Anda di halaman 1dari 22

Paper

POLA ASUH TERHADAP ANAK TANPA KEKERASAN

Oleh:

Erick Novrianto

16014101149

Masa KKM : 11 Juli 7 Agustus 2016

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2017

0
DAFTAR ISI

Bab I PENDAHULUAN.......................................................................2
Bab II PEMBAHASAN..........................................................................5
Bab III PENUTUP...................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................20

1
BAB I
PENDAHULUAN

Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama bagi anak-anak untuk

mengenal kehidupan, melalui keluarga pula kepribadian mereka dibentuk. Orang tua

adalah orang pertama yang mengasuh dan mendidik anak, mereka menjadikan anak-

anak sebagai generasi penerus keturunan mereka termasuk sebagai penerus bangsa. 1,2

Orang tua merupakan cerminan yang bisa dilihat dan ditiru oleh anak-anaknya dalam

keluarga. Pengasuhan anak merupakan serangkaian kewajiban yang harus

dilaksanakan oleh orang tua. Jika pengasuhan anak belum bisa dipenuhi secara baik

dan benar, kerap kali akan memunculkan masalah dan konflik, baik di dalam diri

anak itu sendiri maupun antara anak dengan orangtuanya. Sejalan dengan

pertumbuhan dan perkembangan usianya, maka keluarga bukan satu-satunya yang

membentuk kepribadian anak. Lingkungan sosial seperti kelompok teman sebaya,

sekolah, dan lingkungan masyarakat dimana anak tersebut tumbuh dan berkembang

turut berperan bagi pembentukan kepribadian anak. 3-5

Pada era globalisasi seperti ini banyak dampak pada masyarakat, baik

dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positifnya adalah memudahkan

dalam mencari informasi, hiburan, dan juga pengetahuan, tetapi dampak negatifnya

berkaitan dengan perilaku dan tata karma anak yaitu seorang anak cenderung meniru

budaya Barat. Seorang anak bisa berperilaku demikian karena melihat atau

menyaksikan tayangan televisi yang kurang edukatif dan kurangnya pengawasan

2
orang tua, sehingga anak tidak selektif memilih tayangan televisi. Orang tua patut dan

seharusnya senantiasa mengawasi dan mengasuh anak dengan baik dan benar.3-6

Pengalaman pertama yang diterima anak memberikan landasan kuat untuk

membentuk kepribadian anak.1,2,5 Praktek pengasuhan terhadap anak sebagai proses

yang memiliki unsur tindakan yang mencakup apa yang dikehendaki orangtua agar

anak-anak mengetahui tentang arti hidup, hubungan antar manusia, kejujuran,

kehormatan, mandiri dan bertanggungjawab, serta memiliki nilai-nilai kehidupan

sebagai bekal anak dimasa depan.5-7 Setiap pola pengasuhan harus memberikan rasa

nyaman tetapi juga diperkuat dengan batasan norma-norma yang menghindarkan

anak pada perilaku menyimpang. Batasan tersebut sejatinya bukan bermaksud

membuat anak terkekang namun justru membuat anak merasa terlindungi. Namun

pada kenyataannya tindakan pengasuhan orang tua atau orang dewasa lainnya

mengggunakan cara-cara yang tidak efektif bagi perkembangan anak. Tidak jarang

orang tua atau pengasuh menghukum, menghardik bahkan menganiaya anak, saat

menghadapi perilaku bermasalah pada anak.5,8,9 Para orang tua atau orang dewasa lain

mempercayai bahwa cara-cara tersebut sebagai cara yang tepat untuk mendisiplinkan

anak, sebagaimana yang mereka peroleh semasa kanak-kanak. Mereka beranggapan

bahwa perlakuan dimaksud menjadi bagian dari pembelajaran agar anak tumbuh

menjadi sosok yang disiplin, dan tindakan tersebut tidak akan menyakitkan anak

melainkan sebagai bentuk kasih sayang orang tua.7-10

Kesalahan dalam pengasuhan anak dapat membawa dampak ketika dewasa

nanti. Seorang anak akan merasa trauma bila pengasuhan di keluarganya dilakukan

dengan cara memaksa. Lain halnya jika anak selalu dipenuhi permintaannya oleh

3
orang tua. Pola demikian akan membuat mereka menjadi pribadi yang manja. Oleh

karena itu, orang tua harus bisa menerapkan pola pengasuhan yang fleksibel namun

tetap bisa menanamkan nilai positif kepada anak.11,12

4
BAB II
PEMBAHASAN

Pola pengasuhan anak erat kaitannya dengan kemampuan suatu keluarga atau

komunitas dalam hal memberikan perhatian, waktu, dan dukungan untuk memenuhi

kebutuhan fisik, mental, dan sosial anak-anak yang sedang dalam masa

pertumbuhan.11,12 Orang tua yang berperan dalam melakukan pengasuhan pada kasus

ini terdiri dari beberapa definisi yaitu ibu, ayah, atau seseorang yang berkewajiban

membimbing atau melindungi. Orangtua merupakan seseorang yang mendampingi

dan membimbing anak dalam beberapa tahap pertumbuhan, yaitu mulai dari merawat,

melindungi, mendidik, mengarahkan dalam kehidupan baru anak dalam setiap

tahapan perkembangannya untuk masa berikutnya.1,9,11

Pengasuhan merupakan tugas membimbing, memimpin, atau mengelola.

Mengasuh anak artinya mendidik dan memelihara anak, mengurusi makan, minum,

pakaian, dan keberhasilannya dalam periode pertama sampai dewasa. 9,11,12

Pengasuhan atau disebut juga parenting adalah proses mendidik anak dari kelahiran

hingga anak memasuki usia dewasa. Tugas ini umumnya dikerjakan oleh ibu dan

ayah (orang tua biologis). Namun, jika orang tua biologis tidak mampu melakukan

pengasuhan, maka tugas tersebut dapat dilakukan oleh kerabat dekat termasuk kakak,

nenek dan kakek, orang tua angkat, atau oleh institusi seperti panti asuhan

(alternative care). Selanjutnya pengasuhan mencakup beragam aktivitas yang

bertujuan agar anak dapat berkembang secara optimal dan dapat bertahan hidup

dengan baik, bisa menerima dan diterima oleh lingkungannya.9,11-13

5
Bila pola pengasuhan anak tidak tepat, maka hal itu akan berdampak pada

pola perilaku anak. Apalagi jika anak meniru perilaku orang-orang di luar rumah yang

cenderung negatif. Pola pengasuhan yang intens akan membentuk jalinan hubungan

kuat di antara orang yang diidentifikasi dan orang mengidentifikasi (anak dengan

orang yang membimbing).5,11 Dengan demikian, anak yang benar-benar melakukan

identifikasi cenderung mencari figur yang dapat diterima dan sesuai dengan proses

pembentukan dirinya. Adapun mereka yang telah terbebas dari beban dan tekanan diri

dan lingkunganya akan dengan mudah menjalankan proses identifikasi yang sesuai

dengan kemampuan dan potensi dirinya.11,13,14

Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa pengasuhan anak menjadi hal

yang penting dalam membentuk karakter, moralitas, pengetahuan, keterampilan, dan

life skill yang memadai bagi anak. Oleh sebab itu, kerja sama semua agen sosialisasi

baik keluarga, sekolah, dan masyarakat menjadi solusi terbaik demi suksesnya anak.

Khusus bagi keluarga, tugas dan tanggung jawab dalam menyukseskan pengasuhan

anak sejak dini sangat besar, mengingat dari keluargalah seorang anak lahir dan

berkembang. Pola asuh dan lingkungan keluarga sangat menentukan pola pikir,

kebiasaan, dan kemampuan memotret kehidupan dunia yang penuh kompetisi,

aktualitas, dan dinamika.11-14 Adapun beberapa definisi tentang pengasuhan tersebut

menunjukkan bahwa pengasuhan anak merupakan sebuah proses interaksi yang terus

menerus antara orangtua dengan anak yang bertujuan untuk mendorong pertumbuhan

dan perkembangan anak secara optimal, baik secara fisik, mental maupun sosial. 1,8,9

Dalam hal ini perlu diingat bahwa proses interaksi dan sosialisasi tidak dapat

dilepaskan dari setting sosial budaya tempat anak dibesarkan. Pola asuh orangtua

6
merupakan segala bentuk dan proses interaksi yang terjadi antara orangtua dan anak

yang dapat memberi pengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak. Interaksi

orang tua dalam suatu pembelajaran menentukan karakter anak nantinya, khususnya

untuk memberikan bimbingan dan pendampingan dalam setiap harinya, misalnya

dengan memberi bimbingan tentang akhlak, etika, budi pekerti serta teladan agar anak

mewarisi sikap terpuji dan santun. 11,15

Pola pengasuhan anak dalam garis besarnya, didefinisikan menjadi tiga

macam, antara lain sebagai berikut:5,11,12

1. Pola asuh Otoriter


Pola asuh otoriter merupakan pengasuhan yang dilakukan dengan cara

memaksa, mengatur, dan bersifat keras. Orang tua menuntut anaknya agar mengikuti

semua kemauan dan perintahnya. Jika anak melanggar perintahnya berdampak pada

konsekuensi hukuman atau sanksi. Pola asuh otoriter dapat memberikan dampak

negatif pada perkembangan psikologis anak. Anak kemudian cenderung tidak dapat

mengendalikan diri dan emosi bila berinteraksi dengan orang lain. Bahkan tidak

kreatif, tidak percaya diri, dan tidak mandiri. Pola pengasuhan ini akan menyebabkan

anak menjadi stres, depresi, dan trauma. Oleh karena itu, tipe pola asuh otoriter tidak

dianjurkan.
2. Pola asuh Permisif

Pola asuh permisif dilakukan dengan memberikan kebebasan terhadap anak.

Anak bebas melakukan apapun sesuka hatinya. Sedangkan orang tua kurang peduli

terhadap perkembangan anak. Pengasuhan yang didapat anak cenderung di lembaga

formal atau sekolah. Pola asuh semacam ini dapat mengakibatkan anak menjadi egois

karena orang tua cenderung memanjakan anak dengan materi. Keegoisan tersebut

7
akan menjadi penghalang hubungan antara sang anak dengan orang lain. Pola

pengasuhan anak yang seperti ini akan menghasilkan anak-anak yang kurang

memiliki kompetensi sosial karena adanya kontrol diri yang kurang.

3. Pola asuh demokratis

Pola asuh ini, orang tua memberikan kebebasan serta bimbingan kepada anak.

Anak dapat berkembang secara wajar dan mampu berhubungan secara harmonis

dengan orang tuanya. Anak akan bersifat terbuka, bijaksana karena adanya

komunikasi dua arah. Sedangkan orang tua bersikap obyektif, perhatian, dan

memberikan dorongan positif kepada anaknya. Pola asuh demokratis ini mendorong

anak menjadi mandiri, bisa mengatasi masalahnya, tidak tertekan, berperilaku baik

terhadap lingkungan, dan mampu berprestasi dengan baik. Pola pengasuhan ini

dianjurkan bagi orang tua.

Selain peran keluarga dalam pengasuhan anak, adapun faktor-faktor yang

mempengaruhi pola asuh, yaitu:5,4,11

1. Lingkungan Tempat Tinggal

Salah satu faktor yang mempengaruhi pola asuh adalah lingkungan tempat

tinggal. Perbedaan keluarga yang tinggal di kota besar dengan keluarga yang tinggal

di pedesaan berbeda gaya pengasuhannya. Keluarga yang tinggal di kota besar

memiliki kekhawatiran yang besar ketika anaknya keluar rumah, sebaliknya keluarga

yang tinggal didesa tidak memiliki kekhawatiran yang besar dengan anak yang keluar

rumah.

2. Sub kultur budaya

8
Sub kultur budaya juga termasuk dalam faktor yang mempengaruhi pola asuh.

Dalam setiap budaya pola asuh yang diterapkan berbeda-beda, misalkan ketika

disuatu budaya anak diperkenankan berargumen tentang aturan-aturan yang

ditetapkan orang tua, tetapi hal tersebut tidak berlaku untuk semua budaya.

3. Status sosial ekonomi

Keluarga yang memiliki status sosial yang berbeda juga menerapkan pola asuh

yang berbeda juga.

Masa kanak-kanak adalah masanya meniru dan mulai tertanamnya norma-

norma yang akan dia ikuti. Kata-kata dan perilaku kasar yang sering diterimanya,

akan ditiru anak bahkan dapat menimbulkan pemahaman bahwa memukul itu

dibenarkan, sehingga saat di usia dewasa nanti, relasi sosial anak akan diwarnai

dengan tindak kekerasan.1,10-13 Kekerasan atau perlakuan agresi tidak hanya memukul

pada anak nakal, berkata kasar, menakuti-nakuti pada anak namun agresi adalah

tindakan yang dapat menimbulkan luka fisik, atau penderitaan psikologis terhadap

orang lain dapat disebut sebagai tidakan agresi. Bentuk tindak kekerasan fisik; seperti

menampar, mendorong, memukul dengan kepalan tangan, meninju, atau menebas

atau mengancam dengan menggunakan senjata seperti pistol atau pisau. Bentuk

tindak kekerasan emosional adalah pelecehan emosional seperti memanggil dengan

nama buruk, menimbulkan perasaan tidak diinginkan atau diancam sambil

menelantarkan.13,15,16

Beberapa penelitian menemukan bahwa stress atau gangguan psikopathologi

yang terjadi pada masa dewasa ada hubungannya dengan pengalaman perilaku yang

menyakitkan pada masa kanak-kanak. Salah satu faktor resiko yang paling kuat

9
yakni terjadinya kecemasan dan depresi pada masa dewasa sebagai akibat rangkaian

pengalaman stress pada masa kanak-kanak.5,13,15-17

Kriteria diagnosis depresi mayor menurut DSM-V adalah sebagai berikut:18

1. Lima atau lebih gejala berikut terdapat, paling sedikit dalam dua minggu, dan

memperlihatkan terjadinya perubahan fungsi. Paling sedikit satu dari gejala

ini harus ada, yaitu (1) afek depresi atau (2) hilangnya minat atau rasa senang.

Tidak boleh memasukkan gejala yang jelas-jelas disebabkan oleh kondisi

medis umum atau halusinasi atau waham yang tidak serasi dengan mood.
a. Mood depresi yang terjadi hampir sepanjang hari, hampir setiap hari,

yang ditunjukkan baik oleh laporan subjektif (misalnya, rasa sedih

atau hampa), atau yang dapat diobservasi oleh orang lain (misalnya,

terlihat menangis). Pada anak-anak atau remaja, mood bisa bersifat

iritabel.
b. Berkurangnya minat atau rasa senang yang sangat jelas pada semua,

atau hampir semua aktivitas sepanjang hari, hampir setiap hari (yang

diindikasikan oleh laporan subjektif atau diobservasi oleh orang lain).


c. Penurunan berat badan yang bermakna ketika tidak sedang diit atau

peningkatan berat badan (misalnya, perubahan berat badan lebih dari

5% dalam satu bulan) atau penurunan atau peningkatan nafsu makan

hampir setiap hari.


d. Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari.
e. Agitasi atau retardasi psikomotor hampir setiap hari (dapat diobservasi

oleh orang lain, tidak hanya perasaan subjektif tentang adanya

kegelisahan atau perasaan menjadi lamban).


f. Letih atau tidak bertenaga hampir setiap hari.

10
g. Rasa tidak berharga atau berlebihan atau rasa bersalah yang tidak

pantas atau sesuai (mungkin bertaraf waham) hampir setiap hari (tidak

hanya rasa bersalah karena berada dalam keadaan sakit).


h. Berkurangnya kemampuan untuk berpikir atau konsentrasi, ragu-ragu,

hampir setiap hari (baik dilaporkan secara subjektif atau dapat

diobservasi oleh orang lain).


i. Berulangnya pemikiran tentang kematian (tidak hanya takut mati),

berulangnya ide-ide bunuh diri tanpa rencana spesifik, atau tindakan-

tindakan bunuh diri atau rencana spesifik untuk melakukan bunuh diri.
2. Gejala-gejala yang ada tidak memenuhi kriteria untuk episode campuran.
3. Gejala-gejala menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinik atau

terjadinya hendaya sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.


4. Gejala tidak disebabkan oleh efek fisiologik langsung dari zat (misalnya,

penyalahgunaan zat atau obat) atau kondisi medis umum (misalnya,

hipotiroid).
5. Gejala bukan disebabkan oleh berkabung, misalnya kehilangan orang yang

dicintai, gejala menetap lebih dari dua bulan, atau ditandai oleh hendaya

fungsi yang jelas, preokupasi dengan rasa tidak berharga, ide bunuh diri,

gejala psikotik, atau retardasi psikomotor.

Penegakan diagnosis gangguan cemas menyeluruh berdasarkan PPDGJ-III sebagai

berikut:19

1. Pasien harus menunjukkan kecemasan sebagai gejala primer yang berlangsung

hampir setiap hari untuk beberapa minggu sampai beberapa bulan, yang tidak

terbatas atau hanya menonjol pada keadaan situasi khusus tertentu saja (sifatnya

free floating atau mengambang)


Gejala-gejala tersebut biasanya mencakup unsur-unsur berikut :

11
a. Kecemasan (khawatir akan nasib buruk, merasa seperti di ujung tanduk,

sulit konsentrasi, dan sebagainya);


b. Ketegangan motorik (gelisah, sakit kepala, gemetaran, tidak dapat santai);

dan
c. Overaktivitas otonomik (kepala terasa ringan, berkeringat, jantung

berdebar-debar, seska napas, keluhan lambung, pusing kepala, mulut kering

dan sebagainya).
2. Pada anak-anak sering terlihat adanya kebutuhan berlebihan untuk ditenangkan

(reassurance) serta keluhan-keluhan somatic berulang yang menonjol


3. Adanya gejala-gejala lain yang sifatnya sementara (untuk beberapa hari),

khususnya depresi, tidak membatalkan diagnosis utama Gangguan Anxietas

Menyeluruh, selama hal tersebut tidak memenuhi kriteria lengkap dari episode

depresif (F32.-), gangguan anxietas fobik (F40.-), gangguan panik (F41.0), atau

gangguan obsesif-kompulsif (F42.-).

Kriteria diagnostik gangguan anxietas menyeluruh menurut DSM IV:20

a. Kecemasan atau kekhawatiran yang berlebihan yang timbul hampir setiap

hari, sepanjang hari, terjadi selama sekurangnya 6 bulan, tentang sejumlah

aktivitas atau kejadian (seperti pekerjaan atau aktivitas sekolah)


b. Penderita merasa sulit mengendalikan kekhawatirannya
c. Kecemasan atau kekhawatiran disertai tiga atau lebih dari enam gejala berikut

ini (dengan sekurangnya beberapa gejala lebih banyak terjadi dibandingkan

tidak terjadi selama enam bulan terakhir). Catatan : hanya satu nomor yang

diperlukan pada anak : 1. Kegelisahan

2. Merasa mudah lelah

12
3. Sulit berkonsentrasi atau pikiran menjadi kosong

4. Iritabilitas
5. Ketegangan otot
6. Gangguan tidur
d. Fokus kecemasan dan kekhawatiran tidak terbatas pada gangguan aksis I,

misalnya kecemasan atau ketakutan adalah bukan tentang menderita suatu

serangan panik (seperti pada gangguan panik), merasa malu pada situasi

umum (seperti pada fobia sosial), terkontaminasi (seperti pada gangguan

obsesif kompulsif), merasa jauh dari rumah atau sanak saudara dekat (seperti

gangguan anxietas perpisahan), penambahan berat badan (seperti pada

anoreksia nervosa), menderita keluhan fisik berganda (seperti pada gangguan

somatisasi), atau menderita penyakit serius (seperti pada hipokondriasis) serta

kecemasan dan kekhawatiran tidak terjadi semata-mata selama gangguan stres

pasca trauma.
e. Kecemasan, kekhawatiran, atau gejala fisik menyebabkan penderitaan yang

bermakna secara klinis, atau gangguan pada fungsi sosial, pekerjaan, atau

fungsi penting lain.


f. Gangguan yang terjadi adalah bukan karena efek fisiologis langsung dari

suatu zat (misalnya penyalahgunaan zat, medikasi) atau kondisi medis umum

(misalnya hipertiroidisme), dan tidak terjadi semata-mata selama suatu

gangguan mood, gangguan psikotik, atau gangguan perkembangan pervasif.

Sebagaimana dikemukakan pada beberapa literature mengindikasikan bahwa

kerentanan seseorang menjadi depresi dan kecemasan karena pengalaman

diperlakukan salah pada masa kanak-kanak, baik kekerasan fisik, seksual dan

psikologis.15,16

13
Sebenarnya mendisiplinkan anak tidak perlu disertai teriakan apalagi pukulan,

hal ini hanya akan membuat orang tua/guru frustrasi dan sama sekali tidak ada

manfaatnya baik untuk anak-anak maupun untuk diri kita, meski seringkali orang tua

seolah merasa puas setelah menumpahkan perasaan kepada anak dengan jalan

berteriak atau memukul. Dengan teriakan dan pukulan sama sekali tidak membantu

anak untuk belajar bagaimana berperilaku baik, justru kita mengajarkan anak menjadi

pelaku tindak kekerasan pada generasi berikutnya. 1,15,16 Tugas orang tua yang utama

dalam tahap ini adalah mendukung dan membimbing anak-anak mereka, anak melihat

orang tua sebagai model dan petunjuk bagi dirinya. Oleh karenanya penting bagi guru

atau orang tua, memperlihatkan perilaku mereka terhadap anak seperti menghormati

terhadap hak orang lain, memperlihatkan kebaikan, menolong orang lain, mengerti

saat mereka disakiti orang lain, memperbaiki atas kesalahannya, memaafkan dengan

tulus, setia, dan bertindak dengan jujur.11-13

Fungsi keluarga dalam pembentukan kepribadian dalam mendidik anak di

rumah bisa juga dikelompokkan menjadi beberapa bagian diantaranya: Pertama,

sebagai pengalaman pertama masa kanak-kanak. Kedua, menjamin kehidupan

emosional anak. Ketiga, menanamkan dasar pendidikan moral anak. Keempat,

memberikan dasar pendidikan sosial. Kelima, meletakan dasar-dasar pendidikan

agama. Keenam, bertanggung jawab dalam memotivasi dan mendorong keberhasilan

anak.5,11

Pendidikan karakter yang pertama dan utama bagi anak adalah dalam lingkup

keluarga. Dalam keluarga, anak akan mempelajari dasar-dasar perilaku yang penting

bagi kehidupan dewasa nanti. Karakter yang akan dipelajari anak adalah apa yang

14
dilihatnya dari perilaku orang tua. Karakter terbentuk dalam waktu yang relatif lama.

Karakter yang kuat diperlukan bagi individu dalam menentukan keberhasilan hidup

anak. Karakter adalah kualitas atau kekuatan mental atau moral, akhlak atau budi

pekerti individu yang merupakan kepribadian khusus yang menjadi pendorong dan

penggerak, serta yang membedakan dengan individu lain. Pendidikan karakter yang

diberikan anak berdasarkan karakteristik dan perkembangan anak. 5,11

Pendidikan karakter dapat diklasifikasikan menjadi beberapa tahap. Pertama,

tahap Umur 5-6 tahun. Pada tahap ini, anak diajarkan tata krama, sopan santun, yang

berkaitan dengan karakter moral. Karakter moral tersebut seperti melatih untuk

bersikap jujur dan sopan. Pada fase ini anak akan mengetahui dan membedakan hal-

hal yang dianggap bermanfaat, baik buruk, dan benar salah suatu tindakan. Kedua,

tahap Umur 7-8 Tahun. Pada tahap ini anak sudah mulai aqil baliq maka dari itu pada

fase ini anak akan diajarkan bagaimana untuk beribadah dan melatih dirinya untuk

bertanggung jawab. Ketiga, tahap Umur 9-10 Tahun. Pada fase ini seorang anak

dididik untuk peduli terhadap lingkungan sekitar. Menghormati satu sama yang lain,

menghormati hak orang lain, dan suka tolong menolong. Keempat, tahap umur 13

Tahun Keatas. Pada tahap ini anak sudah mulai memasuki usia remaja maka anak

dipandang siap untuk bersosialisasi dengan lingkungan sekitar, dan masyarakat. Anak

diharapkan dapat beradaptasi dengan baik dilingkungan masyarakat dan anak

mempunyai identitas diri atau jati dirinya masing-masing. Dalam semua tahapan

tersebut orang tua sangat berperan penting dalam pembentukan karakter anak.

Perilaku dan tingkah laku anak mampu bersikap baik terhadap lingkungan sekitar dan

15
tidak mudah terpengaruh oleh lingkungan merupakan salah satu keberhasilan orang

tua dalam pengasuhan anak .1,2,4,7

Orang tua atau orang dewasa lain kadang kala memperlakukan anak untuk

menyesuaikan diri dengan serangkaian standard perilaku dan menghukum mereka

dengan keras atas pelanggaran yang dilakukan anak. Mereka menjadi terpisah dan

tidak hangat terhadap anak menyebabkan anak menarik diri, dan tidak percaya pada

orang lain.15-16 Orang tua kadang memberikan hukuman seperti menampar, memukul

dengan tangan maupun benda, memberikan nama panggilan yang tidak lazim,

mengkritik yang berlebihan, adalah bentuk tindak kekerasan fisik dan emosional.

Awalnya mereka bertindak secara spontan, yang bertujuan agar anak menjadi jera,

namun akhirnya akan menyesal dan menyadari bahwa tindakan tersebut sebagai

tindak emosional sebagaimana kehendak orang tua atau guru. Sebenarnya perlakuan

tersebut bukan membentuk perilaku anak sesuai dengan harapan atau anak menjadi

disiplin melainkan akan menanamkan perilaku buruk pada anak yang akan

mempengaruhi pribadi anak pada saat dewasa nanti.5,11,13

Pemberian hukuman bisa saja dilakukan sepanjang efektif bagi perkembangan

anak dan hukuman tersebut diberikan secara tepat, sesuai dengan perilakunya, serta

memiliki konsekuensi positif pada perilaku anak. Pemberian disiplin pada anak perlu

dilakukan secara efektif bukan menciptakan permasalahan dikemudian hari. Metode

pengasuhan anak tanpa kekerasan telah terbukti efektif di banyak negara maju.

Metode ini selain memutus mata rantai kekerasan juga menciptakan individu yang

baik dan taat akan hukum sehingga secara tidak langsung akan meningkatkan

kesejahteraan dari warganya.5,11,13

16
BAB III
PENUTUP

Peran keluarga dalam pengasuhan anak sangatlah penting karena dapat

mempengaruhi dan membentuk kepribadian atau karakter anak. Karakter anak tentu

saja bergantung dari pola asuh orang tua terhadap anaknya. Ada tiga pola asuh yaitu

pola asuh otoriter, pola asuh permisif, dan pola asuh demokratis. Dari tiga pola asuh

tersebut yang paling baik dan cocok untuk diterapkan dalam mengasuh anak adalah

pola asuh demokatis yakni orangtua menghargai dan memahami keadaan anak

sehingga anak akan merasa nyaman, bersikap mandiri, cerdas, dapat menyesuaikan

diri dengan lingkungan sekitar dengan baik, dan yang utama memiliki kepribadian

yang baik.5,11,13

17
Dalam proses pengasuhan terhadap anak, orang tua harus menghindari

memperlakukan anak dengan tindak kekerasan fisik maupun emosional, hal ini akan

menimbulkan luka secara fisik maupun trauma pada anak, bahkan tidak efektif untuk

membentuk kepribadian anak sebagai mana yang orang tua harapkan. Jika tindak

kekerasan tersebut dilakukan dalam jangka waktu lama dan berulang-ulang maka

akan sangat mempengaruhi kondisi kepribadian anak yang dapat menimbulkan

trauma berkepanjangan, seperti mengalami depresi dan kecemasan saat dewasa

nanti.5,11,13

Dampak pengasuhan anak tanpa kekerasan secara tidak langsung memberikan

pembelajaran bagi orang tua untuk mengenal temperamen dirinya, mengelola konflik

secara benar, belajar mendengarkan dan berkomunikasi serta memperlakukan orang

lain dengan rasa hormat, belajar toleransi terhadap permasalahan yang dihadapi, baik

saat menghadapi permasalahan anak maupun masalah yang dialami mereka

sendiri.5,11,20

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Azkeskin, L., & Gven, G. (2013). Parenting styles: Parents with 5-6 year
old children. WJEIS, 74-82.
2. Turner, E., Chandler, M., & Heffer, R. (2009). The Influence of Parenting
Styles, Achievement Motivation, and Self-Efficacy on Academic
Performance in College Students. Journal of College Student
Development, 337-346.
3. Safdar, S., & Zahrah, S. (2016). Impact of Parenting Styles on the
Intensity of Parental and Peer Attachment: Exploring the Gender
Differences in Adolescents. American Journal of Applied Psychology, 23-
30.
4. Amaranta , H., Soenens, B., Dekovi, M., & Prinzie, P. (2013). Effects of
Childhood Aggression on Parenting during Adolescence: The Role of
Parental Psychological Need. Satisfaction, 393-404.

19
5. John, J., & Joseph, M. J. (2008). The Impact of parenting styles on child
development. Global Academic Society Journal:, 2029-0365.
6. Rena, S., Abedalaziz, N., & Leng, C. (2013). The Relationship Between
Parenting Styles And Students Attitude Toward Leisure Time Reading.
Mojes, 37-54.
7. Mahasneh, A., Al-Zoubi, Z., Batayenh, O., & Jawarneh, M. (2013). The
relationship between parenting styles and adult attachment styles from
Jordan University students. AESS, 1431-1441.
8. Danielle, T. (2004). Investigating the Relationship between Parenting
Styles and Delinquent Behavior. McNair Scholars Journal, 86-96.
9. Bibi, F., Chaudhry, A., Awan, E., & Tariq, B. (2013). Contribution of
Parenting Style in life domain of Children. IOSR-JHSS, 91-95.
10. Efobi, A., & Nwokolo, C. (2014). Relationship between Parenting Styles
and Tendency to Bullying Behaviour among Adolescents. Journal of
Education & Human Development, 507-521.
11. OConnor, T., & Scott, S. (2007). Parenting and outcomes for children.
London: York Publishing.
12. Zarra-Nezhad, M. (2015). Parenting Styles and Childrens Emotional
Development during the First Grade: The Moderating Role of Child
Temperament. J Psychol Psychother, 1-12.
13. Schwartz, C. (2015). Parenting without physical punishment. Quarterly,
3-16.
14. Hoskins, D. (2014). Consequences of Parenting on Adolescent Outcomes.
Societies, 506531.
15. OConnor, E., & Rodriguez, E. (2012). Child Disruptive Behavior and
Parenting Efficacy: A Comparison of The Effects of Two Models of
Insights. JOURNAL OF COMMUNITY PSYCHOLOGY, 555572.
16. Sharma, M., Sharma, N., & Yadava , A. (2011). Parental styles and
depression among adolescents. Journal of The Indian Academy of Applied
Psychology, 60-68.

20
17. Pereira, A., Barros, L., & Mendonc, D. (2013). The Relationships Among
Parental Anxiety, Parenting, and Childrens Anxiety: The Mediating
Effects of Childrens Cognitive Vulnerabilities. J Child Fam Stud, 1-11.
18. American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic And Statistical
Manual of Mental Disorder Edition DSM-5. Washinton DC: American
Psychiatric Publishing. Washinton DC.
19. Maslim, R. (2001). Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa. PPDGJ-III.
Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-UNIKA Atmajaya.
20. Sadock, B., & Sadock, V. (2004). Kaplan and Sadock's Comprehensive
Textbook of Psychiatry. USA: Lippincott Williams & Wilkins.

21

Anda mungkin juga menyukai