, hutan lindung, maupun hutan konservasi. Kebijakan tentang KPH
merupakan komitmen pemerintah yang didukung oleh seluruh stakeholder untuk
mewujudkan pengelolaan hutan yang efisien dan lestari. Pengelolaan hutan lestari
dapat terwujud jika adanya keseimbangan ekologis, ekonomis dan sosial untuk
memenuhi kebutuhan saat ini dan kebutuhan generasi mendatang. Untuk
mengkaji model kelembagaan KPHP Model Kerinci dan peranannya dalam
pengembangan wilayah Kabupaten Kerinci, maka pertanyaan penelitian yang
diajukan peneliti adalah :
1. Bagaimanakah peranan KPHP Model Kerinci dalam pengembangan wilayah
Kabupaten Kerinci?
2. Bagaimana model kelembagaan KPHP Model Kerinci yang ideal sesuai
dengan kebutuhan daerah?
3. Bagaimanakah kesiapan daerah dalam pembangunan KPHP Model Kerinci?
4

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini secara khusus terdiri dari :


1. Mengkaji peranan KPHP Model Kerinci dalam pengembangan wilayah
Kabupaten Kerinci
2. Menganalisis model kelembagaan KPHP Model Kerinci
3. Menganalisis kesiapan daerah dalam pembangunan KPHP Model Kerinci

Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan sebagai salah satu referensi dalam
penelitian terkait Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP). Selain itu dapat
menjadi sumber informasi bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Kerinci dalam
rangka pembangunan di sektor kehutanan.

Kerangka Pemikiran

Pengembangan wilayah Kabupaten Kerinci tidak terlepas dari peranan


multisektor yang berkontribusi terhadap PDRB Kabupaten Kerinci, salah satunya
adalah sub sektor kehutanan. Hingga saat ini, sub sektor kehutanan hanya
menyumbang 0,04 persen terdahap PDRB Kabupaten Kerinci. Apabila dilihat dari
luasan kawasan hutan di Kabupaten Kerinci meliputi hutan pelestarian alam
191.822 ha, hutan produksi 28.655 ha, hutan adat 1.820,11 ha dan hutan hak/milik
5.000 ha, seharusnya sub sektor kehutanan dapat memberikan sumbangan yang
lebih besar terhadap PDRB. Dari data tersebut penulis melihat bahwa
pengelolaan hutan di Kabupaten Kerinci masih belum optimal. Untuk itu
diperlukan suatu pengelolaan dan pembangunan kehutanan yang efektif dan
efisien, sehingga sub sektor kehutanan dapat berkontribusi terhadap PDRB sesuai
dengan potensi dan luasan kawasan hutan yang ada di Kabupaten Kerinci serta
dapat mendukung pengembangan wilayah Kabupaten Kerinci.
Pembangunan kehutanan di Kabupaten Kerinci merupakan bagian
pembangunan daerah yang disusun dengan strategi manajemen mulai dari
kegiatan perencanaan pengelolaan penelitian, pengembangan hingga
pengawasan. Program tersebut menitikberatkan pada upaya mempertahankan
kondisi sumber daya hutan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan
peningkatan aktivitas ekonomi masyarakat sekitar hutan.
Pembentukan KPH merupakan upaya pemerintah untuk mewujudkan
pengelolaan hutan berkelanjutan dipandang dari aspek ekonomi, ekologi dan
sosial budaya. Pembangunan KPHP Model Kerinci diharapkan dapat berperan
dalam pengembangan wilayah Kabupaten Kerinci
Berdasarkan tujuan penelitian, maka penelitian ini diarahkan kepada 3 (tiga)
komponen yaitu : (1) Peranan KPHP Model Kerinci dalam pengembangan
wilayah Kabupaten Kerinci, yang dilakukan dengan pendekatan nilai ekonomi
total Sumberdaya Hutan pada wilayah KPHP Model Kerinci, sehingga dapat
diketahui nilai sumberdaya hutan yang ada di wilayah KPHP Model yang
berpotensi berkontribusi terhadap PDRB Kabupaten Kerinci. ; (2) Aspek
kelembagaan dengan analisis deskriptif untuk mengetahui peran para pihak terkait
dengan proses pembangunan KPHP Model Kerinci dan pengembangan model
5

kelembagaan KPHP Model Kerinci; (3) Kesiapan daerah dalam pembangunan


KPHP Model Kerinci, dengan menggunakan Analithycal Hierarchy Process
(AHP). Kesiapan daerah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kesiapan
dari pihak-pihak yang tertarik dengan keberadaan KPHP Model Kerinci baik yang
mendukung maupun tidak mendukung pembangunan KPHP Model Kerinci. Alur
kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Luas dan Potensi Sumberdaya Hutan


Kab. Kerinci

Kontribusi Sektor Kehutanan terhadap


Pengembangan wilayah
Kab. Kerinci

Pengelolaan hutan di tingkat tapak

Pembentukan KPHP Model Kerinci

Peranan KPHP Model Kerinci dalam Total


Pengembangan Wilayah Kab. Kerinci Economic
Value

Model Kelembagaan
KPHP Model Kerinci Deskriptif

Kesiapan Daerah dalam Pembangunan KPHP


Model Kerinci AHP

Pengelolaan Hutan Efisien dan Lestari

Pengembangan Wilayah Kab. Kerinci

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian


6

2 TINJAUAN PUSTAKA

Konsep Pembangunan dan Pengembangan Wilayah

Pengembangan wilayah pada dasarnya mempunyai tujuan agar wilayah itu


berkembang menuju tingkat perkembangan yang diinginkan. Pengembangan
wilayah dilaksanakan melalui optimasi pemanfaatan sumberdaya yang dimilikinya
secara harmonis, serasi dan terpadu melalui pendekatan yang bersifat
komprehensif mencakup aspek fisik, ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan
hidup untuk pembangunan berkelanjutan. Prinsip ini juga sering disebut dengan
pembangunan berkelanjutan dengan basis pendekatan penataan ruang wilayah.
Pembangunan berkelanjutan dengan prinsip seperti ini harus dijadikan tujuan
utama bagi pembuat keputusan kebijakan publik untuk setiap tingkatan
pemerintahan yang memang berbeda tipenya (Francis 2001 dalam Djakapermana
2010).
Rustiadi et al. (2011) mengemukakan bahwa secara fisiologis suatu proses
pembangunan dapat diartikan sebagai upaya yang sistematik dan
berkesinambungan untuk menciptakan keadaan dapat menyediakan berbagai
alternatif yang sah bagi aspirasi setiap warga yang paling humanistik. Di
Indonesia dan negara-negara berkembang pada umumnya arti dari kata
pembangunan cenderung berkonotasi fisik artinya malakukan kegiatan-kegiatan
pembangunan yang bersifat fisik dan bahkan seringkali secara lebih sempit
pembangunan diartikan sebagai pembangunan infrastruktur dan fasilitas fisik.
Pembangunan dapat dikonseptualisasikan sebagai suatu proses perbaikan yang
berkesinambungan atas suatu masyarakat atau suatu sistem sosial secara
keseluruhan menuju kehidupan yang lebih baik atau yang lebih manusiawi, dan
pembangunan adalah mengadakan atau membuat atau mengatur sesuatu yang
belum ada.
Todaro (2000) dalam Rustiadi et al. (2011) berpendapat bahwa paling tidak
pembangunan harus memenuhi tiga komponen dasar yang dijadikan sebagai basis
konseptual dan pedoman praktis dalam memahami pembangunan yang paling
hakiki yaitu kecukupan (sustainance) memenuhi kebutuhan pokok, meningkatkan
rasa harga diri atau jati diri (self-esteem), serta kebebasan (freedom) untuk
memilih. Pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional
yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap
masyarakat dan institusi-institusi nasional disamping tetap mengejar akselerasi
pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan serta pengentasan
kemiskinan. Sementara itu, Anwar (2001) dalam Rustiadi et al. (2011)
mengarahkan pembangunan wilayah pada terjadinya pemerataan (Equity) yang
mendukung pertumbuhan ekonomi (Efficiency) dan keberlanjutan (Sustainability).
Pembangunan dan pengembangan wilayah merupakan pembangunan suatu
wilayah yang mencakup perubahan mendasar masyarakat suatu wilayah dengan
pertimbangan pemerataan, pertumbuhan ekonomi suatu wilayah dan
pembangunan berkelanjutan. Rustiadi et al. (2011) pengembangan wilayah dapat
dianggap intervensi positif terhadap pembangunan di suatu wilayah, dimana
pengembangan wilayah tersebut membutuhkan strategi yang efektif dalam
percepatan pembangunan. Rustiadi et al. (2011) strategi pengembangan wilayah
7

dapat digolongkan dalam dua kategori strategi yaitu Strategy Demand Side dan
Strategy Supply Side.

Konsep Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)

Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) adalah unit pengelolaan hutan terkecil


sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan
lestari. KPH Model adalah wujud awal dari KPH yang secara bertahap
dikembangkan menuju situasi dan kondisi aktual KPH di tingkat tapak, yang
diindikasikan oleh suatu kemampuan menyerap tenaga kerja, investasi,
memproduksi barang dan jasa kehutanan yang melembaga dalam sistem
pengelolaan hutan secara efisien dan lestari berupa kesatuan pengelolaan hutan
lindung (KPHL), kesatuan pengelolaan hutan produksi (KPHP), dan kesatuan
pengelolaan hutan konservasi (KPHK) (Ditjenplan 2011). Menurut Peraturan
Pemerintah nomor 6 tahun 2007, Kesatuan Pengelolaan Hutan selanjutnya
disingkat KPH, adalah wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan
peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari.
Konsep KPH sebenarnya mulai diwacanakan sejak diberlakukannya UU
nomor 5 Tahun 1967, yang masa itu diartikan sebagai Kesatuan Pemangkuan
Hutan, sebagaimana diterapkan dalam pengelolaan hutan oleh Perum Perhutani.
Dalam UU nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, konsep ini kembali
dimunculkan yang kemudian diikuti dengan aturan pedoman pernbentukannya
seperti tertuang beberapa peraturan perundang-undangan. Sebelumnya pada awal
tahun 1990-an, keluar beberapa peraturan menteri yang mengatur Kesatuan
Pengusahaan Hutan Produksi atau KPHP yang konsepnya adalah juga
pengelolaan hutan lestari.
Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 12
disebutkan bahwa perencanaan kehutanan meliputi: inventarisasi hutan,
pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan hutan, pembentukan wilayah
pengelolaan hutan, dan penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah
pengelolaan hutan tersebut dilakukan pada tingkat propinsi, kabupaten/kota serta
pada tingkat unit pengelolaan. Unit pengelolaan adalah kesatuan pengelolaan
hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara
efisien dan lestari, antara lain kesatuan pengelolaan hutan lindung (KPHL),
kesatuan pengelolaan hutan produksi (KPHP), dan kesatuan pengelolaan hutan
konservasi (KPHK) (Kartodihardjo et. al 2011).
Pembangunan KPH merupakan upaya untuk mewujudkan kondisi
pemungkin (enabling condition) dicapainya pengelolaan sumberdaya hutan secara
berkelanjutan, oleh karena itu perlu diupayakan percepatan pembentukan KPH di
tingkat tapak dengan kejelasan tujuan, wilayah kelola dan institusi pengelolanya,
sehingga laju degrdasi hutan dapat diperkecil (Dephut 2006). Dengan struktur
aturan main ini, maka pada dasarnya pemerintah memperoleh mandat sebagai
pemilik sumberdaya. Demi kelestarian aset yang dikuasai maka perlu
menghadirkan pengelola di tingkat tapak (on site) agar situasi interdependency
para aktor dalam pengelolaan sumberdaya hutan dapat terkendali mengarah
kepada tujuan-tujuan bersama yang disepakati. Dengan demikian, kehadiran KPH
pada tingkat tapak dimaksudkan sebagai upaya penguatan sistem pengurusan
hutan yang dikuasai negara baik pada level nasional, propinsi dan kabupaten/kota.
8

Tekad untuk membangun KPH tersebut telah dimandatkan di dalam UU nomor 41


tahun 1999 tentang kehutanan, yang Iebih lanjut ditegaskan kembali di dalam PP
nomor 44 tahun 2004 tentang perencanaan kehutanan. Untuk melaksanakan
pengembangan KPH maka amanat UU 41/1999 tersebut ditindaklanjuti dengan di
keluarkannya PP 6/2007 yang selanjutnya direvisi menjadi PP 3/2008. Sebagai
implementasi pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan maka melalui
Keputusan Menteri Kehutanan nomor 230/Kpts-II/2003 tentang pembentukan
KPHP secara teknis diatur melalui keputusan Kepala Badan Planologi Kehutanan
nomor SK. I 4/VI1-PW/2004 tentang pedoman pelaksanaan KPHP dan untuk
pembangunan KPH model telah diatur sesuai Peraturan Kepala Badan Planologi
Kehutanan nomor SK.80/VI1-PW/2006.
Sesuai dengan amanat UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999 Pasal 17 bahwa:
(1) Pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilaksanakan untuk tingkat Provinsi,
Kabupaten/kota, dan unit pengelolaan. (2) Pembentukan wilayah penglolaan hutan
tingkat unit pengelolaan dilaksanakan dengan mempertimbangkan karakteristik
lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi daerah aliran sungai, sosial budaya,
ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat hukum adat
dan batas administrasi pemerintahan. Dalam penjelasan Pasal 17 ini, wilayah
pengelolaan hutan tingkat provinsi adalah seluruh hutan dalam wilayah provinsi
yang dapat dikelola secara lestari, sedangkan wilayah pengelolaan hutan tingkat
Kabupaten/Kota adalah seluruh hutan dalam wilayah Kabupaten/Kota yang dapat
dikelola secara lestari. Yang dimaksud dengan unit pengelolaan adalah kesatuan
pengelolaan hutan (KPH) terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang
dapat dikelola secara efesien dan lestari.
Kegiatan pembangunan KPH secara nasional telah dimulai sejak tahun 2006
yang ditandai dengan Pengembangan Kebijakan Pembangunan KPH yang terdiri
dari empat kegiatan; Penyiapan Pedoman Pembangunan KPH, Formulasi
Kebijakan SDM tingkat Nasional, Penyusunan Kurikulum pembekalan/lokali
personal Pelaksana KPH, dan Formulasi Kebijakan SDM Tingkat Provinsi,
(Baplan 2007).
KPH berperan sebagai penyelenggara pengelolaan hutan di lapangan atau di
tingkat tapak yang harus menjamin bahwa pengelolaan hutan dilakukan secara
lestari sesuai dengan fungsinya. Keberadaan KPH menjadi kebutuhan Pemerintah
dan Pemerintah Daerah sebagai pemilik sumberdaya hutan sesuai mandat
Undang-undang, dimana hutan dikuasai negara dan harus dikelola secara lestari.
Dalam prakteknya, penyelenggaraan pengelolaan hutan pada tingkat tapak oleh
KPH sebenarnya tidak memiliki kewenangan memberi ijin pemanfaatan hutan
melainkan melakukan pengelolaan hutan sehari hari, termasuk mengawasi kinerja
pengelolaan hutan yang dilakukan oleh pemegang ijin. Dengan demikian, KPH
menjadi pusat informasi mengenai kekayaan sumberdaya hutan dan menata
kawasan hutan menjadi bagian-bagian yang dapat dimanfaatkan oleh berbagai ijin
dan/atau dikelola sendiri pemanfaatannya, melalui kegiatan yang direncanakan
dan dijalankan sendiri. Apabila peran KPH dapat dilakukan dengan baik, maka
KPH menjadi garis depan untuk mewujudkan harmonisasi pemanfaatan hutan
oleh berbagai pihak dalam kerangka pengelolaan hutan lestari (Kartodihardjo et.
al 2011)
Pembentukan KPH telah dan sedang dalam proses pelaksanaan dengan
mengacu pada prosedur pembentukan KPH, berdasarkan peraturan perundang-
9

undangan tersebut di atas, yang meliputi tahapan : (a) penyusunan rancang bangun
KPH, dilaksanakan oleh gubernur; (b) arahan pencadangan, diberikan oleh
Menteri Kehutanan berdasarkan rancang bangun yang diajukan oleh gubernur; (c)
pembentukan, disusun oleh bupati berdasarkan arahan dari Menteri Kehutanan
yang selanjutnya gubernur mengusulkan penetapannya kepada Menteri
Kehutanan; (d) penetapan, menteri menetapkan KPH berdasarkan usulan
pembentukan dari gubernur. Tahap berikutnya setelah proses penetapan KPH
adalah pembentukan kelembagaan pengelola unit KPH, sehingga akan terbangun
wujud riil KPH di tingkat tapak yang antara lain meliputi penetapan, wilayah
pengelolaan dan kelembagaan pengelola serta jenis aktifitasnya. Badan Planologi
Departemen Kehutanan (2006) lebih jauh menyatakan empat prinsip yang
melandasi pembentukan wilayah KPH, yaitu : (1) transparansi, (2) pelibatan
penuh seluruh pihak terkait, (3) akuntabilitas dan (4) ekosistern. Berdasarkan
pernyataan yang berbunyi sesuai dengan fungsi pokok dan peruntukannya yang
selalu menyertai definisi KPH, menurut Ngakan et al. (2008) bahwa perwilayahan
KPH akan dibuat dengan merujuk pada fungsi pokok dan peruntukan hutan yang
sudah ada. Oleh karena itu, KPH diberi nama menurut fungsi pokok dan
peruntukannya seperti KPHK (Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi) untuk
pengelolaan hutan pada fungsi hutan konservasi (Taman Nasional, Cagar Alarn,
Taman Wisata Alam, Taman Buru, dan lain-lain). Kesatuan Pengelolaan Hutan
Produksi (KPHP) untuk mengelola fungsi hutan produksi dan Kesatuan
Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) untuk mengelola fungsi hutan lindung.
Dalam melaksanakan sebagai fungsi perwilayahan, menurut PP No. 6 tahun 2007,
Organisasi KPH mempunyai tugas dan fungsi (1) menyelenggarakan pengelolaan
hutan yang meliputi kegiatan tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan
hutan, pemanfaatan hutan, penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi hutan dan
reklamasi, dan perlindungan hutan dan konservasi alam; (2) menjabarkan
kebijakan kehutanan nasional, provinsi dan kabupaten/kota bidang kehutanan
untuk diimplementasikan; (3) rnelaksanakan kegiatan pengelolaan hutan di
wilayahnya mulai dan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan
pengawasan serta pengendalian; (4) melaksanakan pemantauan dan penilaian atas
pelaksanaan pengelolaan hutan di wilayahnya; (5) membuka peluang investasi
guna mendukung tercapainya tujuan pengelolaan hutan.
Pembangunan KPH saat ini terus menerus dilakukan di daerah, secara garis
besar pembangunan KPH menunjukkan kemajuan yang cukup signifikan, hal ini
dapat dilihat dari perkembangan pembangunan KPH sampai dengan bulan
Agustus 2011 (Kementerian Kehutanan 2011), penetapan wilayah KPHL
sebanyak 167 unit dengan luas 20.834.918 Ha, KPHP sebanyak 246 Unit
dengan luas 37.063.223 Ha yang tersebar pada 23 propinsi, dan khusus DI
Yogyakarta (tidak dibedakan antara KPHL dan KPHP) dengan luas 16.357 Ha.
Selain itu, Pemerintah telah melakukan penetapan wilayah KPHK pada 20 Taman
Nasional. Untuk mempercepat pengoperasian KPH, maka telah ditetapkan KPH
Model di masing-masing provinsi. Sampai dengan Agustus 2011, telah ditetapkan
KPH model sebanyak 21 unit. KPH yang sudah memiliki organisasi pengelola
dengan kedudukan sebagai UPTD terdapat 32 unit dengan KPH model sebanyak
28 unit dan bukan KPH model sebanyak 4 unit.
10

Hubungan KPH dengan Berbagai Elemen Terkait

Kartodihardjo et al. (2011) menguraikan hubungan KPH dengan berbagai


elemen yang terkait dalam pengelolaan hutan seperti KPH dan ragam fungsi
hutan; KPH dan akses masyarakat; KPH dan usaha kehutanan; KPH dan
organisasi daerah; KPH dan pengembangan wilayah; dan KPH dan kelestarian
hutan.
KPH dan ragam fungsi hutan. Keberadaan KPH akan lebih memastikan
diketahuinya potensi hutan, perubahan-perubahan yang terjadi maupun kondisi
masyarakat yang tergantung pada manfaat sumberdaya hutan. Dalam hal ini KPH
dapat dimaknai sebagai pihak yang menghimpun informasi sumberdaya hutan
untuk melakukan pengelolaan hutan yang tidak dijalankan secara langsung oleh
lembaga seperti Kementerian Kehutanan atau Dinas Kehutanan.
KPH dan akses masyarakat. Akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan
dapat terdiri dari berbagai bentuk dan tipologi sesuai dengan kondisi sosial budaya
masyarakat, sejarah interaksi masyarakat dengan hutan dan harapan ekonomi
masyarakat untuk memperbaiki kehidupannya. Apabila dikaitkan dengan ijin atau
penetapan status kawasan hutan, akses masyarakat yang dimaksud tidak dapat
ditetapkan pada tingkat KPH, karena kewenangan untuk itu berada pada
Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Keberadaan KPH memungkinkan
identifikasi keberadaan dan kebutuhan masyarakat terhadap manfaat sumberdaya
hutan dengan lebih jelas, sehingga proses-proses pengakuan hak, ijin maupun
kolaborasi menjadi lebih mungkin dilakukan. Demikian pula penyelesaian
konflik maupun pencegahan terjadinya konflik lebih dapat dikendalikan. Selain
itu, KPH dapat dapat memfasilitasi komunikasi dengan Pemerintah dan/atau
Pemerintah Daerah untuk menata hak dan akses masyarakat terhadap sumberdaya
hutan.
KPH dan usaha kehutanan. Dengan beroperasinya organisasi KPH,
informasi mengenai sumberdaya hutan yang dimanfaatkan oleh para pemegang
ijin diharapkan akan semakin akurat. Karakteristik dan sifat-sifat khas
sumberdaya hutan juga diharapkan dapat diketahui, sehingga memudahkan
penetapan sistem manajemen hutan yang sesuai dengan kondisi wilayah dan
diharapkan mengurangi kegiatan-kegiatan yang secara administratif harus
dilakukan, tetapi tidak secara jelas berguna bagi usaha kehutanan tersebut.
Selain itu kinerja pengelolaan hutan oleh pemegang ijin dapat dimonitoring dan
dievaluasi di tingkat lapangan. Efektifitas kegiatan demikian itu pada gilirannya
diharapkan dapat meningkatkan efisiensi perusahaan.
KPH dan organisasi daerah. Keberadaan KPH bersifat unik. Organisasi
daerah yang dibentuk berdasarkan PP No 41 Tahun 2007 tidak mengenal adanya
organisasi seperti KPH yang mempunyai sifat teritorial. Organisasi KPH
meskipun bidang kehutanan namun bukan identik dengan organisasi kehutanan
yang telah dibentuk berdasarkan PP No 41 Tahun 2007. KPH merupakan
organisasi yang spesifik yang khususnya di luar Pulau Jawa belum pernah ada.
KPH dan pengembangan wilayah. Pengembangan wilayah dapat dilakukan
untuk mencapai pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan apabila
memperhatikan kepentingan ekonomi, sosial dan sekaligus kepentingan
lingkungan hidup. Secara fungsional, KPH dapat menyediakan barang dan jasa
untuk menopang pengembangan wilayah tersebut. Oleh karena itu tujuan
11

pengembangan KPH perlu diselaraskan dengan tujuan pengembangan wilayah


Kabupaten/Kota dan atau Provinsi. KPH yang lokasinya lintas wilayah
Kabupaten/Kota dapat menjadi penyelaras arah pengelolaan sumberdaya hutan
khususnya maupun sumberdaya alam pada umumnya di kedua wilayah
administrasi tersebut.
KPH dan kelestarian hutan. Faktor yang menentukan kelestarian hutan
cukup banyak, meskipun pada prinsipnya kelestarian hutan ditentukan oleh
kapasitas pemegang ijin atau pengelola hutan. KPH menjadi faktor pemungkin
kapasitas tersebut dapat ditingkatkan atau bahkan pengadaan pengelola hutan
yang selama ini tidak ada, sehingga dapat membuka ruang profesional bagi
rimbawan untuk berkiprah dalam pengelolaan hutan lestari. Ketiadaan pengelola
terbukti menjadi penyebab kegagalan bagi banyak program, misalnya dalam
pelaksanaan rehabilitasi lahan kritis di dalam kawasan hutan yang tidak ada
pengelolanya terbukti tidak membawa hasil. Adanya organisasi pemerintah yang
bertanggungjawab dalam pengelola hutan di tingkat tapak juga akan memberikan
ruang bagi peningkatan kapasitas para pemegang ijin, serta memberikan arah yang
jelas bagi pencapaian pengelolaan hutan lestari.

Teori Kelembagaan

Selama ini kelembagaan (institusi) banyak diartikan sebagai organisasi,


namun sebenarnya juga mencakup ideologi, hukum, adat istiadat, aturan,
kebiasaan yang tidak terlepas dari lingkungan. Menurut North (1990), secara
umum kelembagaan mengandung dua pengertian penting yaitu: Pertama,
kelembagaan diartikan sebagai aturan main (the rules of the game). Sebagai
aturan main, kelembagaan berupa aturan baik formal maupun informal, yang
tertulis dan tidak tertulis mengenai tata hubungan manusia. Kedua, kelembagaan
sebagai suatu organisasi, ada beberapa stakeholder yang terlibat dalam
pengelolaan sumberdaya termasuk hutan. Kelembagaan (institutional) sebagai
aturan main (rule of game) dan organisasi, berperan penting dalam mengatur
penggunaan/alokasi sumber daya secara efisien, merata dan berkelanjutan. Suatu
kelembagaan adalah suatu pemantapan perilaku yang hidup pada suatu kelompok
orang yang merupakan sesuatu yang stabil, mantap dan berpola; berfungsi untuk
tujuan-tujuan tertentu dalam masyarakat; ditemukan dalam sistem sosial
tradisional dan modern atau bisa berbentuk tradisional dan modern dan berfungsi
mengefisienkan kehidupan sosial (Sahyuti 2006), sedangkan menurut Schmid
dalam Pakpahan (1989) kelembagaan adalah seperangkat ketentuan yang
mengatur hubungan antar orang, yang mendefinisikan hak-hak mereka, hubungan
dengan hak-hak orang lain, hak-hak istimewa yang diberikan, serta tanggung
jawab yang harus mereka lakukan. Kelembagaan juga dapat diartikan sebagai
instrumen yang mengatur hubungan antar orang atau kelompok masyarakat
melalui hak dan kewajibannya dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya.
Kelembagaan mempunyai peran penting dalam masyarakat untuk mengurangi
ketidakpastian dengan menyusun struktur yang stabil bagi hubungan manusia.
Kelembagaan merupakan gugus kesempatan bagi individu dalam membuat
keputusan dan melaksanakan aktivitasnya. Menurut Schotter (1981),
kelembagaan merupakan regulasi atas tingkah laku manusia yang disepakati oleh
12

semua anggota masyarakat dan merupakan penata interaksi dalam situasi tertentu
yang berulang.
Kelembagaan adalah suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota
masyarakat dalam suatu organisasi yang memiliki faktor pembatas dan pengikat
berupa norma, aturan formal, maupun non formal untuk mencapai tujuan bersama
(Djogo et al. 2003). Lebih lanjut dinyatakan bahwa kelembagaan mempunyai 10
unsur penting, yaitu: institusi, norma tingkah laku, peraturan, aturan dalam
masyarakat, kode etik, kontrak, pasar, hak milik, organisasi, dan insentif. Ostrom
(1990) mengartikan kelembagaan sebagai aturan yang berlaku dalam masyarakat
(arena) yang menentukan siapa yang berhak membuat keputusan, tindakan apa
yang boleh dan tidak boleh dilakukan, aturan apa yang berlaku umum di
masyarakat, prosedur apa yang harus diikuti, informasi apa yang mesti atau tidak
boleh disediakan dan keuntungan apa yang individu akan terima sebagai buah dari
tindakan yang dilakukannya.
Menurut Kartodihadjo (2006), kelembagaan adalah perangkat lunak, aturan
main, keteladanan, rasa percaya, serta konsistensi kebijakan yang dapat diterapkan
di dalamnya. Kelembagaan sebagai aturan main (formal dan informal) yang
mengatur dan mengendalikan perilaku individu dalam masyarakat atau organisasi.
Dari definisi tersebut pada dasarnya kelembagaan mengandung 2 (dua) pengertian
yaitu aturan main (rule of the game) di satu sisi dan organisasi sebagai
pemain/pelaku (organization as a player) di sisi lainnya. Kedua hal tersebut saling
membutuhkan dan melengkapi bagi jalannya proses-proses pencapaian tujuan
yang tertuang di dalam aturan main yang disepakati.
Kelembagaan merupakan suatu sistem aktivitas dari kelakuan berpola dari
manusia dalam kebudayaannya beserta komponen-komponen yang terdiri dari
sistem norma dan tata kelakuan untuk wujud ideal kebudayaan, kelakuan berpola
untuk wujud kelakuan kebudayaan dan peralatan untuk wujud fisik kebudayaan
yang ditambah dengan manusia atau personil yang melaksanakan kelakuan
berpola (Koentjaraningrat 1997). Kelembagaan sebagai seperangkat norma-norma
dan peraturan yang tumbuh dalam masyarakat yang bersumber pada pemenuhan
kebutuhan pokok dan memiliki bentuk konkritnya adalah asosiasi. Kelembagaan
yang ada di dalam masyarakat merupakan esensi atau bagian pokok dari
masyarakat dan kebudayaannya. Pejovich (1999) menyatakan bahwa
kelembagaan memiliki tiga komponen, yakni: (1) Aturan formal, meliputi
konstitusi, status, hukum dan seluruh regulasi pemerintah lainnya. Aturan formal
membentuk sistem politik (struktur pemerintahan, hak-hak individu), sistem
ekonomi (hak kepemilikan dalam kondisi kelangkaan sumberdaya, kontrak), dan
sistem keamanan (peradilan, polisi) ; (2) Aturan informal, meliputi pengalaman,
nilai-nilai tradisional, agama dan seluruh faktor yang mempengaruhi bentuk
persepsi subjektif individu tentang dunia tempat hidup masyarakat; dan (3)
Mekanisme penegakan, semua kelembagaan tersebut tidak akan efektif apabila
tidak diiringi dengan mekanisme penegakan
Berbagai definisi yang telah diungkapkan oleh para ahli terlihat bahwa
sebenarnya definisi kelembagaan tergantung dari mana orang melihatnya, makro
atau mikro. Sekian banyak pembatasan kelembagaan, minimal ada tiga lapisan
kelembagaan sebagai norma-norma dan konversi, kelembagaan sebagai aturan
main, dan kelembagaan sebagai hubungan kepemilikan (Deliarnov 2006).
13

Teori Pemangku Kepentingan (Stakeholder)

Istilah stakeholder atau dinamakan pemangku kepentingan adalah kelompok


atau individu yang dukungannya diperlukan demi kesejahteraan dan kelangsungan
hidup organisasi. Pemangku kepentingan adalah seseorang, organisasi atau
kelompok dengan kepentingan terhadap suatu sumberdaya alam tertentu,
stakeholder is a person who has something to gain or lose through the outcomes
of a planning process, programme or project (Brown 2001). Pemangku
kepentingan mencakup semua pihak yang terkait dalam pengelolaan terhadap
sumber daya. Pemangku kepentingan juga termasuk semua orang dari politisi
lokal dan nasional dan tokoh atau pemimpin masyarakat, penguasa, kelompok
paramiliter, LSM dan badan-badan internasional.
Secara umum pemangku kepentingan dapat dibagi dalam dua jenis, yaitu:
Pertama, pemangku kepentingan primer atau key stakeholder adalah pihak yang
pada akhirnya terpengaruh, baik secara positif atau negatif oleh tindakan
organisasi. Kedua, pemangku kepentingan sekunder: adalah perantara, yaitu,
orang atau organisasi yang secara tidak langsung dipengaruhi oleh tindakan
organisasi. Hal yang sama diungkapkan oleh Clarkson dan Dan (1994) yang
membagi pemangku kepentingan menjadi dua.
Pemangku kepentingan primer adalah pihak di mana tanpa partisipasinya
yang berkelanjutan organisasi tidak dapat bertahan. Contohnya adalah pemegang
saham, investor, pekerja, pelanggan, dan pemasok. Menurut Clarkson and Dan
(1994), suatu perusahaan atau organisasi dapat didefinisikan sebagai suatu sistem
pemangku kepentingan primer yang merupakan rangkaian kompleks hubungan
antara kelompok-kelompok kepentingan yang mempunyai hak, tujuan, harapan,
dan tanggung jawab yang berbeda. Sementara, pemangku kepentingan sekunder
didefinisikan sebagai pihak yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh perusahaan,
tapi tidak terlibat dalam transaksi dengan perusahaan dan tidak begitu penting
untuk kelangsungan hidup perusahaan. Contohnya adalah media dan berbagai
kelompok kepentingan tertentu. Perusahaan tidak bergantung pada kelompok ini
untuk kelangsungan hidupnya, tapi bisa mempengaruhi kinerja perusahaan dengan
mengganggu kelancaran bisnis perusahaan.
Dalam pengelolaan sumber daya hutan terdapat beberapa pemangku
kepentingan (stakeholder). Stakeholders ini akan mempunyai kepentingan dan
mewakili kelompoknya, baik dalam pemanfaatan maupun dalam pelestariannya.
Apabila salah satu stakeholder tidak terlibat dalam pengelolaannya akan
berdampak pada keberlanjutan pengelolaan kawasan hutan tersebut. Menurut
Tadjudin (2000) identifikasi stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan hutan
antara lain: Pertama, stakeholders primer, yaitu pelaku yang terlibat
(berkepentingan) langsung dalam kegiatan konservasi dan/atau pendayagunaan
sumber daya hutan: 1) pemerintah, yaitu instansi yang menangani pengelolaan
sumber daya hutan di daerah maupun di pusat; 2) swasta yang memiliki konsesi di
kawasan yang bersangkutan; 3) masyarakat yang kegiatan ekonomi maupun
kegiatan sosial-budayanya secara langsung tergantung pada sumber daya hutan
yang bersangkutan. Kelompok ini lazim disebut sebagai masyarakat pengguna.
Kedua, stakeholders sekunder, terdiri atas: instansi pemerintah yang tidak
bertanggungjawab langsung dalam hal pengelolaan sumberdaya hutan namn
berkepentingan terhadap sumber daya yang bersangkutan, misalnya swasta yang
14

tidak terlibat dalam pengusahaan hutan, namun memiliki lini bisnis yang terkait
dengan sumber daya hutan atau terkait dengan kegiatan masyarakat yang
kehidupannya tergantung pada sumber daya hutan; masyarakat yang dipengaruhi
oleh perubahan pengelolaan sumber daya hutan sesudah manajemen kolaboratif
diterapkan. Secara praktikal kelompok ini adalah masyarakat yang bermukim di
sekitar hutan di luar batas yurisdiksi kawasaan hutan yang akan dikelola secara
kolaboratif (Tadjudin 2000).

Nilai Ekonomi Total Sumber Daya Alam

Nilai ekonomi atau total nilai ekonomi suatu sumber daya secara garis besar
dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu nilai atas dasar penggunaan (use value)
dan nilai yang terkandung di dalamnya atau nilai intrinsik (non use value) (Pearce
dan Turner 1990; Pearce dan Moran 1994 dalam Harahap 2010). Nilai
penggunaan (use value) pada dasarnya diartikan sebagai nilai yang diperoleh
seorang individu atas pemanfaatan langsung dari sumber daya alam dan
lingkungan. Use value dibedakan lagi menjadi nilai penggunaan langsung (direct
use value), nilai penggunaan tidak langsung (indirect use value) dan nilai pilihan
(option value).
Nilai penggunaan diperoleh dari pemanfatan aktual lingkungan. Menurut
Pearce dan Moran (1994) dalam Harahap (2010) bahwa nilai penggunaan
berhubungan dengan nilai karena seseorang memanfaatkannya atau berharap akan
memanfaatkan di masa mendatang. Nilai penggunaan langsung adalah nilai yang
ditentukan oleh kontribusi lingkungan pada aliran produksi dan konsumsi
(Munasinghe 1993 dalam Harahap 2010). Menurut Pearce dan Moran (1993)
dalam Harahap (2010) nilai penggunaan langsung berkaitan dengan output yang
dapat dikonsumsi misalnya makanan, biomassa, kesehatan, rekreasi. Sedangkan
nilai penggunaan tidak langsung (indirect use value) ditentukan oleh manfaat
yang berasal dari jasa-jasa lingkungan yang mendukung aliran produksi dan
konsumsi (Munasinghe 1993 dalam Harahap 2010).
Nilai pilihan (option value) berkaitan dengan pilihan pemanfaatan
lingkungan di masa datang. Pernyataan preferensi (kesediaan membayar) untuk
konservasi sistem lingkungan atau komponen sistem berhadapan dengan beberapa
kemungkinan pemanfaatan oleh individu di hari kemudian. Ketidakpastian
penggunaan di masa datang berhubungan dengan ketidakpastian penawaran
lingkungan, teori ekonomi mengidentifikasikan bahwa nilai pilihan adalah
kemungkinan positif. Oleh karenanya option value lebih diartikan sebagai nilai
pemeliharaan sumber daya, sehingga pilihan untuk memanfaatkannya masih
tersedia untuk masa yang akan datang.
Sedangkan nilai penggunaan tidak langsung (non use value) adalah nilai
yang diberikan kepada sumberdaya alam atas keberadaannya, meskipun tidak
dikonsumsi secara langsung dan juga bersifat sulit diukur, karena lebih didasarkan
pada preferensi terhadap lingkungan daripada pemanfaatan langsung.
Nilai intrinsik atau penggunaan tidak langsung (non use value)
dikelompokkan lagi menjadi nilai keberadaan (existence value) dan nilai warisan
(bequest value). Nilai intrinsik berhubungan dengan nilai kesediaan membayar
positif, jika seseorang tidak bermaksud memanfaatkannya (Pearce dan Moran
1994 dalam Harahap 2010). Nilai warisan berhubungan dengan kesediaan
15

membayar untuk melindungi manfaat lingkungan bagi generasi mendatang. Nilai


warisan adalah bukan nilai penggunaan untuk individu penilai, tetapi merupakan
potensi penggunaan atau bukan penggunaan di masa datang. Nilai keberadaan
muncul, karena adanya kepuasan atas keberadaan sumberdaya, meskipun penilai
tidak ada keinginan untuk memanfaatkannya. Dengan demikian nilai ekonomi
total sumberdaya alam dapat dirumuskan atau disusun persamaan sebagai berikut:

TEV = UV + NUV = (DUV + IUV + OV) + (BV + EV)

Keterangan :
TEV = Total Economic Value (Nilai Ekonomi Total)
UV = Use Value (Nilai Penggunaan)
NUV = Non Use Value (Nilai Intrinsik)
DUV = Direct Use Value (Nilai Penggunaan Langsung)
IUV = Indirect Use Value (Nilai Penggunaan Tidak Langsung)
OV = Option Value (Nilai Pilihan)
BV = Bequest Value (Nilai Warisan)
EV = Existence Value (Nilai Keberadaan)

Fauzi (2014) menyatakan bahwa kombinasi nilai guna ( use value ) dan nilai
non-guna ( non-use value ) menghasilkan apa yang disebut sebagai Total
Economic Value atau TEV. Perlu diketahui bahwa terminologi total dalam total
economic value bukan menunjukkan nilai keseluruhan dari sumber daya alam dan
lingkungan karena bagaimanapun nilai keseluruhan dari sumber daya dan
lingkungan sulit dihitung. Nilai total yang dimaksud dalam TEV lebih
menunjukkan penjumlahan dua komponen utama, yakni nilai guna dan nilai non-
guna.

Analytical Hierarchy Process (AHP)

Menurut Saaty (1980) AHP merupakan alat pengambil keputusan yang


menguraikan suatu permasalahan kompleks dalam struktur hirarki dengan banyak
tingkatan yang terdiri dari tujuan, kriteria, dan alternatif. AHP merupakan sebuah
alat pengambil keputusan yang dapat digunakan untuk memecahkan permasalahan
pengambilan keputusan yang komplek dengan menggunakan struktur hirarki yang
terdiri dari tujuan, kriteria, sub kriteria dan alternatif (Triantaphyllou dan Mann
1995). Firdaus et al. (2011) menyebutkan bahwa, AHP digunakan pada kondisi
dimana terdapat proses pengambilan keputusan secara komplek yang melibatkan
berbagai kriteria, seperti prioritas di antara beberapa anternatif kebijakan dan
sasaran. Prasyarat yang harus diperhatikan dalam penggunaan analisis ini adalah
pihak yang akan memberikan penilaian terhadap tingkat kepentingan faktor yang
dianalisis harus yang benar-benar memahami situasi yang ditelaah.
Berdasarkan pendekatan AHP, yang menjadi nara sumber untuk melakukan
pembobotan adalah seorang ahli (expert), yang dimaksud dengan expert disini
tidak harus seorang pakar pada satu bidang keiluan tertentu, melainkan orang
yang tahu betul akan permasalahan yang hendak diteliti.
Kelebihan AHP dibandingkan dengan metode pengambilan keputusan
lainnya lebih ditekankan kepada adanya struktur yang berhirarki, sebagai
16

konsekuensi dari kriteria yang dipilih, sampai kepada sub-sub kriteria yang paling
mendetil. Analisis ini juga memperhitungkan validitas sampai dengan batas
toleransi inkonsistensi berbagai kriteria dan alternatif yang dipilih oleh para
pengambil keputusan (Saaty 1980).
Model AHP ini menggunakan input persepsi manusia yang dapat mengolah
data yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif, sehingga kompleksitas
permasalahan yang ada di sekitar kita dapat didekati dengan baik oleh model AHP
ini. Di samping itu, teknik AHP mempunyai kemampuan untuk memecahkan
masalah yang multi-objektif dan multi-kriteria yang didasarkan pada
perbandingan preferensi dari setiap elemen dalam hirarki. Jadi model ini
merupakan suatu model pengambilan keputusan yang komprehensif (Makkasau
2012).

3 METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan selama 7 (tujuh) bulan, yaitu pada bulan Mei


sampai November 2014 yang meliputi kegiatan mulai dari persiapan, penyusunan
proposal, pengumpulan data sekunder dan primer, pengolahan dan analisis data,
penulisan laporan, konsultasi dan bimbingan. Pengumpulan data primer dilakukan
pada bulan Agustus sampai dengan Oktober 2014.
Lokasi penelitian adalah KPHP Model Kerinci yang terletak di Kabupaten
Kerinci Provinsi Jambi. Lokasi wilayah KPHP Model Kerinci tersebar di 13
Kecamatan dari total 16 Kecamatan di Kabupaten Kerinci yang dapat dilihat pada
Peta Kawasan Hutan Kabupaten Kerinci di Gambar 2.

Gambar 2 Peta Kawasan Hutan Kabupaten Kerinci


17

Adapun luas KPHP Model Kerinci berdasarkan fungsi kawasan dapat dilihat
pada Tabel 1.

Tabel 1 Luas KPHP Model Kerinci berdasarkan Fungsi Kawasan

Wilayah KPH Luas (ha) Fungsi Kawasan Hutan


Sesuai SK 960/Menhut-II/2013 34.250 Hutan Produksi
Tanpa KH di Kota Sungai Penuh 33.309 Hutan Produksi

Jenis dan Sumber Data

Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui hasil wawancara dan
kuisioner dengan responden. Sedangkan data sekunder diperoleh dari hasil studi
pustaka dan data-data dari instansi terkait. Jenis dan sumber data yang diperlukan
berdasarkan tujuan penelitian disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Jenis, Sumber dan Teknik Analisis Data untuk setiap Tujuan Penelitian

Teknik
No Tujuan Jenis Data Sumber Data Output
Analisis

Mengkaji Informasi
Data PDRB
peranan KPHP Peranan KPHP
Kab. Kerinci,
Model Kerinci BPS, Dishutbun Nilai Model dalam
Data potensi
1 dalam Kab. Kerinci, Ekonomi pengembangan
Sumberdaya
pengembangan Masyarakat Total wilayah Kab.
Hutan
wilayah Kab. Kerinci
Kab.Kerinci
Kerinci

Rancang
bangun KPHP
Model Kerinci, Dishutbun Kab.
Menganalisis
RTRW Kab. Kerinci, Bappeda Model
model
Kerinci, Kab. Kerinci, Analisis kelembagaan
2 kelembagaan
Renstra LSM, Deskriptif KPHP Model
KPHP Model
Dishutbun Masyarakat, Kerinci
Kerinci
Kab. Kerinci, Akademisi
Persepsi
Stakeholder
Dishutbun Kab.
Kerinci, Bappeda
Kab. Kerinci,
Menganalisis Informasi
Dinas Pertanian
kesiapan daerah tingkat kesiapan
Kuisioner, Kab. Kerinci,
dalam daerah dalam
3 Persepsi BBTNKS, AHP
pembangunan pelaksanaan
stakeholder BP2HP Wilayah
KPHP Model KPHP Model
IV Jambi
Kerinci Kerinci
LSM,
Masyarakat,
Akademisi
18

Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan cara :


1. Studi literatur dan data sekunder
Data sekunder meliputi rancang bangun KPH Provinsi Jambi, data kondisi
kawasan hutan, gambaran umum kawasan KPHP Model Kerinci, Peta RTRW
Kabupaten Kerinci, Renstra Kehutanan Kabupaten Kerinci, laporan kegiatan,
peraturan pendukung KPHP dan data kondisi sosial ekonomi masyarakat di
sekitar KPHP, dan sebagainya yang dibutuhkan dalam penelitian.
2. Data Primer
Data dan informasi primer diperoleh melalui wawancara secara mendalam
dari responden dengan panduan kuisioner untuk mengetahui persepsi daerah
tentang kelembagaan KPHP Model Kerinci dan Kesiapan Daerah dalam
pembangunan KPHP Model Kerinci. Beberapa pihak yang menjadi responden
antara lain Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kerinci, Bappeda
Kabupaten Kerinci, kelompok masyarakat, akademisi dan stakeholder lain yang
terlibat dalam pengelolaan sumberdaya hutan.

Metode Analisis Data

Data dan informasi yang terkumpul selanjutnya dianalisis sesuai dengan


tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini. Metode analisis yang digunakan
antara lain :

Nilai Ekonomi Total Sumberdaya Hutan pada Wilayah KPHP Model


Kerinci
Nilai Ekonomi Total (NET) dalam penelitian ini digunakan sebagai
pendekatan dalam mengkaji peranan KPHP Model Kerinci dalam pengembangan
wilayah Kabupaten Kerinci. Metode penilaian ekonomi yang digunakan yaitu
metode penilaian berdasarkan harga pasar, metode penilaian dengan willingness to
pay (WTP).
Nilai Ekonomi Total yang digunakan dalam penelitian ini
mengklasifikasikan nilai hutan ke dalam : (1) Nilai guna langsung (direct use
values), yaitu nilai ekonomi kayu bulat, nilai ekonomi agroforestri; (2) Nilai guna
tidak langsung (indirect use values), yaitu nilai jasa lingkungan sebagai pengatur
tata air, penyerap karbon, pengatur iklim, pencegah erosi dan longsor, pencegah
banjir.
a. Nilai Ekonomi Kayu Bulat
Penilaian ekonomi kayu bulat dalam penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan data sekunder berupa data potensi kayu dan luas KPHP Model
Kerinci. Metode penilaian kayu bulat dilakukan berdasarkan harga pasar.

NKB = JKT x L x P
Keterangan :
NKB : Nilai ekonomi Kayu Bulat (Rp/tahun)
JKT : Jumlah Kayu yang boleh ditebang (m3/ha)
L : Luas hutan sekunder (ha)
P : Harga kayu bulat (Rp)
19

b. Nilai Ekonomi Agroforestri


Nilai ekonomi agroforestri yang dimaksud dalam penelitian ini adalah nilai
ekonomi jenis-jenis tanaman kehutanan, perkebunan dan pertanian yang dominan
ditanam oleh petani pada areal KPHP Model Kerinci. Metode penilaian ekonomi
agroforestri dilakukan berdasarkan harga pasar dan dengan asumsi proporsi
tanaman yang ditanam setiap hektar.

c. Nilai Ekonomi Jasa Lingkungan


Penilaian ekonomi jasa lingkungan dilakukan dengan metode analisis
Willingness to Pay (WTP) responden terhadap Pembayaran Jasa Lingkungan.
Data dikumpulkan dengan teknik wawancara menggunakan kuisioner. Jumlah
responden untuk WTP sebanyak 60 responden.

Analisis Kelembagaan KPH


Analisis kelembagaan pada penelitian ini dilakukan secara deskriptif
kualitatif yang diarahkan untuk mendapatkan gambaran dan situasi kelembagaan
KPHP saat ini dan merekomendasikan pengembangan model kelembagaan dalam
pengelolaan KPHP Model Kerinci. Analisis kelembagaan dalam penelitian ini
dilakukan untuk mengidentifikasi stakeholders yang terlibat dalam Kelembagaan
KPHP Model Kerinci, Model Kelembagaan KPHP Model Kerinci saat ini, dan
Pengembangan Model Kelembagaan KPHP Model Kerinci. Responden dipilih
secara sengaja yaitu stakeholder dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Kabupaten Kerinci, Kementerian Kehutanan, Bappeda Kabupaten Kerinci, Dinas
Pertanian Kabupaten Kerinci, LSM/Pemerhati Lingkungan, Akademisi, dan
Masyarakat.

Analisis Kesiapan Daerah dalam Pembangunan KPHP Model Kerinci


Analisis kesiapan daerah dalam pembangunan KPHP Model Kerinci
dilakukan dengan menggunakan alat AHP (Analytical Hierarchy Process).
Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan yang kompleks dan
tidak terstruktur, strategis dan dinamis serta menata dalam suatu hirarki.
Kemudian tingkat kepentingan setiap variabel diberi numerik secara subyektif
tentang arti penting variabel tersebut secara relatif dibanding dengan variabel
yang lain. Dengan berbagai pertimbangan kemudian dilakukan sintesis untuk
menetapkan variabel yang memiliki prioritas tinggi dan berperan untuk
mempengaruhi hasil pada sistem tersebut (Marimin, 2004).
Responden dalam analisis ini dipilih secara sengaja berdasarkan jabatan,
profesi, pengetahuan dan pengalaman. Responden yang dipilih adalah para pihak
yang memiliki ketertarikan terhadap keberadaan KPHP Model Kerinci.
Secara umum langkah-langkah yang dilakukan adalah : (1) mendefinisikan
masalah dan menentukan solusi masalah, (2) membuat struktur hirarki, yang
diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan dengan sub-sub tujuan, kriteria dan
kemungkinan alternatif-alternatif pada tingkatan kriteria yang paling bawah.
Pendekatan AHP menggunakan skala banding berpasangan menurut Saaty (1993).
Skala banding berpasangan tersebut disajikan pada Tabel 3.
20

Tabel 3 Skala banding secara berpasangan

Intensitas Definisi Penjelasan


Pentingnya
1 Kedua elemen sama Sumber peran dua elemen sama
pentingnya besar pada sifat tersebut (dua
elemen mempunyai pengaruh
yang sama besar terhadap
tujuan.
3 Elemen satu sedikit lebih Pengalaman dan pertimbangan
penting daripada yang lainnya sedikit menyokong satu elemen
atas yang lain.
5 Elemen satu lebih penting Pengalaman dan pertimbangan
dibanding yang lain dengan kuat mendukung satu
elemen atas yang lain.
7 Elemen satu jelas lebih penting Satu elemen dengan kuat
dari elemen yang lain dominasinya telah terlihat dalam
praktek.
9 Elemen satu mutlak lebih Bukti yang mendukung elemen
penting dari elemen yang lain yang satu terhadap elemen lain
memiliki tingkat penegasan
tertinggi yang mungkin
menguatkan.
2,4,6,8 Nilai-nilai di antara dua Nilai ini diberikan bila dua
kebalikan pertimbangan yang berdekatan kompromi di antara dua pilihan.
jika untuk aktivitas i mendapat
satu angka bila dibandingkan
dengan aktivitas j, maka j
mempunyai nilai kebalikannya
bila dibandingkan dengan i
Sumber: Saaty (1993)

Tahapan pelaksanaan AHP menurut Saaty (1993) sebagai berikut :


1. Identifikasi sistem, yaitu untuk mengidentifikasi permasalahan dan
menentukan solusi yang diinginkan. Identifikasi sistem dilakukan dengan cara
mempelajari referensi dan berdiskusi dengan responden yang memahami
permasalahan, sehingga diperoleh konsep yang relevan dengan permasalahan
yang dihadapi.
2. Penyusunan struktur hirarki yang dimulai dengan tujuan umum, dilanjutkan
dengan sub tujuan, kriteria dan kemungkinan alternatif-alternatif pada kriteria
paling bawah.
3. Perbandingan berpasangan menggambarkan pengaruh relatif setiap elemen
terhadap masing-masing tujuan dan kriteria setingkat di atasnya. Teknik
perbandingan berpasangan yang digunakan dalam AHP berdasarkan
judgement atau pendapat dari responden yang dianggap sebagai key person.
Mereka dapat sebagai : 1) Pengambil keputusan; 2) para pakar; serta 3) orang
yang terlibat dan memahami permasalahan yang dihadapi.
21

Matriks pendapat individu, formulasinya dapat disajikan sebagai berikut :

C1 C2 ... Cn
C1 1 a12 ... a1n
A = (aij) = C2 1/a12 1 ... a2n
... ... ... ... ...
Cn 1/a1n 1/a2n ... 1

Dalam hal ini C1, C2, ..., Cn adalah set elemen pada satu tingkat dalam
hirarki. Kuantifikasi pendapat dari hasil perbandingan berpasangan
membentuk matriks n x n. Nilai aij merupakan nilai matriks pendapat hasil
perbandingan yang mencerminkan nilai kepentingan C1 terhadap Cj.
4. Matriks pendapat gabungan, merupakan matriks baru yang elemen-elemennya
berasal dari rata-rata geometri elemen matriks pendapat individu yang nilai
rasio inkonsistensinya memenuhi syarat.
5. Nilai pengukuran konsistensi yang diperlukan untuk menghitung konsistensi
jawaban responden.
6. Penentuan prioritas pengaruh setiap elemen pada tingkat hirarki keputusan
tertentu terhadap sasaran utama.
Revisi pendapat dapat dilakukan apabila nilai rasio inkonsistensi pendapat
cukup tinggi (0,1). Beberapa ahli berpendapat jika jumlah revisi terlalu besar,
sebaiknya responden tersebut dihilangkan. Jadi penggunaan revisi ini sangat
terbatas mengingat akan terjadinya penyimpangan dari jawaban yang sebenarnya.
Dalam AHP dipergunakan skala Saaty mulai dari 1, yang menggambarkan
atribut yang satu terhadap yang lain sama penting. Untuk atribut yang sama selalu
bernilai 1 sampai 9, yang menggambarkan satu atribut sangat penting terhadap
atribut yang lainnya. Jika hasil perhitungan tersebut menunjukkan nilai CR < 0,10
artinya penilaian pada pengisian kuisioner tergolong konsisten, sehingga nilai
bobotnya dapat digunakan. Analisis data dibantu dengan menggunakan perangkat
lunak Expert Choice 2000.

4 KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

Kondisi Geografis Wilayah Kabupaten Kerinci

Secara geografis Kabupaten Kerinci terletak di antara 140 Lintang Selatan


sampai dengan 226 Lintang Selatan dan di antara 10108 Bujur Timur sampai
dengan 10150 Bujur Timur. Daerah ini beriklim tropis dengan suhu rata-rata
sekitar 22 C. Kabupaten Kerinci mempunyai luas 3.808,50 km2 yang terletak
di sepanjang Bukit Barisan, di antaranya terdapat gunung-gunung antara lain
Gunung Kerinci yang tingginya 3.805 m dan merupakan gunung yang tertinggi di
Pulau Sumatra, serta danau-danau seperti Danau Kerinci dan Danau Gunung
Tujuh, yang merupakan danau tertinggi di Asia Tenggara. Ketinggian Kabupaten
Kerinci berada di antara 500 m sampai 1.500 m dari permukaan laut. Kabupaten
Kerinci merupakan salah satu wilayah di ujung bagian Barat Propinsi Jambi yang
berbatasan langsung dengan Propinsi Sumatera Barat dan Propinsi Bengkulu.
22

Oleh karena itu Kabupaten Kerinci menjadi wilayah strategis yang dilalui jalan
utama Jambi - Sumatera Barat - Bengkulu.
Secara umum wilayah Kabupaten Kerinci memiliki batas administrasi
sebagai berikut:
- Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Solok Selatan Provinsi Sumatera
Barat;
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Merangin Provinsi Jambi dan
Kabupaten Muko-Muko Provinsi Bengkulu;
- Sebelah Barat berbatasan dengan Kota Sungai Penuh, Provinsi Jambi dan
Kabupaten Pesisir Selatan Provinsi Sumatera Barat;
- Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bungo dan Kabupaten Merangin
Provinsi Jambi.

Administrasi Wilayah Kabupaten Kerinci

Kabupaten Kerinci memiliki luas wilayah 420.000 ha, yang terdiri dari 17
wilayah kecamatan dan 278 desa. Setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2008, Kabupaten Kerinci dimekarkan menjadi dua wilayah administratif,
yaitu Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh.
Saat ini Kabupaten Kerinci memiliki 16 wilayah kecamatan dengan luas
wilayah 380.850 ha. Kota Sungai Penuh terdiri dari 5 wilayah kecamatan dengan
luas wilayah 39.150 ha. Adapun jumlah kecamatan, luas wilayah, jumlah desa
dan kelurahan di Kabupaten Kerinci disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Luas Wilayah per Kecamatan di Kabupaten Kerinci

Kecamatan Luas (ha) Banyak


Desa Kelurahan Jumlah
1. Gunung Raya 49.960 10 1 11
2. Batang Merangin 60.350 9 - 9
3. Keliling Danau 30.439 24 - 24
4. Danau Kerinci 29.847 16 - 16
5. Sitinjau Laut 5.825 18 - 18
6. Air Hangat 20.244 13 - 13
7. Air Hangat Timur 16.000 19 - 19
8. Depati VII 2.580 17 - 17
9. Gunung Kerinci 35.000 12 1 12
10. Siulak 32.581 19 - 19
11. Kayu Aro 9.427 18 - 18
12. Gunung Tujuh 16.250 13 - 13
13. Bukit Kerman 21.099 14 - 14
14. Air Hangat Barat 1.431 12 - 12
15. Siulak Mukai 26.439 13 - 13
16. Kayu Aro Barat 23.378 17 - 17
JUMLAH 380.850 244 2 246
Sumber : BPS Kabupaten Kerinci (2013)
23

Kawasan Hutan dan Penutupan Lahan

Luas total KPHP Model Kerinci adalah 33.309 ha yang seluruhnya


merupakan kawasan hutan produksi. Berdasarkan peta penutupan lahan tahun
2012, wilayah KPHP Kerinci didominasi oleh lahan dan perkebunan seluas
24.713,61 ha (74,20%). Sedangkan penutupan lahan berupa hutan seluas 7.799,12
ha (23,23%) yang terdiri dari hutan primer seluas 7.288,5 ha (21,78%) dan hutan
sekunder seluas 510,88 ha (1,53%). Perubahan kondisi penutupan ini tidak
terlepas dari sangat sempitnya lahan pertanian di Kabupaten Kerinci sehingga
okupasi masyarakat untuk memanfaatkan kawasan hutan produksi untuk
pengembangan produksi pertanian dan perkebunan, selain itu berdasarkan RTRW
Kabupaten Kerinci wilayah kawasan hutan produksi telah ditetapkan sebagai
Hutan Produksi Pola Partisipasi Masyarakat (HP3M). Jenis penutupan lahan yang
ada di wilayah KPHP Model Kerinci secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Jenis Penutupan Lahan di KPHP Model Kerinci

No Penutupan Lahan Luas (ha) %


1. Hutan Primer 7.288,5 21,70
2. Hutan Sekunder 510,88 1,53
3. Semak belukar dan lahan terbuka 786,58 2,36
4. Pertanian dan Perkebunan 24.713,61 74,20
5. Air 69,34 0,06
Jumlah 34.250 100
Sumber: Ditjenplan Kemenhut (2013)

Adapun peta penutupan lahan wilayah KPHP Model Kerinci dapat dilihat
pada Gambar 3.

Gambar 3 Peta Penutupan Lahan KPHP Model Kerinci


(Sumber: Ditjen Planologi Kemenhut 2013)
24

Topografi dan Morfologi Wilayah

Wilayah Kabupaten Kerinci sebagian besar (98%) berada pada ketinggian


500 3.805 mdpl dan merupakan bagian dari Pegunungan Bukit Barisan. Secara
umum wilayah Kabupaten Kerinci dapat dikelompokkan dalam beberapa satuan
morfologi yaitu dataran, perbukitan bergelombang halus sampai perbukitan
bergelombang sedang dan pegunungan. Berdasarkan kondisi geomorfologi dan
penyebaran batuannya, pola orientasi ke arah utara, akan dijumpai morfologi yang
lebih tinggi yaitu morfologi perbukitan bergelombang sampai pegunungan,
sedangkan pada orientasi ke arah Selatan akan dijumpai morfologi dataran rendah.
Berdasarkan Peta Landsystem Tahun 1989 kondisi dan persentase
kelerengan di wilayah KPHP Model kerinci adalah sebagai berikut:
- Areal bertopografi datar (0 - 8 %) seluas 535,73 ha atau 1,56% dari total
wilayah KPHP Kerinci
- Areal bertopografi landai (8 15 %) seluas 141,23 ha atau 0,41% dari
total wilayah KPHP Kerinci
- Areal bertopografi agak curam (15 25 %) seluas 970,04 ha atau 2,83%
dari total wilayah KPHP Kerinci
- Areal bertopografi curam (25 40 %) seluas 2.510,36 ha atau 7,33% dari
total wilayah KPHP Kerinci
- Areal bertopografi sangat curam (>40%) seluas 30.092,86 ha atau 87,86%
dari total wilayah KPHP Kerinci

Geologi

Formasi penyusun geologi wilayah KPHP Model Kerinci di dominasi jenis


batuan gunung api kuarter seluas 20.560,15 ha (60,03%). Jenis-jenis batuan
geologi yang terdapat pada KPHP Model merupakan potensi sumber daya alam
yang sangat menunjang pembangunan ekonomi Kabupaten Kerinci. Formasi
penyusun geologi wilayah KPHP Model Kerinci terdiri atas 10 formasi,
sebagaimana terlihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Formasi batuan penyusun di Wilayah KPHP Model Kerinci

No Formasi Penyusun Luas (ha) %


1. Alluvium 1.802,17 5,41%
2. Batuan Gunung Api Kuarter 19.619,12 58,90%
3. Batuan Gunung Api Rhyo-andesite 5.912,59 17,75%
4. Formasi Bandan 2,77 0,01%
5. Formasi Pengasih 86,25 0,26%
6. Formation Kumun 358,27 1,08%
7. Granit 4.699,87 14,11%
8. Lava 8,88 0,03%
9. Oligo-Miocene Volcanic Rock 379,39 1,14%
10. Undifferentiated Volcanic Breccia 439,37 1,32%
Jumlah 33,309 100%
Sumber : Ditjen Planologi Kemenhut (2013)
25

Tanah

Secara umum sebagaimana tanah yang ada di Indonesia, tanah-tanah yang


berada di Kabupaten Kerinci memiliki ciri-ciri sebagai berikut: Struktur tanahnya
baik dimana tanah tidak terlalu padat dan tidak terlalu lenggang, cukup
mengandung air yang berguna untuk melarutkan unsur hara.
Berdasarkan Peta Land System 1989, sebaran Jenis tanah pada KPHP Model
Kerinci didominasi oleh jenis podsolik coklat dengan luas 30.370 ha atau 90.97 %
dari total luas wilayah KPH, diikuti oleh podsolik merah kuning seluas 979 ha
atau sebesar 2.90%. Untuk lebih lengkapnya tentang jenis tanah pada wilayah
KPHP Model Kerinci dapat dijelaskan sebagai berikut (Klasifikasi Dudal-
Soepraptohardjo):

Podsolik Coklat seluas 30.369, 66 ha


Tanah ini mudah dijumpai didaerah-daerah pegunungan yang memiliki
temperatur udara rendah dan curah hujan yang relatif tinggi. Tanah jenis ini
terbentuk dari pelapukan batuan yang mengandung banyak kuarsa sehingga warna
tanah ini kecoklatan. Tanah ini kurang subur karena kandungan unsur hara yang
sedikit dan mineral terbawa oleh air hujan. Tanah jenis ini banyak dijumpai di
wilayah pegunungan yang tersebar di Pulau Sumatera, Maluku, dan Sulawesi.

Podsolik Merah Kuning seluas 979, 24 ha


Tanah podsolik merah kuning merupakan jenis tanah yang memiliki
persebaran terluas di Indonesia. Berasal dari bahan induk batuan kuarsa di zona
iklim basah dengan curah hujan antara 2.500 3.000 mm/tahun. Sifatnya mudah
basah dan mudah mengalami pencucian oleh air hujan, sehingga kesuburannya
berkurang. Dengan pemupukan yang teratur, jenis tanah ini dapat dimanfaatkan
untuk persawahan dan perkebunan.

Latosol seluas 970 ha


Latosol adalah tanah yang terbentuk dari batuan beku, sedimen, dan
metafomorf. Tanah latosol memiliki ciri-ciri yaitu, merupakan jenis tanah yang
telah berkembang atau terjadi deferensiasi horison, solum dalam, tekstur lempung,
warna coklat, merah hingga kuning, tersebar di daerah beriklim basah, curah
hujan lebih dari 3000 mm/tahun, ketinggian tempat berkisar antara 300-1000
meter di atas permukaan laut, mudah menyerap air, memiliki pH 6 7 (netral)
hingga asam, memiliki zat fosfat yang mudah bersenyawa dengan unsur besi dan
aluminium, kadar humusnya mudah menurun.

Andosol seluas 847, 84 ha


Tanah andosol terbentuk dari endapan abu vulkanik yang telah mengalami
pelapukan sehingga menghasilkan tanah yang subur. Tanah ini memiliki ciri-ciri
yaitu, merupakan jenis tanah mineral yang telah mempunyai perkembangan profil,
warna coklat kekelabuan hingga hitam, kandungan organiknya tinggi, dan
kelembapannya juga tinggi. Penyebarannya di daerah beriklim sedang dengan
curah hujan di atas 2500 mm/tahun tanpa bulan kering, umumnya di jumpai di
daerah lereng atau kerucut volkan dengan ketinggian di atas 800 mdpl. Andosol
kebanyakan terdapat di pulau-pulau yang memiliki gunung api aktif.
26

Alluvial seluas 142 ha


Alluvial adalah tanah yang berasal dari endapan lumpur yang dibawa
melalui sungai-sungai. Secara umum, sifat jenis tanah ini mudah digarap, dapat
menyerap air, dan permeabel sehingga cocok untuk semua jenis tanaman
pertanian. Ciri-ciri tanah alluvial yaitu, jenis tanah masih muda, belum mengalami
perkembangan, berasal dari bahan induk aluvium, tekstur beraneka, dan
kesuburan umumnya sedang hingga tinggi. Tanah ini cocok ditanami padi,
palawija, tembakau, tebu, sayuran, kelapa dan buah-buahan.

Iklim

Kabupaten Kerinci beriklim tropis dengan suhu rata-rata 22,3C dengan


suhu maximum sebesar 28,9C terjadi pada bulan Juni, serta suhu minimum
sebesar 17,1C terjadi pada bulan Januari. Curah hujan rata-rata per bulan sebesar
142,27 mm dengan curah hujan terendah sebesar 23,7 mm terjadi pada bulan
Agustus dan curah hujan tertinggi sebesar 340,9 mm terjadi pada bulan
Nopember. Kelembaban relatif udara rata-rata per bulan sebesar 82% dengan
kelembapan udara terendah sebesar 78% terjadi pada bulan Januari dan
kelembapan udara tertinggi sebesar 84 % terjadi pada bulan April dan Desember.

Tabel 7 Jumlah Curah Hujan, Banyaknya Hari Hujan dan Kelembaban Relatif
menurut Bulan di Kabupaten Kerinci.

Curah Banyaknya Kelembaban Suhu Udara


No. Bulan Hujan Hari Hujan Relatif Rata-Rata
(mm3) (jumlah hari) (%) (C)
1. Januari 48.60 5 78 22.2
2. Februari 193.20 15 83 22.4
3. Maret 42.20 4 80 22.1
4. April 177.10 16 84 22.1
5. Mei 117.60 14 82 22.7
6.. Juni 72.60 6 81 22.5
7. Juli 107.60 9 83 22.3
8. Agustus 23.70 5 82 22.1
9. September 28.10 4 79 22.4
10. Oktober 250.00 15 83 22.4
11. November 340.90 21 82 21.8
12. Desember 305.60 23 84 22.4
Rata-rata 142,27 11 82 22.3
Sumber: BPS Kabupaten Kerinci (2013)

Demografi

Penduduk merupakan salah satu sumberdaya yang sangat penting di dalam


pembangunan. Diharapkan dengan jumlah penduduk yang cukup, terutama
penduduk dalam usia produktif akan dapat meningkatkan pembangunan di suatu
daerah.
27

Jumlah Penduduk Kabupaten Kerinci hasil proyeksi penduduk tahun 2012


sebesar 235.797 jiwa, sedangkan jumlah penduduk tahun 2011 sebesar 235.251
jiwa. Berarti terjadi kenaikan sebesar 546 jiwa dalam kurun waktu 1 tahun. Rata-
rata laju pertumbuhan penduduk per tahun dari tahun 2000 sampai 2012 sebesar
0,64%, sedangkan laju pertumbuhan penduduk per tahun dari tahun 2011 sampai
2012 mencapai 0,23% (BPS Kabupaten Kerinci 2013).
Suku/etnis masyarakat Kabupaten Kerinci antara lain terdiri dari suku
melayu, minang, Jawa, dan lain-lain. Agama yang dipeluk oleh penduduk adalah
Agama Islam, Kristen protestan dan Katholik dengan mayoritas penduduknya
adalah beragama islam. Mata pencaharian penduduk umumnya tersebar
diberbagai kegiatan seperti pertanian dan perkebunan, perdagangan, serta pegawai
pemerintahan.

Aksesibilitas

Jalan mempunyai peranan yang cukup penting sebagai sarana untuk


memperlancar aktivitas perekonomian, pembangunan dan stabilitas sosial,
sehingga kondisi jalan menjadi bagian yang perlu diperhatikan. Dari total panjang
jalan di Kabupaten Kerinci yaitu 422 km, sebesar 54,20% atau sekitar 239,5 km
dengan kondisi jalan baik, sedangkan kondisi jalan yang rusak sampai rusak total
mencapai 18,34% atau sekitar 81,10 Km.

Wilayah Daerah Aliran Sungai

Berdasarkan Daerah Aliran Sungai, KPHP Model Kerinci terletak pada


Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanghari, DAS Indrapura dan DAS Manjunto
Selagan. Untuk sub DASnya terdiri dari Sub DAS Batang Merangin-Tembesi,
Sub DAS Batang Tebo dan DAS Tapan/Indrapura, Sub DAS Sangir dan Sub DAS
Tabir. Keberadaan DAS pada wilayah KPHP ini merupakan wilayah yang sangat
strategis karena dari DAS ini merupakan hulu dari sub DAS baik mengalir ke
Provinsi Jambi maupun Provinsi Sumatera Barat dan Bengkulu. Sebagian besar
sektor pertanian dan air irigasi sangat tergantung pada keutuhan daerah aliran
sungai pada wilayah KPHP ini.
Berdasarkan pembagian wilayah DAS, KPHP Model Kerinci terbagi ke
dalam tiga wilayah DAS yaitu DAS Batanghari seluas 25.385,46 ha atau 76,21%
dari luas wilayah KPH, DAS Indrapura seluas 6.654 ha atau 19,98%, dan DAS
Manjunto Selagan seluas 1.269,06 ha atau 3,81% dari luas wilayah KPH
(Kemenhut 2014).

Posisi KPHP Model Kerinci dalam Tata Ruang Wilayah dan Pembangunan
Daerah Kabupaten Kerinci

Dalam rencana tata ruang kawasan (RTRW) Kabupaten Kerinci wilayah


KPHP Model Kerinci termasuk dalam pola ruang kawasan budidaya yang
diperuntukan sebagai kawasan peruntukan hutan produksi. Kawasan hutan
produksi di Kabupaten Kerinci diantaranya adalah untuk kawasan Hutan Tanaman
Rakyat (HTR) dan kawasan Hutan Produksi Pola Partisipasi Masyarakat (HP3M).
Kawasan HTR di Kabupaten Kerinci ini ditetapkan dengan SK Menteri
28

Kehutanan RI nomor SK.400/Menhut-II/2010, sedangkan Kawasan HP3M


ditetapkan sesuai dengan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor
421/Kpts-II/1999, dan SK Gubernur Daerah TK I Jambi Nomor 108 Tahun 1999,
tentang Penetapan Luas Kawasan Hutan Kesepakatan. Luas kawasan HTR saat ini
adalah 11.187 ha yang sebelumnya adalah merupakan areal HP3M seluas 32.370
ha, maka luas HP3M setelah dikurangi dengan luasan kawasan HTR adalah
21.183 ha. Sesuai dengan SK Gubernur luas HP3M yang ada di Kabupaten
Kerinci dan Kota Sungai Penuh adalah 30.450 ha.
Kawasan HP3M di Kabupaten Kerinci terdiri dari 2 (dua) kelompok hutan,
yaitu :
1. Kelompok hutan merangin barat-merangin timur yang terdapat di Kecamatan
Gunung Tujuh, Kecamatan Kayu Aro, Kecamatan Kayu Aro Barat,
Kecamatan Gunung Kerinci, Kecamatan Siulak, Kecamatan Siulak Mukai,
Kecamatan Air Hangat Timur, Kecamatan Keliling Danau, Kecamatan Bukit
Kerman, dan Kecamatan Gunung Raya
2. Kelompok hutan batas batang merangin timur yang terdapat di Kecamatan
Air Hangat, Kecamatan Air Hangat Barat, Kecamatan Bukit Kerman,
Kecamatan Batang Merangin dan Kecamatan Sitinjau Laut.
Pelaksanaan KPH Model Unit I Kerinci menyesuaikan dengan pola HP3M
yang telah diatur dalam RTRW Kabupaten Kerinci. Posisi wilayah kelola KPHP
Kerinci masih ditentukan oleh kebijakan provinsi, kabupaten dan kota. Meskipun
demikian wilayah kelola KPHP Model Kerinci masih sinkron dengan RKTN
dalam hal arahan pengelolaan (Kemenhut 2014).

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

Nilai Ekonomi Total Sumberdaya Hutan KPHP Model Kerinci

Kawasan hutan produksi yang sekarang dibentuk menjadi KPHP Model


Kerinci memiliki potensi sumber daya alam yang tinggi. Potensi tersebut dapat
dilihat dari Nilai Ekonomi Total (NET) sumber daya alam yang dimilikinya.
Nilai ekonomi total sumber daya hutan KPHP Model Kerinci dalam
penelitian ini merupakan penjumlahan nilai guna langsung (direct use value) yang
terdiri dari nilai ekonomi kayu bulat dan nilai ekonomi agroforestri; dan nilai
guna tak langsung (indirect use value), yaitu nilai ekonomi jasa lingkungan.
Penilaian ekonomi dibatasi hanya pada tiga komponen tersebut karena merupakan
manfaat yang paling dirasakan langsung oleh masyarakat terutama yang berada di
sekitar KPHP Model Kerinci.

Nilai Ekonomi Kayu

Kayu/pohon adalah penopang utama ekosistem hutan. Kedudukan pohon


sangatlah sentral dalam ekosistem hutan produksi, sehingga manakala pohon tidak
hadir, maka ekosistem tersebut dalam banyak hal berubah ke arah yang
terdegradasi, yang terutama adalah dalam hal kelengkapan jenis atau keragaman
biologisnya. Hilangnya unsur pohon memberi dampak lebih besar terhadap
29

kehilangan jenis-jenis lainnya daripada sebaliknya. Dengan kata lain, kehilangan


peluang ekonomi sumber daya hutan akibat hilangnya pohon akan lebih besar
daripada hilangnya unsur/jenis lainnya. (Darusman 2002).
Berdasarkan data dari Kementerian Kehutanan (Kemenhut 2014) bahwa
Potensi kayu yang ada di KPHP Model Kerinci dapat dikatakan cukup tinggi
dimana pada hutan primer potensinya mencapai 222,49 m3/ha, dengan taksiran
potensi kayu per hektar diperkirakan sekitar 193,50 - 251,48 m3/ha dan pada
hutan sekunder sekitar 101,13 m3/ha, dengan taksiran potensi kayu per hektar
diperkirakan sekitar 87,89 - 114,36 m3/ha. Dengan demikian potensi total kayu
yang ada di KPHP Model Kerinci dapat diketahui dengan mengalikan rata-rata
potensi kayu per hektar dengan luas penutupan hutan (hutan primer dan hutan
sekunder). Total potensi kayu untuk areal berpenutupan primer adalah sebesar
1.621.526, 92 m3, sedagkan total potensi kayu untuk areal berpenutupan hutan
sekunder adalah sebesar 58.795,45 m3.
Penilaian ekonomi kayu yang dimaksud dalam penelitian ini adalah nilai
ekonomi kayu pada areal yang boleh ditebang yaitu pada areal yang berpenutupan
hutan sekunder dengan luas 510,88 ha dengan potensi kayu sebesar 58.795,45 m3.
Sedangkan perhitungan nilai ekonomi kayu pada penutupan hutan primer tidak
dilakukan karena hutan primer diperuntukkan sebagai blok perlindungan yang
kayunya tidak boleh ditebang. Dari total potensi kayu pada hutan sekunder, yang
termasuk ke dalam jenis kayu komersil sebanyak 33.610 m3.
Pada hutan alam campuran diameter pohon inti ditetapkan menjadi 20 cm ke
atas dengan jumlah pohon inti 25 batang per ha. Rotasi tebang ditetapkan 35 tahun
dan batas diameter yang boleh ditebang adalah 50 cm ke atas dengan riap
diameter/tahun tetap yaitu 1 cm/tahun). Dari jumlah tersebut, potensi kayu jenis
komersial sekitar 65,79 m3/ha. Diperoleh etat tebang 537,77 m3/tahun.
Jenis-jenis pohon yang mendominasi di areal KPHP Kerinci adalah
Medang, Kelat, Mempening dan Meranti dengan sebaran kelas diameter pohon
mulai dari 20 cm sampai dengan diameter di atas 80 cm yang ditunjukkan pada
Gambar 4.

Gambar 4 Sebaran Kelas Diameter Pohon di KPHP Model Kerinci


(Sumber : Kementerian Kehutanan 2014)
30

Nilai ekonomi kayu diperoleh dengan menghitung jumlah kayu yang boleh
ditebang per tahun dikalikan dengan harga jualnya. Harga kayu di tegakan
dihitung setelah dikurangi biaya operasional (biaya tebang dan biaya transportasi
dari lokasi tebangan ke pabrik), maka didapatkan harga tegakan sebesar Rp
1.500.000/m3 untuk semua jenis kayu. Hal ini berdasarkan harga pasar lokal untuk
tahun 2014 di daerah Kerinci khususnya. Maka nilai ekonomi kayu pada hutan
sekunder adalah Rp. 806.655.000/tahun.

Nilai Ekonomi Agroforestri

Agroforestri merupakan suatu sistem penggunaan lahan yang


mengkombinasikan antara jenis tanaman kehutanan dengan tanaman bukan
kehutanan yang dilaksanakan pada waktu bersamaan atau bergiliran untuk
memperoleh manfaat ekonomi, ekologi dan sosial secara berkelanjutan.
Di Kabupaten Kerinci, agroforestri telah dipraktekkan sejak berabad-abad
yang lalu. Istilah lokal untuk agroforestri di Kabupaten Kerinci adalah Pelak.
Jenis tanaman yang ditanam di lahan agroforestri pada umumnya adalah
kombinasi antara tanaman surian, kayu manis, kopi, dan tanaman hortikultura
seperti cabe dan tomat, terdapat juga pohon pisang, pinang, bambu dan beberapa
jenis tanaman lainnya.
Adapun contoh praktek agroforestri di Kabupaten Kerinci dapat dilihat pada
Gambar 5.

Gambar 5 Praktek Agroforestri yang Didominasi Kayu Manis

Keberadaan KPHP Model Kerinci memberikan manfaat dari agroforestri.


Areal agroforestri ini berada pada penutupan lahan pertanian dan perkebunan
seluas 24.713,61 ha. Penilaian ekonomi agroforestri ini dilakukan dengan
menghitung produksi rata-rata setiap komoditas per hektar per tahun. Komoditas
31

yang ditanam di areal agroforestri KPHP Model Kerinci pada umumnya hampir
sama. Jenis yang dominan yaitu kopi, kayu manis, surian, kemiri, cengkeh,
alpukat, durian, sirih, cabe, tomat, pisang, bambu, kayu bakar, pinang. Diperoleh
nilai agroforestri sebesar Rp. 12.235.000/ha/tahun. Sehingga total nilai
ekonomi agroforestri untuk luasan 24.713,61 ha adalah sebesar
Rp. 302.371.018.400/tahun.

Nilai Ekonomi Jasa Lingkungan

Berbeda halnya dengan perhitungan dari manfaat tangible dari hasil hutan
yang berupa kayu dan bukan kayu yang dapat secara langsung dinilai oleh sistem
pasar, maka untuk manfaat intangible yang mencakup manfaat rekreasi,
perlindungan dan pengaturan tata air, penyerap karbon, kesuburan tanah,
pencegahan erosi dan lain-lain sampai saat ini tidak dapat atau masih sulit dinilai
oleh sistem pasar.
Pemahaman dan pengetahuan yang masih rendah terhadap manfaat
intangible hutan, serta belum adanya penilaian ekonomi secara kuantitatif, telah
mengakibatkan kurangnya pemahaman akan pentingnya fungsi hutan bagi
kesejahteraan manusia secara lengkap dan mendalam (Darusman 2002).
Nilai ekonomi jasa lingkungan pada wilayah KPHP Model Kerinci
diestimasi dengan menggunakan pendekatan analisis Willingness To Pay (WTP).
Pendekatan WTP ini dilakukan dengan mewawancarai 60 responden yang tinggal
di sekitar KPHP Model Kerinci dimana mereka diminta pendapatnya tentang
kesediaan untuk melakukan pembayaran atas manfaat dari jasa lingkungan yang
dirasakan oleh masyarakat terhadap keberadaan hutan pada KPHP Model Kerinci.
Manfaat dari jasa lingkungan yang dimaksud seperti pengaturan tata air, penyerap
karbon, pencegah erosi dan longsor, pencegah banjir, pengatur iklim dan
ekowisata.
Berdasarkan hasil wawancara, dari 60 responden yang diwawancarai yang
merupakan petani dan bukan petani, semuanya bersedia membayar untuk tetap
memperoleh manfaat jasa lingkungan dari keberadaan sumberdaya hutan KPHP
Model Kerinci, karena selama ini mereka memang merasakan manfaat dari
keberadaan hutan, seperti ketersediaan air untuk keperluan rumah tangga, juga
untuk pengairan lahan pertanian dan perkebunan, kesejukan udara, sebagai tempat
wisata alam dan manfaat jasa lingkungan lainnya. Distribusi nilai WTP
masyarakat dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Sebaran Nilai WTP Manfaat Jasa Lingkungan KPHP Model Kerinci

No. WTP Jumlah Frekuensi Nilai WTP


(Rp/bulan) Relatif (Rp/bulan)
1 5.000 21 0,35 105.000
2 10.000 16 0,27 160.000
3 15.000 7 0,12 105.000
4 20.000 9 0,15 180.000
5 25.000 5 0,08 125.000
6 30.000 2 0,03 60.000
Jumlah 60 1,00 735.000
32

WTP masyarakat yang merasakan manfaat jasa lingkungan dari sumber


daya hutan KPHP Model Kerinci cukup bervariasi, mulai dari Rp.5.000 sampai
Rp.30.000 per bulan. Berdasarkan hasil perhitungan data WTP masyarakat,
diperoleh total nilai WTP yang dikeluarkan responden adalah sebesar 735.000 per
bulan dengan rata-rata WTP masyarakat adalah sebesar Rp.12.250/bulan atau
Rp.147.000/tahun. Nilai ini terbilang cukup kecil dikarenakan sebagian besar
penduduk yang tinggal di kawasan KPHP Model Kerinci memiiki pendapatan
yang relatif rendah.
Nilai jasa lingkungan diperoleh dengan mengalikan nilai WTP per tahun
dengan jumlah populasi Kabupaten Kerinci, yaitu sebanyak 235.797 KK (Kerinci
dalam angka 2012), maka nilai jasa lingkungan dari KPHP Model Kerinci adalah
sebesar Rp.34.662.159.000/tahun.
Dari perhitungan ketiga komponen nilai ekonomi tersebut, maka diperoleh
Nilai Ekonomi Total Sumber daya Hutan KPHP Model Kerinci yang dapat dilihat
pada Tabel 9.

Tabel 9 Nilai Ekonomi Total Sumber Daya Hutan pada KPHP Model Kerinci

No. Jenis Manfaat Nilai Ekonomi


(Rp/tahun)
1 Nilai Guna Langsung
Nilai Kayu 806.655.000
Nilai Agroforestri 302.371.018.400
2 Nilai Guna Tidak Langsung
Nilai Jasa Lingkungan 34.662.159.000
Jumlah 337.839.832.400

Dari hasil analisis Nilai Ekonomi Total pada KPHP Model Kerinci dapat
disimpulkan bahwa Keberadaan sumber daya hutan pada wilayah KPHP Model
Kerinci saat ini berpotensi berperan dalam pengembangan wilayah Kabupaten
Kerinci. Hal ini terlihat dari nilai ekonomi total sumber daya hutan KPHP Model
Kerinci sebesar Rp. 337 milyar/tahun, artinya berpotensi menyumbang sebesar
8,38 % terhadap PDRB Kabupaten Kerinci. Potensi kontribusi sebesar 8,38%
tersebut dianggap masih dalam bentuk PDRB Hijau karena di dalamnya terdapat
nilai jasa lingkungan yang selama ini tidak diperhitungkan dalam PDRB (PDRB
Coklat) Kabupaten Kerinci. Nilai yang diperhitungkan dalam PDRB Coklat
Kabupaten Kerinci adalah nilai dari komoditas kehutanan seperti kayu, getah,
rotan, bambu dan sebagainya yang dalam penelitian ini diambil dari nilai ekonomi
kayu dan nilai ekonomi agroforestri. Oleh karena itu, dari nilai ekonomi total
sebesar Rp. 337 milyar/tahun tersebut yang berpotensi menyumbang terhadap
PDRB tercatat (PDRB Coklat) adalah sebesar Rp.303 milyar/tahun ( nilai
ekonomi kayu dan nilai ekonomi agroforestri) atau sekitar 7,51%. Hal ini jauh
lebih besar dibandingkan dengan kontribusi sub sektor kehutanan terhadap PDRB
Kabupaten Kerinci tahun 2012 yang tercatat (PDRB Coklat) sebesar Rp. 1,7
Milyar atau sebesar 0,04% dari total PDRB Kabupaten Kerinci Rp. 4.03 Triliun.
33

Kelembagaan KPHP Model Kerinci

Analisis kelembagaan dalam penelitian ini bertujuan untuk merumuskan


model kelembagaan KPHP Model Kerinci yang disesuaikan dengan kebutuhan
daerah. Komponen yang menjadi input dalam analisis ini adalah (1) Stakeholders
yang terlibat dalam Kelembagaan KPHP Model Kerinci; (2) Model Kelembagaan
KPHP Model Kerinci saat ini; dan (3) Pengembangan Model Kelembagaan KPHP
Model Kerinci sesuai dengan persepsi dan harapan stakeholders .

Stakeholders dalam Kelembagaan KPHP Model Kerinci

Stakeholders yang terlibat dalam KPHP Model Kerinci secara umum dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu (1) stakeholders primer yang terdiri dari
masyarakat, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kerinci dan Pemerintah
Pusat (Kementerian Kehutanan); (2) stakeholders sekunder yang terdiri dari
Bappeda Kabupaten Kerinci, Dinas Pertanian Kabupaten Kerinci, Pemerintah
Pusat ( Kementerian Kehutanan), Balai Besar Taman Nasional Kerinci Seblat
(BBTNKS), Akademisi (Universitas Jambi) dan LSM pemerhati lingkungan.
Kepentingan, pengaruh dan peluang partisipasi stakeholders dalam pengelolaan
KPHP Model Kerinci disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10 Stakeholders, Kepentingan dan Tingkat Kepentingannya serta Pengaruh


dan Peluang Partisipasinya dalam Pengelolaan KPHP Model Kerinci

No. Stakeholders Kepentingan Tingkat Tingkat Peluang


Kepentingan Pengaruh Partisipasi
A Stakeholders Primer
1 Masyarakat Sumber daya Tinggi, Tinggi, Pengelolaan,
yang tinggal lahan untuk penerima sumber daya perlindungan
di sekitar pertanian/perk dampak manusia dan dan
hutan ebunan langsung kontrol pemanfaatan
2 Dinas Pengelolaan Tinggi, Tinggi, Pengelolaan
Kehutanan sumber daya wilayah pengelola dan
dan hutan di teritorial sumber daya pembinaan
Perkebunan daerah hutan daerah
3 Pemerintah Pengelolaan Tinggi, Tinggi, Pembinaan
Pusat KPH wilayah pengelola
(Kemenhut) teritorial sumber daya
hutan
B Stakeholders Sekunder
1 Bappeda Pembangunan Rendah, Rendah, dapat Perencanaan
Kab.Kerinci daerah sumberdaya bekerjasama
yang terbatas
tanpa
kekuatan
intervensi
2 Dinas Pembangunan Tinggi, Rendah, dapat Fasilitasi
Pertanian pertanian intensitas bekerjasama kegiatan
Kab.Kerinci pemanfaatan tanpa pertanian
lahan untuk kekuatan
pertanian intervensi
34

Tabel 10 (Lanjutan)

3 BBTNKS Konservasi Tinggi, Sedang, Pengelolaan


pengelolaan otoritas kawasan
kawasan pengelolaan TNKS
TNKS hanya pada
kawasan
TNKS
5 LSM Kelestarian Tinggi, Sedang, Fasilitasi dan
sumberdaya dukungan koordinasi, mediasi
hutan dan para pihak mobilisasi dan
kesejahteraan dan advokasi
masyarakat pendamping
an
6 Universitas Pengembanga Sedang, Tinggi, Penelitian
Jambi n tempat penelitian academic
penelitian terkait authority
KPHP
Model
Kerinci
Berdasarkan matrik tingkat kepentingan dan pengaruh terhadap para
stakeholders , menunjukkan bahwa pihak yang paling berperan dalam pengelolaan
KPHP Model Kerinci adalah stakeholders primer, yaitu Dinas Kehutanan dan
Perkebunan Kabupaten Kerinci, masyarakat sekitar hutan, dan Pemerintah Pusat
(Kementerian Kehutanan) yang memiliki tingkat pengaruh dan tingkat
kepentingan yang tinggi. Stakeholders primer tersebut harus dilibatkan secara
intensif serta dapat bekerjasama dengan baik agar pembangunan KPHP Model
Kerinci dapat terlaksana dengan baik, sedangkan stakeholders sekunder yang
terdiri dari Bappeda, Akademisi, Dinas Pertanian, BBTNKS dan LSM memiliki
tingkat kepentingan yang rendah sampai tinggi. Kelompok stakeholders sekunder
ini mempunyai dampak langsung terhadap keberadaan KPHP Model Kerinci,
namun mempunyai pengaruh yang rendah sampai tinggi. Kelompok ini tidak
menjadi prioritas dalam pengelolaan KPHP Model Kerinci, artinya tidak
memerlukan pelibatan secara intensif, namun jika memungkinkan, perlu untuk
dilakukan pengawasan dan evaluasi secara berkala untuk mengetahui
perkembangan kepentingannya.

Kelembagaan KPHP Model Kerinci Saat ini

Saat ini kelembagaan KPHP Model Kerinci masih berupa Unit Pelaksana
Teknis Dinas (UPTD) di bawah Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten
Kerinci. Sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 61 tahun 2010
tentang Pedoman organisasi dan tata kerja KPHP dan KPHL di daerah bahwa
bentuk organisasi KPH adalah berupa satuan kerja perangkat daerah (SKPD).
Struktur Organisasi UPTD KPHP Model Kerinci berdasarkan Peraturan
Bupati Kerinci Nomor 14 Tahun 2013 seperti pada Gambar 6.
35

Kepala Dinas

Kepala UPTD
(Kepala KPHP)

Sub Bagian
Tata Usaha

Kelompok
Jabtan
Fungsional

Gambar 6 Struktur Organisasi KPHP Model Kerinci

Kelembagaan KPHP Model Kerinci berdasarkan Persepsi dan Harapan


Stakeholders

Model kelembagaan KPHP Model Kerinci berdasarkan persepsi dan


harapan stakeholder bahwa KPHP Model Kerinci tetap menjadi UPTD
Kabupaten sehingga amanat Permendagri Nomor 61 Tahun 2010 dapat terpenuhi.
Dengan demikian UPTD KPHP Model Kerinci berada di bawah Kepala Dinas
yang menangani kehutanan di Kabupaten Kerinci . KPHP menjalankan tugas
mengelola hutan pada tingkat lapangan didukung oleh sumber daya manusia yang
diangkat dan diberhentikan oleh Bupati.
Oleh karena wilayah KPHP Model Kerinci tersebar di 13 Kecamatan, maka
berdasarkan persepsi para pihak, perlu dibentuk beberapa resort pengelolaan di
beberapa kecamatan agar memudahkan dalam pemantauan dan pengawasan di
lapangan. Pada setiap resort akan satu orang terdapat kepala resort dan beberapa
staf dengan jabatan fungsional. Pembentukan resort pengelolaan didasarkan pada
pertimbangan kedekatan lokasi, sub DAS dan luas kawasan. Adapun arahan
pembagian resort pada KPHP Model Kerinci dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Resort Pengelolaan pada KPHP Model Kerinci

Resort Lokasi Luas Penutupan Lahan Potensi


(Kecamatan) (Ha) Pemanfaatan
1 Gunung Tujuh, 4.000 Pertanian dan Pengembangan
Kayu Aro, perkebunan, hutan Agroforestri
Kayu Aro Barat primer, semak Kayu Manis
belukar, tubuh air
36

Tabel 11 (Lanjutan)

2 Gunung Kerinci, 7.500 Pertanian dan Pengembangan


Siulak, perkebunan, hutan Agroforestri Kopi
primer, hutan
sekunder, semak
belukar
3 Siulak Mukai, 7.300 Pertanian dan Pengembangan
Air Hangat, perkebunan, hutan Agroforestri
Air Hangat Timur primer, hutan Kayu Manis
sekunder, semak
belukar dan lahan
terbuka
4 Sitinjau Laut, 3.500 Pertanian dan Pengembangan
Keliling Danau perkebunan, hutan Agroforestri
primer, semak Surian
belukar dan lahan
terbuka
5 Batang Merangin 4.000 Pertanian dan Perlindungan
perkebunan, hutan Keanekaragaman
primer, semak Hayati
belukar dan lahan
terbuka
6 Bukit Kerman, 7.000 Pertanian dan Pengembangan
Gunung Raya perkebunan, hutan Agroforestri
sekunder, semak Surian
belukar dan lahan
terbuka

Resort 1
Resort 1 merupakan gabungan dari lokasi KPHP Model Kerinci yang
berada di Kecamatan Gunung Tujuh, Kecamatan Kayu Aro, dan Kecamatan Kayu
Aro Barat dengan luas resort diperkirakan sekitar 4.000 Ha. Jenis Penutupan
lahan yang dominan pada resort ini adalah lahan pertanian dan perkebunan. Jenis
penutupan lahan lainnya pada resort adalah tubuh air, penutupan hutan primer,
hutan sekunder dan semak belukar. Oleh karena jenis penutupan lahan yang
dominan pada resort ini adalah lahan pertanian dan perkebunan, maka potensi
Pemanfaatan lahan pada resort 1 ini diarahkan untuk pengembangan agroforestri
kayu manis.

Resort 2
Resort 2 merupakan gabungan dari lokasi KPHP Model Kerinci yang
berada di Kecamatan Gunung Kerinci dan Kecamatan Siulak dengan luasan
diperkirakan sekitar 7.500 Ha. Resort ini merupakan resort paling luas
dibandingkan dengan resort lainnya. Jenis Penutupan lahan yang dominan hampir
sama dengan resort 1 yaitu lahan pertanian dan perkebunan. Penutupan lahan lain
adalah hutan primer, hutan sekunder dan semak belukar. Oleh karena jenis
penutupan lahan pada resort ini yang dominan adalah berupa lahan pertanian dan
37

perkebunan, maka pemanfaatan lahan diarahkan untuk pengembangan agroforestri


kopi.

Resort 3
Resort 3 merupakan gabungan dari lokasi KPHP Model Kerinci yang
berada di Kecamatan Siulak Mukai, Kecamatan Air Hangat dan Kecamatan Air
Hangat Timur dengan luasan diperkirakan sekitar 7.300 Ha. Jenis Penutupan
lahan yang dominan hampir sama dengan resort 1 dan 2 yaitu lahan pertanian dan
perkebunan. Penutupan lahan lain adalah hutan primer, hutan sekunder, semak
belukar dan lahan terbuka. Pemanfaatan lahan pada resort ini diarahkan untuk
pengembangan agroforestri kayu manis

Resort 4
Resort 4 merupakan gabungan dari lokasi KPHP Model Kerinci yang
berada di Kecamatan Sitinjau Laut dan Kecamatan Keliling Danau dan
Kecamatan Siulak dengan luasan diperkirakan sekitar 3.500 Ha. Resort ini
merupakan resort yang memiliki luasan yang paling kecil di antara resort-resort
lainnya. Jenis Penutupan lahan yang dominan yaitu lahan pertanian dan
perkebunan. Penutupan lahan lain adalah hutan primer, hutan sekunder dan
semak belukar. Pemanfaatan lahan resort ini diarahkan untuk pengembangan
agroforestri surian.

Resort 5
Resort 5 merupakan lokasi KPHP Model Kerinci yang berada di
Kecamatan Batang Merangin dengan luasan diperkirakan sekitar 4.000 Ha. Jenis
Penutupan lahan yang dominan yaitu lahan pertanian dan perkebunan. Jenis
penutupan lahan lain adalah hutan primer dan semak belukar. Resort ini
merupakan resort yang memiliki luasan hutan primer paling tinggi di antara
resort-resort lainnya. Pemanfaatan lahan diarahkan untuk perlindungan
keanekaragaman hayati.

Resort 6
Resort 6 merupakan gabungan dari lokasi KPHP Model Kerinci yang
berada di Kecamatan Bukit Kerman dan Kecamatan Gunung Raya dengan luasan
diperkirakan sekitar 7.000 Ha. Jenis Penutupan lahan yang dominan hampir sama
dengan resort-resort lainnya yaitu berupa lahan pertanian dan perkebunan.
Penutupan lahan lain adalah hutan primer, hutan sekunder dan semak belukar.
Pemanfaatan lahan diarahkan untuk pengembangan agroforestri surian.
Dengan adanya arahan pembentukan resort-resort pengelolaan KPHP Model
Kerinci ini, diharapkan dapat mempermudah dalam pengawasan wilayah KPHP
karena akan terdapat petugas-petugas yang langsung berada di lapangan yang
akan mengawasi wilayah KPHP, sehingga dapat mengurangi berbagai bentuk
gangguan terhadap wilayah KPHP Model Kerinci, seperti perambahan,
pembalakan liar, konflik tata batas, pendudukan kawasan hutan oleh pihak yang
tidak bertanggung jawab, dan sebagainya.
Model pengembangan kelembagaan KPHP Model Kerinci dengan
pembentukan beberapa resort secara skematis dapat dilihat pada Gambar 7.
38

Kepala KPH

Kelompok
Sub Bagian
Jabatan
Tata Usaha
Fungsional

Resort 1 Resort 4
Kec. Gunung Tujuh Kec. Sitinjau Laut
Kec. Kayu Aro Barat Kec. Keliling Danau
Kec. Kayu Aro

Resort 2 Resort 5
Kec. Gunung Kerinci Kec. Bukit Kerman
Kec. Siulak Kec. Gunung Raya

Resort 3
Kec. Siulak Mukai Resort 6
Kec. Batang Merangin
Kec. Air Hangat
Kec. Air Hangat Timur

Gambar 7 Model Pengembangan Kelembagaan KPHP Model Kerinci


dengan Pembentukan Resort-resort Pengelolaan

Kesiapan Daerah dalam Pembangunan KPHP Model Kerinci

Kesiapan daerah yang dimaksud disini adalah kesiapan dari para pihak yang
tertarik dengan keberadaan KPHP Model Kerinci yang kemungkinan mendukung
atau bertentangan/berlawanan dengan keberadaan KPHP Model Kerinci. Para
pihak yang dimaksud adalah Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kerinci,
Bappeda Kabupaten Kerinci, Masyarakat sekitar lokasi KPHP Model Kerinci,
para pemerhati lingkungan dan kehutanan (LSM/akademisi), Dinas Kehutanan
Provinsi Jambi, Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XIII Pangkal Pinang,
BP2HP wilayah IV Jambi.
Analisis kesiapan daerah dalam pelaksanaan KPHP Model Kerinci
didasarkan pada persepsi para pihak yang terlibat. Struktur hirarki yang dibangun
pada AHP dan hasil analisis dirumuskan dari persepsi para pihak yang dapat
dilihat pada Gambar 8.
39

Kesiapan Daerah
dalam Pembangunan KPHP Model Kerinci

Perencanaan Dukungan Dukungan


Pendanaan
Expertise
(0,18) Regulasi (0,58) (0,17)
(0,07)

Penyusunan Peraturan
Sosialisasi
Rencana Perundangan APBN (0,55)
(0,44)
Pengelolaan Nasional (0,74)
(0,71)
Survei dan
Penyusunan Perda/Perbup
APBD (0,35) Pemetaan
(0,17)
Rencana Bisnis (0,42)
(0,14)
Perdes/Hukum Penelitian dan
Penyusunan Donor (0,10) Pengembangan
Rencana Adat (0,09)
(0,14)
Anggaran
(0,15)
Gambar 8 Struktur Hirarki dan Bobot Kesiapan Daerah dalam
Pembangunan KPHP Model Kerinci

Perencanaan
Pembangunan KPHP Model Kerinci harus diselenggarakan melalui
dukungan perencanaan yang baik, komprehensif dan melibatkan para pihak. Dari
hasil persepsi para pihak diketahui bahwa Rencana Pengelolaan KPHP Model
Kerinci telah disusun namun belum disahkan, rencana bisnis KPHP Model
Kerinci belum disusun, Rencana Anggaran Kegiatan KPHP Model Kerinci tahun
2015 sudah ada dan sudah disahkan.

Dukungan Regulasi
Dukungan regulasi dipilih sebagai prioritas pertama karena KPHP Model
Kerinci merupakan hutan milik negara yang pengelolaan dan pemanfaatannya
harus mengikuti ketentuan hukum yang berlaku. Dukungan regulasi merupakan
pijakan dasar dan pedoman dalam melakukan pembangunan KPHP Model Kerinci.
Kesiapan daerah terkait dengan dukungan regulasi saat ini dapat dilihat dari
persepsi para pihak di antaranya : (1) Dukungan Peraturan Perundangan Nasional
terkait KPH sudah ada namun belum memadai; (2) Peraturan Bupati terkait
KPHP Model Kerinci sudah ada, namun Peraturan Daerah belum ada; (3)
Beberapa daerah di Kabupaten Kerinci yang berbatasan langsung dengan lokasi
KPHP Model Kerinci tidak memiliki Peraturan Desa/Hukum Adat terkait
pemanfaatan dan pengelolaan hutan.

Pendanaan
Pembangunan KPHP Model Kerinci harus didukung dengan dana yang
memadai agar semua kegiatan dapat terealisasi. Alokasi dana untuk
pembangunan KPHP Model Kerinci sebagian besar bersumber dari APBN
40

(sekitar 70%), alokasi dana dari APBD masih belum memadai, saat ini tersedia
juga dana dari donatur yaitu dari Flora Fauna Indonesia (FFI).

Dukungan Expertise
Dukungan expertise menjadi salah satu kriteria kesiapan daerah dalam
pembangunan KPHP Model Kerinci, karena menurut pendapat para pakar bahwa
dukungan expertise sangat penting untuk membantu proses pembangunan KPHP
Model Kerinci. Dukungan expertise yang dimaksud disini adalah dukungan
berupa tenaga ahli yang diperbantukan dari para pihak untuk proses pelaksanaan
pembangunan KPHP Model Kerinci.
Sosialisasi pembangunan KPHP Model Kerinci belum dilakukan kepada
seluruh instansi pemerintah dan non pemerintah terkait di Kerinci, survei dan
pemetaan sudah pernah dilakukan di lokasi KPHP Model Kerinci, belum ada
kegiatan penelitian dan pengembangan terkait KPHP Model Kerinci.
Berdasrkan persepsi dari para pihak, Adapun bobot dan nilai Kesiapan
Daerah dalam Pembangunan KPHP Model Kerinci dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12 Bobot dan Nilai dari Indikator Kesiapan Daerah dalam Pembangunan
KPHP Model Kerinci

No Kriteria dan Indikator Bobot Nilai Kesiapan


Daerah
1 Perencanaan
a. Penyusunan Rencana Pengelolaan 0,118 0,568 0,067
b. Penyusunan Rencana Bisnis 0,024 0,093 0,002
c. Penyusunan Rencana Anggaran 0,025 0,876 0,022
2 Dukungan Regulasi
a. Peraturan Perundangan Nasional 0,381 0,571 0,217
b. Perda/Perbup 0,083 0,397 0,033
c. Perdes/Hukum Adat 0,046 0,284 0,013
3 Pendanaan
a. APBN 0,118 0,593 0,070
b. APBD 0,076 0,523 0,040
c. Donor 0,020 0,453 0,009
4 Dukungan Expertise
a. Sosialisasi 0,049 0,715 0,035
b. Survei dan Pemetaan 0,046 1,000 0,046
c. Penelitian dan Pengembangan 0,015 0,130 0,002
Jumlah 1,000 0,556
Tingkat capaian 55,6%

Tabel 13 Interval Tingkat Kesiapan Daerah dalam Pembangunan KPHP Model


Kerinci
No Tingkat Kesiapan Interval
1 Sangat siap 80
2 Siap 51 79
3 Kurang siap 21 50
4 Tidak siap 20
41

Hasil penilaian kesiapan daerah dalam pembangunan KPHP Model Kerinci


sebesar 55,6%, artinya bahwa Pemerintah Kabupaten Kerinci telah melaksanakan
kriteria dan indikator kesiapan daerah dalam pembangunan KPHP Model Kerinci
sebesar 55,6%. Tingkat capaian ini memposisikan Pemerintah Kabupaten Kerinci
berada pada tingkat capaian siap yaitu berada pada interval 51-75%.
Indikator yang telah dilaksanakan dengan baik yaitu survei dan pemetaan.
Indikator yang belum dipenuhi di antaranya: (1) penyusunan rencana bisnis; (2)
Penelitian dan pengembangan. Indikator yang telah dilaksanakan namun belum
optimal di antaranya : (1) Penyusunan Rencana Pengelolaan; (2) Penyusunan
Rencana Anggaran; (3) Peraturan Perundangan Nasional; (4) Perda/Perbup; (5)
Hukum Adat; (6) Pendanaan dari APBN; (7) Pendanaan dari APBD; (8)
Pendanaan dari Donor; (9) Sosialisasi.
Agar dalam melaksanakan tugas pengelolaan KPHP Model Kerinci dapat
berjalan dengan baik efektif dan efisien, maka berdasarkan bobot masing-masing
indikator pada tabel 12, ada beberapa indikator yang harus segera dibenahi di
antaranya :
(1) Dukungan regulasi berupa ketersediaan Peraturan Perundangan Nasional
yang memadai sehingga dapat dijadikan dasar dan landasan dalam
pelaksanaan tugas pengelolaan KPHP di tingkat tapak.
(2) Dukungan perencanaan berupa Percepatan pengesahan rencana pengelolaan
KPHP Model Kerinci. Rencana Pengelolaan merupakan pedoman dan
arahan dalam pelaksanaan pembangunan KPHP Model Kerinci untuk jangka
waktu 10 tahun.
(3) Dukungan pendanaan berupa ketersediaan dana yang bersumber dari APBN
harus ditingkatkan lagi demi kelancaran pelaksanaan tugas.
(4) Penyusunan Peraturan Daerah terkait KPHP Model Kerinci
(5) Alokasi dana APBD masih sangat sedikit. Oleh karena itu Dana APBD
untuk KPHP Model Kerinci perlu ditingkatkan. Mengingat KPHP Model
Kerinci akan menjadi modal dalam pembangunan daerah Kerinci baik dari
segi ekonomi, ekologi maupun sosial.
(6) Sosialisasi pada seluruh pihak terkait KPHP Model Kerinci.

6 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
1. Keberadaan KPHP Model Kerinci berpotensi berperan dalam
pengembangan wilayah Kabupaten Kerinci. Hal ini ditunjukkan dari Nilai
Ekonomi Total Sumberdaya Hutan pada Wilayah KPHP Model Kerinci
sebesar Rp. 337 milyar/tahun. Dari nilai tersebut, yang berpotensi
menyumbang terhadap PDRB tercatat (PDRB Coklat) adalah dari nilai
ekonomi kayu dan nilai ekonomi agroforestri sebesar Rp.303 milyar/tahun
atau sekitar 7,51%.
2. Untuk dapat merealisasikan nilai sumberdaya hutan pada simpulan 1, maka
dibutuhkan kelembagaan yang ideal yang disesuaikan dengan kebutuhan
daerah. Model Kelembagaan KPHP Model Kerinci perlu dikembangkan
dengan pembentukan resort-resort pengelolaan pada beberapa kecamatan.
42

Ada enam resort pengelolaan yang dibentuk berdasarkan pertimbangan


luasan kawasan, kedekatan lokasi dan potensi pemanfaatan lahan.
3. Kabupaten Kerinci sudah siap dalam pembangunan KPHP Model Kerinci.
Hal ini terlihat dari tingkat capaian kesiapan daerah sebesar 55,6%. Namun
ada beberapa indikator yang harus dibenahi terutama indikator pada kriteria
dukungan regulasi dan perencanaan.

Saran
1. Dibutuhkan suatu perencanaan dengan pola partisipatif, dimana dalam
proses pengambilan keputusan melibatkan berbagai stakeholder.
2. Pengelolaan KPHP Model Kerinci sebaiknya diselenggarakan dengan
manajemen kolaboratif yaitu pengelolaan secara bersama dan sinergis oleh
para pihak atas dasar kesepahaman dan kesepakatan bersama sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlaku, sehingga dapat meningkatkan
efektifitas pengelolaan KPHP Model Kerinci.
43

DAFTAR PUSTAKA

[Baplan] Badan Planologi Departemen Kehutanan. 2006. Penyusunan kriteria dan


standar kelembagaan KPH. Jakarta (ID): Departemen Kehutanan.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Kabupaten Kerinci Dalam Angka Tahun 2013.
Kerinci (ID): Badan Pusat Statistik Kabupaten Kerinci.
Brown. 2001. Teaching by principles An active approach to language pedagogy. (2nd
ed). San Francisco: Addison Wesley Longman, Inc.
Clarkson PM, Dan AS. 1994. The Association between Audit Quality, Retained
Ownership, and Firm-Specific Risk in U.S. vs. Canadian IPO Markets.
Journal of Accounting and Economics. Vol. 17: 207-228.
Darusman D. 2002. Pembenahan Kehutanan Indonesia: Dokumentasi Kronologis
Tulisan 1986 - 2002. Bogor (ID): Lab Politik Ekonomi dan Sosial
Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor
Deliarnov. 2006. Ekonomi Politik. Jakarta (ID): Erlangga.
[Dephut] Departemen Kehutanan. 2006. Rencana strategis Kementerian/Lembaga
(Restra KL) Departemen Kehutanan Tahun 2005-2009. Jakarta (ID):
Departemen Kehutanan.
[Dephut] Departemen Kehutanan. 2009. Siaran pers nomor: S.3991P1K-1/2009,
Menteri Kehutanan tetapkan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP)
dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Provinsi NTB dan
Sultra. Jakarta (ID): Departemen Kehutanan http://www.dephut.go.id/
index.php. [12 Agustus 2009]
Djakapermana RD. 2010. Pengembangan Wilayah melelui Pendekatan Kesisteman.
Bogor (ID): IPB Press
Djauhari F. 2010. Pembentukan Kelembagaan KPHP Model Gunung Sinopa
Provinsi Maluku Utara. Kerta Kerja Perorangan Rencana Aksi. Diklat
Calon Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan (KKPH). Bogor (ID): Pusdiklat
Kehutanan Kementerian Kehutanan.
Djogo TS, Suharjito D, Sirait M. 2003. Kelembagaan dan Kebijakan dalam
Pengembangan Agroforestri. Bogor (ID): World Agroforestry Centre
(ICRAF).
Fauzi A. 2014. Valuasi Ekonomi dan Penilaian Kerusakan Sumber Daya Alam dan
Lingkungan. Bogor (ID): IPB Press.
Firdaus M, Harmini, Farid MA. 2011. Aplikasi Metode Kuantitatif untuk Manajemen
dan Bisnis. Bogor (ID): IPB Press.
Harahap N. 2010. Penilaian Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove & Aplikasinya
dalam Perencanaan Wilayah Pesisir. Yogyakarta (ID): Graha Ilmu
Kartodihardjo H, Nugroho B, Putro HR. 2011. Pembangunan Kesatuan Pengelolaan
Hutan: Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi. Kerjasama
Kementerian Kehutanan dengan GIZ FORCLIME. Jakarta (ID): Debut
Wahana Sinergi.
Kartodiharjo H. 2008. Kerangka Hubungan Kerja antar Lembaga Sebelum dan
Setelah Adanya KPH: Upaya Peningkatan Investasi dan Efektivitas
Pengelolaan Hutan. Laporan Project: Strengthening the Management
Capacities in The Ministry of Forestry.
[Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2010. RKTN (Rencana Kehutanan Tingkat
Nasional) Draft 20 Agustus 2010. Jakarta.
44

[Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2013. Laporan Inventarisasi Biogeofisik


KPHP Model Kerinci. Pangkal Pinang 9ID); BPKH Wilayah XIII Pangkal
Pinang, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan.
[Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2014. Rencana Pengelolaan Hutan: KPHP
Model Kerinci. Pangkal Pinang (ID): BPKH wilayah XIII Pangkal Pinang,
Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan.
Khan A, Kartodihardjo H, Darusman D, Hasibuan I, Beni FS. 2004. Menyimak
Perjalanan Otonomi Daerah: Sektor Kehutanan. Workshop Penguatan
Desentralisasi Sektor Kehutanan di Indonesia. Badan Planologi
Departemen Kehutanan Tahun 2004. Hlm 85-100.
Koentjaraningrat. 1997. Indonesian Anthropology. Jakarta (ID): Yayasan Obor
Indonesia.
Makkasau K. 2012. Penggunaan Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) dalam
Penentuan Prioritas Program Kesehatan (Studi Kasus Program Promosi
Kesehatan). Jurnal Jati Undip. 7(2):105-112.
Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi: Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. .
Jakarta (ID): PT Gramedia Widya Sarana Indonesia (Grasindo)
Ngakan PO, Komaruddin H, Moeliono M. 2008. Menerawang Kesatuan
Pengelolaan Hutan di Era Otonomi Daerah. Governance Brief, Nomor 38.
Januari 2008. Forest Governance Programme. Bogor (ID): Cifor.
North, D.C. 1990. Institutions, institutional change and economic performance.
Cambridge (UK): Cambridge University Press.
Ostrom, E. 2008. How Type of Goods and Property Rights Jointly Affect Collective
action. Journal of Theoritical Politics Vol. 15 (3).
Pakpahan A. 1989. Perspektif Ekonomi Institusi dalam Pengelolaan Sumberdaya
Alam Ekonomi dan Keuangan Indonesia. Jakarta (ID)
Pejovich S. 1999. The Transition Process in an Arbitrary State: The Case for the
Mafia. Italy (IT): International Centre for Economic Research.
Puspitojati T. 2008. Preferensi Pemangku Kepentingan dalam Pengelolaan Hutan
Produksi (Studi Kasus Pengelolaan Hutan Produksi di KPH Bogor)
[Desertasi]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2011. Perencanaan Pengembangan Wilayah.
Jakarta (ID): Crespent Press dan Yayasan Obor Indonesia.
Saaty TL. 1993. Pengambilan Keputusan bagi Para Pemimpin. Terjemahan. Jakarta
(ID): PT. Pustaka Binaman Presindo.
Saaty TL. 1980. How to Make Decision : The Analytical Hierarchy Process.
Eropean Journal of Operational Research. 48:9-26.
Saaty TL. 2008. Decision Making with the Analytic Hierarchy Process.
International Journal Services Sciences I (l) :83-98.
Sahyuti. 2006. 30 Konsep Penting Dalam Pembangunan Pedesaan dan Pertanian.
Jakarta (ID): PT. Bina Rena Pariwara.
Schotter A. 1981. The Economic Theory of Social Institutions. Cambridge (UK):
Cambridge University Pres.
Tadjudin, D. 2000. Manajemen kolaboratif. Bogor (ID): Pustaka Latin.
Thoha, A S. 2013. Peluang Hutan Komunitas dalam Perdagangan Karbon
(www.latin.or.id/index.php/berita-redd/44-peluang-hutan-komunitas-dan-
perdagangan-karbon.html) diakses tanggal 24 Oktober 2013.
Triantaphyllou E, Mann SH. 1995. Using The Analytical Hierarchy Process for
Decision Making In Engineering Applications: Some Challenges.
International Journal of Industrial Engineering. 2(l):35-44.
45

Lampiran 1 Kuisioner Analisis Willingness to Pay (WTP)

KUISIONER ANALISIS WILLINGNESS TO PAY (WTP)


DALAM PENILAIAN MANFAAT JASA LINGKUNGAN PADA
WILAYAH KPHP MODEL KERINCI

Nomor Responden :...............................................................

Tanggal Wawancara :...............................................................

Nama :...............................................................

Alamat :...............................................................

Data dalam kuisioner ini akan digunakan dalam penyusunan tesis:


Nama : Mika Lestaria
NRP : A156130254
Program Studi : Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL)
Judul Tesis : Analisis Kelembagaan dan Peranan Kesatuan Pengelolaan Hutan
Produksi dalam Pengembangan Wilayah Kabupaten Kerinci

Besar harapan saya, Bapak/Ibu dapat berpartisipasi dalam penelitian tesis


saya ini. Atas kesediaan dan partisipasi Bapak/Ibu dalam menjawab kuisioner ini,
saya ucapkan terimakasih.

Petunjuk : Isi dan pilihlah salah satu jawaban dengan memberikan tanda [x] pada
jawaban yang telah tersedia

DAFTAR PERTANYAAN

A. Karakteristik Responden

1. Jenis kelamin : [a] Laki-laki [b] Perempuan

2. Usia : ......... Tahun

3. Status : [a] Menikah [b] Belum Menikah

4. Pendidikan Formal Terakhir :


[a] Tidak Sekolah
[b] SD
[c] SMP/Sederajat
[d] SMA/Sederajat
[e] Perguruan Tinggi : [Diploma] [Sarjana] [Magister]
46

5. Pekerjaan :
[a] Petani (Pemilik/Penggarap) [b] PNS [c] Pegawai Swasta
[d] Wiraswasta [e] Pensiunan PNS [f] Lainnya,..................

6. Pendapatan :
[a] < 500 ribu
[b] 500 ribu 1 juta
[c] > 1 juta
[d] Tepatnya..................

7. Status Kependudukan : [a] Penduduk Asli [b] Pendatang

B. Kondisi Tempat Tinggal


1. Kira-kira berapa jarak (dalam meter) antara rumah Saudara/Saudari dengan
Kawasan Hutan KPHP Model Kerinci?
[a] < 100
[b] 101 - 500
[c] 501 1.000
[d] > 1.000

2. Apakah anda menyukai tempat tinggal anda sekarang?


[a] Ya
[b] Tidak

Alasan :
[a] Faktor lingkungan
[b] Faktor kedekatan dengan tempat kerja
[c] Faktor harga tanah
[d] Faktor keturunan/tanah warisan
[e] Lainnya, sebutkan .........................................................

3. Bagaimana kondisi jasa lingkungan (air, kesejukan udara) dari kawasan


hutan pada KPHP Model Kerinci yang Saudara/Saudari rasakan sekarang?
[a] Jelek
[b] Biasa
[c] Baik

4. Harapan anda sebagai penduduk yang tinggal berdekatan dengan kasan


hutan KPHP Model Kerinci?

................................................................................................................

..............................................................................................................

..............................................................................................................
47

C. Kesediaan Membayar atas Manfaat Jasa Lingkungan dari Sumberdaya


Hutan pada KPHP Model Kerinci

SKENARIO

Jika manfaat jasa lingkungan dari kawasan hutan KPHP Model Kerinci ini
ingin tetap lestari dan dapat dirasakan selama mungkin, maka perlu adanya
upaya pelestarian dari masyarakat sekitar. Suatu saat nanti kualitas lingkungan
akan menurun yang dikarenakan berbagai penyebab antara lain, pemanfaatan
lingkungan yang tidak ramah lingkungan dan keterbatasan dana untuk tetap
menjaga kualitas lingkungan tetap baik. Apa Saudara/Saudari bersedia
membayar sejumlah uang untuk menjaga kualitas hutan agar tetap baik
sehingga manfaat jasa lingkungannya dapat dirasakan terus menerus?

1. Apakah Saudara/Saudari setuju jika dilakukan suatu upaya perbaikan


kualitas lingkungan agar jasa lingkungan dapat terjaga?
[a] Setuju
[b] Tidak Setuju

Alasan :.............................................

2. Apakah Saudara/Saudari bersedia untuk membayar untuk perbaikan kualitas


lingkungan agar manfaatnya dapat dirasakan terus menerus?
[a] Bersedia
[b] Tidak Bersedia

Alasan :.............................................

3. Berapa besar uang (dalam rupiah/bulan) yang bersedia anda bayar agar
manfaat jasa lingkungan dapat dirasakan terus menerus?
[a] 5.000
[b] 10.000
[c] 15.000
[d] 20.000
[e] 25.000
[f] 30.000
48

Lampiran 2 Kuisioner Analisis Kesiapan Daerah dalam Pembangunan KPHP


Model Kerinci

LEMBAR KUISIONER ANALISIS HIRARKI PROSES (AHP)


ANALISIS KESIAPAN DAERAH
DALAM PEMBANGUNAN KESATUAN PENGELOLAAN
HUTAN PRODUKSI (KPHP) MODEL KERINCI
Dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PS PWL),
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Saya melakukan penelitian untuk
penyusunan tesis yang berjudul Analisis Kelembagaan dan Peranan Kesatuan
Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Model Kerinci dalam Pengembangan
Wilayah Kabupaten Kerinci.
Berkenaan dengan penyusunan tesis tersebut, dengan ini saya menyusun
kuisioner untuk mendapatkan gambaran mengenai kesiapan daerah dalam
pelaksanaan KPHP Model Kerinci. Responden dalam kuisioner ini dipilih secara
sengaja berdasarkan jabatan, profesi dan pengalaman. Responden merupakan
para pakar yang dianggap memiliki pengetahuan menyeluruh terkait KPHP
Model Kerinci.

Data dalam kuisioner ini akan digunakan dalam penyusunan tesis:


Nama : Mika Lestaria
NRP : A156130254
Program Studi : Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL)

Besar harapan saya, Bapak/Ibu dapat berpartisipasi dalam penelitian tesis


saya ini. Atas kesediaan dan partisipasi Bapak/Ibu dalam menjawab kuisioner ini,
saya ucapkan terimakasih.

Dalam rangka memperoleh gambaran mengenai kesiapan daerah dalam


pembangunan KPHP Model Kerinci, maka dilakukan penelitian dengan
menggunakan teknik Analytichal Hierarchy Process (AHP). Adapun yang
menjadi tujuan, kriteria dan indikator dalam kajian ini adalah sebagai berikut :
1. Level 1 : Tujuan
Kesiapan daerah dalam pelaksanaan KPHP Model Kerinci
2. Level 2 : Kriteria
Kriteria yang digunakan dalam penilaian kesiapan daerah dalam pembangunan
KPHP Model Kerinci adalah sebagai berikut :
a. Perencanaan
b. Dukungan Regulasi
c. Pendanaan
d. Dukungan Expertise
3. Level 3 : Indikator
Indikator untuk masing-masing kriteria adalah sebagai berikut :
a. Perencanaan : (1) Penyusunan Rencana Pengelolaan KPHP Model Kerinci,
(2) Penyusunan Rencana Bisnis dan (3) Penyusunan Rencana Anggaran.
49

b. Dukungan regulasi : (1) Peraturan perundangan nasional terkait KPH, (2)


Peraturan Daerah/Peraturan Bupati dan (3) Peraturan Desa/Hukum Adat
c. Pendanaan : (1) Pendanaan bersumber dari APBN, (2) Pendanaan
bersumber dari APBD dan (3) Pendanaan dari donatur.
d. Dukungan expertise : (1) Sosialisasi KPHP Model Kerinci, (2) Dukungan
Tenaga/Tim Survei dan Pemetaan dan (3) Dukungan Tenaga/Tim
Penelitian dan Pengembangan

Struktur hirarki untuk menganalisis kesiapan daerah dalam pembangunan


KPHP Model Kerinci dengan menggunakan teknik AHP dapat dilihat seperti
gambar berikut :

Kesiapan daerah
Level 1 :
dalam pembangunan KPHP Model
Tujuan Kerinci

Level 2 : Dukungan Dukungan


Kriteria Perencanaan Pendanaan
Regulasi Expertise

Penyusunan Peraturan
Rencana Perundangan APBN Sosialisasi
Pengelolaan Nasional

Level 3 :
Penyusunan Survei dan
Indikator Perda/Perbup APBD
Rencana Bisnis Pemetaan

Penyusunan
Perdes/Hukum Penilitian dan
Rencana Donor
Adat Pengembangan
Anggaran

Level 4 :
Skala Intensitas Sangat baik, baik, sedang, jelek, sangat jelek

Selanjutnya pengisian kuisioner ini dilakukan dengan cara membandingkan faktor


yang satu dengan faktor lainnya dan melihat faktor mana yang lebih berperan di
antara faktor-faktor tersebut, sehingga diperoleh gambaran mengenai kesiapan
daerah dalam pembangunan KPHP Model Kerinci.
50

Skala yang digunakan dalam kajian ini adalah skala perbandingan berpasangan
Saaty sebagai berikut :

Intensitas Definisi Penjelasan


Pentingnya
1 Kedua elemen sama penting Sumber peran dua elemen sama
(equal) besar pada sifat tersebut (dua
elemen mempunyai pengaruh
yang sama besar terhadap tujuan.
3 Elemen satu sedikit lebih penting Pengalaman dan pertimbangan
daripada yang lainnya (moderate) sedikit menyokong satu elemen
atas yang lain.
5 Elemen satu lebih penting Pengalaman dan pertimbangan
dibanding yang lain (strong) dengan kuat mendukung satu
elemen atas yang lain.
7 Elemen satu jelas lebih penting Satu elemen dengan kuat
dari elemen yang lain (very strong) dominasinya telah terlihat dalam
praktek.
9 Elemen satu mutlak lebih penting Bukti yang mendukung elemen
dari elemen yang lain (extreme) yang satu terhadap elemen lain
memiliki tingkat penegasan
tertinggi yang mungkin
menguatkan.
2,4,6,8 Nilai-nilai di antara dua Nilai ini diberikan bila dua
pertimbangan yang berdekatan kompromi di antara dua pilihan.

Kebalikan jika untuk aktivitas i mendapat satu angka bila dibandingkan dengan
aktivitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan
dengan i

Contoh :

Jika faktor A mutlak lebih penting dari faktor B, maka diisi :

Faktor Faktor
A
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 B

atau

Jika faktor B lebih penting dari faktor A, maka diisi :

Faktor Faktor
A 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 B
51

METODE PROFESIONAL JUDGEMENT


(PENDAPAT DARI PARA AHLI)
Nama :...............................................................

Pendidikan :...............................................................

Instansi :...............................................................

Bidang Keahlian :...............................................................

DAFTAR PERTANYAAN

1. Berikan penilaian terhadap kepentingan di antara kriteria kesiapan daerah


dalam pembangunan KPHP Model Kerinci sebagai berikut

No. Kriteria Tingkat kepentingan yang dirasakan Kriteria

1. Perencanaan 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Dukungan
regulasi
2. Perencanaan 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Pendanaan

3. Perencanaan 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Dukungan
Expertise
4. Dukungan 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Pendanaan
regulasi
5. Dukungan 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Dukungan
regulasi Expertise
6. Pendanaan 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Dukungan
Expertise

2. Berikan penilaian terhadap kepentingan di antara indikator dalam kriteria


perencanaan, sebagai berikut :

No. Indikator Tingkat kepentingan yang dirasakan Indikator

1. Penyusunan 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Penyusunan
Rencana Rencana
Pengelolaan Bisnis
2. Penyusunan 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Penyusunan
Rencana Rencana
Pengelolaan Anggaran
3. Penyusunan 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Penyusunan
Rencana Rencana
Bisnis Anggaran
52

3. Berikan penilaian terhadap kepentingan di antara indikator dalam kriteria


dukungan regulasi sebagai berikut:

No. Indikator Tingkat kepentingan yang dirasakan Indikator

1. Dukungan 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Perda/Perbup
peraturan
perundangan
Nasional
2. Dukungan 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Perdes/
peraturan Hukum Adat
perundangan
Nasional
3. Perda/Perbup 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Perdes/
Hukum Adat

4. Berikan penilaian terhadap kepentingan di antara indikator dalam kriteria


pendanaan sebagai berikut :

No. Indikator Tingkat kepentingan yang dirasakan Indikator

1. APBN 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 APBD

2. APBN 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Donor

3. APBD 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Donor

5. Berikan penilaian terhadap kepentingan di antara indikator dalam kriteria


dukungan expertise sebagai berikut :

No. Indikator Tingkat kepentingan yang dirasakan Indikator

1. Sosialisasi 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Survei dan


Pemetaan
2. Sosialisasi 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Penelitian dan
Pengembangan
3. Survei dan 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Penelitian dan
Pemetaan Pengembangan
53

Lampiran 3 Kriteria dan Indikator Kesiapan Daerah dalam Pembangunan KPHP


Model Kerinci

No. Kriteria Indikator Nilai Skala Intensitas

1. Perencanaan Penyusunan 5 Rencana Pengelolaan KPHP model


Rencana Kerinci telah disusun dan disahkan
Pengelolaan 4 Rencana Pengelolaan KPHP Model
KPHP Model Kerinci telah disusun namun belum
Kerinci disahkan
3 Rencana Pengelolaan KPHP Model
Kerinci sedang disusun (baru selesai
sekitar 75%)
2 Rencana Pengelolaan KPHP Model
Kerinci sedang disusun (baru selesai
sekitar 50%)
1 Rencana Pengelolaan KPHP Model
Kerinci belum disusun.
Penyusunan 5 Rencana Bisnis KPHP Model Kerinci
Rencana sudah disusun (100%)
Bisnis KPHP 4 Rencana Bisnis KPHP Model Kerinci
Model Kerinci baru disusun (75%)
3 Rencana Bisnis KPHP Model Kerinci
baru disusun (50%)
2 Rencana bisnis KPHP Model Kerinci
baru disusun (25%)
1 Rencana bisnis KPHP Model Kerinci
belum disusun
Penyusunan 5 Rencana Anggaran Kegiatan KPHP
Rencana Model Kerinci tahun 2015 sudah ada
Anggaran dan sudah disahkan
Kegiatan 4 Rencana Anggaran Kegiatan KPHP
KPHP Model Model Kerinci tahun 2015 sudah ada
Kerinci namun belum disahkan
3 Rencana Anggaran Kegiatan KPHP
Model Kerinci tahun 2015
2 Rencana Anggaran Kegiatan KPHP
Model Kerinci tahun 2015
1 Rencana Anggaran Kegiatan KPHP
Model Kerinci tahun 2015
2. Dukungan Adanya 5 Peraturan perundangan nasional terkait
Regulasi Peraturan KPH sudah ada dan memadai
Perundangan 3 Tersedia Peraturan Perundangan
Nasional Nasional terkait KPH sudah ada namun
terkait KPH belum memadai
1 Belum tersedia Peraturan Perundangan
Nasional terkait KPH
Adanya 5 Sudah ada Perda dan Perbup terkait
Perda/Perbup KPHP Model Kerinci
terkait KPHP 3 Sudah ada Perda terkait KPHP Model
Model Kerinci Kerinci, namun Perbup belum ada
54

Lampiran 3 (Lanjutan)
2 Sudah ada Perbup terkait KPHP Model
Kerinci, namun Perda belum ada
1 Belum tersedia Perda maupun
Perbub
Adanya 5 Seluruh daerah di Kab. Kerinci yang
Peraturan berbatasan dengan lokasi KPHP Model
Desa/Hukum Kerinci telah memiliki Peraturan
Adat terkait Desa/Hukum Adat terkait pemanfaatan
Pemanfaatan dan pengelolaan hutan
Hutan pada 3 Baru sebagian daerah di Kab. Kerinci
Lokasi KPHP yang berbatasan dengan lokasi KPHP
Model Kerinci Model Kerinci yang memiliki Peraturan
Desa/Hukum Adat terkait pemanfaatan
dan pengelolaan hutan
1 Seluruh daerah di Kab. Kerinci yang
berbatasan langsung dengan lokasi
KPHP Model Kerinci tidak memiliki
Peraturan Desa/Hukum Adat terkait
pemanfaatan dan pengelolaan hutan
3. Pendanaan Pendanaan 5 Alokasi dana untuk pembangunan
yang KPHP Model Kerinci telah ditetapkan
bersumber dan dikucurkan serta memadai
dari APBN 4 Alokasi dana untuk pembangunan
KPHP Model Kerinci telah ditetapkan
dan dikucurkan namun belum memadai
2 Alokasi dana untuk pembangunan
KPHP Model Kerinci telah ditetapkan,
namun belum dikucurkan
1 Alokasi dana untuk pembangunan
KPHP Model Kerinci belum ditetapkan
Pendanaan 5 Alokasi dana untuk pembangunan
yang KPHP Model Kerinci telah ditetapkan
bersumber dan dikucurkan serta memadai
dari APBD 4 Alokasi dana untuk pembangunan
KPHP Model Kerinci telah ditetapkan
dan dikucurkan namun belum memadai
2 Alokasi dana untuk pembangunan
KPHP Model Kerinci telah ditetapkan
namun belum dikucurkan
1 Alokasi dana untuk pembangunan
KPHP Model Kerinci belum ditetapkan
Pendanaan 5 Alokasi dana untuk pembangunan
yang KPHP Model Kerinci telah ditetapkan
bersumber dan dikucurkan serta memadai
dari Donor 4 Alokasi dana untuk pembangunan
KPHP Model Kerinci telah ditetapkan
dan dikucurkan namun belum memadai
2 Alokasi dana untuk pembangunan
KPHP Model Kerinci telah ditetapkan,
namun belum dikucurkan
55

Lampiran 3 (Lanjutan)
1 Alokasi dana untuk pembangunan
KPHP Model Kerinci belum ditetapkan
4. Dukungan Adanya 5 Sosialisasi pembangunan KPHP Model
Expertise Tim/Tenaga Kerinci telah dilakukan kepada seluruh
Sosialisai instansi pemerintah dan non pemerintah
KPHP Model terkait di Kerinci
Kerinci 4 Sosialisasi pembangunan KPHP Model
Kerinci baru dilakukan kepada seluruh
instansi pemerintah dan non pemerintah
terkait di Kerinci
3 Sosialisasi pembangunan KPHP Model
baru dilakukan kepada seluruh instansi
pemerintah terkait di Kerinci
2 Sosialisasi pembangunan KPHP Model
Kerinci baru dilakukan kepada seluruh
instansi non pemerintah terkait di
Kerinci
1 Belum ada sosialisasi pembangunan
KPHP Model Kerinci kepada instansi
pemerintah dan non pemerintah terkait
di Kerinci

Adanya 5 Survei dan Pemetaan sudah pernah


Tim/Tenaga dilakukan di lokasi KPHP Model
Survei dan Kerinci
Pemetaan 1 Belum ada kegiatan survei dan
pemetaan pada lokasi KPHP Model
Kerinci
Adanya 5 Penelitian dan Pengembangan KPHP
Tim/Tenaga Model Kerinci telah banyak dilakukan
Penelitian dan 3 Penelitian dan Pengembangan KPHP
Pengembangan Model Kerinci baru sedikit dilakukan
1 Belum ada kegiatan penelitian dan
pengembangan terkait KPHP Model
Kerinci
56

Lampiran 4 Hasil AHP Kesiapan Daerah dalam Pembangunan KPHP Model


Kerinci dengan software expert choice 2000
57

RIWAYAT HIDUP

Mika Lestaria, lahir di Desa Tanjung Pauh Mudik Kabupaten Kerinci, pada
tanggal 17 September 1982 merupakan anak kelima dari lima bersaudara
pasangan S. Kardi dan Nurdiani. Pendidikan SMA ditempuh di SMA Negeri 2
Sungai Penuh dan lulus tahun 2000. Pada tahun yang sama melanjutkan
pendidikan sarjana (S1) di Institut Pertanian Bogor pada program studi
Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan dan lulus pada tahun 2006. Pada Tahun
2009 sampai sekarang penulis bekerja pada instansi Pemerintah Kabupaten
Padang Pariaman tepatnya di Dinas Pertanian Peternakan dan Kehutanan
Kabupaten Padang Pariaman. Pada tahun 2013 mendapatkan beasiswa dari
Pusbindiklatren Bappenas untuk melanjutkan sekolah pascasarjana (S2) pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor.

Anda mungkin juga menyukai