PUTUSAN
Nomor 50/PUU-XII/2014
[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,
menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun
2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:
Pekerjaan : Dosen
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
2
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
3
2. DUDUK PERKARA
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
4
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
5
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
6
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
7
II.4. Bahwa lima syarat sebagaimana dimaksud di atas dijelaskan lagi oleh
Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 27/PUU-VII/2009 tanggal 16
Juni 2010 dalam pengujian formil Perubahan Kedua Undang-Undang
Mahkamah Agung, yang menyebutkan sebagai berikut: Dari praktik
Mahkamah (2003-2009), perorangan WNI, terutama pembayar pajak (tax
payer; vide Putusan Nomor 003/PUU-I/2003 tanggal 29 Oktober 2004)
berbagai asosiasi dan NGO/LSM yang concern terhadap suatu Undang-
Undang demi kepentingan publik, badan hukum, pemerintah daerah,
lembaga negara, dan lain-lain, oleh Mahkamah dianggap memiliki legal
standing untuk mengajukan permohonan pengujian, baik formil maupun
materiil Undang-Undang terhadap UUD 1945. Pemohon sebagai perorangan
warga negara Indonesia.
II.5. Bahwa berkaitan dengan permohonan ini, para Pemohon menegaskan
bahwa para Pemohon (bukti P-5, bukti P-5.1, bukti P-5.2, bukti P-5.3, bukti
P-5.4, bukti P-5.5, bukti P-5.6, bukti P-5.7, bukti P-5.8, bukti P-5.9, bukti
P-5.10, bukti P-5.11, bukti P-5.12, bukti P-5.13, bukti P-5.14, bukti P-5.15)
memiliki hak-hak konstitusional sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945,
yaitu apabila dinyatakan sebagai setiap pribadi warga negara berhak untuk
mendapatkan perlakuan sesuai dengan prinsip perlindungan dari
kesewenang-wenangan sebagai konsekuensi dari dinyatakannya negara
Republik Indonesia sebagai negara hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal
1 ayat (3) UUD 1945 dan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum,
sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) dan
UUD 1945.
II.6. Bahwa para Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia
sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK yang hak-hak
konstitusionalnya telah dirugikan oleh berlakunya UU 42/2008, terutama
dengan Pasal 159 ayat (1).
Bahwa merujuk kepada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-
III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20
September 2007 dan putusan-putusan selanjutnya, berpendirian bahwa
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud
Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat sebagaimana yang
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
8
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
9
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
10
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
11
memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali oleh rakyat
secara langsung dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
III.3. Bahwa dengan memahami konstruksi hukum yang dibangun dalam ketentuan
Pasal 159 ayat (1) UU 42/2008 menimbulkan ketidakpastian tafsir akibat
ketidakjelasan target penerapannya yaitu, apakah pada jumlah Pasangan
Calon pada Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dengan dua
pasangan Capres-Cawapres atau lebih dua Capres-Cawapres, terutama
dikaitkan dengan situasi kekinian Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden Tahun 2014 dengan hanya dua pasangan Capres-Cawapres.
Apabila mengikuti alur konstruksi hukum Pasal 6A ayat (3) dan ayat (4) UUD
1945, Pemohon memahami bahwa memakani Pasal 6A ayat (3) UUD 1945
sepanjang terkait dengan jumlah Pasangan Calon, maka harus dikaitkan
dengan ketentuan Pasal 6A ayat (4) UUD 1945. Hal ini berarti jumlah
Pasangan yang dimaksud Pasal 6A ayat (3) dikaitkan dengan ketentuan
Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 adalah lebih dari 2 (dua) pasangan calon.
Demikian pula konstruksi hukum pada Pasal 159 ayat (1) UU 42/2008 dapat
dimaknai bahwa sepanjang terkait dengan jumlah Pasangan Calon, maka
harus dikaitkan dengan konstruksi Pasal 159 ayat (2) UU 42/2008, yakni lebih
dari 2 (dua) pasangan calon.
III.4. Bahwa ketentuan Pasal 6A ayat (3) dan ayat (4) serta ketentuan Pasal 159
ayat (1) UU 42/2008 merupakan norma hukum yang dijadikan dasar pijak
penyelenggara Pemilu untuk menetapkan Calon Presiden dan Wakil Presiden
terpilih dalam pemilihan umum. Namun demikian, realitas politik dan realitas
hukumnya ternyata tidak memenuhi ketentuan Pasal 6A ayat (3) UUD 1945
dan Pasal 159 ayat (1) UU 42/2008 ternyata Pasangan Calon Presiden dan
Wakil Presiden dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014 hanya
2 (dua) Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang seluruh tahapan
pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden dituangkan dalam suatu
produk hukum tertentu oleh Pejabat Tata Usaha Negara di bidang Pemilihan
Umum yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU). Realitas ini tidak dijumpai
pengaturannya dalam ketentuan UU 42/2008, sehingga yang semestinya
Undang-Undang a quo menjelaskan secara rinci pemaknaan Pasal 6A ayat
(3) dan ayat (4) UUD 1945 sehingga menjamin kepastian hukum yang
berkeadilan, jika Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden hanya 2 (dua)
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
12
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
13
suatu norma hukum lainnya, dan norma hukum lainnya adalah landasan
validitas norma hukum tersebut. Hubungan antara norma hukum yang
mengatur pembentukan norma lain dengan norma lainnya sebagai hubungan
antara superordinasi dengan subordinasi atau superior dengan inferior
norm yang menunjukkan level atau hierarki norma. Norma yang menentukan
pembentukan norma lainnya adalah norma yang lebih tinggi derajatnya,
begitu sebaliknya, norma yang dibentuk tersebut derajatnya lebih rendah.
Dalam hubungan ini, maka hubungan antara norma yang lebih tinggi dengan
norma di bawahnya merupakan hubungan hierarki norma. Konsekuensinya
adalah, bahwa norma yang lebih rendah derajatnya tidak dibenarkan
bertentangan dengan norma di atasnya. Dengan demikian, suatu kesatuan
hukum merupakan rangkaian hubungan hierarkis antara norma-norma yang
satu dengan lainnya secara hierarkis tidak boleh bertentangan. Norma
sebagai kesatuan nilai yang hidup dalam masyarakat memiliki kekuatan
memaksa, dan ditaati, ketika norma tersebut telah ditempatkan sebagai
pernyataan kehehendak, baik pernyataan kehendak individu maupun
penyataan kehendak pembentuk Undang-Undang. Penyataan kehendak
tersebut diwujudkan baik dalam bentuk suatu transaksi hukum maupun dalam
suatu Undang-Undang yang di dalamnya mengandung unsur perintah atau
keharusan untuk ditaati (validitas) dan diterapkan (efektivitas). Hal ini
menujukkan bahwa setiap norma hukum memiliki unsur paksa, baik pada sisi
pentaatan, maupun sisi penerapannya, dan untuk ini diperkenalkan unsur
sanksi. Makna validitas norma hukum adalah bahwa setiap materi muatan
norma hukum memiliki daya ikat dan paksa bagi subjek hukum tertentu dalam
melakukan setiap perbuatan hukum. Sedangkan efektifitas norma hukum,
berarti segi penerapan materi muatan hukum oleh organ yang memiliki
otoritas untuk menerapkan suatu norma hukum.
III.5 Bahwa dalam doktrin pembentukan suatu peraturan perundang-undangan
sebagai keputusan politik dan keputusan hukum, maka setiap pembentukan
perundang-undangan memiliki fungsi yang inheren dengan fungsi hukum itu
sendiri, dan salah satu fungsinya di samping menjamin keadilan adalah
terwujudnya Kepastian Hukum.
Kepastian hukum (rechtszekerheid, legal certainty) merupakan asas penting
dalam tindakan hukum (rechtshandeling) dan penegakan hukum
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
14
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
15
realitas politik pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014 hanya
ada 2 (dua) Pasangan Calon Peresiden dan Wakil Presiden. Oleh karena itu
realitas politik dan hukum ini segera diberikan makna yang pasti oleh
Mahkamah Konstitusi agar Pasal 159 ayat (1) UU 42/2008 sejalan dengan
makna Pasal 6A ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945 dan menjawab realitas
Pemilu Presisden dan Wakil tahun 2014 yang diikuti hanya oleh 2 (dua)
Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden. Apabila hal ini dibiarkan,
dikhawatirkan terjadi kekosongan hukum karena diyakini bahwa Pasal 159
ayat (1) UU 42/2008 sesungguhnya dirancang untuk Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden dengan jumlah Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden
lebih dari dua pasangan. Di samping itu, jika pun diterapkan Pasal 159 ayat
(1) UU 42/2008 dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014 yang
jumlah Pasangan Calon hanya 2 (dua) dan salah salah kandidat tidak dapat
memenuhi ketentuan Pasal 159 ayat (1) UU 42/2008, maka prosedur
berikutnya mengikuti ketentuan Pasal 159 ayat (2) UU 42/2008 yaitu
dilakukan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dua putaran. Akibatnya,
kembali kedua Capres-Cawapres yang sama akan bertarung kembali, dan
akan mengakibatkan pemborosan keuangan negara dan ketidakstabilan
politik dan bahkan tidak mungkin akan menimbulkan gesekan sangat keras
dan berdarah di kalangan akar rumput pada masing-masing pendukung.
III.7. Bahwa berdasarkan hal-hal sebagaimana diurakan di atas, maka untuk
menjawab peristiwa kongkrit dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
tahun 2014, maka agar ketentuan Pasal 159 ayat (1) UU 42/2008 tidak
menimbulkan multi tafsir sudah saatnya dan seharusnya diberikan makna
atau tafsir baru oleh Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang
memiliki kewenangan dan berfungsi sebagai the guardian of the constitution
dan the final interpretation of the constitution, yaitu tidak diberlakukan untuk
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan dua pasangan Calon Presiden
dan Wakil Presiden, sehingga secara lengkap materi muatan Pasal 159 ayat
(1) UU 42/2008 adalah:
Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh
suara lebih dari 50 % (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20 % (dua puluh
persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari (setengah)
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
16
IV. PETITUM
Berdasarkan seluruh dalil-dalil yang diuraikan di atas dan bukti-bukti terlampir,
serta keterangan para ahli yang akan didengar dalam pemeriksaan perkara,
dengan ini para Pemohon mohon Mahkamah Konstitusi agar berkenan
memberikan putusan sebagai berikut:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Pasal 159 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tidak bertentangan
dengan UUD 1945, sepanjang Pasal 159 ayat (1) Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tidak diberlakukan untuk Pemilu Presiden
dan Wakil Presiden dengan dua pasangan Calon Presiden dan Wakil
Presiden;
3. Menyatakan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,
sepanjang Pasal 159 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tidak
diberlakukan dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan dua
pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden;
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya.
Atau, apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang
seadil-adilnya (ex aequo et bono)
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
17
Selain itu, para Pemohon juga mengajukan dua orang ahli yang
didengarkan keterangannya dalam persidangan Mahkamah tanggal 23 Juni 2014
yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:
1. Prof. H.A.S. Natabaya
- Pembentukan UUD 1945 dipengaruhi suasana reformasi, sebelumnya
dikenal 3 partai politik setelah reformasi semua berlomba membentuk partai
baru. Sistem multipartai yang menyebabkan lahirnya Pasal 6A ayat (2) UUD
1945. Situasi yang tergambar adalah akan ada banyak calon Presiden
karena banyak partai yang akan mengajukan calon Presiden.
- Lahirnya Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 karena adanya pemikiran mengenai
situasi Indonesia yang terdiri dari banyak suku, banyak penduduk di tempat
yang tersebar. Untuk menunjukan bahwa Presiden adalah mewakili
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
18
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
19
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
20
tidak berlaku apabila hanya ada dua pasangan calon, dan Pasal 6A ayat
(4) yang tidak diterapkan pada dua pasangan calon tidak bertentangan
dengan UUD 1945.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
21
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
22
memperoleh suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam Pemilu presiden dan
wakil presiden dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di
lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia. Berbeda dengan Pasal 6A
UUD 1945 menyatakan dilantik menjadi presiden dan wakil presiden, tetapi
Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres, tidak ada kata-kata dilantik menjadi presiden
dan wakil presiden. Secara gramatikal, ketentuan Pasal 159 ayat (1) Undang-
Undang Pilpres menyerupai ketentuan Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 yang
mengatur persyaratan pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam
mendapatkan besaran suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemilihan
umum dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih
dari setengah jumlah provinsi di Indonesia untuk dilantik menjadi presiden dan
wakil presiden. Dilihat dari perbandingan tersebut, maka hanya frasa ... dilantik
menjadi presiden dan wakil presiden pada Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 tidak
menjadi materi pada Pasal 159 ayat (1) Undang-Undang Pilpres.
4. Secara sistematis, ketentuan Pasal 159 Undang-Undang Pilpres dan Pasal 6A
UUD 1945 telah memberikan jalan keluar atau wayout yang sama apabila
persyaratan Suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemilihan umum
dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari
setengah jumlah provinsi di Indonesia tidak terpenuhi yaitu melalui putaran
kedua di mana pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik
sebagai presiden dan wakil presiden vide Pasal 159 ayat (2) juncto Pasal 6A
ayat (4) UUD 1945 yang selengkapnya berbunyi Dalam hal tidak ada
pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih, dua pasangan calon yang
memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum
dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara
rakyat terbanyak dilantik sebagai presiden dan wakil presiden. Dalam Pasal
159 ayat (2) UU Pilpres menyatakan bahwa, Dalam hal tidak ada pasangan
calon terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dua pasangan calon yang
memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali oleh rakyat
secara langsung dalam Pemilu presiden dan wakil presiden.
5. Secara maksud atau dikenal dengan original intent pembentuk UUD 1945
dalam hal ini panitia ad hoc TAP I MPR sebagai pembahas konstitusi, ketika
membahas materi sistem pemilu presiden dan wakil presiden dalam proses
perubahan Undang-Undang Dasar 1945 tidak hanya berhenti berdebat pada
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
23
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
24
III. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan tersebut, Presiden memohon kepada Mahkamah
Konstitusi yang memeriksa permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dapat
memberikan putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
26
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
27
20% disetiap provinsi yang tersebar di lebih dari (setengah) jumlah provinsi
di Indonesia (minimal di 18 provinsi) .
h. Bahwa meskipun hanya ada dua pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden yang akan berkompetisi pada pemilihan umum Presiden dan Wakil
Presiden 2014, tidak tertutup kemungkinan persyaratan di atas tidak terpenuhi
dalam satu kali pemilihan. Jika salah satu pasangan calon unggul dalam
perolehan suara lebih dari 50%, belum tentu persyaratan perolehan suara
sedikitnya 20% di masing-masing 18 provinsi terpenuhi dan jika hal tersebut
terjadi akan timbul perdebatan apakah perlu dilakukan pemilihan umum
putaran kedua atau lebih tepatnya dinamakan pemungutan suara ulang
mengingat pasangan calon yang dipilih baik jumlah maupun nama pasangan
Capres-Cawapresnya sama.
i. Bahwa untuk persoalan sebagaimana diuraikan pada huruf h di atas, dalam
konstitusi hanya terdapat rujukan ketentuan Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 yang
berbunyi:
Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih,
dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua
dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan
yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil
Presiden.
Berdasarkan ketentuan Pasal 6A ayat (4) UUD, pasangan yang perolehan
suaranya terbesar pertama dan kedua maka diajukan ke putaran kedua
pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden. Sementara pada putaran
kedua, pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang memperoleh
suara terbanyak, berapa pun suara yang terkumpul sekalipun hanya di tiga
provinsi maka calon Presiden dan Wakil Presiden tersebut yang dilantik
menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
j. Bahwa dalam sejarahnya, Pasal 6A ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (5)
UUD 1945 diputuskan pada Perubahan Ketiga (Tahun 2001). Sementara itu,
6A ayat (4) diputuskan dalam Perubahan Keempat (Tahun 2002).
Mengandung arti bahwa kronologi munculnya Pasal 6A UUD 1945 tersebut
meneguhkan bahwa ayat (3) merupakan syarat mutlak untuk dapat
ditetapkan dan dilantik sebagai Presiden dan wakil Presiden. Sementara ayat
(4) yang muncul belakangan, merupakan ketentuan lanjutan untuk melengkapi
ketentuan Pasal 6A ayat (3) yang notabene baru ditetapkan satu tahun
kemudian, ialah ayat jalan keluar (escape clausule) atau alternatif
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
28
3. PERTIMBANGAN HUKUM
[3.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan para Pemohon adalah
pengujian konstitusionalitas Pasal 159 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun
2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4924, selanjutnya disebut UU 42/2008) terhadap Pasal
1 ayat (3), Pasal 6A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (4),
Pasal 28J ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(selanjutnya disebut UUD 1945);
Kewenangan Mahkamah
[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10
ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya
disebut UU MK) dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5076, selanjutnya disebut UU 48/2009), salah satu kewenangan konstitusional
Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
30
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
31
[3.8] Menimbang bahwa dengan mendasarkan pada Pasal 51 ayat (1) UU MK,
dan putusan-putusan Mahkamah mengenai kedudukan hukum, serta dalil
Pemohon yang merasa potensial akan dirugikan akibat ketidakpastian tafsir Pasal
159 ayat (1) UU 42/2008, maka menurut Mahkamah para Pemohon mempunyai
hak konstitusional yang dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang
dimohonkan pengujian. Kerugian tersebut bersifat potensial, dan terdapat
hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dengan
berlakunya norma Undang-Undang yang dimohonkan pengujian, sehingga
terdapat kemungkinan apabila permohonan dikabulkan maka kerugian
konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan terjadi. Dengan demikian, menurut
Mahkamah Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk
mengajukan permohonan a quo;
Pokok Permohonan
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
33
159 ayat (2) UU 42/2008 apakah akan ada pemungutan suara putaran kedua, atau
ketentuan Pasal 6A ayat (3) tidak diberlakukan;
Pendapat Mahkamah
ada, tetapi juga dari konteks lahirnya pasal-pasal dalam konstitusi dan konteks
penerapannya, in concreto. Dengan demikian, yang dipahami sebagai Undang-
Undang Dasar, tidak semata-semata hanya yang tertulis dalam teks Undang-
Undang Dasar, tetapi juga termasuk semangat yang ada di balik teks Undang-
Undang Dasar yaitu konteks kelahiran dari pasal Undang-Undang Dasar serta
konteks penerapannya dalam penyelenggaraan negara untuk mencapai tujuan
bernegara. Dari sinilah fungsi penafsiran konstitusi oleh Mahkamah Konstitusi
yang menjadikan konstitusi sebagai konstitusi yang hidup dan dapat menjawab
setiap persoalan kenegaraan yang timbul. Oleh karena itu, penafsiran
konstitusional terhadap Undang-Undang yang dimohonkan pengujian ditafsirkan
oleh Mahkamah, sehingga sesuai dengan semangat konstitusi;
penduduknya yang padat, dan di luar Pulau Jawa dengan wilayah yang luas tetapi
penduduknya yang sedikit. Keterpilihan pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden yang memperoleh kemenangan mutlak di seluruh provinsi di Pulau Jawa
ditambah satu atau dua provinsi di luar Pulau Jawa yang padat penduduknya
sangat mungkin akan memperoleh lebih dari lima puluh persen suara rakyat.
Dengan kemungkinan yang demikian secara teoritik pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden cukup melakukan kampanye di beberapa provinsi saja untuk
meraih kemenangan. Untuk menghindari keadaan yang demikian syarat
persebaran perolehan suara menjadi sangat penting untuk menjaga kesatuan dan
kebersamaan dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Syarat tersebut juga
dimaksudkan agar Calon Presiden dan Wakil Presiden harus mengenal wilayah
dan dikenal oleh penduduk di seluruh wilayah Indonesia. Dalam kerangka itulah,
menurut Mahkamah makna yang dikehendaki Pasal 6A ayat (3) UUD 1945.
Persoalannya, apakah syarat persebaran perolehan suara tersebut berlaku
secara umum atau harus dikaitkan dengan jumlah pasangan calon yang diajukan
oleh partai politik atau gabungan partai politik sebelum pemilihan umum
dilaksanakan. Dalam hal ini, untuk mendapatkan pemahaman yang utuh atas
norma tersebut Mahkamah harus mempertimbangkan dari berbagai aspek yang
menurut Mahkamah relevan untuk memahami ketentuan tersebut, yaitu dari segi
konteks lahirnya norma UUD 1945 pada saat perumusannya, kaitannya dengan
kerangka norma pasal dan ayat yang lainnya dalam UUD 1945, serta aspek
teleologis dan kemanfaatan bagi bangsa dan negara;
oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu, dengan
pertimbangan bahwa siapa yang hendak menjadi calon Presiden dan Wakil
Presiden dapat mengajukan dirinya melalui partai politik, atau mendirikan partai
politik yang menjadi peserta Pemilu. Hal itu juga dimaksudkan untuk membatasi
jumlah pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dengan batas maksimum
sejumlah partai politik peserta pemilihan umum, dan tidak dimungkinkan adanya
calon perseorangan yang diajukan oleh kelompok masyarakat. Jika jumlah
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden hendak dikurangi lagi maka dapat
dilakukan dengan mengurangi jumlah partai politik peserta pemilihan umum.
Dengan konstruksi berpikir demikianlah yang melahirkan Pasal 6A ayat (2) UUD
1945, yaitu mengakomodasi banyak pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden,
karena seluruh partai politik peserta pemilihan umum diasumsikan dapat
mengajukan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Oleh karena itu maka
adalah sangat wajar adanya ketentuan Pasal 6A ayat (3) yang mengharuskan
syarat keterpilihan mayoritas sederhana ditambah persebaran pemilih paling
sedikit 20% di lebih dari setengah provinsi di Indonesia. Pengaturan tersebut perlu,
untuk menghindari pasangan calon yang hanya berkonsentrasi pada provinsi-
provinsi di Pulau Jawa yang jumlah pemilihnya lebih dari setengah jumlah seluruh
pemilih di Indonesia, sehingga pasangan calon tersebut merasa tidak perlu untuk
dikenal di provinsi yang lain yang jumlah penduduknya tidak banyak. Apalagi, jika
hanya dicalonkan oleh satu partai politik yang basis pemilihnya hanya
berkonsentrasi di Pulau Jawa.
Lalu, bagaimana kalau terjadi pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden
yang hanya terdiri dari dua pasangan calon? Dari penelusuran risalah rapat
pembahasan perubahan UUD 1945, memang tidak dibicarakan secara ekspresis
verbis apabila hanya terdapat dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.
Hanya saja pada saat perubahan ketiga, masih ada sisa persoalan yang belum
terselesaikan yaitu apa solusinya jika pasangan calon Presiden tidak ada yang
memenuhi syarat dalam Pasal 6A ayat (3) UUD 1945. Dalam hal ini terdapat dua
pilihan yaitu, terhadap dua pasangan yang memperoleh suara terbanyak pertama
dan kedua yang dipilih langsung oleh rakyat dipilih kembali oleh rakyat atau dipilih
oleh MPR yang pada perubahan keempat diputuskan untuk dipilih langsung oleh
rakyat tanpa memperhatikan persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 6A ayat (3)
UUD 1945.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
38
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
39
dibahas ketika perubahan UUD 1945, antara lain, terdapat usulan bahwa dua
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat:
dipilih oleh MPR atau diajukan oleh partai politik pemenang pertama dan kedua
dalam pemilihan umum lembaga perwakilan rakyat. Kesemuanya itu adalah dalam
rangka proses demokrasi berdasarkan kedaulatan rakyat. Dalam hal hanya
terdapat dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan oleh
gabungan beberapa partai politik yang bersifat nasional, menurut Mahkamah pada
tahap pencalonan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden telah memenuhi
prinsip representasi keterwakilan seluruh daerah di Indonesia karena calon
Presiden sudah didukung oleh gabungan partai politik nasional yang
merepresentasikan penduduk di seluruh wilayah Indonesia. Dengan demikian,
tujuan kebijakan pemilihan presiden yang merepresentasi seluruh rakyat dan
daerah di Indonesia sudah terpenuhi;
4. KONKLUSI
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
40
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
1.1. Pasal 159 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4924) bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
sepanjang tidak dimaknai tidak berlaku untuk pasangan calon Presiden
dan Wakil Presiden yang hanya terdiri dari dua pasangan calon;
1.2. Pasal 159 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4924) tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai tidak berlaku untuk
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang hanya terdiri dari
dua pasangan calon;
KETUA,
ttd.
Hamdan Zoelva
ANGGOTA-ANGGOTA,
ttd. ttd.
ttd. ttd.
ttd. ttd.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
42
ttd. ttd.
A. Pengantar
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dalam melakukan
perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD
1945) pada tahun 1999 sampai dengan tahun 2002 menyepakati antara lain
bahwa sistem pemerintahan yang dianut di Indonesia setelah perubahan UUD
adalah memperkuat sistem pemerintahan Presidensiil. Beberapa ciri sistem
Presidensiil tersebut dalam UUD 1945 antara lain Presiden dipilih secara langsung
oleh rakyat karena memang rakyatlah yang berdaulat akan tetapi tetap mengacu
pada norma konstitusional sesuai dengan semangat dalam Pasal 1 ayat (2) UUD
Tahun 1945 yang menegaskan bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan
dilaksanakan menurut UUD 1945;
Disadari sepenuhnya bahwa rakyat Indonesia tersebar di seluruh wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). NKRI merupakan suatu negara
kepulauan yang berciri nusantara sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 25A UUD
1945. Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas dengan penduduk
yang beragam latar belakangnya, baik daerah/wilayah, suku, agama, dan budaya
Agar Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih memiliki legitimasi yang
kuat dan merata di seluruh tanah air. Maka apabila dikaitkan dengan ketentuan
Pasal 25A UUD 1945 akan mendorong pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden mencerminkan dan mewakili keragaman penduduk Indonesia. Pasangan
yang berbeda latar belakang tersebut diharapkan akan memperoleh dukungan
yang lebih besar dan lebih merata di berbagai wilayah tanah air dan untuk
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
43
menghindarkan situasi dari dominasi atau hegemoni dari satu kelompok golongan
masyarakat tertentu saja. Original intent Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 ini mengatur
tentang adanya syarat minimal perolehan suara (Presidential threshold) bagi
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden untuk dilantik menjadi Presiden dan
Wakil Presiden. Syarat perolehan tersebut diatur dengan mempertimbangkan
realitas masyarakat Indonesia yang sangat majemuk baik dari segi suku, agama,
ras, budaya, dan domisili karena persebaran penduduk yang tidak merata di
seluruh wilayah negara Indonesia. Dengan demikian Presiden dan Wakil Presiden
adalah pilihan mayoritas rakyat Indonesia secara relatif hampir di semua wilayah.
Hal tersebut juga mendorong terbangunnya koalisi antarpartai politik. Pada
umumnya partai-partai politik mempunyai basis pendukung yang berbeda, baik
ditinjau dari aspek ideologi, wilayah, suku, agama, dan golongan. Ada partai politik
yang kuat di suatu daerah namun di daerah lain kurang mendapat dukungan.
Kondisi ini menyebabkan sebuah partai politik akan kesulitan bila hanya
mengandalkan dirinya sendiri untuk memenangkan pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden. Untuk itulah partai politik harus sejak dini berusaha membangun
koalisi permanen agar penyelenggaraan pemerintahan betul-betul kokoh berjalan
dengan baik dan bermanfaat bagi kepentingan rakyat.
Untuk menjawab keutuhan NKRI tersebut, Presiden yang dipilih oleh rakyat
haruslah mencerminkan Presiden NKRI yang mendapatkan dukungan dari
mayoritas rakyat pemilih dalam pemilihan umum baik dalam bentuk kuantitas
maupun dukungan yang tersebar di provinsi-provinsi. Paling tidak ada lima pasal
dalam UUD 1945 yang menyebutkan tentang NKRI yakni Pasal 1 ayat (1), Pasal
18 ayat (1), Pasal 18B ayat (2), Pasal 25A, dan Pasal 37 ayat (5). Oleh karena itu
maka Presiden Republik Indonesia tidak hanya bertindak sebagai kepala negara
dan kepala pemerintahan saja melainkan juga sebagai lambang NKRI dan simbol
pemersatu nasional. Sebagai pemersatu bangsa, maka pemilihan Presiden secara
langsung oleh rakyat merupakan keniscayaan, oleh karena itu Presiden terpilih
adalah Presiden yang mendapat dukungan dari rakyat dan dukungan sebaran
penduduk di provinsi-provinsi. Persebaran suara tidak hanya terkonsentrasi hanya
di beberapa wilayah padat penduduk saja.
berbunyi: Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara
lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan
sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari
setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil
Presiden. Sedangkan Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 merupakan jalan keluar
apabila dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tidak ada calon Presiden dan
Wakil Presiden yang memenuhi kualifikasi Pasal 6A ayat (3) UUD 1945;
Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 sebagai landasan konstitusional untuk
melaksanakan pemilihan Presiden dan wakil Presiden untuk satu kali putaran,
apakah pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diikuti oleh dua pasangan
atau lebih?
Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 tidaklah membedakan apakah pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden tersebut dua pasangan saja atau lebih. Baik
pasangan calon Presiden tersebut hanya dua pasangan atau lebih haruslah tetap
memperhitungkan terlebih dahulu jumlah perolehan dukungan suara di lebih dari
lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua
puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah
provinsi di Indonesia. Bagi yang memenuhi persyaratan tersebut langsung dilantik
jadi Presiden dan Wakil Presiden sehingga dengan demikian bahwa Pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden tersebut satu kali putaran saja;
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana apabila pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden tidak ada yang memenuhi persyaratan dalam Pasal
6A ayat (3) UUD 1945, apakah pelaksanaan pemilihan umum dilakukan satu
putaran atau dua putaran?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut dapat ditinjau dari dua hal yakni
apakah pasangan calon Presiden dan wakil Presiden tersebut lebih dari dua
pasang atau hanya dua pasang saja;
Apabila pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden lebih dari dua
pasangan calon pada putaran pertama dan tidak memenuhi kualifikasi Pasal 6A
ayat (3) UUD 1945, maka selanjutnya Pemilu Presiden dan Wakil Presiden masuk
dalam putaran kedua sebagaimana yang telah dilakukan dalam praktek
ketatanegaraan pemilihan umum Tahun 2004 dan perhitungan suaranya mengikuti
ketentuan ketentuan Pasal 6A ayat (4) UUD 1945. Pasal 6A ayat (3) diubah pada
Perubahan Tahap III UUD 1945 sedangkan Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 diubah
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
45
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
46
melebihi dukungan dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih
dari setengah jumlah provinsi di Indonesia. Kedua keadaan ini sama-sama tidak
memenuhi persyaratan Pasal 6A ayat (3) UUD 1945;
Dalam hal terjadinya kemungkinan yang kedua ini, apakah pemilihan
Presiden masuk putaran kedua ataukah cukup satu putaran saja, lalu bagaimana
cara menentukan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mana yang
harus dinyatakan menang?
Saya berpendapat bahwa oleh karena pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden dari semula hanya dua pasangan calon maka pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden cukup satu putaran saja sebab calonnya tidak berubah. Untuk
menentukan siapa pemenangnya maka baru kita masuk dalam pembahasan Pasal
6A ayat (4) UUD 1945. Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan Dalam hal
tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan
calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan
umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara
rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden;
Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 adalah sistem perhitungan pemilihan umum
dalam dua putaran dan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diasumsikan
lebih dari dua pasangan calon. Walaupun demikian, karena saya berpendapat
bahwa dalam pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden hanya dua pasangan
saja maka pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden cukup satu
putaran saja tetapi cara menghitung hasil perolehan suaranya yang harus dua
tahap. Perhitungan tahap kedua hanya bisa dilakukan apabila perhitungan pada
tahap pertama sudah dilaksanakan namun tidak ada yang memenuhi kualifikasi
sehingga masuk dalam perhitungan tahap kedua. Dalam perhitungan tahap kedua
ini langsung menghitung dukungan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah
suara dalam pemilihan umum dan tidak lagi mempertimbangkan sebaran
sedikitnya 20% di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia. Dengan
demikian yang memperoleh suara terbanyaklah yang dilantik jadi Presiden dan
Wakil Presiden.
C. Kesimpulan
Menurut pendapat saya, tidak benar bila UU 42/2008 dinyatakan
bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 karena
Pasal 159 ayat (1) UU 42/2008 merupakan turunan langsung dari bunyi Pasal 6A
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
47
ayat (3) UUD 1945. Namun setelah mempelajari lebih lanjut aturan hukum yang
mengatur tentang cara menentukan pemenang Presiden dan Wakil Presiden
dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang diikuti hanya 2
pasangan calon dari awal mengacu pada UUD 1945 dan UU 42/2008 terdapat
kekosongan hukum dalam hal Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang
diikuti hanya 2 pasangan calon meskipun sudah ada ketentuan Pasal 6A ayat (3)
dan ayat (4) UUD 1945. Oleh karena itu, diperlukan suatu penafsiran konstitusional
agar dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 9 Juli
2014 memiliki dasar hukum dalam menentukan pemenang Presiden dan Wakil
Presiden apabila tidak memenuhi persyaratan Pasal 6A ayat (3) UUD 1945.
Dengan demikian, menurut saya permohonan Pemohon seharusnya diputus
konstitusional bersyarat (conditionally constitutional);
Pasal 159 ayat (1) UU 42/2008 tentang Pilpres adalah konstitusional
meskipun hanya untuk 2 pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tetap
berlaku untuk perhitungan Tahap I untuk Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden;
Dalam hal pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden hanya dua
pasangan maka Pemilihan calon Presiden dan Wakil Presiden dilakukan dalam
satu putaran, dengan perhitungan pemenangnya pada tahap pertama berdasarkan
Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 yakni yang memperoleh dukungan suara lebih dari
lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua
puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah
provinsi di Indonesia dilantik jadi Presiden dan Wakil Presiden. Apabila kedua
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tersebut tidak ada yang memenuhi
kualifikasi Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 langsung pada tahap kedua dilaksanakan
perhitungan suara untuk pasangan yang memperoleh suara terbanyak tanpa
mempertimbangkan sebarannya di provinsi-provinsi. Selanjutnya, yang
memperoleh suara terbanyak tersebut yang dilantik jadi Presiden dan Wakil
Presiden;
Apabila ketentuan Pasal 159 ayat (1) UU 42/2008 dimaknai bertentangan
dengan UUD 1945 jika calon Presiden dan wakil Presiden hanya diikuti oleh dua
pasangan calon saja sebagaimana permohonan para Pemohon maka berarti telah
terjadi pengabaian terhadap ketentuan Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 sebab
ketentuan Pasal 159 ayat (1) UU 42/2008 seutuhnya merupakan turunan dari
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
48
Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 sehingga Pasal 159 ayat (1) UU 42/2008 harus
dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang dimaknai jika peserta
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden hanya dua pasangan calon, lalu tidak ada
yang memenuhi syarat perolehan suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam
pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% suara di setiap
provinsi yang tersebar di lebih dari (setengah) jumlah provinsi di Indonesia,
maka ditentukan dengan suara terbanyak.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
49
bertentangan dengan UUD. Dengan tidak mengurangi rasa hormat saya terhadap
semangat Pemohon, dengan permohonan seperti ini sama saja Pemohon minta
Mahkamah keluar dari kewenangan yang digariskan oleh konstitusi dan Undang-
Undang. Lagipula dalam posita maupun Petitum permohonan pemohon telah salah
pula dalam menempatkan posisi Mahkamah sebagai positive legislature sehingga
sangat bertentangan dengan UU Mahkamah dan melampaui kewenangan
Mahkamah. Dalam permohonannya Pemohon sama sekali tidak mengemukakan
eksistensi Pasal 6A ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945. Seharusnya Pemohon juga
harus membaca dan memahami dengan baik Pasal 6A ayat (3) dan ayat (4) UUD
1945.
Saya dapat memahami disisi lain permohonan Pemohon bahwa terjadi
suatu kekosongan hukum terhadap bagaimana cara menentukan pemenang
terhadap pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden apabila hanya diikuti oleh
dua pasangan calon saja, sehingga diharapkan adanya terobosan baru sebagai
pedoman yang dikeluarkan oleh Mahkamah untuk kepentingan Bangsa dan
Negara, untuk hal ini saya memberikan apresiasi. Sebagai jawaban terhadap
persoalan tersebut sudah saya jelaskan dalam Kesimpulan saya di atas yaitu satu
putaran dengan dua tahapan perhitungan.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
50
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
51
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
52
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
53
PANITERA PENGGANTI,
ttd.
Yunita Rhamadani
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id