Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

Syok merupakan suatu keadaan patofisiologik dinamik yang terjadi bila oxygen delivery
ke mitokondria sel diseluruh tubuh manusia tidak mampu memenuhi kebutuhan oxygen
consumption. Sebagai respon terhadap pasokan oksigen yang tidak cukup ini, metabolisme
energi sel terbatas, selanjutnya dapat timbul kerusakan irreversible pada organ vital. Pada
tingkat multiseluler, tidak semua jaringan dan organ secara klinis terganggu akibat kurangnya
oksigen pada saat syok. Alfred Blalock membagi jenis syok menjadi 4 antara lain syok
hipovolemik, syok kardiogenik, syok septik, syok neurogenik.1
Diseluruh dunia terdapat 6-20 juta kematian akibat syok tiap tahun,
meskipun penyebabnya berbeda tiap-tiap negara. Diagnosa adanya syok harus didasarkan pada
data-data baik klinis maupun laboratorium yang jelas, yang merupakan akibat dari kurangnya
perfusi jaringan. Syok bersifat progresif dan terus memburuk jika tidak segera ditangani. Syok
mempengaruhi kerja organ-organ vital dan penangannya memerlukan pemahaman tentang
patofisiologi syok.1,2
Syok kardiogenik merupakan suatu keadaan penurunan curah jantung dan perfusi
sistemik pada kondisi volume intravaskular yang adekuat, sehingga menyebabkan hipoksia
jaringan. Istilah syok kardiogenik ini pertama sekali disampaikan oleh Stead dimana saat itu
dilaporkan 2 orang pasien yang disebutkan mengalami syok yang diakibatkan oleh jantung
(shock of cardiac origin). Gambaran yang esensial dari syok kardiogenik adalah adanya
hipoperfusi sistemik yang menyebabkan hipoksia jaringan dengan bukti volume intravaskular
yang adekuat. Kriteria hemodinamik syok kardiogenik adalah adanya hipotensi yang
berkepanjangan dengan batasan/cut-off points tekanan darah sistolik untuk syok kardiogenik
adalah < 90 mmHg selama sekurangnya 30-60 menit atau mean arterial pressure < 30 mmHg
dari baseline dengan indeks kardiak yang berkurang (< 2,2 L/menit/m2) dan tekanan baji kapiler
paru (pulmonary capillary wedge pressure/PCWP) > 15 mmHg.1-4
Oleh karena itu, diagnosis syok kardiogenik dapat ditegakkan pada pasien dengan
tekanan darah >90mmHg dengan ketentuan sebagai berikut (1) jika parameter hemodinamik
merupakan hasil dukungan dari medikasi dan/atau alat-alat pendukung. (2) adanya tanda-tanda
hipoperfusi sistemik dengan curah jantung yang rendah namun dengan tekanan darah yang
masih dapat dipertahankan dengan vasokonstriksi, serta (3) jika tekanan sistemik rata-rata
(MAP) < 30mmHg dari tekanan darah baseline pada kasus pasien dengan hipertensi. 80% syok
kardiogenik disebabkan oleh kegagalan ventrikel akibat infark miokard akut. Sedangkan sisanya
akibat regurgitasi mitral berat yang akut, ruptur septum ventrikular, gagal jantung kanan
predominan dan ruptur dinding atau tamponade.1-4
Syok kardiogenik merupakan penyebab kematian paling sering pada pasien-pasien yang
dirawat dengan infark miokard. Tindakan revaskularisasi dini terbukti mampu menurunkan
kejadian syok kardiogenik pada kasus infark miokard akut. Tingkat kejadian syok kardiogenik
telah banyak berkurang belakangan ini, mulai dari 20% pada tahun 1960an, hingga saat ini
tinggal + 8% saja. Jenis infark miokard akut yang paling sering menyebabkan syok kardiogenik
adalah STEMI. Sekitar 80% kasus syok kardiogenik yang berkaitan dengan infark miokard akut.
80% Syok kardiogenik yang terjadi akibat infark miokard disebabkan oleh kegagalan ventrikel
kiri. Sedangkan yang lainnya adalah mitral regurgitasi akut, rupture septum ventrikular, gagal
ventrikel kanan, serta tramponade jantung. Insidensi syok kardiogenik lebih tinggi pada pria
daripada wanita (3:2). Perbedaan ini disebabkan karena semakin meningkatnya kejadian
penyakit jantung koroner pada pria. Namun demikian persentase kejadian syok kardiogenik
yang mengikuti infark miokard lebih banyak pada wanita dibanding pria. Umur rata-rata pasien
dewasa yang mengalami syok kardiogenik adalah 65-66 tahun. Ras yang paling tinggi
persentasenya untuk kejadian syok kardiogenik adalah ras hispanik (74%) sedangkan ras afrika
amerika 65%, kulit putih 56%, sedangkan Asia dan selebihnya 41%. Berdasarkan SHOCK
register dan trial disebutkan bahwa : 74,5% syok kardiogenik disebabkan oleh predominasi
kegagalan ventrikel kiri; 8,36% akibat MR: 4,6% akibat ruptur septum ventrikel; 3,4% masalah
pada jantung kanan; 1,7% tamponde/ruptur jantung; 3,0% penyebab lain.3,4,6,7
Syok kardiogenik merupakan suatu kegawatdaruratan yang memerlukan tindakan resusitasi
sesegera mungkin sebelum syok menjadi ireversibel dan merusak organ-organ vital. Kunci
keberhasilan penatalaksanaan syok kardiogenik adalah pendekatan yang terorganisir berdasarkan
patofisiologi untuk mendapatkan diagnosis secara tepat dan cepat serta terapi farmakologik sesegera
mungkin untuk mempertahankan tekanan darah dan curah jantung. Seluruh pasien syok kardiogenik
harus dirawat di ruang perawatan intensif..3
BAB II
PEMBAHASAN

Syok kardiogenik adalah gangguan yang disebabkan oleh penurunan curah jantung
sistemik pada keadaan volume intravaskular yang cukup, dan dapat mengakibatkan hipoksia
jaringan. Syok dapat terjadi karena disfungsi ventrikel kiri yang berat, tetapi dapat pula terjadi
pada keadaan dimana fungsi ventrikel kiri yang cukup baik.8
Hipotensi sistemik umumnya menjadi dasar diagnosis. Nilai cut off untuk tekanan darah
sistolik yang sering dipakai adalah <90mmHg. Dengan menurunnya tekanan darah sistolik akan
meningkatkan kadar katekolamin yang mengakibatkan konstriksi arteri dan vena sistemik.
Manifestasi klinis dapat ditemukan tanda-tanda hipoperfusi sistemik mencakup perubahan status
mental, kulit dingin dan oliguria.8
Syok kardiogenik didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik <90mmHg selama >1 jam
di mana :8
Tak responsif dengan pemberian cairan saja,
Sekunder terhadap disfungsi jantung, atau,
Berkaitan dengan tanda-tanda hipoperfusi atau indeks kardiak <2,21/menit perm2
dan tekanan baji kapiler paru >18 mmHg.
Termasuk dipertimbangkan dalam definisi ini adalah :8
Pasien dengan tekanan darah sistolik meningkat >90 mmHg dalam 1 jam setelah
pemberian obat inotropik, dan
Pasien yang meninggal dalam 1 jam hipotensi, tetapi memenuhi kriteria lain syok
kardiogenik
Syok kardiogenik dapat disebabkan oleh berbagai macam kelainan yang terjadi pada
jantung seperti : disfungsi sistolik, disfungsi diastolik, disfungsi katup, aritmia, penyakit jantung
koroner, komplikasi mekanik. Karena besarnya angka kejadian ACS, maka ACS pun menjadi
etiologi terhadap syok kardiogenik yang paling dominan pada orang dewasa. Selain itu, banyak
pula kasus syok kardiogenik yang terjadi akibat medikasi yang diberikan, contohnya pemberian
penyekat beta dan penghambat ACE yang tidak tepat dan tidak terpantau pada kasus ACS. Pada
anak-anak penyebab tersering adalah miokarditis oleh karena infeksi virus, kelainan congenital
dan konsumsi bahan-bahan yang toksik terhadap jantung.1,3
Secara fungsional penyebab syok kardiogenik dapat dibagi menjadi 2 yakni kegagalan
Jantung kiri dan kegagalan Jantung kanan. Penyebab-penyebab kegagalan jantung kiri antara
lain : (1) disfungsi sistolik yakni, berkurangnya kontraktilitas miokardium. Penyebab yang
paling sering adalah infark miokard akut khususnya infark anterior. Penyebab lainnya adalah
hipoksemia global, penyakit katup, obat-obat yang menekan miokard (penyekat beta,
penghambat gerbang kalsium, serta obat-obat anti aritmia), kontusio miokard, asidosis
respiratorius, kelainan metabolic (asidosis metabolic, hipofosfatemia, hipokalsemia), miokarditis
severe, kardiomiopati end-stage, bypass kardiopulmonari yang terlalu lama pada operasi pintas
jantung, obat-obatan yang bersifat kardiotoksin (mis. Doxorubicin, adriamycin). (2) disfungsi
diastolik. Hal ini dapat terjadi akibat meningkatnya kekakuan ruang ventrikel kiri. Selain itu
dapat pula terjadi pada tahap lanjut syok hipovolemik dan syok septik. Hal-hal yang dapat
menyebabkannya antara lain : iskemik, hipertrofi ventrikel, kardiomiopati restriktif, syok
hipovolemik dan syok septik yang berlama-lama, kompresi eksternal akibat tamponade jantung
(3) Peningkatan afterload yang terlalu besar. Hal ini dapat terjadi pada keadaan stenosis aorta,
kardiomiopati hipertrofik, koarktasio aorta, hipertensi maligna. (4) abnormalitas katup dan
struktur jantung. Hal ini dapat terjadi pada keadaan mitral stenosis, endokarditis, regurgitasi
mitral dan aorta, obstruksi yang disebabkan oleh atrial myxoma atau thrombus, ruptur ataupun
disfungsi otot-otot papilaris, ruptur septum dan tamponade. (5) Menurunnya kontraktilitas
jantung. Hal ini terjadi pada keadaan, infark ventrikel kanan, iskemia, hipoksia dan asidosis.
Kegagalan ventrikel kanan dapat disebabkan oleh berbagai peristiwa antara lain: (1) peningkatan
afterload yang terlalu besar misalnya, emboli paru, penyakit pembuluh darah paru (hipertensi
arteri pulmonalis dan penyakit oklusif vena), vasokonstriksi pulmonal hipoksik, tekanan puncak
akhir ekspirasi, fibrosis pulmonaris, kelainan pernafasan saat tidur, PPOK. (2) Artimia.
Ventrikel takiaritmia sering berkaitan dengan syok kardiogenik. Sementara bradiaritmia dapat
menyebabkan atau memperburuk syok yang disebabkan oleh etiologi lain. Sinus takikardia dan
takiaritmia atrial dapat menyebabkan hipoperfusi dan memperburuk syok.1,3
Penyebab syok kardiogenik dapat pula dibedakan berdasarkan infark miokard akut atau non-
infark miokard seperti berikut ini :1,3,7,9,10,11
Infark miokard akut

Kegagalan pompa jantung

Infark luas, > 40% ventrikel kiri


Infark kecil namun dengan riwayat disfungsi ventrikel kiri atau riwayat infark
sebelumnya

Infark yang meluas

Reinfark

Komplikasi mekanik

Mitral regurgitasi akut akibat/disfungsi ruptur otot papilari atau korda tendinea

Defek septum ventrikel yang disebabkan roleh ruptum septum intraventrikular

Ruptur dinding ventrikel kiri

PATOFISIOLOGI
Syok kardiogenik merupakan akibat dari gangguan dari keseluruhan system sirkulasi baik
yang besifat temporer maupun permanen. Kegagalan ventrikel kiri atau ventrikel kanan (akibat
disfungsi miokardium) memompakan darah dalam jumlah yang adekuat merupakan penyebab
primer syok kardiogenik pada infark miokard akut (gambar 1). Akibatnya adalah hipotensi,
hipoperfusi jaringan, serta kongesti paru atau kongesti vena sistemik. Kegagalan ventrikel kiri
merupakan bentuk yang paling sering dari syok kardiogenik, namun bagian lain dari sistem sirkulasi
juga ikut bertanggung jawab terhadap gagalnya mekanisme kompensasi. Kebanyakan abnormalitas
ini sifatnya reversibel sehingga bagi pasien-pasien yang selamat, fungsi jantung mungkin masih
dapat dipertahankan Hipotensi sistemik, merupakan tanda yang terjadi pada hampir semua syok
kardiogenik. Hipotensi terjadi akibat menurunnya volume sekuncup/stroke volume serta menurunnya
indeks kardiak. Turunnya tekanan darah dapat dikompensasi oleh peningkatan resistensi perifer yang
diperantarai oleh pelepasan vasopresor endogen seperti norepinefrin dan angiotensin II. Namun
demikian gabungan dari rendahnya curah jantung dan meningkatnya tahanan perifer dapat
menyebabkan berkurangnya perfusi jaringan. Sehubungan dengan itu, berkurangnya perfusi pada
arteri koroner dapat menyebabkan suatu lingkaran setan iskemik, perburukan disfungsi miokardium,
dan disertai dengan progresivitas hipoperfusi organ serta kematian. Hipotensi dan peningkatan
tahanan perifer yang disertai dengan peningkatan PCWP terjadi jika disfungsi ventrikel kiri
merupakan kelainan jantung primernya. Meningkatnya tekanan pengisian ventrikel kanan terjadi jika
syok akibat kegagalan pada ventrikel kanan, misalnya pada gagal infark luas ventrikel kanan.
Namun pada kenyataannya sebuah penelitian SHOCK trial menunjukkan pada beberapa pasien post
MI, syok malahan disertai oleh vasodilatasi. Hal ini mungkin terjadi sebagai akibat adanya respon
inflamasi sistemik seperti yang terjadi pada sepsis. Respon inflamasi akut pada infark miokard
berkaitan dengan peningkatan konsentrasi sitokin. Aktivasi sitokin menyebabkan induksi nitrit
oksida (NO) sintase dan meningkatkan kadar NO sehingga menyebabkan vasodilatasi yang tidak
tepat dan berkurangnya perfusi koroner dan sistemik. Sekuens ini mirip dengan yang terjadi pada
syok septik yang juga ditandai dengan adanya vasodilatasi sistemik.2,12,13

Gambar 1. Patofisiologi Syok Kardiogenik. Gambaran Spiral syok, dimulai dari disfungsi ventrikel kiri dan
berakhir dengan kematian melalui kondisi iskemik dan disfungsi ventrikel kiri yang semakin progresif jika tidak
diberikan intervensi pengobatan. Alur spiral syok mendapat pengaruh negatif oleh (1) disfungsi sitolik dengan
berkurangnya curah jantung dan volume sekuncup sehingga menyebabkan terganggunya perfusi perifer dan
hipotensi. (2) disfungi diastolic sehingga menyebabkan hipoksemia dan kongesti paru, (3) munculnya sindrom
respon inflamasi sistemik (SIRS) yang didorong oleh nitrit oksida sintase endotel dan nitrit oksida sintase yang
terinduksi (eNOS dan iNOS), interleukin-6 (IL-6), TNF-, sehingga menyebabkan berkurangnya tahanan perifer.
Piihan terapi seperti PCI. CABG, LVADs, inotropik/vasopresor bertujuan untuk membalikkan alur spiral syok
diperlihatkan dengan garis warna hijau. Penghentian pengobatan akibat komplikasi perdarahan serta peran SIRS
diperlihatkan pada garis merah,12,13
PENANGANAN
Syok kardiogenik merupakan suatu kegawatdaruratan yang memerlukan tindakan resusitasi
sesegera mungkin sebelum syok menjadi ireversibel dan merusak organ-organ vital. Kunci
keberhasilan penatalaksanaan syok kardiogenik adalah pendekatan yang terorganisir untuk
mendapatkan diagnosis secara tepat dan cepat serta terapi farmakologik sesegera mungkin untuk
mempertahankan tekanan darah dan curah jantung. Seluruh pasien syok kardiogenik harus
dirawat di ruang perawatan intensif.3,4,8
Hipoperfusi sistemik berat yang terjadi dapat menyebabkan hipoksemia dan asidosis laktat yang
dapat lebih jauh lagi memperberat miokardium baik secara langsung maupun sebagai akibat dari
berkurangnya respon sistemik terhadap vaspresor seperti dopamin dan norepinefrin. Oleh karena
itu, jika memungkinkan koreksi terhadap kondisi metabolik seperti yang disebutkan diatas
sangatlah penting.3
Penanganan Suportif (Resusitasi dan Ventilasi)
Manajemen awal berupa resusitasi cairan bila dijumpai hipovolemia dan hipotensi,
kecuali dijumpai adanya edema paru. Pemasangan jalur vena sentral dan arteri, katetrisasi Swan-
Ganz, serta pulse oksimeter perlu dilakukan.3 Oksigenasi dan proteksi jalan nafas merupakan
hal yang penting di awal penanganan khususnya pada kondisi hipoksemia (SpO2 <90% atau
PaO2 < 60 mmHg), oksigen dapat diberikan mulai dari 40-60% selanjutnya dapat dititrasi
sampai SpO2 > 90%. Jika diperlukan, intubasi jalan nafas dan ventilasi mekanik dapat
dilakukan. Selain itu monitoring tekanan darah juga harus dilakukan.3,10
Hipovolemia dapat terjadi pada kasus syok kardiogenik misalnya dengan riwayat
penggunaan diuretik atau jika ada muntah. Pemberian terapi pengganti cairan harus dipantau
dengan pemeriksaan PCWP, saturasi oksigen arteri (SaO2), tekanan arteri sistemik, serta curah
jantung. Pemberian challenge volume intravaskular yakni saline isotonik sebanyak sekurangnya
250 mL dalam 10 menit dapat dilakukan sebelum tindakan kateterisasi pada jantung kanan jika
tidak ada bukti bendungan paru pada pemeriksaan fisik maupun rontgen torak serta pasien tidak
dalam keadaan distres pernafasan.10
a. Bila PCWP atau PAEDP < 15 mmHg (atau CVP < 12 cmH2O), sulit untuk
mengatakan adanya pump failure dan sebelum penanganan lebih lanjut, volume
cairan intravaskuler harus ditingkatkan hingga LVEDP mencapai 18 mmHg. Pada
keadaan ini, diberikan initial test volume sebanyak 100 ml cairan (D5%) melalui
infus dalam waktu 5 menit. Bila ada respon, berupa peningkatan tekanan darah,
peningkatan diuresis, perbaikan syok secara klinis, tanda-tanda kongesti paru tidak
ada atau tidak semakin berat, dan bila PCWP atau PAEDP tidak berubah atau tidak
meningkat > 2 mmHg di atas nilai awal (atau jika CVP tetap atau tidak meningkat >
2-3 cmH2O di atas nilai awal), maka diberikan cairan tambahan sebanyak 200 ml
dalam waktu 10 menit.
b. Bila selanjutnya PCWP atau PAEDP tetap stabil atau tidak meningkat > 2 mmHg atau
tidak melebihi 16 mmHg (atau jika CVP tetap < 15 cmH2O), tekanan darah tetap
stabil atau meningkat, atau tanda-tanda kongesti paru tidak timbul atau semakin
bertambah, maka infus dilanjutkan dengan memberikan cairan 500-1000 ml/jam
sampai tekanan darah dan gejala klinis syok lain menghilang. Periksa PCWP atau
PAEDP (atau CVP), tekanan darah, dan paru setiap 15 menit. Diharapkan PCWP
atau PAEDP akan meningkat sampai 15-18 mmHg (atau CVP meningkat sampai 15
cmH2O).
c. Jika pada awal pemeriksaan didapatkan nilai PCWP atau PAEDP antara 15-18 mmHg
(atau nilai CVP awal 12-18 cmH2O), maka diberikan infus cairan 100 ml dalam
waktu 10 menit. Pemberian cairan selanjutnya tergantung dari peningkatan PCWP
atau PAEDP (atau CVP), perubahan tekanan darah, dan ada tidaknya gejala klinis
kongesti paru.
d. Jika nilai PCWP atau PAEDP pada awalnya 20 mmHg atau lebih (atau jika nilai awal
CVP 20 cmH2O atau lebih), maka tidak boleh dilakukan tes toleransi cairan
intravena, dan pengobatan dimulai dengan pemberian vasodilator.
e. Jika PCWP atau PAEDP menunjukan nilai yang rendah (< 5 mmHg), atau jika nilai
CVP < 5cmH2O, infus cairan dapat diberikan walaupun didapatkan edema paru akut.
f. Jika pasien menunjukan adanya edema paru dengan nilai PCWP atau PAEDP yang
rendah dan dalam penanganan dengan pemberian infus cairan menyebabkan
peningkatan kongesti paru serta perburukan keadaan klinis, maka infus cairan harus
dihentikan dan keadaan pasien dievaluasi kembali.
Pada beberapa kondisi dukungan cairan yang lebih besar kadang-kadang diperlukan
misalnya pada syok kardiogenik akibat infark ventrikular kanan, dimana tekanan pengisian yang
tinggi diperlukan untuk memaksimalkan aliran ke ventrikel kiri. Infark pada ventrikel kanan
dapat disangkakan jika dijumpai gambaran infark inferior, lapangan paru bersih pada
pemeriksaan auskultasi serta syok. Pemberian cairan dalam jumlah banyak diindikasikan dalam
kasus ini sepanjang tidak dijumpai peningkatan tekanan vena jugularis/sentral. Pasien yang
datang dengan overload cairan dan edema paru kardiogenik tanpa adanya hipotensi dapat
diterapi dengan diuretik, morfin, suplemen oksigenm serta vasodilator.10
Manajemen Hemodinamik
Kateterisasi arteri pulmonalis (Swan-Ganz) saat ini tidak begitu sering dilakukan karena adanya
kontroversi dimana disebutkan dalam suatu studi prospektif observasional bahwa kateterisasi
arteri pulmonalis dapat memperburuk hasil pengobatan. Saat ini penilaian klinis lebih banyak
dilakukan dengan echocardiography. Melalui modalitas ini, tekanan sistolik arteri pulmonalis
dan tekanan baji dapat dihitung secara akurat dengan echocardiography dopler.
Dukungan farmakologi (inotropik dan vasopresor) harus digunakan dengan dosis sekecil
mungkin yang memberi efek terapeutik. Semakin tinggi dosis vasopresor, makan semakin kecil
angka keselamatannya. Hal ini disebabkan pada kenyataan bahwa keadaan penyakit yang
mendasarinya sudah sedemikian berat serta efek toksik obat itu sendiri. Pemberian inotropik
merupakan hal yang penting dalam penatalaksanaan syok kardiogenik. Namun sayangnya
dengan pemberian inotropik, konsumsi ATP miokardium juga meningkat, sehingga perbaikan
hemodinamik yang membaik dalam sesaat harus dibayar dengan peningkatan kebutuhan oksigen
jantung dimana pada saat yang sama jantung sendiri sudah mengalami kegagalan ditambah lagi
ketersediaan kebutuhan sudah terbatas. Namun demikian inotropik dan vasopresor saat ini tetap
dibutuhkan untuk mempertahankan perfusi koroner dan sistemik sambil menunggu pemasangan
IABP (Intra-aortic balloon pump) atau sampai syok berhasil ditangani. Data yang
membandingkan efektifitas penggunaan beberapa agen vasopresor masih sedikit. Dopamine,
norepinefrin dan epinefrin merupakan vaskonstriktor yang dapat digunakan untuk
mempertahankan tekanan darah yang adekuat dan membantu memperbaiki tekanan perfusi pada
hipotensi yang mengancam jiwa. Target tekanan arteri rata-rata (MAP) yakni 60-65 mmHg.
Pada Pasien dengan status perfusi jaringan tidak adekuat dan volume intravaskular yang
adekuat, inisiasi permberian obat inotropik dan atau vasopresor dapat mulai diberikan. Yang
termasuk obat vasopresor adalah dopamin, norepinefrin, epinefrin dan levosimendan Dosis
reguler dopamine adalah 5-10 mcg/kg/min namun dapat ditingkatkan hingga 20 mcg/kg/min.
Dosis norepinefrin adalah 8-12 mcg/min dapat ditingkatkan dan dalam keadaan sepsis dapat
ditingkatkan hingga 3,3 mcg/kg/min. obat-obat inotropik antara lain : dobutamin dan
fosfodiesterasi inhibitor (PDIs). Dosis dobutamin adalah 2,5-10 mcg/kg/min. Dalam keadaan
hipotensi ringan (TDS > 70-100 mmHg tanpa klinis syok), Dobutamin dapat digunakan, namun
dalam kondisi hipotensi berat dengan klinis syok yang nyata, pilihan yang terbaik adalah
dopamin (TDS 70-100 mmHg dengan klinis syok) dan norepinefrin (TD < 70 mmHg).9,10,11
Terapi lain
Pemberian terapi antitrombotik yakni aspirin dan heparin harus diberikan sebagaimana yang
telah direkomendasikan pada infark miokard. Clopidogrel dapat ditunda setelah tindakan
angiografi emergensi sebab, bisa saja setelah dilakukan angiografi, pasien selanjutnya
diputuskan akan segera menjalani bedah pintas jantung / CABG (coronary artery bypass
grafting). Clopidogrel dianjurkan bagi semua pasien yang menjalani PCI (pada pasien infark
miokard yang dalam keadaan syok ataupun tidak). Pemberian inotropik negatif dan vasodilator
(termasuk nitrogliserin) harus dihindari. Oksigenasi arteri dan pH darah harus dipertahankan
dalam batas normal untuk meminimalisasi iskemia. Pemberian insulin dapat meningkatkan
angka keselamatan pada pasien kritis yang mengalami hiperglikemia. Pemberian ventilasi
mekanik perlu dipertimbangkan baik melalui sungkup ataupun pipa endotrakeal. Hal ini
bermanfaat untuk menurunkan preload dan afterload serta mengurangi kerja pernafasan.10,11,13
Terapi Mekanikal : IABP (Intra-aortic balloon pump)
Intra-aortic ballon pump merupakan terapi mekanik yang sudah sejak lama digunakan pada
syok kardiogenik. IABP dapat memperbaiki perfusi koroner dan perifer melalui deflasi balon
pada saat sistole dan inflasi balon saat diastol sehingga afterload menjadi sangat berkurang dan
aliran ke koroner menjadi semakin baik. Namun tidak semua pasien dapat memberikan respon
hemodinamik terhadap pemasangan IABP, hal ini selanjutnya menjadi salah satu faktor
prognostik. IABP semestinya dilakuan secepatnya bahkan jika ada operator yang terlatih dan
prosedur memungkinkan untuk dilakukan secepatnya, maka IABP dapat dilakukan sebelum
pasien dikirim untuk tidakan revaskularisasi. Komplikasi dari tindakan ini semakin jarang
sejalan dengan dengan kemajuan zaman yakni sebesar 7,2% untuk komplikasi secara
keseluruhan dan 2,8%. Sesuai dengan guidelines terakhir ACC/AHA, direkomendasikan
pemasangan IABP (Intra Aortic Balloon Pump) secara dini pada pasien syok kardiogenik
sebagai terapi agresif. Intra aortic balloon pump (IABP) menurunkan afterload dan
meningkatkan tekanan diastol untuk memperbaiki curah jantung dan perfusi koroner. Pada
beberapa penelitian, IABP menurunkan angka kematian bila digunakan dalam usaha
revaskularisasi.11
Reperfusi
Reperfusi koroner dapat dilakukan dengan fibrinolisis, PCI (percutaneous coronary
intervention), atai CABG (coronary artery grafting baypass). Semakin cepat reperfusi
dilakukan, maka hasil yang didapat semakin baik. Keuntungan tindakan revaskularisasi dini
pada syok kardiogenik jelas terlihat pada beberapa studi observasional terutama pada SHOCK
trial yakni sebesar peningkatan angka keselamatan pada 1 tahun pertama sebesar 13% pada
pasien syok kardiogenik yang menjalani reperfusi dini. ACC/AHA merekomendasikan dalam
guideline agar revaskularisasi dilakukan pada pasien syok kardiogenik dengan usia <75 tahun.
Terapi trombolitik kurang efektif dibanding PCI namun dapat diindikasikan jika transport pasien
menuju sarana PCI tidak memungkinkan ataupun membutuhkan waktu yang lama dan jika onset
infark miokard dan syok kardiogenik terjadi dalam rentang waktu kurang dari atau sama dengan
3 jam. Waktu yang terbaik untuk PCI dini adalah 0-6 jam sejak onset. CABG diindikasikan pada
pasien dengan oklusi pada arteri left main atau sembatan terjadi pada 3 pembuluh darah.
Stenting dan pemberian obat golongan glikoprotein IIb/IIIa inhibitor memperlihatkan
peningkatan akan keberhasilan pada beberapa studi.10,11,13

Bantuan Sirkulasi Total


Bantuan sirkulasi total mencakup pemasangan LVADs (Left ventricular assist devices) dan
ECLS (Extra corporeal life support). Prinsip kerja kedua alat ini adalah mengalirkan darah
keluar dari ventrikel kiri dan memompakannya ke sistemik sehingga memungkinkan jantung
untuk istrahat, memulihkan miokard, memperbaiki kondisi neurohormonal, mencegah hipotensi,
iskemik dan disfungsi miokard. Namun pada prakteknya, aplikasi dari alat ini sangat terbatas
karena komplikasi yang disebabkan oleh alat itu sendiri serta adanya kerusakan organ yang
ireversibel.11
BAB III
PENUTUP

Syok kardiogenik merupakan suatu keadaan penurunan curah jantung dan perfusi
sistemik pada kondisi volume intravaskular yang adekuat, sehingga menyebabkan
hipoksia jaringan dimana TDS <90 mmHg selama sekurangnya 1 jam dimana :
(1) Tidak respon dengan pemberian tunggal terapi cairan
(2) Akibat sekunder dari disfungsi jantung
(3) Memiliki hubungan dengan tanda-tanda hipoperfusi atau indeks kardiak <2,2
L/mnt/m2 dan tekanan baji arteri pulmonalis (PAWP) >15mmHg
Manajemen syok kardiogenik meliputi penganan suportif (resusitasi dan ventilasi),
manajemen hemodinamik termasuk pemberian agen inotropik atau dan vasopresor, terapi
farmakologi lain (aspirin, heparin, clopidogrel), terapi mekanik (IABP), terapi reperfusi
(fibrinolitik, PCI, CABG) serta alat bantu sirkulasi (LVADs dan ECLS).
DAFTAR PUSTAKA

1. Hochman JS, Ohman EM. Cardiogenic Shock. The AHA Clinical Series. Wiley
Blackwell. Januari 2009
2. Hochman JS, Menon Venu. Clinical manifestations and diagnosis of cardiogenic shock
in acute myocardial infarction. UpToDate. Wolters Kluwer Health.Juni 2013[cited 19
June 2017].Available from:www.uptodate.com.
3. Ren X, Lenneman A. Cardiogenic Shock. Medscape Reference. May 2013[cited 19 June
2017] Available from www.emedicine.medscape.com
4. Hochman JS, Ingbar D. Cardiogenic Shock and Pulmonary Edema ; in Kasper DL et al.
Harrisons Principles of Internal Medicine. McGraw-Hill inc. USA ; 2005
5. Alwi I, Nasution SA. Syok Kardiogenik. Dalam Sudoyo AW dkk. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, ed kelima jilid I. Interna Publishing. Jakarta ; 2009:1035-37
6. McMurray JJ, Adamopoulos S, Anker SD, Auricchio A, Bohm M, Dickstein K, et al.
ESC guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2012:
the task force for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2012 of
the European society of cardiology. Developed in collaboration with the heart failure
association (HFA) of the ESC. Eur J Heart Fail. 2012;14(8):80369
7. De Backer D, Biston P, Devriendt J, Madl C, Chochrad D, Aldecoa C, Comparison of
dopamine and norepinephrine in the treatment of Shock. N Engl J Med.
2010;362(9):77989.
8. Perez P, Kimmoun A, Blime V, Levy B. Increasing mean arterial pressure cardiogenic
shock secondary to myocardial infarction: effects on hemodynamics and tissue
oxygenation. Shock. 2014;41(4):26974.
9. Thiele H, Zeymer U, Neumann FJ, Ferenc M, Olbrich HG, Hausleiter J, et al. Intra-aortic
balloon counterpulsation in acute myocardial infarction complicated by cardiogenic
shock (IABP-SHOCK II): final 12 month results of a randomised, open-label trial.
Lancet. 2013;112(9):1367-70.
10. Antman EM, Anbe DT, Armstrong PW, et al. ACC/AHA guidelines for the manage-
ment of patients with ST-elevation myocar- dial infarction: a report of the American
College of Cardiology/American Heart As- sociation Task Force on Practice Guidelines
(Committee to Revise the 1999 Guidelines for the Management of Patients with Acute
Myocardial Infarction). Circulation 2004; 110(9):e82-e292. [Errata, Circulation 2005;
111:2013-4, 2007;115(15):e411.
11. Reynolds HR, Hochman JS. Cardiogenic shock: current concepts and improving
outcomes. Circulation. Feb 5 2008;117(5):686-97

Anda mungkin juga menyukai