Anda di halaman 1dari 34

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Stroke atau cedera serebrovaskuler (CVA/cerebrovascular accident) adalah
ketidaknormalan fungsi sistem saraf pusat (SSP) yang disebabkan oleh gangguan aliran
darah serebral. Stroke sebagai akibat dari cerebrovaskuler disease (CVD) yang
mengakibatkan defisit neurologi yang mempunyai awitan mendadak dan berlangsung
dalam waktu 24 jam (Smeltzer & Bare, 2010). Stroke adalah istilah yang digunakan
untuk menggambarkan perubahan neurologis yang disebabkan oleh adanya gangguan
suplai darah kebagian dari otak. Penyebab stroke bisa beragam seperti adanya sumbatan
akibat penggumpalan darah yang berasal dari trombosis ataupun embolik sehingga
menyebabkan aliran darah ke bagian otak tersebut mengalami gangguan, jumlah total
stroke iskemik sekitar 83% sisanya sebesar 17% adalah stroke hemoragik (Black, 2014).
Penyakit stroke merupakan penyebab kematian nomor tiga di Amerika Serikat dengan
jumlah sekitar 150.000 kematian setiap tahunnya dengan angka kejadian stroke sekitar
550.000 setiap tahun. Angka tersebut sudah termasuk untuk kejadian stroke pertama
ataupun stroke yang berulang.
Menurut WHO, 2011 penyebab kematian yang berasal dari stroke dimasukan dalam
kategori penyakit CVD sebanyak 31% dengan distribusi pembagian untuk laki-laki 11%
dan wanita 14%. Dalam laporan statistik WHO untuk tahun 2011-2025 diperkirakan tipe
penyakit yang mengalami peningkatan seperti penyakit pernafasan 22%, kanker 21%,
diabetes 6% dan sisanya penyakit kardiovaskular 51 %.
Stroke di Indonesia masih merupakan penyakit komplikasi dari dari cardiovascular
disease dengan jumlah data populasi yang didapat proporsi kematian pada usia 30-70
tahun 42,6% dengan presentasi populasi area urban sekitar 50,7%. Proporsi kematian
yang tercatat dalam data WHO tahun 2014 yaitu diabetes 6%, pernafasan kronik 5%,
kanker 13%, kecelakaan 7%, kematian yang berhubungan dengan ibu dan masalah gizi
buruk 22%, penyakit kardiovaskular 37%, lain-lain 10%. Faktor yang berkontribusi
menjadi risiko penyebab penyakit kardiovaskuler yang dapat mengakibatkan penyakit
stroke antara lain pertama obesitas tahun 2008 laki-laki 2,6% dan perempuan 6,9%.
Faktor kedua adalah peningkatan tekanan darah pada tahun 2008 untuk laki-laki 29,1%
dan perempuan 26,6%. Ketiga adalah konsumsi alkohol data yang diperoleh pada tahun
2010 untuk laki-laki 1,1% dan perempuan 0,1%. Sedangkan faktor yang keempat untuk
risiko yang terbesar adalah merokok didapat data pada tahun 2011 untuk laki-laki 67%
dan perempuan 3%.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Dengan dibuatnya presentasi kasus ruangan ini diharapkan sebagian besar
perawat dapat mengetahui dan mengerti tentang stroke, dapat mengetahui
etiologi dan patofisiologi sehingga dapat segera mendeteksi jika terdapat
manifestasi klinis dari penderita stroke dengan penatalaksanaan operasi
kraniotomi dan pemasangan VP Shunting, dengan begitu perawat dapat
meminimalkan terjadinya komplikasi dari penyakit tersebut dan yang paling
penting adalah dapat memberikan perawatan serta dapat menentukan asuhan
keperawatan yang tepat. Presentasi kasus ini adalah sharing dalam ilmu
pengetahuan kepada sesama perawat sehingga kompetensi perawat dalam
memberikan asuhan keperawatan dapat lebih ditingkatkan.

1.2.2 Tujuan Khusus


1.2.2.1 Mengetahui gambaran penyakit stroke serta penatalaksanaan yang
sudah dilakukan yaitu kraniotomi dan pemasangan VP Shunting.
1.2.2.2 Mengetahui pengaruh penambahan ilmu keperawatan terhadap kualitas
pemberian asuhan keperawatan
1.3 Rumusan Masalah
1.3.1 Apa definisi dari stroke?
1.3.2 Apa etiologi dari stroke?
1.3.3 Apa pembagian klasifikasi stroke?
1.3.4 Bagaimana manifestasi dari stroke?
1.3.5 Bagaimana patofisiologi terjadinya penyakit stroke?
1.3.6 Apa saja komplikasi dari stroke dan penanganan lanjutan dari stroke?
1.3.7 Bagaimana cara memberikan asuhan keperawatan yang tepat untuk penderita
stroke?
1.4 Manfaat Penulisan
1.4.1 Pelayanan Keperawatan
Memberikan perubahan pada praktik keperawatan tentang pentingnya sharing
ilmu keperawatan dan diharapkan bermanfaat bagi perawat agar dapat
dijadikan pedoman dalam pemberian asuhan pada pasien dengan stroke dan
penanganannya sehingga mengurangi dampak komplikasi yang tidak
diharapkan. Hasil makalah ini diharapkan bermanfaat bagi sesama perawat
sehingga terjadi perubahan perilaku (dengan peningkatan kognitif, afektif serta
psikomotor) sehingga memotivasi perawat untuk meningkatkan pelayanan dan
kualitas kepuasan pelanggan dapat dicapai.

1.4.2 Rumah Sakit


Ikut berperan serta dalam pengembangan ilmu keperawatan medikal bedah
khususnya dalam pemberian asuhan keperawatan dalam unit stroke sebagai
salah satu panduan pemberi asuhan kepada pasien dengan stroke.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Stroke adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan perubahan neurologis
yang disebabkan oleh adanya gangguan suplai darah kebagian dari otak. Dalam hal ini
ada dua jenis stroke yang utama berdasarkan penyebabnya yaitu stroke iskemik dan
hemoragik (Black, 2014).

Menurut Smeltzer & Bare, 2010 penyebab utama stroke iskemik biasanya
dikarenakan terjadinya sumbatan vaskular yang berakibat terjadinya hipoperfusi
jaringan otak, sedangkan untuk hemoragik dikarenakan ekstravasasi darah kedalam
otak atau ruang subarachnoid.

Dalam definisi yang dikemukakan oleh Doengoes, 2010 pengertian stroke adalah
injury atau kematian bagian otak yang disebabkan oleh interupsi atau gangguan suplai
darah kearea otak tersebut yang menyebabkan ketidakmampuan dapat berupa paralisis
atau kerusakan bicara.

Dari beberapa pengertian tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa stroke adalah
penyakit yang terjadi pada daerah otak karena adanya gangguan suplai darah kebagian
dari otak yang dapat disebabkan oleh sumbatan vaskular ataupun ekatravasasi darah
kedalam otak atau ruang subarachnoid yang menimbulkan perubahan neurologis
berupa ketidakmampuan berupa paralisis atau kerusakan bicara. Jenis stroke
dibedakan menjadi iskemik dan hemoragik.

2.2 ANATOMI FISIOLOGI


Otak dilindungi oleh tiga membran meninges yang membungkus, melindungi dan
memberi makan susunan saraf pusat. Meninges adalah membran yang membungkus
susunan saraf pusat dari lapisan terluar hingga terdalam pada bagian kepala. Tiga
membran tersebut :
1. Dura mater adalah pembungkus inelastik kuat yang terdiri dari dua lapisan.
Lapisan-lapisan tersebut merekat erat dan dibeberapa tempat keduanya terpisah
membentuk rongga berisi darah. Sinus dural atau rongga yang lebih besar sinus
venosus. Darah vena yang mengalir dari sinus ini akan dikembalikan ke jantung
dan cairan serebrospinal juga masuk kembali melalui salah satu dari sinus ini.
2. Arachnoid mater adalah lapisan halus yang banyak berisi pembuluh darah dengan
penampakan seperti sarang laba-laba. Ruang antara lapisan arachnoid dan pia
mater dibawahnya disebut ruang subarachnoid yang terisi oleh cairan
cerebrospinal. Penonjolan jaringan arachnoid disebut vili arachnoid yang akan
menembus celah-celah di dura diatasnya dan menonjol juga dalam sinus dura.
Cairan cerebrospinal ini direabsorpsi menembus permukaan vilus-vilus tersebut
yang akan kemudian masuk dalam sirkulasi darah
3. Pia mater adalah lapisan yang paling rapuh. Lapisan ini memiliki pembuluh darah
yang melekat erat ke permukaan otak dan medula spinalis dengan mengikuti
setiap tonjolan dan lekukan. Cairan cerebrospinal dibentuk terutama oleh pleksus
khoroideus yang terdapat dibagian-bagian tertentu rongga ventrikel otak.

Pengelompokan otak dalam Sherwood, 2012 menjadi :


1. Batang otak
Batang otak merupakan otak paling tua, bersambungan dengan medula spinalis.
Pada bagian ini terdiri dari otak tengah, pons, dan medula. Batang otak banyak
mengontrol dari proses untuk mempertahankan hidup seperti pernafasan, sirkulasi
dan pencernaan yang sering disebut sebagai proses-proses vegetatif yang berarti
fungsi yang dilakukan di bawah sadar atau involunter.
2. Serebulum
Yang melekat di bagian atas belakang batang otak, berkaitan dengan pemeliharaan
posisi tubuh yang tepat dalam ruang dan koordinasi bawah sadar aktivitas
motorik. Serebelum ini berperan dalam ketrampilan motorik.
3. Otak depan (forebrain)
Terletak diatas batang otak yang terdiri dari :
a. Diensefalon
Letak bagian ini diatas batang otak, didalam interior serebrum. Bagian ini
mengandung dua komponen yaitu :
1) Hipotalamus, yang mengontrol banyak fungsi homeostatik yang penting
untuk mempertahankan stabilitas lingkungan internal.
2) Talamus, berfungsi melakukan beberapa pemprosesan sensorik primitif.
b. Serebrum
Letak serebrum diatas bagian kerucut otak bawah dengan ukuran yang
semakin besar dan lebih berlekuk-lekuk, berat 80% dari berat total
otak.Serebrum dibagi menjadi dua bagian yang sama yaitu hemisfer serebri
kiri dan kanan.Kedua hemisfer berkomunikasi dan saling bekerja sama melalui
pertukaran informasi instan lewat koneksi saraf ini. Serebrum ini terdiri dari
dua lapisan yaitu :
1) Korteks serebri
Merupakan lapisan terluar dari serebrum yang berkelok-kelok, menutupi
bagian dalam yang mengandung nukleus basal.Dalam korteks serebri ini
terdapat empat lobus utama yaitu :
a) Lobus oksipital, terletak diposterior (di kepala belakang). Bagian lobus
ini melaksanakan pemprosesan awal masuknya penglihatan.
b) Lobus temporalis, terletak di lateral (di kepala samping).
c) Lobus parietalis, terletak dibelakang sulkus sentralis. Bagian lobus ini
terutama berperan menerima dan memproses masukan sensorik seperti
sentuhan, tekanan, panas, dingin dan nyeri. Korteks somatosensorik
terletak di bagian depan masing-masing lobus perietal tepat di
belakang sulkus sentralis. Korteks somatosensorik di masing-masing
sisi otak umumnya menerima masukan sensorik dari sisi tubuh yang
berlawanan, karena kebanyakan jalur asendens yang membawa
informasi sensorik ke medula spinalis menyeberang ke sisi yang
berlawanan untuk akhirnya berakhir di korteks. Karena itu, kerusakan
korteks somatosensorik di hemisfer kiri menyebabkan defisit sensorik
di sisi kanan tubuh, sementara gangguan sensorik di sisi kiri berkaitan
dengan keruskan di sisi kanan korteks.
d) Lobus frontalis, terletak di depan sulkus sentralis. Bagian ini berperan
dalam tiga fungsi utama yaitu aktivitas motorik volunter, kemampuan
berbicara dan elaborasi pikiran.
2) Nukleus basal
Merupakan bagian dalam dari korteks serebri.(Sherwood, 2012; Tortora,
2012; Martini, 2012)
2.3 KLASIFIKASI
Stroke dapat diklasifikasikan menurut etiologinya dalam Black, 2014 dibagi menjadi :
1. Stroke iskemik, adalah stroke yang menimbulkan jaringan otak mengalami
iskemik dan berlanjut pada nekrosis. Terjadi karena adanya proses trombosis,
emboli dan spasme pembuluh darah otak. Trombosis terjadi karena trombus
(penggumpalan) yang mulai terjadi dari adanya kerusakan pada bagian garis
endotelial dari pembuluh darah yang, aterosklerosis merupakan penyebab utama.
Trombus bisa terjadi di semua bagian bagian sepanjang arteri karotid atau cabang-
cabangnya. Stroke karena trombosis adalah tipe yang paling sering terjadi pada
orang dengan diabetes. Stroke lakunar adalah stroke pada pembuluh darah yang
kecil. Bagian endotelium dari pembuluh darah kecil dipengaruhi sebagian besar
oleh kondisi hipertensi, yang menyebabkan penebalan dari dinding pembuluh
darah dan penyempitan. Infark lakunar juga sering terjadi pada penderita diabetes.
Embolus terbentuk di bagian luar otak, kemudian terlepas dan mengalir melalui
sirkulasi serebral sampai embolus tersebut melekat pada pembuluh darah dan
menyumbat arteri. Embolus yang tersering adalah plak. Emboli bisa terjadi pada
seluruh bagian pembuluh darah serebral. Kejadian emboli pada serebral
meningkat bersamaan dengan meningkatnya usia.
2. Stroke hemoragik, adalah stroke yang menimbulkan perdarahan pada intrakranial
seperti intraserebral hemoragik, epidural hematom, subdural hematom,
subarachnoid hematom yang mana disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah
otak baik karena hipertensi yang berlebihan ataupun pecahnya aneurisma serebral.
Perdarahan intraserebral paling banyak disebabkan oleh ruptur arteriosklerotik dan
hipertensi pembuluh darah. Penyebab perdarahan intraserebral paling sering akibat
dari hipertensi dan terjadi setelah usia 50 tahun, selain itu bisa juga karena
aneurisma. Stroke hemoragik biasanya menyebabkan terjadinya kehilangan fungsi
yang banyak dan penyembuhannya paling lambat. Jumlah volume perdarahan
merupakan satu-satunya prediktor paling penting untuk melihat kondisi klien.
Klasifikasi stroke menurut perjalanan penyakitnya (Smeltzer & Bare, 2010; Black,
2014; Doengoes, 2010) :
1. Transient Ischemic Attacks (TIA)
TIA merupakan gangguan neurologis fokal yang timbul secara tiba-tiba dan
pulih kembali dalam beberapa detik sampai beberapa jam, paling lama 24 jam.
Tanda dan gejala dari kelompok ini adalah gangguan neurologis lokal.
2. Resersible Ischemic Neurologic Deficit (RIND)
RIND mirip dengan TIA tetapi kejadiannya lebih lama dari pada TIA dimana
gejala hilang lebih dari 24 jam tetapi tidak lebih dari satu minggu
3. Stroke Progresif (Stroke in evolution)
Merupakan perkembangan stroke kearah yang lebih berat yang terjadi secara
perlahan yang dapat menyebabkan kelainan neurologis menetap (permanen)
dengan karakteristik yang timbul seperti gejala TIA diatas gejala yang timbul
makin lama makin bertambah buruk yang dapat terjadi dalam beberapa jam
sampai beberapa hari.
4. Stroke Komplet (Stroke Complete)
Stroke lengkap adalah stroke yang menunjukkan gangguan neurologis yang
permanen sejak awal serangan dan sedikit sekali memperlihatkan perbaikan.
Karakteristik utama yang timbul berawal dari serangan TIA yang berulang kali
diikuti oleh stroke in evolution. Perbaikan gangguan neurologis terjadi sedikit
dan akan banyak menimbulkan gejala sisa.

2.4 ETIOLOGI
Faktor-faktor risiko yang dapat dimodifikasi menurut Smeltzer & Bare, 2010; Black,
2014 yaitu :
1. Pengontrolan tekanan darah yang adekuat bagi penderita hipertensi
2. Diabetes melitus
3. Pengenalan dini dan pengobatan untuk penyempitan pembuluh karotis dan
pengobatan TIA
4. Hiperlipidemia
5. Merokok
6. Konsumsi alkohol berlebihan
7. Penggunaan obat-obat terlarang
8. Obesitas
9. Gunakan kontrasepsi oral dengan dosis estrogen yang rendah dan digunakan jika
tidak ada faktor-faktor risiko lain

Faktor-faktor yang tidak bisa dimodifikasi adalah :


1. Usia
2. Jenis kelamin
3. Ras
4. Genetik

Etiologi menurut Doengoes, 2010 :


1.Stroke iskemik
a. Sumbatan pembuluh darah besar yang disebabkan oleh trombotik dan embolik
yang berpangaruh terjadinya hipoperfusi, hipertensi dan penyebaran emboli ke
pembuluh darah arteri sampai ke cabang yang ada di bagian distal
b. Sumbatan pembuluh darah kecil yang merupakan tipe stroke trombotik berasal
dari plak, diabetes atau hipertensi
c. Stroke kardioembolik dapat disebabkan oleh karena adanya atrial fibrilasi,
penyakit pembuluh darah atau trombus ventrikular
d. Tipe iskemik troke lain bisa disbabkan oleh hiperglikemia, hiperinsulinemia,
pembedahan arteri, artritis dan penyalahgunaan obat-obatan terlarang
2. Stroke hemoragik
a. Penyebab perdarahan (subarachnoid atau intraserebral) disebabkan keran
kondisi seperti pecahnya aneurisma, arteriovenous malformation (AVM),
trauma, infeksi, tumor, kekurangan faktor pembekuan darah
b. Faktor risiko yang terbesar : hipertensi

2.5 PATOFISIOLOGI
Trombus dan embolus pada pembuluh darah otak mengakibatkan aliran darah ke otak
berkurang atau terhenti sama sekali ke daerah distal otak yang mengalami trombus
dan emboli, sehingga otak mengalami kekurangan sumber kalori berupa glukosa dan
mineral lain dan juga oksigen. Iskemia terjadi ketika aliran darah menurun kurang
dari 25 ml per 100 g/menit. Penurunan aliran darah srebral menyebabkan terjadinya
daerah penumbra dan berkembang menjadi daerah infark. Daerah penumbra adalah
daerah otak yang iskemik dan terdapat pada daerah sekitar yang mengelilingi daerah
infark. Daerah ini dapat segera mengalami infark jika tidak dilakukan tindakan
penyelamatan, daerah ini dapat diselamatkan dengan cara meningkatkan aliran darah
serebral yang akan menuju daerah tersebut dalam waktu yang cepat. Apabila tidak
dilakukan penyelamatan pada daerah penumbra akan terjadi pembesaran area infark
pada daerah penumbra dan akan memperberat gangguan neurologis terutama stroke
iskemik. Area infark dan penumbra ini akan menimbulkan bertambah luasnya edema
otak disekitar penumbra dan infark sebagai akibat tekanan dan iskemia sehingga
menyebabkan gangguan sistem saraf yang lebih luas yang bersifat sementara. Proses
evolusi dari jaringan iskemik ke arah infark ini cukup cepat, menurut penelitian
Nortje & Menon (2004) iskemik selama 8-12 jam menimbulkan keadaan neuron
mengecil dan kematian jaringan. Cerebral blood flow (CBF) sebesar 18 ml/100
gram/menit selama 4 jam akan menimbulkan infark. CBF sebesar 15 ml/100
gram/menit akan menimbulkan infark dalam waktu 3,5 jam. CBF 10 ml/100
gram/menit akan terjadi proses infark dalam waktu 3 jam. CBF 5 ml/100 gram/menit
menimbulkan infark dalam waktu 30 menit.

Stroke hemoragik terjadi sesuai dengan penyebab perdarahan otak dan lokasi
perdarahannya. Perdarahan subarachnoid dapat terjadi sebagai akibat trauma atau
hipertensi, tetapi penyebab yang paling utama adalah kebocoran aneurisma pada area
sirkulus villis dan kelainan bentuk arteri-vena (AVM). Perdarahan tersebut dapat
menyebabkan meningkatnya tekanan dalam otak yang menimbulkan terjadinya proses
menekan dan merusak jaringan otak disekitarnya. Daerah yang tertekan tersebut
selanjutnya akan mengalami edema sekunder akibat iskemia dan meningkatnya
tekanan intrakranial yang semakin berat. Perdarahan subarachnoid juga disebabkan
oleh efek sekunder terjadinya iskemia pada otak akibat adanya penurunan tekanan
perfusi dan vasospasme. Perdarahan intraserebral paling sering terjadi pada pasien
stroke dengan hipertensi dan aterosklerosis. Selain penyakit tadi bisa juga disebabkan
oleh tumor otak dan penggunaan obat antikoagulan juga amphetamine. Perdarahan
biasanya terjadi pada daerah seperti lobus otak, basal ganglia, talamus, pons dan
serebulum, intraventrikular (Black, 2014; Doengoes, 2010)
2.6 TANDA DAN GEJALA
Menurut Black, 2014; Doengoes, 2010; Smeltzer & Bare, 2010 manifestasi stroke
sangat beragam, yang sering terjadi tanda dan gejala biasanya secara mendadak, fokal
dan mengenai satu sisi. Diantaranya :
1. Kelemahan pada alat gerak
2. Penurunan kesadaran
3. Gangguan penglihatan
4. Gangguan komunikasi
5. Sakit kepala
6. Gangguan keseimbangan
7. Gangguan kognitif
8. Kecemasan

Stroke iskemik dihubungkan dengan bagian arteri yang terkena menurut Black, 2014
yaitu :
1. Arteri karotis interna
Lokasi lesi yang paling sering biasanya pada bifurkasio arteri karotis komunis
yang bercang menjadi arteri karotis interna dan karotis eksterna, gejala yang
sering tampak adalah :
a. Paralisis pada wajah, tangan dan kaki bagian sisi yang berlawanan
b. Gangguan sensoeri pada wajah, tangan dan kaki bagian sisi yang berlawanan
c. Afasia jika yang terkena adalah daerah hemisfer dominan (hemisfer kiri)
khususnya daerah Brocas (ekspresi atau motorik) atau Werhnics (sensori
atau penerima) atau kedua-duanya.
2. Atreri serebri anterior
Lokasi lesi pada daerah ini paling jarang terkena, apabila sudah terkena dapat
menimbulkan gejala seperti :
a. Paralisis pada kaki sisi yang berlawanan
b. Gangguan keseimbangan
c. Gangguan pada kaki dan jari daerah yang berlawanan
d. Gangguan kognitif
e. Inkontinensia urin
3. Arteri serebri posterior
Lesi yang terkena pada daerah ini dalam lobus otak tengah/talamus, gangguan
yang muncul seperti :
a. Gangguan kesdaran sampai koma
b. Kerusakan memori
c. Gangguan penglihatan
4. Arteri serebri media
Gejala dominan yang dapat ditimbulkan adalah :
a. Hemiplegi kontralateral pada kedua ekstremitas
b. Kadang-kadang kebutaan
c. Afasia global (gangguan semua fungsi yang ada hubungannya dengan
percakapan dan komunikasi

Manifestasi klinis stroke dengan penyebab yang berbeda menurut Black, 2014 :
Penyebab Manifestasi klinis
Trombosis - Cenderung terjadi pada saat tidur atau dalam waktu
satu jam setelah bangun
- Iskemik terjadi secara perlahan, sehingga manifestasi
klinis terjadi lebih perlahan daripada stroke yang
terjadi karena perdarahan atau emboli
Emboli - Keberlangsungan kesadaran relatif
- Hipertensi
- Pola waktu tidak dapat diprediksi, tidak berhubungan
dengan aktivitas
Perdarahan - Manifestasi klinis terjadi dengan cepat dalam waktu
10-30 detik dan sering tanpa peringatan
- Bisa terjadi perbaikan yang cepat
- Keberlangsungan kesadaran relatif
- Tekanan darah normal
- Sering terjadi pada seseorang dalam kondisi aktif, jam
bangun
- Sakit kepala yang parah dan tegang pada leher bagian
belakang
- Serangan hemiplegia lengkap dengan cepat, terjadi
selama hitungan menit sampai satu jam
- Biasanya mengakibatkan kehilangan fungsional
permanen dan luas yang lebih lambat dan waktu
penyembuhan menyeluruh yang lebih sedikit
- Progresi ke arah kondisi koma yang cepat

2.7 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK


Menurut Smeltzer & Bare, 2010; Doengoes, 2010; Black, 2014 pemeriksaan yang
dapat dilakukan untuk menentukan gambaran stroke yang akurat :
1. CT scan kepala
2. MRI kepala standar, tetapi akan terbatas untuk mendiagnosis iskemik akut karena
infark biasanya tidak akan muncul sampai 8-12 jam.
3. Tehnik MRI baru seperti DWI (Diffusion Weighted Imaging) dan PI (Perfusion
Imaging), bisa memperbaiki diagnosis dan pengobatan dari stroke akut. Tehnik
memiliki sensitivitas dan resolusi anatomi yang lebih besar serta memiliki
kemampuan untuk mendeteksi lebih awal dan memberikan gambaran dari stroke
iskemik akut
4. EKG, untuk menyingkirkan dugaan fibrilasi atrium
5. ECHO, jika dicurigai adanya emboli atrium
6. Carotid Duplex Scanning, untuk mendeteksi stenosis atau sumbatan pada arteri
karotis
7. Pemeriksaan laboratorium seperti darah lengkap, platelet, faktor pembekuan,
analisa gas darah, fungsi ginjal dan glukosa
8. Lumbal punksi, untuk mengetahui tekanan itraserebral dan membantu
menganalisis penyebab CVA

2.8 PENATALAKSANAAN
Menurut Smeltzer & Bare, 2010; Black, 2014 manajemen medis dari pasien dengan
stroke :
1. Identifikasi awal stroke dengan menggunakan alat pengkajian standar seperti
Acute Stroke Quick Screen dan National Institutes of Health Stroke Scale (NIHSS)
Petunjuk Penjelasan skala
1a. Tingkat kesadaran. 0 = sadar/waspada, respons sepenuhnya
Pemerika harus memilih respons, 1 = tidak waspada, tidak mampu
bahkan jika evaluasi yang lengkap tidak bergerak dengan stimulus minor
bisa dilakukan karena beberapa untuk mematuhi, menjawab atau
hambatan seperti adanya selang merespons
endotrakeal, hambatan bahasa, trauma 2 = tidak waspada, membutuhkan
orotrakeal atau balutan. stimulus berulang atau stimulus
Skor 3 diberikan hanya jika klien tidak rasa nyeri untuk membuat gerakan
membuat gerakan apapun selain dari (bukan stereotipe atau gerakan
refleks potur dalam merespons stimulus berulang yang konstan tapi
yang tidak menyenangkan memiliki arti)
3 = merespons hanya dengan refleks
motorik atau refleks autonom atau
tidak merespons sama sekali,
lemah, tidak ada refleks
1b. Pertanyaan tingkat kesadaran. 0 = menjawab kedua pertanyaan dengan
Tanyakan pada pasien bulan apa saat ini benar
dan usianya. Jawaban harus benar 1 = menjawab satu pertanyaan dengan
tidak ada nilai untuk jawaban yang benar
hampir benar. Pasien dengan afasia dan 2 = tidak menjawab kedua pertanyaan
stupor yang tidak memahami dengan benar
pertanyaan diberikan skor 2. Pasien
yang tidak dapat bicara karena intubasi,
trauma orotrakeal, disartria yang parah
karena berbagai sebab, kendala bahasa
atau masalah lainnya yang bukan akibat
dari afasia diberi skor 1. Penting untuk
diketahui bahwa hanya jawaban
pertama yang dinilai dan penguji tidak
akan membantu klien dengan isyarat
verbal ataupun nonverbal
1c. Perintah tingkat kesadaran. 0 = melakukan kedua tugas dengan
Pasien diminta untuk membuka dan benar
menutup mata, serta kemudian untuk 1 = melakukan satu tugas dengan benar
menggenggam dan melepaskan 2 = tidak melakukan kedua tugas
genggaman pada tangan yang tidak tersebut
paresis. Ganti perintah yang lain jika
tangan tidak bisa digunakan. Nilai
diberikan jika terlihat usaha yang nyata
dilakukan tapi tidak selesai karena
kelemahan. Jika pasien tidak merespons
terhadap perintah, perintah tersebut
harus diperagakan dengan gerakan dan
catat hasilnya misalnya tidak mengikuti
sama sekali, mengikuti satu atau dua
perintah. Pasien dengan trauma,
amputasi atau dengan hambatan fisik
harus diberikan perintah sesuai dengan
kondisi mereka. Hanya usaha pertama
yang akan dinilai
2.Pandangan. 0 = normal
Hanya gerakan mata horizontal yang 1 = gangguan pandangan sebagian, skor
akan diuji. Adanya gerakan volunter ini diberikan jika pandangan
atau reflektif (okulosefalik) dari mata tersebut abnormal pada salah satu
yang akan dinilai, tapi tes kalorik tidak atau kedua mata, tapi tidak
akan dilakukan. Jika pasien memiliki terdapat penyimpangan yang
deviasi konjugasi pada mata yang dapat dipaksa atau kelumpuhan
melakukan aktivitas volunter atau pandangan total
reflektif diberi skor 1. Jika pasien 2 = penyimpangan yang dipaksa atau
memiliki paresis pada saraf tepi yang kelumpuhan pandangan total,
terisolasi (SK III, IV atau VI) diberi tidak dapat diatasi dengan
skor 2. Tatapan bisa diperiksa pada manuver okulosefalik
semua pasien dengan afasia. Pasien
dengan trauma okular, adanya balutan,
kebutaan yang sudah ada sebelumnya,
gangguan ketajaman penglihatan, atau
lapangan pandangan lainnya harus
diperiksa dengan gerakan refleksif. Dan
pilihan ditentukan oleh pemeriksa.
Mempertahankan kontak mata dengan
pasien, kemudian bergerak dari satu sisi
ke sisi lainnya pada pasien biasanya
akan memperjelas adanya gangguan
kemampuan pandangan
3.Penglihatan. 0 = tidak ada gangguan penglihatan
Lapang pandang (kuadran atas dan 1 = hemianopia sebagian
bawah) diuji dengan saling berhadapan. 2 = hemianopia lengkap
Menggunakan jari tangan, atau 3 = hemianopia bilateral (kebutaan,
perlakuan pada penglihatan yang sesuai. termasuk kebutaan pada korteks)
Pasien harus didukung, tapi jika dia
melihat dengan benar ke bagian sisi
jari-jari yang bergerak hal ini bisa
diberikan skor normal. Jika terjadi
kebtaan unilateral atau enukleasi,
lapang pandang pada mata yang tidak
mengalami kebutaan yang akan dinilai.
Skor 1 jka asimetri yang nyata termasuk
kuadrantanopia ditemukan. Jika pasien
buta karena penyebab lain, diberi skor
3. Stimulasi rangkap berulang
dilakukan pada tahap ini, jika ada
extinction (gangguan penglihatan
neurologis), pasien menerima skor 1
dan hasilnya digunakan untuk
menjawab pertanyaan 11
4.Kelumpuhan pada wajah. 0 = gerakan simetrikal normal
Minta pasien dengan kalimat atau 1 = kelumpuhan minor (lipatan
gerakan untuk memperlihatkan gigi nasolabial menjadi datar, asimetris
atau senyum dan menutup mata. Kaji pada saat tersenyum)
kesimetrisan ekspresi meringis terhadap 2 = kelumpuhan sebagian (kelumpuhan
respons pada stimulus yang tidak total atau hampir total pada wajah
menyenangkan pada pasien dengan bagian bawah)
kemampuan merespons yang brurk atau 3 = kelumpuhan total (tidak adanya
tidak punya kemampuan memahami. gerakan pada wajah bagian atas
Jika terdapat trauma atau balutan, dan bawah)
selang orotrakeal, plester atau halangan
fisik lainnya pada wajah pasien, benda-
benda tersebut dapat disingkirkan
sebisa mungkin untuk tidak
menghalangi
5.Dan 6. Gerakan lengan dan tungkai. 0 = tidak ada perubahan gerakan,
Anggota gerak diletakkan pada posisi lengan menahan 90/45 selama 10
yang benar, ekstensi bagian lengan 90 detik penuh
(jika duduk) atau 45 (jika berbaring) 1 = terjadi perubahan gerak, lengan
dan tungkai 30 (harus dalam keadaan menahan 90/45 tapi bergerak
baring). Perubahan yang terjadi dinilai turun sebelum 10 detik penuh,
jika lengan terjatuh sebelum 10 detik tidak mengenai tempat tidur atau
dan tungkai sebelum 5 detik. Ketika pendukung lainnya
melakukan pemeriksaan ini pada pasien 2 = terjadi beberapa usaha menahan
afasia, dilakukan dengan penekanan gravitasi, lengan tidak dapat atau
suara atau gerakan tubuh tapi tidak mempertahankan (jika ada
dengan stimulus yang tidak indikasi) 90/45, bergerak turun
menyenangkan. Setiap anggita gerak kearah tempat tidur tapi terlihat
diperiksa secara berurutan, dimulai ada usaha untuk melawan
dengan lengan yang tidak lumpuh. gravitasi
Hanya dalam kasus amputasi atau 3 = tidak ada usaha melawan gravitasi,
persambungan sendi pada bahu dan lengan terjatuh kebawah
panggul yang diberi skor 9. Pemeriksa 4 = tidak ada gerakan
harus dengan jelas menuliskan 9 = amputasi, ada sambungan sendi
penjelasan untuk pemberian skor 9 ini (jelaskan)
5a = lengan kiri 5b = lengan kanan
0 = tidak ada perubahan gerakan,
tungkai menahan 30 selama 5
detik penuh
1 = terjadi perubahan gerak, tungkai
terjatuh pada akhir 5 detik tetapi
tidak mengenai tempat tidur
2 = terjadi beberapa usaha menahan
gravitasi, tungkai terjatuh ke
tempat tidur tapi terlihat ada
usaha untuk melawan gravitasi
3 = tidak ada usaha melawan gravitasi,
tungkai terjatuh ke tempat tidur
dengan cepat
4 = tidak ada gerakan
9 = amputasi, ada sambungan sendi
(jelaskan)
6a. Tungkai kiri 6b. Tungkai kanan
9. Kehilangan kontrol gerakan 0 = tidak ada kelainan
(ataksia) pada anggota gerak tubuh 1 = terjadi ataksia pada satu anggota
bagian atas (lengan) gerak
Bagian ini ditujukan untuk menemukan 2 = terjadi ataksia pada dua anggota
bukti adanya lesi serebral unilateral. gerak jika terjadi, apakah ataksia
Cara pemeriksaan dengan mata terjadi pada lengan kanan : 1 = ya,
terbuka, seandainya terdapat gangguan 2 = tidak
penglihatan, pastikan pemeriksaan 9 = amputasi atau ada sambungan
dilakukan pada lapang pandang yang sendi, jelaskan : lengan kiri ; 1 =
normal. Tes jari-hidung-jari dan tumit- ya, 2 = tidak
tulang depan tungkai dilakukan pada 9 = amputasi atau ada sambungan
kedua sisi, dan ataksia dinilai hanya sendi, jelaskan : tungkai kanan; 1
jika tidak terdapat kelemahan. Ataksia = ya, 2 = tidak
tidak terjadi pada klien yang tidak 9 = amputasi atau ada sambungan
dapat memahami atau hemiplegia; sendi, jelaskan : tungkai kiri; 1 =
hanya dalam kasus amputasi atau ya, 2 = tidak
penyambungan sendi bisa diberi skor 9 9 = amputasi atau smabungan sendi;
dan pemeriksa harus dengan jelas jelaskan
menuliskan alasan tidak melakukan
penilaian. Dalam kasus kebutaan,
lakukan tes dengan menyentuh hidung
dari posisi lengan yang ekstensi
10. Sensori 0 = normal, tidak ada penurunan sensori
Sensori atau ekspresi wajah terhadap 1 = penurunan sensori ringan sampai
tusukan benda tajam (peniti) atau usaha sedang, pasien merasakan tusukan
menarik diri dari stimulus nyeri peniti tidak begitu tajam atau
diperiksa pada pasien yang tidak tumpul pada bagian yang terkena
memiliki rasa sensitivitas atau ataksia. atau tidak dapat merasakan nyeri
Hanya penurunan sensori yang permukaan dengan tusukan peniti
dihubungkan dengan stroke yang dinilai tapi pasien merasakan adanya
sebagai abnormal dan pemeriksa harus sentuhan
memeriksa bagian tubuh sebanyak 2 = penurunana sensori yang parah atau
mungkin (lengan bukan tangan, total, pasien tidak sadar akan
tungkai, bagian dada, wajah) yang sentuhan
dibutuhkan untuk memriksa adanya
kehilangan hemisensori secara kurat.
Skor 2 parah atau total hanya bisa
diberikan jika kehilangan sensasi yang
parah atau total dapat degan jelas
terlihat. Pasien yang stupor atau afasia
bisa diberikan skor 1 atau 0. Pasien
dengan stroke pada batang otak yang
menderita kehilangan sensori bilateral
diberi skor 2. Pasien yang koma
(pertanyaan 1a = 3) dapat diberikan
skor 2 pada bagian ini.
11. Bahasa 0 = tidak ada afasia, normal
Informasi yang penting tentang 1 = afasia ringan ke sedang, jelas
pemahaman bisa didapatkan selama terlihat beberapa kehilangan
sesisebelum pemeriksaan. Pasien dalam kelancaran pemahaman,
diminta untuk menggambarkan apa tanpa batasan yang signifikan
yang terjadi pada gambar yang terhadap ide yang disampaikan
diperlihatkan, menyebutkan benda- atau bentuk ekspresi. Penurunan
benda pada kertas yang sudah diberikan kemampuan berbicara dan atau
nama, dan membaca daftar kalimat pemahaman, bagaimanapun
yang tertulis. Pemahaman dinilai dari menimbulkan kesulitan dan atau
respons pada tugas tersebut dan juga tidak mungkin membuat
untuk semua perintah pada pemeriksaan percakapan atas materi yang
neurologis keseluruhan sebelumnya. diberikan. Contohnya dalam
Jika kehilangan penglihatan percakapan mengenai materi yang
mengganggu tes, minta pasien untuk diberikan, pemeriksa dapat
mengidentifikasi objek yang diletakkan mengidentifikasi gambar atau
pada telapak tangan, mengulang dan kartu bernama dari repons pasien
mengeluarkan suara bicara. Pasien 2 = afasia berat; seluruh komunikais
degan intubasi harus diminta untuk dilakukan melalui ekspresi yang
menulis kalimat, pasien yang koma terpotong-potong; butuh usaha
(pertanyaan 1a = 3) akan langsung yang keras oleh pendengar untuk
diberikan skor 3. Pemeriksa harus menyimpulkan, bertanya dan
memilih skor untuk pasien dengan menebak. Rentang informasi yang
stupor atau memiliki keterbatasan bisa disampaikan sangat terbatas;
dalam bekerja sama, tapi skor 3 hanya pendengar akan mengalami
bisa diberikan kapada pasien yang tidak kesulitan dalam berkomunikasi.
bersuara adn tidak mengikuti semua Pemeriksa tidak dapat
perintah. mengidentifikasi materi yang
diberikan dari respons pasien
3 = diam, afasia global; tidak ada
ucapan yang dapat digunakan atau
pemahaman auditori
12. Disartria 0 = normal
Jika pasien diperkirakan dalam keadaan 1 = ringan ke sedang, pasien
normal, contoh bicara yang adekuat menggumamkan paling tidak
bisa didapatkan dengan meminta pasien beberapa kata dan setidaknya
untuk membaca atau mengulangi kata- masih bisa dipahami walaupun
kata dari daftar kata yang diberikan. sulit
Jika pasien mengalami afasia yang 2 = parah, cara bicara pasien sangat
parah, kejelasan artikulasi dari bicara tidak jelas dan tidak akan mungkin
yang spontan bisa dinilai. Hanya jika dimengerti dalam tanpa adanya
pada pasien terpasang intubasi atau disfasia, atau diam/anartik
memiliki hambatan fisik lainnya untuk 9 = ada intubasi atau hambatan fisik
berbicara diberi skor 9, dan penguji lainnya; jelaskan
harus menuliskan dengan jelas alasan
untuk tidak melakukan penilaian.
Jangan memberitahukan pasien
mengapa mereka dites.
13. Extinction (gangguan penglihatan 0 = tidak ada abnormalitas
neurologis) dan in attention (tidak 1 = penglihatan, perabaan, penciuman,
ada perhatian) yang sebelumnya pemahaman akan ruang atau tidak
dikenal dengan Negleksi ada perhatian secara personal atau
Informasi yang cukup untuk extinction terhadap stimulasi
mengidentifikasi neglesi bisa bilateral secara stimultan pada
didapatkan selama waktu sebelum salah satu tindakan sensoris
pemeriksaan. Jika pasien menderita 2 = hemi-inattention terhadap lebih dari
gangguan penglihatan yang parah yang satu tindakan; tidak mengenali
menghalangi stimulasi penglihatan pada tangan sendiri atau hanya
kedua mata secara bersamaan dan mengenali satu sis bagian dari
stimulasi kutaneus normal, maka diberi ruangan
skor normal. Jika pasien menderita
afasia tapi terjadi pada kedua bagian
mata, maka diberi skor normal. Adanya
neglesi pada ruang penglihatan atau
anosognosia bisa dianggap sebagai
bukti adanya neglesi. Oleh karena
kondisi neglesi dinilai jika terbukti
memang terdapat kondisi tersebut
(bagian ini tidak pernah diuji,
merupakan bagian tambahan dari skor
NIH)
14. fungsi motorik distal 0 = normal (tidak ada fleksi setelah 5
tangan pasien ditahan pada bagian detik)
lengan atas oleh pemeriksa dan pasien 1 = ekstensi masih bisa dilakukan
diminta untuk ekstensi jari-jarinya beberapa saat setelah 5 detik tapi
sebisa mungkin. Jika pasien tidak tidak ekstensi penuh
mampu atau tidak melakukan ekstensi 2 = tidak ada ekstensi setelah 5 detik;
jari-jari tersebut, maka pemeriksa pergerakan jari-jari setelah waktu
melakukan ekstensi penuh pada jari-jari yang ditentukan tidak akan dicatat.
tersebut dan mengobsevrasi adanya a. Lengan kiri dan b. Lengan
gerakan fleksi dalam waktu 5 detik. kanan
Usaha pertama yang dilakukan pasien
yang diberi skor. Pengulangan perintah
atau pengujian adalah sesuatu yang
tidak boleh dilakukan

2. Mempertahankan oksigenasi serebral


3. Memperbaiki aliran darah serebral, untuk stroke iskemik akut dapat dilakukan
pengobatan rt-PA (recombinant tissue plasminogen activator) apabila diketahui
waktu serangan awal yaitu 3 jam setelah kejadian serangan. Terapi trombolisis
diberikan sesuai dengan panduan pengobatan rt-PA dan dilakukan dalam ruang
ICU. Adapun kriteria inklusi terapi intarvena rt-PA untuk stroke iskemik akut :
a. Diagnosis stroke iskemik dengan penurunan neurologis yang bisa diukur
b. Tanda-tanda neurologis tidak jelas secara spontan
c. Tanda-tanda neurologis tidak boleh minor atau tidak kelihatan
d. Perlu perhatian dalam menangani pasien dengan gangguan yang besar
e. Gejala-gajala tidak boleh diindikasikan pada perdarahan subarachnoid
f. Manifestasi serangan awal < 3 jam sebelum terapi intravena dimulai
g. Tidak ada trauma kepala atau stroke sebelumnya dalam 3 bulan terakhir
h. Tidak ada infark miokardial dalam 3 bulan terakhir
i. Tidak ada perdarahan pada gastrointestinal dan urogenital dalam 21 hari
terakhir
j. Tidak ada pengambilan darah arteri besar selama 7 hari sebelumnya
k. Tidak ada operasi berat 14 hari sebelumnya
l. Tidak ada riwayat perdarahan intrakranial sebelumnya
m. Tekanan darah sistolik < 185, diastolik < 110
n. Tidak ada bukti dari trauma akut atau perdarahan
o. Tidak sedang dalam mengkonsumsi antikoagulan per oral, atau jika demikian
INR < 1,7
p. Jika menggunakan heparin dalam waktu 48 jam, harus memiliki aPTT normal
q. Jumlah platelet > 100.000
r. Tingkat glukosa darah > 50 mg/dl (2,7 mmol)
s. Tidak ada kejang dengan gangguan gajala sisa kejang
t. CT tidak memperlihatkan infark di beberapa lobus (multilobar)
4. fisioterapi : terapi okupasi dan terapi wicara

2.9 KOMPLIKASI
Potensial komplikasi yang mungkin bisa terjadi pada pasien stroke menurut Smeltzer
& Bare, 2010; Black, 2014 adalah :
1. Koma
2. Perdarahan intrakranial
3. Edema serebral
4. Perubahan gula darah
5. Aspirasi
6. Stroke berulang
7. Kematian

2.1.0 PENGKAJIAN
Menurut Doengoes, 2010 pengkajian yang dapat dilakukan untuk pasien stroke adalah
Pemeriksaan yang ditemukan Tanda dan gejala yang diperlihatkan
1. Aktivitas/istirahat 1. Adanya perubahan tonus otot :
a. Kesulitan beraktifitas sampai lemah atau kejang; umumnya
kelemahan, kehilangan sensasi terjadi kelemahan
atau paralisis (hemiplegia 2. Paralisis satu sisi
b. Sering merasa lelah 3. Adanya perubahan kesadaran
c. Kesulitan beristirahat, nyeri atau
otot berkedut
2. Sirkulasi 1. Hipertensi arteri dimana sering
a. Adanya riwayat penyakit jantung : bersamaan munculnya kecuali
miokard infark, rematik dan CVA yang disebabkan oleh
penyakit pembuluh darah jantung, emboli dan malformasi vaskular
gagal jantung, endokarditis bakteri, 2. Rata-rata nadi akan berubah
polisitemia yang disebabkan karena berbagai
faktor seperti kondisi jantung,
medikasi, efek pada stroke
vasomotor
3. Disritmia, adanya perubahan
ECG
4. Bruit pada karotis, femoral,atau
arteri iliaka, atau aorta abdomen
3. Integritas ego 1. Emosi labil
a. Perasaan tak berdaya, putus asa 2. Kemarahan yang berlebihan atau
tidak pantas, sedih, gembira
3. Kesulitan mengekspresikan
perasaan sendiri
4. Eliminasi 1. Perubahan pengosongan :
inkontinensia, anuria
2. Distensi abdomen
3. Distensi kandung kemih
4. Ketiadaan atau penurunan bunyi
usus jika ada paralisis
neurogenik ileus
5. Makanan/cairan 1. obesitas
a. Riwayat diabetes, peningkatan 2. masalah menguyah dan menelan
serum lipid
b. Kurang nafsu makan
c. Mual atau vomitus selama masa
akut (peningkatan tekanan
intrakranial)
d. Kehilangan sensasi pada lidah, pipi
dan tenggorokan
e. Disfagia
6. Neurosensori 1. Kesadaran dapat berubah sesuai
a. Riwayat TIA, RIND dengan etiologi stroke
b. Pusing atau pingsan sebelum 2. Pada ekstremitas terjadi
kejadian stroke atau selama terjadi kelemahan atau paralisis pada
TIA ekstremitas dan wajah
c. Sakit kepala hebat yang dapat 3. Afasia, agnosia, apraxia
menyertai pada perdarahan 4. Kecemasan gambaran tubuh,
intraserebral atau subarachnoid neglect ataupun penolakan
d. Perasaan geli, kebas dan 5. Reaksi dan ukuran pupil : tidak
kelemahan yang bersaamaan sama pada satu sisi, nuchal
dengan TIA dan sering ditemukan rigidity, kejang
sampai mati rasa
e. Penurunan penglihatan :
penglihatan kabur, penglihatan
hanya setengah, penglihatan ganda
(diplopia) atau kerusakan lapang
pandang
f. Kehilangan sensori pada
kontraletral pada satu sisi
ekstremitas dan beberapa sisi
wajah
g. Kerusakan sensasi rasa dan
penciuman
7. Nyeri/kenyamanan 1. Kehilangan istirahat
a. Sakit kepala yang bisa berubah 2. Tension pada otot dan wajah
intensitasnya 3. Distraksi perilaku
8. Respirasi 1. Ketidakmampuan menelan,
a. merokok batuk ataupun proteksi jalan
nafas
2. Kesulitan dan iregular
pernafasan
3. Ronchi
9. Keamanan 1. Kesulitan penglihatan
2. Perubahan persepsi diri, neglect
3. Kesulitan melihat objek pada
sisi kiri
4. Ketiadaan kewaspadaan pada
satu sisi
5. Ketidakmampuan mengenali
benda, warna, kata, wajah
6. Penurunan respons panas dan
dingin, perubahan regulasi suhu
tubuh
7. Kesulitan menelan
10. Sosial interaksi 1. Kesulitan berbicara
2. Ketidakmampuan untuk
berkomunikasi
3. Perilaku yang tidak tepat
11. Pengajaran/pembelajaran 4.
a. Riwayat keluarga : hipertensi,
stroke, diabetes
b. Ras
c. Penggunaan kontrasepsi oral
d. Merokok, alkohol
e. obesitas

2.1.1 DIAGNOSA KEPERAWATAN


Diagnosa keperawatan yang timbul menurut Doenges, 2010; Smeltzer & Bare, 2010;
Black, 2014 :
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral
2. Kerusakan mobilitas fisik
3. Kerusakan komunikasi verbal
4. Kerusakan sensori persepsi penglihatan
5. Defisit perawatan diri (spesifik)
6. Koping tidak efektif
7. Risiko kerusakan menelan
8. Risiko aspirasi
9. Defisit pengetahuan mengenai kondisi, prognosis, pengobatan, perawatan diri dan
perubahan kebutuhan
10. Neglect unilateral
11. Hipertermia
12. Risiko kerusakan integritas kulit
13. Risiko terjadinya kontraktur
14. Risiko terjadinya cedera
15. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh
16. Risiko terjadinya abrasi kornea
17. Gangguan proses berpikir
18. Nyeri akut

2.1.2 INTERVENSI KEPERAWATAN


1. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral (Wilkinson & Ahern, 2009)
a. Tujuan/kriteria evaluasi NOC
1) Menunjukkan status sirkulasi yang dibuktikan dengan indikator tekanan
darah sistolik dan diastolik, bruit pembuluh darah besar, hipotensi
ortostatik
2) Menunjukkan kognisi yang dibuktikan oleh indikator berikut :
berkomunuikasi dengan jelas dan sesuai dengan usia serta kemampuannya,
menunjukkan perhatian, konsentrasi dan orientasi kognitif, menunjukkan
memori jangka panjang dan saat ini, mengolah informasi, membuat
keputusan yang tepat
3) Mempunyai pupil yang sama besar dan reaktif, terbebas dari aktivitas
kejang, tidak mengalami sakit kepala
b. Kriteria hasil NOC
1) Promosi perfusi serebral : meningkatkan keadekuatan perfusi dan
meminimalkan komplikasi untuk pasien yang mengalami atau berisiko
mengalami ketidakadekuatan perfusi serebral
2) Pemantauan tekanan intrakranial : mengukur dan menginterpretasikan data
pasien untuk mengatur tekanan intrakranial
3) Pemantauan neurologis : mengumpulkan dan menganalisis data pasien
untuk mencegah dan emminimalkan komplikasi neurologis
4) Manajemen sensasi perifer : mencegah dan meminimalkan cedera atau
ketidaknyamanan pada pasien yang mengalami perubahan sensasi
c. Intervensi keperawatan NIC
1) Pengkajian
a) Pantau : tanda vital, hasil analisa gas darah, pupil (ukuran, bentuk,
kesimetrisan dan reaktivitas), penglihatan (diplopia, nistagmus,
kabur/ketajaman), sakit kepala, tingkat kesadaran dan orientasi;
memori, alam perasaan dan afek; curah jantung; refleks korneal, batuk
dan muntah; tonus otot, pergerakan motorik, gaya berjalan dan
kesesuaian
b) Pemantauan tekanan intrakranial
i. Kaji letak pemasangan drainage dengan memonitoring
ii. Catat hasil pengukuran tekanan intrakranial
iii. Monitor tekanan perfusi serebral
iv. Monitor status neurologik
v. Monitor jumlah, kecepatan dan karakteristik cairan serebrospinal
pada drainage
vi. Jaga posisi chamber drainage, monitor bekuan darah dan udara
pada sepanjang tubing
vii. Monitor suhu dan hasil pemeriksaan darah rutin
viii. Posisi pasien dengan kepala dan leher dengan posisi netral, hindari
fleski hip yang ekstrim
ix. Monitor tingkat CO2
x. Lakukan suctioning sesuai prosedur
xi. Minimalkan stimulasi lingkungan yang merangsang peningkatan
tekanan intrakranial
c) Manajemen edema serebral
i. Monitoring perubahan kesadaran : pusing, pingsan, bingung
ii. Monitoring status neurologi
iii. Monitoring tanda-tanda vital
iv. Monitoring drainage CSF seperti karakteristik, warna, konsistensi,
kejernihan serta catat jumlahnya
v. Monitoring tekanan intrakranial, CVP, asam basa
vi. Posisi kepala headup/30, hindari leher fleksi atau fleksi pada
hip/lutut, hindari valsava manuver, hindari penggunaan PEEP
vii. Penarikan cairan, hindari pemberian cairan hipotonik
viii. Batasi suctioning lebih dari 15 detik
ix. Monitor intake dan output cairan
x. Jaga suhu dalam keadaan normal
xi. Berikan osmotik diuretik atau loop aktif
xii. Lakukan ROM/exercise pasif
xiii. Cegah terjadinya kejang
xiv. Berikan sedasi bila diperlukan
2. Hipertermi (Wilkinson & Ahern, 2009)
a. Tujuan/krietria evaluasi NOC
Pasien akan menunjukan termoregulasi yang baik
b. Kriteria hasil NOC
1) Termoregulasi : keseimbangan antara produksi panas, peningkatan panas
dan kehilangan panas
2) Tanda-tanda vital : nilai suhu, denyut nadi, frekuensi pernafasan dan
tekanan darah dalam rentang normal.
c. IntervensikeperawatanNIC
1) Pengkajian
a) Pantau aktivitas kejang bila ada
b) Pantau hidrasi
c) Pantau tanda-tanda vital
d) Pantau warna kulit dan suhu
2) Penyuluhan pasien/keluarga
Ajarkan pasien/keluarga untuk mencegah, indikasi dan mengenali secara
dini hipertermia serta tindakan kegawatdaruratan yang diperlukan
3) Aktivitas kolaboratif
a) Berikan obat antipiretik jika perlu
b) Berikan mandi air hangat untuk mengatasi suhu tubuh jika perlu
4) Aktivitas lain
a) Lepaskan pakaian yang berlebihan
b) Gunakan waslap kompres air biasa diaksila, kening, tengkuk dan lipatan
paha
c) Anjurkan asupan cairan oral sedikitnya 2 liter sehari dengan tambahan
cairan selama aktivitas berlebihan
3. Nyeri akut (Wilkinson & Ahern, 2009)
a. Tujuan/kriteria evaluasi NOC
1) Memperlihatkan pengendalian nyeri
2) Menunjukan tingkat nyeri
3) Memperlihatkan tehnik relaksasi secara individual yang efektif
4) Mempertahankan selera makan yang baik
5) Melaporkan pola tidur yang baik
b. Kriteria hasil NOC
1) Tingkat kenyamanan : tingkat persepsi positif terhadap kemudahan fisik dan
psikologis
2) Pengendalian nyeri : tindakan individu untuk mengendalikan nyeri
3) Tingkat nyeri : keparahan nyeri yang dapat diamati atau dilaporkan
c. Intervensi keperawatan NIC
1) Pengkajian
a) Minta pasien untuk menilai nyeri atau ketidaknyamanan (skala 0-10),
dalam mengkaji nyeri pasien gunakan kata-kata yang sesuai usia dan
tingkat perkembangan pasien
b) Kaji dampak agama, budaya, kepercayaan dan lingkungan terhadap
nyeri dan respons pasien
2) Penyuluhan pasien/keluarga
a) Instruksikan pasien untuk menginformasikan kepada perawat jika
peredaan nyeri tidak dapat dicapai
b) Informasikan kepada pasien tentang prosedur yang dapat meningkatkan
nyeri dan tawarkan strategi koping yang disarankan
c) Manajemen nyeri : berikan informasi tentang nyeri, penyebab nyeri,
berapa lama akan berlangsung dan antisipasi ketidaknyamanan akibat
prosedur.
d) Manajemen nyeri : ajarkan penggunaan tehnik relaksasi, imanijasi
terbimbing, terapi musik,distraksi dan kompres hangat atau dingin
3) Aktivitas kolaboratif
a) Gunakan tindakan pengendalian nyeri sebelum nyeri menjadi lebih berat
b) Laporkan kepada dokter jika tindakan tidak berhasil
4) Aktivitas lain
a) Bantu pasien mengidentifikasi tindakan kenyamanan yang efektif dimasa
lalu seperti distraksi, relaksasi atau kompres hangat/dingin
b) Hadir di dekat pasien untuk memenuhi kebutuhan rasa nyaman dan
aktivitas lain untuk membantu relaksasi meliputi tindakan sebagai
berikut : lakukan perubahan posisi, massage punggung dan relaksasi.
Berikan perawatan dengan tidak terburu-buru dengan sikap yang
mendukung. Libatkan pasien dalam pengambilan keputusan yang
menyangkut aktivitas keperawatan.
c) Bantu pasien untuk lebih fokus pada aktivitas, bukan pada nyeri dan rasa
tidak nyaman dengan melakukan pengalihan
d) Gunakan pendekatan yang positif untuk mengoptimalkan respons pasien
terhadap analgetik
e) Manajemen nyeri : kendalikan faktor lingkungan yang dapat
mempengaruhi respons pasien terhadap ketidaknyamanan (misalnya
suhu ruangan dan kegaduhan). Pastikan pemberian analgesia terapi atau
strategi nonfarmakologis sebelum melakukan prosedur yang
menimbulkan nyeri.
4. Kerusakan komunikasi verbal (Wilkinson & Ahern, 2009)
a. Tujuan/kriteria evaluasi NOC
Menunjukkan komunikasi yang dibuktikan oleh indikator gangguan sebagai
berikut : menggunakan bahasa tertulis, lisan atau nonverbal; menggunakan
bahasa isyarat, menggunakan gambar dan foto, pengenalan terhadap pesan yang
diterima, bertukar pesan secara akurat dengan orang lain
b. Kriteria hasil NOC
1) Mendengar aktif : hadir secara dekat dengan dan terikat secara bermakna
dengan pesan verbal dan nonverbal pasien
2) Penurunan ansietas : meminimalkan rasa khawatir, takut prasangka atau
kesulitan yang berhubungan dengan sumber bahay yang diantisipasi dan
tidak jelas
3) Peningkatan komunikasi, defisit wicara : membantu menerima dan
mempelajari metode alternatif untuk hidup dengan gangguan bicara
4) Peningkatan komunikasi, defisit penglihatan : membantu menerima dan
mempelajari metode alternatif untuk hidup dengan gangguan penglihatan
5) Pelatihan memori : memfasilitasi daya ingat
c. Intervensi keperawatan NIC
1) Kaji kemampuan untuk berbicara, mendengar, menulis, membaca dan
memahami
2) Kaji kemampuan untuk melakukan komunikasi
3) Jelaskan kepada pasien mengapa dia tidak bisa berbicara jika perlu
4) Konsultasikan dengan dokter tentang kebutuhan terapi wicara
5) Dorong pasien untuk berkomunikasi secara perlahan dan untuk mengulangi
permintaan
6) Berikan penguatan positif dengan sering atas upaya pasien untuk
berkomunikasi
7) Libatkan pasien dan keluarga dalam mengembangkan rencana komunikasi
DAFTAR PUSTAKA

Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (2015). Pedoman tatalaksana


hipertensi pada penyakit kardiovaskular. Edisi Pertama. Jakarta : PERKI

WHO (2013). A global brief on hipertension : Silent killer, global public health crisis.
Switzerland : WHO Press

WHO (2014). Noncommunicable diseases country profiles. Switzerland : WHO Press

WHO (2011). Global atlas on cardiovascular disease prevention and control. Geneva :
WHO Press

Carpenito-Moyet, L.D (2010). Nursing diagnosis : Application to clinical practice. 13th


Edition. Wolters Kluwer : Lippincott Williams & Wilkins

Black, J.M & Hawks, J.H (2014). Keperawatan medikal bedah : manajemen klinis untuk
hasil yang diharapkan. Edisi 8. Buku 2 & 3. Singapore : Elsevier

Wilkinson, J.M & Ahern, N.R (2009). Alih bahasa : Esty Wahyuningsih : Buku saku
diagnosis keperawatan : Diagnosis NANDA, intervensi NIC, kriteria hasil NOC. Edisi
9. Jakarta : EGC

Smeltzer, S.C. Bare, B.G. Hinkle, J.L & Cheever, K.H (2010). Brunner & Suddarths :
Textbook of medical-surgical nursing. Wolters Kluwer : Lippincott Williams &
Wilkins

Sherwood, L (2012). Fundamentals of human physiology. Fourth Edition. Canada : Cengage


Learning

Nurarif, AH. Kusuma, H (2013). Aplikasi asuhan keperawatan berdasarkan diagnosa medis
& NANDA NIC-NOC. Yogyakarta : Med Action.

Martini, FH. Nath, JL. & Bartholomew, EF (2012). Fundamentals of anatomy & physiology.
Ninth Edition. Benjamin Cummings : Pearson

Tortora, GJ & Derrickson, B (2012). Principles of anatomy & physiology. 13th Edition. USA
: John Wiley & Sons Inc.

Doengoes, M.E. Moorhouse, M.F & Murr, A.C (2010). Nursing care plans : Guidelines for
individualizing client care across the life span. 8th Edition. Philadelphia : F.A Davis
Company
Bulechek, G.M. Butcher, H.K. Dochterman, J.M & Wagner, C.M (2013). Nursing
interventions classification (NIC). Sixth Edition. Missouri : Elsevier

Herdman, T.H & Kamitsuru, S (2014). NANDA international, inc. Nursing diagnosis :
Definitions & classification 2015-2017. Tenth Edition. West Sussex : Wiley
Blackwell

Anda mungkin juga menyukai