Anda di halaman 1dari 9

Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi

INTEGRASI TERNAK DENGAN PERKEBUNAN


KELAPA SAWIT
DIDI BUDI WIJONO, LUKMAN AFFANDHY dan AINUR RASYID

Loka Penelitian Sapi Potong, Grati-Pasuruan. 67184

ABSTRAK

DIDI BUDI WIJONO, LUKMAN AFFANDHY dan AINUR RASYID. 2003. Integrasi Ternak dengan
Perkebunan Kelapa Sawit. Kelapa sawit merupakan komoditas penghasil minyak nabati dan memiliki
peluang strategis utnuk dikembangkan secara nasional dalam upaya peningkatan eksport non- migas dan
penerimaan devisa negara. Perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah mangalami mengalami peningkatan
areal tanam sebesar 14% per tahun sehingga diperlukan teknologi yang sesuai, khususnya dalam pengelolaan
kebun kelapa sawit. Perkebunan kelapa sawit menggunakan lahan yang cukup luas serta tenaga kerja yang
banyak, sehingga membutuhkan pegelolaan manajemen yang tepat dan efisien. Peluang integrasi ternak pada
perkebunan kelapa sawit cukup besar ditinjau dari teknologi budidaya dan industri kelapa sawit yang akan
banyak hasil ikutannya dan potensial sebagai bahan pakan ternak. Lebih dari 80% kegagalan pengelolaan
perkebunan sawit disebabkan oleh kesalahan manajemen, antara lain kebutuhan pupuk dan biaya tenaga kerja
yang mencapai 30 50% dari biaya produksi. Dengan demikian, integrasi ternak dengan kelapa sawit
merupakan kinerja simbiosis mutualisme yang tidak memberikan dampak negatif. Salah satu alternatif untuk
meningkatkan efisiensi pengelolaan kebun kelapa sawit adalah program integrasi dengan usaha peternakan
ruminansia seperti sapi potong, sapi perah, kambing dan domba. Dengan adanya program keterpaduan antara
ternak dengan kelapa sawit akan terjadi daur ulang sumberdaya local yang tersedia. Hasil samping perkebunan
kelapa sawit berupa rumput liar, tanaman leguminosa penutup tanah dan limbah dari pengolahan minyak sawit
dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak, di samping kotoran ternaknya sangat baik untuk menyediakan unsure
hara tanah. Dengan demikian, integrasi ternak ruminansia dengan perkebunan kelapa sawit akan meningkatkan
efisiensi biaya pengelolaan kebun, meningkatkan produktivitas buah kelapa sawit dan peningkatan usaha
ternaknya. Kata kunci: Kelapa sawit, ternak, integrasi

ABSTRACT

DIDI BUDI WIJONO, LUKMAN AFFANDHY and AINUR R. 2003. Livestock Integration on Oil Palm
Plantation. Oil palm is the main commodity of vegetable oils and having strategic opportunity to be
improved nationally in the efforts to increase non-oil exports and foreign exchange of the country. Oil palm
plantation areas in Indonesia has increased as much as 14% per year so that suitable technologies are needed,
especially in management aspects. An oil palm plantation uses wide lands and employs many workers, so that
it needs suitable and efficient management. The chance of integrating livestock on the oil palm plantation is
considerable from its technological and industrial point of view which will geneate potencial by products for
livestock feeds. More than 80% of failure in developing oil palm plantation is caused by mismanagement, such
as the needs for fertilizers and labor expenses which reaching 3050% of total production costs. So, the
integration of livestock with oil palm is a mutual symbiolism that causes no negative impacts. An alternative to
improve management efficiency of oil palm plantation is an integration program with ruminant animals such as
beef cattle, dairy cattle, goats and sheep. By integrating livestock with oil palms, the locally available resources
could be recycled. By-products of oil palm plantation such as native grass, cover legumes and wastes from
palm oil processing can be used as feedstuffs, in addition to ruminants manure which is good as a fertilizer.
Therefore, ruminant integration to oil palm plantation will increase management efficiency of the plantation,
productivity of the oil palm, and the ruminants as well.
Key words: Oil palm, livestock, integration

147
Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi

PENDAHULUAN

Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas perkebunan yang diandalkan untuk
meningkatkan ekspor dan penerimaan devisa negara sehingga memerlukan penanganan dan
pengelolaan yang efektif guna peningkatan produktivitasnya. Kelapa sawit adalah tanaman keras
sebagai salah satu sumber penghasil minyak nabati yang bermanfaat luas dan memiliki keunggulan
dibandingkan minyak nabati lainnya. Demikian pula budidaya kelapa sawit tidak memerlukan
teknologi tinggi namun untuk mendapatkan hasil yang maksimal diperlukan pengelolaan yang
intensif dan terpadu (ANONIMUS, 2002)
Areal perkebunan kelapa sawit sejak tahun 1978 mengalami laju perkembangan yang sangat
pesat sampai tahun 1999 menjadi 2.975 ribu ha, meningkat sebesar 25 kali lipat. Perkebunan sawit
tersebut merupakan usaha perkebunan rakyat yang bermitra dengan perkebunan besar (32,7%),
usaha perkebunan besar milik negara (16,6%) dan swasta (50,7%). Perkembangannya didominasi
oleh perkebunan rakyat dan swasta, sedangkan perkebunan negara relatif lebih kecil (ANONIMUS,
2003). Perkembangan pertanaman kelapa sawit di Indonesia cukup menggembirakan, yakni
14%/tahun dan akan terus bertumbuh mengingat lahan yang sesuai agroekosistem dan
agroklimatnya untuk kelapa sawit masih cukup luas.
Kebijakan pengembangan perkebunan kelapa sawit semenjak tahun 1986 mulai dilaksanakan
terkait dengan program di bidang transmigrasi dan koperasi dengan pola Perkebunan Inti Rakyat
(PIR). Sejalan dengan perkembangan pentingnya diversifikasi usaha dan sumber pendapatan bagi
petani, terbuka kesempatan ternak masuk ke wilayah pengembangan perkebunan yang sampai
periode tahun tujuh puluhan masih terlarang.
Peluang alternatif untuk memperbaiki pengelolaan perkebunan kelapa sawit adalah dengan
mengintegrasikan usaha peternakan, khususnya ternak ruminansia seperti sapi potong, sapi perah
dan domba/kambing (PT PERKEBUNAN II, 1994; DAMANIK, 1994; DITJEN BINA PRODUKSI
PERTERNAKAN, 2002). Dengan demikian, kebutuhan pakan ternak dapat dipenuhi dengan
memanfaatkan vegetasi dan hasil samping industri perkebunan kelapa sawit. DIWYANTO et al.
(1996) menyatakan bahwa Indonesia sebagai negara tropis di kawasan katulistiwa dengan areal
yang cukup luas, maka persediaan bahan pakan ternak sebetulnya bukan merupakan kendala dalam
usaha peternakan sapi potong. Banyak potensi bahan baku pakan lokal yang belum diolah atau
dimanfaatkan secara maksimal, antara lain berupa limbah perkebunan seperti pucuk tebu, limbah
tanaman pangan seperti jerami, limbah industri meliputi molases, ampas, dedak, bungkil dsb.
Integrasi ternak ke dalam perkebunan kelapa sawit dilakukan dengan pendekatan konsep
LEISA (Low Ekternal Input System Agriculture), di mana ketergantungan antara tanaman
perkebunan dan ternak dapat memberi keuntungan pada kedua subsektor tersebut. Oleh karena itu,
program keterpaduan antara kelapa sawit dan ternak ruminansia harus didukung dengan penerapan
teknologi yang tepat/sesuai sehingga produksi yang dihasilkan dapat lebih efisien, berdaya saing
dan berkelanjutan. Pada dasarnya sistem keterpaduan ini menjadikan daur ulang resource driven
sumber daya yang tersedia secara optimal. Hasil samping dari limbah perkebunan dapat
dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak, sedangkan kotoran ternak dan sisa pakan serta hasil
panen yang tidak dapat digunakan untuk pakan dapat didekomposisi menjadi kompos sebagai
penyedia unsur hara untuk meningkatkan kesuburan lahan.
Kondisi produktivitas ternak sangat tergantung kepada ketersediaan pakan yang berkualitas
untuk mendapatkan produksi yang optimal. Kekurangan zat nutrisi pakan akan mempengaruhi
seluruh fungsi faali tubuh, yang mana sampai dengan 95% dipengaruhi oleh faktor lingkungan,
termasuk pakan yang diberikan.

148
Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi

Dalam beberapa tahun terakhir terdapat kecenderungan peningkatan celah antara penawaran
dan permintaan daging. Bila dilihat dari kecenderungan permintaan daging dalam negeri,
diperkirakan pada tahun 2000-2001 diperlukan daging sapi sebanyak 670.000 ton yang setara
dengan sapi siap potong sebanyak 4.000.000 ekor. Sementara pasokan dari dalam negeri dengan
teknologi dan kebijakan yang ada sekarang dan dengan asumsi peningktaan populasi rata-rata 2-3%
maka baru akan tersedia 395.000 ton daging atau setara dengan 2.500.000 ekor sapi siap potong
(ANONIMUS, 1998).
Prediksi pada tahun 2005 kebutuhan daging yang berasal dari sapi menyumbang pangsa
25,41%. Dengan jumlah penduduk 210,4 juta jiwa dan tingkat pertumbuhan penduduk 1,66%,
diperhitungkan kebutuhan daging sapi sebesar 404,2 ribu ton pada tahun 2002 dan 499,0 ribu ton
pada tahun 2005. Dengan program reguler, pengembangan peternakan hanya dapat menghasilkan
daging sekitar 249,7 ribu ton. Dengan demikian, akan terdapat kesenjangan pasokan sebesar 250
ribu ton daging pada tahun 2005 (ANONIMUS, 2001).
Hal ini sama dengan konsep dasar crop livestock system (CLS), yaitu integrasi sistem padi
ternak, dimana petani memelihara ternak pada hamparan padi yang jeraminya diproses untuk pakan
sapi dan kotorannya untuk kompos tanaman (ANONIMUS, 2002). Hampir 2/3 dari penduduk miskin
di negara-negara berkembang memelihara ternak dan 60% di antaranya bergantung pada sistem
tanaman ternak (ILRI, 2000, disitasi HUTABARAT, 2002).
Implementasi program keterpaduan antara perkebunan dan peternakan ini akan dapat
mendorong akselerasi/percepatan pembangunan yang terdesentralisasi sesuai semangat Undang-
undang Nomor 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah (DITJEN BINA PRODUKSI PERTERNAKAN,
2002).
Dengan demikian, integrasi antara tanaman kelapa sawit dan ternak diharapkan akan
meningkatkan efektivitas pengelolaan kebun kelapa sawit dan meningkatkan produktivitasnya
sebagai bahan baku minyak sawit untuk dalam negeri maupun diekspor ke luar negeri. Sedangkan
limbahnya dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan kotoran ternaknya sebagai kompos untuk
tanaman kelapa sawit. Dengan demikian, dukungan pakan baik dari limbah kelapa sawit atau
rumput di sekitarnya akan dapat memenuhi kebutuhan ternak dengan tujuan penggemukan maupun
pembibitan, khususnya di areal perkebunan kelapa sawit, yang pada akhirnya akan meningkatkan
kesejahteraan karyawan atau petani di sekitar perkebunan, demikian pula dapat meningkatkan
populasi ternak sebagai penghasil daging guna memenuhi kebutuhan daging secara nasional.
Konsep integrasi ternak dengan perkebunan kelapa sawit disusun sebagai pengembangan
konsepsi berorientasi ke depan, terutama dalam menghadapi era globalisasi dan perdagangan bebas.
Oleh karena itu, diperlukan penelitian dan masukan dari berbagai pihak.

TUJUAN DAN SASARAN

Tujuan

1. Meningkatkan produktivitas perkebunan kelapa sawit yang mendukung pengembangan ternak.


2. Meningkatkan efsiensi tenaga kerja dengan pemanfaatan ternak
3. Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan pekerja perkebunan.
4. Membuka dan meningkatkan kesempatan kerja dan berusaha.

149
Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi

5. Memanfaatkan sumber daya lokal untuk pembangunan secara optimal.


6. Mempercepat pertumbuhan ekonomi wilayah.
7. Mendukung pelestarian plasma nutfah dan lingkungan hidup.

Sasaran

1. Strategi pemanfaatan sumberdaya lokal secara optimal melalui sistem dan pola agribisnis yang
berdaya saing, berkelanjutan, dan terdesentralisasi.
2. Meningkatkan peran serta masyarakat petani dalam pembangunan perkebunan dan peternakan
secara terintegrasi.

POTENSI DAN PERMASALAHAN

Perkebunan kelapa sawit

Industri kelapa sawit terdiri dari beberapa segmen industri, yaitu budidaya perkebunan, mill
berupa pengolahan kelapa sawit menjadi Crude Palm Oil (CPO) dan Palm Kernel Oil (PKO),
industri pengolahan dan perdagangan. Masalah utama dalam pengembangan perkebunan kelapa
sawit adalah rendahnya produktivitas dan mutu hasil perkebunan rakyat. Hal tersebut disebabkan
oleh sistem pengelolaan kebun yang tidak efisien, karena jumlah tenaga kerja yang digunakan untuk
menyiangi tanaman gulma di bawah pohon kelapa sawit terlalu banyak, dan pupuk yang digunakan
untuk tanaman kelapa sawit menggunakan pupuk buatan yang biayanya sangat mahal. Menurut
laporan SIRAIT (1989) bahwa sebesar 3050% dari biaya pemerliharaan tanaman kelapa sawit
adalah untuk pupuk dan tenaga kerja. Lebih 80% kegagalan disebabkan oleh manajemen yang tidak
efisien (SIAHAAN, 1983, disitasi SIRAIT, 1989).
Hasil utama dari pengolahan kelapa sawit adalah minyak sawit (CPO) dan minyak inti sawit
atau dikenal dengan nama Palm Kernel Oil (PKO). Sedangkan hasil sampingnya berupa bungkil inti
sawit, serat perasan buah, tandan buah kosong dan lumpur minyak sawit mempunuai prospek yang
baik untuk bahan pakan ternak. Peranan CPO sebagai sumber utama penghasil minyak makan dan
produk turunannya yang sangat bermanfaat dan sangat prospektif untuk dikembangkan, seperti
biodiesel sebagai sumber energi masa depan yang dapat diperbaharui (renewable energy). Di
samping produk ikutan pengolahan kelapa sawit, vegetasi yang ada dikawasan perkebunan dapat
dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak.
Adapun hasil utama dan hasil ikutan pengolahan kelapa sawit sebagai berikut:

1. Produk utama kelapa sawit:

(1). Crude Palm Oil (CPO) adalah minyak buah kelapa sawit.
(2). Palm Kemel Oil (PKO) adalah minyak inti biji sawit.

150
Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi

2. Produk hasil ikutan pengolahan kelapa sawit:


(1) Palm Pressing Fibre (PPF) adalah serat buah sawit merupakan sisi perasan buah sawit.
(2) Palm Sludge (PS) adalah lumpur sawit merupakan cairan sisa pengolahan minyak sawit.
(3) Palm Kernel Cake (PKC) adalah bungkil kelapa sawit berupa sisi ekstraksi inti sawit.

3. Produk perkebunan kelapa sawit:

(1) Oil Palm Fronds (OPF) adalah pelepah daun sawit berupa bagian dalam pangkal batang
daun kelapa sawit.
(2) Empty Fruits Bunch (EFB) adalah tandan buah kosong atau tandan yang dikastrasi atau
tidak berbiji.

4. Produk lahan perkebunan kelapa sawit:

Produk Hijauan Antar Tanaman (HAT) adalah vegetasi di lahan perkebunan (leguminosa,
semak, ilalang, rumput lapangan).
Peranan perkebunan sawit sebagai salah satu sumber yang dapat digunakan sebagai lahan
pengembangan ternak sangatlah mendukung, ditunjang oleh peranan vegetasi lahan sebagai penutup
tanah dan pakan ternak, serta produk samping perkebunan dan industri pengolahan buah sawit
sebagai pakan ternak. Sebagaimana tanaman perkebunanan lain yang bercirikan tanaman keras,
hasil samping yang didapatkan merupakan limbah dengan nilai nutrisi rendah dan kandungan lignin
yang cukup tinggi. Diperlukan teknologi pengolahan pakan hijauan dalam upaya memaksimalkan
kandungan nutrisi dan manfaat limbah perkebunan sebagai pakan pengganti/substitusi pada saat
kemarau yang dicirikan dengan terbatasnya ketersediaan pakan hijauan.
Kotoran dan sisa pakan ternak dapat mengurangi biaya kebutuhan pupuk yang sekaligus dapat
mengurangi biaya produksi disamping menjaga kelestarian bahan organik tanah, khususnya di
wilayah perkebunan yang berlereng dan memberikan tambahan pendapatan usahatani (HUTABARAT,
2002). Sedangkan hasil olahan tandan buah digunakan sebagai bahan utama pangan dan bahan dasar
industri makanan, sabun, cat, kosmetik.

Ternak di areal perkebunan

Permintaan produk peternakan terus meningkat sebagai konsekuensi adanya peningkatan


jumlah penduduk, bertambahnya proporsi penduduk perkotaan, pendidikan dan pengetahuan
masyarakat tentang perlunya makanan yang berkualitas dan bergizi serta adanya dukungan
membaiknya pendapatan dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Di sisi lain, secara rutin peternakan
tidak mampu menyediakan produk daging dan susu untuk memenuhi permintaan konsumen dan
industri, sehingga berakibat ketergantungan terhadap impor makin besar. Oleh karena itu diperlukan
suatu strategi guna peningkatan populasi ternak, khususnya pada areal dekat perkebunan kelapa
sawit atau areal yang jauh di dalam perkebunan kelapa sawit, dengan harapan petani peternak tidak
mengganggu tanaman kelapa sawit dengan cara diberikan modal dan bekal pengetahuan cara
beternak, pemanfaatan areal yang kosong untuk pakan ternak serta cara pengelolaan kotoran sapi
yang digunakan untuk pupuk sehingga akan menambah pendapatan pertani peternak.

151
Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi

Pengembangan ternak disesuaikan dengan kondisi sumber daya lokal perkebunan, seperti
ternak ruminansia sangat potensial untuk dikembangkan pada areal perkebunan kelapa sawit karena
kebutuhan pakan dapat dicukupi dari vegetasi perkebunan kelapa sawit dan memanfaatkan hasil
samping pengolahan kelapa sawit. Pengelolaan ternak di perkebunan kelapa sawit masih
konvensional dengan pemanfaatan perkebunan hanya pada saat musim kering dan musim tanam
(ARITONANG, 1986).
Adanya kotoran sapi dapat mengurangi biaya pengadaan pupuk yang sekaligus dapat
mengurangi biaya produksi di samping menjaga kelestarian bahan organik tanah, khususnya di
wilayah perkebunan yang berlereng (HUTABARAT, 2002). GINTING (1991) melaporkan bahwa ternak
dapat berperan sebagai industri biologis dan penyiang biologis sekaligus mampu meningkatkan
produksi daging dan penyedia kompos. Pemeliharaan intensif untuk ruminansia besar secara empiris
mencegah pemadatan tanah dan sentuhan langsung dengan tanaman yang dikuatirkan merusak
tanaman pokok, sedangkan untuk ruminansia kecil tidak bermasalah secara penggembalaan
bebas/ekstensif.

MODEL INTEGRASI

Ternak ruminansia berpotensi besar untuk mendukung upaya pengembangan perkebunan


kelapa sawit yang pengelolaannya tidak terlepas dari faktor pemupukan dan perbaikan tektur tanah.
Dengan demikian, tampaklah ternak bertindak sebagai bioindustri dan berperan ganda, yaitu
pemroses limbah sawit dan pemberantas gulma, pemanfaatan limbah naungan tanah yang biasa
digunakan pada saat tanaman muda ataupun pada lahan berkelerengan, tenaga kerja (penghela) dan
dapat bertindak sebagai sumber penghasilan bagi petani kelapa sawit.
Integrasi ternak dengan perkebunan kelapa sawit dapat menurunkan biaya produksi yang
berkaitan dengan biaya pengadaan bahan kimiawi untuk pemberantasan tanaman pengganggu dan
tenaga kerja. Vegetasi (rerumputan) lahan perkebunan tersebut digunakan sebagai pakan ternak
untuk menghasilkan daging.
Alternatif pola pemeliharaan ternak secara intensif atau semi intensif tergantung pada jenis
ternak serta disesuaikan sumber daya alam yang ada. Pemeliharaan ternak ruminansia besar dan
ruminasia kecil lebih memiliki nilai tambah dan umpan balik yang sinergis dengan kebutuhan
perkebunan.
Pembibitan. Pembibitan ternak ditentukan oleh kapasitas tampung vegetasi lahan perkebunan.
Usaha ini diharapkan berperan sebagai penyedia ternak bakalan dan mencukupi kebutuhan bibit.
Untuk usaha ini tidak terlalu diperlukan pakan berkualitas tinggi.
Penggemukan. Untuk mendapatkan laju pertumbuhan yang optimal diperlukan perlakuan
khusus, terutama pemberian pakan tambahan dan pemeliharaan yang intensif.

KEBUTUHAN TEKNOLOGI

Untuk menunjang keberhasilan sitem integrasi ternak dengan perkebunan kelapa sawit
dibutuhkan teknologi tepat guna dan sosialisasi berkelanjutan dalam hal:
a. Pengolahan limbah perkebunan/pabrikan sebagai sumber pakan ternak

152
Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi

b. Pengolahan kompos yang berkualitas dalam waktu pendek


c. Pendugaan kapasitas tampung lahan perkebunan untuk jenis ternak tertentu
d. Manajemen pemeliharaan ternak yang efisien

CPO

PS
DAGING
BUAH PPF

PKO

KELAPA
SAWIT BIJI TEMPURUNG TEKNOLOGI
SAWIT

TANDAN OPF
& &
DAUN EFB

TEKNOLOGI
TERNAK

VEGETASI

Gambar 1. Diagram integrasi ternak-kelapa sawit

PENUTUP

Pembangunan pola integrasi ternak dengan perkebunan kelapa sawit sangat potensial untuk
menggerakkan perekonomian berbasis pertanian di pedesaan, menghasilkan komoditi ekspor,
memperkuat ketahanan pangan, mendorong pertumbuhan perekonomian daerah dan meningkatkan
penghasilan pekerja.
Untuk terwujudnya pengembangan integrasi ternak dengan perkebunan kelapa sawit
diperlukan dukungan dan komitmen dari berbagai pihak, yaitu koperasi petani, pengusaha/investor,
perbankan, perguruan tinggi, peneliti, pemerintah daerah dan pemerintah pusat.
DAFTAR PUSTAKA

153
Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi

ANONIMUS. 1994. Produksi Beberapa Komoditas Utama Perrtanian. Pembangunan Pertanian di Indonesia.
Departemen Pertanian. pp. 6-11.
PT PERKEBUNAN II. 1994. Prospek dan kendala usaha ternak domba kebun sawit seberang. Pros. Pengolahan
dan Komunikasi Hasil Penelitian Sei Putih. Sub Balitnak Sei Putih. pp. 87-93.
ANONIMUS, 1998. Buku Statistik Peternakan. Ditjen Peternakan, Deptan, Jakarta.
ANONIMUS. 2003. Perkembangan Kelapa Sawit. Ditjen Perkebunan. http://www.go.id/ditjenbun/statistik/
perkemb-swt.htm
ANONIMUS. 2002. Peluang Investasi. DPMD Kutai Timur. http://www.kitaitimur.com/ pinvestasi/pi-sawit.htm
ARITONANG D. 1986. perkebunan kelapa sawit, sumber pakan ternak di Indonesia. J. Litbang Pertanian. 4 (4):
93-99.
DAMANIK, K. 1994. Integrasi ternak domba dengan perkebunan kelapa sawit: prospek dan tantangannya. Pros.
Pengolahan dan Komunikasi Hasil Penelitian Sei Putih. Sub Balitnak Sei Putih. pp. 100-113.
DITJEN BINA PRODUKSI PETERNAKAN. 2002. Integrasi Ternak Sapi dengan Perkebunan Kelapa sawit. Direktorat
Jendral Pengembangan Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta.
DIWYANTO, K., A. PRIYANTI dan D. ZAINUDIN. 1996. Pengembangan ternak berwawasan agribisnis di pedesaan
dengan memanfaatkan limbah pertanian dan pemilihan bibit yang tepat. J. Litbang Pertanian. 15(1) : 1-6.
HUTABARAT, T.S.P.N. 2002. Pendekatan Kawasan dalam Pembangunan Peternakan. Direktorat Jendral Bina
Produksi Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta. pp. 1-13.
GINTING S.P. 1991. Keterpaduan ternak ruminansia dengan perkebunan :2. Pola pemeliharaan dan produksi
ternak. J. Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 10 (1): 9-12.
SIRAIT, H. J. 1989. Sumbangan simulasi agrometeorologi terhadap pengelolaan budidaya kelapa sawit. Pros.
Seminar Sehari Peningkatan Pemanfaatan Agrometeorologi Dalam Pembangunan Hutan Tanaman
Industri dan Pengembangan Perkebunan. Kerjasama Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia.
Badan Litbang Kehutanan dan Pertanian. pp. 253-265.

DISKUSI

Pertanyaan:

1. Dalam mengintegrasikan sapi potong pada perkebunan kelapa sawit, berapa ekor sapi sekiranya
yang layak dipelihara untuk satuan luas perkebunan

Jawaban:

1. Kemampuan lahan tanaman perkebunan kelapa sawit untuk budidaya sapi potong sangat
tergantung pada kondisi tanaman kelapa sawit, produksi tanaman sela dan sistem pemeliharaan
ternak (Grazing atau cut and carry). Kondisi umur tanaman kelapa sawit sangat berpengaruh
terhadap produksi tanaman selanya. Pada tahun pertama lahan masih terbuka dan setelah umur
35 tahun produksi tanaman sela mengalami penurunan sebesar 1015%, akibat semakin
lebarnya canopy daun tanaman sawit. Oleh karena itu untuk memenuhi kecukupan pakan
setelah umur tanaman 5 tahun sangat tergantung kepada agroplantation (limbah tanaman dan
limbah industri kelapa sawit). Beberapa laporan menunjukkan kemampuan kapasitas tampung
untuk sapi potong pada tanaman berumur 13 tahun adalah 13 ekor ha-1 tahun-1, sampai

154
Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi

dengan umur tanaman 10 tahun mempunyai kemampuan 0,40,6 ekor ha-1 tahun-1 dan lebih dari
10 tahun hanya mampu sekitar 0,4 ekor ha-1 tahun-1. Prediksi kemampuan kapasitas lahan
perkebunan untuk memelihara berbagai jenis ternak perlu dilakukan pengamatan lapang
mencakup prediksi secara empiris kebutuhan dan produksi hijauan pakan serta dilanjutkan
dengan pengamatan kesesuaian lapangan lahan perkebunan dengan perlakuan berbagai jenis
ternak.

155

Anda mungkin juga menyukai