Anda di halaman 1dari 47

LAPORAN TUTORIAL MINGGU 1 SKENARIO 1

APAKAH DOSAKU..? ANAKKU CACAT..?

TUTOR : dr. ASWIYANTI ASRI, M.Si.Med, Sp. PA


KELOMPOK 23
DWITRY RAMADHANA DIRIZKY
AMELIA PUTRI
NADIA LARASTRI ALMIRA
NUR FADHILAH FETRIYANTI
KENTY REGINA
MUTHIA RAHMI
FARIS MUHAMMAD
RAJ DASHEEN SABAPATHY
RIDHO HARIYADI AFNIM

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ANDALAS
2016-2017
TUTORIAL 1 MINGGU 1 BLOK 3.6

APAKAH DOSAKU? ANAKKU CACAT?

A. TERMINOLOGI

1. Multiple congenital anomaly : kelainan bawaan pada bayi baru lahir dengan 2 atau
lebih malformasi mayor, seperti : neural tube defect, dll, atau 3 atau lebih
malformasi minor, seperti syndactily, dll, bisa kelainan struktural, fungsional atau
metabolisme.

2. Sindrom gawat nafas : kondisi alveoli bayi tidak dapat terbuka, akibat tingginya
tegangan, akibat kurangnya surfaktan, dulu dikenal dengan penyakit membran hialin,
suatu kumpulan gejala yang ditandai dengan dyspnea/hiperpnea, frekuensi > 60x,
sianosis, dst.

3. Sianosis circum oral : kebiruan di sekeliling bibir atau di sekitar bibir.

4. TORCH : infeksi yang terjadi di sekitar waktu kehamilan pada ibu atau janin, tdd :
toxo, other inf, rubella, CMV, HSV.

5. VSD : ventrikel septal defect ; kelainan kongenital dimana terbentuk rongga antara
ventrikel kiri dan kanan.

6. Omfalitis : infeksi umbilikus bayi akibat tindakan aseptik pada saat pengguntingan
atau perawatan tali pusar, akibat infeksi pada air ketuban, ditandai dengan kulit
kemerahan dan pus.

7. Meningitis purulenta : radang bernanah pada meningen atau selaput otak,


komplikasi dari septikemia.

B. IDENTIFIKASI MASALAH DAN BRAINSTORMING

1. Mengapa dapat terjadi multiple congenital anomaly dan ARDS pada bayi Wiwi?

Kelainan kongenital dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu : kromosom, mekanik,


ibu sakit saat sedang hamil, obat, radiasi, hormon ibu, resiko tinggi dari umur ibu
(mendekati menopause),

ARDS, biasanya dialami bayi yang prematur akibat surfaktan belum terbentuk
dengan baik, dari sistem pernafasan (efusi pleura) dan luar sistem pernafasan
(kelainan jantung,dll), terhirup air ketuban oleh bayi tersebut, air ketuban pecah
dini (<37 minggu), bayi mengalami oligohidramnion dan mengalami asfiksi.

2. Apa hubungan usia dan jenis kelamin terhadap keluhan bayi Wiwi?

Lahir bayi prematur (<37 minggu) : kurang maturnya sistem pernafasan dengan
LBBR, bisa dideteksi dengan kondisi cairan amnion (>2), gejala terlihat 48-96 jam.

Tidak dipengaruhi perbedaan jenis kelamin.

3. Apa interpretasi dari BB 3400 gr, panjang 47cm, APGAR 2/4, ketuban pecah 12 jam
sebelum persalinan dan sisa ketuban hijau?
BB normal (2500-4000 gram); panjang normal (48-52 cm), APGAR asfiksi berat,
ketuban pecah 12 jam menjadi risiko tinggi untuk pertumbuhan bakteri, warna
hijau dari ketuban bisa jadi meconium atau infeksi.

Ketuban pecah normal saat melahirkan, lebih dari 12 jam (ketuban pecah lama),
risiko infeksi berkaitan dengan cepat nya pecah ketuban.

4. Mengapa diberikan resusitasi, oksigen dan antibiotik amphicilin dan gentamicin?

Bayi Wiwi mengalami sindroma gawat nafas diberikan oksigen dan resusitasi.

Amphisilin : ab spektrum luas

Gentamisin : ab spektum sempit, empiris.

5. Mengapa dirujuk dalam keadaan terpasang dextrose dan oxygen?

Tata laksana untuk hipoksia dan hipoglikemia, karena bayi Wiwi harus
mempertahankan suhu tubuh yang turun cepat, diperburuk dengan kondisi
stress janin.

6. Mengapa sesampai di rumah sakit bayi tersebut mengalami hipotermia dan


hipoglikemia?

Oksigen << metabolisme tidak lancar, energi <<

Hipotermia akibat kesulitan adaptasi atau penyesuaian suhu tubuh dalam rahim
dengan dunia luar (hipotermia sedang)

Di puskesmas tidak terdapat inkubator.

KPD : menyebabkan hipotermia pada bayi tersebut.

Metabolisme membutuhkan zat yang akan dibakar dan oksigen : terganggu


metabolismenya.

7. Mengapa bisa ditemukan tangisan bayi yang merintih, nafas sesak, sianosis circum
oral dan retraksi dinding dada?

Kekurangan oksigen sindroma gawat nafas.

Kekurangan surfaktan : paru menjadi sulit mengembang karena tegangan yang


tinggi, paru kolaps, diikuti dengan retraksi dinding dada.

Kondisi bayi menangis mengalami kebiruan : bukan hanya karena hipoksia,


namun kelainan jantung.

8. Bagaimana interpretasi PF bayi Wiwi? (labiopalatoschisis, katarak kongenital,


polydactily, VSD, dst)

4 kelainan kongenital.

Labiopalatoschisis (bibir sumbing dan palatum, tidak mengalami penyatuan,


sehingga terbentuk cleft)

Katarak kongenital (penyebabnya : infeksi GO)


Polydactily : kelebihan jari di ekstremitas

VSD : defek ventrikel.

9. Mengapa dilakukan pemeriksaan penunjang (CXR, AGD, antibodi terhadap TORCH)?

CXR (inflasi pulmo pada sindroma gawat nafas) dan AGD (asam basa darah dan
pertukaran gas), antibodi TORCH untuk memastikan dugaan apakah si anak
mengalami multiple congenital anomaly akibat ibunya menderita TORCH. Pada
ibu hamil tidak mengalami gejala khas.

10. Mengapa dirujuk ke bagian oftalmologi?

Karna anaknya mengalami katarak (bisa et cause GO atau rubella)

11. Apakah akibat dari infeksi TORCH yang diderita ibu hamil?

Mengalami abortus (50%) atau kelainan malformasi janin.

Paparan infeksi TORCH bisa pada saat remaja lalu hamil kemudian.

Bayi mengalami IUGR dan retardasi mental.

12. Mengapa dokter mengatakan bahwa bayi Wiwi beresiko menderita infeksi seperti di
skenario?

Akibat KPD ibu Wiwi, bayi terpapar lingkungan dan terjadi penularan infeksi,
menyebabkan gejala omfalitis dan sepsis. Sistem imun bayi juga masih rendah,
di kandungan mengalami KPD semakin memperberat kondisi bayi Wiwi.

13. Adakah hubungan kesulitan mendapatkan anak dengan kejadian pada anaknya
sekarang?

Mungkin ada hubungannya, informasi kurang rinci, tapi bila pernah mengalami
riwayat keguguran, kondisi anatomi, infeksi, PID dll.

14. Mengapa ada keluarga yang tega membunuh anaknya ketika baru lahir?

Ibu mengalami gangguan psikis, contoh : bayi yang tidak diinginkan,


ketidaksiapan mendapatkan anak, tidak menginginkan anaknya karena lahir
cacat, juga kemungkinan mengalami blue babys syndrome/post partum blues.
Aspek medikolegal jika bayi mengalami kecacatan sangat berat dan sulit
bertahan, misal : organ absen, dll.

C. SKEMA

D. LEARNING OBJECTIVES

Mahasiswa mampu menjelaskan tentang :

1. Kelainan kongenital pada bayi baru lahir

2. Sindroma gawat nafas dan asfiksia pada bayi

3. Hipotermia pada neonatus

4. Hipoglikemia pada neonatus


5. Infeksi pada bayi baru lahir (omfalitis, meningitis purulenta dan sepsis neonatarum)

6. Infeksi TORCH pada ibu dan janin

7. Aspek medikolegal pada kasus pembunuhan pada anak

E. HASIL BELAJAR MANDIRI

1. KELAINAN KONGENITAL PADA BAYI BARU LAHIR


Kelainan kongenital merupakan kelainan dalam pertumbuhan struktur bayi yang timbul sejak
kehidupan hasiI konsepsi sel telur. Kelainan kongenital dapat merupakan sebab penting terjadinya
abortus, lahir mati atau kematian segera setelah lahir. Kematian bayi dalam bulan-bulan pertama
kehidupannya sering diakibatkan oleh kelainan kongenital yang cukup berat, hal ini seakan-akan
merupakan suatu seleksi alam terhadap kelangsungan hidup bayi yang dilahirkan. Bayi yang
dilahirkan dengan kelainan kongenitaI besar, umumnya akan dilahirkan sebagai bayi berat lahir
rendah bahkan sering pula sebagai bayi kecil untuk masa kehamilannya. Bayi berat lahir rendah
dengan kelainan kongenital berat, kira-kira 20% meninggal dalam minggu pertama kehidupannya.
Disamping pemeriksaan fisik, radiologik dan laboratorik untuk menegakkan diagnose kelainan
kongenital setelah bayi lahir, dikenal pula adanya diagnosisi pre/- ante natal kelainan kongenital
dengan beberapa cara pemeriksaan tertentu misalnya pemeriksaan ultrasonografi, pemeriksaan air
ketuban dan darah janin.

ANGKA KEJADIAN
Kelainan kongenital pada bayi baru lahir dapat berupa satu jenis kelainan saja atau dapat
pula berupa beberapa kelainan kongenital secara bersamaan sebagai kelainan kongenital multipel.
Kadang-kadang suatu kelainan kongenital belum ditemukan atau belum terlihat pada waktu bayi
lahir, tetapi baru ditemukan beberapa waktu setelah kelahiran bayi. Sebaliknya dengan kermajuan
tehnologi kedokteran,kadang- kadang suatu kelainan kongenital telah diketahui selama kehidupan
fetus. Bila ditemukan satu kelainan kongenital besar pada bayi baru lahir, perlu kewaspadaan
kemungkian adanya kelainan kongenital ditempat lain. Dikatakan bahwa bila ditemukan dua atau
lebih kelainan kongenital kecil, kemungkinan ditetemukannya kelainan kongenital besar di tempat
lain sebesar 15% sedangkan bila ditemukan tiga atau lebih kelainan kongenital kecil, kemungkinan
ditemukan kelainan kongenital besar sebesar 90%.
Angka kejadian kelainan kongenital yang besar berkisar 15 per i000 kelahiran angka kejadian
ini akan menjadi 4-5% biIa bayi diikuti terus sampai berumur 1 tahun. Di Rumah Sakit Dr. Cipto
Mangunkusumo (I975-1979), secara klinis ditemukan angka kejadian kelainan kongenital sebanyak
225 bayi di antara 19.832 kelahiran hidup atau sebesar 11,6I per 1000 kelahiran hidup, sedangkan di
Rumah Sakit Dr. Pirngadi, Medan (1977-1980) sebesar 48 bayi (0,33%) di antara 14.504 kelahiran bayi
dan di Rumah Sakit Universitas Gadjah Mada (1974-1979) sebesar 1.64da tri 4625 kelahiran bayi.
Angka kejadian dan jenis kelainan kongenital dapat berbeda-beda untuk berbagai ras dan suku
bangsa, begitu pula dapat tergantung pada cara perhitungan besar keciInya kelainan kongenital.
FAKTOR ETIOLOGI
Penyebab langsung kelainan kongenital sering kali sukar diketahui. Pertumbuhan embryonal
dan fetaI dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti faktor genetik, faktor lingkungan atau kedua faktor
secara bersamaan.
Beberapa faktor etiologi yang diduga dapat mempengaruhi terjadinya kelainan kongenital
antara lain:
[1] Kelainan Genetik dan Khromosom.
Kelainan genetik pada ayah atau ibu kemungkinan besar akan berpengaruh atas kelainan kongenital
pada anaknya. Di antara kelainan-kelainan ini ada yang mengikuti hukum Mendel biasa, tetapi dapat
pula diwarisi oleh bayi yang bersangkutan sebagai unsur dominan ("dominant traits") atau kadang-
kadang sebagai unsur resesif. Penyelidikan daIam hal ini sering sukar, tetapi adanya kelainan
kongenital yang sama dalam satu keturunan dapat membantu langkah-langkah selanjutya.
Dengan adanya kemajuan dalam bidang teknologi kedokteran , maka telah dapat diperiksa
kemingkinan adanya kelainan kromosom selama kehidupan fetal serta telah dapat dipertimbangkan
tindakan-tindakan selanjutnya. Beberapa contoh kelainan kromosom autosomal trisomi 21 sebagai
sindroma down (mongolism). Kelainan pada kromosom kelaminsebagai sindroma turner.
[2] FAKTOR MEKANIK
Tekanan mekanik pada janin selama kehidupan intrauterin dapat menyebabkan kelainan hentuk
organ tubuh hingga menimbulkan deformitas organ cersebut. Faktor predisposisi dalam
pertumbuhan organ itu sendiri akan mempermudah terjadinya deformitas suatu organ. Sebagai
contoh deformitas organ tubuh ialah kelainan talipes pada kaki sepcrti talipes varus, talipes valgus,
talipes equinus dan talipes equinovarus (clubfoot)
[3] Faktor infeksi.
Infeksi yang dapat menimbulkan kelainan kongenital ialah infeksi yang terjadi pada periode
organogenesis yakni dalam trimester pertama kehamilan. Adanya infeksi tertentu dalam periode
organogenesis ini dapat menimbulkan gangguan dalam pertumbuhan suatu organ rubuh. Infeksi
pada trimesrer pertama di samping dapat menimbulkan kelainan kongenital dapat pula
meningkatkan kemungkinan terjadinya abortus. Sebagai contoh infeksi virus pada trimester pertama
ialah infeksi oleb virus Rubella. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang menderita infeksi Rubella pada
trimester pertama dapat menderita kelainan kongenital pada mata sebagai katarak, kelainan pada
sistem pendengaran sebagai tuli dan ditemukannya kelainan jantung bawaan. Beberapa infeksi lain
pada trimester pertama yang dapat menimbulkan kelainan kongenital antara lain ialah infeksi virus
sitomegalovirus, infeksi toksoplasmosis, kelainan-kelainan kongenital yang mungkin dijumpai ialah
adanya gangguan pertumbuhan pada system saraf pusat seperti hidrosefalus, mikrosefalus, atau
mikroftalmia.
[4]FAKTOR OBAT
Beberapa jenis obat tertentu yang diminum wanita hamil pada trimester pertama kehamilan diduga
sangat erat hubungannya dengan terjadinya kelainan kongenital pada bayinya. Salah satu jenis obat
yang telah diketahui dagat menimbulkan kelainan kongenital ialah thalidomide yang dapat
mengakibatkan terjadinya fokomelia atau mikromelia. Beberapa jenis jamu-jamuan yang diminum
wanita hamil muda dengan tujuan yang kurang baik diduga erat pula hubungannya dengan terjadinya
kelainan kongenital, walaupun hal ini secara laboratorik belum banyak diketahui secara pasti.
Sebaiknya selama kehamilan, khususnya trimester pertama, dihindari pemakaian obat-obatan yang
tidak perlu sama sekali; walaupun hal ini kadang-kadang sukar dihindari karena calon ibu memang
terpaksa harus minum obat. Hal ini misalnya pada pemakaian trankuilaiser untuk penyakit tertentu,
pemakaian sitostatik atau prepaat hormon yang tidak dapat dihindarkan; keadaan ini perlu
dipertimbangkan sebaik-baiknya sebelum kehamilan dan akibatnya terhadap bayi.
(5) Faktor umur ibu
Telah diketahui bahwa mongoIisme lebih sering ditemukan pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu
yang mendekati masa menopause. Di bangsal bayi baru lahir Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo
pada tahun 1975-1979, secara klinis ditemukan angka kejadian mongolisme 1,08 per 100 kelahiran
hidup dan ditemukan resiko relatif sebesar 26,93 untuk kelompok ibu berumur 35 tahun atau lebih;
angka keadaan yang ditemukan ialah 1: 5500 untuk kelompok ibu berumur < 35 tahun, 1: 600 untuk
kelompok ibu berumur 35-39 tahun, 1 : 75 untuk kelompok ibu berumur 40 - 44 tahun dan 1 : 15
untuk kelompok ibu berumur 45 tahun atau lebih.
(6) Faktor hormonal
Faktor hormonal diduga mempunyai hubungan pula dengan kejadian kelainan kongenital. Bayi yang
dilahirkan oleh ibu hipotiroidisme atau ibu penderita diabetes mellitus kemungkinan untuk
mengalami gangguan pertumbuhan lebih besar bila dibandingkan dengan bayi yang normal.
(7) Faktor radiasi
Radiasi ada permulaan kehamiIan mungkin sekali akan dapat menimbulkan kelainan kongenital pada
janin. Adanya riwayat radiasi yang cukup besar pada orang tua dikhawatirkan akan dapat
mengakibatkan mutasi pada gene yang mungkin sekali dapat menyebabkan kelainan kongenital pada
bayi yang dilahirkannya. Radiasi untuk keperluan diagnostik atau terapeutis sebaiknya dihindarkan
dalam masa kehamilan, khususnya pada hamil muda.
(8) Faktor gizi
Pada binatang percobaan, kekurangan gizi berat dalam masa kehamilan dapat menimbulkan kelainan
kongenital. Pada manusia, pada penyelidikan-penyelidikan menunjukkan bahwa frekuensi kelainan
kongenital pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang kekurangan makanan lebih tinggi bila
dibandingkan dengan bayi-bayi yang lahir dari ibu yang baik gizinya. Pada binatang percobaan,
adanya defisiensi protein, vitamin A ribofIavin, folic acid, thiamin dan lain-Iain dapat menaikkan
kejadian &elainan kongenital.
(9) Faktor-faktor lain
Banyak kelainan kongenital yang tidak diketahui penyebabnya. Faktor janinnya sendiri dan faktor
lingkungan hidup janin diduga dapat menjadi faktor penyebabnya. Masalah sosial, hipoksia,
hipotermia, atau hipertermia diduga dapat menjadi faktor penyebabnya. Seringkali penyebab
kelainan kongenitai tidak diketahui.

DIAGNOSA
Pemeriksaan untuk menemukan adanya kelainan kongenital dapat dilakukan pada
-pemeriksaan janin intrauterine, dapat pula ditemukan pada saat bayi sudah lahir. Pemeriksaan pada
saat bayi dalam kandungan berdasarkan atas indikasi oleh karena ibu mempunyai faktor resiko,
misalnya: riwayat pernah melahirkan bayi dengan kelainan kongenital, riwayat adanya kelainan-
kongenital dalam keluarga, umur ibu hamil yang mendekati menopause.
Pencarian dilakukan pada saat umur kehamilan 16 minggu. Dengan bantuan alat
ultrasonografi dapat dilakukan tindakan amniosentesis untuk mengambil contoh cairan amnion
Beberapa kelainan kongenital yang dapat didiagnose dengan cara ini misalnya: kelainan kromosome,
phenylketonuria, galaktosemia, defek tuba neralis terbuka seperti anensefali serta meningocele.
Pemeriksaan darah janin pada kasus thallasemia. Untuk kasus hidrosefalus pemeriksaan dapat
diketemukan pada saat periksa hamil.
PENANGANAN
Kelainan kongenital berat dapat berupa kelainan kongenital yang memerlukan tindakan
bedah, kelainan kongenital bersifat medik, dan kelainan kongenital yang memerlukan koreksi
kosmetik.
Setiap ditemukan kelainan kongenital pada bayi baru lahir, hal ini harus dibicarakan dengan
orangtuanya tentang jenis kemungkinan faktor penyebab langkah-langkah penanganan dan
prognosisnya.
Sebagian besar penyebab cacat bawaan belum diketahui dengan pasti. Sebagian garis besar
cacat bawaan disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan, ada 4 kategori penyebab cacat bawaan
(clark, 1991), antara lain =

A. Lingkungan 6 %
B. Multifaktoral, gabungan antara faktor genetik dan lingkungan 20 %

C. Single mutant atau medelian trait 7,5 %

D. Keainan kromosom

PATOGENESIS

Patogenesa terjadinya defek pada janin ada 4 cara, antara lain =

Deformasi adalah suatu anomali yang disebabkan oleh tekanan mekanik yang luar biasa pada janin
yang dedang berkembang. Keadaan ini biasanya terjadi 20 minggu kehamilan sampai trimester
akhir kehamilan, contoh dari proses deformasi antara lain bayi kemba, posisi bayi yang tidak
normal, oligohidramnion, dll.

Disrupsi, terjadi bila ada kerusakan yang mempengaruhi atau menghentikan morfogenesis suatu
bagian tubuh yang sedang berlangsung. Disrupsi ini terjadi oleh berbagai faktor yang bersifat
teratogen, seperti infeksi virus intrauterin, penyakit ibu, obat-obatan, zat kimia dan cederadan
cedera panas.

Malformasi merupakan kelianan perkembangan instrinsik dalam struktur tubuh selama kehidupan
prenatal, mekanisme terjadinya malformasi belum banyak diketahui, tetapi kemungkinan
menyangkut berbagai kesalahan dalam proses porliferasi sel, embrional, diferensiasi, migrasi dan
kematian program.

Displasia merupakann kesalahan struktural akibat morfogenesis abnormal yang hanya mengenai
jaringan tertentu, misalnya displasia ektodermal (yang terkena rambut, gigi, kulit, kelenjar
keringat dan air mata), diplasia jaringan ikat, diplasia skeletal yang tidak proporsional.

LABIOSKIZIS/LABIOPALATOSKIZIS

A. PENGERTIAN

Labioskizis/Labiopalatoskizis yaitu kelainan kotak palatine (bagian depan serta samping muka serta
langit-langit mulut) tidak menutup dengan sempurna.

B. ETIOLOGI

banyak faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya bibir sumbing. faktor tersebut
antara lain , yaitu :

1. factor Genetik atau keturunan


Dimana material genetic dalam kromosom yang mempengaruhi/. Dimana dapat terjadi
karena adaya adanya mutasi gen ataupun kelainan kromosom. Pada setiap sel yang normal
mempunyai 46 kromosom yang terdiri dari 22 pasang kromosom non-sex ( kromosom 1 s/d
22 ) dan 1 pasang kromosom sex ( kromosom X dan Y ) yang menentukan jenis kelamin. Pada
penderita bibir sumbing terjadi Trisomi 13 atau Sindroma Patau dimana ada 3 untai
kromosom 13 pada setiap sel penderita, sehingga jumlah total kromosom pada tiap selnya
adalah 47. Jika terjadi hal seperti ini selain menyebabkan bibir sumbing akan menyebabkan
gangguan berat pada perkembangan otak, jantung, dan ginjal. Namun kelainan ini sangat
jarang terjadi dengan frekuensi 1 dari 8000-10000 bayi yang lahir.

2. Kurang Nutrisi contohnya defisiensi Zn dan B6, vitamin C pada waktu hamil, kekurangan
asam folat.

3. Radiasi

4. Terjadi trauma pada kehamilan trimester pertama.

5. Infeksi pada ibu yang dapat mempengaruhi janin contohnya seperti infeksi Rubella dan
Sifilis, toxoplasmosis dan klamidia

6. Pengaruh obat teratogenik, termasuk jamu dan kontrasepsi hormonal, akibat toksisitas
selama kehamilan, misalnya kecanduan alkohol, terapi penitonin

7. Multifaktoral dan mutasi genetic

8. Diplasia ektodermal

C. PATOFISIOLOGI

Cacat terbentuk pada trimester pertama kehamilan, prosesnya karena tidak terbentuknya
mesoderm, pada daerah tersebut sehingga bagian yang telah menyatu (proses nasalis dan
maksilaris) pecah kembali.

Labioskizis terjadi akibat fusi atau penyatuan prominen maksilaris dengan prominen nasalis
medial yang diikuti disfusi kedua bibir, rahang, dan palatum pada garis tengah dan kegagalan fusi
septum nasi. Gangguan fusi palatum durum serta palatum mole terjadi sekitar kehamilan ke-7
sampai 12 mgg

D. KLASIFIKASI

1. Berdasarkan organ yang terlibat

a. Celah di bibir (labioskizis)

b. Celah di gusi (gnatoskizis)

c. Celah di langit (palatoskizis)

d. Celah dapat terjadi lebih dari satu organ mis = terjadi di bibir dan langit-langit
(labiopalatoskizis)

2. Berdasarkan lengkap/tidaknya celah terbentuk


Tingkat kelainan bibr sumbing bervariasi, mulai dari yang ringan hingga yang berat. Beberapa
jenis bibir sumbing yang diketahui adalah :

a. Unilateral Incomplete. Jika celah sumbing terjadi hanya disalah satu sisi bibir dan tidak
memanjang hingga ke hidung.

b. Unilateral Complete. Jika celah sumbing yang terjadi hanya disalah satu sisi bibir dan
memanjang hingga ke hidung.

c. Bilateral Complete. Jika celah sumbing terjadi di kedua sisi bibir dan memanjang hingga ke
hidung.

E. GEJALA DAN TANDA

Ada beberapa gejala dari bibir sumbing yaitu :

1. TERJADI PEMISAHAN LANGIT LANGIT

2. TERJADI PEMISAHAN BIBIR

3. TERJADI PEMISAHAN BIBIR DAN LANGIT LANGIT.

4. INFEKSI TELINGA BERULANG.

5. BERAT BADAN TIDAK BERTAMBAH.

6. PADA BAYI TERJADI REGURGITASI NASAL KETIKA MENYUSUI YAITU KELUARNY AIR SUSU DARI HIDUNG.

F. DIAGNOSIS

Untuk mendiagnosa terjadi celah sumbing pada bayi setelah lahir mudah karena pada celah
sumbing mempunyai ciri fisik yang spesifik. Sebetulnya ada pemeriksaan yang dapat digunakan
untuk mengetahui keadaan janin apakah terjadi kelainan atau idak. Walaupun pemeriksaan ini
tidak sepenuhya spesifik. Ibu hamil dapat memeriksakan kandungannya dengan menggunakaan
USG.

G. KOMPLIKASI

Keadaan kelaianan pada wajah seperti bibir sumbing ada beberapa komplikasi karenannya,
yaitu ;

1. Kesulitan makan; dalami pada penderita bibir sumbing dan jika diikuti dengan celah palatum.
memerlukan penanganan khusus seperti dot khusus, posisi makan yang benar dan juga
kesabaran dalam memberi makan pada bayi bibir sumbing

2. INFEKSI TELINGA DAN HILANGNYA DIKARENAKAN TIDAK BERFUNGSI DENGAN BAIK SALURAN YANG
MENGHUBUNGKAN TELINGA TENGAH DENGAN KERONGKONGAN DAN JIKA TIDAK SEGERA DIATASI MAKAN AKAN
KEHILANGAN PENDENGARAN.

3. Kesulitan berbicara. Otot otot untuk berbicara mengalami penurunan fungsi karena adanya
celah. Hal ini dapat mengganggu pola berbicara bahkan dapat menghambatnya
4. Masalah gigi. Pada celah bibir gigi tumbuh tidak normal atau bahkan tidak tumbuh, sehingga
perlu perawatan dan penanganan khusus.

H. PENATALAKSANAAN

Penanganan untuk bibir sumbing adalah dengan cara operasi. Operasi ini dilakukan
setelah bayi berusia 2 bulan, dengan berat badan yang meningkat, dan bebas dari infeksi oral
pada saluran napas dan sistemik. Dalam beberapa buku dikatakan juga untuk melakukan operasi
bibir sumbing dilakukan hukum Sepuluh (rules of Ten)yaitu, Berat badan bayi minimal 10 pon,
Kadar Hb 10 g%, dan usianya minimal 10 minggu dan kadar leukosit minimal 10.000/ui.

1. Perawatan

a. Menyusu ibu

Menyusu adalah metode pemberian makan terbaik untuk seorang bayi dengan bibir
sumbing tidak menghambat pengahisapan susu ibu. Ibu dapat mencoba sedikit menekan
payudara untuk mengeluarkan susu. Dapat juga mnggunakan pompa payudara untuk
mengeluarkan susu dan memberikannya kepada bayi dengan menggunakan botol
setelah dioperasi, karena bayi tidak menyusu sampai 6 mgg

b. Menggunakan alat khusus

Dot domba

Karena udara bocor disekitar sumbing dan makanan dimuntahkan melalui hidung,
bayi tersebut lebih baik diberi makan dengan dot yang diberi pegangan yang
menutupi sumbing, suatu dot domba (dot yang besar, ujung halus dengan lubang
besar), atau hanya dot biasa dengan lubang besar.

Botol peras

Dengan memeras botol, maka susu dapat didorong jatuh di bagian belakang mulut
hingga dapat dihisap bayi

Ortodonsi

Pemberian plat/ dibuat okulator untuk menutup sementara celah palatum agar
memudahkan pemberian minum dan sekaligus mengurangi deformitas palatum
sebelum dapat dilakukan tindakan bedah definitive

c. Posisi mendekati duduk dengan aliran yang langsung menuju bagian sisi atau belakang
lidah bayi

d. Tepuk-tepuk punggung bayi berkali-kali karena cenderung untuk menelan banyak udara

e. Periksalah bagian bawah hidung dengan teratur, kadang-kadang luka terbentuk pada
bagian pemisah lobang hidung

f. Suatu kondisi yang sangat sakit dapat membuat bayi menolak menyusu. Jika hal ini terjadi
arahkan dot ke bagian sisi mulut untuk memberikan kesempatan pada kulit yang lembut
tersebut untuk sembuh
g. Setelah siap menyusu, perlahan-lahan bersihkan daerah sumbing dengan alat berujung
kapas yang dicelupkan dala hydrogen peroksida setengah kuat atau air

2. Pengobatan

a. Dilakukan bedah elektif yang melibatkan beberapa disiplin ilmu untuk penanganan
selanjutnya. Bayi akan memperoleh operasi untuk memperbaiki kelainan, tetapi waktu
yang tepat untuk operasi tersebut bervariasi.

b. Tindakan pertama dikerjakan untuk menutup celah bibir berdasarkan kriteria rule often
yaitu umur > 10 mgg, BB > 10 pon/ 5 Kg, Hb > 10 gr/dl, leukosit > 10.000/ui

c. Tindakan operasi selanjutnya adalah menutup langitan/palatoplasti dikerjakan sedini


mungkin (15-24 bulan) sebelum anak mampu bicara lengkap seingga pusat bicara otak
belum membentuk cara bicara. Pada umur 8-9 tahun dilaksanakan tindakan operasi
penambahan tulang pada celah alveolus/maxilla untuk memungkinkan ahli ortodensi
mengatur pertumbuhan gigi dikanan dan kiri celah supaya normal.

d. Operasi terakhir pada usia 15-17 tahun dikerjakan setelah pertumbuhan tulang-tulang
muka mendeteksi selesai.

e. Operasi mungkin tidak dapat dilakukan jika anak memiliki kerusakan horseshoe yang
lbar. Dalam hal ini, suatu kontur seperti balon bicara ditempl pada bagian belakang gigi
geligi menutupi nasofaring dan membantu anak bicara yang lebih baik.

f. Anak tersebut juga membutuhkan terapi bicara, karena langit-langit sangat penting
untuk pembentukan bicara, perubahan struktur, juag pada sumbing yamh telah
diperbaik, dapat mempengaruhi pola bicar secara permanen.

Prinsip perawatan secara umum;

1. lahir ; bantuan pernafasan dan pemasangan NGT (Naso Gastric Tube) bila perlu untuk
membantu masuknya makanan kedalam lambung.

2. umur 1 minggu; pembuatan feeding plate untuk membantu menutup langit-langit dan
mengarahkan pertumbuhan, pemberian dot khusus.

3. umur 3 bulan; labioplasty atau tindakan operasi untuk bibir, alanasi (untuk hidung) dan evaluasi
telingga.

4. umur 18 bulan - 2 tahun; palathoplasty; tindakan operasi langit-langit bila terdapat sumbing
pada langit-langit.

5. Umur 4 tahun : dipertimbangkan repalatorapy atau pharingoplasty.

6. umur 6 tahun; evaluasi gigi dan rahang, evaluasi pendengaran.

7. umur 11 tahun; alveolar bone graft augmentation (cangkok tulang pada pinggir alveolar untuk
memberikan jalan bagi gigi caninus). perawatan otthodontis.

8. umur 12-13 tahun; final touch; perbaikan-perbaikan bila diperlukan.

9. umur 17-18 tahun; orthognatik surgery bila perlu.


ATRESIA ESOFAGUS

A. PENGERTIAN

Esofagus/kerongkongan yang tidak terbentuk secara sempurna, kerongkongan


menyempit dan buntu tidak tersambung dengan lambung sebagaimana mestinya.

Atresia esophagus adalah tidak adanya kesinambungan esophagus secara congenital


umumnya disertai fistula trakheo esophageal dan ditandai dengan salvias (pengeluaran
air liur) berlebihan, tercekik, muntah bila makan, Cyanosis, dan dyspnea.

Atresia esofagus merupakan suatu kelainan bawaan pada saluran pencernaan yang
diseababkan karena penyumbatan bagian proksimal esofagus sedangkan bagian distal
berhubungan dengan trakea.

B. ETIOLOGI

Beberapa etiologi yang diduga dapat mempengaruhi terjadinya kelaianan kongenital atresia
esofagus :

1. Faktor obat; Salah satu obat yang diketahui dapat menimbulkan kelainan kongenital
ialah thalidomine

2. Faktor radiasi; Radiasi pada permulaan kehamilan mungkin dapat menimbulkan kelainan
kongenital pada janian yang dapat mengakibatkan mutasi pada gen.

3. Faktor gizi; Penyelidikan menunjukan bahwa frekuensi kelainan congenital pada bayi-
bayi yang dilahirkan oleh ibu yang kekurangan makanan

C. PATOFISIOLOGI

Secara epidemiologi anomaly ini terjadi pada umur kehamilan 3-6 minggu akibat =

1. Diferensiasi usus depan yang tidak sempurna dalam memisahkan diri untuk masing-masing
menjadi esophagus dan trekea

2. Perkembangan sel endoteral yang tidak lengkap sehingga menyebabkan terjadinya atresia

3. Perlekatan dinding lateral usus depan yang tidak sempurna sehingga terjadi fistula trekeo
esophagus. Faktor genetic tidak berperan dalam patogenesis ini

D. KLASIFIKASI

1. Tipe A = 87 %

Segmen bagian atas esophagus berakhir dikantong, segmen bagian bawah berhubungan
trachea melalui fistula, karena berhubungan dengan trachea maka berbahaya, bisa tersedak
dan sesak nafas
2. SINDROMA GAWAT NAFAS DAN ASFIKSIA PADA BAYI
Sindrom gawat nafas ( respiratory distress syndroma, RDS ) adalah kumpulan gejala yang terdiri
dari dispnea atau hiperpnea dengan frekuensi pernafasan besar 60 x/i, sianosis, merintih waktu
ekspirasi dan retraksi didaerah epigastrium, suprosternal, interkostal pada saat inspirasi.

Kumpulan gejala yang terdiri dari frekuensi nafas bayi lebih dari 60x/i atau kurang dari 30x/i dan
mungkin menunjukan satu atau lebih dari gejala tambahan gangguan nafas sebagai berikut:

- Bayi dengan sianosis sentral ( biru pada lidah dan bibir )

- Ada tarikan dinding dada

- Merintih

- Apnea ( nafas berhenti lebih dari 20 detik )

Istilah yang digunakan untuk disfungsi pernafasan pada neonatus.

Gangguan ini merupakan penyakit yang berhubungan dengan perkembangan maturitas paru.

B. ETIOLOGI
- Kelainan paru: pneumonia
- Kelainan jantung: penyakit jantung bawaan, disfungsi miokardium

- Kelainan susunan syaraf pusat akibat: Aspiksia, perdarahan otak

- Kelainan metabolik: hipoglikemia, asidosis metabolik

- Kelainan bedah: pneumotoraks, fistel trakheoesofageal, hernia diafragmatika

- Kelainan lain: sindrom Aspirasi mekonium, penyakit membran hialin

Bila menurut masa gestasi penyebab gangguan nafas adalah

- Pada bayi kurang bulan

a. penyakit membran hialin

b.pneumonia
c. asfiksia

d.kelainan atau malformasi kongenital

- Pada bayi cukup bulan

e. Sindrom Aspirasi Mekonium

f. pneumonia

g. asidosis

h. kelainan atau malformasi kongenital

Gangguan traktus respiratorius:

Hyaline Membrane Disease(HMD),

Berhubungan dengan kurangnya masa gestasi ( bayi prematur )

Transient Tachypnoe of the Newborn(TTN),

Paru-paru terisi cairan, sering terjadi pada bayi caesar karena dadanya tidak mengalami
kompresi oleh jalan lahir sehingga menghambat pengeluaran cairan dari dalam paru.

- Infeksi(Pneumonia),

- Sindroma Aspirasi,

- Hipoplasia Paru,

- Hipertensi pulmonal,

- Kelainan kongenital(Choanal Atresia, Hernia Diafragmatika, Pierre- robin syndrome),

- Pleural Effusion,

- Kelumpuhan saraf frenikus,

Luar traktus respiratoris:

- kelainan jantung kongenital, kelainan metabolik, darah dan SSP

C. PATOFISIOLOGI
Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur disebabkan oleh alveoli
masih kecil sehingga kesulitan berkembang, pengembangan kurang sempurna kerana dinding
thorax masih lemah, produksi surfaktan kurang sempurna. Kekurangan surfaktan mengakibatkan
kolaps pada alveolus sehingga paru-paru menjadi kaku. Hal tersebut menyebabkan perubahan
fisiologi paru sehingga daya pengembangan paru (compliance) menurun 25% dari normal,
pernafasan menjadi berat, shunting intrapulmonal meningkat dan terjadi hipoksemia berat,
hipoventilasi yang menyebabkan asidosis respiratorik. Telah diketahui bahwa surfaktan
mengandung 90% fosfolipid dan 10% protein , lipoprotein ini berfungsi menurunkan tegangan
permukaan dan menjaga agar alveoli tetap mengembang. Secara makroskopik, paru-paru
nampak tidak berisi udara dan berwarna kemerahan seperti hati. Oleh sebab itu paru-paru
memerlukan tekanan pembukaan yang tinggi untuk mengembang. Secara histologi, adanya
atelektasis yang luas dari rongga udara bahagian distal menyebabkan edema interstisial dan
kongesti dinding alveoli sehingga menyebabkan desquamasi dari epithel sel alveoli type II.
Dilatasi duktus alveoli, tetapi alveoli menjadi tertarik karena adanya defisiensi surfaktan ini.
Dengan adanya atelektasis yang progresif dengan barotrauma atau volutrauma dan keracunan
oksigen, menyebabkan kerosakan pada endothelial dan epithelial sel jalan pernafasan bagian
distal sehingga menyebabkan eksudasi matriks fibrin yang berasal dari darah. Membran hyaline
yang meliputi alveoli dibentuk dalam satu setengah jam setelah lahir. Epithelium mulai membaik
dan surfaktan mulai dibentuk pada 36- 72 jam setelah lahir. Proses penyembuhan ini adalah
komplek; pada bayi yang immatur dan mengalami sakit yang berat dan bayi yang dilahirkan dari
ibu dengan chorioamnionitis sering berlanjut menjadi Bronchopulmonal Displasia (BPD).

D. MANIFESTASI KLINIS
Berat dan ringannya gejala klinis pada penyakit RDS ini sangat dipengaruhi oleh tingkat
maturitas paru. Semakin rendah berat badan dan usia kehamilan, semakin berat gejala klinis
yang ditujukan.
Menurut Surasmi, dkk (2003) tanda dan gejala yang muncul adalah sebagai berikut :

1) Takhipneu (> 60 kali/menit)

2) Pernafasan dangkal

3) Mendengkur

4) Sianosis

5) Pucat

6) Kelelahan

7) Apneu dan pernafasan tidak teratur

8) Penurunan suhu tubuh

9) Retraksi suprasternal dan substernal

10) Pernafasan cuping hidung

E. KLASIFIKASI
Secara klinis gangguan nafas dibedakan menjadi 3 kelompok, yaitu:
a. Gangguan nafas berat

b. Gangguan nafas sedang

c. Gangguan nafas ringan

Tabel 1. Klasifikasi Gangguan Nafas

Klasifikasi Frekuensi nafas Gejala tambahan


Gangguan nafas 60 kali/ menit Dengan sianosis sentral
berat dan tarikan dinding dada
90 kali/ menit atau merintih saat
ekspirasi
<>
Dengan sianosis sentral
atau tarikan dinding dada
atau merintih saat
ekspirasi

Dengan atau tanpa


gejala lain dari gangguan
nafas

Gangguan nafas 60-90 kali/ menit Dengan tarikan dinding


sedang dada atau merintih saat
> 90 kali/ menit ekspirasitetapi tanpa
sianosis sentral

Tanpa tarikan dinding


dada atau merintih saat
ekspirasiatau sianosis
sentral

Gangguan nafas 60-90 kali/ menit Tanpa tarikan dinding


ringan dada atau merintih saat
ekspirasi atau sianosis
sentral

F. PEMERIKSAAN
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan takhipneu (> 60 kali/menit), pernafasan mendengkur,
retraksi subkostal/interkostal, pernafasan cuping hidung, sianosis dan pucat, hipotonus, apneu,
gerakan tubuh berirama, sulit bernafas dan sentakan dagu. Pada awalnya suara nafas mungkin
normal kemudian dengan menurunnya pertukaran udara, nafas menjadi parau dan pernapasan
dalam.

Pengkajian fisik pada bayi dan anak dengan kegawatan pernafasan dapat dilihat dari penilaian
fungsi respirasi dan penilaian fungsi kardiovaskuler. Penilaian fungsi respirasi meliputi:

1) Frekuensi nafas

Takhipneu adalah manifestasi awal distress pernafasan pada bayi. Takhipneu tanpa tanda lain
berupa distress pernafasan merupakan usaha kompensasi terhadap terjadinya asidosis
metabolik seperti pada syok, diare, dehidrasi, ketoasidosis, diabetikum, keracunan salisilat, dan
insufisiensi ginjal kronik. Frekuensi nafas yang sangat lambat dan ireguler sering terjadi pada
hipotermi, kelelahan dan depresi SSP yang merupakan tanda memburuknya keadaan klinik.

2) Mekanika usaha pernafasan


Meningkatnya usaha nafas ditandai dengan respirasi cuping hidung, retraksi dinding dada,
yang sering dijumpai pada obtruksi jalan nafas dan penyakit alveolar. Anggukan kepala ke atas,
merintih, stridor dan ekspansi memanjang menandakan terjadi gangguan mekanik usaha
pernafasan.

3) Warna kulit/membran mukosa

Pada keadaan perfusi dan hipoksemia, warna kulit tubuh terlihat berbercak (mottled), tangan
dan kaki terlihat kelabu, pucat dan teraba dingin.

Penilaian fungsi kardiovaskuler meliputi:

1) Frekuensi jantung dan tekanan darah

Adanya sinus tachikardi merupakan respon umum adanya stress, ansietas, nyeri, demam,
hiperkapnia, dan atau kelainan fungsi jantung.

2) Kualitas nadi

Pemeriksaan kualitas nadi sangat penting untuk mengetahui volume dan aliran sirkulasi perifer
nadi yang tidak adekwat dan tidak teraba pada satu sisi menandakan berkurangnya aliran darah
atau tersumbatnya aliran darah pada daerah tersebut. Perfusi kulit kulit yang memburuk dapat
dilihat dengan adanya bercak, pucat dan sianosis. Pemeriksaan pada pengisian kapiler dapat
dilakukan dengan cara:

(1) Nail Bed Pressure ( tekan pada kuku)

(2) Blancing Skin Test, caranya yaitu dengan meninggikan sedikit ekstremitas dibandingkan
jantung kemudian tekan telapak tangan atau kaki tersebut selama 5 detik, biasanya tampak
kepucatan. Selanjutnya tekanan dilepaskan pucat akan menghilang 2-3 detik.

3) Perfusi pada otak dan respirasi

Gangguan fungsi serebral awalnya adalah gaduh gelisah diselingi agitasi dan letargi. Pada
iskemia otak mendadak selain terjadi penurunan kesadaran juga terjadi kelemahan otot, kejang
dan dilatasi pupil.

Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan diagnostik meliputi pemeriksaan darah, urine, dan glukosa darah ( untuk
mengetahui hipoglikemia ). Kalsim serum ( untuk menentukan hipokalsemia ), analisis gas darah
arteri dengan PaO2 kurang dari 50 mmHg dan PCO2 diatas 60 mmHg, peningkatan kadar kalium
darah, pemeriksaan sinar-X menunjukkan adanya atelektasis, lesitin/spingomielin rasio 2 :1
mengindikasikan bahwa paru sudah matur, pemeriksaan dekstrostik dan fosfatidigliserol
meningkat pada usia kehamilan 33 minggu.

G. PENATALAKSANAAN
Menurut Suriadi dan Yuliani (2001) dan Surasmi,dkk (2003) tindakan untuk mengatasi masalah
kegawatan pernafasan meliputi :
1) Mempertahankan ventilasi dan oksigenasi adekwat.

2) Mempertahankan keseimbangan asam basa.


3) Mempertahankan suhu lingkungan netral.

4) Mempertahankan perfusi jaringan adekwat.

5) Mencegah hipotermia.

6) Mempertahankan cairan dan elektrolit adekwat.

Penatalaksanaan secara umum :

a. Pasang jalur infus intravena, sesuai dengan kondisi bayi, yang paling sering dan bila bayi
tidak dalam keadaan dehidrasi berikan infus dektrosa 5 %

Pantau selalu tanda vital

Jaga patensi jalan nafas

Berikan Oksigen (2-3 liter/menit dengan kateter nasal)

b. Jika bayi mengalami apneu

Lakukan tindakan resusitasi sesuai tahap yang diperlukan

Lakukan penilaian lanjut

c. Bila terjadi kejang potong kejang

d. Segera periksa kadar gula darah

e. Pemberian nutrisi adekuat

Setelah menajemen umum, segera dilakukan menajemen lanjut sesuai dengan kemungkinan
penyebab dan jenis atau derajat gangguan nafas. Menajemen spesifik atau menajemen lanjut:

Gangguan nafas ringan

Beberapa bayi cukup bulan yang mengalami gangguan napas ringan pada waktu lahir tanpa
gejala-gejala lain disebut Transient Tacypnea of the Newborn (TTN). Terutama terjadi setelah
bedah sesar. Biasanya kondisi tersebut akan membaik dan sembuh sendiri tanpa pengobatan.
Meskipun demikian, pada beberapa kasus. Gangguan napas ringan merupakan tanda awal dari
infeksi sistemik.

Gangguan nafas sedang

Lakukan pemberian O2 2-3 liter/ menit dengan kateter nasal, bila masih sesak dapat
diberikan o2 4-5 liter/menit dengan sungkup

Bayi jangan diberi minukm

Jika ada tanda berikut, berikan antibiotika (ampisilin dan gentamisin) untuk terapi
kemungkinan besar sepsis.

- Suhu aksiler <> 39C

- Air ketuban bercampur mekonium

- Riwayat infeksi intrauterin, demam curiga infeksi berat atau ketuban pecah dini (> 18 jam)
Bila suhu aksiler 34- 36,5 C atau 37,5-39C tangani untuk masalah suhu abnormal dan nilai
ulang setelah 2 jam:

- Bila suhu masih belum stabil atau gangguan nafas belum ada perbaikan, berikan antibiotika
untuk terapi kemungkinan besar seposis

- Jika suhu normal, teruskan amati bayi. Apabila suhu kembali abnormal ulangi tahapan
tersebut diatas.

Bila tidak ada tanda-tanda kearah sepsis, nilai kembali bayi setelah 2 jam

Apabila bayi tidak menunjukan perbaikan atau tanda-tanda perburukan setelah 2 jam, terapi
untuk kemungkinan besar sepsis

Bila bayi mulai menunjukan tanda-tanda perbaikan kurangai terapi o2secara bertahap .
Pasang pipa lambung, berikan ASI peras setiap 2 jam. Jika tidak dapat menyusu, berikan ASI
peras dengan memakai salah satu cara pemberian minum

Amati bayi selama 24 jam setelah pemberian antibiotik dihentikan. Bila bayi kembali tampak
kemerahan tanpa pemberian O2 selama 3 hari, minumbaik dan tak ada alasan bayi tatap tinggal
di Rumah Sakit bayi dapat dipulangkan

Gangguan nafas ringan

Amati pernafasan bayi setiap 2 jam selama 6 jam berikutnya.

Bila dalam pengamatan ganguan nafas memburuk atau timbul gejala sepsis lainnya. Terapi
untuk kemungkinan kesar sepsis dan tangani gangguan nafas sedang dan dan segera dirujuk di
rumah sakit rujukan.

Berikan ASI bila bayi mampu mengisap. Bila tidak berikan ASI peras dengan menggunakan
salah satu cara alternatif pemberian minuman.

Kurangi pemberian O2 secara bertahap bila ada perbaikan gangguan napas. Hentikan
pemberian O2 jika frekuensi napas antara 30-60 kali/menit.

Penatalaksanaan medis:

Pengobatan yang biasa diberikan selama fase akut penyakit RDS adalah:

- Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder

- Furosemid untuk memfasilitasi reduksi cairan ginjal dan menurunkan caiaran paru

- Fenobarbital

- Vitamin E menurunkan produksi radikalbebas oksigen

- Metilksantin ( teofilin dan kafein ) untuk mengobati apnea dan untuk pemberhentian dari
pemakaian ventilasi mekanik. (cusson,1992)

Salah satu pengobatan terbaru dan telah diterima penggunaan dalam pengobatan RDS adalah
pemberian surfaktan eksogen ( derifat dari sumber alami misalnya manusia, didapat dari cairan
amnion atau paru sapi, tetapi bisa juga berbentuk surfaktan buatan )
ASFIKSIA PADA NEONATUS
A. Definisi
Asfiksia adalah keadaan dimana bayi baru lahir tidak dapat bernapas secara
spontan dan teratur. Bayi dengan riwayat gawat janin sebelum lahir, umumnya
akan mengalami asfiksia pada saat dilahirkan. Masalah ini erat hubungannya
dengan gangguan kesehatan ibu hamil, kelainan tali pusat, atau masalah yang
mempengaruhi kesejahteraan bayi selama atau sesudah persalinan (Asuhan
Persalinan Normal, 2007).

Asfiksia neonatorum ialah keadaan dimana bayi tidak dapat segera bernafas secara
spontan dan teratur setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh hipoksia janin dalam
uterus dan hipoksia ini berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul dalam
kehamilan, persalinan, atau segera setelah bayi lahir. Akibat-akibat asfiksia akan
bertambah buruk apabila penanganan bayi tidak dilakukan secara sempurna.
Tindakan yang akan dikerjakan pada bayi bertujuan mempertahankan kelangsungan
hidupnya dan membatasi gejala-gejala lanjut yang mungkin timbul. (Wiknjosastro,
1999)

B. Etiologi / Penyebab Asfiksia


Beberapa kondisi tertentu pada ibu hamil dapat menyebabkan gangguan sirkulasi
darah uteroplasenter sehingga pasokan oksigen ke bayi menjadi berkurang.
Hipoksia bayi di dalam rahim ditunjukkan dengan gawat janin yang dapat berlanjut
menjadi asfiksia bayi baru lahir.
Beberapa faktor tertentu diketahui dapat menjadi penyebab terjadinya asfiksia
pada bayi baru lahir, diantaranya adalah faktor ibu, tali pusat clan bayi berikut ini:
1. Faktor ibu
a. Preeklampsia dan eklampsia
b. Pendarahan abnormal (plasenta previa atau solusio plasenta)
c. Partus lama atau partus macet
d. Demam selama persalinan Infeksi berat (malaria, sifilis, TBC, HIV)
e. Kehamilan Lewat Waktu (sesudah 42 minggu kehamilan)
2. Faktor Tali Pusat
a. Lilitan tali pusat
b. Tali pusat pendek
c. Simpul tali pusat
d. Prolapsus tali pusat
3. Faktor Bayi
a. Bayi prematur (sebelum 37 minggu kehamilan)
b. Persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar, distosia bahu, ekstraksi
vakum, ekstraksi forsep)
c. Kelainan bawaan (kongenital)
d. Air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan)

Penolong persalinan harus mengetahui faktor-faktor resiko yang berpotensi untuk


menimbulkan asfiksia. Apabila ditemukan adanya faktor risiko tersebut maka hal
itu harus dibicarakan dengan ibu dan keluarganya tentang kemungkinan perlunya
tindakan resusitasi. Akan tetapi, adakalanya faktor risiko menjadi sulit dikenali
atau (sepengetahuan penolong) tidak dijumpai tetapi asfiksia tetap terjadi. Oleh
karena itu, penolong harus selalu siap melakukan resusitasi bayi pada setiap
pertolongan persalinan.

Asfiksia Neonatorum dapat dibagi dalam tiga klasifiasi:


1. Asfiksia neonatorum ringan : Skor APGAR 7-10. Bayi dianggap sehat, dan tidak
memerlukan tindakan istimewa
2. Asfiksia neonatorum sedang : Skor APGAR 4-6. Pada pemeriksaan fisik akan
terlihat frekuensi jantung lebih dari 100/menit, tonus otot kurang baik atau baik,
sianosis, reflek iritabilitas tidak ada.
3. Asfisia neonatorum berat : Skor APGAR 0-3. Pada pemeriksaan fisik ditemukan
frekuensi jantung kurang dari 100/menit, tonus otot buruk, sianosis berat, dan
kadang-kadang pucat, reflek iritabilitas tidak ada, pada asfiksia dengan henti
jantung yaitu bunyi jantung fetus menghilang tidak lebih dari 10 menit sebelum
lahir lengkap atau bunyi jantung menghilang post partum pemeriksaan fisik sama
asfiksia berat

C. Patofiologis dan Gambaran Klinis


Pernafasan spontan BBL tergantung pada kondisi janin pada masa kehamilan dan
persalinan. Bila terdapat gangguan pertukaran gas atau pengangkutan O2 selama
kehamilan atau persalinan akan terjadi asfiksia yang lebih berat. Keadaan ini akan
mempengaruhi fungsi sel tubuh dan bila tidak teratasi akan menyebabkan kematian
asfiksia yang terjadi dimulai suatu periode apnu disertai dengan penurunan
frekuensi. Pada penderita asfiksia berat, usaha bernafas tidak tampak dan bayi
selanjutnya berada dalam periode apnue kedua. Pada tingkat ini terjadi bradikardi
dan penurunan TD.

Pada asfiksia terjadi pula gangguan metabolisme dan perubahan keseimbangan


asam-basa pada tubuh bayi. Pada tingkat pertama hanya terjadi asidosis
respioratorik. Bila berlanjut dalam tubuh bayi akan terjadi proses metabolisme an
aerobic yang berupa glikolisis glikogen tubuh, sehingga glikogen tubuh terutama
pada jantung dan hati akan berkurang. Pada tingkat selanjutnya akan terjadi
perubahan kardiovaskular yang disebabkan oleh beberapa keadaan diantaranya :
1. Hilangnya sumber glikogen dalam jantung akan mempengaruhi fungsi jantung.
2. Terjadinya asidosis metabolik yang akan menimbulkan kelemahan otot
jantung.
3. Pengisian udara alveolus yang kurang adekuat akan mengakibatkan tetap
tingginya resistensi pembuluh darah paru sehingga sirkulasi darah ke paru dan ke
sistem sirkulasi tubuh lain akan mengalami gangguan. (Rustam, 1998).
Gejala dan Tanda-tanda Asfiksia
1. Tidak bernafas atau bernafas megap-megap
2. Warna kulit kebiruan
3. Kejang
4. Penurunan kesadaran
5. DJJ lebih dari 16Ox/mnt/kurang dari lOOx/menit tidak teratur
6. Mekonium dalam air ketuban pada janin letak kepala

D. Diagnosis
Asfiksia yang terjadi pada bayi biasanya merupakan kelanjutan dari anoksia /
hipoksia janin. Diagnosis anoksia / hipoksia janin dapat dibuat dalam persalinan
dengan ditemukannya tanda-tanda gawat janin. Tiga hal yang perlu mendapat
perhatian yaitu :
1. Denyut jantung janin
Peningkatan kecepatan denyut jantung umumnya tidak banyak artinya, akan tetapi
apabila frekuensi turun sampai ke bawah 100 kali per menit di luar his, dan lebih-
lebih jika tidak teratur, hal itu merupakan tanda bahaya
2. Mekonium dalam air ketuban
Mekonium pada presentasi sungsang tidak ada artinya, akan tetapi pada presentasi
kepala mungkin menunjukkan gangguan oksigenisasi dan harus diwaspadai. Adanya
mekonium dalam air ketuban pada presentasi kepala dapat merupakan indikasi
untuk mengakhiri persalinan bila hal itu dapat dilakukan dengan mudah.
3. Pemeriksaan pH darah janin
Dengan menggunakan amnioskop yang dimasukkan lewat serviks dibuat sayatan
kecil pada kulit kepala janin, dan diambil contoh darah janin. Darah ini diperiksa
pH-nya. Adanya asidosis menyebabkan turunnya pH. Apabila pH itu turun sampai di
bawah 7,2 hal itu dianggap sebagai tanda bahaya gawat janin mungkin disertai
asfiksia.
(Wiknjosastro, 1999)

E. Penilaian Asfiksia pada Bayi Baru Lahir


Aspek yang sangat penting dari resusitasi bayi baru lahir adalah menilai bayi,
menentukan tindakan yang akan dilakukan dan akhirnya melaksanakan tindakan
resusitasi. Upaya resusitasi yang efesien clan efektif berlangsung melalui rangkaian
tindakan yaitu menilai pengambilan keputusan dan tindakan lanjutan.
Penilaian untuk melakukan resusitasi semata-mata ditentukan oleh tiga tanda
penting, yaitu :
1. Penafasan
2. Denyut jantung
3. Warna kulit
Nilai apgar tidak dipakai untuk menentukan kapan memulai resusitasi atau
membuat keputusan mengenai jalannya resusitasi. Apabila penilaian pernafasan
menunjukkan bahwa bayi tidak bernafas atau pernafasan tidak kuat, harus segera
ditentukan dasar pengambilan kesimpulan untuk tindakan vertilasi dengan tekanan
positif (VTP).
F. Persiapan Alat Resusitasi
Sebelum menolong persalinan, selain persalinan, siapkan juga alat-alat resusitasi
dalam keadaan siap pakai, yaitu :
1. 2 helai kain / handuk.
2. Bahan ganjal bahu bayi. Bahan ganjal dapat berupa kain, kaos, selendang,
handuk kecil, digulung setinggi 5 cm dan mudah disesuaikan untuk mengatur posisi
kepala bayi.
3. Alat penghisap lendir de lee atau bola karet.
4. Tabung dan sungkup atau balon dan sungkup neonatal.
5. Kotak alat resusitasi.
6. Jam atau pencatat waktu.
(Wiknjosastro, 2007).

G. Penanganan Asfiksia pada Bayi Baru Lahir


Tindakan resusitasi bayi baru lahir mengikuti tahapan-tahapan yang dikenal sebagai
ABC resusitasi, yaitu :
1. Memastikan saluran terbuka
a. Meletakkan bayi dalam posisi kepala defleksi bahu diganjal 2-3 cm.
b. Menghisap mulut, hidung dan kadang trachea.
c. Bila perlu masukkan pipa endo trachel (pipa ET) untuk memastikan saluran
pernafasan terbuka.
2. Memulai pernafasan
a. Memakai rangsangan taksil untuk memulai pernafasan
b. Memakai VTP bila perlu seperti : sungkup dan balon pipa ETdan balon atau
mulut ke mulut (hindari paparan infeksi).
3. Mempertahankan sirkulasi
a. Rangsangan dan pertahankan sirkulasi darah dengan cara
b. Kompresi dada.
c. Pengobatan

H. Persiapan resusitasi
Agar tindakan untuk resusitasi dapat dilaksanakan dengan cepat dan efektif, kedua
faktor utama yang perlu dilakukan adalah :
1. Mengantisipasi kebutuhan akan resusitasi lahirannya bayi dengan depresi dapat
terjadi tanpa diduga, tetapi tidak jarang kelahiran bayi dengan depresi atau
asfiksia dapat diantisipasi dengan meninjau riwayat antepartum dan intrapartum.
2. Mempersiapkan alat dan tenaga kesehatan yang siap dan terampil. Persiapan
minumum antara lain :
a. Alat pemanas siap pakai
b. Oksigen
c. Alat pengisap
d. Alat sungkup dan balon resusitasi
e. Alat intubasi
f. Obat-obatan
Prinsip-prinsip resusitasi yang efektif :
1. Tenaga kesehatan yang slap pakai dan terlatih dalam resusitasi neonatal harus
rnerupakan tim yang hadir pada setiap persalinan.
2. Tenaga kesehatan di kamar bersalin tidak hanya harus mengetahui apa yang
harus dilakukan, tetapi juga harus melakukannya dengan efektif dan efesien
3. Tenaga kesehatan yang terlibat dalam resusitasi bayi harus bekerjasama
sebagai suatu tim yang terkoordinasi.
4. Prosedur resusitasi harus dilaksanakan dengan segera dan tiap tahapan
berikutnya ditentukan khusus atas dasar kebutuhan dan reaksi dari pasien.
5. Segera seorang bayi memerlukan alat-alat dan resusitasi harus tersedia clan
siap pakai.

I. Langkah-Langkah Resusitasi
1. Letakkan bayi di lingkungan yang hangat kemudian keringkan tubuh bayi dan
selimuti tubuh bayi untuk mengurangi evaporasi.
2. Sisihkan kain yang basah kemudian tidurkan bayi terlentang pada alas yang
datar.
3. Ganjal bahu dengan kain setinggi 1 cm (snifing positor).
4. Hisap lendir dengan penghisap lendir de lee dari mulut, apabila mulut sudah
bersih kemudian lanjutkan ke hidung.
5. Lakukan rangsangan taktil dengan cara menyentil telapak kaki bayi dan
mengusap-usap punggung bayi.
6. Nilai pernafasanJika nafas spontan lakukan penilaian denyut jantung selama 6
detik, hasil kalikan 10. Denyut jantung > 100 x / menit, nilai warna kulit jika merah
/ sinosis penfer lakukan observasi, apabila biru beri oksigen. Denyut jantung < 100
x / menit, lakukan ventilasi tekanan positif.
a. Jika pernapasan sulit (megap-megap) lakukan ventilasi tekanan positif.
b. Ventilasi tekanan positif / PPV dengan memberikan O2 100 % melalui ambubag
atau masker, masker harus menutupi hidung dan mulut tetapi tidak menutupi
mata, jika tidak ada ambubag beri bantuan dari mulur ke mulut, kecepatan PPV 40
60 x / menit.
c. Setelah 30 detik lakukan penilaian denyut jantung selama 6 detik, hasil kalikan
10.
2. 100 hentikan bantuan nafas, observasi nafas spontan.
3. 60 100 ada peningkatan denyut jantung teruskan pemberian PPV.
4. 60 100 dan tidak ada peningkatan denyut jantung, lakukan PPV, disertai
kompresi jantung.
5. < 10 x / menit, lakukan PPV disertai kompresi jantung.
6. Kompresi jantung
Perbandingan kompresi jantung dengan ventilasi adalah 3 : 1, ada 2 cara kompresi
jantung
a. Kedua ibu jari menekan stemun sedalam 1 cm dan tangan lain mengelilingi
tubuh bayi.
b. Jari tengah dan telunjuk menekan sternum dan tangan lain menahan belakang
tubuh bayi.
7. Lakukan penilaian denyut jantung setiap 30 detik setelah kompresi dada.
8. Denyut jantung 80x./menit kompresi jantung dihentikan, lakukan PPV sampai
denyut jantung > 100 x / menit dan bayi dapat nafas spontan.
9. Jika denyut jantung 0 atau < 10 x / menit, lakukan pemberian obat epineprin 1
: 10.000 dosis 0,2 0,3 mL / kg BB secara IV.
10. Lakukan penilaian denyut jantung janin, jika > 100 x / menit hentikan obat
11. Jika denyut jantung < 80 x / menit ulangi pemberian epineprin sesuai dosis
diatas tiap 3 5 menit.
12. Lakukan penilaian denyut jantung, jika denyut jantung tetap / tidak rewspon
terhadap di atas dan tanpa ada hiporolemi beri bikarbonat dengan dosis 2 MEQ/kg
BB secara IV selama 2 menit. (Wiknjosastro, 2007)

HIPOTERMIA PADA NEONATUS


Definisi

Keadaan dimana suhu tubuh berada dibawah 36 C karena ketidak seimbangan antara produksi
panas dan kehilangan panas

Epidemiologi

Hipotermi merupakan salah satu penyebab utama tingginya morbiditas dan mortalitas pada
bayi baru lahir
Hipotermia pada bayi baru lahir akan mempengaruhi metabolisme tubuh dan dapat
mengakibatkan komplikasi hipoglikemi, asidosis metabolik, distress pernafasan dan infeksi
Angka kematian neonatorum cukup tinggi, yaitu sekitar 13-15% dari angka kematian bayi
baru lahir

Klasifikasi

Hipotermia ringan, suhu <36,5C


Hipotermia sedang, suhu antara 32C-36C
Hipotermia berat,suhu kurang dari 32C

Mekanisme kehilangan panas

1. Evaporasi
Jalan utama bayi kehilangan panas
Terjadi penguapan cairan ketubuh pada permukaan tubuh oleh panas tubuh bayi
sendiri karena setelah lahir tubuh bayi tidak segera dikeringkan dan diselimuti
2. Konduksi
Kehilangan panas tubuh melalui kontak langsung antara tubuh bayi dengan
permukaan yang dingin
Bisa di meja, timbangan atau tempat tidur yang suhu nya lebih dingin dari pada bayi
3. Konveksi
Kehilangan panas saat bayi berkontak dengan udara yang dingin
Bisa karena aliran udara kipas angin, hembusan udara dari ventilasi atau pendingin
4. Radiasi
Kehilangan panas karena bayi ditempatkan didekat benda yang mempunyai suhu
lebih rendah dari suhu tubuh bayi
Hal ini disebabkan karena benda2 tersebut menyerap radiasi panas dari tubuh bayi
walaupun benda dan bayi tidak berkontak langsung

Tanda dan gejala

1. Gejala hipotermia bayi baru lahir:


a. Bayi tidak mau menetek
b. bayi lesu
c.tubuh bayi teraba dingin
d. denyut jantung bayi menurun
e. kulit tubuh bayi mengeras.
2. Tanda-tanda hipotermia:
a. Hipotermia sedang:
Aktivitas berkurang
tangisan melemah
kulit berwarna tidak rata (cutis marmorata)
kemampuan menghisap lemah
kaki teraba dingin.
b. Hipotermia berat:
sama dengan hipotermia sedang
bibir dan kuku kebiruan
pernafasan tidak teratur
bunyi jantung lambat
timbul hipoglikemi dan asidosis metabolik

Etiologi

Penyebab utama terjadi hipotermia yaitu belum sempurna pengaturan suhu tubuh
bayi dan kurangnya pengetahuan tentang mekanisme kehilangan panas dari tubuh bayi
Pengaturan suhu tubuh bayi waktu lahir sangat penting untuk kelangsungan hidup
dan mencegaj terjadi hipotermia
Faktor resiko
oPerawatan yang kurang tepat setelah bayi lahir termasuk langsung memandikan bayi setelah
lahir
oBayi tidak IMD (dipisahkan langsung dari ibu ketika lahir)
oBBLR
Fantor pencetus
oFaktor lingkungan
oSyok
oInfeksi
oKEP (kekurangan energi protein)
oGangguan endokrin metabolik
oObat-obatan

Pencegahan

Keringkan bayi dengan seksama


Pastikan tubuh bayi dikeringkan dengan segera setelah lahir untuk mencegah
kehilangan panas yang disebabkan oleh evaporasi cairan ketuban pada bayi
Selimutkan bayi dengan selimut yang bersih dan hangat
Anjurkan ibu untuk memeluk dan menyusui bayi
Jangan segera menimbang dan memandikan bayi yang baru lahir
Karena bayi baru lahir mudah kehilangan panas tubuh dengan cepat
Sebaiknya dimandikan 6 jam setelah lahir

Tatalaksana

Bersihkan cairan yang menempel pada tubuh bayi


Pindahkan bayi menempel pada ibu
Bungkus bayi dengan selimut yang bersih serta hangat lalu letakkan didalam inkubator

HIPOGLIKEMIA PADA NEONATUS


Definisi

Hipoglikemia terjadi ketika kadar glukosa serum secara signifikan lebih rendah daripada
rentang pada bayi normal dengan usia postnatal yang sesuai. Walaupun hipoglikemia dapat
terjadi dengan gejala neurologis, seperti letargi, koma, apnea, seizure atau simpatomimetik,
seperti pucat, palpitasi, diaforesis, yang merupakan manifestasi dari respon terhadap glukosa,
banyak neonatus dengan serum glukosa rendah menunjukkan tanda hipoglikemia nonspesifik
(Kliegman et al, 2011).

Serum glukosa pada neonatus menurun segera setelah lahir sampai 1-3 hari pertama
kehidupan. Pada bayi aterm yang sehat, serum glukosa jarang beradadi bawah nilai 35 mg/dL
dalam 1 - 3 jam pertama kehidupan, di bawah 40 mg/dL dalam 3-24 jam, dan kurang dari 45
mg/dL (2.5 mmol/L) setelah 24 jam (Kliegman et al, 2011).

Hipoglikemia pada neonatus didefinisikan sebagai kondisi dimana glukosa plasma di bawah 30
mg/dL (1.65 mmol/L) dalam 24 jam pertama kehidupan dan kurang dari 45 mg/dL (2.5
mmol/L) setelahnya (Cranmer,2013). Estimasi rata-rata kadar glukosa darah pada fetus adalah
15 mg/dL lebih rendah daripada konsentrasi glukosa maternal. Konsentrasi glukosa akan
kemudian berangsur-angsur menurun pada periode postnatal. Konsentrasi di bawah 45 mg/dL
didefinisikan sebagai hipoglikemia. Dalam 3 jam, konsentrasi glukosa pada bayi aterm normal
akan stabil, berada di antara 50-80 mg/dL. Terdapat dua kelompok neonatus dengan risiko
tinggi mengalami hipoglikemia, yaitu bayi lahir dari ibu diabetik (IDM) dan bayi IUGR (Hay et al,
2007).

Dalam jurnal American Acssociation of Pediatrics, McGowen (2003) menyatakan pada survei
terakhir yang dilakukan oleh para ahli pediatric di Inggris menunjukkan bahwa tidak ada
konsensus untuk nilai kadar glukosa darah yang didefinisikan sebagai hipoglikemia. Dengan
catatan, konsentrasi yang berada pada nilai 1 mmol/L (20 mg/dL) sampai 4 mmol/L (70 mg/dL)
merupakan batas bawah normal. Definisi hipoglikemia yang selama ini digunakan dibuat
berdasarkan populasi penelitian pada konsentrasi glukosa darah selama 48-72 jam pertama
kehidupan, dengan hipoglikemia didefinisikan sebagai kadar glukosa darah kurang dari 2
standar deviasi di bawah rata-rata normal. Secara fisiologis, hipoglikemia terjadi ketika ambilan
glukosa tidak adekuat untuk memenuhi kebutuhan glukosa dan dapat terjadi melebihi rentang
kadar glukosa normal. Sebagai contoh, bayi aterm sehat berusia 2 jam dengan kadar glukosa
darah 30 mg/dL dapat tidak mengalami gangguan fungsi organ, tetapi pada stressed infant
dapat menunjukkan gejala fisiologis hipoglikemia pada kadar glukosa darah 50 mg/dL jika laju
hantaran glukosa pada organ spesifik, seprti otwak, kurang dari kecepatan metabolisme
glukosa. Belum ada penelitian yang menyatakan kosentrasi glukosa absolut yang
mengakibatkan adanya disfungsi organ baik jangka pendek maupun panjang. Pada eksperimen
dengan hewan percobaan, konsentrasi glukosa kurang dari 1 mmol/L (<20 mg/dL), jika terjadi
lebih dari 1 jam dapat mengakibatkan lesi otak permanen. Tetapi tanpa adanya bukti yang
menunjukkan nilai batas kadar glukosa absolut, tidak ada standar nilai glukosa darah yang
dapat digunakan untuk mendefinisikan hipoglikemia fisiologis.

Hipoglikemia merupakan masalah metabolik yang paling sering ditemukan pada neonatus.
Pada anak, hipoglikemia terjadi pada nilai glukosa darah kurang dari 40 mg/dL. Sementara
pada neonatus, hipoglikemia adalah kondisi dimana glukosa plasma kurang dari 30 mg/dL
pada 24 jam pertama kehidupan dan kurang dari 45 mg/dL setelahnya (Cranmer, 2013).

2.2 Insidensi

Estimasi insidensi hipoglikemia pada neonatus tergantung baik pada definisi kondisi dan
metode pengukuran glukosa darah. Keseluruhan insidensi diestimasikan sebanya 5 kejadian
dari tiap 1000 kelahiran hidup. Jumlah ini dapat lebih tinggi pada populasi dengan risiko tinggi.
Sebagai contoh, 8% neonatus BMK umumnya berasal dari ibu diabetik (IDM) dan 15% bayi
preterm dan bayi IUGR dilaporkan mengalami hipoglikemia; insidensi pada seluruh populasi
risiko tinggi diperkirakan sebesar 30%. (McGowen, 2003).

Kesuluruhan insidensi hipoglikemia simtomatis pada neonatus bervariasi, antara 1.3-3 kejadian
dari 1000 kelahiran hidup. Insidensi tersebut bervariasi tergantung dengan definisi yang
digunakan, populasi, metode, dan waktu pemberian asuan, dan tipe penilaian glukosa.
Insidensi hipoglikemia meningkat pada kelompok neonatus risiko tinggi. Pemberian asupan
nutrisi lebih awal dapat menurunkan insidensi hipoglikemia. Kelainan metabolisme yang dapat
mengakibatkan hipoglikemia pada neonatus jarang ditemui, tetapi dapat dideteksi sejak masa
neonatus. Insidensi dari kondisi-kondisi ini adalah :

Carbohydrate metabolism disorders (>1:10,000)


Fatty acid oxidation disorders (1:10,000)

Hereditary fructose intolerance (1:20,000 to 1:50,000)

Glycogen storage diseases (1:25,000)

Galactosemia (1:40,000)

Organic acidemias (1:50,000)

Phosphoenolpyruvate carboxykinase deficiency (rare)

Primary lactic acidosis (rare)

Penelitian di Jepang, menunjukkan bahwa lebih dari 80% neonatus yang masuk ke NICU,
penyebabnya adalah apnea atau hipoglikemia pada neonatus yang lahir pada usia kehamilan
35-36 minggu (Cranmer, 2013).

2.3 Manifestasi Klinis

Walaupun hipoglikemia sering diklasifikasikan dalam simtomasis dan asimtomatis,


penggolongan tersebut sebenarnya merefleksikan ada atau tidaknya tanda-tanda fisik yang
menyertai kadar glukosa darah yang rendah. Berbagai tanda dapat terlihat pada kasus
hipoglikemia berat atau berkepanjangan dan pada bayi yang mengalami hipoglikemia ringan
sampai sedang yang berkepanjangan serta pada bayi yang mengalami stres fisiologis. Tanda-
tanda klinis yang ditemukan merupakan tanda nonspesifik dan merupakan akibat dari
gangguan pada lebih dari satu aspek fungsi sistem saraf pusat. Meliputi pola pernapasan
abnormal, seperti takipnea, apnea, atau distress napas; tanda-tanda kardiovaskuler, seperti
takikardia atau bradikardia, dan manifestasi neurologis seperti jitteriness, letargis, kemampuan
mengisap yang lemah, instabilitas suhu tubuh, dan kejang. Banyak dari tanda-tanda tersebut
merupakan akibat dari gangguan neonatus yang lain, seperti sepsis, hypokalemia, dan
pendarahan intracranial. Hipoglikemia harus dipertimbangkan pada bayi yang menunjukkan
satu atau lebih dari gejala-gejala tersebut, karena hipoglikemia yang tak segera diatasi dapat
mengakibatkan konsekuensi serius, dan penatalaksanaan hipoglikemia pun cepat, relatif
mudah, dan memiliki efek samping minimal. Tetapi, pada standar penatalaksanaan neonatus
yang ada saat ini, sebagian besar kasus hipiglikemia terdiagnosis selama pemeriksaan rutin
pada bayi yang dipertimbangkan berisiko namun dalam evaluasi tampak normal secara
fisiologis (McGowen, 2003).

Lucile Packard Childrens Hospital, 2013, memaparkan bahwa tanda-tanda hipoglikemia pada
neonatus meliputi :

jitteriness
cyanosis (blue coloring)

apnea (stopping breathing)

hypothermia (low body temperature)

poor body tone

poor feeding

lethargy

seizures

2.4 Etiologi

Penyebab hipoglikemia pada neonatus, meliputi :

1. Persistent Hyperinsulinemic Hypoglicemia of Infancy.

2. Penyimpanan glikogen yang terbatas ( misalnya pada prematur dan IUGR)

3. Peningkatan penggunaan glukosa ( seperti pada kasus hipotermia, polisitemia,


sepsis, defisiensi hormon pertumbuhan ).

4. Penurunan glikogenolisis, gluokoneogenesis, atau penggunaan substrat alternatif


( misalnya pada gangguan metabolisme dan insufisiensi adrenal).

5. Penurunan penyimpanan glikogen ( seperti pada stress akibat asfiksia perinatal, dan
starvation).

Pada hipoglikemia ketotik, penyimpanan glikogen mudah berkurang, dan dikombinasi dengan
produksi glukosa melalui gluconeogenesis yang tidak adekuat, berakibat pada terjadinya
hipoglikemia. Jadi, oksigenasi asam lemak diperlukan dalam menyediakan substrat untuk
gluconeogenesis dan ketogenesis. Keton, yang merupakan hasil samping dari metabolisme
asam lemak, diekskresikan melalui urin dan menunjukkan kondisi kelaparan (starved state)
(Cranmer, 2013).

2.5 Patogenesis

2.5.1 Prematuritas dan IUGR

Penyebab hipoglikemia pada neonatus dapat dikategorikan berdasarkan gangguan yang


menyertai pada satu atau lebih proses yang diperlukan untuk produksi glukosa hepatic normal.
Penyimpanan glikogen hepatik jumlahnya terbatas baik pada bayi preterm yang belum
mengalami periode akumulasi glikogen cepat selama masa akhir gestasi, dan bayi kecil masa
kehamilan (KMK/SGA) yang belum memiliki suplai persediaan substrat yang adekuat untuk
sintesis glikogen, yang akan berakibat pada timbulnya risiko hipoglikemia. IUGR yang
disebabkan oleh insufisiensi plasenta dengan ukuran lingkar kepala bayi yang normal
menyebabkan peningkatan kebutuhan glukosa pada bayi yang sudah dalam kondisi
penyimpanan glikogen rendah karena tingginya brain-to-bidyweight ratio. Bayi postterm dan
gestasi ganda juga berisiko hipoglikemia karena adanya insufisiensi plasenta relatif. Penelitian
yang dilakukan pada kelompok bayi preterm dan IUGR menemukan adanya perubahan pola
sekresi insulin, metabolisme substrat, dan respons hormonal terhadap perubahan konsentrasi
glukosa darah dibandingkan dengan bayi yang sesuai masa kehamilan (SMK/AGA) (McGowen,
2003).

Bayi yang mengalami stress perinatal karena asfiksia atau hipotermia atau mengalami
peningkatan kerja otot pernapasan disebabkan oleh distress napas mungkin memiliki
penyimpanan glikogen normal, tetapi jumpah glikogen yang tersedia tidak adekuat untuk
memenuhi kebutuhan tinggi dengan adanya tingkat penggunaan glukosa yang lebih tinggi dari
normal. Hipoglikemia dapat terjadi pada bayi dalam kondisi ini ketika glikogen yang tersedia
telah digunakan untuk memenuhi kebutuhan metabolik postnatal inisial, terutama jika telah
ada periode hipoksemia dengan disertai konsumsi glukosa cepat melalui metabolisme
anaerob(McGowen, 2003).

Konsentrasi precursor gluconeogenesis yang tidak adekuat umumnya tidak menjadi faktor
yang membatasi produksi glukosa hepatik pada neonatus karena bayi preterm memiliki
persediaan asam lemak, gliserol, asam amino, laktat, dan piruvat cukup. Selain itu, produksi
badan keton secara relatif berkurang pada respon tehadap hipoglikemia. Bayi aterm dapat
mengalami penurunan rilis badan keton ketika glukosa dalam darh menurun. akibatnya,
kontribusi gluconeogenesis pada produksi gula hepatik terbatas pada beberapa neonatus
(McGowen, 2003).

2.5.2 Bayi dari Ibu Diabetik (Infants of Diabetic Mother)

Beberapa kelompok bayi memiliki risiko tinggi untuk mengalami hipoglikemia karena adanya
perubahan pada fungsi enzim hepatik sehingga mengganggu glikogenolisis, gluconeogenesis,
atau keduanya. Fungsi hepatik dapat dipengaruhi oleh sejumlah gangguan endokrin dan
metabolik, yang paling umum terjadi adalah hiperinsulinisme. IDM memiliki sekresi insulin
pancreas yang tinggi karena paparan glukosa maternal dalam konsentrasi tinggi selama di
dalam uterus. Transportasi glukosa plasenta meningkat, berakibat pada hiperglikemia janin,
yang pada akhirnya akan menstimulasi sekresi insulin oleh pancreas janin. Sekeresi insulin
pancreas pada IDM jaug lebih tinggi dibandingkan dengan nonIDM. Perubahan-perubahan
yang diinduksi oleh diabetes pada metabolisme maternal, seperti perubahan pada asam
amino serum, berperan pada perubahan metabolik yang terjadi pada IDM .
Setelah lahir, konsentrasi glukosa darah yang tinggi sudah tidak ada, tetapi kondisi
hiperinsulinemia menetap, sehingga mengakibatkan rasio insulin:glucagon tinggi pada
postnatal. Akibatnya, glikogenolisis dan lipolysis terhambat, enzim glukoneogenik tidak
terinduksi, dan glukosa hepatik tetap pada kadar yang rendah dalam kondisi glukosa darah
yang rendah. Insulin juga meningkatkan penggunaan glukosa perifer pada jaringa-jaringan
sensitif insulin, seperti otot rangka, yang berkontribusi pada penurunan glukosa secara cepat.
Kombinasi efek dari peningkatan penggunaan glukosa dan terbatasnya produksi glukosa
hepatik mengakibatkan hipoglikemia, yang dapat menetap selama 24-72 jam sebelum pola
sekresi insulin ternormalisasi (McGowen, 2003).

2.5.3 Eritroblastosis Fetalis dan Agen Tokolitik Beta Agonis

Walaupun ibu diabetes merupakan penyebab utama hiperinsulin pada neonatus, sekresi
insulin postnatal dapat menjadi abnormal karena penyakit-penyakit lainnya. Bayi yang
menderita eritroblastosis fetalis memiliki kadar insulin yang tinggi dan jumlah sel betapankreas
yang banyak. Mekanisme terjadinya hal ini masih belum jelas, tetapi salah satu hipotesis
menjelaskan bahwa glutation yang dirilis dari sel darah merah terhemolisis akan mengaktivasi
insulin dalam sirkulasi, dan kemudian memicu sekresi insulin serta up-regulation sel beta.
Transfusi tukar dapat mengeksaserbasi masalah karena darah yang ditransfusikan biasanya
diawetkan dengan kombinasi dekstrosa dan agen lain. Selama transfusi tukar, bayi
mendapatkan tambahan glukosa yang signifikan, dengan respon insulin berlebih dari pancreas
yang hyperplasia. Di akhir transfusi tukar, laju pemberian glukosa dikembalikan pada keadaan
normal, (baseline) tetapi kadar insulin tetap tinggi, sehingga menyebabkan terjadinya
hipoglikemia (McGowen, 2003).

Penggunaan agen tokolitik beta agonis seperti terbutalin juga menyebabkan hiperinsulinemia
pada neonatus, terutama jika agen tersebut digunakan selama lebih dari 2 minggu dan
dihentikan pada waktu kurang dari 1 minggu sebelum persalinan. Neonatus yang berada
dalam kondisi ini akan memiliki penyimpanan glikogen rendah, yang akan menyebabkan
terjadinya hiperinsulinemia serta efek-efek yang timbul karena rendahnya kadar glukosa
(McGowen, 2003).

2.5.4 Hiperinsulinisme

Hipoglikemia yang menetap lebih dari 5-7 hari jarang terjadi dan paling sering disebabkan oleh
hiperinsulinisme. Beberpa neonatus yang IUGR atau asfiksia akan mengalami hiperinsulinemia
yang menetap selama 4 minggu, tetapi kasus seprti ini relatif jarang terjadi. Beberapa tipe
hiperinsulinisme kongenital disebutkan merupakan penyebab utama hipoglikemia yang
menetap sampai melebihi 1 minggu pertama kehidupan.

Bentuk autosomal resesif dari hiperinsulinisme kongenital dihubungkan pada adanya defek
reseptor sulfonylurea atau kanal K+-ATP. Sebuah mutasi pada lengan pendek kromosom 11
banyak terjadi populasi Yahudi Ashkenazi, tetapi kasus yang sama pada kelompok etnis yang
lain juga dilaporkan disertai oleh adanya mutasi pada lokasi yang sama. Telah dilaporkan juga
adanya bentuk autosomal dominan dari hiperinsulinisme. Mutasi yang menyebabkan
terjadinya bentuk autosomal dominan dari hiperinsulinisme belum dapat diidentifikasi, tetapi
kelainan ini berbeda dengan bentuk autosomal resesif yang dicurigai merupakan akibat dari
abnormalitas fungsi reseptor sulfonylurea. Sindrom hiperinsulinemia kongenital dan
hiperammonemiadisertai dengan adanya mutasi gen glutamat dehydrogenase. Sindrom
Beckwith-Weidemann disertai dengan adanya hyperplasia organ multipel., termasuk pancreas,
dengan konsekuensi dari peningkatan sekresi insulin. Jarang terjadi hiperinsulinemia yang
merupakan akibat suatu adenoma lokal sel pulau pancreas pada pancreas yang normal
(McGowen, 2003).
2.5.5 Kelainan Metabolisme pada Neonatus

Kelainan metabolisme pada neonatus akan mempengaruhi ketersediaan prekursor


glukoneogenik atau fungsi enzim yang dibutuhkan untuk produksi glukosa hepatik. Defek
metabolik yang menyebabkan hipoglikemia meliputi berbagai bentuk kelainan penyimpanan
glikogen, galaktosemia, defek oksidasi asam lemak, defisiensi karnitin, beberapa bentuk
asidemia amino, intoleransi fruktosa herediter (fructose-1,6-diphos-phatase deficiency), dan
defek enzim glukoneogenik lainnya. Gangguan endokrin lainnya seperti kegagalan hipopituitari
dan adrenal juga dapat berakibat pada terjadinya hipoglikemia karena tidak adanya respon
hormonal yang sesuai terhadap hipoglikemia dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan
aktivasi produksi glukosa hepatik. Tetapi kondisi ini sangat jarang dan harus dipertimbangkan
adanya etiologi lainnya.

2.6 Penatalaksanaan

Beberapa agen lain telah digunakan untuk penatalaksanaan hipoglikemia refraktori, dan paling
sering digunakan untuk penatalaksanaan pada salah satu kondisi hiperinsulinemia.
Kortikosteroid, hidrokortison 5-15 mg/kgBB per hari dalam dua atau tiga dosis terbagi, atau
prednisone 2 mg/kgBB perhari. Pemberian agen-agen tersebut diikuti dengan adanya
penurunan penggunaan glukosa perifer dan peningkatan konsentrasi glukosa darah, tetapi efek
samping dari agen tersebut terhadap sistem metabolisme lainnya harus dijadikan bahan
pertimbangan. Pemberian kortikosteroid sebagai tambahan dari pemberian glukosa intravena
bermanfaat dalam kondisi ketika kebutuhan glukosa lebih besar daripada 15 mg/kgBB.
OMFALITIS

Definisi Merupakan bentuk infeksi pada tali pusar yang terjadi pada periode
neonatal. Omfalitis muncul secara khusus sebagai suatu selulitis
superficial yang mengenai dinding perut dan mungkin progresif menjadi
faciitis, mionekrosis atau penyakit sistemik.
Umumnya disebabkan oleh bakteri. Yang paling umum, yaitu
Etiologi staphylococcus aureus, streptococcus, escherichia coli, klebsiela
pneumonia dan termasuk juga bakteri anerobik.
Secara klinis bayi dengan omfalitis muncul pada dua minggu pertama
kehidupan dengan tanda-tanda dan gejala infeksi, seperti selulitis
Manifestasi Klinis disekitar umbilicus (kemerahan, hangat, udem dan nyeri), bau busuk
kadang adanya pus disekitar umbilicus.
Ditegakkan dari:
- Gambaran klinis pada tali pusar berupa kemerahan, hangat, udem,
nyeri dan bau busuk kadang ada pus disekitar umbilicus.
Kriteria Diagnosis - Apusan pus untuk pewarnaan gram, kultur dan resistensi.

Terapi lokal: Bersihkan umbilikus dengan alkohol 70% dan betadine.


Terapi sistemik: - Ampisilin 100 mg/kgBB/hari dibagi 3-4 dosis
- Gentamisin 3-5 mg/kg BB/hari dibagi 2 dosis.
Lama pemberian 3-5 hari dilanjutkan antibiotik oral amoksisilin 30-
50mg/kgbb dibagi 3 dosis selama 7 hari dan bisa lebih bila ada tanda-
Tatalaksana tanda sepsis, dan dosis obat disesuaikan dengan dosis sepsis.

Perawatan pada tali pusar setelah melahirkan dengan menggunakan


Edukasi/Pencegahan betadine, bacitrasin atau silver sulfadiazine.

SEPSIS NEONATARUM
Sepsis neonatorum/ sepsis neonatal adalah suatu penyakit pada bayi baru lahir dengan umur
kurang dari 1 bulan, kebanyakan bayi-bayi tersebut menunjukkan gejala-gejala sakit dan dengan
kultur darah menunjukkan hasil yang positif. Menjadi penyebab morbiditas bayi baru lahir dengan
insiden 4 dari 1000 kelahiran premature dan 10 dari 1000 kelahiran aterm, 300 dari 10000 kelahira
bayi hidup dengan BBLR, KPD, perdarahan pada ibu, infeksi traktus urinarius atau endometrium.
Bentuk klinis dari sepsis neonatal dengan pneumoni neonatal sama yaitu lethargi, poor feeding,
sianosis sentral, yanda-tanda sulit bernafas.

DEFINISI

Sepsis neonatal adalah sindrom klinik penyakit sistemik, disertai bakteremia yang terjadi
pada bayi dalam satu bulan pertama kehidupan. Angka kejadian sepsis neonatal adalah 1-10 per
1000 kelahiran hidup. Sepsis neonatal dapat terjadi secara dini, yaitu pada 5-7 hari pertama dengan
organisme penyebab didapat dari intrapartum atau melalui saluran genital ibu. Sepsis neonatal dapat
terjadi setelah bayi berumur 7 hari atau lebih yang disebut sepsis lambat, yang mudah menjadi berat
dan sering menjadi meningitis. Sepsis nosokomial terutama terjadi pada bayi berat lahir sangat
rendah atau bayi kurang bulan dengan angka kematian yang sangat tinggi. Karena masih tingginya
angka kematian sepsis neonatal, tatalaksana yang utama adalah upaya pencegahan dengan
pemakaian proteksi di setiap tindakan terhadap neonatus, termasuk pemakaian sarung tangan,
masker, baju dan kacamata debu serta mencuci segera tangan dan kulit yang terkena darah atau
cairan tubuh lainnya.

ETIOLOGI

Organisme penyebab sepsis primer berbeda dengan sepsis nosokomial.


Sepsis primer biasanya disebabkan: Streptokokus Grup B (GBS), kuman usus Gram negatif, terutama
Escherisia coli, Listeria monocytogenes, Stafilokokus, Streptokokus lainnya (termasuk Enterokokus),
kuman anaerob, dan Haemophilus influenzae.
Sepsis nosokomial adalah Stafilokokus (terutama Staphylococcus epidermidis), kuman Gram negatif
(Pseudomonas, Klebsiella, Serratia, dan Proteus), dan jamur.

FAKTOR RESIKO

Prematuritas dan berat lahir rendah, disebabkan fungsi dan anatomi kulit yang masih
imatur, dan lemahnya sistem imun,
Ketuban pecah dini (>18 jam)
Ibu demam pada masa peripartum atau ibu dengan infeksi, misalnya
khorioamnionitis, infeksi saluran kencing, kolonisasi vagina oleh GBS, kolonisasi
perineal dengan E. coli
Cairan ketuban hijau keruh dan berbau
Tindakan resusitasi pada bayi baru lahir
Kehamilan kembar
Prosedur invasive
Tindakan pemasangan alat misalnya kateter, infus, pipa endotracheal
Bayi dengan galaktosemi
Terapi zat besi
Perawatan di NICU (neonatal intensive care unit) yang terlalu lama
Pemberian nutrisi parenteral
Pemakaian antibiotik sebelumnya

PATOFISIOLOGI

Sepsis lambat mudah menjadi berat, tersering menjadi meningitis. Bakteri penyebab sepsis
dan meningitis, termasuk yang timbul sesudah lahir yang berasal dari saluran genital ibu, kontak
antar manusia atau dari alat-alat yang terkontaminasi. Di sini transmisi horisontal memegang peran.
Insiden sepsis lambat sekitar 5-25%, sedangkan mortalitas 10-20% namun pada bayi kurang bulan
mempunyai risiko lebih mudah terinfeksi, disebabkan penyakit utama dan imunitas yang imatur.

Sepsis dini, terjadi pada 5-7 hari pertama, tanda distres pernapasan lebih mencolok,
organisme penyebab penyakit didapat dari intrapartum, atau melalui saluran genital ibu. Pada
keadaan ini kolonisasi patogen terjadi pada periode perinatal. Beberapa mikroorganisme penyebab,
seperti treponema, virus, listeria dan candida, transmisi ke janin melalui plasenta secara
hematogenik. Cara lain masuknya mikroorganisme, dapat melalui proses persalinan. Dengan
pecahnya selaput ketuban, mikro-organisme dalam flora vagina atau bakteri patogen lainnya secara
asenden dapat mencapai cairan amnion dan janin. Hal ini memungkinkan terjadinya
khorioamnionitis atau cairan amnion yang telah terinfeksi teraspirasi oleh janin atau neonatus, yang
kemudian berperan sebagai penyebab kelainan pernapasan. Adanya vernix atau mekoneum merusak
peran alami bakteriostatik cairan amnion. Akhirnya bayi dapat terpapar flora vagina waktu melalui
jalan lahir. Kolonisasi terutama terjadi pada kulit, nasofaring, orofaring, konjungtiva, dan tali pusat.
Trauma pada permukaan ini mempercepat proses infeksi. Penyakit dini ditandai dengan kejadian
yang mendadak dan berat, yang berkembang dengan cepat menjadi syok sepsis dengan angka
kematian tinggi. Insidens syok septik 0,1- 0,4% dengan mortalitas 15-45% dan morbiditas kecacatan
saraf. Umumnya terjadi setelah bayi berumur 7 hari atau lebih.

DIAGNOSIS

1. Manifestasi klinik

Diagnosis dini sepsis ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan terapi diberikan tanpa menunggu
hasil kultur. Tanda dan gejala sepsis neonatal tidak spesifik dengan diagnosis banding yang sangat
luas, termasuk gangguan napas, penyakit metabolik, penyakit hematologik, penyakit susunan syaraf
pusat, penyakit jantung, dan proses penyakit infeksi lainnya (misalnya infeksi TORCH = toksoplasma,
rubela, sitomegalo virus, herpes). Bayi yang diduga menderita sepsis bila terdapat gejala: letargi,
iritabel, Tampak sakit, Kulit berubah warna keabu-abuan, gangguan perfusi, sianosis, pucat, kulit
bintik-bintik tidak rata, petekie, ruam, sklerema atau ikterik, Suhu tidak stabil demam atau hipotermi,
Perubahan metabolik hipoglikemi atau hiperglikemi, asidosis metabolik, Gejala gangguan
kardiopulmonal gangguan pernapasan (merintih, napas cuping hidung, retraksi, takipnu), apnu dalam
24 jam pertama atau tiba-tiba, takikardi, atau hipotensi (biasanya timbul lambat), Gejala
gastrointestinal: toleransi minum yang buruk, muntah, diare, kembung dengan atau tanpa adanya
bowel loop.

2. Pemeriksaan laboratorium

Hematologi Darah rutin, termasuk kadar hemoglobin Hb, hematokrit Ht, leukosit dan hitung
jenis, trombosit. Pada umumnya terdapat neutropeni PMN 1500/l, rasio neutrofil imatur : total
>0,2. Adanya reaktan fase akut yaitu CRP (konsentrasi tertinggi dilaporkan pada infeksi bakteri,
kenaikan sedang didapatkan pada kondisi infeksi kronik), LED, GCSF (granulocyte colonystimulating
factor), sitokin IL-1, IL-6 dan TNF (tumour necrosis factor).

Biakan darah atau cairan tubuh lainnya (cairan serebrospinalis) serta uji resistensi, pelaksanaan
pungsi lumbal masih kontroversi, dianjurkan dilakukan pada bayi yang menderita kejang, kesadaran
menurun, klinis sakit tampak makin berat dan kultur darah positip. Bila ada indikasi, dapat dilakukan
biakan tinja dan urin. Pemeriksaan apusan Gram dari bahan darah maupun cairan liquor, serta urin.
Lain-lain misalnya bilirubin, gula darah, dan elektrolit (natrium, kalium).

3. Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan radiologi yang diperlukan ialah foto dada, abdomen atas indikasi, dan ginjal.
Pemeriksaan USG ginjal, skaning ginjal, sistouretrografi dilakukan atas indikasi.
4. Pemeriksaan Penunjang Lain

Pemeriksaan plasenta dan selaput janin dapat menunjukkan adanya korioamnionitis, yang
merupakan potensi terjadinya infeksi pada neonatus.

TATALAKSANA

1. Pencegahan dilakukan dengan memperhatikan pemakaian jarum atau alat tajam lainnya
sekali pakai. Pemakaian proteksi di setiap tindakan, termasuk sarung tangan, masker, baju,
kacamata debu. Tangan dan kulit yang terkena darah atau cairan tubuh lainnya segera dicuci.
2. Pengobatan Penisilin atau derivat biasanya ampisilin 100mg/ kg/24jam intravena tiap 12 jam,
apabila terjadi meningitis untuk umur 0-7 hari 100-200mg/kg/ 24jam
intravena/intramuskular tiap 12 jam, umur >7 hari 200-300mg/kg/24jam intravena/
intramuskular tiap 6-8 jam, maksimum 400mg/ kg/24jam. Ampisilin sodium/sulbaktam
sodium (Unasyn), dosis sama dengan ampisilin ditambah aminoglikosid 5mg/kg/24jam
intravena diberikan tiap 12 jam. Pada sepsis nosokomial, sebaiknya diberikan vankomisin
dengan dosis tergantung umur dan berat badan:
<1/2kg umue 0-4 minggu: 15mg/kg/kali tiap 24 jam
1,2-2kg umur 0-7 hari: 15mg/kg/kali tiap 12- 18jam
1,2-2kg umur >7 hari: 15mg/kg/kali tiap 8- 12jam
>2kg umur 0-7 hari: 15mg/kg/kali tiap 12jam
>2kg umur >7 hari: 15mg/kg/kali tiap 8jam ditambah aminoglikosid atau sefalosporin
generasi ketiga
3. Terapi lanjutan disesuaikan dengan hasil biakan dan uji resistensi.
4. Pengobatan komplikasi
- Pernapasan: kebutuhan oksigen meningkat, yang harus dipenuhi dengan pemberian
oksigen, VTP atau kemudian dengan ventilator.
- Kardiovaskular: menunjang tekanan darah dan perfusi jaringan, mencegah syok dengan
pemberian volume ekspander 10-20ml/kg (NaCl 0,9%, albumin dan darah). Catat pemasukan
cairan dan pengeluaran urin. Kadang diperlukan pemakaian dopamin atau dobutamin.
- Hematologi: untuk DIC (trombositopeni, protrombin time memanjang, tromboplastin time
meningkat), sebaiknya diberikan FFP 10ml/kg, vit K, suspensi trombosit, dan kemungkinan
transfusi tukar. Apabila terjadi neutropeni, diberikan transfusi neutrofil
- Susunan syaraf pusat: bila kejang beri fenobarbital (20mg/kg loading dose) dan monitor
timbulnya sindrom inappropriate antidiuretic hormon atau SIADH, ditandai dengan ekskresi
urin turun, hiponatremi, osmolaritas serum turun, naiknya berat jenis urin dan osmolaritas.
- Metabolik: monitor dan terapi hipo dan hiperglikemia. Koreksi asidosis metabolik dengan
bikarbonat dan cairan.

INFEKSI TORCH
Definisi

Penyakit TORCH adalah infeksi jenis penyakit bawaan yang akan berbahaya untuk janin bila
diderita oleh ibu hamil, penyakit-penyakit ini dengan mudah akan menginfeksi janin dalam
kandungan seorang ibu yang sedang hamil. Penyakit yang merupakan bagian dari TORCH
terdiri atas virus dan juga beberapa bakteri. TORCH merupakan kepanjangan
dari Toxoplasmosis, Other Infection, Rubella, Cytomegalovirus dan juga Herpes Simplex Virus.
Infeksi virus TORCH akan membahayakan kesehatan ibu dan janin selama kehamilan.

Etiologi

Penyebab utama dari TORCH sebagian besar adalah hewan-hewan yang ada di sekitar kita
seperti kucing, ayam, burung, tikus, kambing, sapi, anjing, babi , dan lainnya yang
mengandung virus dan parasit TORCH di dalam darahnya. Hewan-hewan tersebut bisa sebagai
pembawa langsung TORCH melalui interaksi dengan manusia, dan bisa juga sebagai perantara
(pembawa tak langsung) melaui kotorannya.

Kotorannya yang mengandung TORCH bisa mencemari tanah, sehingga juga bisa mencemari
sayuran yang tumbuh di tanah. Kotoran hewan yang terinfeksi TORCH bisa terbang terbawa
bersama lalat, serangga atau burung dan menempel pada makanan, kemudian makanan
tersebut masuk ke dalam mulut manusia dan hidup dalam darah manusia.

Kita tentu sering mendengar bahwa toxo adalah virus kucing. Padahal toxo sebenarnya bukan
merupakan virus melainkan parasit yang hidup dalam darah. Beberapa penelitian di dalam
maupun di luar negeri menyebutkan bahwa sekitar 70% penyebab penyakit TORCH ini berasal
dari kotoran kucing.

Penularan

Masing-masing virus ini mempunyai penyebab, penularan, dan akibat yang berbeda-beda. Ibu
hamil kemungkinan terkena Toxoplasma, akibat terdapat kontak dengan hewan, baik melalui
kotorannya (sebagai media penyebaran virus toxoplasma) seperti anjing dan kucing.

Dan juga mengkonsumsi makanan mentah atau tanpa ibu hamil ketahui telah tertempel pada
hewan pembawa parasit toxoplasma, seperti halnya lalat, kecoa, dan serangga lainnya.

Selanjutnya, para ibu hamil sebaiknya menjaga jarak dan tidak berbagi makanan yang sama
dengan seorang yang sedang demam untuk terhindar dari Rubella, sebab media penularannya
melalui udara (pernafasan), air liur, darah, dan keringat.

Serta juga pada CMV (masih virus keluarga Herpes) dan Herpes, ditularkan melalui berbagai
cairan tubuh, dan dapat menular melalui berhubungan seks maupun berciuman.

Gejala

Tanda gejala terinfeksi TORCH pada masa kehamilan bisa dikenali dengan timbul flek
berkepanjangan pada wanita hamil, janin tidak berkembang, hamil anggur, atau bayinya
meninggal pada trimester akhir kehamilan, dan seringkali menimbulkan keguguran.

Namun, ada juga kasus dimana infeksi yang terjadi pada ibu hamil tidak disertai dengan gejala
dan akan berlalu begitu saja tanpa diketahui. Satu-satunya cara yang bisa dilakukan untuk
mengetahui apakah seseorang terinfeksi TORCH adalah dengan pemeriksaan darah di
laboratorium.
Kemungkinan terinfeksi TORCH pada trimester pertama cukup kecil (sekitar 15%), namun
tingkat kerusakannya cukup parah, seperti janin cacat bahkan kematian. Pada trimester kedua
kemungkinan terinfeksi TORCH lebih besar, namun tingkat kerusakannya tidak separah bila
terinfeksi pada trimester pertama.

Sedangkan kemungkinan terinfeksi TORCH pada trimester ketiga cenderung paling besar,
namun resiko kerusakan atau bahaya yang ditimbulkan lebih kecil, namun tetap berbahaya.

Pencegahan

Beberapa cara kiat tips mencegah TORCH pada ibu hamil perlu untuk diketahui dan dipahami
dengan benar dalam rangka untuk menjaga kesehatan ibu hamil dan janin di dalam
kandungannya.

Cara yang paling efektif adalah dengan sebisa mungkin menghindari hal-hal yang bisa
menyebabkan terinfeksi TORCH. Perilaku hidup bersih amat dibutuhkan. Misalnya, mencuci
tangan sebelum makan, mencuci makanan daging dan sayuran sampai bersih kemudian
dimasak sampai matang (jangan setengah matang, apalagi mentah).

Usahakan untuk menjauhi hewan-hewan yang bisa menularkan TORCH. Apabila ingin
memelihara hewan seperti kucing dan anjing misalnya, harus benar-benar dirawat dan dijaga
kebersihannya. Pastikan juga hewan-hewan tersebut dalam kondisi yang baik dan sehat.

Bagi wanita yang ingin hamil, selain perlu menghindari pencetus-pencetus terinfeksinya
TORCH juga perlu melakukan pemeriksaan TORCH dan pemeriksaan kesehatan ibu hamil
lainnya.

Dan juga pastikan ibu hamil dan juga pasangan suami bebas dari TORCH guna mendapatkan
kehamilan yang lancar, sehat bagi Ibu dan janin yang dikandung.

ASPEK MEDIKOLEGAL INFANTISIDA


I. DEFINISI
Infanticide atau pembunuhan anak adalah pembunuhan yang dilakukan oleh seorang ibu
dengan atau tanpa bantuan orang lain terhadap bayinya pada saat dilahirkan atau beberapa
saat sesudah dilahirkan, oleh karena takut diketahui orang lain bahwa ia telah melahirkan
anak. (1)
II. UNDANG-UNDANG YANG BERHUBUNGAN DENGAN INFANTICIDE
Undang-undang yang menyangkut pembunuhan anak terdapat pada KUHP pasal 341, 342 dan
343. (2)
2.1. Pasal 341 KUHP
Seorang ibu yang karena takut akan ketahuan melahirkan anak pada saat anak dilahirkan atau
tidak lama kemudian, dengan sengaja merampas nyawa anaknya, diancam karena membunuh
anaknya sendiri, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
2.2. Pasal 342 KUHP
Seorang ibu yang untuk melaksanakan niat yang ditentukan karena takut akan ketahuan bahwa
ia akan melahirkan anak, pada saat akan dilahirkan atau tidak lama kemudian merampas
nyawa anaknya, diancam karena melakukan pembunuhan anak sendiri dengan rencana,
dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
2.3. Pasal 343 KUHP
Kejahatan yang diterangkan dalam pasal 341 dan 342 dipandang, bagi orang lain yang turut
serta melakukan, sebagai pembunuhan atau pembunuhan anak dengan rencana.
Dengan demikian, pada kasus pembunuhan anak terdapat tiga unsur yang penting, yaitu: (1,2,3)
1. 1. Pelaku:
Pelaku haruslah ibu kandung korban.

1. 2. Motif:
Motif atau alasan pembunuhan adalah karena takut ketahuan telah melahirkan anak.

1. 3. Waktu:
Pembunuhan dilakukan segera setelah anak dilahirkan atau tidak beberapa lama kemudian,
yang dapat diketahui dari ada tidaknya tanda-tanda perawatan.

III. HAL-HAL YANG PERLU DITENTUKAN


Dalam kasus infanticide, hal-hal yang harus ditentukan atau yang perlu dijelaskan dokter dalam
pemeriksaannya adalah: (1,2,3)
Berapa umur bayi dalam kandungan, apakah sudah cukup bulan untuk dilahirkan.
Apakah bayi lahir hidup atau sudah mati saat dilahirkan.
Bila bayi lahir hidup, berapa umur bayi sesudah lahir.
Apakah bayi sudah pernah dirawat.
Apakah penyebab kematian bayi.
Untuk menjawab kelima hal di atas, diperlukan pemeriksaan yang lengkap, yaitu pemeriksaan
luar dan pemeriksaan dalam (autopsi) pada tubuh bayi serta bila perlu melakukan
pemeriksaan tambahan seperti pemeriksaan mikroskopis pada jaringan paru (patologi
anatomi) dan pemeriksaan test apung paru.
3.1. Umur janin dalam kandungan

Untuk mengetahui apakah anak tersebut cukup bulan dalam kandungan (matur) atau belum
cukup bulan dalam kandungan (prematur), dapat diketahui dari pemeriksaan sebagai berikut:
1. Pengukuran lingkar kepala, lingkar dada, panjang badan dan berat badan: dimana
yang mempunyai nilai tinggi adalah lingkar kepala dan tinggi atau panjang badan.
Panjang badan diukur dari tumit hingga vertex (puncak kepala). Bayi dianggap cukup bulan jika:
Panjang badan di atas 45 cm.
Berat badan 2500 3500 gram.
Lingkar kepala lebih dari 34 cm.
Infanticide, bila umur janin 7 bulan dalam kandungan oleh karena pada umur ini janin telah
dapat hidup di luar kandungan secara alami tanpa bantuan beralatan. Umur janin di bawah 7
bulan termasuk kasus abortus

Untuk menentukan umur bayi dalam kandungan, ada rumus empiris yang dikemukakan
oleh De Haas, yaitu menentukan umur bayi dari panjang badan bayi.
Untuk bayi (janin) yang berumur di bawah 5 bulan, umur sama dengan akar pangkat dua dari
panjang badan. Jadi bila dalam pemeriksaan didapati panjang bayi 20 cm, maka taksiran umur
bayi adalah 20 yaitu antara 4 sampai 5 bulan dalam kandungan atau lebih kurang 20 22
minggu kehamilan.
Untuk janin yang berumur di atas 5 bulan, umur sama dengan panjang badan (dalam cm)
dibagi 5 atau panjang badan (dalam inchi) dibagi 2.
1. Keadaan ujung-ujung jari: apakah kuku-kuku telah melewati ujung jari seperti anak
yang dilahirkan cukup bulan atau belum. Garis-garis telapak tangan dan kaki dapat juga
digunakan, karena pada bayi prematur garis-garis tersebut masih sedikit.
2. Keadaan genitalia eksterna: bila telah terjadi descencus testiculorum maka hal ini
dapat diketahui dari terabanya testis pada scrotum, demikian pula halnya dengan keadaan
labia mayora apakah telah menutupi labia minora atau belum; testis yang telah turun serta
labia mayora yang telah menutupi labia minora terdapat pada anak yang dilahirkan cukup
bulan dalam kandungan si-ibu. Hal tersebut di atas dapat diketahui bila bayi segar, tetapi bila
bayi telah busuk, labia mayora akan terdorong keluar.
3. Pusat-pusat penulangan: khususnya pada tulang paha (os. femur), mempunyai arti
yang cukup penting di dalam membantu perkiraan apakah anak dilahirkan dalam keadaan
cukup bulan atau tidak; bagian distal dari os. femur serta bagian proksimal dari os. tibia akan
menunjukkan pusat penulangan pada umur kehamilan 36 minggu, demikian pula pusat
penulangan pada os. cuboideum dan os. cuneiforme, sedangkan os. talus dan os. calcaneus
pusat penulangannya akan tampak pada umur kehamilan 28 minggu.
Cara melihat pusat penulangan pada femur:
Tungkai bawah difleksikan semaksimal mungkin, lalu dibuat insisi melintang pada lutut. Setelah
patella disingkirkan, dibuat irisan transversal pada ujung distal femur setipis mungkin ke aras
proksimal femur sampai terlihat pusat penulangan yang berwarna kemerahan.

Demikian pula cara untuk melihat pusat penulangan pada ujung proksimal tibia. Pada tulang
talus, kalkaneus dan kuboid, pusat penulangan dapat dilhat dengan membuat insisi antara jari
ke-3 dan ke-4 ke arah belakang/tumit. Insisi akan melewati ketiga tulang ini. Lalu tulang
tersebut diiris tipis-tipis sampai terlihat pusat penulangannya. Pusat penulangan berbentuk
oval, warna merah dengan diameter + 0,5 cm.
Hubungan umur bayi dengan pusat penulangan:

Kalkaneus, umur bayi 5 6 bulan.


Talus, umur bayi 7 bulan.
Kuboid, umur bayi 9 bulan.
Distal femur, umur bayi 9 bulan.
Proksimal tibia, umur bayi 9 bulan.
3.2. Apakah bayi lahir hidup atu sudah mati saat dilahirkan.

Penentuan apakah seorang anak itu dilahirkan dalam keadaan hidup atau mati, dapat
dilakukan dengan pemeriksaan luar dan pemeriksaan dalam.

3.2.1. Pemeriksaan luar

Pada bayi yang lahir hidup, pada pemeriksaan luar tampak dada bulat seperti tong . biasanya
tali pusat masih melengket ke perut, berkilat dan licin. Kadang-kadang placenta juga masih
bersatu dengan tali pusat. Warna kulit bayi kemerahan.

3.2.2. Pemeriksaan dalam

Insisi pada autopsi sedikit berbeda dengan orang dewasa. Insisi pada bayi dimulai dari perut
agar terlihat letak sekat rongga dada (diaphragma).

Penentuan apakah seorang anak itu dilahirkan dalam keadaan hidup atau mati, pada dasarnya
adalah sebagai berikut:
1. Adanya udara di dalam paru-paru.
2. Adanya udara di dalam lambung dan usus,
3. Adanya udara di dalam liang telinga bagian tengah, dan
4. Adanya makanan di dalam lambung.

Paru-paru yang sudah mengembang karena terisi udara pernafasan dapat diketahui dari ciri-
ciri seperti tersebut di bawah ini yaitu:

memenuhi rongga dada sehingga menutupi sebagian kandung jantung,


berwarna merah unggu atau merah muda, dan tidak homogen,
memberikan gambaran mozaik atau seperti marmer karena adanya berbagai tingkatan aerasi
atau pengisian udara dan darah,
tepi paru-paru tumpul,
pada perabaan teraba derik udara (krepitasi), yang bila perabaan ini dilakukan atas sepotong
kecil jaringan paru yang dibenamkan dalam air akan tampak gelembung-gelembung udara,
pada pemotongan jaringan paru, bila dipencet terlihat keluar darah bercampur buih,
pemeriksaan mikroskopik (patologi anatomi) yang hanya dilakukan pada keadaan tertentu
saja (meragukan), akan memperlihatkan adanya pengelembungan dari alveoli yang cukup jelas
(seperti sarang tawon).
Untuk menentukan apakah bayi pernah bernafas dapat dilakukan test hydrostatik atau test
apung paru (docimacia pulmonum hydrostatica), akan memberikan hasil yang positif.
Pemeriksaan ini berdasarkan fakta bahwa berat jenis paru-paru yang belum bernafas berkisar
antara 1.040 1.056, sedangkan paru-paru yang sudah bernafas 0,940 akibat udara
pernafasan telah memasuki alveoli. Oleh karena itu paru-paru yang belum bernafas akan
tenggelam sedangkan yang sudah bernafas akan mengapung.
Pada bayi yang telah mengalami pembusukan lanjut, pemeriksaan ini tidak berguna lagi. Bila
masih baru mengalami pembusukan, test apung paru ini masih bisa dipakai, karena udara
pembusukan akan keluar bila jaringan paru-paru ditekan, sedangkan udara pernafasan dalam
alveoli tetap disana, atu hanya sedikit yang keluar.

Cara melakukan test apung paru adalah sebagai berikut:


Keluarkan paru-paru dengan mengangkatnya mulai dari trachea sekalian dengan jantung dan
timus. Kesemuanya ditaruh dalam baskom berisi air. Bila terapung artinya paru-paru telah
terisi udara pernafasan.

Untuk memeriksa lebih jauh, pisahkan paru-paru dari jantung dan timus, dan kedua belah paru
juga dipisahkan. Bila masih terapung, potong masing-masing paru-paru menjadi 12 20
potongan-potongan kecil. Bagian-bagian ini diapungkan lagi. Bagian kecil paru ini ditekan
dipencet dengan jari di bawah air. Bila telah bernafas, gelembung udara akan terlihat dalam
air. Bila masih mengapung, bagian kecil paru-paru ditaruh di antara 2 lapis kertas dan dipijak
dengan berat badan. Bila masih mengapung, itu menunjukkan bayi telah bernafas. Sedangkan
udara pembusukan akan keluar dengan penekanan seperti ini, jadi ia akan tenggelam.

Ada beberapa keadaan dimana test ini diragukan hasilnya.

1. Paru-paru sudah berkembang, namun dalam pemeriksaan ternyata tenggelam.


Penyakit: pada edema paru atau pemadatan karena bronkopneumonia atau lues (sifilis).
Tetapi biasanya jarang melibatkan kedua bagian paru atau seluruh jaringan paru. Sebagian
tetap akan merapung. Lagi pula pemeriksaan ini secara patologi anatomi akan menegaskan
adanya penyakit tersebut.
Atelektase paru. Biasanya jarang terjadi.
1. Paru-paru yang belum berfungsi (bayi belum bernafas), tetapi pada pemeriksaan
mengapung:
Telah terjadi proses pembusukan. Ini mudah dikenal karena proses pembusukan pada daerah
lain juga didapati.
Dimasukkan udara secara artifisial. Susah melakukannya, apalagi oleh orang awam.
Adanya udara dalam lambung dan usus merupakan petunjuk bahwa si-anak menelan udara
setelah ia dilahirkan hidup, dengan demikian nilai dari pemeriksaan udara di dalam lambung
dan usus ini sekedar memperkuat saja. Seperti halnya pada pemeriksaan untuk menentukan
adanya udara dalam paru-paru, maka pemeriksaan yang serupa terhadap lambung dan usus
baru dapat dilakukan bila keadaan si-anak masih segar dan belum mengalami proses
pembusukan serta tidak mengalami manipulasi seperti pemberian pernafasan buatan. Caranya
adalah dengan mengikat bagian bawah esofagus di bawah thyroid proksimal dari cardia dan
colon, kemudian dilepaskan dari organ lainnya. Bila yang terapung adalah lambung, hal ini
tidak berarti apa-apa. Bila usus yang terapung berarti bayi telah pernah menelan udara dan ini
berarti bayi telah pernah bernafas.

Adanya udara di dalam liang telinga bagian tengah hanya dapat terjadi bila si-anak menelan
udara dan udara tersebut melalui tuba eustachii masuk ke dalam liang bagian tengah. Untuk
dapat mengetahui keadaan tersebut pembukaan liang telinga bagian tengah harus dilakukan di
dalam air; tentunya baru dilakukan pada mayat yang masih segar.

Adanya makann di dalam lambung dari seorang anak yang baru dilahirkan tentunya baru dapat
terjadi pada anak yang dilahirkan hidup dan diberi makan oleh orang lain, dan makanan tidak
mungkin akan dapat masuk ke dalam lambung bila tidak disertai dengan aktivitas atau gerakan
menelan.

Adanya udara di dalam paru-paru, lambung dan usus serta di dalam liang telinga bagian
tengah merupakan petujuk pasti bahwa si-anak yang baru dilahirkan tersebut memang
dilahirkan dalam keadaan hidup. Sedangkan adanya makanan di dalam lambung lebih
mengarahkan kepada kenyataan bahwa si-anak sudah cukup lama dalam keadaan hidup; hal
mana bila keadaannya memang demikian maka si-ibu yang menghilangkan nyawa anak
tersebut dapat dikenakan hukuman yang lebih berat dari ancaman hukuman seperti yang
tertera pada pasal 341 dan 342.

Apabila bayi dilahirkan dalam keadaan mati, ada 2 kemungkinan yang harus diperhatikan,
yaitu:

1. Still birth, artinya dalam kandungan masih hidup, waktu dilahirkan sudah mati. Ini
mungkin disebabkan perjalanan kelahiran yang lama, atau terjadi accidental
strangulasi dimana tali pusat melilit leher bayi waktu dilahirkan.
2. Dead born child, di sini bayi memang sudah mati dalam kandungan. Bila kematian
dalam kandungan telah lebih dari 2 3 hari akan terjadi maserasi pada bayi. Ini terlihat dari
tanda-tanda:
Bau mayat seperti susu asam.
Warna kulit kemerah-merahan.
Otot-otot lemas dan lembek.
Sendi-sendi lembek sehingga mudah dilakukan ekstensi dan fleksi.
Bila lebih lama didapati bulae berisi cairan serous encer dengan dasar bullae berwarna
kemerah-merahan.
Alat viseral lebih segar daripada kulit.
Paru-paru belum berkembang.
3.3. Bila bayi lahir hidup, berapa umur bayi sesudah lahir

Apabila bayi tersebut sudah pernah bernafas atau lahir hidup, untuk mengetahui sudah berapa
lama bayi tersebut hidup sebelum dibunuh dengan memperhatikan kulit, kepala dan umbilicus
mayat tersebut.

Pada bayi yang baru lahir, warna kulit merah terang. Adanya vernix caseosa pada ketiak, sela
paha dan leher. Vernix akan menghilang setelah dua hari lalu kulit menjadi gelap dan menjadi
normal kembali.

Setelah 1 minggu, kulit akan mengelupas, terutama di bagian abdomen kulit akan mengelupas
setelah 3 hari. Caput succedaneum akan menghilang setelah 24 jam sampai 2 3 hari setelah
dilahirkan. Setelah 2 jam kelahiran, terdapat bekuan darah pada ujung pemotongan tali pusat.
Dua belas jam kemudian akan mengering. Setelah 36 48 jam terbentuk cincin peradangan
pada pangkal tali pusat. Tali pusat mengering setelah 2 3 hari. Enam sampai tujuh hari tali
pusat akan lepas membentuk cicatriks. Tali pusat akan sembuh sempurna lebih kurang 15 hari.

Feses bayi juga dapat membantu menentukan sudah berapa lama bayi hidup. Feses bayi yang
baru lahir disebut meconium, biasa dikeluarkan dari usus setelah 24 28 jam, tetapi kadang
kala bisa lebih lama.

3.4. Apakah terdapat tanda-tanda perawatan.

Penentuan ada tidaknya tanda-tanda perawatan sangat penting artinya dalam kasus
pembunuhan anak, oleh karena dari sini dapat diduga apakah kasus yang dihadapi memang
benar kasus pembunuhan anak seperti apa yang dimaksud oleh undang-undang, atau memang
kasus lain yang mengancam hukuman yang berbeda.

Adanya tanda-tanda perawatan menunjukkan telah ada kasih sayang dari si-ibu dan bila
dibunuhnya tidak lagi termasuk kasus infanticide, tetapi termasuk kasus pembunuhan biasa.

Adapun anak yang baru dilahirkan dan belum mengalami perawatan dapat diketahui dari
tanda-tanda sebagai berikut:

Tubuh masih berlumuran darah,


Ari-ari (placenta), masih melekat dengan tali pusat dan masih berhubungan dengan pusar
(umbilicus),
Bila ari-ari tidak ada, maka ujung tali pusat tampak tidak beraturan, hal ini dapat diketahui
dengan meletakkan ujung tali pusat tersebut ke permukaan air,
Adanya lemak bayi (vernix caseosa), pada daerah dahi serta di daerah yang mengandung
lipatan-lipatan kulit, seperti daerah lipat ketiak, lipat paha dan bagian belakang bokong.
Pada seorang anak yang telah mendapat perawatan tentunya akan memberikan gambaran
yang jelas, dimana tubuhnya sudah dibersihkan, tali pusat telah dipotong dan diikat, daerah-
daerah lipatan kulit telah dibersihkan dari lemak bayi dan tidak jarang si-anak telah diberi
pakaian atau pembungkus agar tubuhnya menjadi hangat.
3.5. Apakah penyebab kematian bayi

Penyebab kematian bayi dapat diketahui bila dilakukan autopsi, dari autopsi tersebut dapat
ditentukan apakah bayi tersebut lahir mati, mati secara almiah, akibat kecelakaan atau akibat
pembunuhan.

Penyebab kematian alamiah antara lain:

Prematuritas.
Kelainan kongenital, misalnya: sifilis, jantung.
Perdarahan / trauma lahir.
Kelainan bentuk / anatomi, misalnya: anecephalus.
Kelainan plasenta, misalnya: plasenta previa.
Erythroblastosis foetalis dan lain-lain.

Penyebab kematian akibat kecelakaan dapat terjadi di waktu lahir atau sesudah lahir. Pada
waktu proses kelahiran, kematian dapat terjadi karena partus yang lama, prolaps tali pusat,
terlilitnya tali pusat. Beberapa saat sebelum dilahirkan, misalnya: trauma pada perut ibu hamil
akibat tersepak, jatuh dari tempat yang tinggi, dan lain-lain.

Kematian yang diakibatkan oleh tindakan kriminal atau pembunuhan, dilakukan dengan
mempergunakan kekerasan atau memberi racun terhadap bayi tersebut. Cara yang digunakan
untuk membunuh anak antara lain:

Pembekapan, menutup hidung dan mulut dengan telapak tangan, menekan dengan bantal,
selimut dan lain-lain.
Penekanan dada, sehingga mengganggu pergerakan pernafasan.
Dengan menjerat leher bayi (strangulasi). Kadang-kadang dengan memakai tali pusat.
Dengan menenggelamkan bayi.
Menusuk fontanella, epicanthus mata, ubun-ubun besar, ubun-ubun kecil, jantung, sumsum
tulang dengan menggunakan jarum atau peniti.
Memukul kepala bayi atau melintir kepala bayi.
Memberi obat-obatan, seperti: opium, arsen dan lain-lain misalnya dengan mengoleskan
opium di sekitar putting susu, lalu diisap oleh bayi tersebut.
Begitu bayi lahir, dibungkus dan dimasukkan ke dalam kotak kemudian dibuang.
Cara atau metode yang banyak dijumpai untuk melakukan tindakan pembunuhan anak adalah
cara atau metode yang menimbulkan mati lemas (asfiksia) seperti: penjeratan, pencekikan dan
pembekapan serta pembenaman ke dalam air. Adapun cara atau metode yang lain seperti
menusuk atau memotong serta melakukan kekerasan dengan benda tumpul relatif lebih jarang
dijumpai.

Dengan demikian pada kasus yang diduga merupakan kasus pembunuhan anak, yang harus
diperhatikan adalah:

Adanya tanda-tanda mati lemas: sianosis pada bibir dan ujung-ujung jari, bintik-bintik
perdarahan pada selaput biji mata dan selaput kelopak mata serta jaringan longgar lainnya,
lebam mayat yang lebih gelap dan luas, busa halus berwarna putih atau putih kemerahan yang
keluar dari lubang hidung dan atau mulut serta tanda-tanda bendungan pada alat-alat dalam.

Keadaan mulut dan sekitarnya: adanya luka lecet tekan dibibir atau sekitarnya yang tidak
jarang berbentuk bulan sabit, memar pada bibir bagian dalam yang berhadapan dengan gusi,
serta adanya benda-benda asing seperti gumpalan kertas koran atau kain yang mengisi rongga
mulut.

Keadaan di daerah leher dan sekitarnya: adanya luka lecet tekan yang melingkari sebagian
atau seluruh bagian leher yang merupakan jejas jerat sebagai akibat tekanan yang ditimbulkan
oleh alat penjerat yang dipergunakan, adanya luka-luka lecet kecil-kecil yang seringkali
berbentuk bulan sabit yang diakibatkan oleh tekanan dari ujung kuku si-pencekik, adanya luka-
luka lecet dan memar yang tidak beraturan yang dapat terjadi akibat tekanan yang ditimbulkan
oleh ujung-ujung jari si-pencekik.

Adanya luka-luka tusuk atau luka sayat pada daerah leher, mulut atau bagian tubuh
lainnya, dimana menurut literatur ada satu metode yang dapat dikatakan khas yaitu tusukan
benda tajam pada langit-langit sampai menembus ke rongga tengkorak yang dikenal dengan
nama tusukan bidadari.
Adanya tanda-tanda terendam seperti: tubuh yang basah dan berlumpur, telapak tangan
dan telapak kaki yang pucat dan keriput (washer woman`s hand), kulit yang berbintil-bintil
(cutis anserina) seperti kulit angsa, serta adanya benda-benda asing terutama di dalam saluran
pernafasan (trakhea), yang dapat berbentuk pasir, lumpur, tumbuhan air atau binatang air.
IV. DIFFERENSIAL DIAGNOSA
1. 1. Abortus
Abortus adalah keguguran atau berakhirnya kehamilan sebelum bayi dapat hidup sendiri di
luar kandungan. Batasan umur kandungan adalah 28 minggu dan berat badan bayi yang keluar
kurang dari 1000 gram.

Tanda-tanda bayi yang aviable atau tidak sanggup hidup di luar kandungan adalah: (1) umur
kehamilan kurang dari 28 minggu, (2) panjang badan bayi kurang dari 35 cm, (3) berat badan
bayi kurang dari 1000 gram, (4) lingkar kepala kurang dari 32 cm.

1. 2. Partus presipitatus
Partus presipitatus adalah persalinan deras atau kebrojolan. Pada waktu partus presipitatus
dapat terjadi: (1) inversio uteri, (2) robekan tali pusat, (3) luka-luka pada kepala bayi, (4)
perdarahan di bawah kulit kepala, perdarahan di dalam tengkorak.

Partus presipitatus ini dapat terjadi dimana-mana, di dalam rumah atau di luar lumah, di WC,
sedang berjalan, dan sebagainya. Pembuktian partus presipitatus terkadang sukar untuk
dilakukan dan memerlukan pemeriksaan setempat.

Anda mungkin juga menyukai