Anda di halaman 1dari 4

2.5.

2 Farmakokinetik dan Farmakodinamik

Farmakokinetika dan farmakodinamika pada pasien geriatri akan berbeda dari pasien

muda karena beberapa hal, yakni terutama akibat perubahan komposisi tubuh, perubahan faal

hati terkait metabolisme obat, perubahan faal ginjal terkait eksresi obat serta kondisi

multipatologi. Selain itu, perubahan status mental dan faal kognitif juga turut berperan dalam

pencapaian hasil pengobatan. Tidak dapat dipungkiri bahwa aspek psikososial juga akan

mempengaruhi penerimaan pasien dalam terapi medikamentosa (Anonima, 2006).

Perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik obat harus diperhatikan oleh dokter,

terutama dalam meresepkan obat kepada pasien geriatri. Selain itu, faktor lain yang

mempengaruhi pemberian obat pada pasien geriatri adalah multipatologi (adanya lebih dari

satu penyakit) pada pasien geriatri (Sudoyo, et al, 2009).

Selain adanya jenis penyakit yang berbeda pada pasien geriatri, terjadi pula kondisi

multipatologi (satu pasien menderita beberapa penyakit). Keadaan ini dapat terjadi karena

pasien geriatri biasanya menderita suatu penyakit yang akan cenderung menahun, dan

disusul oleh penyakit lain yang juga cenderung menahun akibat pertambahan usia, demikian

seterusnya. Di tengah perjalanannya, bukan tidak mungkin seorang pasien mengalami

kondisi akut seperti pneumonia atau infeksi saluran kemih yang mengakibatkan ia harus

dirawat. Kondisi akut yang terjadi pada seseorang dengan berbagai penyakit kronik

degeneratif sering kali menambah daftar obat yang harus dikonsumsi pasien (Anonima,

2006).

Pada beberapa situasi memang jumlah obat yang diberikan kepada pasien bisa lebih

dari dua macam, lebih dari tiga macam, atau bahkan lebih dari empat macam. Hal ini

disebabkan karena keadaan multipatologi yang diderita pasien geriatri. Namun demikian,

tetap harus diingat bahwa semakin banyak obat yang diberikan, maka semakin besar pula
risiko untuk terjadinya efek samping, dan yang lebih berbahaya lagi adalah bertambah pula

kemungkinan terjadinya interaksi di antara obat-obat tersebut (Anonima, 2006).

Menurut Michocki (2001) dalam Anonima (2006), keadaan multipatologi pada pasien

geriatri sebenarnya tidak boleh dikaitkan dengan multifarmasi atau yang lebih lazim dikenal

dengan istilah polifarmasi (dijadikan acuan untuk dilakukannya polifarmasi). Istilah

polifarmasi sendiri sebenarnya masih diartikan secara beragam oleh beberapa ahli. Beberapa

definisi antara lain, yaitu :

a. Meresepkan obat melebihi indikasi klinik

b. Pengobatan yang mencakup setidaknya satu obat yang tidak perlu

c. Penggunaan empiris lima obat atau lebih.

Menurut Barenbeim (2002) dalam Anonima (2006), apapun pengertian dari

polifarmasi, yang pastinya adalah polifarmasi mengandung risiko yang lebih besar

dibandingkan dengan manfaat yang dapat dipetik, sehingga sedapat mungkin dihindari.

Walaupun cara non farmakologi juga merupakan pilihan dalam penanganan berbagai

masalah pada pasien geriatri, namun obat tetap menjadi pilihan utama sehingga macam dan

jumlah obat banyak harus diperhatikan (Sudoyo, et all, 2009).

Perubahan Farmakokinetik

Oral Bioavailibility

Sejak 60 tahun yang lalu Vanzant dkk (1932) telah melaporkan terjadinya

aklorhidria (berkurangnya produksi asam lambung) dengan bertambahnya usia

seseorang. Aklorhidria terdapat pada 20-25% dari mereka yang berusia 80 tahun

dibandingkan dengan 5% pada mereka yang berusia 30 tahun-an. Maka obat-obat

yang absorbsinya dilambung dipengaruhi oleh keasaman lambung akan terpengaruh

seperti ketokonazol, indometasin, tetrasiklin dan siprofloksasin (Anonima, 2006).


Akhir-akhir ini dibicarakan pengaruh enzim gut-associated cytochrom P-450.

Aktifitas enzim ini dapat mempengaruhi bioavailibility obat yang masuk per oral.

Beberapa obat mengalami destruksi saat penyerapan dan metabolisme awal di hepar

(first-pass mtabolism di hepar); obat-obatan ini lebih sensitif terhadap perubahan

bioavailibility akibat proses menua. Jadi akibat penurunan aktivitas enzim terebut

maka destruksi obat berkurang dan dosis yang masuk kedalam sirkulasi meningkat

dua kali lipat (Anonima, 2006).

Distribusi Obat (Pengaruh Perubahan Komposisi Tubuh & Faal Organ Akibat

Penuaan)

Sesuai pertambahan usia maka akan terjadi perubahan komposisi tubuh.

Komposisi tubuh manusia sebagian besar dapat digolongkan kepada komposisi cairan

tubuh dan lemak tubuh. Pada usia bayi, komposisi cairan tubuh tentu sangat dominan;

ketika beranjak besar maka cairan tubuh mulai berkurang dan digantikan dengan

massa otot yang sebenarnya sebagian besar juga berisi cairan. Saat seseorang beranjak

dari dewasa ke usia lebih tua maka jumlah cairan tubuh akan berkurang akibat

berkurangnya pula massa otot (Anonima, 2006).

Sebaliknya, pada usia lanjut akan terjadi peningkatan komposisi lemak tubuh.

Persentase lemak pada usia dewasa muda sekitar 8-20% (laki-laki) dan 33% pada

perempuan, di usia lanjut meningkat menjadi 33% pada laki-laki dan 40-50% pada

perempuan. Keadaan tersebut akan sangat mempengaruhi distribusi obat larut air

(hidrofilik) akan menurun. Konsentrasi obat hidrofilik diplasma akan meningkat

karena jumlah cairan tubuh menurun. Dosis obat hidrofilik mungkin harus diturunkan

sedangkan interval waktu pemberian obat lipofilik mungkin harus dijarangkan

(Anonima, 2006).

Metabolic Clearance
Faal Hepar

Massa hepar berkurang setelah seseorang berumur 50 tahun; aliran darah ke

hepar juga berkurang. Secara umum metabolisme obat di hepar (biotransformasi)

terjadi di retikulum endoplasmik hepatosit, yaitu dengan bantuan enzim mikrosom.

Biotransformasi biasanya mengakibatkan molekul obat menjadi lebih polar sehingga

kurang larut dalam lemak dan mudah dikeluarkan melalui ginjal (Anonima, 2006).

Faal Ginjal

Fungsi ginjal akan mengalami penurunan sejalan dengan pertambahan umur.

Dengan menurunnya kadar GFR pada usia lanjut maka diperlukan penyesuaian dosis

obat; sama dengan pada usia dewasa muda yang dengan gangguan faal ginjal.

Pemberian obat pada pasien geriatri tanpa memperhitungkan faal ginjal sebagai organ

yang akan mengeksresikan sisa obat akan berdampak pada kemungkinan terjadinya

akumulasi obat yang pada gilirannya bisa menimbulkan efek toksik. Patokan

penyesuaian dosis juga dapat diperoleh dari infomasi tentang waktu paruh obat

(Anonima, 2006).

Perubahan Farmakokinetik

Sensitivitas jaringan terhadap obat juga mengalami perubahan sesuai pertambahan

umur seseorang. Mempelajari perubahan farmakodinamik usia lanjut lebih kompleks

dibanding farmakokinetiknya karena efek obat pada seseorang pasien sulit di kuantifikasi; di

samping itu bukti bahwa perubahan farmakodinamik itu memang harus ada dalam keadaan

bebas pengaruh efek perubahan farmakokinetik. Perubahan farmakodinamik dipengaruhi oleh

degenerasi reseptor obat dijaringan yang mengakibatkan kualitas reseptor berubah atau

jumlah reseptornya berkurang (Anonima, 2006).

Anda mungkin juga menyukai